Permasalahan hukum waris islam di indone (1)

Mengupas ragam masalah hukum keluarga dan kewarisan di Indonesia

hukum keluarga dan kewarisan yang berlaku di indonesia terbagi ada 3, yaitu perdata,
adat dan islam, dimana ketiganya bisa saja diberlakukan pada 1 subjek hukum natural
dari ketiga hukum itu, tidak jarang ada tumpang tindih dalam penerapannya, karena kita
sebagai subjek hukum dapat memilih hukum mana yang ingin kita gunakan, tanpa adanya
pembatasan atau kewajiban untuk menggunakan salah satu hukum dibandingkan hukum yang
lain
sebagai contohnya kita dapat melihat pada penerapan hukum keluarga dan kewarisan di
Indonesia yang sangat beragam, dimana setiap daerah bisa saja melaksanakan perkawinan
seperti apa yang sudah mereka lakukan sesuai dengan adat dan agama yang mereka yakini
dan peluk.
hal ini perlu kita cermati dari segi budaya dan agama yang ada di indonesia, mengingat
hukum kewarisan perdata itu sendiri merupakan sebuah warisan peninggalan zaman
penjajahan belanda, maka keberlakuannya untuk seluruh warga negara indonesia pun perlu
kita pertanyakan karena BW pada saat itu hanya berlaku untuk golongan masyarakat tertentu,
karena itulah banyak daerah yang pada saat itu masih menggunakan hukum adatnya untuk
menyelesaikan kasus kewarisan yang timbul diantara mereka
lalu sejauh apa kita perlu tunduk pada ketentuan waris islam dalam pelaksanaan
kewarisan? hukum waris islam diatur hanya dalam pelaksanaan Instruksi Presiden yaitu
untuk menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam, sehingga KHI itu sendiri bukan

merupakan suatu dasar hukum apabila kita bandingkan dengan BW atau peraturan
perundang-undangan lainnya, dimana KHI tidak memiliki kewenangan untuk memaksa
ataupun kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apabila suatu kewarisan tidak dilaksanakan
menggunakan ketentuan hukum islam sebagaimana diatur dalam KHI
bersarkan kekuatan hukumnya, secara kedudukan perundang-undangan KHI tidak berada
dalam strata peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan dalam UU 12 tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga apabila kita ingin
menjadikan KHI sebagai sebuah dasar hukum, tentunya hal ini harusnya dirubah terlebih
dahulu, yaitu dengan cara membuat KHI menjadi sebuah peraturan perundang-undangan
yang berada dalam tata urutan sebagaimana ditetapkan dalam UU 12 tahun 2011
secara sosial, mayoritas penduduk kita memeluk agama islam, dan apabila mengacu
kepada ketentuan islam, seharusnya penduduk yang memeluk agama islam tersebut tunduk
dan menjalankan ketentuan hukum islam, namun sebagai sebuah negara yang berlandaskan

hukum, tidak serta merta kemudian hukum islam itu dapat di praktekkan, apabila ingin di
praktekkan haruslah ada sebuah payung hukum yang melandasinya, seperti UU Perbankan
Syariah (UU no.21 tahun 2008)
sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, keharusan ada suatu payung hukum yang sesuai
dengan mekanisme peraturan perundang-undangan adalah suatu hal yang mutlak ada agar
hukum islam dapat dijalankan di Indonesia, namun pada kenyataannya hukum kewarisan itu

sendiri masih hanya berupa pelaksanaan instruksi presiden yang tidak berada dalam strata
perundang-undangan kita, yang mana hal tersebut menjadikan KHI tidak dapat dijadikan
suatu dasar kewarisan bagi umat islam di Indonesia.
banyak masalah yang muncul dalam penerapan hukum kewarisan di indonesia, seperti
penentuan ahli waris, besarnya bagian ahli waris yang mana masyarakat kita masih tidak
sepenuhnya ingin tunduk pada ketentuan hukum kewarisan islam, terlihat pada adanya rasa
iri karena bagian yang diterima oleh laki-laki dan perempuan yang berbeda, yang mana
apabila menggunakan hukum perdata bagian tersebut semua sama.
Hal tersebut sebenarnya bisa dikurangi apabila pemerintah kita secara tegas menetapkan
bahwa semua penduduk yang memeluk agama islam harus menggunakan hukum islam
sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang itu, namun
apabila diatur sendiri dapat timbul masalah, karena tidak dalam semua hal orang-orang ingin
menggunakan hukum islam, seperti perbankan misalnya, banyak orang yang masih
menggunakan bank konvensional
Perlu penegasan akan masalah hukum perkawinan ini menjadi salah satu tugas yang
harus segera diselesaikan pemerintah, baik itu hakekat dari perkawinan, sah nya perkawinan,
maupun syarat perkawinan, dan lain sebagainyaa yang masih sangat beragam dalam
penerapannya.
Seperti berita baru-baru ini dimana ada anak laki-laki seorang terkemuka di indonesia
yang melakukan perkawinan di umur 17 tahun, dengan seorang wanita berumur 19 tahun,

secara agama, tidak ada masalah bagi mereka untuk melangsungkan perkawinan, mengingat
sang laki” sudah akil-baligh dan wanita juga sudah datang bulan, namun berdasarkan hukum
positif di Indonesia, yaitu UU 1 tahun 1974 tentang perkawinan, hal tersebut tidaklah benar.
Mengapa demikian? Karena pasal 6 UU 1/74 jelas menyatakan bahwa syarat usia untuk
perkawinan itu adlaah 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita, hal ini saja sudah
lebih rendah jika kita bandingkan dengan KUH Perdata yang mengatur 19 tahun bagi lakilaki dan 17 tahun bagi wanita.

Apakah kemudian perkawinannya menjadi tidak sah? Tidak juga, menurut saya,
perkawinan mereka bisa saja dianggap sah, karena secara hukum agamanya memang sudah
dibolehkan, yang menjadi masalah adalah, apakah kemudian perkawinan tersebut dapat
dicatatkan pada negara? Dan apakah negara mengakui adanya perkawinan tersebut? Karena
banyak akibat yang nantinya bisa saja terjadi apabila suatu perkawinan itu tidak dicatatkan
dan diakui oleh negara.
Salah satunya adalah negara tidak menganggap perkawinan tersebut terjadi, sehingga
bagi negara pasangan tersebut masih lajang tanpa ada ikatan hukum apapun, yang mana
berarti diantara mereka tidak timbul adanya kewajiban suami-istri selayaknya orang pada
umumnya seperti kewajiban untuk memberi nafkah dari suami kepada istrinya.
Mengapa kemudian hal itu menjadi masalah? Apabila dalam perkawinan tersebut
kemudian dikaruniai seorang anak, maka anak tersebut menurut negara adalah anak luar
kawin, yang mana hal itu mmenghilangkan hubungan hukum antara si anak dengan ayahnya,

dan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya, berarti tidak ada kewajiban bagi si
ayah untuk bertindak layaknya seperti seorang orang tua kepada si anak.
Kedua hal itu sangat rentan untuk menimbulkan konflik dalam rumah tangga yang
mereka bina, hal ini diperburuk dengan apabila kemudian terjadi penelantaran oleh sang
suami/ayah kepada istri dan/atau anaknya, suami/ayah tersebut tidak dapat dituntut secara
hukum karena hukum negara kita tidak mengakui adanya perkawinan tersebut sejak awal.
Selain itu juga, dalam hal kemudian sang suami/ayah meninggal dunia, maka istri
dan/atau anaknya tidak dapat maju sebagai ahli warisnya, karena secara hukum tidak
memiliki hubungan dengan pewaris.
Lalu bagaimana baiknya yang harus dilakukan dalam hal sudah dilaksanakan perkawinan
yang seperti itu? Yang jelas pasangan tersebut harus melaporkan perkawinannya kepada
negara, baik di KUA ataupaun kantor catatan sipil, apakah kemudian akan langsung
dicatatkan oleh negara atau harus melaksanakan perkawinan lagi yang sesuai dengan hukum
negara, itu tergantung dari pihak pemerintah dalam menyikapinya.
Ketentuan pasal 2 UU 1 tahun 74 memang sangat rancu dalam penerapannya, karena
pasal itu membagi 2 keabsahan perkawinan, yaitu harus dilaksanakan sesuai dengan
kepercayaan para pihak, dan harus dicatatkan sebagaimana mestinya. Adanya 2 hal itu
kemudian menyebabkan banyaknya warga yang kawin “secara agama” tanpa melakukan
pencatatan di catatan sipil, yang menjadi pertanyaan adalah, UU 1 tahun 74 mengharuskan
kita untuk tunduk pada ketentuan kepercayaan, tetapi hal itu juga tidak berlaku sebaliknya,

ketentuan kepercayaan tidak harus mengikuti ketentuan negara, sehingga yang menyebabkan

banyaknya penyelewengan dari ketentuan pasal 2 ayat 2 UU 1 tahun 74, yaitu banyaknya
perkawinan yang tidak dicatatkan.
Masalah yang berikutnya ada sehubungan dengan surat keterangan ahli waris, UU
menjelaskan bahwa surat keterangan waris harus ada dalam hal seseorang itu ingin menerima
warisan dari keluarganya yang sudah meninggal dunia, dan berdasarkan pemahanan yang ada
selama ini, surat keterangan ahli waris itu bisa dimintakan ke pengadilan, notaris atau ke
kelurahan setempat, khusus untuk kelurahan surat keterangan itu hanya diberikan kepada
warga pribumi (yang mana hingga saat ini juga masih rancu apakah pribumi itu = WNI atau
bukan) dan yang selain itu dimintakan kepada notaris dan pengadilan, jarang terjadi sebuah
surat keterangan ahli waris dimintakan kepada notaris, karena biasanya langsung kepada
pengadilan, permasalahan yang timbul adalah, pengadilan mana yang berhak untuk
mengeluarkan? Karena lagi-lagi, terdapat pengadilan negeri dan pengadilan agama di
Indonesia, dan keduanya mempunya kewenangan yang serupa.
Berkaca kepada ketentuan UU yang mengharuskan adanya SKW, disana hanya
menyatakan pengadilan, tanpa ada penjelasan lebih lanjut pengadilan mana yang dimintakan,
namun apabila kita melihat pada waktu dimana UU tersebut ada, pengadilan yang ada
hanyalah pengadilan negeri, belum ada pengadilan agama, jadi secara tersirat yang dimaksud
pengadilan dama UU tersebut adalah pengadilan negeri, namun pada praktek nya banak

sekali warga yang membuat SKW pada pengadilan agama, karena pada pengadilan agama
biaya pengeluaran SKW tersebut lebih murah daripada pengadilan negeri.
Bagaimana kemudian dengan SKW yang dibuat oleh pengadilan agama? Apakah
berlaku? Menurut saya SKW tersebut berlaku, mengapa? Karena sebagaimana saya jelaskan
diatas, kedua pengadilan tersebut memiliki kewenangan yang serupa, hanya saja pada
pengadilan agama, terbatas hanya untuk yang beragama islam, dan hanya seputar hukum
keluarga, tetapi hal tersebut tidak melarang pengadilan untuk mengeluarkan SKW karena
SKW sendiri masih berada dalam ranah hukum keluarga, namun sebaiknya memang tetap
meminta kepada pengadilan negeri, karena ada beberapa instansi pemerintah yang
menganggap hal itu memang seharusnya dikeluarkan oleh pengadilan negeri dan menolak
SKW yang dikeluarkan oleh pengadilan agama.
Membahas pada keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai perjanjian kawin,
sebagaimana kita harus tahu, sebelum adanya keputusan MK tersebut, suatu perjanjian kawin
hanya bisa dibuat sebelum perkawinan itu dilangsungkan dan dicatatkan di catatan sipil,
namun semenjak adanya keputusan MK tersebut, suatu perjanjian perkawinan sekarang dapat
dibuat sesudah perkawinan dilangsungkan.

Hal ini sangat menarik untuk dibahas, karena hal itu merupakan sesuatu hal yang baru
dan cenderung kontradiktif dengan asas perjanjian kawin yang sudah ada selama ini.
Perjanjian kawin dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dengan tujuan mengikat itikad

baik dari kedua pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan sehubungan dengan harta
yang akan mereka bawa atau peroleh selama perkawinan itu berlangsung, atau bisa juga
disebut sebagai salah satu “asuransi” bagi para pasangan untuk mengamankan harta mereka
dari kerugian yang diderita selama perkawinan berlangsung.
Setelah adanya keputusan MK mengenai perjanjian kawin, “kesakral-an” dari perjanjian
kawin yang hanya dapat dibuat 1 kali dan sebelum perkawinan dilangsungkan itu menjadi
hilang, dan ini bisa saja menimbulkan celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh subjek
hukum untuk menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan kerugian bagi dirinya. Misalnya
selama perkawinan berlangsung, salah 1 pasangan terlihat akan mengalami kerugian dan bisa
berujung pada kepailitan yang mengakibatkan disitanya harta pribadinya, maka bisa saja pada
saat itu dilangsungkan perjanjian kawin yang menyatakan harta antara suami dan istri tidak
bercampur.
Namun bagi saya, timbul suatu permasalahan yang menarik perhatian yaitu, bagaimana
cara kita menentukan harta mana yang menjadi milik istri dan harta mana yang menjadi milik
suami dalam hal mereka membuat perjanjian kawin pisah harta setelah perkawinan
dilangsungkan? Dan dalam hal ini kita tidak bicara perjanjian itu dibuat 1 hari setelah
perkawinan dilangsungkan, tapi bisa saja dibuat dalam 5 atau 10 tahun setelah perkawinan
dilangsungkan, yang mana pada masa itu tentunya sudah banyak harta bersama yang tercipta
dari perkawinan tersebut yang kita tidak tahu atau mungkin sudah lupa dengan uang atau
harta siapa harta bersama itu diperoleh? Misal, suami membelikan istrinya perhiasan dengan

uang gaji nya, apabila kemudian mereka membuat perjanjian kawin, apakah perhiasan itu
menjadi milik suami? Ataukan menjadi milik istri karena penguasaan fisik nya berada di
istri?
Permasalahan ini tidak rumit apabila kita lihat berdasarkan hukum islam, dimana dalam
hukum islam tidak pernah terjadi percampuran harta yang artinya tidak ada harta bersama
dalam perkawinan dan hanya ada harta pribadi dari masing-masing pasangan.
Yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah dalam prakteknya, pengadilan kita
tidak memahami konsep pemisahan harta dan sebagian besar hanya pukul rata dengan apa
yang terjadi, karena sering sekali dalam praktek, sekalipun pasangan tersebut sudah menikah
berdasarkan hukum islam, yang mana berdasarkan KHI, seharusnya tidak ada pencampuran
harta antara keduanya, hakim menyatakan masih harus ada pembagian harta gono-gini.

Pada permasalahan itu ada satu hal yang dapat kita simpulkan, yaitu KHI sebagai salah
satu panutan bagi pelaksanaan hukum islam di indonesia tidaklah berfungsi dengan
sebagaimana mestinya, melainkan hanya menjadi rujukan semata dikala hakim memerlukan
tambahan pertimbangan, dan membuktikan bahwa sanya KHI disini tidak berada dalam strata
peraturan perundangan di Indonesia dan karenanya tidak dapat dijadikan sebagai suatu dasar
hukum untuk menentukan suatu hal.
Permasalahan harta bersama dalam islam, apabila kita melihat pada KHI, memang ada
dinyatakan, namun harta bersama dalam KHI itu sendiri memiliki pengertian yang berbeda

jauh dengan harta bersama sebagaimana tercantum dalam KUH Perdata dan UU perkawinan,
dalam KUH Perdata harta bersama itu adalah seluruh harta, baik bawaan maupun yang
didapat selama dalam perkawinan, dalam UU perkawinan harta bersama adalah harta yang
diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung, terkecuali dari itu adalah harta bawaan yang
didalamnya termasuk hasil hibah, warisan, dan hadiah yang ditujukan khusus ke salah 1
pasangan, sementara dalah KHI harta bersama adalah harta yang didapat sepanjang
perkawinan yang merupakan hasil bersama dari pasangan tersebut.
Berdasarkan pengertian itu saja dapat terlihat bahwa harta bersama menurut KHI itu
adalah hasil usaha bersama dari pasangan itu, sebagai contoh: suami memiliki tanah dan istri
membelikan bibit tanaman serta mengelola tanah tersebut selama masa tanam nya, nah hasil
dari tanaman tersebut dikatakan sebagai harta bersama, tapi tanah dan tanaman yang ada
masih merupakan harta pribadi dari masing-masing suami-istri tersebut.
Masalah harta bawaan ini memang cukup rumit, karena tidak ada batasan yang jelas
mengenai apa saja yang termasuk sebagai harta bawaan, UU perkawinan menjelaskan harta
bawaan itu adalah harta yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung, dan setelah
perkawinan berlangsung tetapi hanya terbatas untuk hibah, wasiat, hadiah kepada salah 1
pasangan, dan warisan. Yang cukup menarik untuk saya lihat adalah gaji atau penghasilan
dari salah satu pasangan, yang mana sebelum ia menikah, hal itu adalah harta bawaannya,
tetapi setelah menikah hal itu menjadi harta bersama, mengapa demikian? Padahal logikanya
adalah pekerjaan itu diperolehnya sebelum ia menikah yang tidak membenarkan hal itu

menjadi suatu harta bersama.
Selain itu pertanyaan saya sehubungan dengan dibuatnya perjanjian kawin setelah
perkawinan berlangsung adalah apakah perjanjian kawin itu kemudian berlaku untuk harta
yang didapat sebelum perjanjian kawin itu dibuat? Karena apabila kita melogikakan suatu
perjanjian itu sebagai suatu UU yang berlaku bagi mereka yang membuatnya (1338 KUH
Perdata) maka suatu UU itu tidak dapat berlaku surut, sehingga harta yang diperoleh sebelum

adanya perjanjian kawin itu masih menjadi harta bersama dan bisa saja apa yang dihasilkan
dari harta bersama itu juga tetap menjadi harta bersama (misal: saham, kontrakan, dkk dll).
Karena hal itulah yang dulu menjadi dasar pemahaman mengapa suatu perjanjian kawin itu
harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.