Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak (Studi Putusan Nomor 9 Pid.sus 2016 PN-Gst)

BAB II
PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN
TERHADAP ANAK
A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak
Perumusan hak dan kedudukan warga negara dihadapan hukum
merupakan penjelmaan dari salah satu Sila Pancasila yaitu sila keadilan sosial.
Keadilan adalah penghargaan terhadap setiap orang menurut harkat dan
martabatnya sebagai pribadi dan dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang
ada di luar pribadinya. Hukum mempunyai komponen-komponen, yaitu: (a)
Komponen substantif, berupa kaidah-kaidah yang mempunyai sifat relatif
konstan; (b) Komponen spiritual, berupa nilai-nilai yang mempunyai tendensi
dinamis; (c) Komponen struktural, terdiri dari lapisan-lapisan mulai dari adat,
kebiasaan hukum dan undang-undang; (d) Komponen kultural, berupa tatanan
hidup manusia yang mempunyai sifat menyelaraskan diri dengan lingkungan.
Dalam kaitan, ini Hukum Acara Pidana berfungsi ganda , yakni disatu sisi
berusaha mencari dan menemukan kebenaran sejati tentang terjadinya tindak
pidana agar yang bersangkutan dapat dipidana sebagai imbalan atas perbuatannya,
di sisi lain untuk sejauh mungkin menghindarkan seseorang yang tidak bersalah
agar jangan sampai dijatuhi pidana.40
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita
luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai

sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas40

Maidin gultom, Perlindungan Hukum Terhadap anak, (Bandung: Repika Aditama,
2008), hlm.20

29
Universitas Sumatera Utara

30

luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani,
jasmani,dan sosial. Pemerkosaan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan
untuk bersetubuh dengan anak dibawah umur diatur dalam peraturan tertulis yaitu
sebagai berikut:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tindak pidana pemerkosaan di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) pada bab XIV buku ke- II yakni dimulai dengan pasal 285 sampai
dengan pasal 288 KUHP.
Pasal 285 KUHP41
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan

yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa,
dengan hukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 285 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut:42
a. Perbuatannya : memaksa;
b. Caranya
: 1) dengan kekerasan;
2) ancaman kekerasan;
c. Objek
: seseorang perempuan bukan istrinya;
d. Bersetubuh dengan dia;
Pengertian perbuatan memaksa adalah perbuatan yang ditujukan pada
orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan
kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang
menekan atau sama dengan kehendak sendiri. Menerima kehendak ini setidaknya
ada dua macam, yaitu:
a. Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirrinya; atau
41

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.210

42
Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RG Persada, 2005, hlm.62

Universitas Sumatera Utara

31

b. Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang
dikehendaki orang yang memaksa.
Cara-cara memaksa disini terbatas dengan ada dua cara, yaitu kekerasan
dan ancaman kekerasan . Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh
dalam undang-undang. Hanya mengenai kekerasan, ada Pasal 89 yang
merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan, yaitu membuat orang pingsan
atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. R. Soesilo
member arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau kekuatan
jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. Menurut Satochid kekerasan adalah
setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan
atau agak berat.
Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana yang
bersangkutan, yaitu sebagai berikut:

a. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan disini
memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban.
b. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana,
bukan merupakan cara melakukan perbuatan.
Berdasarkan uraian diatas, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285
dapatlah didefenisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang
ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkan diisyarakatkan dengan
menggunakan kekuatan badan besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi
orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Sifat kekerasan itu sendiri adalah
abstrak, maksudnya wujud konkretnya cara kekerasan itu ada bermacam-macam

Universitas Sumatera Utara

32

yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang,
menusuk dengan pisau dan sebagainya.
Ancaman kekerasan adalah “ancaman kekerasan fisik yang ditunjukan
pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana
dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukkan perbuatan fisik yang

besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan ada mungkin segera
dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak mmbuahkan hasil
sebagaimana yang diinginkan „pelaku”. Ancaman kekerasan mengandung dua
aspek penting yaitu sebagai berikut:
1. Aspek objektif ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa
perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan
pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni
kekerasan secara sempurna; dan (b) menyebabkan orang menerima
kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa
cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan).
2. Aspek subjektif ialah timbulnya suatu percayaan bagi si penerima
kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak
dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu benarbenar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangan penting dalam
ancaman kekerasan sebab jika kekerasan ini tidak timbul pada diri korban,
tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan
terhadap dirinya.

Universitas Sumatera Utara

33


Kekerasan dan ancaman kekerasan ditujukan pada seseorang perempuan
yang bukan istrinya. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan itu
terdapat hubungan kausal dan karena tidak berdaya itulah persetubuhan dapat
terjadi. Jadi sebenarnya terjadi persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari
perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan itu.
Perkosaan ini adalah tindak pidana materil, dan bukan tindak pidana formal
walaupun dirumuskan juga perbuatan yang dilarang dalam Pasal 285 yakni
memaksa.
Kekerasan yang bersifat fisik dengan kekuatan besar dan ditujukan pada
orang lain yang in casu seorang perempuan, dapat menimbulkan akibat luka berat
atau kematian. Dalam kejahatan perkosaan bersetubuh, akibat luka berat tidak
merupakan alasan pemberatan. Akan tetapi, akibat kematian adalah merupakan
dasar pemberatan pidana.
Pasal 286 KUHP:43
Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang
diketahuinya, bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun.
Pasal 286 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut:44
Unsur-unsur objektif:

a. Perbuatannya : bersetubuh;
b. Objeknya
: seorang perempuan bukan istrinya:
c. Dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya;
Unsur-unsur subjektif:
d. Diketahuinya perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Persamaan antara kejahatan Pasal 286 dan Pasal 285, ialah sebagai berikut:
43

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.211
44
Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RG Persada, 2005, hlm. 67

Universitas Sumatera Utara

34

1. Persetubuhan itu telah terwujud pada atau dengan perempuan korban,
pada saat korban dalam keadaan tidak berdaya.

2. Perempuan korban bukan istri si pembuat.
Sementara itu perbedaan, ialah sebagai berikut:
1. Ketidakberdayaaan atau pingsan perempuan (korban) pada Pasal 286
ini tidak disebutkan sebab-sebabnya, yang jelas bukan sebab dari
perbuatan si pembuat sebab jika disebabkan oleh si pembuat maka
masuk dalam Pasal 285. Akan tetapi, pada Pasal 285 ketidakberdayaan
disebabkan oleh kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan
oleh si pembuat. Misalnya seorang dokter menyuntikan obat tidur pada
seorang pasien perempuan, dalam keadaan tertidur kemudian
perempuan itu disetubuhinya.
2. Persetubuhan menurut Pasal 286 ini merupakan unsur perbuatan,
sedangkan menurut Pasal 285 adalah yang dituju oleh perbuatan
memaksa atau apa yang dikehendaki si pembuat, yang sekaligus adalah
unsur akibat konstitutif dalam perkosaan.
3. Pada Pasal 286 terdapat unsur diketahui bahwa perempuan itu dalam
keadaan tidak berdaya atau pingsan, yang dalam Pasal 285 tidak ada
unsur demikian.
Keadaan pingsan dan keadaan tidak berdaya memiliki perbedaan maka
walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan itu ialah,
bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri,

yang dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat oleh orang

Universitas Sumatera Utara

35

lain in casu disetubuhi terhadap dirinya. Orang dalam keadaan tidur biasa,
tidaklah disebut dalam keadaan pingsan. Akan tetapi dalam keadaan tidur karena
menelan obat tidur, atau disuntik dengan obat tidur, keadaan tidur itu dapat
disebut dengan keeadaan pingsan. Misalnya orang dalam keadaan tidak sadar
karena minum obat penenang yang melebihi dosis atau obat tidur. Akan tetapi,
dalam keadaan tidak berdaya orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah
diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong
dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawaan tenaga seorang
laki-laki yang memperkosanya, atau dalam keadaan sakit.
Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah merupakan unsur
objektif, yang disadari atau diketahui oleh si pembuat. Untuk yang disebutkan
terakhir, yaitu disadari atau diketahuinya bahwa perempuan iu dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya adalah berupa unsur subjektif, yakni unsur kesalahan
dalam bentuk kesengajaan si pembuat.

Pasal 287 KUHP:45
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang
diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu
belum cukup 15 tahun atau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan
itu belum masanya untuk kawin dihukum penjara selama-lamanya
sembilan tahun.

45

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.211

Universitas Sumatera Utara

36

(2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan , kecuali kalau umurnya
perempuan itu belum sampe 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang
tersebut pada pasal 291 dan 294.
Pasal 287 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut:46

Unsur- unsur objektif:
a. Perbuatannya : bersetubuh
b. Objek
: dengan perempuan di luar nikah
c. Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas belum
waktunya untuk kawin;
Unsur-unsur subjektif:
d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15
tahun.
Berbeda dengan Pasal 285 dan Pasal 286 dimana persetubuhan itu terjadi
di luar kehendak korban perempuan, pada Pasal 287 ini persetubuhan itu terjadi
atas persetujuan atau kehendak perempuan itu sendiri, artinya suka sama senang.
Letak patut dipidana pada Pasal 287 ini adalah pada umurnya yang belum lima
belas tahun atau belum waktu untuk dikawin.
Persetubuhan menurut Pasal 287 ini sama dengan persetubuhan menurut
Pasal 284 tentang turut serta berzina. Apabila didasarkan pada bentuknya
kejahatan Pasal 287, yang maksudnya memberi perlindungan terhadap
kepentingan hukum anak perempuan dari perbuatan- perbuatan yang melanggar
kesusilaan, maka tidak rasional dan tidak adil jika dia dipidana. Akan tetapi
apabila didasarkan pada perbuatan persetubuhan itu dilakukan suka sama senang
padahal laki-laki itu telah beristri, dan Pasal 287 BW berlaku bagi laki-laki

46

Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RG Persada, 2005, hlm. 70

Universitas Sumatera Utara

37

tersebut, dan tentang keadaan ini telah diketahui oleh perempuan pasangannya
bersetubuh itu, dia dapat pula dijatuhi pidana.
Perbuatan perempuan yang belum berumur lima belas tahun itu sesuai
Pasal 284, tetap merupakan perbuatan turut berzina. Tidak boleh dipidana karena
deengan berdasarkan pada Pasal 287 ini perbuatannya itu kehilangan sifat
melawan hukumnya perbuatan. Jadi di sini terdapat alasan peniadaan pidana di
luar undang-undang. Sementara itu terhadap si laki-laki yang telah beristri ini, dia
telah melakukan dua tindak pidana sekaligus (berbarengan) yakni Pasal 284
sebagai pleger (pembuat pelaksana) dan Pasal 287 sebagai dader (pembuat
tunggal).
Perempuan diluar kawin, artinya bukan istrinya. Pada dasarnya hukum
pidana tidak mengancam pidana pada pembuat yang menyetubuhi perempuan
belum berumur lima belas tahun. Jika perempuan itu adalah istrinya sendiri,
kecuali apabila dari persetubuhan itu menimbulkan akibat luka-luka, luka berat
atau kematian.
Pengertian belum waktunya untuk dikawin, adalah belum waktunya untuk
disetubuhi. Indikator belum waktunya untuk disetubuhi ini ada pada bentuk fisik
dan secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya masih wajah
anak-anak atau tubuh anak kecil, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum
tumbuh buah dadanya atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin
belum datang haidnya. Secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya
masih senang bermain-main seperti pada umumnya anak belum berumur lima
belas tahun. Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahan, yang berupa : (1)

Universitas Sumatera Utara

38

kesengajaan, yaitu diketahuinya umurnya belum lima belas tahun; dan (2)
kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau
jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin.
Kejahatan Pasal 287 merupakan tindak pidana aduan relatif karena
pengaduan itu belaku

atau diperlukan hanya dalam hal persetubuhan yang

dilakukan pada anak perempuan yang umurnya dua belas sampai lima belas tahun
atau jika dalam melakukan persetubuhan itu tidak ada unsur-unsur yang terdapat
dalam Pasal 291 dan 294. Akan tetapi, apabila persetubuhan itu dilakukaan pada
anak perempuan belum berumur dua belas tahun, dan terdapat unsur-unsur yang
disebutkan dalam Pasal 291 dan 294, kejahatan itu bukan merupakan tindak
pidana aduan.
Unsur-unsur yang dimaksud dalam Pasal 291, merupakan unsur akibat
perbuatan menyetubuhi, yakni luka-luka, luka berat dan kematian. Unsur ini
disebut dengan unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya
perbuatan. Antara perbuatan dan akibat terdapat causal verband, artinya akibatakibat itu benar-benar langsung diakibatkan oleh sebab persetubuhan. Sementara
itu, yang dimaksud dngan salah satu dari hal berdasarkan Pasal 294, ialah bila
persetubuhan itu dilakukan pada anak kandungnya, anak tiri, anak angkatnya,
anak di bawah pengawasannya, pembantu atau bawahannya.
Pasal 288 KUHP:47
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus
dipatut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat
47

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.213

Universitas Sumatera Utara

39

dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau
perbuatan itu erakibat badan perempuan itu mendapat luka.
(2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat,
diajatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian perempuan itu dijatuhkan
hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 288 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut:48
Unsur-unsur objektif:
a. Perbuatannya : bersetubuh;
b. Objek
: dengan perempuan istrinya yang belum waktunya dikawin
c. Menimbulkan akibat luka-luka;
Unsur-unsur subjektif:
d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa perempuan itu belum
waktunya untuk kawin.
Perempuan yang disetubuhi si pembuat ini adalah istrinya sendiri, yang
belum waktunya dikawin. Belum waktunya dikawin artinya belum pantas untuk
disetubuhi karena masih anak-anak. Pada pasal 288 ini tidak dimasukkan unsur
belum berumur lima belas tahun seperti pada Pasal 287 . Berdasarkan rumusan
ayat (1) Pasal 287 yang menyebutkan sebagai alternatif dari belum berumur lima
belas tahun, dalam hal ini tidak diketahui secara jelas umurnya adalah belum
waktunya untuk kawin, maka dalam Pasal 288 ini dapat juga diartikan bahwa
perempuan (istrinya) yang belum waktunya untuk dikawin itu belum berumur
lima belas tahun.
Kejahatan pasal ini tidak dioper dari WvS Belanda, melainkan khusus ada
dalam WvS Hindia Belanda (KUHP) , berdasarkan pertimbangan bahwa pada
penduduk asli Indonesia dahulu serinng kali adanya pernikahan anak. Akan tetapi,
48

Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RG Persada, 2005, hlm. 73

Universitas Sumatera Utara

40

kini tidak mungkin terjadi pernikahan anak yang umurnya belum lima belas tahun,
karena menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seorang perempuan untuk
izin menikah umurnya sekurang-kurangnya yang telah mencapai 16 tahun (Pasal 7
ayat 1). Perempuan (istrinya)

belum waktunya untuk dikawin adalah unsur

objektif. Tentang keadaan yang sebenarnya ini harus diketahui oleh suaminya itu.
Apabila dia tidak tahu secara pasti tentang keadaan itu, dia sepatutnya harus
menduga bahwa perempuan (istrinya) itu belum pantas untuk disetubuhi. Ini
merupakan unsur kesalahan si pembuat.
Menyetubuhi istrinya yang belum waktunya untuk kawin ini tidaklah
dilarang atau tidak dipidana. Baru dapat dipidana apabila dari persetubuhan itu
timbul akibat luka-luka. Akibat luka adalah membuktikan bahwa perempuan
(istrinya) itu belum waktunya untuk disetubuhi. Sebab perempuan yang sudah
pantas disetubuhi, tidaklah meenimbulkan luka-luka sebagaimana yang dimaksud
disini, apabila luka berat. Robeknya selaput darah (keperawanan) semata-mata
karena persetubuhan tidaklah masuk dalam pengertian luka-luka disini. Karena
robeknya keperawanan itu adalah suatu keharusan dari persetubuhan pertama. Jadi
yang dimaksud dengan luka-luka adalah luka-luka lain diluar robeknya selaput
dara. Misalnya luka-luka di dalam liang vagina. Jadi unsur akibat ini adalah
berupa unsur syarat untuk dapat dipidana, yang timbul setelah perbuatan
menyetubuhi dilakukan.
Apabila akibat menyetubuhi itu bukan sekadar luka-luka tetapi luka berat,
maka dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. Bahkan apabila
berakibatkan kematian istrinya itu, maka dapat dijatuhkan pidana paling lama dua

Universitas Sumatera Utara

41

belas tahun. Akibat luka berat atau kematian adalah berupa dasar pemberatan
pidana pada Pasal 288 ini.
Mengenai luka berat oleh undang-undang telah diberikan pengertian
khusus secara limitatif oleh pasal 90, yang menyatakan, bahwa lua berat berarti :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;.
b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian;
c. Kehilangan salah satu pancaindra;
d. Mendapat cacat berat;
e. Menderita sakit lumpuh;
f. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan;
Itulah pengertian luka berat. Karena telah dirinci secara limitatif, maka
tidak ada luka berat lain di luar dari yang disebutkan secara limitatif menurut
Pasal 90 tersebut.
b. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Pengaturan lebih khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak
tertuang dalam Undang-Undang No

23 Tahun 2002. Pembentukan Undang-

Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak didasarkan pada
pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspek merupakan landasan
yuridis dan bagian kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam

Universitas Sumatera Utara

42

mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara. Lahirnya UndangUndang Perlindungan Anak ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam
memperjuangkan hak-hak anak. Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaran
Perlindungan Anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat
mendukung

Pemerintah

dan

Pemerintah

Daerah

dalam

penyelenggaran

Perlindungan Anak.
Kewajiban dan tanggungjawab Negara dan Pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu:49
a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, status
hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental
(pasal 21).
b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggarakan
perlindungan anak (pasal 22).
c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang
secara

umum

bertanggungjawab

terhadap

anak

mengawasi

penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 23).
d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (pasal24)
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberantasan sanksi pidana dan denda
49

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika
Aditama, 2008), hlm. 39

Universitas Sumatera Utara

43

bagi pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta
mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan
sosial anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan
untuk mengantisipasi anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan di kemudian
hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.
Penyelenggaraan

perlindungan

anak

berasaskan

Pancasila

dan

berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi
Hak-hak Anak meliputi:
a. Non diskriminasi
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.50
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.51
Pengaturan hukum tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di dalam
Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu:52
Pasal 81
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
50

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika Aditama,
2008), hlm 75
51
Ibid
52
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Universitas Sumatera Utara

44

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan,
maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 76D berbunyi:
Setiap orang yang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
1. Unsur Pasal 76D sebagai berikut:
a. Setiap orang
Yang dimaksud adalah subjek hukum atau orang pendukung hak dan
kewajiban yang padanya dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang
dilakukannya.
b. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
Dalam unsur ini kekerasan atau ancaman kekerasan fisik atau kekerasan
lain yang bersifat psikis atau kejiwaan yang termasuk didalamnya.
c. Memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun),
termasuk anak yang masih dalam kandungan dan persetubuhan adalah peraduan
antara anggota kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan yang bisa dijalankan
unuk menjalankan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam
anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani.

Universitas Sumatera Utara

45

2. Unsur-unsurnya:
a. Dengan sengaja
Berarti si pelaku dalam hal ini menghendaki perbuatannya tersebut dan
menginsafi akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut. Kata sengaja menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia departemen pendidikan dan kebudayaan pustaka
member pengertian sengaja adalah “dimaksud (direncanakan) memang diniatkan
begitu, tidak secara kebetulan”. Teori pidana tentang sengaja tidak lagi
memberikan defenisi secara gramatical tetapi telah berkembang sehingga dapat
berupa:
1. Sengaja sebagai niat
2. Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan dan;
3. Sengaja sadar akan kemungkinan
b. Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Yang dimaksud tipu muslihat adalah siasat dengan maksud mengakali agar
dapat memperdaya korban (anak) untuk mencapai kehendaknya dalam hal
melakukan persetubuhan dengannya (pelaku) atau dengan orang lain serangkain
kebohongan adalah rangkaian kata-kata dusta atau kata-kata yang bertentangan
dengan kebenaran sedangkan membujuk berarti berusaha mempengaruhi supaya
orang yang menuruti kehendak yang membujuk dalam hal ini melakukan
persetubuhan dengannya atau dengaan orang lain.

Universitas Sumatera Utara

46

3. Tindak pidana melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang dilakukan
oleh:
a. Orang tua adalah ayah dan ibu kandung atau ayah dan atau ibu tiri, atau
ayah dan/ atau ibu angkat.
b. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
c. Pengasuh anak adalah orang tua, wali atau badan yang merawat anak.
d. Pendidik adalah tenaga professional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan

proses

pembelajaran,

menilai

hasil

pembelajaran,

melakukan pembimbingan dan pengabdian.
e. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri
dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan,
maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

47

Pasal 76E berbunyi:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Penjelasan untuk setiap unsur (setiap orang, melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian
kebohongan, membujuk) sama dengan pengertian yang telah dijelaskan di atas.
Bentuk tindak pidana yang ditekankan disini adalah salah satu unsur yang terbukti
(unsurnya bersifat alternatif) untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dalam arti apabila seorang anak (perempuan) dengan tindakan
(unsur) yang sedemikian rupa di atas, sehingga mengikuti kehendak pelaku untuk
dilakukan pencabulan terhadap dirinya.
Tindak pidana melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yang dilakukan
oleh :
a. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri,
atau ayah dan/atau ibu angkat;
b. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak;
c. Pengasuh anak adalah orang tua, wali atau badan yang merawat anak.

Universitas Sumatera Utara

48

d. Pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan

proses

pembelajaran,

menilai

hasil

pembelajaran,

melakukan pembimbingan dan pengabdian.
e. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri
dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
c. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2016
Pemerintah menerapkan keadaan darurat dan memaksa, atas kejahatan
seksual yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pemerintah menganggap
bahwa kejahatan seksual sudah merupakan kejahatan luar biasa yang harus
ditangani dan dihukum dengan cara luar biasa juga. Penerapan hukuman
tambahan pada Perppu sebagai parameter dan keluasan hakim dalam mengambil
putusan. Perppu ini hanya berlaku untuk pelaku yang sudah dewasa, sedangkan
terhadap pelaku anak-anak tetap diberlakukan Undang-Undang Peradilan Anak
(lex spesialis).
Pasal 81 PERPPU No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, diatur mengenai
tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

Universitas Sumatera Utara

49

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ketentuan pidana sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau orang lain.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penambahan 1/3 dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku
yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 76D.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka
berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana
mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),
ayat (4), ayat (5), pelaku dapat dikenal pidana tambahan berupa
pengumunan identitas pelaku.
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
dapat dikenal tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat
pendeteksi elektronik.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersamasama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan
tindakan.
Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.53

Tambahan pasal 81 yakni pasal 81A yang berbunyi sebagai berkut:
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (7) dikarenakan
untuk jangka waktu paling lama (dua) tahun dan dilaksanakan setelah
terpidananya menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah
pengawasan scara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan
urusan pemerintaan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan
rehabilitas diatur dengan Peraturan Pemerintah.

53

PERPPU No.1 Tahun 2016

Universitas Sumatera Utara

50

Pasal 76D
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dalam ketentuan pasal diatas, dapat disebutkan unsur-unsur tindak pidana
kekerasan seksual yang dapat dikenakan sanksi kepada pelaku, yaitu:
a. Setiap orang
Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
ialah setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi.
b. Melakukan kekerasan
Pada pasal 1 angka 15a dalam Undang-Undang yang sama, kekerasan
adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibatkan timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan fisik, psikis, seksual,dan/ atau penelantaran, termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum.
c. Ancaman kekerasan
Adalah serangan psikis yang mengakibatkan orang menjadi ketakutan
sehingga mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang
belum diwujudkan tapi menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai
pilihan selain mengikuti kehendak yang mengancam dengan kekerasan. Seperti
diancam akan ditembak, dibunuh, ditusuk, dan sebagainya.54

54

P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus (Tindak pidana- Tindak Pidana Melanggar
Norman-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), (Bandung: Mandar Maju,1990),
hlm.113

Universitas Sumatera Utara

51

d. Memaksa
Yaitu memperlakukan dengan paksa; melakukan (mendesak, menekan,
dan sebagainya) dengan kekerasan (dengan kekuatan); mengharuskan (dengan
tidak boleh atau harus).55
e. Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Yakni bertemunya dua alat kelamin, baik lewat jalan depan maupun
belakang dengannya atau dengan orang lain.
f. Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan
Mengadung pengertian bermacam tipu, berbagai daya upaya yang buruk.
Maksudnya perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong/palsu) dengan
maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untuk; kecoh.56
g. Membujuk anak adalah orang tua, wali, pengasuh, pendidik, atau tenaga
kependidikan.
Pasal 82 PERPPU No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, diatur mengenai
tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahundan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal ini tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai keluarga,
pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani
perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara
bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana di maksud pada ayat (1).
55

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), hlm.697
56
Ibid, hlm.1079

Universitas Sumatera Utara

52

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang
pernah dipidana karena melakukan
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E
menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat,
gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi
reproduksi dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman
identitas pelaku.
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat
(4) dapat dikenai tindakan berupa rehablitasi dan pemasangan alat
pendeteksi elektronik.
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama
dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak.
Tambahan pasal 82 yakni pasal 82A yang berbunyi:
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat (6) dilaksanakan
selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sbagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah
pengawasan secara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76E
Setiap

orang

dilarang

melakukan

kekerasan

atau

ancaman

kekerasan,

memaksa,melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul.
Dalam ketentuan pasal diatas, dapat disebutkan unsur-unsur tindak pidana
kekerasan seksual yang dapat dikenakan sanksi kepada pelaku, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

53

a. Setiap orang
Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
ialah setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi.
b. Melakukan kekerasan
Pada pasal 1 angka 15a dalam Undang-Undang yang sama, kekerasan
adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibatkan timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan fisik, psikis, seksual,dan/ atau penelantaran, termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum.
c. Ancaman kekerasan
Adalah serangan psikis yang mengakibatkan orang menjadi ketakutan
sehingga mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang
belum diwujudkan tapi menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai
pilihan selain mengikuti kehendak yang mengancam dengan kekerasan. Seperti
diancam akan ditembak, dibunuh, ditusuk, dan sebagainya.57
d. Memaksa
Yaitu memperlakukan dengan paksa; melakukan (mendesak, menekan,
dan sebagainya) dengan kekerasan (dengan kekuatan); mengharuskan (dengan
tidak boleh atau harus).58

57

P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus (Tindak pidana- Tindak Pidana Melanggar
Norman-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), (Bandung: Mandar Maju,1990),
hlm.113
58
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), hlm.697

Universitas Sumatera Utara

54

e. Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Yakni yang melakukan perbuatan cabul adalah si pembuat yang memaksa
dan yang membiarkan dilakukan perbuatan cabul adalah korban yang dipaksa
disebut pasif.
f. Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan
Mengadung pengertian bermacam tipu, berbagai daya upaya yang buruk.
Maksudnya perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong/palsu) dengan
maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untuk; kecoh.
g. Membujuk anak adalah orang tua, wali, pengasuh, pendidik, atau tenaga
kependidikan.

Universitas Sumatera Utara