Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Dengan Sengaja Membantu Melakukan Aborsi Studi Putusan PN Kendal No. 60 Pid.Sus 2013 PN Kendal

BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU
MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI
INDONESIA
A. Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana
1. Doktrin Pembantuan dalam Hukum Pidana
Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu
tindak pidana. Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak
pidana itu dan ada orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidana
itu40. Menurut Eddy O,S. Hiarief dalam bukunya Prinsip-prinsip Hukum Pidana”
yakni bahwa pembantuan haruslah dilakukan dengan suatu kesengajaan.
Kendatipun demikian tidak berarti bahwa pembantuan hanya dapat dilakukan
terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kesengajaan
semata, namun juga dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk
kesalahan berupa kealpaan.
Terkait pembantuan sebagai suatu kesengajaan, Simons berpendapat
sebagai berikut, kesengajaan seorang pembantu harus ditujukan kepada semua
unsur perbuatan pidana tersebut, bahkan juga terhadap unsur-unsur yang oleh
undang-undang tidak disyaratkan bahwa kesengajaan pelaku itu harus pula
ditujukan kepada unsur-unsur delik. Hal ini berbeda dengan Van Bemmelem dan
Van Hattum yang menyatakan bahwa jika suatu delik mensyaratkan kesengajaan,

maka pembantuan harus dilakukan dengan sengaja. Namun, jika suatu rumusan

40

H.Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta :
Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hal. 59.

Universitas Sumatera Utara

delik dapat dilakukan karena kealpaan, maka adanya kealpaan dalam pembantuan
sudah cukup untuk memenuhi unsur delik.41
Pendapat Simons lainnya adalah bahwa pembantuan hanya dapat
dilakukan terhadap delik-delik yang menghendaki adanya kesengajaan dan tidak
mungkin terjadi pada delik-delik yang cukup mensyaratkan kealpaan . secara
tegas dinyatakan oleh Simons yakni pembantuan untuk melakukan suatu
kejahatan culpa sangat jarang terjadi. Bahkan merupakan suatu yang tidak
mungkin seperti halnya menggerakkan untuk melakukan suatu yang tidak
mungkin seperti halnya menggerakkan untuk melakukan suatu kejahatan culpa.42
Ciri-ciri dari masing-maing jenis pembantuan adalah sebagai berikut:
Jenis pertama (pasal 56 ke-1):

a. Bantuan diberikan berbarengan atau pada saat kejahatan dilakukan;
b. Daya upaya yang merupakan bantuan tidak dibatasi, (dapat berupa apa
saja, berwujud ataupun tidak).
Jenis kedua (pasal 56 ke-2):
a. Bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan ;
b. Daya upaya (yang merupakan bantuan) dibatasi atau tertentu, yaitu
kesempatan , sarana atau keterangan.
Pada masing-masing jenis pembantuan disyaratkan:
a. Pembantu harus mengetahui macam kejahatan yang dikehendaki oleh
petindak (pelaku utama);

41

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi,(Yogyakarta:Cahaya
Atma Pustaka, 2016), hal.379 - 380
42
Ibid,hal.381

Universitas Sumatera Utara


b. Bantuan yang diberikan oleh pembantu adalah untuk membantu petindak
untuk mewujudkan kejahatan tersebut. Bukan untuk mewujudkan
kejahatan lain.
c. Kesengajaan

membantu

ditujukan

untuk

memudahkan

atau

memperlancar petindak melakukan kejahatan yang dikehendaki petindak.
Dengan perkataan lain kesengajaan pembantu bukan merupakan unsur
dari kejahatan tersebut.43

2. Pertanggungjawaban Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana

Dilihat dari sudut ajaran bentuk pertanggungjawaban peserta mandiri dan
peserta terkait, pembantu (sebagai peserta dalam arti luas/deelnemen) termasuk
dalam bentuk pertanggungjawaban peserta terkait. Artinya pertanggungjawaban
pembantu terkait / tergantung kepada pertanggungjawaban petindak / pelaku
utama. Apabila misalnya petindak benar-benar, melakukan kejahatan yang
dikehendakinya itu, maka tanggungjawab pembantu adalah sebagai pembantu
pada petindak yang ancaman pidananya ditentukan pada pasal 57 ayat 1, 2 dan 3.
Pada dasarnya maksimum dikurangi dengan sepertiga dari maksimum yang
diancamkan untuk kejahatan tersebut. Apabila petindak hanya sampai pada
percobaan saja, maka pembantu adalah merupakan pembantu bagi petindak untuk
percobaan melakukan kejahatan. Apabila petindak tidak jadi melakukan
kejahatan, atau baru saja pada persiapan melaksanakan yang tidak diancam
dengan pidana, atau apa yang dilakukan oleh petindak bukanlah suatu kejahatan,

43

E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika 2012), hal.373

Universitas Sumatera Utara


bahkan apabila pelaku dibebaskan dari tuduhan atau dilepaskan dari penuntutan,
maka terhadap pembantu tiada persoalan pemidanaan.44
Tentang pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya
termuat dalam pasal 57 KUHP yang berbunyi:
1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan
dikurangi sepertiga.
2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkna hanya
perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta
akibat-akibatnya.
Pertanggungjawaban pembantu dibatasi hanya terhadap tindak pidana
yang dibantunya saja. Apabila dalam suatu peristiwa ternyata terjadi tindak pidana
yang berlebih, maka tindak pidana yang lebih tersebut bukan merupakan
tanggungjawab pembantu. Kecuali tindak pidana yang timbul tersebut merupakan
akibat logis dari perbuatan yang dibantunya. 45
B. Aborsi Menurut KUHP
Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan, dengan

hukum, yang terhadap perbuatan ini bisa dikenakan pidana. Hukum Pidana
Indonesia memandang tindakan aborsi tidak selalu merupakan perbuatan jahat
atau merupakan tindak pidana, hanya abortus provocatus criminalis saja yang
dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana, adapun aborsi yang lainnya

44

Ibid. hal.375
https://hegarsandro.wordpress.com/2010/12/07/teori-penyertaan-tindak-pidana-proflobby-luqman/ , 10 Juli 2017, 21: 16 WIB
45

Universitas Sumatera Utara

terutama yang bersifat spontan dan

medicalis, bukan merupakan suatu tindak

pidana.46
Aborsi juga disebut terminasi kehamilan, yang mempunyai dua macam
yaitu:

a. Bersifat Legal
Aborsi legal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang
berkompeten berdasarkan indikasi medis, dengan persetujuan ibu yang hamil dan
suami.Aborsi legal sering juga disebut aborsi buatan atau pengguguran dengan
indikasi medis. Meskipun demikian, tidak setiap tindakan aborsi yang sudah
mempunyai indikasi medis ini dapat dilakukan aborsi buatan.
Persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam tindakan aborsi adalah :
1. Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan terapeutik.
2. Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompetensi
3. Dilakukan ditempat pelayanan kesehatan
b. Bersifat Ilegal
Aborsi illegal oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang tidak
berkompeten, melalui cara-cara diluar medis (pijat,jamu, atau ramu-ramuan),
dengan atau tanpa persetujuan ibu hamil dan suami. Aborsi illegal sering juga
dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten, tetapi tidak mempunyai indikasi
medis.47

46

Rukmini, M, Penelitian tentang aspek hukum pelaksanaan aborsi akibat perkosaan,

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Ham RI, 2004, hal.30-31
47
Notoadmojo, Etika dan Hukum Kesehatan(Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2010), hal.136

Universitas Sumatera Utara

Soal Aborsi telah diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang No. 23 tahun
1992 tentang kesehatan (UUK) kemudian diganti dengan UU no. 36 tahun 2009
Tentang Kesehatan, dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
lainnya (misalnya Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia).48
Kata “Pengguguran Kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus
Provocatus” yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan kata “membuat
keguguran”. Pengguguran dalam KUHP diatur oleh pasal-pasal 299, 346,347,34
dan 349. Pasal-pasal tersebut terdapat 3 unsur atau faktor pada kasus
pengguguran, yaitu janin, ibu yang mengandung, dan orang ketiga yang terlibat
pada pengguguran tersebut.
Pengaturan KUHP mengenai “Pengguguran Kandungan” adalah :
1) Pasal 299 KUHP menyatakan:
a. Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh

seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan
pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur
kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat
tahun atau denda sebanyak empat puluh lima ribu rupiah.
b. Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau
melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau
ia seorang Dokter, Bidan atau Juru obat, pidana dapat ditambah
sepertiganya.
c. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya,
maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.49
2). Pasal 346 KUHP menyatakan :
Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyeluruh orang lain untuk itu maka diancam dengan
hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun.
48
49

Chrisdiono, Dinamika Etikan & Hukum Kedokteran, (Jakarta: EGC, 2007), hal.138
Leden Marpaung, Kejahatan dan masalah Prevensinya, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004.


hal.75

Universitas Sumatera Utara

Penjelasannya adalah :
a. Perempuan yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungannya
atau suruhan orang lain untuk itu, dikenakan pasal ini.Orang dengan
sengaja menggugurkan atau membunuh kandungan seorang perempuan
dengan tidak izin perempuan itu dihukum menurut pasal 347, apabila
dilakukan dengan seijin perempuan itu, dikenakan pasal 348.
b. Cara membunuh atau menggugurkan kandungan itu, baik dengan obat
yang diminum, maupun dengan alat-alat yang dimasukkan melalui
anggota kemaluan. Menggugurkan kandungan yang sudah mati, tidak
dihukum, demikian pula tidak dihukum orang yang membatasi
kelahiran anak mencegah terjadinya hamil,
c. Jika seorang tabib, bidan atau ahli obat membantu kejahatan dalam
Pasal 346, berbuat atau membantu salah satu kejahatan dalam pasal 347
dan 348, maka bagi mereka hukumannya ditambah dengan sepertiganya
dan dapat dipecat dari jabatannya.
3). Pasal 347 KUHP menyatakan :

a. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seseorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut maka
diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
4). Pasal 348 KUHP menyatakan :
a. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seseorang perempuan dengan persetujuannya diancam dengan pidana
penjara paling 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut maka
diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
5). Pasal 349 KUHP menyatakan :
Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu
melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterapkan dalam pasal
347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambahkan dengan sepertiga dan dapat ia dipecat dari jabatannya
yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu.50

50

R. Soesilo, KUHP, (Bogor,Politeia,1995), hal. 243-244

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan rumusan pasal 299 KUHP, pasal 346 KUHP, pasal 347
KUHP, pasal 348 KUHP dan pasal 349 tersebut di atas dapat di tarik kesimpulan
bahwa :
a) Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia
menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
b) Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil
dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12
tahun, & jika ibu hamil tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara.
c) Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun
penjara & bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
d) Jika yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang
dokter, bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya
& hak untuk berpraktik dapat dicabut.
e) Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak
untuk hidup serta mempertahankan hidupnya
C. Aborsi Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Leenen mengemukakan

bahwa peraturan perundang-undangan yang

secara spesifik diterapkan dalam pelayan kesehatan mempunyai landasan yang
bersifat teori sendiri, khususnya yang menyangkut “:hak dasar”, yaitu: hak atas
pelayanan kesehatan dan hak manusia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Diakuinya hukum kesehatan sebagai “kesatuhan normative yang didasarkan pada

Universitas Sumatera Utara

tiang-tiang konstitusi telah berpengaruh sekali terutama dalam pembentukan apa
yang dikenal dengan hak-hak pasien.51
UU Kesehatan No.36 tahun 2009, memberikan payung hukum bagi
pelaksanaan abortus provokatus pada kehamilan akibat perkosaan yang
mengalami trauma psikologi, sehingga pelaksanaan abortus provokatus pada
kehamilan akibat perkosaan bisa dilakukan secara aman, akan tetapi undangundang ini juga memberikan syarat, bahwa abortus hanya boleh dilakukan
sebelum kehamilan berumur enam minggu yang dihitung dari haid pertama haid
terakhir.
Adapun pasal yang berkaitan dengan aborsi adalah:
1. Pasal 75
a. Setiap orang dilarang melakukan aborsi
b. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan :
1) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin,
yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup diluar kandungan.
2) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
c. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat b hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat b dan c diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 76

51

Tengker.F. Hukum kesehatan kini dan disini, (Bandung: CV Mandar Maju, 2010) hal .

51

Universitas Sumatera Utara

Aborsi sebagaimana dimaksud pada pasal 75 hanya dapat
dilakukan :
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari haid
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
b. Dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan
dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri.
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan.
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Menteri.52
3. Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang
tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
D. Aborsi Menurut PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi
Pemerintah dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan
hukum, serta menata konsep-konsep yang berhubungan dengan hukum yang
mengatur penyelenggaraan reproduksi dengan bantuan, aborsi berdasarkan
indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan
aborsi, pelayanan kesehatan ibu serta penyelenggaraan kehamilan diluar cara
alamiah agar berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat
Indonesia yang berkeTuhanan Yang Maha Esa baik dari segi agama, moral, etika,
serta

perkembangan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi,

perlu

mengatur

penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sebagai peraturan pelaksana dari
ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

52

UU. No.36 tahun 2009. Diakses dari (http:/www.portallhr.com/wp
contents/uploads/dara/pdju/pdfperaturan /1204001310.pdf, 20 Mei 2017, 22:15 WIB

Universitas Sumatera Utara

Peraturan Pemerintah (yang selanjutnya akan ditulis PP) Nomor 61 Tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi, secara khusus mengatur mengenai Aborsi
yaitu pada Bab IV dengan judul Indikasi Kedaruratan Medis Dan Perkosaan
Sebagai Pengecualian Atas Larangan Aborsi. Bab ini terdiri dari 4 Bagian dan
dibagi lagi kedalam sub-sub bahasan, dimulai dari Pasal 31 sampai Pasal 39.
Pasal 31 PP ini mengatakan bahwa salah satu pengecualian untuk dapat
dilakukannya aborsi adalah terhadap kehamilan akibat perkosaan. Tindakan aborsi
akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama
berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Jika
melihat kembali aturan yang dirumuskan didalam UU Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, salah satu syarat dalam pelaksanaan aborsi terhadap
kehamilan akibat perkosaan dalam UU tersebut yaitu bahwa aborsi hanya dapat
dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir. Yang dimaksud dengan 6 (enam) minggu sama hal nya
dengan 42 (empat puluh dua) hari. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang
jauh apabila membandingkan rumusan aturan mengenai aborsi terhadap
kehamilan akibat perkosaan ini dalam UU Kesehatan dengan PP Kesehatan
Reproduksi.
Salah satu sub bahasan yang dirumuskan dalam PP ini adalah mengenai
Indikasi Perkosaan. Pasal 34 :
(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa
adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan :

Universitas Sumatera Utara

a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan
oleh surat keterangan dokter; dan
b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya
dugaan perkosaan.
Peraturan Pemerintah ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
perkosaan adalah hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak
perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua
hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini yaitu pada frasa : “hubungan seksual
tanpa persetujuan dari perempuan”, dan frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Frasa “hubungan seksual tanpa persetujuan pihak
perempuan” tidak dibatasi lebih lanjut dalam peraturan pemerintah ini. Hal ini
berarti bahwa selain perkosaan yang di atur secara umum dalam Pasal 299, 346,
347, 348, dan 349 KUHP, maka hubungan seksual dalam lingkup rumah tangga
yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya (kekerasan seksual dalam rumah
tangga) juga termasuk dalam pengertian ayat ini yaitu merujuk kepada UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga pada Pasal 8 dan Pasal 46. Frasa selanjutnya yaitu frasa “sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”, hal ini setiap berarti merujuk kepada
setiap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana hubungan
seksual tanpa persetujuan pihak perempuan itu sendiri.
Pasal 34 ayat 2 (dua) menyatakan bahwa kehamilan tersebut dibuktikan
dengan surat keterangan dari dokter dan keterangan dari penyidik, psikolog dan
atau ahli lain. Ahli lain yang dimaksud antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter
spesialis forensik, dan pekerja sosial. Wewenang masing-masing profesi dalam
ayat ini berbeda. Dokter yang dimaksud pada huruf a, berwenang mengeluarkan

Universitas Sumatera Utara

surat keterangan mengenai usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan.
Yang dimaksud dalam huruf b yaitu penyidik, psikolog dan atau ahli lain,
berwenang memberikan keterangan mengenai adanya dugaan perkosaan. Tidak
dijelaskan lebih rinci dalam ayat ini apakah dokter wajib mensyaratkan korban
membuat laporan pengaduan pidana telah benar terjadi perkosaan terlebih dahulu
baru dapat mengeluarkan visum et repertum, atau hal tersebut dapat dilakukan
secara seiring sejalan, atau bahkan visum et repertum dapat dikeluarkan terlebih
dahulu baru kemudian laporan pengaduan pidana menyusul. Hal lain yang perlu
diperhatikan dalam ayat ini adalah kata “dan” yang artinya bahwa baik surat
keterangan dari dokter maupun keterangan dari penyidik, psikolog dan atau ahli
lain, keduanya wajib ada dan tidak dipilih salah satu. Berdasarkan hal tersebut
tampak koneksitas antara penegak hukum dengan tenaga medis. Keakuratan hasil
pemeriksaan oleh tenaga medis sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Pasal 35 :
(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung
jawab.
(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;
b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat
yang ditetapkan oleh Menteri;
c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang
bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e. tidak diskriminatif; dan
f. tidak mengutamakan imbalan materi.
(3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat
diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
(4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 36 :
(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2) huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara
pelatihan yang terakreditasi.
(2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota
tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan
usia kehamilan akibat perkosaan.
(3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim
kelayakan aborsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) di atur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 35 berlaku tidak hanya bagi aborsi terhadap kehamilan akibat
perkosaan tetapi juga terhadap indikasi medis. Peraturan Pemerintah ini tidak
menjabarkan lebih lanjut defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan
pelaksanaan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggungjawab melainkan
mencantumkan beberapa hal yang meliputi pelaksanaan aborsi yang aman,
bermutu, dan bertanggungjawab tersebut. Penjelasan Pasal 35 menyebutkan, yang
dimaksud dengan “tidak mengutamakan imbalan materi” dalam Pasal 35 ayat (2)
huruf f adalah biaya pelayanan sesuai dengan perhitungan unit cost.
Pasal 36 ayat (1) menyatakan yang dimaksud dengan dokter dalam Pasal
35 ayat (2) huruf a adalah dokter yang telah mengikuti pelatihan oleh
penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. Penjelasan Pasal 36 menyebutkan,
yang dimaksud dengan “pelatihan” adalah pelatihan yang diselenggarakan oleh
penyelenggara terakreditasi dan dibuktikan dengan sertifikat. Dokter yang
dimaksud bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang
memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan, hal ini
dimaksudkan agar menghindari konflik kepentingan. Aturan tersebut dapat

Universitas Sumatera Utara

dikecualikan bagi daerah yang tidak memiliki dokter yang jumlahnya mencukupi
sehingga dapat dilakukan oleh dokter yang sama.
Pasal 37 mengatakan bahwa tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat
perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling. Konseling yang
dimaksud adalah meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor. Konselor adalah setiap orang yang
telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan.
Konseling pra tindakan antara lain untuk menjajaki kebutuhan dari perempuan
yang ingin melakukan aborsi, untuk mengetahui aborsi dapat atau tidak dapat
dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang,
untuk menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dankemungkinan
efek samping atau komplikasinya, untuk membantu perempuan yang ingin
melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi
atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan
informasi mengenai aborsi, dan untuk menilai kesiapan pasien untuk menjalani
aborsi. Konseling pasca tindakan antara lain untuk mengobservasi dan
mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi, untuk membantu pasien
memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi, untuk menjelaskan
perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau
tindakan rujukan bila diperlukan, dan untuk menjelaskan pentingnya penggunaan
alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Pasal 38 ayat (1) menyebutkan, apabila setelah mendapatkan informasi
mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d atau

Universitas Sumatera Utara

karena tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan memutuskan membatalkan
keinginan untuk melakukan aborsi, maka korban perkosaan dapat diberikan
pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan. Pendampingan yang
dilakukan dapat berupa pendampingan psikologis, pendampingan sosiologis, dan
pendampingan medis. Pasal 38 ayat (2) menambahkan bahwa anak yang
dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat
(1) dapat diasuh oleh keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah orang tua
kandung atau anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai dengan derajat ketiga. Apabila keluarga menolak untuk mengasuh anak
yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak tersebut menjadi anak asuh yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena
keluarganya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.
Pasal 39 menegaskan bahwa setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan
kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas
kesehatan provinsi yang dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.

Universitas Sumatera Utara