Hubungan Struktur Komunitas Ikan dengan Kualitas Air di Sungai Asahan Kabaupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara

(1)

HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN

DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI ASAHAN

KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

LISBET SIMATUPANG

100805001

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN

DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI ASAHAN

KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI

SUMATERA UTARA

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

LISBET SIMATUPANG

100805001

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Hubungan Struktur Komunitas Ikan dengan Kualitas Air di Sungai Asahan Kabaupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara

Kategori : Skripsi

Nama : Lisbet Simatupang Nomor Induk Mahasiswa : 100805001

Progran Studi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Januari 2015

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Dr. Hesti Wahyuningsih, M, Si Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc

NIP. 19691018 1994 12 2002 NIP. 19581016 1987 03 1003

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 1990 03 2001


(4)

PERNYATAAN

HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DENGAN

KUALITAS AIR DI SUNGAI ASAHAAN KABUPATEN TOBA

SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengaku bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2015

Lisbet Simatupang NIM. 100805001


(5)

PENGHARGAAN

Segala puji, hormat dan rasa syukur hanya kepada Allah Tri Tunggal yang penuh kasih dan kebijaksanaan melimpahkan hikmat, bijaksana dan kasih karunia-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul

“HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DENGAN KUALITAS AIR DI SUNGAI ASAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI

SUMATERA UTARA”.

Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala, A. Barus, M.Sc dan Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si sebagai Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dari awal penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si. Dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty M.Si sebagai Dosen Penguji yang juga telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan penyusunana skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc sebagai ketua Departemen Biologi, Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc sebagai Dosen Penasehat Akademik, Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Sc sebagai Sekretaris Departemen Biologi, ibu Mizarwati, Ibu Rosalina Ginting, Bang Ewin, seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Departemen Biologi FMIPA USU yang telah membimbing dan membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu.

Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada orangtuaku tersayang dan dan yang kubanggakan yaitu K. Simatupang dan A. Pardosi, nenek tercinta T. Lubis yang selalu memberikan dukungan doa, semangat, motivasi baik materi yang pernah bisa terbalaskanku. Terima kasih yang sangat khusus juga penulis sampaikan kepada abangku tersayang Eko Frans Hardinata Simatupang Amd. yang memberi dukungan doa, motivasi dan juga materi hingga selesainya skripsi ini. Serta terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakakku tercinta Ferlinda Simatupang, abang ipar F. Sihombing, adekku tersayang dan juga keponakanku yang selalu ada member dukungan yang luar biasa hingga terselesainya skripsi ini.


(6)

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sri Rejeki Samosir, Juwita Sihombing, Riris Delima Purba, Tiur Mawarni Parhusip, Silvia Julita Saragih, Veronika HL Tobing, saudara asuhku Doni Tua Hutahaean, Julpiter Hutajulu, Edwarman Zalukhu, bang Sahat Parningotan Silaban, bang Boy Sandi Lubis, Merryauwita Pakpahan, Olive Stepahani Turnip, adek asuhku Kalvinder Sing atas dukungan doa dan waktu kepada penulis. Terimakasih kepada teman seperjuangan stambuk 2010, Persekutuan Keluarga Besar Kristen Biologi, HIMABIO, seluruh adek stambuk 2011, 2012, 2013, 2014 dan organisasi PASOGIT buat doa dan dukungan yang diberikan. Semoga Tuhan selalu memberi berkat. Amin.


(7)

HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DENGAN

KUALITAS AIR DI SUNGAI ASAHAAN KABUPATEN TOBA

SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Hubungan kualitas air dengan struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara telah diteliti dari Juni sampai Juli 2014.

Pengambilan sampel menggunakan metode “Purposive Random Sampling”. Ada sepuluh

spesies ikan yang ditemukan di lokasi penelitian yang diklasifikasikan ke dalam 3 ordo

(Cypriniformes, Perciformes, Siluriformes) dan 5 famili (Cyprinidae, Balitoridae, Mastacembellidae, Bagridae, Sisoridae). Kepadatan tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dengan nilai 0,157 ind/m2 dan terendah pada stasiun 3 dengan nilai 0,013 ind/m2. Indeks keanekaragaman terbesar ditemukan pada stasiun 2 dengan nilai 1,554; sementara terendah ditemukan pada stasiun 1 dengan nilai 0,487. Nitrat, fosfat dan intensitas cahaya berkorelasi sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan.


(8)

CORELATION OF STRUCTURE OF FISH COMMUNITY TO

THE WATER QUALITY IN ASAHAN RIVER REGENCY OF

TOBA SAMOSIR AT NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Corelation of structure of fish community to the water quality in Asahan river regency of Toba Samosir at North Sumatera has been studied. Three different study site was settle using purposive sampling method based on activities. Ten genera of fishes, classifying into three orders (Cypriniformes, Perciformes, Siluriformes) and five families (Cyprinidae, Balitoridae, Mastacembellidae, Bagridae, Sisoridae) were recorded from research location. The highest diversity is found at first location with the number 0,157 ind/m2 and the lowest one is found at the third location with the number 0,013 ind/m2. The highest diversity index recorded from second location with the number 1,554; while the lowest is found in the the first location with the number 0,487. Nitrat, phosfat and light intensity are evidently correlated to the diversity of fishes.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan i

Lembar Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi viii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

Bab 1. Pendahuluan

1.1Latar Belakang 1

1.2Permasalahan 2

1.3Tujuan 3

1.4 Manfaat 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Ekosistem Sungai 4

2.2 Ekologi Ikan

2.2.1 Karakteristik ikan 2.3 Biologi Ikan

2.3.1 Pola Pertumbuhan Ikan 2.3.2 Rasio Kelamin

2.4 Faktor Fisik-Kimia Perairan

2.4.1 Faktor Fisika Perairan Sungai 2.4.1.1 Arus Sungai

2.4.1.2 Suhu Air Sungai 2.4.1.3 Kekeruhan Air Sungai 2.4.1.4 Kecerahan Air Sungai 2.4.2 Faktor Kimia Perairan

2.4.2.1 Kelarutan Oksigen (Disolved Oxygen)

2.4.2.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

2.4.2.3 Nilai pH

2.4.2.4 Kandungan Nitrat dan Posfat

5 6 8 8 8 9 9 9 9 10 10 11 11 12 13 13

Bab 3. Metode Penelitian

3.1 Waktu dan Tempat 14

3.2 Deskripsi Area 3.2.1 Stasiun 1 3.2.2 Stasiun 2

14 14 15


(10)

3.3 Alat dan Bahan 16

3.4 Pengambilan Sampel 16

3.5 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 3.5.1 Suhu

3.5.2 Nilai pH

3.5.3 Penetrasi Cahaya

3.5.4 DO (Dissolved Oxygen) 3.5.5 BOD5

3.5.6 Kejenuhan Oksigen 3.5.7 Intensitas Cahaya 3.5.8 Kecepatan Arus Sungai 3.5.9 Kadar Nitrat (NO3) 3.5.10 Kadar Posfat (PO4)

16 16 16 16 17 17 18 18 18 18 18 3.6 Analisis Data

3.6.1 Ikan

3.6.2 Rasio Kelamin

3.6.3 Hubungan Panjang-Bobot 3.6.4 Metode STORET

3.6.5 Analisis Korelasi

19 19 21 21 22 23

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Faktor Biotik Lingkungan 24

4.1.1 Jenis-jenis Ikan yang Diperoleh dari Setiap Stasiun 24

4.1.2 Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran 4.1.3 Indeks Keanekaragaman (Shannon Wienner), Indeks

Keseragaman

4.1.4 Indeks Similaritas (IS) 4.1.5 Rasio Kelamin Ikan

4.1.6 Hubungan Panjang-Bobot Ikan

31 33

35 36 37

4.2 Faktor Abiotik Lingkungan 46

4.2.1 Parameter Fisika 4.2.2 Parameter Kimia

4.2.3 Sifat Fisika-Kimia Sungai Asahan berdasarkan Metode STORET

46 48 50

4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson 51

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 53

5.2 Saran 53


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

1 Baku mutu air berdasarkan Peraturan Pemerintah

Indonesia No. 82 Tahun 2001

22

2 Klasifikasi mutu air 22

3 Pemberian skor dalam penentuan Indeks STORET 23

4 Jenis-jenis ikan yang diperoleh dari setiap stasiun 24

5 Data kepadatan (ind/m2), kepadatan relatif (%) dan

frekuensi kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun pengamatan

31

6 Data Indeks Keanekaragaman (H‟), Indeks Keseragaman (E)

33

7 Data Indeks Similaritas (IS) di setiap stasiun 35

8 Rasio Kelamin masing-masing spesies ikan di Sungai

Asahan

36

9 Data hubungan panjang-bobot ikan pada setiap stasiun 37

10 Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Sungai

Asahan pada setiap stasiun

46

11 Kondisi kualitas perairan Sungai Asahan menurut metode

STORET

70

12 Nilai Korelasi Pearson antara keanekaragaman ikan

dengan sifat fisik-kimia perairan Sungai Asahan


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

1 Stasiun 1 (Daerah dekat Pemukiman Penduduk) 14

2 Stasiun 2 (Daerah dekat Bendungan PLTA PT. Inalum) 15

3 Stasiun 3 (Daerah dekat Perkebunan Kelapa Sawit) 15

4 Hampala macrolepidota 26

5 Leptobarbus hosii 26

6 Lobocheilus schwanenfeldii 27

7 Neolisocheilus sumatranus 27

8 Puntius binotatus 28

9 Tor tambra 28

10 Homaloptera sp. 29

11 Mastacembelus unicolor 29

12 Mystus olyroides 30

13 Glypthotorax platygonoides 30

14 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Hampala

macrolepidota

39

15 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Leptobarbus hosii 40

16 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Lobocheilus

schwanenfeldii

40

17 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Neolisocheilus

sumatranus

41

18 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Puntius binotatus 42

19 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Tor tambra 42

20 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Homaloptera

ophiolepis

43

21 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Mastacembelus

unicolor

44

22 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Mystus olyroides 44

23 Grafik hubungan panjang-berat ikan Glypthotorax

platygonoides


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

A Peta Lokasi 58

B Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO 59

C Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5 60

D Tabel Kelarutan O2 (Oksigen) 61

E Bagan Kerja Pengukuran Nitrat (NO3) 62

F Bagan Kerja Pengukuran Posfat (PO43-) 63

G Panjang dan Berat Ikan 64

H Hasil Korelasi Pearson 68

I Contoh Perhitungan 69


(14)

HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DENGAN

KUALITAS AIR DI SUNGAI ASAHAAN KABUPATEN TOBA

SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Hubungan kualitas air dengan struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara telah diteliti dari Juni sampai Juli 2014.

Pengambilan sampel menggunakan metode “Purposive Random Sampling”. Ada sepuluh

spesies ikan yang ditemukan di lokasi penelitian yang diklasifikasikan ke dalam 3 ordo

(Cypriniformes, Perciformes, Siluriformes) dan 5 famili (Cyprinidae, Balitoridae, Mastacembellidae, Bagridae, Sisoridae). Kepadatan tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dengan nilai 0,157 ind/m2 dan terendah pada stasiun 3 dengan nilai 0,013 ind/m2. Indeks keanekaragaman terbesar ditemukan pada stasiun 2 dengan nilai 1,554; sementara terendah ditemukan pada stasiun 1 dengan nilai 0,487. Nitrat, fosfat dan intensitas cahaya berkorelasi sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan.


(15)

CORELATION OF STRUCTURE OF FISH COMMUNITY TO

THE WATER QUALITY IN ASAHAN RIVER REGENCY OF

TOBA SAMOSIR AT NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Corelation of structure of fish community to the water quality in Asahan river regency of Toba Samosir at North Sumatera has been studied. Three different study site was settle using purposive sampling method based on activities. Ten genera of fishes, classifying into three orders (Cypriniformes, Perciformes, Siluriformes) and five families (Cyprinidae, Balitoridae, Mastacembellidae, Bagridae, Sisoridae) were recorded from research location. The highest diversity is found at first location with the number 0,157 ind/m2 and the lowest one is found at the third location with the number 0,013 ind/m2. The highest diversity index recorded from second location with the number 1,554; while the lowest is found in the the first location with the number 0,487. Nitrat, phosfat and light intensity are evidently correlated to the diversity of fishes.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sungai termasuk salah satu wilayah perairan tawar yang penting. Menurut

Sumarti (1996) dalam Patriono (2007) sungai merupakan suatu ekosistem yang

mempunyai keanekaragaman organisme yang sangat kompleks, banyak terdapat tumbuhan air, hewan avertebrata dan ikan yang telah beradaptasi dengan habitat tertentu. Dua fungsi utama sungai di alam yaitu untuk mengalirkan air dan mengangkut sedimen hasil erosi pada DAS dan alurnya dimana kedua fungsi ini berlangsung secara bersamaan dan saling mempengaruhi (Mulyanto, 2007).

Sungai Asahan merupakan salah satu sungai di Sumatera Utara. Sungai ini mengalir dari outlet Danau Toba, melintasi kota Tanjung Balai dan Desa Porsea dengan panjang 150 km yang berakhir di Teluk Nibung, Selat Malaka. Di sekitar aliran Sungai Asahan terdapat banyak aktivitas termasuk daerah perkebunan, daerah industri, daerah pemukiman dan air hujan yang secara alami semua airnya akan mengalir ke sungai tersebut (Loebis, et al. 1993 dalam Siregar 2009).

Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan (Anwar, 2008).

Kualitas suatu perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertahanan dan pertumbuhan makhluk hidup di perairan itu sendiri. Lingkungan yang baik bagi ikan diperlukan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya (Minggawati & Lukas 2012). Variasi habitat yang luas menjadi faktor yang memaksa ikan harus mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan setempat. Keberadaan ikan di suatu perairan bergantung kepada kemampuan fisiologis dan struktur organ untuk beradaptasi terhadap lingkungan, terutama dalam memanfaatkan sumber nutrisi yang tersedia dan mendapatkan tempat yang tepat


(17)

untuk melakukan reproduksi meskipun berjarak sangat jauh dari tempat mencari makan (Rahardjo et al., 2011).

Kehidupan organisme sangat tergantung pada faktor lingkungan baik lingkungan biotik dan abiotik. Dalam studi ekologi pengukuran-pengukuran faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi atas faktor iklim, fisik dan kimia. Faktor fisik di air antara kadar oksigen terlarut, pH, alkalinitas, kesadahan, BOD, sedangkan faktor lingkungan biotik bagi organisme adalah organisme lain yang juga terdapat di habitatnya (Suin, 2002). Pertumuhan ikan dan perbedaan nisbah kelamin juga dipengaruhi oleh faktor abiotik dalam suatu perairan (Haetami, 2005). Perubahan lingkungan di Sungai Asahan yang disebabkan oleh berbagai aktivitas mempengaruhi kualitas air dan struktur komunitas ikan di sungai tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian tentang “Hubungan Kualitas Air dengan Struktur Komunitas Ikan di Sungai Asahan” yang pada saat ini belum dilakukan.

1.2 Permasalahan

Sungai Asahan merupakan sungai yang banyak digunakan oleh masyarakat sekitarnya dalam berbagai keperluan. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di Sungai Asahan seperti mandi, cuci, kegiatan pariwisata, arum jeram, kegiatan perkebunan, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan sungai ini juga merupakan salah satu daerah pembuangan limbah pabrik PT. Pulp Lestari. Dengan adanya berbagai aktivitas tersebut terjadi perubahan kualitas air di sungai tersebut. Oleh sebab itu perlu diteliti bagaimana kualitas air di sungai tersebut yang juga mempengaruhi struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara.


(18)

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten

Toba Samosir Sumatera Utara.

b. Untuk mengetahui sifat fisik kimia air di Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara berdasarkan baku mutu kualitas air dalam PP No. 82 Tahun 2001.

c. Untuk mengetahui korelasi keanekaragaman ikan dengan kualitas air di

Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai:

a. Informasi mengenai kualitas air terhadap struktur komunitas ikan bagi pihak

terkait dan masyarakat sekitar Sungai Asahan untuk pengelolaan dan pengembangan Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. b. Informasi mengenai struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten

Toba Samosir Sumatera Utara.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Sungai adalah saluran air tawar yang mengalir dan bermuara di laut, danau atau sungai lain yang lebih besar (Murtianto, 2008). Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi daerah sekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan (Junaidi, et al.,2009). Sungai terbentuk dari air presipitasi (hujan) yang turun ke bumi. Sebagian air tersebut mengalami evaporasi, kemudian diabsorbsi oleh tanah. Rembesannya akan menuju ke bumi dan membentuk air sub permukaan (ground water). Bagian yang tidak merembes akan mengalir di atas permukaan sebagai surface run-off yang lalu membentuk sungai (Septiano, 2006).

Sungai mempunyai komponen dan yang saling berinteraksi membentuk ekosistem yang saling mempengaruhi. Komponen ekosistem sungai akan berintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang mendukung stabilitas ekosistem tersebut (Junaidi et al., 2009). Aliran air melintasi permukaan bumi dan membentuk alur aliran sungai atau morfologi sungai tertentu. Morfologi sungai tersebut menggambarkan keterpaduan antara karakteristik (fisik, hidrologi, hidraulika, sedimen dan lain-lain) dan karakteristik (biologi atau ekologi termasuk flora dan fauna) daerah yang dilaluinya. Pengaruh campur tangan manusia dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai yang jauh lebih cepat daripada pengaruh alamiah biotik dan saja (Maryono, 2005)

Menurut Murtianto (2008), berdasarkan ketersediaan airnya, maka sungai dibagi menjadi:

a. Sungai episodik, yaitu sungai yang kondisi airnya tetap sepanjang tahun

b. Sungai periodik, yaitu sungai yang kondisi airnya melimpah di musim hujan

dan sedikit atau kering di musim kemarau.

Perairan mengalir mempunyai corak tertentu yang secara jelas membedakannya


(20)

Satu perbedaan mendasar antara danau dan sungai adalah bahwa danau terbentuk karena cekungannya sudah ada dan air mengisi cekungan itu, tetapi danau itu setiap saat dapat terisi oleh endapan sehingga menjadi tanah kering. Sebaliknya sungai terjadi karena airnya sudah ada, sehingga air itulah yang membentuk dan menyebabkan tetap adanya saluran selama masih terdapat air yang mengisinya (Siregar, 2009).

Menurut Murtianto (2008), berdasarkan arah alirannya, jenis sungai dapat dibagi sebagai berikut:

a. Sungai konsekwen, yaitu sungai yang searah dengan kemiringan lereng.

b. Sungai subsekwen, yaitu anak sungai konsekwen yang arahnya tegak lurus

terhadap sungai konsekwen

c. Sungai insekwen, yaitu sungai yang arah alirannya tidak menentu

d. Sungai obsekswen, yaitu anak sungai subsekwen yang arah alirannya

berlawanan dengan sungai konsekwen

e. Sungai resekwen, yaitu anak sungai subsekwen yang arah alirannya searah

dengan sungai konsekwen.

Menurut Septiano (2006) menyatakan bahwa siklus kehidupan sungai dimulai ketika tanah baru muncul dari atas permukaan laut. Hujan kemudian mengikisnya dan membuat parit, kemudian parit itu bertemu dengan parit lain dan membentuk sungai. Kemudian memperdalam salurannya dan mengiris ke

dasarnya membentuk sisi yang curam, suatu lembah berbentuk „‟V‟‟. Anak-anak

sungai kemudian tumbuh dari pohon. Semakin tua sungai, lembahnya semakin dalam dan anak-anak sungainya semakin panjang.

2.2 Ekologi Ikan

Ikan merupakan hewan vertebrata dan dimasukkan ke dalam filium Chordata yang hidup dan berkembang di dalam air dengan menggunakan insang. Ikan mengambil oksigen dari lingkungan air di sekitarnya. Ikan juga mempunyai anggota tubuh berupa sirip untuk menjaga keseimbangan dalam air sehingga ia tidak tergantung pada arus atau gerakan air yang disebabkan oleh angin (Siagian, 2009).


(21)

Penyebaran suatu organisme tergantung pada tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Organisme yang dapat hidup pada selang faktor lingkungan yang lebar (euri), cenderung akan tersebar luas pula di permukaan bumi ini, sebaliknya jenis organisme yang hanya dapat hidup pada selang faktor lingkungan

yang sempit (steno) penyebarannya sangat terbatas. Penyebaran organisme

ditentukan oleh pola penyebarannya. Organisme yang tersebar sangat luas umumnya pola penyebarannya berkelompok atau beraturan (Suin, 2003).

Menurut Myers (1951) dalam Rahardjo et al., (2011) ikan yang ditemukan di perairan air tawar secara garis besar dipisahkan dalam enam kelompok yaitu: a. Ikan primer adalah kelompok ikan yang tidak atau sedikit bertoleransi

terhadap air laut misalnya Cyprinidae dan Clariidae. Air asin bertindak sebagai pembatas distribusi ikan.

b. Ikan sekunder adalah kelompok ikan yang sebarannya terbatas pada

perairan air tawar tetapi cukup bertoleransi terhadap salinitas, sehingga mereka dapat masuk ke laut dan kadang kala melintasi hambatan air asin misalnya Cichlidae.

c. Ikan diadromus adalah kelompok ikan yang secara reguler beruaya antara

perairan tawar dan perairan laut, misalnya Sidat dan Salmon.

d. Ikan vicarious adalah kelompok ikan laut yang bukan peruaya yang hidup

di perairan tawar misalnya Burbot (Lota).

e. Ikan komplementer adalah kelompok ikan laut peruaya yang mendominasi

habitat tawar bila itidak ada ikan primer dan sekunder misalnya belanak dan Obi.

f. Ikan sporadik adalah kelompok ikan yang kadangkala masuk perairan

atau yang dapat hidup dan memijah di antara salah satu perairan misalnya belanak.

2.2.1 Karakteristik Ikan

Ikan merupakan organism akuatik dan bernafas dengan insang. Tubuh ikan terdiri atas caput, truncus dan caudal. Batas yang nyata antara caput dan truncus disebut tepi caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan ekor disebut anus. Kulit ikan terdiri dari dermis dan epidermis. Dermis terdiri dari jaringan pengikat


(22)

dilapisi oleh epithelium. Di antara sel-sel epithelium terdapat kelenjar uniseluler yang mengeluarkan lender yang menyebabkan kulit ikan menjadi licin (Radiopoetro (1990) dalam Siagian (2009)).

Menurut Rahardjo et al., (2011) menyatakan pada bagian tubuh ikan terdapat beberapa sirip tapi tidak semua ikan memiliki sirip yang lengkap. Ada 5 tipe sirip pada tubuh ikan yaitu:

a. Sirip ventral, berperan sebagai alat penyeimbang agar posisi ikan stabil. Pada beberapa ikan penghuni dasar perairan sirip ventralnya berubah bentuk menjadi semacam alat yang digunakan untuk mencengkram substrat dan sebaggai alat penyalur sperma.

b. Sirip pektoral mempunyai bentuk yang beragam. Pada ikan perenang cepat seperti ikan tuna sirip pektoral cenderung panjang dan meruncing. Sebaliknya pada ikan yang geraknnya lambat sirip cenderung membundar.

c. Sirip dorsal mempunyai banyak variasi. Sirip dorsal yang memanjang

ditemukan pada ikan gabus.

d. Sirip anal pada beberapa ikan letaknya memanjang seperti pada bawal hitam.

Sirip anal menyatu dengan sirip kaudal yang ditemukan pada ikan belida. Pada ikan seribu jantan sirip anal berubah menjadi gonopodium yang berfungsi sebagai penyalur sperma.

e. Sirip kaudal berperan dalam gerak bereng sebagai pendorong dan sekaligus berfungsi sebagai kemudi untuk berbelok ke kiri atau ke kanan. Sirip ekor mempunyai berbagai bentuk, yakni: bundar, berpinggiran tegak, berbentuk tunggal, bulan sabit, seperti garpu, baji dan berlekuk ganda.

Menurut Lagler et al., (1962) dalam Patriono (2007) ikan mempunyai ukuran tubuh berbeda-beda dimana setiap bentuk tubuh menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan habitatnya. Umumnya tubuh ikan berbentuk torpedo (fusiform)

dan kebanyakan agak oval dalam potongan melintangnya untuk ikan yang biasa hidup pada kondisi air yang mempunyai arus yang deras serta ikan yang berbentuk streamline sempurna untuk ikan perenang bebas. Bentuk umum dari kebanykan ikan adalah sebagai berikut:

a. bulat (globioform) pada Tetraodontidae,


(23)

c. seperti jarum (filiform) pada Nemichthyidae

d. sangat datar dari sisi yang satu ke sisi yang lain (compressedform) pada chaetodontidae dan Pleuronectidae

e. bagian lain datar tapi sangat panjang (trachipteriform) pada Trachipteridae,

f. datar dari atas samapi ke bawah (depressedform) pada Rajidae dan

Ogcocephalidae

2.3 Biologi Ikan

Struktur biologi ikan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan baik secara abiotik dan biotik. Beberapa aspek biologi ikan antara lain hubungan panjang-berat ikan, pola pertumbuhan ikan dan rasio kelamin ikan.

2.3.1 Pola Pertumbuhan Ikan

Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melakuka analisis panjang berat ikan tersebut. Hubungan ini juga menerangkan pertumbuhan ikan, kemontokan dan perubahan lingkungan (Effendie, 1979).

Faktor kimia perairan dalam keadaan ekstrim mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ikan seperti karbondioksida, hydrogen sulfide, derajat keasaman dan alkalinitas yang pada akhirnya mempengaruhi makanan ikan (Effendie, 2002). Makanan ikan mengandung protein, karbohidrat dan kandungan nutrisi lainnya. Ikan akan memndapat protein tinggi karena mempunyai kemampuan tambahan untuk melepaskan nitrogen yang berlebihan melalui insangnya (Hanif, 2011).

2.3.2 Rasio Kelamin

Rasio kelamin merupak perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi dimana perbandingan 1:1 (50% jntan dan 50% betina) merupak kondisi ideal untuk mempertahankan spesies. Tetapi sering kali terjadi penyimpangan dari pola 1:1 yang antara lain disebabkan adanya perbedaan tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan (Susanto, 2006). Ikan jantan akan mendominasi pada waktu awal,


(24)

kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1 diikuti dengan dominansi ikan betina (Setiawan, 2007).

2.4 Faktor Fisik-Kimia Perairan Sungai

Distribusi ikan di perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan anta lain suhu, arus, pH, kecerahan, oksigen terlarut dan ketersediaan makanan alami. Faktor-faktor ini dapat mengalami perubahan baik secara alami maupun akibat dari aktivitas manusia (Defiran & Muchlisin, 2004).

2.4.1 Faktor Fisika Perairan Sungai 2.4.1.1 Arus Sungai

Perpindahan air sangatlah penting dalam penentuan penyebaran plankton, gas terlarut dan garam-garaman juga mempengaruhi perilaku organisme kecil. Kecepatan aliran air yang mengalir beragam dari permukaan ke dasar, meskipun berada dalam saluran buatan yang dasarnya halus tanpa rintangan apa pun. Arus akan paling lambat bila makin dekat ke dasar. Perubahan kecepatan air itu tercermin dalam modifikasi yang diperlihatkan oleh organisme yang hidup dalam air mengalir, yang kedalamannya berbeda (Michael, 1995).

Kecepatan arus air permukaan tidak sama dengan air bagian bawah. Semakin ke bawah gerakan air biasanya semakin lambat dibandingkan dengan di bagian permukaan. Perbedaan kecepatan arus antar kedalaman menyebabkan tampak bentuk antara organisme air pada kedalaman yang berbeda tidak sama. Kecepatan arus air dapat diukur dengan beberapa cara, mulai dengan cara yang paling sederhana sampai dengan alat yang khusus untuk itu, yaitu dengan meteran arus buatan pabrik (Suin, 2002).

2.4.1.2 Suhu Air Sungai

Dalam setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di air serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh suhu. Menurut Hukum Van‟t Hoffs kenaikan suhu sebesar 10oC (Hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis


(25)

(misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi (Brechm & Meijering, 1990 dalam Barus, 1996).

Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang baik bagi pertumbuhannya (Wijaya, 2009).

Suhu merupakan salah satu variabel lingkungan yang sangat penting. Ikan, sebagai hewan ektodermal (poikilotermal), sangat bergantung pada suhu. Setiap ikan diketahui mempunyai kisaran suhu optimal yang pada suhu tersebut ikan tumbuh maksimal. Pada anakan ikan suhu optimal pertumbuhan menurun seiring dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan ikan di daerah tropik lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ikan di daerah dingin (Rahardjo et al., 2011).

2.4.1.3 Kekeruhan Air Sungai

Kekeruhan pada sungai diakibatkan oleh adanya zat organik yang tersuspensi dan terurai secara halus sekali, jasad renik, lumpur serta benda terapung yang tidak mengendap dengan segera. Kekeruhan berkaitan erat dengan tipe substrat dan perairan dengan dasar berlumpur cenderung memiliki kekeruhan yang tinggi (Herdiana, 2000). Dengan keruhnya air maka penetrasi cahaya ke dalam air berkurang, sehingga penyebaran organisme berhijau daun tidak begitu dalam, karena proses fotosintesis tidak dapat berlangsung. Untuk mengukur kekeruhan digunakan alat yang dinamakan turbidimeter (Suin, 2002).

2.4.1.4 Kecerahan Air Sungai

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling


(26)

kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari juga oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin yang terlarut dalam air (Barus, 2004.

Pengukuran kecerahan air dengan keeping secchi didasarkan pada batas pandangan ke dalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air. Semakin keruh suatu badan air akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya kalau air jernih akan jauh batas pandangan tersebut (Suin, 2002).

2.4.2 Faktor Kimia Perairan

Air sebagai pelarut yang baik bagi berbagai jumlah zat terlarut, selalu ada dalalm air alamiah. Jumlah zat terlarut dalam air biasanya berbeda-beda dalam jumlah yang ada dalam cairan tubuh organisme yang hidup di dalam air. Perbedaan-perbedaan itu mempengaruhi pertukaran osmotik antara hewan dan lingkungannya. Selain itu, sifat kimia air mempengaruhi penyebaran organisme air (Michael, 1995).

2.4.2.1 Kelarutan Oksigen (Dissolved Oxygen)

Kelarutan oksigen merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu factor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 0oC, yaitu sebesar 14,16 mg/L oksigen. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organism akuatik (Barus, 2004).


(27)

Gas-gas yang terlarut dalam air merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan embrio ikan terutama bagi telur ikan ovipar. Kelarutan oksigen optimum atau yang tidak dapat ditoleransi bervariasi bergantung pada jenis ikan, umumnya 4-12 ppm dapat diterima oleh ikan. Ikan biasa memijah di air mengalir dan dingin memerlukan oksigen terlarut lebih tinggi daripada ikan yang biasanya memijah di air tergenang (stagnan) atau berarus lambat. Tekanan oksigen dapat mempengaruhi jumlah elemen meristik (Rahardjo et al., 2011).

2.4.2.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Nilai BOD dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik. Penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan

mengandung oksigen yang cukup (Wardhana (1995) dalam Fitra (2008)).

Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen

yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada temperature 20 oC. Dalam proses oksidasi secara biologis ini tentu saja dibutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan proses oksidasi secara kimiawi. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat di dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengkuran ini, sementara dari penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari (BOD5). Disamping itu bisa juga dilakukan pengukuran selam 1 hari, 2 hari dan seterusnya, sesuai dengan kebutuhan dan faktor waktu yang tersedia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut (Barus, 2004).


(28)

2.4.2.3 Nilai pH (Derajat Keasaman)

Ion-ion hidrogen (asam) dan ion-ion hidroksil (basa), keduanya dihasilkan dari pengionan air. Dengan demikian setiap perubahan konsentrassi salah satu ion ini akan membawa perubahan dalam konsentrasi ion lainnya. Suatu skala bilangan yang disebut skala pH digunakan untuk mengukur keasaman atau kebasaan air, dan bilangan tersebut menyatakan konsentrasi ion hidrogen secara tidak langsung (Michael, 1995).

Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium (Barus, 2004).

2.4.2.4 Kandungan Nitrat dan Posfat

Unsur hara sangat dibutuhkan dalam suatu perairan terutama untuk makrophyta dan fitoplankton yang merupakan produsen tingkat pertama dalam suatu perairan. Fitoplanton dapat menghasilkan energy dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalan nitrat dan posfat (Nybakken 1992 dalam Siregar 2009).

Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Disamping itu nitrit dapt menyebabkan fungsi hemoglobin dalam transportasi oksigen terganggu dimana hemoglobin akan diubah menjadi methahemoglobin yang mempunyai kemampuan rendah dalam mentransport oksigen. Posfat juga merupakan unsur penting. Posfat dapat berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltarasi dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam system perairan terbuka dan selain itu juga dapat berasal dari atmosfter bersama air hujan (Barus, 2004).


(29)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2014 di Sungai Asahan Kabupaten Asahan Sumatera Utara. sampel yang diperoleh dibawa untuk diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2 Deskripsi Area

Penelitian ini dilakukan dengan penentuan titik lokasi pengambilan sampel

menggunakan metode “Purposive Sampling” yaitu dengan menentukan 3 stasiun

pengambilan sampel. Masing-masing stasiun ditentukan berdasarkan aktivitas yang terdapat di stasiun tersebut, yaitu: stasiun 1 (pemukiman penduduk), stasiun 2 (bendungan PLTA PT. Inalum) dan stasiun 3 (perkebunan kelapa sawit).

3.2.1 Stasiun 1

Stasiun ini terletak di sungai Aek Sibargot, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02o33‟ 44,7” LU dan 099o 20‟ 19,5” BT. Sungai ini merupakan anakan sungai dan dekat dengan pemukiman penduduk (± 100 m). Substrat pada lokasi ini berupa pasir dan batuan.


(30)

3.2.2 Stasiun 2

Stasiun ini terletak di sungai Tangga, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02o33‟ 31,0” LU dan 099o18‟ 37,4” BT. Daerah ini merupakan daerah bendungan PLTA PT. Inalum. Substrat dasar pada lokasi ini adalah pasir dan batuan.

Gambar 2. Daerah Dekat Bendungan PLTA PT. Inalum

3.2.3 Stasiun 3

Stasiun ini terletak di sungai Parhitean, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02o 33‟ 53,77” LU dan 099o 20‟ 09,3” BT. Sungai ini merupakan sungai utama dimana di sekitar daerah ini adalah perkebunan kelapa sawit. Substrat pada lokasi ini berupa batu dan pasir.


(31)

3.3 Alat dan Bahan

Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah jala dengan luas 12,46 m2, toples kaca, kertas grafik, pH meter, termometer, bola ping pong,

Stopwatch, keping sechii, Spektrofotometer, timbangan digital, penggaris, camera digital, pipet tetes, erlenmeyer 150 ml, spit 1 ml, spit 3 ml, spit 5 ml, aluminium foil, plastik berukuran 5kg, botol alkohol, lux meter, bagan kerja DO (Dissolved Oxigen), dan GPS (Global Positioning System), serta buku identifikasi ikan Kottelat et al, (1996). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah formalin 4% dan alkohol 70%, MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3 dan amilum.

3.4 Pengambilan Sampel Ikan

Pengambilan sampel ikan dengan menggunakan jala dilakukan dengan menebar jala sebanyak 30 ulangan pada masing-masing stasiun. Penebaran jala dilakukan secara acak di setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel ikan yang diperoleh dimasukkan ke dalam plastik berukuran 5 kg dan diawetkan dengan alkohol 70% untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.

3.5 Pengukuran faktor Fisik-Kimia Perairan 3.5.1 Suhu

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat termometer dengan skala 0-100oC. Termometer dimasukkan ke badan air dan biarkan beberapa saat lalu dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat hasil yang tertera pada skala.

3.5.2 pH

Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelumnya dikalibrasi dulu pH dengan pH 7. pH meter dimasukkan ke badan air lalu dibaca nilainya dan dicatat hasil yang tertera pada skala pH meter.

3.5.3 Penetrasi Cahaya

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping Sechii, caranya dengan keping Sechii dimasukkan ke dalam perairan sungai, sampai keping Sechii tersebut tidak kelihatan, kemudian diukur panjang talinya.


(32)

3.5.4 DO (Dissolved Oxigen)

Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode Winkler, yaitu sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan

masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan

dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. (Lampiran B).

3.5.5 BOD5 (Biochemichal Oxigen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan setelah sampel air yang diambil, diinkubasi selama 5 hari, kemudian dengan metode Winkler yang memakai reagen-reagen kimia yaitu MnSO4 dan KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum. Sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml

MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel

didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. Nilai BOD5 adalah nilai DO awal dikurang dengan nilai DO akhir. Prosedur kerja BOD5 dapat dilihat pada lampiran C.


(33)

3.5.6 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kejenuhan O2 x 100%

Keterangan:

O2 [U] : Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 [t] : Nilai konsentrasi pada tabel (lampiran D) sesuai besar suhunya.

3.5.7 Intensitas Cahaya

Lux meter diletakkan pada lokasi penelitian setelah terlebih dahulu dinyalakan dan diatur Lux meter pada perbesaran 200.000, kemudian dicatat nilai yang tertera pada layar.

3.5.8 Kecepatan Arus Sungai

Bola ping pong dimasukkan ke badan sungai bersamaan dengan

menghidupkan stopwatch, hingga mencapai jarak 10 m. Kemudian dimatikan

stopwatch dan dicatat waktunya.

3.5.9 Kadar Nitrat (NO3)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan 1 ml NaCL dengan pipet volum dan ditambahkan 5 ml H2SO4 75% lalu ditambah 4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid. Larutan yang terbentuk dipanaskan selama 25 menit. Kemudian larutan tersebut didinginkan lalu diukur dengan spektrofotometer pada

λ= 410 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer (Lampiran

E).

3.5.10 Kadar Posfat (PO4)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml lalu ditambahkan 1 ml Amstrong Reagen dan 1 ml Ascorbic Acid. Larutan yang terbentuk dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 880 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer (Lampiran F).


(34)

3.6 Analisis Data 3.6.1 Ikan

Data ikan yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Weinner, dan indeks ekuitabilitas dengan persamaan berikut:

a. Kepadatan populasi (K)

K = Luas Jala gan jenis/ulan suatu individu Jumlah (Michael: 1994)

b. Kepadatan relatif

KR = jenis seluruh K Total jenis suatu K Jumlah

x 100 %

(Michael: 1994)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100%

plot total Jumlah jenis suatu ditempati yang plot Jumlah

Dimana nilai FK: 0-25% = sangat jarang

25-50% = jarang

50-75% = sering

>75% = sangat sering

(Michael: 1994)

d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’)


(35)

Dimana:

H‟ = indeks diversitas Shannon-Wiener

pi = proporsi spesies ke-i

Ln = logaritma nature

Pi =

(Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis) 0<H‟<2,303 = Keanekaragaman tinggi

2,302<H‟<6,907 = Keanekaragaman sedang

H‟>6,907 = Keanekaragaman rendah

(Krebs: 1985)

e. Indeks Equibilitas/Indeks Keseragaman (E) E =

max '

H H

Dimana:

H‟ = indeks diversitas Shannon-Wienner

H max = keanekaragaman spesies maximum

(Krebs: 1985)

f. Indeks Simililaritas (IS)

IS = X100%

b a

2c

dimana:

IS = Indeks Similaritas

a = jumlah spesies pada lokasi a

b = jumlah spesies pada lokasi b

c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b


(36)

3.6.2 Rasio Kelamin

Penentuan jenis kelamin ikan dapat dilakukan dengan cara pembedahan yaitu dengan melihat gonad jantan dan gonad betina, atau mengeluarkan cairan sperma dan telur dengan mengurut bagian perut dekat lubang kelamin. Menurut Efendie (1997), sifat seksual primer pada ikan ditandai dengan adanya organ yang secara langsung berhubungan dengan proses reproduksinya yaitu ovarium dan pembuluhnya pada ikan betina dan pada ikan jantan testis dengan pembuluhnya. Sifat seksual sekunder ikan dapat dilihat melalui sifat morfologi dari ikan jantan dan betina. Pada ikan jantan mempunyai warna yang lebih cerah dan lebih menarik daripada ikan betina.

Rasio kelamin dapat dicari menggunakan rumus sebagai berikut: RK=j/b

Dimana:

RK : Rasio Kelamin

j : Jantan

b : Betina

3.6.3 Hubungan Panjang-Bobot

Hubungan Panjang-Bobot ikan dpat dilakukan untuk melihat pola pertumbuhan ikan di alam, yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997):

W= aLb

Dimana:

W : Bobot tubuh ikan (g)

L : Panjang total ikan (cm)

a : Konstanta

b : Koefisien pertumbuhan

Pendekatan regresi linier dilakukan untuk melihat hubungan kedua parameter tersebut. Nilai b digunakan untuk menduga laju pertumbuhan kedua parameter yang dianalisis. Hipotesis yang digunakan adalah:

1. Jika b=3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan berat).


(37)

2. Jika b≠3 disebut allometrik yaitu:

a. Jika b>3 disebut allometrik positif (pertumbuhan berat lebih dominan)

b. Jika b<3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih

dominan)

3.6.4 Metode STORET

Metode Stored digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan menggunakan Indeks Kualitas Air (IKA) STORET . Baku mutu yang digunakan dalam indeks STORET adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 kelas 2 (baku mutu air peruntukan budidaya perikanan dan pariwisata). Prinsip dari metode STORET adalah membandingkan data kualitas air dengan baku mutu air (Tabel 1) yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.

Tabel 1. Baku mutu air berdasarkan PP No. 82 tahun 2001

Parameter Satuan Baku Mutu

Fisika

Intensitas Cahaya Candela (-)

Suhu oC Deviasi 3

Penetrasi Cahaya Meter (-)

Arus Sungai m/s (-)

Kimia

pH - 6-9

DO Mg/l >3

BOD Mg/l <6

Kadar Nitrat - <10

Kadar Phosfat - <0,2

Keterangan: Tanda (-) menyatakan parameter tersebut tidak dipersyaratkan (Gonawi, 2009).

Cara untuk menentukan status mutu air dengan menggunakan sistem nilai dari

“US-EPA (Enviromental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air

dalam empat kelas seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi mutu air

Skor Kelas Karakteristik Kualitas Air

0 A Baik sekali -1 s/d -10 B Baik

-11 s/d -30 C Tercemar sedang

≤ -31 D Tercemar berat


(38)

Menurut Saputra (2009), prosedur yang dilakukan dalam penentuan kualitas air dengan metode storet adalah menghitung nilai maksimum, minimum, dan rata-rata setiap parameter kualitas air yang diamati, lalu dicantumkan dalam satu tabel. Dibandingkan nilai rata-rata, nilai maksimum, dan nilai minimum dari masing-masing parameter kualitas air tersebut dengan nilai baku mutu air. Jika nilai dari hasil pengukuran tersebut memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor 0 (nol). Jika nilai tersebut tidak memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor tertentu sebagai berikut (Tabel 3):

Tabel 3. Pemberian skor dalam penentuan indeks STORET

Jumlah Data Nilai Parameter

Fisika Kimia

<10 Maksimum -1 -2

Minimum -1 -2

Rata-rata -3 -6

≥10 Maksimum -2 -4

Minimum -2 -4

Rata-rata -6 -12

Sumber: Canter (1997) dalam Saputra (2009)

3.6.5 Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman ikan. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver. 21.00.

Keterangan:

0,00-0,199 : Sangat rendah

0,20-0,399 : Rendah

0,40-0,599 : Sedang

0,60-0,799 : Kuat

0,80-1,00 : Sangat kuat


(39)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Biotik Lingkungan

4.1.1 Jenis-jenis Ikan yang Diperoleh dari Setiap Stasiun

Hasil klasifikasi ikan yang diperoleh dari setiap stasiun dapat dilihat tabel 4 berikut ini:

Tabel 4. Jenis-jenis Ikan yang Diperoleh dari Setiap Stasiun

No. Ordo Famili Spesies

1. Cypriniformes 1 Cyprinidae 1. Hampala macrolepidota

2. Leptobarbus hosii

3. Lobocheilus schwanenfeldii

4. Neolisocheilus sumatranus

5. Puntius binotatus

6. Tor tambra

2. Perciformes 2. Balitoridae 7. Homaloptera ophiolepis

3. Mastacembelidae 8. Mastacembelus unicolor

3. Siluriformes 4. Bagridae 9. Mystus olyroides

5. Sisoridae 10.Glypthotorax platygonoides

Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan yang diperoleh terdiri dari 3 ordo, 5 famili dan 10 spesies. Masing-masing jenis ikan ini memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi morfologi, maupun habitatnya dapat dilihat sebagai berikut:

Deskripsi Ikan:

1. Ikan (Hampala macrolepidota) (Hampala)

Morfologi: panjang total: 17,2-20,27; panjang standar: 13,5-15,8; panjang kepala: 1,2-1,6; tinggi badan: 1,2-2,3; panjang ekor: 1,2-2,3; lebar bukaan mulut:

1,5-2,3; jumlah sisik: 106-187; bentuk tubuh compressedform, tipe mulut

terminal, tipe ekor homocercal, tipe sisik sikloid. Ikan ini memiliki tubuh berwarna kuning perak, pada bagian ekor berwana merah dan pada bagian


(40)

Gambar 4.Hampala macrolepidota

2. Ikan Leptobarbus hosii (Jelawat)

Morfologi: panjang total: 3,8-12,2; panjang standar; panjang kepala: 0,8-1,6; tinggi badan: 0,5-3,6; panjang ekor: 1,2-3,4; lebar bukaan mulut: 0,6-2,3; jumlah sisik: 87-210; 5-51/2 sisik antara gurat sisik dan awal sirip punggung dan batang ekor dikelilingi oleh 14 sisik, bentuk tubuh compressedform, tipe ekor

homocercal, tipe sisik sikloid, tubuh berwarna kuning keperakan dan termasuk ikan perenang cepat.

Gambar 5.Leptobarbus hosii

3. Ikan Lobocheilus schwanenfeldii (Kasau)

Morfologi: Panjang total: 4,7-12,2; panjang standar: 3,8-11,7; panjang kepala: 1,2-2,5; tinggi badan: 1,8-3,4; panjang ekor: 2,4-3,7; lebar bukaan mulut:

0,8-1,8; jumlah sisik: 120-295; bentuk tubuh compressedform, tipe ekor


(41)

punggung lunak, sisik di garis rusuk 32-33, ada bercak hitam pada pangkal ekor, kehadiran garis lateral yang gelap samar ada di atas gurat sisik di sepanjang tubuh dan lebih mencolok pada batang ekor. Terdapat 4 sungut mandibularis di sekitar setengah dari diameter mata, sirip perut memanjang sampai asal sirip anal, sirip dorsal mencapai panjang vertikal melalui sirip anal dan sirip anal memanjang sampai dasar sirip ekor.

Gambar 6.Lobocheilus schwanenfeldii

4. Ikan Neolisocheilus sumatranus (Jurung Batu)

Morfologi: panjang totatal: 5-37,8; panjang standar: 3,8-36,2; panjang standar:3,8-36,2; panjang kepala: 0,7-2,9; tinggi badan: 1,2-3,7; panjang ekor: 2,1-4,6; lebar bukaan mulut: 1,8-3,4; jumlah sisik: 154-460; bentuk tubuh

compressedform, tipe ekor homocercal, tipe sisik sikloid, 7-8 sisik depan sirip punggung, warna bagian perut putih dan bagian atas punggung agak kehitaman.


(42)

5. Ikan Puntius binotatus (pora-pora)

Morfologi: panjang total: 5,4-8,6; panjang standar: 4,1-6,3; panjang kepala: 2,1-3,2; panjang badan: 3,4-4,7; panjang ekor: 2,3-3,7; lebar bukaan mulut: 1,8-2,5;jumlah sisik: 195-286; bentuk tubuh compressedform, tipe ekor homocercal, tipe sisik sikloid dan warna tubuh putih keperakan, mempunyai empat sungut, jari-jari terakhir sirip punggung mengeras dan bergerigi, sebuah bintik bulat pada bagian depan sirip punggung dan sebuah lagi pada bagian tengah ekor.

Gambar 8.Puntius bonotatus

6. Ikan Tor tambra (Jurung)

Morfologi: panjang total: 9,4-11,4; panjang standar: 7,3-8,7; panjang kepala: 1,9-3,2; tinggi badan: 2,6-4,4; panjang ekor: 2,8-3,9; lebar bukaan mulut: 1,9-2,7; jumlah sisik: 180-395; bentuk tubuh compressedform, tipe mulut inferior, tipe ekor homocercal, tipe sisik sikloid, terdapat sebuah cuping berukuran sedang pada bibir bawah tetapi tidak menyentuh ujung bibir, jari-jari terakhir sirip punggung yang mengeras lebih pendek daripada kepala tanpa moncong.


(43)

7. Ikan Homaloptera ophiolepis (Icur)

Morfologi: panjang total: 10,2-11,4, panjang standar: 7,8-8,8; panjang kepala: 1,7-2,4; tinggi badan: 0,9-2,4; panjang ekor: 1,9-2,8; lebar bukaan mulut: 0,5-1,8; bentuk tubuh ostraciform, tipe mulut inferior, tipe ekor homocercal dan warna tubuh coklat kehitaman dengan permukaan yang kasar, memiliki sirip punggung yang berada di depan awal sirip perut.

Gambar 10.Homaloptera ophiolepis

8. Ikan Mastacembelus unicolor (Sili)

Morfologi: panjang total: 17,2; panjang standar: 16,5; panjang kepala: 3,4; panjang badan: 12,3; tinggi badan: 0,8; panjang ekor: 1,8; lebar bukaan mulut: 2,2; bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, tipe ekor proteocercal, warna tubuh loreng-loreng coklat dengan hitam dan permukaan tubuh licin dengan pinggiran punggung bergerigi, sirip ekor agak terpisah dari sirip punggung.


(44)

9. Ikan Mystus olyroides (Baung)

Morfologi: panjang total: 9,4-15,7; panjang standar: 7,6-12,3; panjang kepala: 1,9-3,2; tinggi badan: 1,9-2,7; panjang ekor: 2,1-3,8; lebar bukaan mulut: 1,2-2,3; bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, tipe ekor homocercal,

warna tubuh hitam dengan permukaan licin, kepala pipih datar, sungut-sungutnya sangat panjang, sungut rahang atas memanjang sampai pangkal sirip ekor atau akhir pangkal sirip dubur.

Gambar 12.Mystus olyroides

10.Ikan Glypthotorax platygonoides (Kating)

Morfologi: panjang total: 9,8-12,5; panjang standar: 6,7-10,3; panjang kepala: 1,8-3,2; tinggi badan: 1,9-2,,3; panjang ekor: 1,8-3,2; lebar bukaan mulut: 1,8-2,2; bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, tipe ekor homocercal,

warna tubuh hitam dengan bercak coklat kekuningan pada bagian akhir sirip dengan permukaan tubu licin dan badan tertutup oleh buti-butir kasar.


(45)

4.1.2 Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Ikan

Nilai Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (KR) ikan dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Data kepadatan (ind/m2), kepadatan relatif (%) dan frekuensi kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun pengamatan

No Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

K KR FK K KR FK K KR FK

1 Hampala macrolepidota

- - - 0,005 40 7

2 Leptobarbus hosii - - - 0,035 27,7 27 - - -

3 Lobocheilus schwanenfeldii

0,008 5,1 10 0,037 29,8 23,33 - - -

4 Neolisocheilus sumatranus

0,135 86,4 33,33 0,003 2,1 3,33 0,005 40 3,33

5 Puntius binotatus 0,013 8,5 13,33 - - - -

6 Tor tambra - - - 0,027 21,3 20 - - -

7 Homaloptera ophiolepis

- - - 0,005 4,3 7 - - -

8 Mastacembelus unicolor

- - - 0,003 20 7

9 Mystus olyroides - - - 0,008 6,4 10 - - -

10 Glypthotorax platygonoides

- - - 0,011 8,5 13,33 - - -

Total 0,157 100 - 0,125 100 - 0,013 100 -

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada stasiun 2 mempunyai jenis spesies terbanyak yaitu 7 spesies sedangkan stasiun 1 dan stasiun 3 mempunyai jumlah spesies yang sama yaitu 3 spesies. Hal ini dapat disebabkan pada stasiun 2 memiliki nilai Nitrat (NO3-N) dan Posfat (PO4) yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lain. Nitrat dan posfat dibutuhkan oleh ikan sebagai bahan dasar makanannya dalam suatu perairan. Selain itu nitrat dan posfat merupakan unsur hara penting dalam suatu perairan sebagai bahan dasar alga dan fitoplankton sebagai produsen tingkat pertama dalam perairan.

Stasiun 1 juga mempunyai nilai kepadatan tertinggi dengan nilai 0,157 ind/m2. Hal ini dapat disebabkan pada stasiun ini memiliki nilai oksigen terlarut (DO) paling tinggi dibandingkan stasiun lain yang menyebabkan banyak ikan dapat hidup. Oksigen terlarut dalam air sangat dibutuhkan oleh ikan maupun biota perairan lainnya untuk kelestarian jenis ikan. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari


(46)

suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin 2000 dalam Salis 2006).

Ikan Neolisocheilus sumatranus ditemukan pada setiap stasiun yang

menggambarkan daya adaptasi yang merata pada setiap stasiun. Hal ini juga dapat disebabkan ikan ini banyak hidup di daerah sungai Asahan. Menurut Simajuntak

(2012) ikan Neolisocheilus sumatranus merupakan ikan endemik di daerah

Sumatera Utara.

Ikan Puntius binotatus hanya di temukan pada stasiun 1 hal ini dapat disebabkan pada stasiun 1 cocok untuk pertumbuhan ikan ini seperti keadaan oksigen terlarut yang tinggi untuk pertumbuhannya. Hal ini juga dapat disebakan karena karakteristik ikan puntius yang sesuai dengan lingkungannya. Menurut Ali & Kathergany (1987) dalam Defira & Muchlis 2004 menyatakan bahwa ciri khas ikan Puntius adalah pada sisik terdapat proyeksi dari pusat ke pinggir seperti jari-jari pada roda yang menyebabkan pergerakan ikan lebih bebas.

Ikan Leptobarbus hosii, Tor tambra, Homaloptera ophiolepis, Mystus

olyroides dan Glypthotorax platygonoides hanya ditemukan pada stasiu 2 hal ini dapat disebabkan pada stasiun 2 memiliki intensitas cahaya yang paling tinggi yang mendukung pergerakan ikan dalam mencari makanan sehingga lebih banyak ikan yang dapat bertahan dalam satu lingungan. Hal lain yang mempengaruhinya adalah pada stasiun 2 memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi dan substrat batuan yang lebih banyak. Ikan Tor tambra memiliki ciri morfologi diantaranya mempunyai kepala dan mulut yang besar, kepala agak memanjang yang diduga untuk menyesuaikan dengan habitat yang berarus agar mudah dalam berenang (Haryono, 2009). Sedangkan Glypthotorax platygonoides ikan dari genus ini umumnya dapat beradaptasi dengan air berarus deras dan dapat bersembunyi menyelinap di bawah batu (Kottelat et al., 1993),

Pada stasiun 1 ikan Neolisocheilus sumatranus memiliki nilai kepadatan tertinggi dengan nilai 0,008 ind/m2. Hal ini dapat disebabkan ikan ini merupakan ikan khas di Sungai Asahan dan kelompok ikan family Cyprinidae merupakan penghuni utama di beberapa perairan di Sumatera (Kottelat, et al., 1993). Menurut Patriono (2007) kelimpahan spesies ikan famili Cyprinidae dapat dihubungkan dengan 3 (tiga) faktor yaitu spesies ikan ini dapat menempati habitat dengan


(47)

variasi yang besar, kebanyakan dari spesies memerlukan waktu yang relatif singkat untuk sampai pada musim kawin, dan sebagian besar dapat menempati relung yang kecil dan mendapat cukup makanan serta tempat tinggal karena ukurannya yang kecil.

Pada stasiun 2 ikan Lobocheilus schwanenfeldii memiliki nilai kepadatan tertinggi dengan nilai 0,037 ind/m2 dibandingkan dengan spesies lain. Hal ini dapat disebabkan karena stasiun ini memiliki nilai intensitas cahaya yang paling tinggi yang mempengaruhi kecepatan ikan ini mencari makanan sehingga banyak ikan untuk bertahan hidup. Kemampuan ikan ini dalam mempertahankan hidupnya terhadap predator dan kompetisi di dalam perairan tersebut dengan kelincahannya berenang karena ikan ini termasuk ikan perenang cepat. Menurut Amzah (2002) dalam Abdurahim (2004), keberadaan suatu jenis ikan dalam suafu perairan sangat dipengaruhi oleh adanya predator, kompetitor, dan beberapa faktor fisika dan kimia perairan. Interaksi ikan semakin tinggi dan keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tingi, karena dalam komunitas terjadi interaksi jenis yang tinggi pula (Taqwa, 2010).

Pada stasiun 3 ikan Hampala macrolepidota dan Neolisocheilus

sumatranus sama-sama memiliki nilai kepadatan tertinggi dengan nilai 0,005 ind/m2. Hal ini karena memang ikan ini tersebar luas diperairan sesuai dengan pendapat Rahardjo et al., (2011), ikan kelas Actinopterygii termasuk Hampala merupakan kelas yang dominan di bumi termasuk di perairan air tawar. Keadaan ini juga dapat disebabkan ikan Hampala memiliki kemampuan reproduksi yang baik dalam stasiun ini. Pertumbuhan populasi ikan dialam sangat tergantung pada strategi reproduksi dan respons dari perubahan lingkungan (Yustina, 2002).

4.1.3 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner), Indeks Keseragaman

Nilai Indek keanekaragaman dan indeks keseragaman dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6. Nilai Indeks Keanekaragaman (H‟), Indeks Keseragaman (E)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

H’ 0,487 1,554 1,073


(48)

Pada Tabel 6 dapat dilihat nilai keanekaragaman di ketiga stasiun berkisar antara 0,487-1,554 yang tergolong dalam nilai keanekaragaman rendah. Hal ini dapat disebabkan banyaknya aktivitas yang terdapat di setiap stasiun yang mempengaruhi kualitas air. Perubahan kualitas air mengakibatkan ikan yang tidak dapat bertahan dalam kondisi tersebut dan akan melakukan migrasi. Perubahan kedalaman air juga merupakan perangsang ikan melakukan migrasi untuk

bereproduksi maupun mencari makanan, Baran (2006) dalam Sulistyarto (2007).

Nilai indeks keanekaragaman (H‟) berkisar antara 0-2,302 menandakan keanekaragamannya rendah. Indeks Keanekaragaman menyatakan kekayaan spesies dalam komunitas dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian individu per spesies. Nilai ini akan semakin meningkat jika jumlah spesies semakin banyak dan proporsi jenis semakin merata (Krebs, 1985).

Indeks keanekaragaman (H‟) tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 1,554 sedangkan yang terendah pada stasiun 1 yaitu sebesar 0,483. Hal ini dapat disebabkan stasiun 2 memiliki kondisi yang baik untuk keberadaan ikan. Nilai keanekaragaman di setiap stasiun dipengaruhi oleh jumlah individu, jumlah spesies dan penyebaran individu dari masing-masing spesies. Menurut Defirda & Muchlisin (2004) keanekaragaman dan keseragaman jenis ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan interaksi antara yang hidup di setiap perairan.

Nilai indeks keseragaman (E) pada setiap stasiun yang ditunjukkan pada Tabel 6 berkisar antara 0,443-0,976. Nilai ini adalah tergolong baik dimana nilainya berada diantar 0-1 yang menyatakan bahwa ikan tersebar merata. Indeks keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui kemerataan proporsi masing-masing jenis ikan di suatu ekosistem, hal ini sesuai dengan pendapat Krebs (1978) menyebutkan semakin kecil nilai (E) maka semakin kecil pula keseragaman suatu populasi dan penyebaran individunya mendominasi populasi sedangkan bila nilainya semakin besar maka akan semakin besar pula keseragaman suatu populasi dimana jenis dan jumlah individu tiap jenisnya merata atau seragam.


(49)

4.1.4 Indeks Similaritas Ikan (IS)

Nilai Indeks Similaritas (IS) pada setiap stasiun dapat dilihat pada tabel 7 berikut. Tabel 7. Data Indeks Similaritas ikan (IS) di setiap stasiun

IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Stasiun 1 - 40% 33,3%

Stasiun 2 - - 20%

Stasiun 3 - - -

Tabel 7 menunjukkan nilai indeks similaritas antar stasiun. Indeks similaritas tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan stasiun 2 yaitu sebesar 40% yang artinya kedua stasiun memiliki kesamaan spesies yang sangat mirip. Sedangkan indeks similaritas terendah terdapat pada stasiun 2 dan stasiun 3 yaitu sebesar 20% yang artinya kedua stasiun tidak mirip. Ketidakmiripan antara kedua habitat dapat disebabkan kondisi lingkungan perairan di kedua habitat berbeda sedangkan kemiripan kedua habitat juga disebabkan kondisi lingkungan yang sama. Menurut Odum (1971) nilai IS berkisar antara 0-1. Jika IS mendekati 0 berati tingkat kesamaan rendah dan sebaliknya jika nilai IS mendekati 1 maka tingkat kesamaan tinggi.

Perbedaan aktivitas pada setiap stasiun mempengaruhi kondisi habitat ikan termasuk adanya aktivitas perkebunan di sekitar stasiun. Pada dasarnya setiap stasiun perkebunan yang menggunakan bahan kimia seperti pestisida dan pupuk kimia terserap langsung pada arborbsi tanah yang akan terbawa ke perairan. Menurut Clarke (1975) dalam Rudiyanti & Ekasari (2009) pestisida yang masuk dalam tubuh organisme akan mengalami proses-proses yang sama dengan benda-benda asing. Proses tersebut yaitu absorbsi, distribusi dan akumulasi. Pestisida masuk dalam tubuh ikan dapat melalui saluran pencernaan, saluran pernafasan dan kulit. Pada saluran pencernaan, pestisida yang ada dalam usus akan mengalami proses absorbsi dan distribusi. Di hepar akan terjadi detoksikasi dan akumulasi racun. Hal ini sangat mempengaruhi penyebaran ikan dalam suatu habitat.


(50)

4.1.5 Rasio Kelamin Ikan

Rasio kelamin ikan di Sungai Asahan dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8. Rasio Kelamin masing-masing spesies ikan di Sungai Asahan

No Spesies Stasiun 1 Stasiun 1 Stasiun 1

Jantan:Betina Jantan:Betina Jantan:Betina

1 Hampala

macrolepidota

- - -

2 Leptobarbus

hosii

- - -

3 Lobocheilus

schwanenfeldii

2:1 3:1 -

4 Neolisocheilus

sumatranus

4,5:8,5 - 1:1

5 Puntius

binotatus

- - -

6 Tor tambra - - -

7 Homaloptera

ophiolepis

- - -

8 Mastacembelus

unicolor

- - -

9 Mystus olyroides - 2:1 -

10 Glypthotorax platygonoides

- 1:1

Tabel 8 menunjukkan rasio kelamin ikan dari masing-masing spesies ikan yang

diperoleh berbeda-beda. Rasio kelamin ikan Hampala macrolepidota,

Leptobarbus hosii, Puntius binotatus, Tor tambra, Homaloptera sp. dan

Mastacembelus unicolor tidak diketahui. Hal ini dapat disebabkan perbedaan kondisi sebagian ikan yang belum matang gonad. Kematangan gonad sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan dimana terutama suhu.

Menurut Agusnar (2007), kenaikan suhu air akan menimbulkan beberapa akibat seperti, jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun, kecepatan reaksi kimia meningkat, kehidupan ikan dan hewan lainnya terganggu dan jika batas suhu yang mematikan terlampaui ikan dan hewan air lainnyaa mungkin akan mati.

Menurut Lagler et al., (1962) dalam Haryono (2009) menyatakan ikan

mempunyai penampakan yang berbeda antara jantan dan betina yang bisa dilihat berdasarkan ciri primer (ovarium dan testes) maupun ciri sekunder (bentuk badan, warna, ukuran pada umur yang sama, turberkel atau tubus dan sebagainya).

Menurut Rahardjo et al., (2011), menyatakan pada beberapa spesies tertentu, jenis jantan dan betina dapat diamati dari ciri seksual sekundernya, meskipun kadangkala tidak memberikan hasil yang positif. Dilihat dari fungsinya,


(1)

d. Ikan Jurung Batak (

Neolisocheilus sumatranus)

No Length (L) Weight (W)

Jenis kelamin

Log L Log W Log L*Log W

Log L2

1 5, 0 1,1 - 0,698970 0,041393 0,028932 0,488559

2 14,5 30,5 Jantan 0,724276 0,176091 0,127539 0,524576

3 11,6 17,5 Jantan 0,785330 0,380211 0,298591 0,616743

4 12,6 22,1 Jantan 0,792392 0,602060 0,477067 0,627885

5 11,5 17,5 Jantan 0,792392 0,361728 0,286630 0,627885

6 12,4 20,9 Betina 0,806180 0,380211 0,306519 0,649926

7 12,8 21,5 Jantan 0,812913 0,431364 0,350661 0,660828

8 11,7 15,5 Betina 0,826075 0,431364 0,356339 0,682400

9 11 13,3 Jantan 0,826075 0,518514 0,428331 0,682400

10 9,7 10,2 Betina 0,826075 0,531479 0,439041 0,682400

11 10,5 12,3 Betina 0,857332 0,612784 0,525360 0,735019

12 7,4 3,7 Jantan 0,857332 0,579784 0,497067 0,735019

13 9,3 10,3 - 0,863323 0,740363 0,639172 0,745326

14 10,3 11,9 Jantan 0,869232 0,568202 0,493899 0,755564

15 6,1 2,4 - 0,869232 0,633468 0,550631 0,755564

16 9,3 7,1 Betina 0,875061 0,612784 0,536223 0,765732

17 9,1 7,5 - 0,880814 0,653213 0,575358 0,775833

18 9,2 8,5 - 0,880814 0,653213 0,575358 0,775833

19 8,4 5,8 - 0,892095 0,707570 0,631220 0,795833

20 6,2 4,0 - 0,892095 0,662758 0,591243 0,795833

21 9,4 8,7 Betina 0,892095 0,707570 0,631220 0,795833

22 9,2 8,5 Betina 0,897627 0,732394 0,657416 0,805734

23 10,7 13,8 Betina 0,913814 0,724276 0,661853 0,835056

24 9,2 7,6 - 0,924279 0,763428 0,705621 0,854292

25 9,2 7,4 Betina 0,929419 0,778151 0,723228 0,863820

26 7,6 4,5 Betina 0,929419 0,792392 0,736464 0,863820

27 8,5 6 Betina 0,929419 0,763428 0,709544 0,863820

28 9,8 9,3 Betina 0,939519 0,812913 0,763748 0,882696

29 8,9 7,6 Betina 0,939519 0,812913 0,763748 0,882696

30 8,5 6,2 Betina 0,949390 0,880814 0,836236 0,901341

31 7,3 5,5 - 0,959041 0,875061 0,839220 0,919760

32 8,7 6,5 - 0,963788 0,929419 0,895763 0,928887

33 7,8 5,1 - 0,963788 0,929419 0,895763 0,928887

34 8,2 5,3 - 0,963788 0,880814 0,848917 0,928887

35 7,8 4,6 - 0,963788 0,869232 0,837755 0,928887

36 7,5 4,1 - 0,968483 1,012837 0,980916 0,937959

37 5,3 1,5 - 0,968483 0,851258 0,824429 0,937959

38 6,2 2,3 - 0,973128 0,939519 0,914272 0,946978

39 6,7 2,7 - 0,986772 1,008600 0,995258 0,973718

40 6,4 2,4 - 0,991226 0,968483 0,959986 0,982529

41 6,7 3,3 - 1,012837 1,075547 1,089354 1,025839

42 7,6 4,5 - 1,021189 1,089905 1,112999 1,042828

43 6,7 3,4 - 1,029384 1,139879 1,173373 1,059631

44 7,9 5,4 - 1,041393 1,123852 1,170371 1,084499

45 6,5 2,7 - 1,060698 1,243038 1,318488 1,125080

46 7,2 4,1 - 1,064458 1,243038 1,323162 1,133071

47 7,4 4,3 - 1,068186 1,190332 1,271495 1,141021

48 8,5 5,8 Betina 1,093422 1,320146 1,443477 1,195571

49 7,2 3,8 Jantan 1,100371 1,344392 1,479330 1,210815

50 7,8 5,1 Betina 1,107210 1,332438 1,475289 1,225914

51 8,7 6,5 Betina 1,130334 0,903090 1,020793 1,277654

52 16 41,7 Jantan 1,161368 1,484300 1,723818 1,348776

53 37,8 132,3 Betina 1,204120 1,620136 1,950838 1,449905


(2)

Total 51,24725 45,54312 2333,960 2626,280

e. Ikan Pora-pora

(

Puntius binotatus

)

No Length (L) Weight

(W)

Jenis kelamin

Log L Log W Log L*Log W

Log L2

1 6,2 3,2 - 0,732394 0,301030 0,220472 0,536401

2 8,6 8,4 Jantan 0,792392 0,505150 0,400277 0,627885

3 7,2 5,6 - 0,792392 0,505150 0,400277 0,627885

4 6,2 3,2 - 0,857332 0,748188 0,641446 0,735019

5 5,4 2 - 0,934498 0,924279 0,863738 0,873287

Total 4,109008 2,983797 12,26044 16,88394

f. Ikan Jurung (

Tor tambra)

No Length (L) Weight (W)

Jenis kelamin

Log L Log W Log L*Log W

Log L2

1 9,4 7,5 Jantan 0,973128 0,875061 0,851546 0,946978

2 9,6 8,8 Jantan 0,982271 0,944483 0,927738 0,964857

3 9,6 7,9 Jantan 0,982271 0,897627 0,881713 0,964857

4 9,7 7,5 Jantan 0,986772 0,875061 0,863486 0,973718

5 10,3 10,6 Jantan 1,012837 1,025306 1,038468 1,025839

6 10,4 11,2 Jantan 1,017033 1,049218 1,067090 1,034357

7 10,5 10,2 Jantan 1,021189 1,008600 1,029972 1,042828

8 10,6 10,5 Jantan 1,025306 1,021189 1,047031 1,051252

9 10,7 13,8 Jantan 1,029384 1,139879 1,173373 1,059631

10 11,4 14,1 Jantan 1,056905 1,149219 1,214615 1,117048

Total 10,08709 9,985644 100,72615 101,749514

g. Ikan Icur (

Homaloptera ophiolepis)

No Length (L) Weight (W)

Jenis kelamin

Log L Log W Log L*Log W

Log L2

1 10,2 11 Jantan 1,008600 1,041393 1,050349 1,017274

2 11,4 16 Jantan 1,056905 1,204120 1,272640 1,117048

Total 2,065505 2,245513 2,322989 2,134322

h. Ikan sili (

Mastacembelus unicolor)

No Length (L) Weight (W)

Jenis kelamin

Log L Log W Log L*Log W

Log L2

1 17,2 43,1 Betina 1,235528 1,634477 2,019443 1,526531

i. Ikan Baung

(

Mystus olyroides)

No Length (L) Weight (W)

Jenis kelamin

Log L Log W Log L*Log W

Log L2

1 9,4 5,4 Jantan 0,973128 0,732394 0,712713 0,946978

2 15,4 36,2 Betina 1,187521 1,558709 1,850999 1,410205

3 15,7 49,9 Betina 1,195900 1,698101 2,030758 1,430176

Total 3,356548 3,989203 4,594469 3,787359


(3)

j. Ikan Kating

(

Glypthotorax platygonoides)

No Length (L) Weight (W)

Jenis kelamin

Log L Log W Log L*Log W

Log L2

1 9,8 10,2 Jantan 0,991226 1,008600 0,999751 0,982529

2 10,5 11 Betina 1,021189 1,041393 1,063459 1,042828

3 12 12,7 Jantan 1,079181 1,103804 1,191204 1,164632

4 12,5 15 Betina 1,096910 1,176091 1,290066 1,203212


(4)

Lampiran H. Hasil Korelasi Pearson

Correlations

Keanekar

agaman Suhu Kec Arus Int Cahaya

P e n C a h a y

a DO

K

oksigen pH BOD Nitrat Phosf

at Keanekaraga

man

Pearson Correlation 1 -.836 .474 .948 .469 -.911 -.998* -.836 -.968 .972 .987 Sig. (2-tailed) .369 .685 .206 .689 .270 .038 .369 .161 .151 .103

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Suhu Pearson Correlation

-.836 1 .086 -.967 .092 .988 .868 1.000** .672 -.942 -.913

Sig. (2-tailed) .369 .945 .163 .941 .099 .331 .000 .531 .219 .267

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Kec Arus Pearson Correlation .474 .086 1 .169 1.000** -.070 -.420 .086 -.680 .254 .327

Sig. (2-tailed) .685 .945 .892 .004 .956 .724 .945 .524 .836 .788

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Int Cahaya Pearson Correlation .948 -.967 .169 1 .163 -.995 -.965 -.967 -.838 .996 .987 Sig. (2-tailed) .206 .163 .892 .896 .064 .168 .163 .368 .056 .104

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Pen Cahaya Pearson Correlation .469 .092 1.000** .163 1 -.064 -.415 .092 -.675 .248 .321

Sig. (2-tailed) .689 .941 .004 .896 .959 .728 .941 .528 .840 .792

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

DO Pearson Correlation -.911 .988 -.070 -.995 -.064 1 .935 .988 .779 -.983 -.966 Sig. (2-tailed) .270 .099 .956 .064 .959 .232 .099 .432 .119 .167

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

K oksigen Pearson Correlation -.998* .868 -.420 -.965 -.415 .935 1 .868 .951 -.984 -.995

Sig. (2-tailed) .038 .331 .724 .168 .728 .232 .331 .200 .113 .064

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

pH Pearson Correlation -.836 1.000** .086 -.967 .092 .988 .868 1 .672 -.942 -.913

Sig. (2-tailed) .369 .000 .945 .163 .941 .099 .331 .531 .219 .267

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

BOD Pearson Correlation -.968 .672 -.680 -.838 -.675 .779 .951 .672 1 -.882 -.915 Sig. (2-tailed) .161 .531 .524 .368 .528 .432 .200 .531 .312 .264

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Nitrat Pearson Correlation .972 -.942 .254 .996 .248 -.983 -.984 -.942 -.882 1 .997*

Sig. (2-tailed) .151 .219 .836 .056 .840 .119 .113 .219 .312 .048

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Phosfat Pearson Correlation .987 -.913 .327 .987 .321 -.966 -.995 -.913 -.915 .997* 1 Sig. (2-tailed) .103 .267 .788 .104 .792 .167 .064 .267 .264 .048

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

*. Correlation is significant at the

0.05 level (2-tailed).

**. Correlation is significant at the

0.01 level (2-tailed).


(5)

Lampiran I. Contoh Perhitungan

Kepadatan (K) ikan

Neolissocheillus sumatranus

= 0,14 ind/m

2

= 1,72%

= 33,33%

Indeks Diversitas Shannon-Wiener (Indeks Keanekaragaman) Stasiun 1

H‟=

-

H‟=

-

H‟=

-

= 0,48

Indeks Keseragaman

= 0,43

Indeks Similaritas


(6)

Lampiran J. Tabel 11. Kondisi Kualitas Perairan Sungai Asahan menurut Metode Storet

No Parameter Satuan Baku mutu air Kelas

II*

Hasil Pengukuran Metode Storet/stasiun

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1 2 3

min max Rata min max Rata min max Rata skor skor skor

1 (DO) Mg/L >6 7,3 7,3 7,3 7 7 7 7,2 7,3 7,25 0 0 0

2 (pH) - 6-9 7,3 7,2 7,25 5,8 6,9 6,35 7,3 7,2 7,25 0 0 0

3 Suhu oC Deviasi 3 24 24 24 22 22 22 23 25 24 0 0 0

4 Penetrasi m - 0,47 0,29 0,38 0,9 0,8 0,85 1,5 1,5 1,5 - - -

5 Intensitas Candela - 142 142 142 660 660 660 278 278 278 - - -

6 Kec. Arus m/s - 0,344 0,526 0,326 0,77 0,72 0,74 1,2 1,4 1,3 0 0 0

7 (BOD) mg/L <3 1,5 1,4 1,45 1 1 1 1 1,2 1,1 0 0 0

8 Kejenuhan

Oksigen

% - 88,48 88,48 88,48 82,06 82,06 82,06 84,70 85,88 85,29 - - -

9 Nitrat

(NO3-N)

Mg/L 10 0,302 0,302 0,302 0,454 0,454 0,454 0,354 0,354 0,354 0 0 0

10 Fosfat

(PO4)

Mg/L 0,2 0,110 0,110 0,110 0,132 0,132 0,132 0,119 0,119 0,119 0 0 0

*Kelas II: Peruntukan Budidaya dan Pariwisata (PP RI No. 82 Tahun 2001)

Keterangan:

Stasiun 1

: Daerah Dekat Pemukiman Penduduk

Stasiun 2

: Daerah Dekat Bendungan PLTA PT. Inalum

Stasiun 3

: Daerah dekat Perkebunan Kelapa Sawit