Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Dengan Sengaja Membantu Melakukan Aborsi Studi Putusan PN Kendal No. 60 Pid.Sus 2013 PN Kendal

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fungsi reproduksi sering merepotkan manusia. Banyak pasangan ingin
sekali mendapat anak, tetapi sesudah hidup perkawinan selama sepuluh tahun atau
lebih, mereka belum dapat anak. Mereka bersedia memikul beban finansial yang
besar dan beban psikologi yang berat untuk mewujudkan cita-cita mempunyai
anak sendiri. Pasangan-pasangan seperti itu sekarang kerap kali bisa dibantu
berkat perkembangan ilmu kedokteran. Tetapi ironis sekali disisi lain ada
pasangan yang isterinya menjadi hamil, tetapi kehamilan tersebut tidak
diharapkan. Mereka justru menempuh segala cara untuk menggugurkan
kandungan tersebut tanpa pertimbangan nurani kemanusiaan. Mereka juga
mengalami beban psikologi yang berat, dan kadang-kadang biaya financial cukup
besar untuk mewujudkan

tujuan tersebut. Tentu saja, kehamilan yang tidak

diinginkan banyak terjadi juga diluar nikah.1
Dalam memandang bagaimana kedudukan aborsi di Indonesia sangat perlu
dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Apakah
perbuatan tersebut dilakukan untuk menolong nyawa sang ibu (indikasi medis)

atau hanya karena untuk menutupi aib keluarga dan perasaan malu saja. Sejauh
ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat
sebagai tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi
pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan abortus

1

K.Bertens,
Aborsi
Sebagai
WidiasaranaIndonesia), 2001, hal, 1

Masalah

Etika,(Jakarta:

PT.

Gramedia


Universitas Sumatera Utara

provokatus medicialis. Sedangkan aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak
pidana lebih dikenal sebagai abortus provokatus criminalis. Terlepas dari
persoalan apakah pelaku aborsi melakukannya atas dasar pertimbangan kesehatan
(abortus provokatus medicialis) atau memang melakukannya atas dasar alasan
lain yang kadang kala tidak dapat diterima oleh akal sehat, seperti kehamilan yang
tidak dikehendaki oleh sang ibu atau takut melahirkan ataupun karena takut tidak
mampu membesarkan anak karena minimnya kondisi perekonomian keluarga. 2
Berkaitan dengan pilihan menggugurkan atau mempertahankan kehamilan
sekarang dikenal istilah yang disebut dengan prochoice dan prolife. Prochoice
adalah pandangan yang menyatakan bahwa keputusan menggugurkan atau
mempertahankan kandungan adalah hak mutlak dari ibu yang mengandung bayi
tersebut. Pandangan ini berawal dari keinginan untuk mengurangi angka kematian
ibu akibat aborsi, karena dengan melarang aborsi ternyata ibu yang akan aborsi
menggunakan jasa – jasa aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) sehingga
banyak ibu yang meninggal ketika menjalani aborsi. Jika pandangan ini diterima
oleh masyarakat dan kemudian ditetapkan dalam sistem hukum Indonesia, maka
aborsi tidak akan dilarang lagi. Lebih lanjut pemerintah wajib untuk menyediakan
fasilitas klinik aborsi yang akan melayani ibu- ibu yang melakukan aborsi. Klinik

aborsi ini mempunyai tingkat keamanan yang tinggi, karena menggunakan standar
prosedur aborsi yang aman (safe abortion). Adanya safe abortion akan membuat
berkurangnya jumlah kematian ibu akibat aborsi.3

2

http://www.aborsi.org/hukumaborsi.html, diakses pada tanggal 3 November 2011 ,
20:30 WIB
3
K. Bertens, Aborsi Sebagai Masalah Etika, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2001), hal,5

Universitas Sumatera Utara

Di lain pihak prolife adalah pandangan yang menentang adanya aborsi.
Mereka berpandangan bahwa janin mempunyai hak hidup yang tidak boleh
dirampas oleh siapapun, termasuk oleh ibu yang mengandungnya. Melakukan
aborsi sama saja dengan melakukan pembunuhan, dan pembunuhan merupakan
dosa yang sangat besar. Oleh karena itu para penganut paham prolife ini sangat
menentang


dilakukannya

aborsi.

Menurut

mereka

melegalisasi

aborsi

bertentangan dengan agama karena memang kelompok prolife ini kebanyakan
berasal dari kaum agamawan tetapi memiliki pandangan prolife4
Dalam hukum positif di Indonesia, pengaturan tindakan aborsi terdapat
dalam dua undang-undang yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang
selanjutnya akan ditulis KUHP) Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 serta diatur
dalam Undang-Undang ( yang selanjutnya akan ditulis UU) No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan Pasal 75, 76,77. Terdapat perbedaan antara Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan dalam mengatur masalah aborsi. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun, sedangkan UndangUndang Tentang Kesehatan membolehkan aborsi atas indikasi medis maupun
karena adanya perkosaan. Akan tetapi ketentuan aborsi dalam Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 tetap ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar misalnya
kondisi kehamilan maksimal 6 bulan setelah hari pertama haid terakhir. Selain itu
berdasarkan Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, tindakan medis
(aborsi), sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat

4

Ibid.hal,6

Universitas Sumatera Utara

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan
tim ahli. Hal tersebut menunjukkan bahwa aborsi yang dilakukan bersifat legal
atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum dan segala perbuatan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan
merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan.5

Berbeda dengan aborsi yang dilakukan tanpa adanya pertimbangan medis,
aborsi tersebut dikatakan illegal serta tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Tindakan aborsi ini dikatakan sebagai tindak pidana atau tindak kejahatan karena
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengkualifikasikan perbuatan
aborsi tersebut sebagai kejahatan tehadap nyawa. 6
Dalam prosesnya, tindakan aborsi ada yang dilakukan sendiri, ada pula
yang menggunakan bantuan orang lain. Aborsi yang dilakukan sendiri misalnya
dengan cara memakan obat-obatan yang membahayakan janin, atau dengan
melakukan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja ingin menggugurkan janin.
Sedangkan bila dengan bantuan orang lain, aborsi dapat dilakukan dengan bantuan
dokter, bidan, dukun berana atau rakyat sipil lainnya. Apabila tindak pidana aborsi
ini dibantu oleh orang lain, maka peristiwa pidana tersebut terdapat lebih dari 1
orang pelaku, sehingga harus dicari pertanggungjawaban dan peranan masing –
masing peserta dalam peristiwa tersebut. Pertanggungjawaban pidana ialah
diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara

5

Sulistyowati Irianto, Perempuan Dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berspektif
Kesetaraan Dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI Jaya,2006),

hal,521
6
Ibid.hal.522

Universitas Sumatera Utara

subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana
karena perbuatannya itu.7
Didalam hukum pidana, orang yang turut serta melakukan tindak pidana
aborsi disebut dengan deelneming. Turut serta (deelneming) adalah suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, yang mana antara orang yang
satu dengan yang lainnya terdapat hubungan sikap batin dan atau perbuatan yang
sangat erat terhadap terwujudnya tindak pidana tersebut. Bentuk pernyertaan
tersebut terdiri atas: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh melakukan tindak
pidana. Adanya hubungan kesengajaan dengan tindak pidana yang hendak
diwujudkan serta mengetahui antara pelaku dengan pelaku yang lain nya dan
bahkan dengan apa yang diperbuat oleh pelaku tersebut merupakan syarat
penyertaan dari sudut subjektif. Di dalam Kitab Undang –undang Hukum Pidana
(KUHP) terdapat dua bentuk penyertaan, yang disebut sebagai pembuat (dader)
dan pembantu (mededader)

Adapun kedudukan dari pembuat (dader) dan pembantu (mededader)
diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu: dalam Pasal 55
KUHP menyebutkan empat golongan pembuat (dader) yang dapat dipidana yaitu
pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta (medepleger), dan
penganjur (uitlokker). Sedangkan didalam Pasal 56 KUHP menerangkan yang
dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan (mededader), yaitu: mereka yang

7

Aborsi sering juga disebut dengan abortus provocatus (pengguguran kandungan) yang
merupakan suatu kejahatan dengan fenomena seperti gunung es. Namun dalam tulisan ini akan
tetap disebut sebagai aborsi karena istilah ini mencakup lebih luas dengan terkaitnya
pemberantasan tindak aborsi.

Universitas Sumatera Utara

sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan mereka yang
memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Apapun alasan yang diajukan untuk menggugurkan kandungan, jika hal itu
bukan disebabkan alasan medis maka ibu dan orang yang membantu

menggugurkan kandungannya akan dihukum pidana. Sebagaimana penguguran
dan pembunuhan kandungan atas persetujuan perempuan yang mengandung dapat
dijerat dengan Pasal 348 KUHP yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan sengaja mengugurkan atau mematikan kandungan
seorang perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 5 tahun 6 bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Namun demikian, meskipun terdapat pro dan kontra tentang aborsi, serta
secara jelas dan tegas Undang-Undang menyatakan bahwa pada dasarnya aborsi
adalah perbuatan yang dilarang, tetap saja dalam kenyataan sekarang ini, aborsi
tetap marak dengan berbagai cara dan alasan yang mendasarinya, misalnya kasus
Fitrotun alias Fita Binti Muhtarom (24 thn) dan Priyanto alias Kambing Binti
(alm) Sakban (42 thn)

pada awalnya terdakwa I (Fitrotun als Fita) dengan

maksudmembantu Munjaroah yang datang menceritakan bahwa Munjaroah telah
hamil selama 2 bulan oleh pacarnya dan ingin menggugurkan janinnya dengan
alasan Fitrotun belum siap menikah karena masih punya anak yang masih kecil

dan masih mempunyai tanggungan hutang ;
Kemudian terdakwa I (Fitrotun als. Fita) menghubungiterdakwa II
(Priyanto als. Kambing) untuk dicarikan obat penggugur janin dengankesepakatan
harga sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setelah dihubungioleh terdakwa I

Universitas Sumatera Utara

(Fitrotun als. Fita), Priyanto langsung menghubungi Stefanus Herman yang
membuka toko obat di pasar Johar Semarang untuk memesan obat penggugur
janin, setelah mendapatkan obat penggugur janin dari terdakwa II (Priyanto als.
Kambing) kemudiaan menyerahkannya kepada Fitrotun di Lokalisasi Gambilangu
turut RT.2 RW.1 Desa Sumberejo Kec. Kaliwungu Kab. Kendal pada hari Senin
tanggal 30 September 2013;
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan skripsi dengan
mengangkat judul ”Pertanggungjawaban Tindak Pidana Dengan Sengaja
Membantu Melakukan Aborsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kendal
No.60/Pid.Sus/2013/PN.Kendal)“.
B. RumusanMasalah
Agar pembahasan dalam penulisan ini tidak melebar, maka Penulis

memberikan batasan dalam pembahasan,yaitu :
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang pembantuan terhadap tindak pidana
aborsi di Indonesia ?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan
sengaja membantu melakukan aborsi (studi putusan pengadilan negeri Kendal
nomor 60/Pid.Sus/2013/PN.Kendal) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan tentang pembantuan terhadap tindak pidana
aborsi di Indonesia

Universitas Sumatera Utara

2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana
dengan sengaja membantu melakukan aborsi menurut putusan pengadilan
negeri Kendal No. 60/Pid.Sus/2013/PN. Kendal
Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini dapat memberi
manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya
tentang pemahaman mengenai penanganan tindak pidana aborsi khususnya yang
dilakukan oleh pelaku turut serta.
2. Manfaat Praktis
Memberi masukan kepada pemerintah, aparat penegak hukum dan pihak
yang berkompeten dibidang penangan tindak pidana aborsi.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Dengan Sengaja membantu melakukan Aborsi (studi putusan
pengadilan negeri Kendal No. 60/Pid.Sus/2013/PN.Kdl)” sepengetahuan penulis
bahwa dilingkungan Universitas Sumatera Utara penulisan tentang judul tersebut
belum pernah dilakukan oleh mahasiswa lain sebelumnya dan skripsi ini asli
disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat. Semua ini merupakan implikasi
etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, apabila dikemudian hari

Universitas Sumatera Utara

terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan mempertanggung
jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaar feit.8 Para ahli hukum mengemukakan istilah yang
berbeda-berbeda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit sayangnya
sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Beberapa istilah yang pernah
digunakan, baik dalam perundang-perundangan yang ada dalam literature hukum
sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit ini adalah sebagai berikut:9
a. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita, hampir seluruh peraturan perundang-undangan
menggunakan istilah tindak pidana. Ahli

hukum yang menggunakan

istilah ini seperti Wirdjono Prodjodikoro.
b. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Tresna
dalam bukunya asas-asas Hukum Pidana, H.J.Van Schravendijk dalam
buku pelajaran tentang hukum pidana, Zainal Abidin, dalam buku beliau
Hukum Pidana.
c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin Delictum juga digunakan
untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.

8

Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana edisi 2, (Medan:USU Press,2013),

hlm,73
9

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: stelsel Pidana, Teori-teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005), hlm,68

Universitas Sumatera Utara

Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan
perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya.
“Tindak” menunjuk pada kelakuan manusia yang pasif atau negative (naleten).
Padahal pengertian yang sebenarnya dala istilah feit itu adalah termasuk baik
perbuatan aktif maupun pasif tersebut.10 Menurut Tongat, penggunaan berbagai
istilah

tersebut

pada

hakikatnya

tidak

menjadi

persoalan,

sepanjang

penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya. 11 Secara
harfiah tindak pidana, peristiwa pidana, dan perbuatan pidana merupakan
beberapa istilah dari penterjemahan istilah strafbaar feit kedalam bahasa
Indonesia, dimana istilah strafbaar feit terdiri dari: straf

berarti hukuman

(pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit berarti peristiwa (perbuatan). Jadi
istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang
dapat dipidana.12
Beberapa pengertian Tindak Pidana yang dirumuskan oleh para ahli
yaitu:13
a. D.Simons
Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan

10

Ibid.,hlm,70.
Tongat,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang:UMM Press), hlm,102
12
P.A.F Lamintang, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia,(Bandung:Sinar Baru,,
1997), hlm,181
13
Tongat. Op.Cit, hlm,105
11

Universitas Sumatera Utara

seperti ini, maka menurut simons untuk adanya suatu tindak pidana harus
dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1). Perbuatan manusia, baik dalam pengertian arti perbuatan positif
(berbuat) maupun negatif ( tidak berbuat )
2). Diancam dengan pidana
3). Melawan hukum
4). Dilakukan dengan kesalahan
5). orang yang mampu bertanggungjawab
b. J.Bauman
Menurut J.Bauman, perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan.
c. Wirdjono Prodjodikoro
Menurut beliau,tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan pidana.
d. Pompe
Menurut Pompe,dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit
(tindakan), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.
2. Pengertian Membantu Melakukan
Pidana berdasarkan Pasal 56 KUHP:14Dihukum sebagai orang yang
membantu melakukan kejahatan:
1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;

14

KUHPidana

Universitas Sumatera Utara

2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia
sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak
sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan
itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau
“tadah” melanggar Pasal 480 KUHPidana, atau peristiwa pidana yang tersebut
dalam Pasal 221 KUHPidana.15
Dalam penjelasan Pasal 56 KUHPidana ini dikatakan bahwa elemen
“sengaja” harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak
mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk
melakukan kejahatan itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan
itu harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau
keterangan itu. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri,
maka orang itu bersalah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).16
Klasifikasi menurut pasal 56 dan 57 KUHPidana yaitu membantu
melakukan yaitu dengan adanya pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang
didalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan yaitu pelaku tindak
pidana dan ada orang lain yang membantu terlaksananya tindak pidana itu.
Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu
tindak pidana. Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak

15

R. Soesilo.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1981),
16
Penjelasan Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Universitas Sumatera Utara

pidana itu dan ada orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidana itu.
Hal ini diatur dalam pasal 56 KUHP, yang menyebutkan:17
Dipidana sebagai pembantu kejahatan kejahatan:
1) Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan yang
dilakukan.
2) Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Dalam hal membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana. Hal ini
dipertegas dalam pasal 60 KUHP. Membantu dalam delik pelanggaran tidak
dipidana karena dianggap demikan kecil kepentingan hukum yang dilanggar.
Melihat pasal 56 diatas, pembantuan dapat dibedakan berdasarkan waktu
diberikannya suatu bantuan terhadap kejahatan, antara lain:
1. Apabila bantuan diberikan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi
jenis bantuannya. Berarti jenis bantuan apapun yang diberikan oleh orang
yang membantu dalam suatu kejahatan dapat dipidana.
2. Apabila bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan, jenis bantuan
dibatasi yaitu kesempatan, sarana, dan keterangan.
Tentang pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya
termuat dalam pasal 57 KUHP yang berbunyi:
1. Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan
dikurangi sepertiga.
2. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
17

H.Loebby Loqman., Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta :
Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hal,59.

Universitas Sumatera Utara

4. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkna hanya
perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta
akibat-akibatnya.
Dalam penjelasan pasal 57 meniyatakan dalam hal pembantuan,
maksimum

pidana

pokok

terhadap

kejahatan,

dikurangi

sepertiga.

Pertanggungjawaban pembantu dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang
dibantunya saja. Apabila dalam suatu peristiwa ternyata terjadi tindak pidana yang
berlebih, maka tindak pidana yang lebih tersebut bukan merupakan tanggung
jawab pembantu. Kecuali tindak pidana yang timbul tersebut merupakan akibat
logis dari perbuatan yang dibantunya. 18
3. Pengertian Aborsi
Istilah aborsi dipakai kalangan kedokteran dan hukum. Aborsi (abortus,
abortion) adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin
mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, defenisi ini terbatas pada terminasi
kehamilan sebelum 20 (dua puluh minggu) didasarkan pada tanggal hari pertama
haid normal terakhir. Defennisi lain yang sering digunakan adalah keluarnya janin
yang beratnya kurang dari 500 (lima ratus) gram.19Didalam kamus hukum
karangan Sudarsono20, disebutkan:
a. Abortus (Lat),- abortus: terpencarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup
(sebelum habis bulan keempat dari kehamilan); keguguran; keluaran; keadaan
terhentinya pertumbuhan yang normal (tentang makhluk hidup); guguran
(janin).

18

Ibid.,hlm. 61
F.Gray Cunningham, Norman F.Gant dkk. Obstetri Williams Edisi 21, (Jakata, Penerbit
Buku Kedokteran :2006), hlm.951.
20
Sudarsonno, Kamus Hukum, (Jakarta, Asdi Mahasatya: 2007), hlm.9
19

Universitas Sumatera Utara

b. Abortus Procuratio (Lat), pengguran bayi yang ada dalam kandungan

dengan

sengaja ialah, dengan mengusahakan lahirnya bayi sebelum waktunya

tiba.

c. Abortus Provocatus (Lat); keguguran karena kesengajaan, keguguran
kandungan (kehamilan) dikarenakan adanya kesengajaan. Abortus disebabkan
adanya unsur-unsur kesengajaan dari pihak manapun adalah merupakan
tindak pidana yang dapat dituntut.
Secara medis, abortus adalah penghentian dan pengeluaran hasil
kehamilan dari rahim sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. 21 Sebagai
batasan ialah kehamilan kurang dari 20 (dua puluh minggu ) atau berat janin
kurang dari 500 (lima ratus) gram. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan
disebut abortus spontang, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja
dilakukan tindakan disebut abortus provokatus.22 Menurut Saifullah, aborsi dapat
dibagi kedalam dua macam, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan. Aborsi buatan
terbagi dua macam pula yaitu Aborsi Artificialis Theraphicus dan Aborsi
Provocatus Criminali.23
Aborsi

(Pengguguran)

berbeda

dengan

keguguran,

Aborsi

atau

pengguguran kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang
disengaja (abortus provocatus), yakni kehamilan yang di provokasi dengan
21

Mien Rukmini, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat
Perkosaan, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional departemen Kehakiman dan HAM RI.
2002), hlm.18.
22
Sarwono Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, (Jakarta, PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: 2008), hlm.72.
23
Yang dimaksud dengan Aborsi Artificialis Therapicus adalah pengguguran yang
dilakukan dokter atas dasar indikasi medis sebagai penyelamatan terhadap nyawa ibu yang
terancam bila kelangsungan kehamilan dipertahankan oleh pemeriksaan medis yang menunjukkan
gejala itu. Sedangkan yang dimaksud Aborsi Provocatus Criminalis adalah pengguguran yang
dilakukan tanpa dasar indikasi medis, misalnya untuk meniadakan hasil hubungan seks diluar
perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki. Lihat Saifullah dalam Mien
Rukmini, et.al., Op.Cit., hlm.21-22.

Universitas Sumatera Utara

berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran. Keguguran adalah kehamilan
berhenti karena faktor-faktor alamiah (abortus prontaneous).24Abortus provocatus
meliputi :25
a. Abortus Provocatus Medicalis, yakni penghentian kehamilan (terminasi)
yang disengaja karena alasan medis, praktek ini dapat dipertimbangkan,
dapat dipertanggungjawabkan, dan dibenarkan oleh hukum.
b. Abortus Provocatus Criminalis, yakni penghentian kehamilan (terminasi)
ataunpengguguran kandungan yang melanggar kode etik kedokteran,
melanggar hukum agama, dan melanggar undang-undang (criminal. Cara
tersebut kasusnya dapat diperkarakan.
Secara umum dan singkat, dapat di rinci bahwa faktor yang mendorong
seseorang melakukan aborsi adalah :26
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Kondisi usia masih muda atau menurutnya belum layak memiliki anak,
Malu diketahui oleh orangtua atau keluarga masyarakat,
Pria yang menghamilinya tidak bertanggungjawab (kabur),
Masih bersekolah,
Kondisi ekonomi yang tidak mencukupi.
Janin yang dikandung akibat perkosaan,
Dorongan dari orangtua atau keluarga.
Metode untuk pelaksanaan aborsi dapat dilakukan dengan menempuh

berbagai cara, diantaranya dengan cara menggunakan jasa ahli medis dirumah
sakit atau kepada para dukun atau bahkan menggugurkan kandungannya sendiri
dengan memakai alat-alat yang kasar. Penggunaan jasa dukun yang tidak memiliki

24

Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi, (Jakarta:Fakultas Kedokteran Indonesia :
2009 ), hlm.64.
25
Ibid, hlm.64.
26
Mien Rukmini, Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat
Perkosaan, (Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI,
2002), hlm.2

Universitas Sumatera Utara

keahlian dalam pengguguran kandungan biasanya menggunakan cara-cara yang
kasar dan keras seperti memijat beberapa bagian tertentu, perut atau pinggul
misalnya, atau tubuh wanita yang akan digugurkan kandungannya. Pengguguran
kandungan yang dilakukan secara medis dibeberapa rumah sakit biasanya
menggunakan metode antara lain:
a. Kuretasi dan Dilatasi27
b. Mempergunakan alat khusus untuk memperlebar mulut rahim kemudian
janin dikuret dengan alat seperti sendok kecil.
c. Aspirasi, yaitu penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.
d. Operasi.
Metode aborsi lain seperti penggunaan pil aborsi atau RU-486 ditemukan
di Perancis dan mulai dipakai disana sejak 1988. Selain di Perancis, pil aborsi ini
juga dipakai di 11 negara lain dan 15 negara UNI Eropa. Di Amerika, setelah
masa pertimbangan yang lama sekali, pil aborsi ini baru disetujui oleh Food and
Drug Administration pada tahun 2000.28
Melalui Internet pil aborsi ini dijual dengan sangat bebas. Nama kimia dari
pil aborsi ini adalah Mifepristone, namun lebih dikenal dengan nama Pil Abortus,
RU-486, Mifegyn, atau Mifeprex. Ada juga Misoprostol atau yang lebih dikenal
dengan nama Cytotec, Arthrotec, Oxaprost, Cyprostol, Mibetec, Prostokos, atau

27

Kurentasi dan dilatasi adalah operasi rahim untuk wanita. Dilatasi adalah membuka
leher rahim, kuretasi adalah mengangkat isi rahim. Kuretasi dapat dilakukan dengan cara
menggosokkan alat pada dinding rahim (alat tersebut adalah kuret atau kuretase hisap/aspira
vakum yang berbentuk seperti vakum). Metode ini biasanya dilakukan untuk mengeluarkan
jaringan yang tertinggal di dalam rahim. Ibid, hlm 25.
28
Ibid, hlm:25.

Universitas Sumatera Utara

Misotrol.29 Cara ini adalah cara yang paling aman bagi wanita untuk
menggugurkan kehamilannya sampai dengan usia 12 minggu. Beberapa website
bahkan menjamin tingkat keberhasilan dari penggunaan pil aborsi ini lebih dari
97%.
4. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Membicarakan pertanggungjawaban pidana harus didahului dengan
mengetahui apa itu perbuatan pidana. Sebab seseorang tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana,
karena akan tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu
tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut. 30
Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk kedalam pengertian
pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang
dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang
melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung apakah dalam
melakukan perbuatan itu, orang tersebut memiliki kesalahan (Geen straf zonder
schuld; actus non facit reum nisi mens sist rea).31
Dalam hukum pidana, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Dalam bahasa Inggris doktrin
tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind
is legally blameworthy (suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah
29

http://www.womenonwaves.org/id/page/702/how-to-do-an-abortion-with-pillsmmisopr
ostol-cytotec.htmldiakses tanggal 21 april 2017, 20: 45 WIB
30
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana,Jakarta:Aksara
Baru, 1983, hlm.20-23
31
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta:Rineka Cipta, 2008), hlm.165

Universitas Sumatera Utara

kecuali jika pikiran orang itu jahat). Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat di pidananya seseorang, yaitu perbuatan lahiriah
yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat (mens
rea).32
Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan diteruskannya celaan objektif
yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk
dapat dipidana karena perbuatannya itu. 33 Dasar adanya perbuatan pidana adalah
asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya seseorang adalah asas
kesalahan. Hubungan mengenai pertanggungjawaban pidana dengan kesalahan
tersebut ddipertegas oleh Roeslan Salah dalam bukunya yang berjudul Perbuatan
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Dalam
Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa :
“Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pelaku bukanlah
bergantung apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada
apakah si terdakwa tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana
itu. Karena itulah maka juga dikatakan : dasar daripada adanya perbuatan
pidana adalah asas terlarang dan diancam dengan pidana barang siapa
yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat
adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.34
Perbedaan mendasar dari delik pidana dengan pertanggungjawaban pidana
terletak pada unsurnya. Walaupun unsur tiap delik berbeda, namun pada
umumnya memiliki unsur yang sama seperti:
a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif
b. Akibat Yang ditimbulkan

Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No.
11 Tahun 1999, hlm.27
33
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana,( Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm.156
34
Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm.76
32

Universitas Sumatera Utara

c. Melawan hukum formil dan melawan hukum materil
d. Tidak ada alasan pembenar35
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesalahan
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidanakan seseorang. Tanpa
itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Oleh karena itu dalam
hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder
schuld).
Prof. Romli Artasasmita, pakar ilmu hukum pidana menyatakan konsep
sistem

pertanggungjawaban

pidana

sebagai

berikut:

rumusan

tentang

pertanggungjawaban atau liability, seorang filosof besar hukum abad ke-20,
Roscou Pound menguraikan bahwa liability diartikan sebagai kewajiban untuk
membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah
dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang
terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan
adanya keyakinan bahwa pembalasan sebagai suatu alat penangkal, maka
pembayaran ganti rugi bergeser kedudukannya yang semula sebagai suatu hak
istimewa kemudian menjadi suatu kewajiban. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi
dari nilai suatu pembalasan yang harus dibayar, melainkan dari sudut berapa
kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang
bersangkutan.36
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang
sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan
35

H. A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta:Sinar Grafika, 2007) hlm.221.
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama,
Yayasan LBH, Jakarta, 1989, Hal. 79.
36

Universitas Sumatera Utara

objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur
pertangungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari
kemampuan bertanggungjawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
a. Kemampuan bertanggung jawab
Moeljatno

menyimpulkan

bahwa

untuk

adanya

kemampuan

bertanggungjawab harus ada37:
1) Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk yang merupakan faktor akal.
2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut yang merupakan faktor
perasaan/kehendak.
b. Adanya kesalahan pembuat
Terdapat dua kesalahan yaitu:
1) Kesengajaan (dolus)
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori
kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori
kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur
delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan
pistol kepada B dan A menembak mati B. A adalah “sengaja” apabila A
benar-benar menghendaki kematian B.
37

Moeljatno, Op.cit, Hal. 178.

Universitas Sumatera Utara

Menurut teori pengetahuan atau membayangkan, manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu
akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena
suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu
tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang
terlebih dahulu dibuat.
Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu:
a) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk) adalah apabila pembuat
menghendaki akibat perbuatannya atau dengan kata lain jika
pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya
tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui
perbuatannya.
b) Sengaja dilakukan dengan keinsyafan agar tujuan tercapai,
sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa
pelanggaran juga.
c) Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan besar
dapat ditimbulkan suatu pelanggaran disamping pelanggaran
pertama.
2) Kealpaan (culpa)
Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud
melanggar

larangan

mengindahkan

dalam

larangan

itu.

undang-undang,
Dalam

kealpaan,

tetapi

ia

tidak

terdakwa

tidak

Universitas Sumatera Utara

mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan
sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang
dilarang. Menurut Moeljatno mengutip pernyataan Van Hamel,
kealpaan mengandung dua syarat yaitu tidak mengadakan pendugapenduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan
penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat, maka kealpaan
tersebut dapat dibedakan atas dua, yaitu:
a) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) terjadi apabila si pembuat
dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya
suatu akibat yang menyertai perbuatannya meskipun ia telah
berusaha mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.
b) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) terjadi apabila si
pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan
timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi
seharusnya

ia

dapat

membayangkan

atau

memperkirakan

kemungkinan suatu akibat tersebut.
Ada pula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat
ringannya, yang terdiri dari:
a) Kealpaan berat (culpa lata) dan
b) Kealpaan ringan (lichte chuld)
c. Alasan penghapus pidana
Terdapat dua alasan:

Universitas Sumatera Utara

1) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
pada diri orang tersebut; dan
2) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
di luar orang itu.
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain
terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat
dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pelaku. Oleh karena itu
dibedakan dua jenis alasan penghapusan pidana, yaitu:
1) Alasan pembenar yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik
dalam undang-undang.
2) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan yaitu seseorang tidak
dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatannya bersifat melawan
hukum. Dalam hal ini ada alasan yang menghapuskan kesalahan dari
pelaku sehingga tidak dipidana.
Di dalam KUHP sendiri, tidak disebutkan secara eksplisit sistem
pertanggungjawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering
menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan, namun kedua istilah
tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Baik
negara-negara civil law maupun common law, merumuskan pertanggungjawaban
pidana secara negatif yaitu undang-undang merumuskan keadaan-keadaan yang
dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. Perumusannya dapat

Universitas Sumatera Utara

dilihat pada ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya
merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.38
Dengan demikian ternyata bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa
harus39:
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
b. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab.
c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan.
d. Tidak adanya alasan pemaaf.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana.
Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula serta merta akan
dijatuhi pidana. Pelaku tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai
kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normative yaitu
dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan
terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan.
2. Data dan Sumber Data
38
39

Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, Hal. 260.
Moeljatno, Op.cit, Hal. 177.

Universitas Sumatera Utara

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data skunder, yang diperoleh
dari :
a. Bahan hukum primer
Yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihakpihak yang berwenang diantaranya Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah
No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi dan Putusan Pengadilan
Negeri Kendal Nomor 60/Pid.Sus/2013/PN.Kendal
b. Bahan Hukum sekunder
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang
berkaitan dengan tindak pidana turut serta membantu melakukan aborsi, seperti
seminar-seminar, jurnal - jurnal hukum. Majalah-majalah, surat kabar/Koran,
karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan
persoalan diatas.
c. Bahan Hukum Tertier
Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus,
ensiklopedia dan lain- lain
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut
dengan data sekunder, adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan

Universitas Sumatera Utara

skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku, baik koleksi pribadi maupun dari
perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media
elektronik,

dokumen-dokumen

pemerintah,

termasuk

peraturan-peraturan

pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisis
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif,. Metode deduktif dilakukan
dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif
dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan
topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan
tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
Data yang diperoleh dari penelitian studi dokumen ini disusun secara
sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang penyelesaian hukum dalam tindak
pidana aborsi yang dilakukan oleh pihak turut serta (deelneming) membantu.
Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian ,
menghubungkan dengan peraturan – peraturan yang berlaku, menghubungkan
dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan
pendekatan deduktif.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi
ini dan untuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini
kedalam 4 (empat) Bab.
BAB I

: PENDAHULUAN

Universitas Sumatera Utara

Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN
TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA
Berisi tentang penegakan hukum di Indonesia, dan bentuk-bentuk pidana
pembantuan terhadap tindak pidana aborsi serta sanksi pidana yang
dijatuhkan terhadap pidana pembantuan terhadap tindak pidana aborsi.
BAB III :PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK

PIDANA

MELAKUKAN

DENGAN

ABORSI

(StudI

SENGAJA
Putusan

PN

MEMBANTU
Kendal

No.

60/Pid.Sus/2013 /PN.Kendal )
Menguraikan pertanggungjawaban terhadap tindak pidana dengan segaja
membantu melakukan aborsi
60/Pid.Sus/2013/PN.Kendal.

dalam putusan PN.

Bab

ini

menjelaskan

Kendal
secara

no.
detail

pertanggungjawaban tindak pidana serta berisi tentang penerapan hukum
pidana materil terhadap pelaku pidana pembantuan terhadap tindak
pidana aborsi, dimana penulis akan mendeskripsikan kasus yang
menyangkut tentang pidana pembantuanterhadap tindak pidana aborsi
dan penulis akan memberikan analisi terhadap kasus tersebut.
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan dan pembahasan skripsi ini dan saran-saran
yang berguna bagi siapa saja yang membaca skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara