Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak (Studi Putusan Nomor 9 Pid.sus 2016 PN-Gst)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam
produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh
melalui satelit dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dampak negatifnya
antara lain semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang
berpotensi meningkatnya jumlah orang melawan hukum pidana dalam berbagai
bentuk. 1
Mengingat bahwa pembangunan nasional berjalan seiring dengan
kemajuan budaya dan iptek, perilaku manusia didalam hidup bermasyarakat dan
bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multi kompleks. Perilaku
demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat
dikategorikan sesuai dengan norma dan ada yang tidak. Seseorang akan cenderung
berusaha memenuhi kebutuhannya dalam rangka mempertahankan hidup. Bagi
mereka yang memiliki keahlian dibidang tertentu dan ditunjang dengan tingkat
pendidikan yang memadai akan cenderung memiliki tingkat ekonomi yang lebih
terjamin karena mereka dapat memperoleh pekerjaan berdasarkan keahlian yang
dimilikinya tersebut. Lain halnya bagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan

yang bisa dikatakan rendah dan tidak memiliki keahlian tertentu. Mereka
1

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Repika Aditama, 2009), hlm. 1

1
Universitas Sumatera Utara

2

cenderung memiliki tingkat ekonomi yang menengah ke bawah. Seiiring
kemajuan jaman, kebutuhan mereka akan terus bertambah sedangkan di sisi lain
perekonomian mereka semakin terpuruk, serta dapat memicu seseorang untuk
mengambil jalan pintas demi memenuhi kebutuhannya dengan melakukan
tindakan yang dapat merugikan masyarakat, yaitu kejahatan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, anak sebagai
korban kekerasan selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari
2011 sampai 2015, terjadi peningkatan yang sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178
kasus, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus, 2015
tercatat 6006 kasus.2

Setiap tindak pidana kriminal pasti ada pelaku baik itu orang dewasa
maupun anak-anak yang menimbulkan korban. Siapa saja dapat menjadi korban
kejahatan namun pada umumnya adalah perempuan dan anak karena berdasarkan
fisik mereka lebih lemah dari pelaku yang pada umumnya laki-laki, maupun
korban yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pihak lain.
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan sebuah bangsa
dan negara. Memelihara keberlangsungan hidup anak adalah tanggung jawab
orangtua yang tidak boleh diabaikan.3 Korban adalah mereka yang menderita
jasmani dan rohani sebagai akibat dari tindakannya sendiri maupun tindakan dari

2

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat
diakses pada tanggal 5 Juni 2017 jam 22.00 Wib.
3
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika Aditama,
2008), hlm. 1

Universitas Sumatera Utara


3

pihak lain, yang ingin mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau pihak lain
yang bertentangan dengan hak asasi yang dirugikan4.
Pada hakekatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam
melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam
pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya.5 Adapun tindak
pidana kesopanan dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum terhadap rasa
kesopanan masyarakat. Kehidupan sosial manusia dalam pergaulan sesamanya
selain dilandasi oleh norma-norma hukum yang mengikat secara hukum, juga
dilandasi oleh norma-norma pergaulan yaitu norma-norma kesopanan. Normanorma kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal
rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat.
Pemerkosaan yang dilakukan terhadap anak tentunya akan berdampak
pada psikologis maupun perkembangan lainnya. Dampak psikologi pada anakanak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan
sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa
terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Keadaan tersebut
kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban pemerkosaan
tersebut.

Perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor
4

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta; Akademi Prassindo, 1993), hlm. 63
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika Aditama,
2008), hlm. 2
5

Universitas Sumatera Utara

4

seperti kondisi ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat. Dalam berbagai
peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan mengatur tentang
anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang
terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundangundangan yang bersangkutan berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak mengatur mengenai tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Ketentuan

tersebut terdapat dalam Pasal 81 ayat 1 yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)7
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang
dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan
kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang) sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan
yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu
ada hubungan yang erat pula. Kejadian itu tidak dapat dilarang, jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak
karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.8

6

Ibid, hlm. 32
Pasal 81 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
8

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, ( Jakarta Rineka Cipta,2008), hlm.59
7

Universitas Sumatera Utara

5

Kaitannya dengan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak terdapat
Putusan Nomor 9/Pid.sus/2016/PN Gst, dalam perkara tersebut terjadi perbuatan
pemerkosaan yang berakhir pada persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa
yang memaksa korbannya yaitu seorang anak perempuan dengan kekerasan
memaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilakukan secara berlanjut, oleh
karenanya perbuatan terdakwa terbukti memenuhi dakwaan Pasal 81 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana serta Peraturan Perundang-undangan di Pengadilan Negeri Gunung
Sitoli menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dan
denda sejumlah Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4

(empat) bulan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah
tersebut dengan judul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU
TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan
PN Gunung Sitoli Nomor 9/Pid.sus/2016/PN Gst).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana pemerkosaan terhadap
anak?

Universitas Sumatera Utara

6

2. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
dalam

Putusan


Pengadilan

Negeri

Gunung

Sitoli

Nomor

9/Pid.sus/2016/PN Gst)?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak.
2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak
pidana dalam Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli Nomor
9/Pid.sus/2016/PN Gst.
D. Manfaat Penulisan
a. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian dapat memberikan kegunaan untuk mengembangkan

ilmu hukum khususnya hukum pidana.
2. Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian lain yang sesuai
dengan bidang penelitian yang penulis teliti.
b. Manfaat praktis :
1. Sebagai informasi bagi masyarakat atau praktisi hukum instansi terkait
tentang tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan terhadap anak.
2. Memberikan masukan kepada pihak kepolisian dalam rangka
menangulangi tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan terhadap
anak.

Universitas Sumatera Utara

7

E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat
dan itu di pertanggungjawabkan pada si pembuat. Ada dua istilah yang menunjuk
pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility.
Liability merupakan istilah hukum yang sangat luas yang menunjuk hampir semua

karakter resiko atau tanggungjawab yang pasti, yang bergantung atau yang
mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensi
seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas
untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat
dipertanggungjawabkan
keterampilan,

atas

kemampuan

suatu
dan

kewajiban,
kecakapan

dan

termasuk


meliputi

juga

putusan,
kewajiban

bertanggungjawab atas undang-undang yang dilaksanakan.
Pertanggungjawaban pidana yang melakukan tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak yang tertulis di dalam Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu:
Pasal 81 berbunyi:9
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp.5000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
9

Pasal 81 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Universitas Sumatera Utara

8

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian

kebohongan,

atau

membujuk

anak

melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya
tiga unsur pokok, yaitu :
1. Unsur perbuatan
Perbuatan atau tindakan seseorang. Perbuatan orang ini adalah titik
pengubung dan dasar untuk pemberian pidana.10
2. Unsur orang atau pelaku
Orang atau pelaku adalah subjek tindak pidana atau seorang manusia.
Maka hubungan ini mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku
tindak pidana. Hanya dengan hubungan batin ini, perbuatan yang dilarang
dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku dan baru akan tercapai
apabila ada suatu tindakan yang pelakunya dapat dijatuhkan hukuman.
3. Unsur pidana melihat dari si pelaku
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu itu.11
Asas dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan
(Geen straf zonder schuld; actus non facit reumnisi mens sist rea). Asas ini tidak
tersebut dalam hukum tertulis tetapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di
indoneesia berlaku. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang
10
11

Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang; Fak.Hukum UNDIP,1997), hlm.64
Ibid, hlm.9

Universitas Sumatera Utara

9

melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle).12 Bahwa orang
dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan
pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa
melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk
mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karena dapat bahkan harus
menghindari untuk berbuat demikian.
Menurut Simons “Kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu
pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara
keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikan rupa, hingga
orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”.13
Seseorang itu harus memenuhi unsur-unsur kesalahan, untuk dapat dicela
atas perbuatannya sebagai berikut :
a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si
pelaku dalam keadaan sehat dan normal.
b. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik yang
disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa).
c. Tidak ada alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan.14
Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan
yang

tidak

dapat

dipisahkan

dengan

dua

unsur

tindak

pidana

lain.

Pertanggungjawaban yang merupakan inti dari kesalahan yang dimaksud di dalam
hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Sebenarnya
menurut etika setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatannya, tetapi
12

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta Rineka Cipta,2008), hlm.165
Ibid, hlm.171
14
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers,2014), hlm.82
13

Universitas Sumatera Utara

10

dalam hukum pidana yang menjadi pokok permasalahan hanyalah tingkah laku
yang mengakibatkan hakim menjatuhkan pidana. Ketentuan undang-undang tidak
memuat tentang apa yang dimaksud dengan “tidak mampu bertanggungjawab”
yang ada adalah alasan yang terdapat pada pelaku tindak pidana yang
mengakibatkan perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Tidak mampu dan kurang mampu bertanggungjawab berdasarkan pasal 44
ayat (1) KUHP berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya
(gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelije storing), tidak
dipidana”15
2. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak
pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata
delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tercantum “delik adalah
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang tindak pidana”16 sedangkan menurut pendapat Van
Hamel, strafbaar feit adalah “kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.17

15

Ibid, hlm.89
Ibid, hlm.47
17
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.59
16

Universitas Sumatera Utara

11

Delik strafbaar feit memuat beberapa unsur yakni:18
1. Suatu perbuatan manusia
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang dan
3. Perbuatan

itu

dilakukan

oleh

seseorang

yang

dapat

dipertanggungjawabkan
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan
yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)
juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum).19
Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah
tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung
dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan
tidak berbuat. Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP hanya
ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk
menyatakan suatu perbuatan (feit)

sebagai perbuatan yang dapat dipidana

(strafbaar feit)20. Asas legalitas atau yang dikenal dengan asas nulla poena dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP itu berasal dari rumusan bahasa latin oleh Anselm von
Feuerbsch yang berbunyi

: “nullum crimen, nulla poena, sine praevia lege

18

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana ,edisi revisi cet , Jakarta : PT Raja Grafindo Persada ,
2012, hlm 48
19
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.50
20
Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Medan: Usu press, 2013), hlm 75

Universitas Sumatera Utara

12

poenali” yang artinya : tiada kejahatan/ delik, tiada pidana, kecuali jika sudah ada
undang-undang sebelumnnya yang mengancam dengan pidana.21
Simons dalam P.A.F Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum. Alasan dari Simons apa sebabnya “strafbaar feit”
harus dirumuskan seperti diatas adalah karena:
a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus
terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwaajibkan oleh
undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut
harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yangdirumuskan
didalam undang-undang; dan
c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau
kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan
suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige
handeling.
Rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh Simons, menunjukan
bahwa dalam membicarakan perihal tindak pidana selalu dibayangkan bahwa

21

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.39

Universitas Sumatera Utara

13

didalamnya telah ada orang yang melakukan, dan oleh karenanya ada orang yang
dipidana. Menurut Simons sifat yang melawan hukum seperti dimaksud di atas itu
timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut adalah
bertentangan dengan suatu peraturan dari undang-undang hingga pada dasarnya
sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti yang
tersendiri seperti halnya dengan unsur-unsur lain. Di dalam beberapa rumusan
delik, undang-undang telah mensyaratkan secara tegas bahwa tindakan dari
pelakunya itu harus bersifat Wederrechtelijk. Apabila suatu tindakan itu telah
dilakukan dalam keadaan-keadaan dimana undang-undang sendiri telah
menentukan akibat hukumnya yaitu pelakunya tidak dapat dihukum, maka
jelaslah bahwa sifat wederrechtelijk dari tindakannya itu telah ditiadakan oleh
undang-undang dan dengan sendirinya orang juga tidak dapat berbicara mengenai
adanya suatu strafbaar feit.22
Menurut Konsep KUHP Baru tindak pidana pada hakikatnya adalah
perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materil. Pasal
11 konsep KUHP Baru menyebutkan:
1. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana.
2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang
dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga

22

M. Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana, Medan: Usu press, 2013

Universitas Sumatera Utara

14

bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat.
3. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali
ada alasan pembenar.
3. Pengertian Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak
Pemerkosaan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas
seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita,
dengan kekerasan. Pengertian pemerkosaan atau perkosa dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu proses, cara, perbuatan memperkosa, melanggar
dengan kekerasan. Pengertian lain pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal
berwatak sesuai yang terjadi ketika seseorang manusia atau lebih memaksa
manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina
atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti tangan atau benda-benda
tertentu secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Menurut R. Soesilo, bahwa pemerkosaan dijelaskan dengan istilah lain
yaitu persetubuhan adalah perpaduan antara anggauta kemaluan laki-laki dan
perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggauta laki-laki
harus masuk kedalam anggauta perempuan, sehingga mengeluarkan air mani,
sesuai dengan Arrest Hoge Raad.23
Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto, yang dimaksud dengan perkosaan
adalah suatu melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar.
23

R. Soesilo, KUHP Serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1986)

hlm.209

Universitas Sumatera Utara

15

Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak
dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa
hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan dilain pihak dapat dilihat sebagai
suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial.
Tindak pidana pemerkosaan dengan menyalahgunakan yang timbul dari
suatu keadaan adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seseorang,
baik itu ada hubungan keluarga maupun tidak memiliki hubungan keluarga,
kepada seseorang yang bermotif untuk menjadikannya sebagai objek kepuasan
seksual dengan cara memaksa dan mengancam untuk melakukan persetubuhan.
Mengenai kasus tindak pidana pemerkosaan, juga mempunyai beberapa
unsur baik unsur objektif maupun unsur subjektif seperti yang tercantum dalam
Pasal 287 KUHP ayat (1), yang bunyinya: “Barangsiapa bersetubuh dengan
seorang perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut
disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata
berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum
penjara selama-lamanya sembilan tahun ”.
a.
b.
c.
d.
e.

Unsur objektif :24
Perbuatan
: bersetubuh
Objek
: dengan perempuan di luar kawin
Yang umurnya belum 15 tahun;
atau jika umurnya tidak jelas belum waktunya kawin
Unsur subjektif
Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15
tahun

24

Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RG Persada, 2005, hlm. 70

Universitas Sumatera Utara

16

4. Pengertian anak dalam tindak pidana pemerkosaan
Secara nasional defenisi anak menurut perundang-perundangan, di
antaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun
atau yang belum menikah. Ada yang mengatakan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan
bahkan masih di dalam kandungan.
Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, memperjelaskan anak ke dalam pengertian sebagai berikut:
a) Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di Lapas Anak yang paling lama sampai berumur 18
tahun.
b) Anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada negara untuk dididik dan di tempatkan di Lapas Anak
paling lama sampai berumur 18 tahun.
c) Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling
lama sampai berumur 28 tahun.
Anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda dengan anak menurut
hukum islam dan hukum adat. Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat samasama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia
anak, sebab masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat
kedewasaan.

Universitas Sumatera Utara

17

Hukum Islam menentukan pengertian anak dilihat dari tanda-tanda pada
sesorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang
dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut memiliki tanda-tanda yang dimiliki
oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam hukum islam. Menurut Ter
Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat memberikan dasar untuk
menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat
unsur yang dipenuhi seseorang yaitu apakah anak tersebut sudah kawin,
meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan
keluarga sendiri.25
Beberapa negara memberikan pengertian seseorang dikatakan anak atau
dewasa dilihat dari umur dan aktivitas atau kemampuan berpikirnya. Perbedaan
anak pada setiap negara, dikarenakan adanya perbedaan pengaruh sosial
perkembangan anak di setiap negara. Aktivitas sosial dan budaya serta ekonomi
disebuah negara mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat kedewasaan
seorang anak.26
Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat beberapa pengertian anak
yaitu sebagai berikut:27
1. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.

25

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Repika Aditama, 2009),

hlm.34
26
27

Ibid, hlm.36
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012

Universitas Sumatera Utara

18

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut
anak korban adalah anak yang berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana.
3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
dapat

memberikan

keterangan

guna

kepentingan

penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat dan/ atau dialaminya sendiri.
5. Pengertian perlindungan anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak merupakan
usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan
peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di
kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan pisik maupun mental
sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan
kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai

Universitas Sumatera Utara

19

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun
tidak tertulis.28
Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta
pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu diadakan
dalam rangkah mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan secara
keseluruhan. Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengatakan:
“Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi
pendekatan untuk melindungan anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak sematamata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu
ekonomi,sosial dan budaya.”
Perlindungan Anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian, yaitu:29
1. Luas lingkup perlindungan
a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan,
pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum.
b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah.
c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder
yang berakimat pada prioritas pemenuhannya.
2. Jaminan pelaksanaan perlindungan:
a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada
jaminan terhadap pelaksaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat
28

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika Aditama,
2008), hlm. 33
29
Ibid, hlm.35

Universitas Sumatera Utara

20

diketahui, dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan
perlindungan.
b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam sustu peraturan tertulis
baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah, yang
perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggungjawabkan serta
disebarluaskan secara merata dalam masyarakat.
c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di
Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang
dilakukan di negara lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru
(peniruan yang kritis).
Dasar pelaksaan perlindungan anak adalah: 30
1. Dasar filosofis
Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis
pelaksaan perlindungan anak.
2. Dasar etis
Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi
yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksaan
kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan
anak.

30

Ibid, hlm.37

Universitas Sumatera Utara

21

3. Dasar yuridis
Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945
dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Penerapan dasar yuridis ini harus secara integrative, yaitu penerapan
terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang
hukum yang berkaitan.
Pelaksanaan

perlindungan

anak,

harus

memenuhi

syarat

yaitu

pengembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak; yang harus
mempunyai landasan filsafat, etika, dan hukum; secara rasional positif dapat
dipertanggungjawabkan; bermanfaat untuk yang bersangkutan; mengutamakan
perspektif

kepentingan

yang

mengatur;

tidak

bersifat

aksidental

dan

komplimenter, tetapi harus dilakukan secara konsisten, mempunyai rencana
operasional, memperhatikan unsur-unsur manajemen; melaksanakan respon
keadilan yang restoratif (bersifat pemulihan); tidak merupakan wadah dan
kesempatan

orang

mencari

keuntungan

pribadi/kelompok;

anak

diberi

kesempatan untuk berpartisipasi sesuai situasi dan kondisinya; berdasarkan citra
yang tepat mengenai anak manusia; berwawasan target; tidak merupakan faktor
kriminogen; tidak merupakan faktor viktimogen.31
Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada
anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan ini dapat berupa
antara lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan

31

Ibid

Universitas Sumatera Utara

22

dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara,
mencegah anak kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan cara berbagai
cara, menyediakan sarana dan pengembangan diri, dan sebagainya. Perlindungan
anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak.32
Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri, yang
tidak hanya sama, tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu diperlukan
aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut, yang menyangkut kepentingan
anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perlindungan
anak, yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak. Arif Gosita mengatakan
bahwa Hukum Perlindungan Anak adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis)
yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.33
Hukum Perlindungan Anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak
dan kewajiban anak, Hukum Perlindungan Anak berupa: hukum adat, hukum
perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain
yang menyangkut anak. Perlindungan anak, menyangkut berbagai aspek
kehidupan dan penghidupan, agar anak-anak dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar sesuai dengan hak azasinya.
Adapun hak-hak anak yang secara umum dapat dikelompokkan dalam 4
(empat) kategori hak-hak anak, antara lain:
1. Hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Sursival) yaitu hak-hak
untuk melestarikan dan memperhatikan hidup (The Right of Live) dan hak

32
33

Ibid, hlm 38
Ibid, hlm.43

Universitas Sumatera Utara

23

untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaikbaiknya;
2. Hak terhadap perlindungan (Protection Right) yaitu hak-hak ddalam
konvensi hak-hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi,
tidak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai
keluarga bagi anak- anak pengungsi;
3. Hak untuk tumbuh kembang (Development Right) yaitu hak-hak anak
dalam konvensi hak-hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan
(formal dan nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak
bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak;
4. Hak untuk berpartisipasi (Partisipation Right) yaitu hak-hak anak yang
meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak. Hak untuk berpartisipasi juga merupakan hak anak
mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan
pengembangan keterlibatannya di dalam masyarakat luas.
Berdasarkan Pasal 69A Perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan
seksual sebagaimana dilakukan melalui upaya:34
a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;
b. Rehabilitasi sosial
c. Pendampingan psikologisosial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
dan

34

Pasal 69A Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Universitas Sumatera Utara

24

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan setiap tingkat pemeriksaan
mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Dalam melaksanakan upaya perlindungan anak maka Komisi Perlindungan
Anak mempunyai tugas yang diatur dalam pasar Pasal 76 sebagai berikut:35
1. Melakukan

pengawasan

terhadap

pelaksanaan

perlindungan

dan

pemenuhan hak anak;
2. Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan perlindungan anak;
3. Mengumpulkan data dan imformasi mengenai perlindungan anak;
4. Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat
mengenai pelanggaran anak;
5. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak
6. Melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk maasyarakat
dibidang perlindungan anak; dan
7. Memberikan laporan kepada pihak yang berwajib tentang adanya
pelanggaran undang-undang ini.
F. Metode Penelitian
a. Jenis–jenis Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

35

Pasal 76 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Universitas Sumatera Utara

25

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.36
Penelitian ini melakukan pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan secara
yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji dan mempelajari bahan-bahan
kepustakaan yang berupa peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah
yang dibahas yaitu: 37
1. Sumber Data
Adapun jenis data dilihat dari sudut sumbernya, dibedakan antara data
yang diperoleh langsung dari masyarakatdan data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan.38 Data adalah kumpulan informasi yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Anak;
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perbaharuan dari UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
4. Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli No.9 Pid.sus/2016/PN Gst;
5. Berbagai sumber hukum primer lain yang berhubungan dengan
masalah penelitian

36

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press,
(Jakarta, 1986), hlm.43
37
Ibid, hlm.51
38
Ibid., hlm.11

Universitas Sumatera Utara

26

b. Bahan Hukum Sekunder
Bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu dalam
menganalisa serta memahami permasalahan dalam penelitian, seperti teori atau
pendapat para ahli yang tercantum dalam berbagai fererensi atau liberatur bukubuku hukum serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah
penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum tersier yang digunakan adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI).
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data untuk penelitian skripsi ini akan disesuaikan dengan
sumber data baik primer,sekunder dengan menggunakan cara yaitu :
a. Studi Pustaka
Studi pustaka ini dilakukan melalui serangkaian kegiatan membaca,
mencatat, mengutip dari berbagai liberatur peraturan perundang-undangan, bukubuku media masa dan bahan hukum tertulis lainnya yang ada hubungannya
dengan penelitian yang dilakukan.
3. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian itu adalah analisis data
kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara menguraikan data dalam

Universitas Sumatera Utara

27

bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci,39 yang
kemudian diinterprestasi untuk memperoleh suatu kesimpulan mengenai
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak
(Studi Putusan Nomor 9/Pid.sus/2016/PN Gst). Sehingga dapat diperoleh
gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut
dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara khusus yang didasarkan atas
fakta-fakta yang bersifat umum, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan
tersebut dapat diajukan saran.
G. Sistematika Penulisan
Pemaparan dari sistematika penulisan ini bertujuan supaya di dalam proses
penyampaian materi dari proposal skripsi ini dapat mudah dipahami. Sistematika
penulisan skripsi ini dibagi menjadi empat bab, pada tiap bab terdiri dari beberapa
sub bab yaitu :
Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi uraian dari atas tulisan yang
bertujuan memberikan gambaran kepada pembaca mengenai topik yang akan
dibahas dalam skripsi ini. Bab I terdiri dari beberapa sub bab, yaitu latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Bab II menjawab rumusan masalah pertama mengenai bagaimana
pengaturan hukum tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Dalam bab kedua
ini terdiri atas tiga sub bab yakni pertama tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sub bab kedua yakni Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
39

Bambang Sunggono, Metodologi penelitian hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Pesada,
2001), hlm.38

Universitas Sumatera Utara

28

dan sub bab yang ketiga yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Bab III menjawab rumusan masalah kedua mengenai bagaimana
penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana dalam Putusan
Pengadilan Negeri Gunung Sitoli (Studi Putusan Nomor 9/Pid.sus/2016/PN Gst).
Dalam bab ketiga ini terdiri atas dua sub bab yakni pertama tentang (kronologi
kasus, fakta-fakta hukum, tuntutan, dakwaan, dan putusan hakim). Dan sub bab
yang kedua yakni tentang analisa yuridis terhadap Pengadilan Negeri Gunung
Sitoli Nomor 9/Pid.sus/2016 ( pertimbangan hukum dan analisa putusan).
Bab IV, merupakan bab penutup, yang terdiri atas kesimpulan dan saran
terhadap pokok permasalahan . Pada bab terakhir dari penulisan proposal ini akan
diuraikan mengenai kesimpulan dari bab-bab yang sebelumnya, dan kemudian
dikemukakan beberapa saran yang relevan dengan permasalahan yang ada, yang
sekiranya dapat memberikan manfaat terhadap permasalahan tersebut.

Universitas Sumatera Utara