Kondisi dan Kebijakan Pangan Indonesia
KONDISI DAN KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA
(Kasus Di Gunung Kidul)
Disusun Oleh:
1. Ari Rahmawati
(135090021)
2. Galih Damar Adya
(135090034)
3. Ika Ramadhani
(135090014)
4. Imron Manistiyanto
(135090032)
5. Intan Permatasari
(135090031)
6. Rohmat Khoiruddin
(135100095)
Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional
UPN “Veteran” Yogyakarta
2012
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................... i
A.
PENDAHULUAN...........................................................................................1
B.
PRODUKSI PANGAN UTAMA.......................................................................4
C.
NERACA BAHAN PANGAN UTAMA..............................................................6
D.
KETERGANTUNGAN IMPOR.......................................................................6
E.
DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN UTAMA...........................8
F.
GUNUNGKIDUL DAN TEPUNG MOCAF....................................................10
G. PELUANG PASAR TEPUNG MOCAF.........................................................12
H.
BEBERAPA PERMASALAHAN DAN TANTANGAN.....................................13
I.
KEBIJAKAN PANGAN.................................................................................14
J.
PENUTUP...................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17
1
A. PENDAHULUAN
Pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa.
Banyak contoh negara dengan sumber ekonomi cukup memadai tetapi
mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan
bagi penduduknya. Sejarah juga menunjukkan bahwa strategi pangan
banyak digunakan untuk menguasai pertahanan musuh. Dengan adanya
ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkraman
penjajah/musuh. Dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian
dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari
sisi untung rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang
mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan
air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan , pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman
(Suryana, 2003). Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi
manusia setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu,
rumah tangga, dan komunitas merupakan hak azasi manusia (Krisnamurthi,
2003).
Ketahanan pangan menurut Undang-undang No, 7 Tahun 1996
tentang pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik
dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Departemen
Pertanian, 2004).
Mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan telah disepakati
menjadi salah satu prioritas utama pembangunan nasional di Indonesia.
Paling tidak ada tiga alasan penting yang melandasi kesepakatan tersebut :
Pertama, ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak
azasi atas pangan setiap penduduk; kedua konsumsi pangan dan gizi yang
cukup merupakan basis bagi pembentukan sumberdaya manusia yang
berkualitas; ketiga, ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan
ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional.
1
Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa, termasuk
Indonesia
memberikan
pelajaran
bahwa
ketahanan
pangan
harus
diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional, karena
ketergantungan yang besar pada pangan impor menyebabkan kerentanan
terhadap gejolak ekonomi, sosial dan politik.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan pangan adalah bagaimana
memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak terutama rakyat miskin dilihat
dari aspek ketersediaan, jumlah, mutu, harga, kontinuitas, keterjangkauan
dan stabilitas. Sebagai negara agraris dengan kondisi iklim, kesuburan tanah
dan para ahli pertanian yang begitu banyak hampir semua produk pangan
yang dibutuhkan pada dasarnya dapat diproduksi di Indonesia. Namun,
ironisnya Indonesia yang pernah berswasembada beras pada tahun 1984
ternyata kini harus mengimpor sebagian besar kebutuhan pangannya.
Bahkan pada tahun 2003 Indonesia adalah Negara pengimpor beras terbesar
di dunia, walaupun sesuai informasi terakhir menyatakan bahwa sampai akhir
Juni 2005 pemerintah sudah tidak perlu mengimpor beras lagi karena
produksi nasional sudah mencapai 30 juta ton. Namun dengan terjadinya
banyak kekeringan lahan persawahan yang terjadi akhir-akhir ini akan dapat
mengancam ketersediaan pangan untuk waktu-waktu yang akan datang.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan
air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan , pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman
(Suryana, 2003). Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi
manusia setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu,
rumah tangga, dan komunitas merupakan hak azasi manusia (Krisnamurthi,
2003).
Ketahanan pangan menurut Undang-undang No, 7 Tahun 1996
tentang pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik
dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Departemen
Pertanian, 2004).
2
Mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan telah disepakati
menjadi salah satu prioritas utama pembangunan nasional di Indonesia.
Paling tidak ada tiga alasan penting yang melandasi kesepakatan tersebut :
Pertama, ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak
azasi atas pangan setiap penduduk; kedua konsumsi pangan dan gizi yang
cukup merupakan basis bagi pembentukan sumberdaya manusia yang
berkualitas; ketiga, ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan
ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional.
Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa, termasuk
Indonesia
memberikan
pelajaran
bahwa
ketahanan
pangan
harus
diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional, karena
ketergantungan yang besar pada pangan impor menyebabkan kerentanan
terhadap gejolak ekonomi, sosial dan politik.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan pangan adalah bagaimana
memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak terutama rakyat miskin dilihat
dari aspek ketersediaan, jumlah, mutu, harga, kontinuitas, keterjangkauan
dan stabilitas. Fenomena yang ada saat ini menunjukkan bahwa pertanyaan
tersebut masih belum dapat dijawab secara tuntas. Kasus gizi buruk dan
busung lapar NTT dan NTB juga ancaman busung lapar di daerah Solo dan
Boyolali dan juga jatah Raskin di daerah Klaten yang tidak mencukupi serta
daerah-daerah lain yang rawan pangan merupakan bukti dari pertanyaan
yang belum bisa dijawab.
Sebagai negara agraris dengan kondisi iklim, kesuburan tanah dan
para ahli pertanian yang begitu banyak hampir semua produk pangan yang
dibutuhkan pada dasarnya dapat diproduksi di Indonesia. Namun, ironisnya
Indonesia yang pernah berswasembada beras pada tahun 1984 ternyata kini
harus mengimpor sebagian besar kebutuhan pangannya. Bahkan pada tahun
2003 Indonesia adalah Negara pengimpor beras terbesar di dunia, walaupun
sesuai informasi terakhir menyatakan bahwa sampai akhir Juni 2005
pemerintah sudah tidak perlu mengimpor beras lagi karena produksi nasional
sudah mencapai 30 juta ton. Namun dengan terjadinya banyak kekeringan
3
lahan persawahan yang terjadi akhir-akhir ini akan dapat mengancam
ketersediaan pangan untuk waktu-waktu yang akan datang.
B. PRODUKSI PANGAN UTAMA
Sejak awal 1990-an laju produksi pangan Indonesia secara umum
telah mengalami perlambatan yang signifikan atau pertumbuhan produksi
telah mencapai pada peningkatan yang semakin menurun. Penggunaan
benih unggul, pupuk dan pestisida atau yang lebih dikenal dengan teknologi
biologi-kimiawi yang selama ini merupakan andalan utama kemungkinan
sudah mencapai titik jenuh. Penurunan luas lahan pertanian produktif
khususnya di Jawa dan Bali akibat konversi status lahan bagi peruntukan
pembangunan lainnya merupakan ancaman yang sangat serius terhadap
kelestarian produksi pertanian.
Apalagi secara empiris telah terbukti bahwa secara agroekologis
Jawa Bali memiliki lahan dengan jenis tanah yang paling sesuai untuk
tanaman dan hortikultura dan sebagainya. Dalam kurun waktu 10 tahun
(1983-1993) pulau Jawa kehilangan satu juta hektar lahan pertanian dari
sekitar enam juta hektar yang tersedia (LPKM IPB, 1998. Diperkirakan di
awal abad ke-21 kecepatan lahan pertanian yang berubah fungsi akan
meningkat menjadi rata-rata sekitar 45.000 ha/tahun.
Fenomena ini sangat mengancam kelestarian ketersediaan beras dan
produksi pertanian lainnya, karena sampai saat ini pulau Jawa yang luasnya
hanya sekitar tujuh persen dari total luas lahan Indonesia memproduksi beras
hampir 60 persen dari total produksi beras nasional. Hal tersebut juga
ditunjang oleh terjadinya kemarau panjang sejak tahun 2002 (merusak areal
persawahan sampai 350 ribu hektar dan membuat gabah hampa/puso
hampir 42 ribu hektar) dan berulang pada tahun 2003 (merusak areal panen
450 ribu hektar dan puso mencapai 100 hektar).
Di tingkat dunia, kecenderungan yang sama juga terjadi. Pada
periode 1990-1996, produktivitas hanya naik sebesar tiga persen atau sekitar
4
0,5 persen per tahun, yang jauh lebih kecil dari laju pertumbuhan penduduk
dunia yang mencapai 1,6 persen per tahun (Arifin, 2004). Apabila tidak terjadi
lagi penemuan teknologi baru di bidang pertanian keberlanjutan produksi
pangan dunia juga akan terancam.
Tabel 1. Luas panen, produktivitas, produksi dan impor beras, 1990-2003
Tahun
Luas panen
Produktivitas
(ton/ha)
Produksi
gabah
(000 ha)
Produksi berasa)
Impor berasb)
(000 ton)
(000 ton)
(000 ton)
1990
10.502
4,30
45.179
29.366
29
1991
10.282
4,35
44.689
29.048
178
1992
11.103
4,34
48.240
31.356
634
1993
11.013
4,38
48.181
31.318
0
1994
10.734
4,35
46.641
30.317
876
1995
11.439
4,35
49.744
32.334
3.014
1996
11.569
4,41
51.101
33.215
1.090
1997
11.141
4,43
49.377
32.095
406
1998
11.613
4,17
48.472
30.537
5.765
1999
11.963
4,25
50.866
31.118
4.183
2000
11.793
4,40
51.898
32.345
1.513
2001
11.415
4,39
50.181
31.283
1.400
2002
11.521
4,47
51.379
32.369
3.100
2003c)
11.477
4,54
52.079
32.809
3.700
5
Sumber : Arifin, 2004
a) Faktor konversi 0,65 setelah tahun 1989, lalu menurun menjadi 0,63
setelah tahun 1989
b) Data impor beras dikumpulkan dari berbagai sumber
c) Pada tahun 2003 produksi nasional beberapa komoditas tersebut
meningkat dibandingkan tahun 2002.
Tabel 2. Produksi beberapa bahan pangan utama tahun 2002 dan tahun 2003
Komoditas
Produksi (000 ton)
2002
2003
Jagung
9.654
10.910
Kedelai
673
672
1.755
1.630
373
397
1.083
1.180
Susu
493
578
Telur
946
1.060
Ikan
5.659
5.889
Gula
Daging sapi
Daging ayam
Sumber : Departemen Pertanian, 2004
6
C. NERACA BAHAN PANGAN UTAMA
Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan produksi pangan
Indonesia tidak mampu memenuhi peningkatan permintaan yang juga selalu
meningkat.
Tabel 3.
Pertumbuhan produksi, konsumsi dan rata-rata pangsa produksi terhadap
produksi domestik pangan utama tahun 1970-2003 (persen)
Pangan
Pertumbuhan
Pertumbuhan
utama
Produksi/tahun
Konsumsi/tahun
1970-2001
1970-2001
Rata-rata pangsa produksi terhadap
konsumsi domistik
19702001
2002a)
2003a)
Beras
3,14
2,96
95,50
94,42
94,18
Jagung
3.94
4,63
98,52
88,81
97,18
Kedelai
1,65
4,55
76,20
13,06*)
12,86*)
Gula
1,35
2,53
84,67
68,96
62,86
Daging sapi
2,04
2,20
98,18
102,19
102,17
Daging ayam
8,83
8,83
99,79
105,45
107,27
Susu
5,02
4,29
43,66
32,26
34,17
Telur
7,89
7,85
99,93
80,78
99,16
Ikan
4,51
3,34
100,75
135,09
120,52
Sumber : Neraca pangan FAO, 2003 dalam Arifin (2004)
a) Departemen Pertanian , 2004 diolah
*) Kedelai termasuk bungkil kedelai yang dikonversi dalam bentuk biji
(kedelai : bungkil adalah 1 : 1)
Berdasarkan data neraca bahan pangan FAO (2003) dalam Arifin
(2004) serta data dari Departemen Pertanian tahun 2004, rasio produksi
7
terhadap konsumsi bahan pangan utama Indonesia semua berada dibawah
100 persen kecuali ikan periode 1970-2003 dan daging ayam serta daging
sapi tahun 2002 dan 2003.
D. KETERGANTUNGAN IMPOR
Dari pertumbuhan produksi dan konsumsi pangan utama tersebut
(Tabel 3) terlihat indikasi kebutuhan impor beberapa komoditas seperti beras,
jagung, kedelai, gula, susu dan telur. Ketergantungan impor tersebut tidak
semuanya tinggi, kecuali pada kedelai (termasuk bungkil kedelai), gula dan
susu dengan defisit masing-masing sekitar 87 persen, 37 persen dan 66
persen tahun 2003. Tingginya tingkat ketergantungan Indonesia terhadap
susu impor harus menjadi perhatian yang serius, walaupun laju peningkatn
produksi susu telah cukup tinggi, yaitu lima persen per tahun (periode 19712001).
Laju produk beras Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir
sebenarnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan laju konsumsinya. Hal
yang harus diwaspadai saat ini adalah ketergantungan Indonesia terhadap
impor beras semakin besar (tahun 2003 impor beras Indonesia mencapai 3,7
juta ton). Sejak tahun 1997 laju peningkatan produksi beras hanya 0,5 persen
per tahun sementara peningkatan konsumsi beras mencapai 0,8 persen per
tahun, Sementara itu menurut data Survai Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) , tingkat konsumsi beras per kapita telah menurun sampai 116
kilogram per tahun.(Arifin, 2004). Oleh karena itu gejala ketagihan impor
beras Indonesia sebenarnya lebih banyak didorong karena pencarian
keuntungan dari para pelaku karena aktivitas impor ini mampu menghasilkan
keuntungan berlipat.
Selama tiga dasawarsa terakhir produksi jagung domistik tumbuh
cukup lambat (3,9 %) dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi (4,6 %),
sehingga impor jagungpun tidak dapat dihindarkan. Data terakhir yang
8
diperoleh menunjukkan bahwa produksi jagung domistik hanya 9,3 juta ton,
sedangkan konsumsinya mencapai 10,3 juta ton sehingga Indonesia perlu
impor jagung sekitar satu juta ton per tahun.Komoditas kedelai
tampaknya cukup berat untuk diselamatkan dalam waktu singkat. Perbedaan
laju pertumbuhan produksi dan pertumbuhan konsumsi serta kecilnya rasio
produksi terhadap konsumsi memperkuat kekhawatiran tersebut. Kedelai
memang bukan merupakan tanaman khas Indonesia karena lebih sesuai di
daerah sub tropis. Secara agronomispun kendala iklim dan serangan hama
penyakit tanaman kedelai di Indonesia cukup sukar untuk ditanggulangi oleh
petani (Arifin, 2004).
Ketergantungan Indonesia terhadap impor gula selama tiga dasa
warsa terakhir sudah cukup besar. Dengan laju pertumbuhan konsumsi yang
lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan produksi menjadikan
Indonesia selalu tergantung pada gula impor yang mencapai 1,6 juta
ton/tahun (no 2 di dunia) (Darmawan dan Masroh, 2004). Aktivitas impor gula
juga sering terpeleset menjadi pencarian keuntungan para pengusaha dan
politisi karena marjin keuntungan yang diperoleh sangat besar.
Kinerja yang cukup baik hanya ditunjukkan oleh sektor peternakan
dan perikanan terutama untuk daging sapi, daging ayam dan ikan yang
pangsa produksi dan konsumsi untuk tahun-tahun terakhir sudah melebih
100 persen. Untuk produk susu yang tingkat ketergantungan impornya cukup
tinggi yaitu sebesar 140.000 ton tahun 2003.
E. DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN UTAMA
Stabilitas harga pangan merupakan petunjuk dari stabilitas pasokan,
yang merupakan salah satu elemen penting ketahanan pangan. Tabel 4
menunjukkan data harga beberapa komoditas pangan beserta koevisien
variasi harga bulanannya. Koevisien ini mengindikasikan tingkat fluktuasi
harga, semakin besar koesisien variasi semakin tinggi fluktuasi harga yang
berarti semakin tidak stabil harga komoditas yang bersangkutan.
9
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar komoditas pangan pada
tahun 2003 relatif lebih stabil dibandingkan tahun 2002, kecuali gula pasir
lokal dan daging sapi yang lebih berfluktuatif tetapi tidak terlalu nyata. Kondisi
yang relative stabil pada tahun 2003 menunjukkan bahwa sistem distribusi
pangan berfungsi lebih baik.
Khusus untuk beras walaupun tahun 2003 harganya relatif stabil ,
namun jika dibandingkan dengan harga beras dunia FOB (ekivalen dengan
Rp 1.600,- per kilogram atau sekitar Rp 2.200,- per kilogram setelah
ditambah biaya angkut, asuransi dan sebagainya) ternyata harga eceran
beras domistik (Rp 2.879,- per kilogram) masih jauh di atasnya. Implikasi
perbedaan marjin harga tersebut adalah bahwa pasar beras domestik sangat
menggiurkan bagi siapa saja yang menjalankan aktivitas usaha dagang,
khususnya impor beras. Hal inilah yang pernah menyebabkan Indonesia
mengalami “banjir beras impor”.
Jika dilihat dari harga gabah terjadi hal yang luar biasa, yaitu
anjloknya harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani sampai kurang
dari Rp 1.200,- per kilogram yang berarti jauh di bawah harga dasar (Rp
1.750,- per kilogram). Tahun 2003, kebijakan harga dasar gabah bisa
dikatakan tidak efektif sama sekali karena lebih dari 50 persen harga yang
diterima petani di bawah harga dasar.
Tabel 4.
Harga rata-rata dan koefisien variasi harga bulanan beberapa
komoditas pangan tahun 2002 dan 2003
Komoditas
Harga rata-rata (Rp/kg)
2002
2003
Koefisien variasi
2002
2003
Beras
2.889
2.789
6,63
4,58
Gula pasir lokal
3.588
4.349
6,98
8,01
Gula pasir impor
3.657
4.386
6,70
6,73
Kacang tanah
6.765
7.302
5,26
3,18
10
Daging sapi
33.768
34.474
2,55
1,15
Daging ayam
12.064
11.192
4,99
5,53
7.209
6.491
6,30
5,65
Telur ayam Ras
Sumber : Deperindag dalam Departemen Pertanian (2004)
Tabel 5.
Harga bulanan gabah di tingkat petani dan harga beras dunia tahun 2003
Bulan
Harga gabah
petani (Rp/kg)
Harga beras
dunia
Nilai tukar rupiah
Harga beras
dunia
(Rp/US $)
(US $/ton
(Rp/kg)
Januari
1.252
185,3
8.876
1.645
Februari
1.271
182,3
8.905
1.623
Maret
1.232
180,3
8.908
1.606
April
1.173
178,6
8.675
1.549
Mei
1.217
180,8
8.279
1.497
Juni
1.357
186,2
8.285
1.543
Juli
1.500
182,3
8.505
1.550
Agustus
1.700
178,5
8.547
1.526
September
1.679
180,0
8.455
1.522
Oktober
1.595
181,5
8.489
1.541
November
1.559
179,5
8.503
1.526
Desember
1.530
180,0
8.458
1.522
Rata-rata
2003
1.422
181,3
8.574
1.557
Sumber : Arifin, 2004
11
Keterangan : Harga dasar gabah tahun 2003 sebesar Rp 1.750,- per kilogram
Harga gabah dibawah referensi tahun 2003 sebesar 50,30 persen
F. GUNUNGKIDUL DAN TEPUNG MOCAF
Gunungkidul adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Yogyakarta.
Gunungkidul terkenal akan daerahnya yang tandus. Dengan kondisi alam
yang kering, wilayah Gunungkidul tidak memungkinkan untuk dijadikan
wilayah pertanian dalam arti untuk produksi beras karena sebagian wilayah
(sawah) di Gunungkidul adalah sawah tadah hujan. Maka dari itu, di
Gunungkidul hanya memproduksi beras dalam sekali panen saja dalam satu
tahun.
Wilayah Gunungkidul hanya bisa di tanami tanaman palawija yang
meliputi jagung, ketela, kacang dan kedelai karena. Namun di balik kondisi
alam yang tandus, Gunungkidul memiliki potensi dalam bidang pangan.
Contohnya saja pada pengembangan-pengembangan dari hasil palawija
yang sudah mulai populer yaitu tepung mocaf. Mocaf adalah kepanjangan
dari Modified Cassava Flour. Kualitas dari mocaf sendiri tidak kalah dengan
tepung terigu. Tepung mocaf juga bisa menjadi bahan baku makananmakanan yang menggunakan bahan tepung. misalnya kue kering (cookies,
nastar, kastengel dll), kue basah (cake , kue lapis, brownies, spongy) dan roti
tawar.
Mocaf juga dapat dijadikan bihun, dan makanan lain yang berbahan
baku tepung beras/ gandum. Namun dalam penggunaanya sendiri, tepung
mocaf harus sedikit di campur dengan tepung gandum sedikat. Karena
walaupun tepung mocaf adalah tepung yang telah mengalami modifikasi, tapi
tepung mocaf masih membawa sifat aslinya seperti tepung tapioka yang
12
lengket. Tepung mocaf juga tidak bisa di simpan terlalu lama. Karena apabila
disimpan terlalu lama, hasil olahan dari tepung mocaf akan berbau apek.
Kabupaten Gunung Kidul terdiri atas 18 kecamatan, yang dibagi lagi
atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan
Wonosari.
Gunungkidul HANDAYANI berarti:
Hijau, Aman, Normatif, Dinamis, Amal, Yakin, Asah Asih Asuk, Nilai
Tambah, dan Indah.
LETAK DAERAH :
• Bujur Timur 110° 21’ – 110° 50’
• Lintang Selatan 7° 46’ – 8° 09’
BATAS WILAYAH
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kab. Klaten & Kab. Sukoharjo
Prop. Jawa Tengah
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Samudera Indonesia
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kab. Bantul & Kab. Sleman
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kab. Wonogiri Prop. Jawa
Tengah
13
14
Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul adalah sebagai
berikut : Gedangsari,
Girisubo, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Paliyan,
Panggang, Patuk, Playen, Ponjong, Purwosariidul, Rongkop, Saptosari,
Semanu, Semin, Tanjungsari, Tepus, Wonosari.Sebagai wilayah kabupaten
terluas dari propinsi Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul memiliki potensi
wisata alam yang sangat besar untuk dilestarikan dan dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat. Kabupaten yang terletak di sebelah selatan Yogyakarta
ini sebagian besar adalah dataran tinggi.
G. PELUANG PASAR TEPUNG MOCAF
Kenaikan harga terigu akhirnya memberi harapan baru kepada
komoditi penggantinya atau komoditi substitusinya seperti tepung mocaf dan
tepung-tepung bahan ubi-ubian lainnya. Maka muncullah upaya-upaya kreatif
untuk mengatasi trend yang kalau tidak diatasi akan mematikan usaha
bidang pangan dengan bahan dasar tepung terigu. Industri pangan berbahan
tepung terigu ini sangat luas, mulai dari aneka jenis roti, aneka jenis mie,
aneka kue-kue basah dan kering, dll. Industri-industri ini menggunakan
tepung terigu dengan berbagai komposisi.
Kehadiran tepung Mocaf sebagai alternative substitusi tepung terigu
memberi harapan baru bagi para pelaku industry pangan berbahan tepung
terigu. Berbagai percobaan akhirnya dilakukan untuk mengetahui sampai
seberapa banyak peran substitusi tepung mocaf ini dalam pembuatan aneka
pangan yang semula berbahan tepung terigu. Tentu saja belum semua peran
tepung terigu bisa digantikan sepenuhnya. Dari beberapa hasil ujicoba
15
penggantian tepung terigu dengan tepung mocaf dapat disampaikan daftar
prosentasi substitusinya pada aneka produk pangan berikut.
Tabel 6. Substitusi tepung mocaf
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Formula produk olahan pangan dari tepung kasava untuk substitusi terigu
Nama Produk
Substitusi Tepung Kasava Tepung yang Disubstitusi
Cookies kue kering
100
Terigu
Cheese stick
100
Terigu
Telor Gabus
100
Terigu
Biji Ketapang
50-100
Terigu
Lapis Legit
100
Terigu
Kerupuk
30-50
Terigu, Tapioka
Bolu Kukus
50
Terigu
Bika Ambon
30
Tapioka
Cake Gula Aren
50
Terigu
Donat
50
Terigu
Mie
30-40
Terigu
Dadar Gulung
75
Terigu
Dodol
100
Terigu
Bubur Candil
50
Tepung Beras
Klepon
50
Tepung Ketan
Empek-Empek
100
Tapioka
Jongkong
30
Terigu
Pastel
50
Terigu
Martabak Telor
50
Terigu
Roti Tawar
30-40
Terigu
Black Forest
100
Terigu
Cake Maharani
100
Terigu
Angka besaran impor tepung terigu Indonesia sudah mencapai angka
6 juta ton tiap tahun. Oleh karena itulah maka sudah waktunya kita
menghargai produk kita sendiri, yaitu dengan jalan mensubstitusinya atau
menggantinya dengan tepung mocaf. Kepala Badan juga menginformasikan
bahwa PT. Indofood memberi sinyal untuk menerima tepung mocaf dari para
industry tepung mocaf sebesar 50.000 ton per bulan, atau sebesar 600.000
ton dalam setahun, atau 10 % dari volume import tepung terigu.
Untuk memproduksi 600.000 ton tepung mocaf per tahun, berarti
diperlukan bahan baku ubikayu segar sebanyak 2,4 juta ton per tahun yang
16
dipanen dari kebun singkong dengan luas sekitar 60.000 hektar. Hitungan
tadi menggunakan asumsi rendemen ubi menjadi tepung 25 % dengan
produktifitas lahan 40 ton/ha. Namun kalau kita menggunakan angka asumsi
yang
lebih
optimis,
misalnya rendemen
30%
sedang
produktifitas
mencapai 60 ton/ha/12 bulan, berarti hanya perlu lahan sekitar 30.000 hektar,
atau separuh dari asumsi yang pertama tadi.
H. BEBERAPA PERMASALAHAN DAN TANTANGAN
Dengan kondisi pangan utama kita yang sebagian besar masih
tergantung pada impor, maka masalah pangan tidak lagi dapat ditunda.
Jumlah penduduk yang kekurangan pangan, gizi buruk dan busung lapar
semakin meningkat, hal ini merupakan pelanggaran hak azasi yang paling
serius. Namun disadari sepenuhnya bahwa pembangunan ketahanan pangan
bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan dengan cepat. Terdapat beberapa
permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi, antara lain :
1. Masalah kemiskinan menjadi masalah yang paling serius dikaitkan dengan
ketahanan pangan.Telah terjadinya kerawanan pangan di beberapa
daerah, baik pada berbagai kasus kelaparan maupun mutu pangan yang
rendah.
2. Pertambahan jumlah penduduk yang semakin menekan ketersediaan
sumberdaya alam yang dapat digunakan untuk menyediakan pangan
3. Alih fungsi lahan pertanian yang semakin besar setiap tahunnya
4. Telah terjadinya kekeringan lahan sawah di beberapa daerah yang
mengancam ketersediaan pangan
5. Keterbukaan global, telah menjadikan pangan sebagai salah satu komoditi
yang paling menentukan dalam komunikasi dan percaturan kepentingan
global.
17
6. Telah terjadi gejala “keterjebakan” pangan yang serius , terutama dengan
semakin banyaknya komoditas pangan yang harus diimpor dalam jumlah
yang relatif besar dibandingkan dengan kebutuhan.
Berdasarkan permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi serta
kondisi pangan utama Indonesia, maka dalam membangun ketahanan
pangan sudah bukan merupakan pilihan lagi antara menghasilkan pangan
sendiri atau mengandalkan pada pasar bebas dunia. Kedua cara pemenuhan
pangan (memproduksi sendiri dan dari pasar dunia) harus digunakan secara
bersama-sama, terkait dan dalam satu gerak kebijakan dan pengelolaan yang
terpadu.
I. KEBIJAKAN PANGAN
Kebijakan
pangan
merupakan
bagian
integral
dari
kebijakan
pembangunan nasional. Secara spesifik, kebijakan tersebut dirumuskan
untuk mengelola potensi nasional, memanfaatkan peluang, serta mengatasi
masalah dan tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Beberapa
rekomendasi kebijakan pangan yang perlu diterapkan dan dilanjutkan adalah
sebagai berikut.
1. Adanya jaminan ketersediaan pangan bagi penduduk miskin dan rawan
pangan di seluruh pelosok tanah air termasuk daerah-daerah yang
tertimpa bencana alam.
2. Perlu adanya kebijakan untuk mengelola pertumbuhan penduduk yang
bertujuan mengharmoniskan kualitas dan kuantitas kependudukan
3. Mengefektifkan kebijakan yang mengembangkan sistem insentif untuk
mengendalikan konversi lahan pertanian dan mendorong persebaran
penduduk dengan menyebarkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke
luar Jawa.
18
4. Untuk mengatasi kekeringan, kebijakan yang harus ditempuh antara
lain : upaya-upaya konkret seperti penyiapan dan pemberian bantuan
bahan pangan dan air minum/air bersih; realisasi pemberian kredit
pedesaan untuk aktivitas ekonomi dan alternatif lapangan kerja
nonpertanian; disamping itu kebijakan untuk memperbaiki pengelolaan
sumber daya air melalui konservasi air.
5. Pemerintah harus terus menerus memberikan perangsang pada petani
produsen beras domestik agar bergairah meningkatkan produksi beras
jika perlu melalui berbagai subsidi sarana produksi termasuk kredit
usaha tani.
6. Melanjutkan pelaksanaan program akselerasi peningkatan produktivitas
industri gula nasional.
7. Di tingkat paling dasar pemerintah dan Bulog beserta jajarannya di
daerah wajib melaksanakan tugasnya, yaitu melaksanakan pengadaan
beras, membeli gabah petani sesuai harga dasar (HPP) atau paling
tidak harga di tingkat petani jangan sampai terlalu jauh dari harga
referensi.
8. Pemerintah memberi kemudahan bagi importer dan distributor pada
saat produksi dalam negeri anjlok karena hal-hal yang sukar dihindari ,
sehingga impor beras justru sangat diperlukan serta diikuti sanksi
hukum bagi semua pelaku impor illegal. Pemerintah juga harus tetap
melaksanakan kebijakan subsidi di daerah-daerah rawan pangan.
Sebaliknya pada musim panen raya atau pada saat produksi domestik
melimpah, pengenaan bea masuk impor jelas sangat relevan, karena
petani harus dilindungi dari ancaman anjloknya tingkat harga.
9. Semangat otonomi daerah harus dijadikan modal utama untuk segera
melakukan desentralisasi manajemen stok beras.
Akhirnya pemerintah harus segera merumuskan suatu kebijakan
pangan yang menyeluruh serta menjadi acuan semua pihak, yang meliputi
19
kejelasan keterkaitan antara kebijakan harga dasar (HPP), kebijakan tariff,
konversi lahan, pembangunan infrastruktur, sistem perbankan, riset dan
lain-lain. Kebijakan pangan yang komprehensif tersebut harus mengurangi
ketergantungan yang berlebihan pada beras dengan menyeimbangkan
harga relatif beras terhadap pangan lain dan mengembangkan berbagai
infrastruktur penunjang bagi pengembangan kegiatan non beras., walaupun
kebijakan perberasan masih merupakan salah satu komponen utamanya.
J. PENUTUP
Sebagai negara yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam dan
keanekaragaman hayati yang relatif besar, ditunjang oleh banyaknya ahli
pertanian,
Indonesia
mempunyai
peluang
yang
cukup
besar
untuk
mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Semuanya itu
tergantung dari komitmen, kesungguhan dan keteladanan semua pihak, baik
di kalangan pemerintah, politisi, pengusaha, perguruan tinggi, media masa
dan masyarakat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul, 2004. “Ekonomi Pertanian Indonesia”. Penerbit Buku Kompas,
Jakarta
Darmawan, Thomas dan Masroh, Antuji H, 2004. Pentingnya Nilai Tambah
Produk Pertanian. Dalam “Pertanian Mandiri, Pandangan Strategis Para
Pakar untuk Kemajuan Pertanian Indonesia”, 2004. Penebar Swadaya
Jakarta
21
Departemen Pertanian, 2004. “Kebijakan dan Kondisi Ketahanan Pangan
Indonesia”. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Jakarta.
Juarini.
2006. KONDISI DAN KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA.
http://agriculture.upnyk.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=86:kondisi-dan-kebijakan-panganindonesia&catid=52:2006&Itemid=88. Di akses pada tanggal 3 Juni 2012
Krisnamurthi, Bayu, 2003. Rekonstruksi Kebijakan Pangan Indonesia (Indonesia
Food
Policy
Reconastuction)
Isyu
dan
Agenda.
Dalam
“Penganekaragaman Pangan, Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah”,
2003. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.
Suryana, Ahmad, 2003. Refleksi 40 Tahun dan Perspektif Penganekaragaman
Pangan dalam Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Dalam
“Penganekaragaman Pangan, Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah”,
2003. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.
22
(Kasus Di Gunung Kidul)
Disusun Oleh:
1. Ari Rahmawati
(135090021)
2. Galih Damar Adya
(135090034)
3. Ika Ramadhani
(135090014)
4. Imron Manistiyanto
(135090032)
5. Intan Permatasari
(135090031)
6. Rohmat Khoiruddin
(135100095)
Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional
UPN “Veteran” Yogyakarta
2012
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................... i
A.
PENDAHULUAN...........................................................................................1
B.
PRODUKSI PANGAN UTAMA.......................................................................4
C.
NERACA BAHAN PANGAN UTAMA..............................................................6
D.
KETERGANTUNGAN IMPOR.......................................................................6
E.
DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN UTAMA...........................8
F.
GUNUNGKIDUL DAN TEPUNG MOCAF....................................................10
G. PELUANG PASAR TEPUNG MOCAF.........................................................12
H.
BEBERAPA PERMASALAHAN DAN TANTANGAN.....................................13
I.
KEBIJAKAN PANGAN.................................................................................14
J.
PENUTUP...................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17
1
A. PENDAHULUAN
Pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa.
Banyak contoh negara dengan sumber ekonomi cukup memadai tetapi
mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan
bagi penduduknya. Sejarah juga menunjukkan bahwa strategi pangan
banyak digunakan untuk menguasai pertahanan musuh. Dengan adanya
ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkraman
penjajah/musuh. Dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian
dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari
sisi untung rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang
mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan
air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan , pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman
(Suryana, 2003). Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi
manusia setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu,
rumah tangga, dan komunitas merupakan hak azasi manusia (Krisnamurthi,
2003).
Ketahanan pangan menurut Undang-undang No, 7 Tahun 1996
tentang pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik
dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Departemen
Pertanian, 2004).
Mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan telah disepakati
menjadi salah satu prioritas utama pembangunan nasional di Indonesia.
Paling tidak ada tiga alasan penting yang melandasi kesepakatan tersebut :
Pertama, ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak
azasi atas pangan setiap penduduk; kedua konsumsi pangan dan gizi yang
cukup merupakan basis bagi pembentukan sumberdaya manusia yang
berkualitas; ketiga, ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan
ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional.
1
Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa, termasuk
Indonesia
memberikan
pelajaran
bahwa
ketahanan
pangan
harus
diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional, karena
ketergantungan yang besar pada pangan impor menyebabkan kerentanan
terhadap gejolak ekonomi, sosial dan politik.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan pangan adalah bagaimana
memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak terutama rakyat miskin dilihat
dari aspek ketersediaan, jumlah, mutu, harga, kontinuitas, keterjangkauan
dan stabilitas. Sebagai negara agraris dengan kondisi iklim, kesuburan tanah
dan para ahli pertanian yang begitu banyak hampir semua produk pangan
yang dibutuhkan pada dasarnya dapat diproduksi di Indonesia. Namun,
ironisnya Indonesia yang pernah berswasembada beras pada tahun 1984
ternyata kini harus mengimpor sebagian besar kebutuhan pangannya.
Bahkan pada tahun 2003 Indonesia adalah Negara pengimpor beras terbesar
di dunia, walaupun sesuai informasi terakhir menyatakan bahwa sampai akhir
Juni 2005 pemerintah sudah tidak perlu mengimpor beras lagi karena
produksi nasional sudah mencapai 30 juta ton. Namun dengan terjadinya
banyak kekeringan lahan persawahan yang terjadi akhir-akhir ini akan dapat
mengancam ketersediaan pangan untuk waktu-waktu yang akan datang.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan
air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan , pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman
(Suryana, 2003). Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi
manusia setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu,
rumah tangga, dan komunitas merupakan hak azasi manusia (Krisnamurthi,
2003).
Ketahanan pangan menurut Undang-undang No, 7 Tahun 1996
tentang pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik
dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Departemen
Pertanian, 2004).
2
Mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan telah disepakati
menjadi salah satu prioritas utama pembangunan nasional di Indonesia.
Paling tidak ada tiga alasan penting yang melandasi kesepakatan tersebut :
Pertama, ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak
azasi atas pangan setiap penduduk; kedua konsumsi pangan dan gizi yang
cukup merupakan basis bagi pembentukan sumberdaya manusia yang
berkualitas; ketiga, ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan
ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional.
Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa, termasuk
Indonesia
memberikan
pelajaran
bahwa
ketahanan
pangan
harus
diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional, karena
ketergantungan yang besar pada pangan impor menyebabkan kerentanan
terhadap gejolak ekonomi, sosial dan politik.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan pangan adalah bagaimana
memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak terutama rakyat miskin dilihat
dari aspek ketersediaan, jumlah, mutu, harga, kontinuitas, keterjangkauan
dan stabilitas. Fenomena yang ada saat ini menunjukkan bahwa pertanyaan
tersebut masih belum dapat dijawab secara tuntas. Kasus gizi buruk dan
busung lapar NTT dan NTB juga ancaman busung lapar di daerah Solo dan
Boyolali dan juga jatah Raskin di daerah Klaten yang tidak mencukupi serta
daerah-daerah lain yang rawan pangan merupakan bukti dari pertanyaan
yang belum bisa dijawab.
Sebagai negara agraris dengan kondisi iklim, kesuburan tanah dan
para ahli pertanian yang begitu banyak hampir semua produk pangan yang
dibutuhkan pada dasarnya dapat diproduksi di Indonesia. Namun, ironisnya
Indonesia yang pernah berswasembada beras pada tahun 1984 ternyata kini
harus mengimpor sebagian besar kebutuhan pangannya. Bahkan pada tahun
2003 Indonesia adalah Negara pengimpor beras terbesar di dunia, walaupun
sesuai informasi terakhir menyatakan bahwa sampai akhir Juni 2005
pemerintah sudah tidak perlu mengimpor beras lagi karena produksi nasional
sudah mencapai 30 juta ton. Namun dengan terjadinya banyak kekeringan
3
lahan persawahan yang terjadi akhir-akhir ini akan dapat mengancam
ketersediaan pangan untuk waktu-waktu yang akan datang.
B. PRODUKSI PANGAN UTAMA
Sejak awal 1990-an laju produksi pangan Indonesia secara umum
telah mengalami perlambatan yang signifikan atau pertumbuhan produksi
telah mencapai pada peningkatan yang semakin menurun. Penggunaan
benih unggul, pupuk dan pestisida atau yang lebih dikenal dengan teknologi
biologi-kimiawi yang selama ini merupakan andalan utama kemungkinan
sudah mencapai titik jenuh. Penurunan luas lahan pertanian produktif
khususnya di Jawa dan Bali akibat konversi status lahan bagi peruntukan
pembangunan lainnya merupakan ancaman yang sangat serius terhadap
kelestarian produksi pertanian.
Apalagi secara empiris telah terbukti bahwa secara agroekologis
Jawa Bali memiliki lahan dengan jenis tanah yang paling sesuai untuk
tanaman dan hortikultura dan sebagainya. Dalam kurun waktu 10 tahun
(1983-1993) pulau Jawa kehilangan satu juta hektar lahan pertanian dari
sekitar enam juta hektar yang tersedia (LPKM IPB, 1998. Diperkirakan di
awal abad ke-21 kecepatan lahan pertanian yang berubah fungsi akan
meningkat menjadi rata-rata sekitar 45.000 ha/tahun.
Fenomena ini sangat mengancam kelestarian ketersediaan beras dan
produksi pertanian lainnya, karena sampai saat ini pulau Jawa yang luasnya
hanya sekitar tujuh persen dari total luas lahan Indonesia memproduksi beras
hampir 60 persen dari total produksi beras nasional. Hal tersebut juga
ditunjang oleh terjadinya kemarau panjang sejak tahun 2002 (merusak areal
persawahan sampai 350 ribu hektar dan membuat gabah hampa/puso
hampir 42 ribu hektar) dan berulang pada tahun 2003 (merusak areal panen
450 ribu hektar dan puso mencapai 100 hektar).
Di tingkat dunia, kecenderungan yang sama juga terjadi. Pada
periode 1990-1996, produktivitas hanya naik sebesar tiga persen atau sekitar
4
0,5 persen per tahun, yang jauh lebih kecil dari laju pertumbuhan penduduk
dunia yang mencapai 1,6 persen per tahun (Arifin, 2004). Apabila tidak terjadi
lagi penemuan teknologi baru di bidang pertanian keberlanjutan produksi
pangan dunia juga akan terancam.
Tabel 1. Luas panen, produktivitas, produksi dan impor beras, 1990-2003
Tahun
Luas panen
Produktivitas
(ton/ha)
Produksi
gabah
(000 ha)
Produksi berasa)
Impor berasb)
(000 ton)
(000 ton)
(000 ton)
1990
10.502
4,30
45.179
29.366
29
1991
10.282
4,35
44.689
29.048
178
1992
11.103
4,34
48.240
31.356
634
1993
11.013
4,38
48.181
31.318
0
1994
10.734
4,35
46.641
30.317
876
1995
11.439
4,35
49.744
32.334
3.014
1996
11.569
4,41
51.101
33.215
1.090
1997
11.141
4,43
49.377
32.095
406
1998
11.613
4,17
48.472
30.537
5.765
1999
11.963
4,25
50.866
31.118
4.183
2000
11.793
4,40
51.898
32.345
1.513
2001
11.415
4,39
50.181
31.283
1.400
2002
11.521
4,47
51.379
32.369
3.100
2003c)
11.477
4,54
52.079
32.809
3.700
5
Sumber : Arifin, 2004
a) Faktor konversi 0,65 setelah tahun 1989, lalu menurun menjadi 0,63
setelah tahun 1989
b) Data impor beras dikumpulkan dari berbagai sumber
c) Pada tahun 2003 produksi nasional beberapa komoditas tersebut
meningkat dibandingkan tahun 2002.
Tabel 2. Produksi beberapa bahan pangan utama tahun 2002 dan tahun 2003
Komoditas
Produksi (000 ton)
2002
2003
Jagung
9.654
10.910
Kedelai
673
672
1.755
1.630
373
397
1.083
1.180
Susu
493
578
Telur
946
1.060
Ikan
5.659
5.889
Gula
Daging sapi
Daging ayam
Sumber : Departemen Pertanian, 2004
6
C. NERACA BAHAN PANGAN UTAMA
Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan produksi pangan
Indonesia tidak mampu memenuhi peningkatan permintaan yang juga selalu
meningkat.
Tabel 3.
Pertumbuhan produksi, konsumsi dan rata-rata pangsa produksi terhadap
produksi domestik pangan utama tahun 1970-2003 (persen)
Pangan
Pertumbuhan
Pertumbuhan
utama
Produksi/tahun
Konsumsi/tahun
1970-2001
1970-2001
Rata-rata pangsa produksi terhadap
konsumsi domistik
19702001
2002a)
2003a)
Beras
3,14
2,96
95,50
94,42
94,18
Jagung
3.94
4,63
98,52
88,81
97,18
Kedelai
1,65
4,55
76,20
13,06*)
12,86*)
Gula
1,35
2,53
84,67
68,96
62,86
Daging sapi
2,04
2,20
98,18
102,19
102,17
Daging ayam
8,83
8,83
99,79
105,45
107,27
Susu
5,02
4,29
43,66
32,26
34,17
Telur
7,89
7,85
99,93
80,78
99,16
Ikan
4,51
3,34
100,75
135,09
120,52
Sumber : Neraca pangan FAO, 2003 dalam Arifin (2004)
a) Departemen Pertanian , 2004 diolah
*) Kedelai termasuk bungkil kedelai yang dikonversi dalam bentuk biji
(kedelai : bungkil adalah 1 : 1)
Berdasarkan data neraca bahan pangan FAO (2003) dalam Arifin
(2004) serta data dari Departemen Pertanian tahun 2004, rasio produksi
7
terhadap konsumsi bahan pangan utama Indonesia semua berada dibawah
100 persen kecuali ikan periode 1970-2003 dan daging ayam serta daging
sapi tahun 2002 dan 2003.
D. KETERGANTUNGAN IMPOR
Dari pertumbuhan produksi dan konsumsi pangan utama tersebut
(Tabel 3) terlihat indikasi kebutuhan impor beberapa komoditas seperti beras,
jagung, kedelai, gula, susu dan telur. Ketergantungan impor tersebut tidak
semuanya tinggi, kecuali pada kedelai (termasuk bungkil kedelai), gula dan
susu dengan defisit masing-masing sekitar 87 persen, 37 persen dan 66
persen tahun 2003. Tingginya tingkat ketergantungan Indonesia terhadap
susu impor harus menjadi perhatian yang serius, walaupun laju peningkatn
produksi susu telah cukup tinggi, yaitu lima persen per tahun (periode 19712001).
Laju produk beras Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir
sebenarnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan laju konsumsinya. Hal
yang harus diwaspadai saat ini adalah ketergantungan Indonesia terhadap
impor beras semakin besar (tahun 2003 impor beras Indonesia mencapai 3,7
juta ton). Sejak tahun 1997 laju peningkatan produksi beras hanya 0,5 persen
per tahun sementara peningkatan konsumsi beras mencapai 0,8 persen per
tahun, Sementara itu menurut data Survai Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) , tingkat konsumsi beras per kapita telah menurun sampai 116
kilogram per tahun.(Arifin, 2004). Oleh karena itu gejala ketagihan impor
beras Indonesia sebenarnya lebih banyak didorong karena pencarian
keuntungan dari para pelaku karena aktivitas impor ini mampu menghasilkan
keuntungan berlipat.
Selama tiga dasawarsa terakhir produksi jagung domistik tumbuh
cukup lambat (3,9 %) dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi (4,6 %),
sehingga impor jagungpun tidak dapat dihindarkan. Data terakhir yang
8
diperoleh menunjukkan bahwa produksi jagung domistik hanya 9,3 juta ton,
sedangkan konsumsinya mencapai 10,3 juta ton sehingga Indonesia perlu
impor jagung sekitar satu juta ton per tahun.Komoditas kedelai
tampaknya cukup berat untuk diselamatkan dalam waktu singkat. Perbedaan
laju pertumbuhan produksi dan pertumbuhan konsumsi serta kecilnya rasio
produksi terhadap konsumsi memperkuat kekhawatiran tersebut. Kedelai
memang bukan merupakan tanaman khas Indonesia karena lebih sesuai di
daerah sub tropis. Secara agronomispun kendala iklim dan serangan hama
penyakit tanaman kedelai di Indonesia cukup sukar untuk ditanggulangi oleh
petani (Arifin, 2004).
Ketergantungan Indonesia terhadap impor gula selama tiga dasa
warsa terakhir sudah cukup besar. Dengan laju pertumbuhan konsumsi yang
lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan produksi menjadikan
Indonesia selalu tergantung pada gula impor yang mencapai 1,6 juta
ton/tahun (no 2 di dunia) (Darmawan dan Masroh, 2004). Aktivitas impor gula
juga sering terpeleset menjadi pencarian keuntungan para pengusaha dan
politisi karena marjin keuntungan yang diperoleh sangat besar.
Kinerja yang cukup baik hanya ditunjukkan oleh sektor peternakan
dan perikanan terutama untuk daging sapi, daging ayam dan ikan yang
pangsa produksi dan konsumsi untuk tahun-tahun terakhir sudah melebih
100 persen. Untuk produk susu yang tingkat ketergantungan impornya cukup
tinggi yaitu sebesar 140.000 ton tahun 2003.
E. DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN UTAMA
Stabilitas harga pangan merupakan petunjuk dari stabilitas pasokan,
yang merupakan salah satu elemen penting ketahanan pangan. Tabel 4
menunjukkan data harga beberapa komoditas pangan beserta koevisien
variasi harga bulanannya. Koevisien ini mengindikasikan tingkat fluktuasi
harga, semakin besar koesisien variasi semakin tinggi fluktuasi harga yang
berarti semakin tidak stabil harga komoditas yang bersangkutan.
9
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar komoditas pangan pada
tahun 2003 relatif lebih stabil dibandingkan tahun 2002, kecuali gula pasir
lokal dan daging sapi yang lebih berfluktuatif tetapi tidak terlalu nyata. Kondisi
yang relative stabil pada tahun 2003 menunjukkan bahwa sistem distribusi
pangan berfungsi lebih baik.
Khusus untuk beras walaupun tahun 2003 harganya relatif stabil ,
namun jika dibandingkan dengan harga beras dunia FOB (ekivalen dengan
Rp 1.600,- per kilogram atau sekitar Rp 2.200,- per kilogram setelah
ditambah biaya angkut, asuransi dan sebagainya) ternyata harga eceran
beras domistik (Rp 2.879,- per kilogram) masih jauh di atasnya. Implikasi
perbedaan marjin harga tersebut adalah bahwa pasar beras domestik sangat
menggiurkan bagi siapa saja yang menjalankan aktivitas usaha dagang,
khususnya impor beras. Hal inilah yang pernah menyebabkan Indonesia
mengalami “banjir beras impor”.
Jika dilihat dari harga gabah terjadi hal yang luar biasa, yaitu
anjloknya harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani sampai kurang
dari Rp 1.200,- per kilogram yang berarti jauh di bawah harga dasar (Rp
1.750,- per kilogram). Tahun 2003, kebijakan harga dasar gabah bisa
dikatakan tidak efektif sama sekali karena lebih dari 50 persen harga yang
diterima petani di bawah harga dasar.
Tabel 4.
Harga rata-rata dan koefisien variasi harga bulanan beberapa
komoditas pangan tahun 2002 dan 2003
Komoditas
Harga rata-rata (Rp/kg)
2002
2003
Koefisien variasi
2002
2003
Beras
2.889
2.789
6,63
4,58
Gula pasir lokal
3.588
4.349
6,98
8,01
Gula pasir impor
3.657
4.386
6,70
6,73
Kacang tanah
6.765
7.302
5,26
3,18
10
Daging sapi
33.768
34.474
2,55
1,15
Daging ayam
12.064
11.192
4,99
5,53
7.209
6.491
6,30
5,65
Telur ayam Ras
Sumber : Deperindag dalam Departemen Pertanian (2004)
Tabel 5.
Harga bulanan gabah di tingkat petani dan harga beras dunia tahun 2003
Bulan
Harga gabah
petani (Rp/kg)
Harga beras
dunia
Nilai tukar rupiah
Harga beras
dunia
(Rp/US $)
(US $/ton
(Rp/kg)
Januari
1.252
185,3
8.876
1.645
Februari
1.271
182,3
8.905
1.623
Maret
1.232
180,3
8.908
1.606
April
1.173
178,6
8.675
1.549
Mei
1.217
180,8
8.279
1.497
Juni
1.357
186,2
8.285
1.543
Juli
1.500
182,3
8.505
1.550
Agustus
1.700
178,5
8.547
1.526
September
1.679
180,0
8.455
1.522
Oktober
1.595
181,5
8.489
1.541
November
1.559
179,5
8.503
1.526
Desember
1.530
180,0
8.458
1.522
Rata-rata
2003
1.422
181,3
8.574
1.557
Sumber : Arifin, 2004
11
Keterangan : Harga dasar gabah tahun 2003 sebesar Rp 1.750,- per kilogram
Harga gabah dibawah referensi tahun 2003 sebesar 50,30 persen
F. GUNUNGKIDUL DAN TEPUNG MOCAF
Gunungkidul adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Yogyakarta.
Gunungkidul terkenal akan daerahnya yang tandus. Dengan kondisi alam
yang kering, wilayah Gunungkidul tidak memungkinkan untuk dijadikan
wilayah pertanian dalam arti untuk produksi beras karena sebagian wilayah
(sawah) di Gunungkidul adalah sawah tadah hujan. Maka dari itu, di
Gunungkidul hanya memproduksi beras dalam sekali panen saja dalam satu
tahun.
Wilayah Gunungkidul hanya bisa di tanami tanaman palawija yang
meliputi jagung, ketela, kacang dan kedelai karena. Namun di balik kondisi
alam yang tandus, Gunungkidul memiliki potensi dalam bidang pangan.
Contohnya saja pada pengembangan-pengembangan dari hasil palawija
yang sudah mulai populer yaitu tepung mocaf. Mocaf adalah kepanjangan
dari Modified Cassava Flour. Kualitas dari mocaf sendiri tidak kalah dengan
tepung terigu. Tepung mocaf juga bisa menjadi bahan baku makananmakanan yang menggunakan bahan tepung. misalnya kue kering (cookies,
nastar, kastengel dll), kue basah (cake , kue lapis, brownies, spongy) dan roti
tawar.
Mocaf juga dapat dijadikan bihun, dan makanan lain yang berbahan
baku tepung beras/ gandum. Namun dalam penggunaanya sendiri, tepung
mocaf harus sedikit di campur dengan tepung gandum sedikat. Karena
walaupun tepung mocaf adalah tepung yang telah mengalami modifikasi, tapi
tepung mocaf masih membawa sifat aslinya seperti tepung tapioka yang
12
lengket. Tepung mocaf juga tidak bisa di simpan terlalu lama. Karena apabila
disimpan terlalu lama, hasil olahan dari tepung mocaf akan berbau apek.
Kabupaten Gunung Kidul terdiri atas 18 kecamatan, yang dibagi lagi
atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan
Wonosari.
Gunungkidul HANDAYANI berarti:
Hijau, Aman, Normatif, Dinamis, Amal, Yakin, Asah Asih Asuk, Nilai
Tambah, dan Indah.
LETAK DAERAH :
• Bujur Timur 110° 21’ – 110° 50’
• Lintang Selatan 7° 46’ – 8° 09’
BATAS WILAYAH
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kab. Klaten & Kab. Sukoharjo
Prop. Jawa Tengah
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Samudera Indonesia
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kab. Bantul & Kab. Sleman
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kab. Wonogiri Prop. Jawa
Tengah
13
14
Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul adalah sebagai
berikut : Gedangsari,
Girisubo, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Paliyan,
Panggang, Patuk, Playen, Ponjong, Purwosariidul, Rongkop, Saptosari,
Semanu, Semin, Tanjungsari, Tepus, Wonosari.Sebagai wilayah kabupaten
terluas dari propinsi Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul memiliki potensi
wisata alam yang sangat besar untuk dilestarikan dan dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat. Kabupaten yang terletak di sebelah selatan Yogyakarta
ini sebagian besar adalah dataran tinggi.
G. PELUANG PASAR TEPUNG MOCAF
Kenaikan harga terigu akhirnya memberi harapan baru kepada
komoditi penggantinya atau komoditi substitusinya seperti tepung mocaf dan
tepung-tepung bahan ubi-ubian lainnya. Maka muncullah upaya-upaya kreatif
untuk mengatasi trend yang kalau tidak diatasi akan mematikan usaha
bidang pangan dengan bahan dasar tepung terigu. Industri pangan berbahan
tepung terigu ini sangat luas, mulai dari aneka jenis roti, aneka jenis mie,
aneka kue-kue basah dan kering, dll. Industri-industri ini menggunakan
tepung terigu dengan berbagai komposisi.
Kehadiran tepung Mocaf sebagai alternative substitusi tepung terigu
memberi harapan baru bagi para pelaku industry pangan berbahan tepung
terigu. Berbagai percobaan akhirnya dilakukan untuk mengetahui sampai
seberapa banyak peran substitusi tepung mocaf ini dalam pembuatan aneka
pangan yang semula berbahan tepung terigu. Tentu saja belum semua peran
tepung terigu bisa digantikan sepenuhnya. Dari beberapa hasil ujicoba
15
penggantian tepung terigu dengan tepung mocaf dapat disampaikan daftar
prosentasi substitusinya pada aneka produk pangan berikut.
Tabel 6. Substitusi tepung mocaf
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Formula produk olahan pangan dari tepung kasava untuk substitusi terigu
Nama Produk
Substitusi Tepung Kasava Tepung yang Disubstitusi
Cookies kue kering
100
Terigu
Cheese stick
100
Terigu
Telor Gabus
100
Terigu
Biji Ketapang
50-100
Terigu
Lapis Legit
100
Terigu
Kerupuk
30-50
Terigu, Tapioka
Bolu Kukus
50
Terigu
Bika Ambon
30
Tapioka
Cake Gula Aren
50
Terigu
Donat
50
Terigu
Mie
30-40
Terigu
Dadar Gulung
75
Terigu
Dodol
100
Terigu
Bubur Candil
50
Tepung Beras
Klepon
50
Tepung Ketan
Empek-Empek
100
Tapioka
Jongkong
30
Terigu
Pastel
50
Terigu
Martabak Telor
50
Terigu
Roti Tawar
30-40
Terigu
Black Forest
100
Terigu
Cake Maharani
100
Terigu
Angka besaran impor tepung terigu Indonesia sudah mencapai angka
6 juta ton tiap tahun. Oleh karena itulah maka sudah waktunya kita
menghargai produk kita sendiri, yaitu dengan jalan mensubstitusinya atau
menggantinya dengan tepung mocaf. Kepala Badan juga menginformasikan
bahwa PT. Indofood memberi sinyal untuk menerima tepung mocaf dari para
industry tepung mocaf sebesar 50.000 ton per bulan, atau sebesar 600.000
ton dalam setahun, atau 10 % dari volume import tepung terigu.
Untuk memproduksi 600.000 ton tepung mocaf per tahun, berarti
diperlukan bahan baku ubikayu segar sebanyak 2,4 juta ton per tahun yang
16
dipanen dari kebun singkong dengan luas sekitar 60.000 hektar. Hitungan
tadi menggunakan asumsi rendemen ubi menjadi tepung 25 % dengan
produktifitas lahan 40 ton/ha. Namun kalau kita menggunakan angka asumsi
yang
lebih
optimis,
misalnya rendemen
30%
sedang
produktifitas
mencapai 60 ton/ha/12 bulan, berarti hanya perlu lahan sekitar 30.000 hektar,
atau separuh dari asumsi yang pertama tadi.
H. BEBERAPA PERMASALAHAN DAN TANTANGAN
Dengan kondisi pangan utama kita yang sebagian besar masih
tergantung pada impor, maka masalah pangan tidak lagi dapat ditunda.
Jumlah penduduk yang kekurangan pangan, gizi buruk dan busung lapar
semakin meningkat, hal ini merupakan pelanggaran hak azasi yang paling
serius. Namun disadari sepenuhnya bahwa pembangunan ketahanan pangan
bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan dengan cepat. Terdapat beberapa
permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi, antara lain :
1. Masalah kemiskinan menjadi masalah yang paling serius dikaitkan dengan
ketahanan pangan.Telah terjadinya kerawanan pangan di beberapa
daerah, baik pada berbagai kasus kelaparan maupun mutu pangan yang
rendah.
2. Pertambahan jumlah penduduk yang semakin menekan ketersediaan
sumberdaya alam yang dapat digunakan untuk menyediakan pangan
3. Alih fungsi lahan pertanian yang semakin besar setiap tahunnya
4. Telah terjadinya kekeringan lahan sawah di beberapa daerah yang
mengancam ketersediaan pangan
5. Keterbukaan global, telah menjadikan pangan sebagai salah satu komoditi
yang paling menentukan dalam komunikasi dan percaturan kepentingan
global.
17
6. Telah terjadi gejala “keterjebakan” pangan yang serius , terutama dengan
semakin banyaknya komoditas pangan yang harus diimpor dalam jumlah
yang relatif besar dibandingkan dengan kebutuhan.
Berdasarkan permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi serta
kondisi pangan utama Indonesia, maka dalam membangun ketahanan
pangan sudah bukan merupakan pilihan lagi antara menghasilkan pangan
sendiri atau mengandalkan pada pasar bebas dunia. Kedua cara pemenuhan
pangan (memproduksi sendiri dan dari pasar dunia) harus digunakan secara
bersama-sama, terkait dan dalam satu gerak kebijakan dan pengelolaan yang
terpadu.
I. KEBIJAKAN PANGAN
Kebijakan
pangan
merupakan
bagian
integral
dari
kebijakan
pembangunan nasional. Secara spesifik, kebijakan tersebut dirumuskan
untuk mengelola potensi nasional, memanfaatkan peluang, serta mengatasi
masalah dan tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Beberapa
rekomendasi kebijakan pangan yang perlu diterapkan dan dilanjutkan adalah
sebagai berikut.
1. Adanya jaminan ketersediaan pangan bagi penduduk miskin dan rawan
pangan di seluruh pelosok tanah air termasuk daerah-daerah yang
tertimpa bencana alam.
2. Perlu adanya kebijakan untuk mengelola pertumbuhan penduduk yang
bertujuan mengharmoniskan kualitas dan kuantitas kependudukan
3. Mengefektifkan kebijakan yang mengembangkan sistem insentif untuk
mengendalikan konversi lahan pertanian dan mendorong persebaran
penduduk dengan menyebarkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke
luar Jawa.
18
4. Untuk mengatasi kekeringan, kebijakan yang harus ditempuh antara
lain : upaya-upaya konkret seperti penyiapan dan pemberian bantuan
bahan pangan dan air minum/air bersih; realisasi pemberian kredit
pedesaan untuk aktivitas ekonomi dan alternatif lapangan kerja
nonpertanian; disamping itu kebijakan untuk memperbaiki pengelolaan
sumber daya air melalui konservasi air.
5. Pemerintah harus terus menerus memberikan perangsang pada petani
produsen beras domestik agar bergairah meningkatkan produksi beras
jika perlu melalui berbagai subsidi sarana produksi termasuk kredit
usaha tani.
6. Melanjutkan pelaksanaan program akselerasi peningkatan produktivitas
industri gula nasional.
7. Di tingkat paling dasar pemerintah dan Bulog beserta jajarannya di
daerah wajib melaksanakan tugasnya, yaitu melaksanakan pengadaan
beras, membeli gabah petani sesuai harga dasar (HPP) atau paling
tidak harga di tingkat petani jangan sampai terlalu jauh dari harga
referensi.
8. Pemerintah memberi kemudahan bagi importer dan distributor pada
saat produksi dalam negeri anjlok karena hal-hal yang sukar dihindari ,
sehingga impor beras justru sangat diperlukan serta diikuti sanksi
hukum bagi semua pelaku impor illegal. Pemerintah juga harus tetap
melaksanakan kebijakan subsidi di daerah-daerah rawan pangan.
Sebaliknya pada musim panen raya atau pada saat produksi domestik
melimpah, pengenaan bea masuk impor jelas sangat relevan, karena
petani harus dilindungi dari ancaman anjloknya tingkat harga.
9. Semangat otonomi daerah harus dijadikan modal utama untuk segera
melakukan desentralisasi manajemen stok beras.
Akhirnya pemerintah harus segera merumuskan suatu kebijakan
pangan yang menyeluruh serta menjadi acuan semua pihak, yang meliputi
19
kejelasan keterkaitan antara kebijakan harga dasar (HPP), kebijakan tariff,
konversi lahan, pembangunan infrastruktur, sistem perbankan, riset dan
lain-lain. Kebijakan pangan yang komprehensif tersebut harus mengurangi
ketergantungan yang berlebihan pada beras dengan menyeimbangkan
harga relatif beras terhadap pangan lain dan mengembangkan berbagai
infrastruktur penunjang bagi pengembangan kegiatan non beras., walaupun
kebijakan perberasan masih merupakan salah satu komponen utamanya.
J. PENUTUP
Sebagai negara yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam dan
keanekaragaman hayati yang relatif besar, ditunjang oleh banyaknya ahli
pertanian,
Indonesia
mempunyai
peluang
yang
cukup
besar
untuk
mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Semuanya itu
tergantung dari komitmen, kesungguhan dan keteladanan semua pihak, baik
di kalangan pemerintah, politisi, pengusaha, perguruan tinggi, media masa
dan masyarakat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul, 2004. “Ekonomi Pertanian Indonesia”. Penerbit Buku Kompas,
Jakarta
Darmawan, Thomas dan Masroh, Antuji H, 2004. Pentingnya Nilai Tambah
Produk Pertanian. Dalam “Pertanian Mandiri, Pandangan Strategis Para
Pakar untuk Kemajuan Pertanian Indonesia”, 2004. Penebar Swadaya
Jakarta
21
Departemen Pertanian, 2004. “Kebijakan dan Kondisi Ketahanan Pangan
Indonesia”. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Jakarta.
Juarini.
2006. KONDISI DAN KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA.
http://agriculture.upnyk.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=86:kondisi-dan-kebijakan-panganindonesia&catid=52:2006&Itemid=88. Di akses pada tanggal 3 Juni 2012
Krisnamurthi, Bayu, 2003. Rekonstruksi Kebijakan Pangan Indonesia (Indonesia
Food
Policy
Reconastuction)
Isyu
dan
Agenda.
Dalam
“Penganekaragaman Pangan, Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah”,
2003. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.
Suryana, Ahmad, 2003. Refleksi 40 Tahun dan Perspektif Penganekaragaman
Pangan dalam Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Dalam
“Penganekaragaman Pangan, Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah”,
2003. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.
22