Hubungan antara Skor COPD Assessment Test (CAT) dengan Rasio FEV1 FVC pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Klinis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang

bisa dicegah dan diobati. PPOK ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta
adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD,
2015). Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan
antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan
parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK sering
mengenai individu pada usia pertengahan yang memiliki riwayat merokok jangka
panjang. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi (PDPI, 2011).


2.2.

Epidemiologi PPOK
Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap

negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa
berkisar 5-9% pada individu usia > 45 tahun (Wiyono, 2009). Data penelitian
lainnya menunjukkan prevalens PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1% di beberapa
kota Amerika Latin. Prevalens PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang
terendah 3,5 % di Hongkong dan Singapura dan tertinggi 6,7% di Vietnam
(GOLD, 2015). Untuk Indonesia, penelitian PPOK working group tahun 2002 di
12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens PPOK Indonesia sebesar
5,6 (Regional COPD Working Group, 2003).
Prevalens PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan
peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia. Menurut prediksi WHO, PPOK
yang saat ini merupakan penyebab kematian ke-4 di seluruh dunia diperkirakan
pada tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian ke-3 di seluruh dunia (WHO,
2012).

6


2.3.

Patofisiologi PPOK
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan

oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi
dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan
ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter
yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (FEV1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) (Sherwood, 2011).
Pada PPOK, hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama
yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran napas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya

suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya
penebalan pada saluran napas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid
dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran napas mengakibatkan restriksi
pembukaan jalan napas. Lumen saluran napas kecil berkurang akibat penebalan
mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh
gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan
kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag
alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik
neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF),
monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS).

7

Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar

dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya
limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan
normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH
yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke
molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid
dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH
dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida
akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain
itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan

kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Parenkim paru kolaps terutama
pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru
secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif,
maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps , sehingga
dapat terjadi sesak nafas (GOLD, 2015).

8

Konsep patogenesis PPOK

Gambar 2.1

Sumber: PDPI. Klasifikasi. Dalam : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Edisi Juli 2011

Gambar 2.2

(Dikutip dari: Spurzem JR, Rennard SI, Pathogenesis of COPD, 2005,26(2):142-53)


9

2.4.

Diagnosis PPOK
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan
pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat
penyakit.
2.4.1. Anamnesis
a. Faktor Risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan
adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi
tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan
riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok
aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan

Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap
sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat
ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (GOLD, 2015)
b. Gejala
PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan
tanda dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan
dan penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat
menegakkan diagnosis ( Jindal dan Gupta, 2004)
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah
sebagai berikut (COPD Health Center, 2010) :
a.

Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun

terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi
sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.

10


b.

Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang

kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.
Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun
tidur.
c.

Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah

mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga
sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan
ukuran sesak napas sesuai skala sesak

Skala Sesak

Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas


0

Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

1

Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik
tangga 1 tingkat

2

Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3

Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah
beberapa menit

4


Sesak bila mandi atau berpakaian
Tabel 2.1 Skala Sesak British Medical Research Council (MRC)

d.

Mengi
Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh

penyempitan saluran pernapasan dengan aposisi dinding saluran pernapasan.
Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernapasan dengan jaringan
sekitarnya. Karena secara umum saluran pernapasan lebih sempit pada saat
ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase ekspirasi. Pada
pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi polifonik merupakan
jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien PPOK. Terdapat suara jamak
simultan dengan berbagai nada yang terjadi pada fase ekspirasi dan menunjukan
penyakit saluran pernafasan yang difus (Sylvia dan Lorraine, 2006)

11


e.

Ronkhi
Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup yang

terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi mencerminkan adanya
letupan mendadak jalan nafas kecil yang sebelumnya tertutup. Ronkhi juga dapat
disebabkan oleh penutupan jalan nafas regional dikarenakan penimbunan mucus
pada saluran nafas. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi ronhki meskipun bukan
gejala khas dari PPOK (Sylvia dan Lorraine, 2006)
f.

Penurunan Aktivitas
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan

aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita
PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita
PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia,
inflamasi dan malnutrisi kronis (Sylvia dan Lorraine, 2006)
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik
dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada
seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua (Sciurba, 2004)
2.4.2. Pemeriksaan Fisik
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi
paru yang signifikan (Badgett et al, 2003). Pada pemeriksaan fisik seringkali
tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan,
karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat
sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau
perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1. Inspeksi
a.

Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )

b.

Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup )

c.

Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas

d.

Pelebaran sela iga

12

e.

Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher
dan edema tungkai

f.

Penampilan pink puffer atau blue bloater

2. Palpasi
a.

Fremitus melemah

b.

Sela iga melebar

3. Perkusi
a.

Hipersonor

4. Auskultasi
a.

Fremitus melemah,

b.

Suara nafas vesikuler melemah atau normal

c.

Ekspirasi memanjang

d.

Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

e.

Ronki

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO
yang terjadi pada gagal napas kronik (GOLD, 2015)

13

2.4.3.

Pemeriksaan Penunjang

2.4.3.1. Pemeriksaan Spirometri
Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara
obyektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis. Alat
yang digunakan disebut spirometer (Miller et. al, 2005).
Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di
paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume capacity
(FVC). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik nafas
secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin. Nilai
FVC dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia,
tinggi badan dan jenis kelamin.
Langkah pemeriksaan Spirometri, Siapkan alat spirometer, dan kalibrasi
harus dilakukan sebelum pemeriksaan. Pasien harus dalam keadaan sehat, tidak
ada flu atau infeksi saluran napas bagian atas dan hati-hati pada penderita asma
karena dapat memicu serangan asma. Pasien harus menghindari memakai pakaian
yang ketat dan makan makanan berat dalam waktu 2 jam. Pasien juga tidak harus
merokok dalam waktu 1 jam dan menkonsumsi alkohol dalam waktu 4 jam.
Masukkan data yang diperlukan , yaitu umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat
badan, dan ras untuk megetahui nilai prediksi. Beri pentunjuk dan demonstrasikan
manuver pada pasien, yaitu pernafasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat
hidung dan celah bibir yang mengatup mouth piece. Pasien dalam posisi duduk
atau berdiri, lakukan pernapasan biaa tiga kali berturut-turut, dan langsung
menghisap sekuat dan sebanyak mungkin udara ke dalam paru-paru, dan
kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya dihembuskan udara melalui mouth
piece. Manuver dilakukan 3 kali untuk mendapatkan hasil terbaik.
Namun sebelum dilakukan spirometri, terhadap pasien dilakukan
anamnesa, pengukuran tinggi badan dan berat badan. Pada spirometer terdapat
nilai prediksi untuk orang Asia berdasarkan umur dan tinggi badan. Bila nilai
prediksi tidak sesuai dengan standar Indonesia, maka dilakukan penyesuaian nilai
prediksi menggunakan standar Indonesia. Volume udara yang dihasilkan akan
dibuat presentase pencapaian terhadap angka prediksi. Spirometri dapat dilakukan

14

dalam bentuk social vital capacity (SVC) atau forced vital capacity (FVC). Pada
SCV, pasien diminta bernafas secara normal 3 kali (mouthpiece sudah terpasang
di mulut) sebelum menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan secara maksimal.
Pada FVC, pasien diminta menarik nafas dalam-dalam sebelum mouth piece
dimasukkan ke mulut dan dihembuskan secara maksimal (Miller et. al, 2005).
Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan:
a.

Forced Vital Capacity (FVC) adalah jumlah udara yang dapat di

keluarkan secara paksa setelah inspirasi maksimal, dan di ukur dalam liter
b.

Forced expiratoy volume in one second (FEV1) adalah jumlah udara

yang dapat dikeluarkan dalam satu detik, di ukur dalam liter. Bersama dengan
FCV merupakan indikator utama fungsi paru
c.

FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/SCV. Pada orang sehat nilai

normalnya sekitar 75 – 80%
d.

Peak expiratory flow (PEF) merupakan kecepatan pergerakan udara

keluar dari paru pada awal ekspirasi, di ukur dalam liter/detik.
e.

Forced expiratory flow (FEF) merupakan kecepatan rata-rata aliran

udara keluar dari paru selama pertengahan pernafasan. Sering juga di sebut
sebagai MMEF (Maximal Mid-Expiratory Flow).
Klasifikasi gangguan ventilasi (% nilai prediksi) :
a.

Gangguan restriksi : Vital Capacity (VC) < 80% nilai prediksi; FVC <

80% nilai prediksi
b.

Gangguan obstruksi : FEV1 < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75%

nilai prediksi
c.

Gangguan restriksi dan obstruksi : FVC < 80% nilai prediksi;

FEV1/FVC < 75% nilai prediksi.
Bentuk spirogram adalah hasil dari spirometri. Beberapa hal yang
menyebabkan spirogram tidak memenuhi syarat :
a.

Terburu-buru atau penarikan nafas yang salah

b.

Batuk

c.

Terminasi lebih awal

d.

Tertutupnya glotis

15

e.

Ekspirasi yang bervariasi

f.

Kebocoran

Setiap pengukuran sebaiknya dilakukan minimal 3 kali. Kriteria hasil
spirogram yang reprodusibel (setelah 3 kali ekspirasi) adalah dua nilai FVC dan
FEV1 dari 3 ekspirasi yang dilakukan menunjukkan variasi/perbedaan yang
minimal (perbedaan kurang dari 5% atau 100 mL) (Miller et. al, 2005).
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2015, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD 2015

2.4.3.2. Pemeriksaan Penunjang lain
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa
tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada
harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis.
Radiografi berulang atau tahunan dan computed tomography untuk memonitor
kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan
anemia atau polisitemia. Hal ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan
ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi
tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga,
dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan
oksigen tambahan (Stephens dan Yew, 2008).

16

2.5.

Penatalaksanaan PPOK
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi

non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah
mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi
ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien,
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (PDPI, 2010)
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan
kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan
pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda
dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat
irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan
merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti
kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi
tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting) (PDPI, 2010)
Macam-macam bronkodilator :
a. Golongan β– 2 agonis.
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat.
Mekanisme kerja : melalui stimulasi reseptor β2 di trachea dan bronkus, yang
menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan

17

adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi cyclic-adenosin mononosphat
(cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam
sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek
bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast.
b. Golongan antikolinergik.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kaliperhari ).
Mekanisme kerja : Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara
sistem adrenergis dan sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor b 2 dari
sistem adrenergis terhambat, maka sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat
bronchokonstriksi. Antikolinergik memblok reseptor muskarinik dari saraf-saraf
kolinergis di otot polos bronkus, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi
dominan dengan efek bronkodilatasi.
c. Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis.
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebihs ederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin.
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasiakut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
Mekanisme kerja : Daya bronkorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade
reseptor adenosin. Selain itu, teofilin seperti kromoglikat mencegah meningkatnya
hiperektivitas.

18

2.6.

COPD Assessment Test (CAT)
PPOK merupakan beban besar untuk pasien dan system kesehatan.

Perawatan pasien PPOK hanya dapat dioptimalkan jika ada alat pengukuran
standard yang handal dalam mengukur efek keseluruhan pneyakit terhadap
kesehatan pasien. Sayangnya, pemeriksaan fungsi paru yang biasa digunakan
tidak mencerminkan dampak PPOK. Akibatnya, dibutuhkan alat yang mudah
digunakan untuk mengukur dampak PPOK terhadap kesehatan pasien dan
meningkatkan pemahaman antara dokter dan pasien terhadap dampak penyakit
untuk mengoptimalkan pengelolaan pasien dan mengurangi beban penyakit.
COPD Asssessment Test (CAT) dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut (Jones et. al, 2009).
CAT merupakan kuesioner yang sudah tervalidasi dan terstandarisasi
yang digunakan untuk menilai status kesehatan pasien PPOK. CAT terdiri dari 8
item pertanyaan yang mudah dimengerti dan dijawab oleh pasien. CAT memiliki
skor dari 0-40. CAT harus diisi sendiri oleh pasien tanpa bantuan praktisi
kesehatan (CAT Development Steering Group, 2012). Dengan 8 item pertanyaan,
CAT sudah dapat menunjukkan efek yang jelas terhadap status kesehatan dan
kehidupan sehari-hari pasien (Jones et. al, 2011)
CAT bukan merupakan alat diagnostic seperti spirometri. Namun CAT
dapat digunakan bersama-sama dengan spirometri dalam penilaian klinis pasien
PPOK untuk mengetahui apakah penatalaksanaan sudah optimal. CAT juga tidak
dapat menggantikan terapi PPOK, tetapi dapat membantu dalam memonitor efek
terapi (Dod et. al, 2011).
Para ahli yang terlibat dalam pengembangan CAT menyarankan pasien
PPOK untuk melengkapi kuesioner CAT ketika menunggu untuk pemeriksaan
atau saat di rumah sebelum berangkat konsultasi karena CAT hanya
membutuhkan beberapa menit untuk diisi. Kuesioner CAT yang sudah dilengkapi
dapat membantu dalam menyusun langkah penatalaksanaan pasien. CAT
Development Steering Group and GOLD menyarankan agar pasien mengisi
kuesioner CAT setiap 2-3 bulan untuk menilai perubahan (CAT Development
Steering Group, 2012).

19

Skor CAT

Level

Gambaran klinis akibat PPOK

> 30

Tinggi sekali

Kondisi penderita menghentikannya melakukan
apapun yang mereka inginkan dan mereka tidak
pernah baik setiap harinya. Jika mereka dapat
mandi, akan membutuhkan waktu yag lama. Mereka
tidak dapat keluar rumah atau melakukan pekerjaan
rumah. Mereka sering tidak dapat bangun dari kursi
atau temapt tidur. Mereka menjadi merasa tidak
berguna.

20 -30

Tinggi

PPOK menghentikan mereka melakukan hampir
semua yang mereka inginkan. Mereka sesak napas
ketika berjalan di sekitar rumah dan berpakaian.
Mungkin juga sesak ketika berbicara. Mereka letih
karena batuk dan gejala yang ada mengganggu tidur
hamper setiap malam. Mereka merasa olahraga
tidak aman untuknya sehingga menjadi panic dan
takut.

10-20

Sedang

Pasien mengalami hari yang baik dalam seminggu,
tetapi batuk berdahak hamper di setiap hari dan
mengalami

ekserbasasi

1-2

kali

dalam

setahun.Mereka sesak hampir setiap hari dan
biasanya bangun dengan dada yang berat atau
mengi. Mereka sesak ketika membungkuk dan
hanya dapat menaiki tangga perlahan. Mereka dapat
melakukan pkerjaan perlahan atau berhenti untuk
istirahat.
< 10

Rendah

Hampir setiap hari baik, tetapi dapat berhenti
melakukan beberapa aktivitas yang diinginkan.
Pasien

biasanya

batuk

beberapi

seminggu dan sesak ketika

hari

berolahraga

dalam
dan

20

membawa barang berat. Mereka harus perlahan atau
berhenti ketika mendaki atau ketika terburu-buru
turun. Mereka mudah lelah.
Tabel 2.3 Level dampak PPOK pada status kesehatan.

Dokumen yang terkait

Perbandingan nilai Limfosit T CD8+ pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan laki-laki dewasa sehat perokok di RSUP H.Adam Malik Medan

0 68 74

Analisis Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis Setelah Mengikuti Program Rehabilitasi Paru Yang Dinilai Dengan COPD Assessment Test (CAT) dan Uji Jalan 6 Menit

6 88 82

Gambaran EKG Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

6 113 83

Analisis Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Setelah Mengikuti Program Rehabilitasi Paru Yang Dinilai Dengan COPD Assessment Test (CAT) dan Uji Jalan 6 Menit

8 116 108

Hubungan antara Skor COPD Assessment Test (CAT) dengan Rasio FEV1/FVC pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Klinis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015

1 8 78

Hubungan antara Skor COPD Assessment Test (CAT) dengan Rasio FEV1 FVC pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Klinis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015

0 0 13

Hubungan antara Skor COPD Assessment Test (CAT) dengan Rasio FEV1 FVC pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Klinis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015

0 0 2

Hubungan antara Skor COPD Assessment Test (CAT) dengan Rasio FEV1 FVC pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Klinis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015

0 0 4

Hubungan antara Skor COPD Assessment Test (CAT) dengan Rasio FEV1 FVC pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Klinis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015

0 0 5

Hubungan antara Skor COPD Assessment Test (CAT) dengan Rasio FEV1 FVC pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Klinis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015

0 2 21