LAPORAN PENDAHULUAN b ph gua

LAPORAN PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
KONSEP DASAR BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA
Pengertian Benign Prostatic Hyperplasia
Benign Prostatic Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh
karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah
RSUD Dr Soetomo, 1994 : 193).
Etiologi/Penyebabnya
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai sekarang belum
diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benign Prostatic
Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya
Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :
1.

Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.

2.


Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan
penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya
hyperplasia stroma.

3.

Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan
transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.

4.

Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.

5.


Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).

1

Anatomi Dan Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra
posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian
distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai
otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau
jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :


Jaringan Kelenjar 

50 - 70 %




Jaringan Stroma (penyangga)



Kapsul/Musculer

30 - 50 %

Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk
pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang
membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja
memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis
akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari
ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah
keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik
jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih
berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini
manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.
Patofisiologi

Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat
membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica
dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai
kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi
lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan
perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien
sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil
dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini
2

disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi
menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi
dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli
saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan
jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai
timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya
melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat

Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri
dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan
mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh
karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan
kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine.
Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 :
11)

3

TESTIS

USIA LANJUT

PADA FASE AWAL PROSTAT HYPERPLASIA
POLA DAN KUALITAS MIKSI BERUBAH
KONTRAKSI MUSKULUS DESTRUSSOR
TIDAK ADEKUAT (LEMAH)
RETENSIO URINE TOTAL


RESIDUAL URINE

(FASE DEKOMPENSASI)

NYERI
OLEH TEKANAN
TEKANAN INTRA
VESIKA URINARIA

INKONTINENSIA
PARADOKSA
OVERFLOW
INCONTINENSIA
(TEKANAN INTRA
VASKULER
URINARIA DARI
PADA TEKANAN
SPINKTER
REFLUKS VESIKA URETRAL
BERSIFAT KRONIS)


KOMPENSASI
MENINGKATKAN
TEKANAN INTRA
ABDOMINAL
HERNIA,
HAEMOROID

DILATASI URETER (HYDRO URETER)
PALVIO KALIKS GINJAL (HYDRONEFROTIK)
KERUSAKAN GINJAL
GAGAL GINJAL

4

Proses Miksi
Fase pengisian
Pves :
Pup


< 20 cm H2O

: 60 – 100 cm H2O

Fase ekspulsi :
Isi blader 200 – 300 ml
Mulai terangsang ingin kencing

Reseptor Strecth

Syaraf Otonom PS S2 - 4

Tonus Bladder 60 – 120 cm H2O (ingin kencing)

Up membuka, sp. Eks masih menutup

BPH

P up meningkat


Kontraksi Detrusor meningkat

Hipertropi

P Ves > P up

P Ves < P up

Fase Kompensata

Fase Decompensata

Kualitas miksi masih baik

Retensio Urine

5

Gejala Benign Prostatic Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benign Prostatic Hyperplasia disebut sebagai Syndroma

Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a.

Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa
lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam
uretra prostatika.

b.

Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai
berakhirnya miksi.

c.

Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.

d.


Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan
waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

e.

Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

2. Gejala Iritasi yaitu :
a.

Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

b.

Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam
hari (Nocturia) dan pada siang hari.

c.

Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

Derajat Benigne Prostat Hyperplasia
Benign Prostatic Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1.

Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.

2.

Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas
badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih
teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.

3.

Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih
100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.

4.

Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal
seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

Pengkajian Pre operatif Benigne Prostat Hyperplasia
6

Riwayat Keperawatan
-

Suspect BPH  umur > 60 tahun

-

Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.

-

Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah,
intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria tak
disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi.

-

BPH  hematuri

Pemahaman klien tentang kejadian
-

Ahli bedah bertanggung jawab, untuk menjelaskan sifat operasi, semua pilihan
alternatif, hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi.
Ahli bedah mendapatkan dua consent (ijin) satu untuk prosedur bedah dan satu
untuk anestesi. Perawat bertanggung jawab untuk menentukan pemahaman klien
tentang informasi, lalu memberitahu ahli bedah apakah diperlukan informasi lebih
banyak (informed consent).

Kondisi akut dan kronis :
-

Untuk mengkompensasi pengaruh trauma bedah dan anestesi, tubuh manusia
membutuhkan

fungsi

pernafasan,

sirkulasi,

jantung,

ginjal,

hepar

dan

hematopoetik yang optimal. Setiap kondisi yang mengganggu fungsi sistem ini
(misalnya: DM, gagal jantung kongestif, PPOM. Anemia, sirosuis, gagal ginjal)
dapat mempengaruhi pemulihan. Disamping itu faktor lain, misalnya usia lanjut,
kegemukan dan penyalahgunaan obat / alkohol membuat klien lebih rentan
terhadap komplikasi.
Pengalaman bedah sebelumnya
-

Perawat mengajukan pertanyaan spesifik pada klien tentang pengalaman
pembedahan masa lalu. Informasi yang didapatkandigunakan untuk meningkatkan
kenyamanan (fisik dan psikologis) untuk mencegah komplikasi serius.

Status Nutrisi
-

Status nutrisi klien praoperatif secara langsung mempengaruhi responnya pada
trauma pembedahan dan anestesi. Setelah terjadi luka besar, baik karena trauma
atau bedah, tubuh harus membentuk dan memperbaiki jaringan serta melindungi
diri dari infeksi. Untuk membantu proses ini, klien harus meningkatkan masukan
protein dan karbohidrat dengan cukup untuk mencegah keseimbangan nitrogen
7

negatif, hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan. Status nutrisi merupakan
akibat masukan tidak adekuat, mempengaruhi metabolik atau meningkatkan
kebutuhan metabolik.
Status cairan dan elektrolit
-

Klien dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektolit cenderung mengalami
shock, hipotensi, hipoksia, dan disritmia, baik pada intraoperatif dan pascaoperatif.
Fluktuasi valume cairan merupakan akibat dari penurunan masukan cairan atau
kehilangan cairan abnormal.

Status emosi.
-

Respon klien, keluarga dan orang terdekat pada tindakan pembedahan yang
direncanakan tergantung pada pengalaman masa lalu, strategi koping, signifikan
pembedahan dan sistem pendukung.

-

Kebanyakan klien dengan pembedahan mengalami ancietas dan ketakutan yang
disebabkan penatalaksanaan tindakan operasi, nyeri, dan immobilitas.

1.

Pemeriksaan Fisik


Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis
menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.



Distensi kandung kemih



Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik  retensi urine



Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin
buang air kecil  retensi urine



Perkusi : Redup  residual urine



Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.



Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur)  posisi knee chest
Syarat

:

buli-buli kosong/dikosongkan

Tujuan

:

Menentukan konsistensi prostat
Menentukan besar prostat.

2.

Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
a.

Menentukan volume Benign Prostatic Hyperplasia
8

b.

Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine

c.

Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benign Prostatic
Hyperplasia atau tidak

Beberapa Pemeriksaan Radiologi
a.

Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual urine post
miksi, dipertikel buli.
Indikasi

: disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis

Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
b.

BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal

c.

Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya refluk
vesiko ureter/striktur uretra.

d.

USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai
pembesaran prostat jinak/ganas

3.

Pemeriksaan Endoskopi.

4.

Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli
Q max

: > 15 ml/detik  non obstruksi
10 - 15 ml/detik  border line
< 10 ml/detik  obstruktif

5.

Pemeriksaan Laborat



Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K,
Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)
Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah Merah atau
PUS.



RFT  evaluasi fungsi renal



Serum Acid Phosphatase  Prostat Malignancy.
Trauma bedah yang direncanakan, menimbulkan rentang respon fisiologis dan psikologis
pada klien, tergantung pada individu dan pengalaman masa lalu yang unik, pola koping,
kekuatan dan keterbatasan. Kebanyakan klien dan keluarganya memandang setiap
tindakan bedah merupakan peristiwa besar dan mereka bereaksi dengan takut dan ansietas
pada tingkat tertentu.
9

Pengertian Keperawatan Pre operatif
Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanggung
jawab keperawatan yang berhubungan dengan fase-fase preoperatif, intraoperatif,
pemulihan pascaanestesi dan pascabedah.
Sepanjang periode perioperatif, perawat menerapkan proses keperawatan untuk
mengidentifikasi fungsi positip, perubahan fungsi, dan potensial perubahan fungsi pada
klien. Adapun tanggung jawab keperawatan untuk masing-masing fase berfokus pada
masalah kesehatan spesifik aktual atau resiko.
Fokus Asuhan Keperawatan Pada periode Pre operatif
1.

2.

3.

4.

Fase Preoperatif
a.

Pengkajian Preoperatif

b.

Penyuluhan Preoperatif

c.

Persiapan untuk pindah ke ruang operasi

d.

Dukungan orang terdekat

Fase Intraoperatif
a.

Keamanan lingkungan

b.

Kontrol Asepsis

c.

Pemantauan fisiologis

d.

Dukungan psikologis (prainduksi)

e.

Pemindahan ke ruang pemulihan pascaanestesi

Fase Pemulihan Pascaanestesi
a.

Pemantauan fisiologis (jantung, pernafasan, sirkulasi, ginjal dan neurologis)

b.

Dukungan psikologis

c.

Keamanan lingkungan

d.

Tindakan kenyamanan

e.

Stabilitas untuk pindah ke unit atau bangsal

Fase Pascaoperatif
a.

Pemantauan fisiologis

b.

Dukungan psikologis Tindakan kenyamanan

c.

Dukungan orang terdekat

d.

Keseimbangan fisiologis (nutrisi, cairan dan eliminasi)

e.

Mobilisasi

f.

Penyembuhan luka
10

g.

Penyuluhan pulang.

Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
1.

Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi (retensio urine) baik akut maupun kronis
berhubungan dengan obstruksi akibat pembesaran prostat/dekompresi otot detrussor
ditandai dengan urine menetes, sering buang air kecil, buang air kecil sedikit-sedikit tidak
bisa mengosongkan kandung kencing secara total, distensi kandung kencing.

2.

Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iritasi mukosa/distensi kandung
kencing/kolik renal/infeksi saluran kencing ditandai dengan keluhan nyeri spasme
kandung kemih, perubahan tonus otot, merintih kesakitan.

3.

Cemas berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan serta
penurunan kemampuan sexual ditandai dengan peningkatan tensi, ungkapan rasa takut

4.

Dysfungsi sexual berhubungan dengan obstrusi perkemihan.

5.

Kurang pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan
pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi /terbatasnya
informasi/informasi yang keliru ditandai dengan pasien sering bertanya, perintah yang
tidak dituruti dan perkembangan infeksi tidak dapat dicegah.

6.

Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering miksi pada malam hari

7.

Resiko injury dan resiko infeksi berhubungan dengan obstruksi perkemihan

8.

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang
lama

Diagnosa Keperawatan Post Operasi
1.

Terjadinya perdarahan berhubungan dengan tindakan bedah (reseksi).

2.

Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
akibat reseksi

3.

Cemas berhubungan dengan proses penyakitnya yang masih dapat kambuh lagi.

4.

Resiko terjadinya retensi urine berhubungan dengan obstruksi saluran kateter oleh
bekuan darah/klot.

5.

Resiko terjadinya kelebihan cairan dalam tubuh (Syndroma TUR) berhubungan dengan
adanya penyerapan cairan irigasi yang berlebihan.

Perencanaan/Penatalaksanaan
Tujuan: klien tidak akan mengalami berbagai komplikasi dari pengobatan retensi Urine.
Intervensi:
11

A

Non Pembedahan
1.

Memperkecil gejala obstruksi  hal-hal yang menyebabkan pelepasan cairan prostat.
1) Prostatic massage
2) Frekuensi coitus meningkat
3) Masturbasi

2.

Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan diuretic
mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot detrussor menurun.

3.

Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic, anti histamin,
decongestan.

4.

Observasi Watchfull Waiting
Yaitu pengawasan berkala/follow – up tiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien
Indikasi

: BPH dengan IPPS Ringan
Baseline data normal
Flowmetri non obstruksi

5.

Terapi medikamentosa pada Benigne Prostat Hyperplasia
Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan,
sedang dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih
terdapat kontra indikasi atau belum “well motivated”. Obat yang digunakan berasal
dari Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker.
a.

Fito Terapi
a)

Hypoxis rosperi (rumput)

b) Serenoa repens (palem)
c)
b.

Curcubita pepo (waluh )

Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :
a)

Inhibitor 5 alfa reduktase

b) Anti androgen
c)
c.

Analog LHRH

Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretraprostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin

6.

Bila terjadi retensi urine
a.

Kateterisasi  Intermiten
12

Indwelling

7.
B.

b.

Dilakukan pungsi blass

c.

Dilakukan cystostomy.

Prostetron (Trans Uretral Microwave Thermoterapy/TUMT)

Pembedahan
1.

Trans Uretral Reseksi Prostat

: 90

- 95 %

2.

Open Prostatectomy

: 5

- 10 %

BPH yang besar (50 - 100 gram)  Tidak habis direseksi dalam 1 jam.
Disertai Batu Buli Buli Besar (>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR tak ada.
Mortalitas Pembedahan BPH
0 - 1 % KAUSA : Infark Miokatd
Septikemia dengan Syok
Perdarahan Massive
Kepuasan Klien : 66 – 95 %
Indikasi Pembedahan BPH


Retensi urine akut



Retensi urine kronis



Residual urine lebih dari 100 ml



BPH dengan penyulit
 Hydroneprosis
 Terbentuknya Batu Buli
 Infeksi Saluran Kencing Berulang
 Hematuri berat/berulang
 Hernia/hemoroid
 Menurunnya Kualitas Hidup
 Retensio Urine
 Gangguan Fungsi Ginjal



Terapi medikamentosa tak berhasil



Sindroma prostatisme yang progresif



Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif
 Flow. Max kurang dari 10 ml
 Kurve berbentuk datar
 Waktu miksi memanjang
13

Kontra Indikasi


IMA



CVA akut

Tujuan :


Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli



Memperbaiki kualitas hidup.

1) Trans Uretral Reseksi Prostat  90 - 95 %
Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.
Keuntungan :


Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan



Tak perlu insisi pembedahan



Hospitalisasi dan penyebuhan pendek

Kerugian :


Jaringan prostat dapat tumbuh kembali



Kemungkinan trauma urethra  strictura urethra.

2) Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
 Prostat terlalu besar tetapi tak ada masalah kandung kemih.
3) Perianal Prostatectomy


Pembesaran prostat disertai batu buli-buli



Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif



Memperbaiki komplikasi : laserasi kapsul prostat

4) Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy

14

PERIODE PRE OPERATIF CARE
Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan
memberikan informasi yang akurat pada klien


Type pembedahan



Jenis anesthesi  TUR – P, general / spina anesthesi



Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).

Persiapan orerasi lainnya yaitu :


Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit



Pemeriksaan EKG



Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.



Pemeriksaan Uroflowmetri  Bagi penderita yang tidak memakai kateter.



Pemasangan infus dan puasa



Pencukuran rambut pubis dan lavemen.



Pemberian Anti Biotik



Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).

PERIODE INTRA OPERATIF CARE
Pengelolaan Keamanan:
a.

Jaminan penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk pemakaian.

b.

Mengatur posisi pasien
-

Posisi fungsional

-

Membuka daerah untuk operasi

-

Mempertahankan posisi selama prosedur.

c.

Memasang alat grounding

d.

Menyiapkan bantuan fisik

Pemantauan fisiologis
a.

Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan

b.

Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal.

c.

Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah dan RR.)

Pemantauan psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar
a.

Menyiapkan bantuan emosional
15

b.

Melanjutkan observasi status emosional

c.

Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim.

Manajemen Keperawatan
a.

Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.

b.

Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali

c.

Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.

Anggota Tim Fase intraoperatif
a. Tim bedah utama steril
-

Ahli bedah utama

-

Asisten ahli bedah

-

Perawat instrumentator.

b. Tim anestesi:
-

Ahli anestesi atau pelaksana anestesi

-

Circulating nurse

-

Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.).

Tugas perawat instrumentator
a.

Persiapan pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk operasi.

b.

Membantu ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur

c.

Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah

d.

Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau instrumen yang diperlukan
untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan. Untuk pelaksanaan kegiatan yang
efektif perawat instrumen harus memiliki pengetahuan tehnik aseptik yang baik,
ketrampilan tangan dan ketangkasan, stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan,
sangat menghayati kecermatan dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan asuhan
pasien yang optimal.

Tugas Perawat Circulating
Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan pengelolaan ruang operasi, perawat
ini dipercaya untuk koordinasi semua aktivitas di dalam ruangan dan harus mengelola asuhan
keperawatan yang diperluikan pasien.

16

PERIODE PEMULIHAN PASCA ANESTESI
Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama sistem tubuh, tetapi kebanyakan
klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk memulihkan homeostasis. Namun klien
tertentu berisiko lebih tinggi untuk mengalami kompensasi tak efektif terhadap efek
merugikan dari pembedahan dan anestesi pada jantung, sirkulasi, pernafasan dan fungsi lain.
Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada fase /periode pemulihan pasca
anrestesi adalah :
a.

Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan peningkatan sekresi
sekunder terhadap intubasi.

b.

Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada jaringan dan
syaraf.

c.

Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap anestesia

d.

Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu ruang
operasi yang dingin.

Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke unit
perawatan adalah sbb. :
a.

Kemampuan memutar kepala

b.

Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.

c.

Sadar, mudah terbangun.

d.

Tanda-tanda vital stabil

e.

Balutan kering dan utuh

f.

Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam.

g.

Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.

h.

Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.

PERIODE POST OPERATIF CARE
Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring terhadap
respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :
1.

Airway

: Bebaskan jalan fafas
Posisi kepala ekstensi

Breathing: Memberikan O2 sesuai dengan kebutuhan
Observasi pernafasan
17

Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan produksi urine
pada fase awal (6jam) paska operasi harus dimonitor setiap jam dan harus
dicatat.
Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali
Bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah pekat harus
waspada terjadinya perdarahan  segera cek Hb dan lapor dokter.
Tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi), kadar natrium menurun,
gelisah atau delir harus waspada terjadinya syndroma TUR  segera lapor
dokter.
Bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya apakah
kateter buntu oleh bekuan darah  terjadi retensi urine dalam buli-buli 
lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan tergantung dari warna urine yang
keluar dari Urobag. Bila urine sudah jernih tetesan spoling hanya
maintennens/dilepas dan bila produksi urine masih merah spoling diteruskan
sampai urine jernih.
Bila perlu Analisa Gas Darah
Apakah terjadi kepucatan, kebiruan.
Cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.
2.

Pemberian Anti Biotika


Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur urine sebelum operasi steril.
Antibiotik hanya diberikan 1 X pre operasi + 3 – 4 jam sebelum operasi.



Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari hasil kultur
urine positif. Lama pemberian + 2 minggu, mula-mula diberikan parenteral
diteruskan peroral. Setiap melepas kateter harus diberikan antibiotik profilaksis
untuk mencegah septicemia.

3.

Perawatan Kateter
Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang
(treeway catheter) ukuran 24 Fr.
Ketiga lubang tersebut gunanya :
1.

untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan

2.

untuk melakukan irigasi/spoling

3.

untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).
18

Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan merekatkan
ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5 kg. Paha ini tidak boleh
fleksi selama traksi masih diperlukan.
Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke paha
bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada uretra bagian
penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk mencegah perdarahan dari prostat yang
diambil mengalir di dalam buli-buli, membeku dan menyumbat pada kateter.
Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli
karena mengalami ischemia.
Tujuan pemberian spoling/irigasi :
1.

Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.

2.

Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter

3.

Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ

Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling dipercepat dan
warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih, maka
spoling dapat dihentikan dan pipa spoling dilepas.
Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan miksi
penderita. Bisa atau tudak, bila bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat atau
dilakukan uroflowmetri.
Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :
1.

Terbentuknya bekuan darah

2.

Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat obstruksi.

A. TUR – P
Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon 30 – 40 ml.
Kateter di tarik untuk membantu hemostasis
Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder Otot bladder kontraksi 
nyeri spasme
CBI (Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin  mencegah obstruksi atau
komplikasi lain CBI – P. Folley cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya
Ketika kateter diangkat timbul keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran  normal
Post TUR – P : urine bercampur bekuan darah, tissue debris  meningkat  intake cairan
minimal 3000 ml/hari  membantu menurunkan disuria dan menjaga urine tetap jernih.
19

B. OPEN PROSTATECTOMY
Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme atau
pergerakan
Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam
Arterial bleeding  urine kemerahan (saos) + clotting
Venous bleeding  urine seperti anggur  traction kateter
Vetropubic prostatectomy
Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat  deep wound infection, pelvic
abcess
Suprapubic prostatectomy


Perlu Continuous Bladder Irigation via suprapubic  klien diinstruksikan tetap tidur
sampai Continuous Bladder Irigation dihentikan



Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op



Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh miksi dan
dicek residual urine, jika residual urine ± 75 ml, kateter diangkat

EVALUASI
Kreteria yang diharapkan terhadap diagnosis yang berhubungan dengan obstruksi urinari
adalah :
1.

Mengatasi obstruksi urine tanpa infeksi atau komplikasi yang permanen

2.

Tidak mengalami tekanan atau nyeri berkepanjangan

3.

Mengungkapkan penurunan atau tak adanya kecemasan tentang retensio urine.

4.

Menunjukan tingkat fungsi sexual kembali sebagaimana sebelumnya.

20

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan
(terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Djanalaeoni H. (1977). Aseptik dan Antiseptik. Volume 6. Ropanasuri.
Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I
(terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Hardjowijoto S. Pemeriksaan Sistoskopi. Seksi/Program Studi Urologi Unair.
Hardjowijoto S. (1999) .Benigna Prostatic Hyperplasia. Airlangga University Press.
Surabaya
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Puruhito. (1989). Tata Kerja Kamar Operasi. Surabaya.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Soesanto Wibowo, Puruhito, Setiono Basuki. Pedoman Teknik Operasi.
Sumartono, M., Gardjito, W., Hardjowijoto, S. (1983). Reseksi Transuretral Pada
Hyperplasia Benigna dari Kelenjar Prostat. Bagian ilmu bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.

21

22