Dinamika Perkembangan Tasyri pada Masa U

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan kronologi dalam konteks sejarah perkembangannya, syari’at
Islam telah banyak mengalami evolusi dan berbagai dinamika. Selama periode
kenabian, fondasi-fondasi hukum Islam barada dibawah ijtihad-ijtihad Rasulullah
SAW dan para sahabat-sahabatnya. Selama periode tersebut, wahyu Allah dan Sunnah
Rasulullah ditetapkan sebagai satu-satunya sumber hukum Islam.
Dalam tahap berikutnya, pada masa Khulafaur Rasyidin, prinsip-prinsip ijma’
dalam fiqih mulai dikembangkan, dan ijtihad menjadi prinsip independen dari fiqih
yang bernama qiyas. Madzhab pada periode tersebut pada dasarnya merupakan
madzhab masing-masing khalifah, sebab keputusan akhir dalam permasalahan hukum
berada ditangan mereka.
Selanjutnya pada periode awal dari Dinasti Umayyah memperlihatkan adanya
pembagian ulama fiqih kedalam dua madzhab utama dalam hal kaitannya dengan
ijtihad yaitu; ahlul –ra’yu dan ahlul-hadits. Dua madzhab tersebut berkembang
menjadi sejumlah madzhab baru selama peralihan dari sistem ke-khalifahan menuju
sistem monarkhi, ketika khalifah tidak lagi menjadi sesepuh madzhab.1
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendati pemerintahan Islam selanjutnya
dipegang oleh Dinasti Abbasyiah. Berbeda dengan periode sebelumnya yang ditandai
dengan perluasan wilayah, periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan sampai saat ini.
Periode ini, dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai fase atau zaman
keemasan. Adapun beberapa faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam
pada periode ini beberapa diantaranya; pendirian dan perkembangan madzhab fiqih,
pengaruh pembukuan hadits terhadap perkembangan hukum Islam, serta pengaruh
pembukuan fiqih dan pembukuan ushul fiqih terhadap perkembangan hukum Islam. 2
Berikut kami akan menjelaskannya dalam pembahasan makalah kami yang berjudul
“Dinamika tasyri’ pada masa Ulama’ pembangun mazhab serta berbagai factor social
yang melatarbelakangi terjadinya kemajuan tasyri’ yang sangat pesat”.
1

Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh, terj. M. Fauzi Arifn,
cet. 1, (Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2005), hal. 85-86
2
Dr. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet. 1, (Bandung: PT.
Remaja Posdakarya, 2000), hal. 67

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana dinamika tasyri’ pada masa ulama pembangunan Madzhab?
2. Faktor apa saja yang menyebabkab kemajuan fiqh Islam awal abad kedua sampai

pertengahan abad keempat?
3. Bagaimana riwayat hidup madzhab-madzhab fiqih?
4. Faktor apa saja yang mendorong perkembangan hukum Islam pada masa Imamimam Mujtahid?
C. TUJUAN
1. Mengetahui dinamika tasyri’ pada masa ulama pembangunan Madzhab
2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkab kemajuan fiqh Islam awal abad
kedua sampai pertengahan abad keempat
3. Mengetahui riwayat hidup madzhab-madzhab fiqih
4. Mengetahui faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam pada
masa Imam-imam Mujtahid.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinamika Tasyri’ pada Masa Ulama’ Pembangun Mazhab
1. Kondisi Hukum
Periode ini dimulai sejak berdirinya Dinasti Abbasiyyah (750-1258 M) pada
awal abad ke-2 Hijriyyah dan berakhir pada pertengahan abad ke-4 Hijriyyah,
sehingga kurang lebih berkisar 250 tahun. Periode ini disebut sebagai periode
pembukuan dan imam imam mujtahidin, karena pada periode ini usaha penulisan dan
pembukuan terhadap hukum Islam mengalami perkembangan kemajuan yang pesat.

Periode ini adalah periode keemasan bagi perundang-undangan Islam. Hukum Islam
berkembang dan menjadi matang serta membuahkan perbendaharaan hukum.3
Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang dalam sejarah fiqh
Islam, dimana ia sudah mencapai tahap sempurna dalam keluasan kajian, sempurna
dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri sebelumnya hanya sebatas
fatwa dan qadha’, selain muncul para ulama yang membahas setiap bab, memiliki
mazhab ijtihad sendiri yang kemudian yang diberi nama sesui dengan para imamnya.
Kemajuan ilmu pengetahuan pada zaman ini tidak hanya terjadi pada bidang fiqh,
namun juga terjadi pada bidang ilmu lain seperti tafsir, hadis, tauhid, bahasa dan adab.
Sehingga periode ini pantas disebut masa yang cerdas, yaitu kuat dan matang dalam
pemikiran, kehidupan ilmiah yang meluas pembahasan, ijtihad mutlak, kebebasan
yang berani dalam nalar dan istinbath.
Pada periode ini tradisi ilmiah tidak terbatas pada masalah Fiqh saja tapi
meliputi berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang tidak terbatas pada soal tertentu
tapi telah ditemukan berbagai cara dan sistem. Keadaan ini membuat kaum muslimin
mencapai puncak kejayaan hingga mereka terbagi ke berbagai kelompok ilmiah
sehingga lahirlah para pakar ilmu pengetahuan di berbagai ilmu pengetahuan.4
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Fiqih
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang sempat membawa kejayaan
umat Islam pada masanya. Zaman keemasan Islam dicapai pada masa dinasti-dinasti

3

Prof. Abdul Wahab Khollaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam, terj. H.A ‘Aziz Masyhuri, cet.
5, (Solo: CV. Ramadhani, 1991), hal. 58
4
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj. Dr. Nadirsyah Hawari, M.A, cet.2, (Jakarta:
Amzah, 2011), hal. 102; Sapiuddin, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Pembentukan Hukum Islam),
(Jakarta: AMRI, 2005), hal. 48.

ini berkuasa. Pada masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian kritis terhadap
ilmu pengetahuan. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan dan cendikiawan
bermunculan sehingga membuat ilmu pengetahuan menjadi maju pesat.
Dinasti Abbasyiyah adalah pelanjut kekuasaan dinasti Bani Umayyah, namun
ada perbedaan orientasi diantara kedua dinasti ini, dinasti Bani Umayyah lebih
banyak menekankan pada kekuatan militer, 5 sedangkan Dinasti Abbasyiyah lebih
menekanakan pada pelayanan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter,
farmasi, pada masa ini sudah terdapat 800 orang dokter, ilmu pengetahuan,
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid
(786-809 M) dan puteranya al-Makmun (813-833 M).

Ketika masa khalifah Al-Mamun, di kenal sebagai seorang khalifah yang cinta
ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing di galakkan.
Untuk menerjemah buku-buku Yunani, Ia menggaji penerjemah golongan kristen dan
penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirian sekolah. salah satu karya
besarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah yaitu pusat penerjemahan yang
berguna sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa
Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Pada masa ini lahirlah para ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, diantara
ilmu yang sampai puncak keemasannya adalah Fiqh. Apresiasi khalifah, Kebebasan
berfikir dan berpendapat, maraknya diskusi-diskusi dan debat ilmiyah antara fuqaha’
telah mendorong lahirnya fuqaha mazhab yang kompeten dalam bidangnya yang
hasil karya mereka masih digunakan sampai sekarang.6
B. Faktor Penyebab Kemajuan Fiqh Islam Awal Abad Kedua sampai Pertengahan
Abad Keempat
1. Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyyah Terhadap Fiqh Dan Fuqaha’
Pemerintahan Islam pada periode ini sudah meluas daerah kekuasaannya dan
berjauhan batas ujungnya, dan kekuasaannya sudah meliputi bermacam-macam
bangsa yang beraneka warna jenisnya, adat-istiadatnya, arena hubungan kerjanya, dan
kemaslahatannya. Oleh karena itu para ulama mencurahkan tenaganya untuk


5

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, cet. XVI, (Jakarta: PT. Raja
Grafndo, 2004), hal.43.
6
Ibid., hal. 52-53.

mengembalikan persoalannya pada sumber-sumber hukum Islam, dan memegang
teguh nash-nash syari’ah.7
Kebanyakan khalifah bani Abbasiyah menaruh perhartian yang besar terhadap
perkembangan Ilmu Fikih, antara lain pendekatan kepada ulama, memberi dorongan
dan bantuan materil kepada kebebasan mereka untuk memajukan Ilmu Fikih. Hal ini
dapat dilihat dalam beberapa aspek di bawah ini:
a.

Semua undang-undang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah, terutama yang
terkait dengan urusan pemerintahan.

b.


Memberikan perhatian terhadap As-Sunnah dan mengumpulkan hadist, ditulis
dan dibukukan seperti Musnad Imam Ahmad, Shahih Al-Bukahri dan yang
lainnya.

c.

Para Khalifah sangat dekat dan memuliakan ulama, memberi mereka kafalah
(bantuan) dan menyeru para pemimpin negeri untuk menjadikan mereka rujukan
dalam menentukan hukum. Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur meminta izin kepada
Imam Malik untuk menjadikan kitab Al-Muwaththa’ sebagai undang-undang
negara dan demi memutus tali perbedaan pendapat. Akan tetapi sang Imam
menolak dan mengatakan, “ Jangan kamu berbuat demikian wahai Amirul
mukminin karena para sahabat Nabi telah tersebar ke seluruh negeri dan mereka
telah meriwayatkan hadis dari negara Hijaz yang aku jadikan sebagai rujukan,
lalu orang mempelajari hadis itu dan aku akan membiarkan mereka dengan apa
yang mereka yakini.” Sang khalifah setuju dengan alasannya seraya mengatakan,
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Abi Abdillah.” Inilah yang
mendorong Harun Ar-Rasyid datang mengunjungi Imam Malik ketika ia
melaksanakan haji, dan menjadikan Imam Abu Yusuf murid Abu hanifah sebagai
kawan setia dan diangkat menjadi ketua hakim agung.


d.

Perhatian para khalifah juga dapat dilihat ketika mereka meminta para fuqaha’
untuk meletakkan aturan perundang-undangan Islam dalam mengatur urusan
negara. Harun Ar-Rasyid meminta Abu Yusuf untuk menggali hukum tentang
peraturan keuangan negara dan sistem distribusinya. Kemudian Abu Yusuf
menulis kitab Al-Kharaj yang menjelaskan tentang sumber keuangan negara,
alokasi dana dan kewajiban negara serta mengingatkan sang khalifah dengan
ucapannya, “Dirikan kebenaran dalam apa yang telah diberikan Allah kepadamu,

7

Prof. Abdul Wahab Khollaf, Op.cit. hal. 59

jangan menyeleweng karena rakyat akan berpaling, jauhi hawa nafsu dan
memutuskan sesuatu sambil marah, jadilah orang yang selalu takut dengan Allah
dan jadikan semua orang sama dalam berurusan kepadamu baik orang dekat atau
jauh, sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawabanmu dan apa yang
sudah kamu kerjakan.”8

2.

Banyaknya Peristiwa
Banyak persoalan yang timbul, hal ini makin meluasnya daerah Islam dan

perkembangan serta kemajuan zaman. Karena para fuqaha’ yang sudah menyebar ke
berbagai negeri kemudian menemukan banyak adat istiadat, aturan sosial, hukum dan
ekonomi yang sebelumnya tidak mereka temukan sehingga mereka harus memberikan
jawaban dan pendapat sesuai dengan syariat Islam. Jika ada adat istiadat yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam maka mereka mngakui legalitas dan mengamalkannya. Jika
adat istiadat tersebut ada yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam dan ruh
syariat, mereka akan menolak dan mencoba untuk menwarnainya dengan nilai-nilai
Islam. Karena adat istiadat ini berbeda dari satu negeri ke negeri lain sehingga
menglahirkan satu hukum yang baru pada satu tempat kejadian yang belum tentu ada
di tempat lain. Hikmah dari banyak permasalahan baru yang muncul pada zaman ini
adalah lahirnya hukum fiqh baru dari para fuqaha’ di tempat masing-masing.9
Ketika wilayah Islam meluas pada masa Abbasiyah dan banyak umat yang
berbeda dalam kebiasaan peradaban dan agama. Kekuasaan Islam masuk dan berdiam
ditempat itu mengakibatkan berpencarnya para ulama kedaerah-daerah tersebut yang
sudah pasti memiliki tradisi dan adat yang berbeda.

Akibat perbedaan tradisi setiap daerah maka ulama perlu mengetahui keadaan
yang sebenarnya apa yang dihadapi ulama di masing-masing daerah. Untuk itu
dilakukan perjalanan ilmiah (study tour) oleh para ulama mujtahid.10
3. Perhatian dan Semangat Tinggi Untuk Mendidik Para Penguasa dan
Keturunannya Dengan Pendidikan Islam
Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator dan contoh berikut:
a. Al-Mahdi mengirimkan anaknya Al-Hadi dan Ar-Rasyid kepada seorang alim
dan memintanya untuk mengajari mereka Al-Quran, sunnah dan menjelaskan
keagungan para ahli hikmah serta nasihat-nasihat mereka.
8

Rasyad Hasan Khalil, Op.cit.hal. 102-103.
Asmuni, H. M. Yusran, op.cit, hal. 29; Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hal. 108
10
Sapiuddin, Op.cit. hal.50-51.
9

b. Khalifah Harun mengirimkan kedua anaknya Al-Amin dan Al-ma’mun untuk
ikut majelis ilmu Imam Malik di Madinah, ketika ia tidak mau datang ke istana
mengajarkan anaknya. Imam Malik menulis surat kepada sang khalifah,

“Semoga Allah memuliakan Amirul Mukminin, ilmu ini keluar dari kalian, jika
kalian memuliakannya maka ia akan mulia dan jika kalian menghinakannya
maja ia akan hina, ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi.” Ketika surat ini
sampai kepada khalifah ia berkata kepada anaknya, “Pergilah kalian ke masjid
(Madinah dan bergabunglah dengan orang lain.”
c. Ketika Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani menulis kitab As-siyar
(sejarah), Khalifah Ar-Rasyid menyuruh anak-anaknya menemui sang imam
mendengarkan pelajarannya. Tidak diragukan lagi bahwa perhatian para
khalifah terhadap fiqh dan fuqaha’ berpengaruh besar terhadap kemajuan ilmu
pada zaman ini. Oleh karena itu, fiqh Abbasiyyah, fiqh Islam menjadi rujukan
dalam setiap masalah yang muncul.11
4. Iklim Kebebasan Pendapat
Pada periode ini para ulama diberi kebebasan mengeluarkan fatwa dalam Ilmu
Fikih sepanjang tidak menyinggung politik pemerintah. Walaupun kenyataan seperti
ini, akan tetapi kebebasan berpendapat dalam Islam tidak bisa dipecah-pecah dan juga
selain dari permasalahan pemerintah telah memberikan manfaat yang besar bagi
kemajuan ilmu pengetahuan dan kebangkitan fiqh Islam pada zaman itu.12
Ulama’ yang memangku tugas perundang-undangan dan memberi fatwa dalam
periode ini jalan perundang-undangan sudah terbentang dan kesulitan-kesulitan
hukum sudah bisa diatasi dengan mudah, sebab mereka sudah memperoleh sumbersumber perundang-undangan, dan merekapun sudah mengetahui peristiwa-peristiwa
dan kemuskilan yang sudah diatasi oleh ulama-ulama sebelum mereka. Al-Qur’an
sudah dibukukan dan sudah berkembang luas dikalangan umat Islam.13
5. Tambahnya penghafal Al-Qur’an dan perhatian untuk menunaikannya.
Pada periode ini para penghafal Al-Qur’an bertambah banyak dan tersebar di
seluruh daerah-daerah Islam , dan pada setiap daerah, kaum Muslimin mengenal para
qari’ yang terkenal namanya. Pada periode inilah mulai muncul qira’ah sab’ah yang
11

Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hal. 103-104.
Asmuni, H. M. Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam
dan Pemikiran, Ed. 1., Cet.3, (Jakarta: PT RajaGranfndo Persada, 1998), hal.29.; Rasyad
Hasan Khalil, Ibid. hal. 105.
13
Ibid, hal. 59
12

diperkenalkan oleh para qari’ yang terkenal, serta tiga qira’ah lainnya yang
tingkatannya berada dibawahnya.14 Pada periode ini juga mulai muncul adanya usaha
perbaikan sistim/ bentuk penulisan Al-Qur’an dan pemberian harokat-harokat pada
hurufnya. Hal ini terjadi, sebab mushaf yang sudah dibukukan pada zaman Usman bin
‘Affan yang tanpa bertitik dan berharakat. Sedangkan standar dalam membacanya
adalah berdasarkan penerimaan dari para penghafal Al-Qur’an. Oleh karenanya usaha
perbaikan tersebut diperlukan.15
6. Maraknya Diskusi dan Debat Ilmiah di Antara Para Fuqaha’
Pada zaman ini muncul mazhab dan perseteruan fiqh yang sangat tajam
sehingga perselisihan di antara mereka tidak hanya dalam hal-hal furu’iyah (cabang)
seperti yang terjadi pada zaman sahabat, namun terkadang menyentuh masalah
sumber dalil. Hal ini disebabkan beberapa faktor sebagai berikut.
a. Banyaknya para fuqaha’ sehingga masing-masing berijtihad secara bebas.
b. Upaya sebagai fuqaha’ untuk menyebarkan pendapat mereka kepada masyarakat
dengan cara memberi fatwa, menghapal fatwa dan menulisnya.
c. Imbauan kepada masyarakat agar menjadikan hukum ini sebagai aturan hidup
mereka.
1) Dinamika debat ilmiah pada masa Dinasti Abbasiyyah
Debat atau polemik pada masa ini berkisar pada masalah lafal dari segi bahasa,
yang mencakup beberapa hal, di antaranya:
a. Alquran dan sunnah serta hubungan di antara keduanya.
b. Pendapat para sahabat dan amalan penduduk Madinah serta tingkat ke hujjahannya.
c. Qiyas, istihsan, maslahat mursalah, dan yang lainnya yang dijadikan sebagai
rujukan fuqaha’ dalam meng-istinbat hukum.
Pendapat ini tidak hanya sebatas debat secara lisan di antara fuqaha’ di masjidmasjid dan di depan orang banyak pada saat musim haji dengan cara menyampaikan
pendapat pribadi secara langsung. Namun perdebatab juga terjadi dalam bentuk
tulisan, seperti dalam risalah yang ditulis oleh Al-Laits bin Sa’d yang dituliskannya
dari Mesir kepada Imam Malik tentang bolehnya ber-hujjah dengan amalan penduduk
Madinah dan beberapa masalah lain.
14

Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, terj. Drs. Mohammad Zuhri, (Semarang: Darul
Ikhya Indonesia, 1980), hal. 335
15
Prof. Abdul Wahab Khollaf, Op.cit, hal. 66

2) Pengaruh debat ilmiah bagi dinamika kemajuan fiqh
Perdebatan fiqh secara meluas di antara fuqaha’ pada zaman ini telah
melahirkan dua fenomena yaitu:
Pertama, kecenderungan pada fuqaha’ untuk menggunakan metode ketika
mereka menulis buku. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam kitab Al Umm yang
ditulis oleh Imam Asy-Syafa’i yang memuat banyak perdebatan antara beliau dengan
fuqaha’ dan juga dalam kitab-kitab lain yang ditulis pada zaman itu.
Kedua. luas ruang lingkup kajian fiqh dan munculnya pendapat-pendapat fiqh
sehingga semakin menambah kemajuan fiqh itu sendiri. Semangat mempelajari fiqh
sangat tinggi, detail, mendalam dan mencakup banyak masalah dan bisa membantu
para pendahuluannya, dalil dan sudut pandangan mereka. Inilah jalan menuju
kebangkitan fiqh Islam pada zaman ini dan zaman-zaman ini akan datang.
3) Tujuan debat ilmiah
Debat ilmiah yang terjadi pada masa ini sebenarnya bertujuan agar bisa sampai
kepada kebenaran dan memahami hukum syara’ yang akan menjadi jawaban terhadap
masalah yang muncul.
Kondisi ini mulai menyimpang pada zaman ulama muta’akhirin sebagai
pengikut ulama mazhab, dimana mereka menjadikan debat ini sebagai wasilah (cara)
untuk menguatkan pendapat dan memenangkan imam yang diikuti dan tidak siap
menerima pandapat orang lain dan menjauhkan masyarakat dari pendapat lawan
walaupun ada kemungkinkan mazhab lawan adalah yang benar. Keadaan ini sudah
tentu sangat bertentangan dengan aturan debat ilmiah seperti yang dijelaskan dalam
buku panduan penelitian ilmiah.16
7.

Akulturasi Budaya Dengan Bangsa-Bangsa Lain
Umat Islam terdiri dari beberapa ras, seperti Arab, Persia, Romawi dan

pengikut agama-agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Majusi dan yang lain. Setiap ras
memiliki ilmu dan peradaban yang berbeda dari yang lain.
Ketika Islam mengikat dan melunakan hati mereka dalam saru barisan politik
serta menghilangkan segala perbedaan yang ada mereka pun saling menukar adat
istiadat, ilmu dan pengalaman hidup. Oleh karena itu fiqh Islam terus berkembang,
menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin di setiap daerah pada zaman ini,
bahkan ke semua ngeri-negeri Islam yang sangat luas.17
16
17

Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hal. 105-107
Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hal. 109

8.

Penulisan Ilmu Dan Pernerjemah Kitab
Penulisan Ilmu pada masa Dinasti Abbasiyyah merupakan zaman

dibentuknya mazhab-mazhab fiqh, penulisan ilmu pengetahuan lebih banyak lagi,
selain atas karunia Allah juga karena keadaan yang kondusif bagi lahirnya
kebangkitan ilmu. Semua ini tentu tidak lepas dari jasa orang-orang Islam dari luar
Arab, karena peradaban mereka lalu telah mengajarkan kepada mereka bagaimana
cara menulis dan membuat hasil karya. Menulis dan membukukan sebuah ilmu
merupakan salah satu cara untuk menjaganya agar tidak hilang dan dapat
dimanfaatkan orang lain, terutama para fuqaha’ yang tidak dapat lepas dari kitab
tafsir, hadis, dan ushul fiqh, semua ilmu saling menompang satu sama lain.18
a.

Penulisan Fiqh Islam
1) Dinamika Penulisan Fiqh Islam
Pesatnya perkembangan fiqh Islam pada zaman ini telah memasuki fase baru

dan metodologi yang unik dalam penulisan tentang metodologi ilmiah yang
dijalankan oleh para fuqaha’ dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Seorang faqih (ahli fiqh) menulis sendiri pendapat dan fatwanya.
b) Kemudian ia membacakannya kepada para muridnya atau menyuruh salah
seorang muridnya untuk membacakan kepada yang lain, kemudian yang lain
menulis di depan gurunya seperti yang dilakukan Imam negeri hijrah Malik bin
Anas.
c) Kemudian datanglah fase di mana para murid mulai menuliskan beberapa cacatan
terhadap apa yang mereka catat dari guru dengan maksud memperjelas sebagian
hukum, menganalisis dan memberikan contohnya (Rasyad Hasan Khalil ;111).
2) Metodologi Penulisan Fiqh Islam
Ada tiga manhaj (cara) yang digunakan oleh para fuqaha’ dalam menulisan
fiqh diantaranya yaitu:
a) Menulis bercampur dengan hadis dan atsar (ucapan sahabat). Sebagaimana
metose penulisan kitab Al-Muwaththa’ yang ditulis Imam Malik, di mana terdapat
pencampuran hadis, atsar dan fatwa para sahabat maupun tabi’in. Metode ini
banyak diikuti oleh ahli fuqaha’ Madinah. Seperti halnya kitab Al-jami’Al-kabir
karya Sufyan Ats-Tsaur dan kitab Iktilaf Al-Hadits karya Imam Asy-Syafi’i.
b) Metode penulisan fiqh yang lepas dari hadis dan atsar (ucapan sahabat) yaitu
kitab Al-Mudawwanah, sebuah komplikasi fiqh bermazhab Maliki yang memuat
18

Ibid. hal. 109-110

berbagai permasalahan yang dimunculkan oleh Asad bin Al-Furt, kemudian
dijawab oleh Ibnu Al Qasim dari apa yang ia hafal dari fiqhnya Imam Malik
ditambah dengan ijtihadnya sendiri jika dalam masalah itu tidak ada pendapat
Imam Malik.
c) Dengan cara menulis hukum-hukum fiqh bersamaan dengan semua dalil yang ada
kemudian dikomparasikan dengan berbagai pendapat yang ada dalam fiqh
mazhab yang lain. Kitab-kitab seperti ini kemudian dinamakan fiqh muqaranah
(komparasi) karena sebuah pebanding semestinya menghimpun semua pendapat
yang berbeda, kemudian dilakukan pengujian terhadap kekuatannya bersasarkan
daliil Alquran, sunnah, ijma’, qiyas dan yang lainnya untuk kemudian
menghasilkan pendapat yang dianggap lebih kuat. Diantara kitab yang ditulis
mengikuti gaya ini adalah kitab Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah AlHanbali, Al-Mabsuth karya Imam As-Sarakhsi, Al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i
yang didiktekan kepada para muridnya setelah beliau menetap di Mesir. Kitabkitab fiqih yang ditulis pada zaman ini memiliki karakteristik keindahan bahasa,
mudah dipahami, makna yang sangat jelas dan tidak menyulitkan pembaca
mengistinbat hukum. Kondisi ini tidak bertahan lama karena gerak laju penulisan
mengalami penyempitan uslub (gaya), sulit di pahami dan hanya terbatas kepada
orang-orang tertentu yang dapat memahami maksudnya.19
b. Penulisan Ilmu Ushul Fiqh
Untuk pembahasan tentang penulisan ilmu ushul fiqh pada zaman ini ini
yang ditulis oleh Imam Asy-Syafi’i. Seperti yang kita pahami kaidah-kaidah ilmu
ushul fiqh berputar sekitar penjelasan dalil-dalil yang jadikan rujukan oleh para
fuqaha’ dalam meng-istinbat hukum syar’i dan turuq istidlal (cara menggunakan
dalil). Ilmu ushul fiqh memberi panduan bagi para fuqaha’ tentang cara berdalil dan
berijtihad serta merumuskan jalan bagi siapa yang ingin pendapatnya bermutu,
bernilai fiqih dan aplikatif agar ia konsisten dalam menggunakan aturan yang telah
ditetapkan oleh ulama ushul fiqh dan termasuk dalam ijtihadnya.
Faktor pendorong atau motivasi Imam Asy-Syafi’i untuk menulis kitab ArRisalah sebagai kitab ushul fiqh pertama adalah keprihatinan beliau ketika melihat
para ulama berselisih pendapat dalam berijtihad, cara berijtihad dan metode
istinbat.20 Oleh karenanya para ulama’ menyusun ilmu yang mereka namakan
19
20

Ibid, hal. 111-112
Ibid, hal. 113-114

“Ushul Fiqh”, yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam
melakukan istinbath hukum.21
9. Pembukuan As-Sunah.
Periode ini adalah masa yang mulia bagi As-Sunah. Para perawi As-Sunah
memperhatikan atas wajibnya penyusunan dan pembukuan As-Sunah dengan
mengumpulkan As-Sunnah yang sejenis dalam satu judul, sebagiannya dikumpulkan
dengan sebagian yang lain. pemikiran ini timbul pada seluruh negara-negara Islam
dalam waktu yang berdekatan sehingga tidak diketahui orang yang memperoleh
keutamaan dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu. Pada tahun 140 H pada
kitab-kitab hadits yang dibukukan masih bercampur dengan kata-kata sahabat dan
tabi’in. Pada tahap ke-dua yaitu pada permulaan tahun 200 H Hadits Rasulullah mulai
dipisahkan dari kata-kata orang lain. Mereka mengarang kitab yang dikenal dengan
Musnad. Persoalan As-Sunnah berakhir pada pertengahan periode ini dan As-Sunnah
telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh khusus yang
membahasnya, meskipun mereka tidak meneruskannya kedalam fiqih dan tidak
memiliki kekuatan untuk ber-istinbath.22
10. Umat Islam dan Para Penguasa memiliki kesadaran hukum yang kuat
Umat Islam pada periode ini sangat kuat dalam menjaga diri agar semua
amaliyah mereka dalam bidang ibadah mu’amalah , perikatan, dan transaksi-transaksi
sesuai dengan hukum Islam. Oleh karenanya, mereka senantiasa mengembalikan
persoalan-persoalan yang bersifat umum dan detail kepada orang yang ahli dalam
hukum Islam. Begitu pula para penguasa negara dan hakim-hakim pengadilan dalam
menghadapi persengketaan-persengketaan selalu kembali kepada mufti dan tokohtokoh perundang-undangan. Oleh karena itu, mujtahid pada masa itu menjadi tempat
bertanya yang tiada hentinya, baik dari kalangan perseorangan, para penguasa,
maupun para hakin. Oleh karena itu kesungguhan mereka terus berkembang.23
C. Dinamika Tasyri’ Dalam Empat Madzhab Fiqih
1. Madzhab Hanafi
a. Pendiri: Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 703-767 M)
Madzhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama’ pendirinya yaitu Abu
Hanifah, yang mana nama asli beliau adalah Nu’man bin Tsabit ibn Zuthi. An21

Ibid, hal.395
Hudhari Bik , Op.cit, hal. 339-341
23
Prof. Abdul Wahab Khollaf,Op.cit. hal. 60
22

Nu’man adalah gelar yang diberikan kepada beliau yang berarti darah atau spirit,
sedangkan Hanifah adalah gelar yang berarti ahli ibadah. Secara politik Imam Abu
Hanifah hidup dalam dua generasi, beliau lahir pada tahun 80 H/ 702 M di Kufah,
Iraq; artinya beliau lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa
kekuasaan ‘Abd Al-Malik bin Marwan, dan beliau meninggal di Baghdad pada tahun
150 H/ 767 M pada masa Dinasti Abbasiyyah.
Ayahnya adalah pedagang sutera asli Persia, yang masuk Islam pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. selain terbiasa menjual pakaian, keluarganya juga
memiliki pemahaman yang baik terhadap agama sejak ayahnya, Tsabit bertemu
dengan Ali bin Abi Thalib dan mendoakan keberkahan kepada keluarganya. Imam
Abu Hanifah juga menghafalkan Al-Qur’an seperti halnya kebanyakan orang-orang
yang taat beragama pada zaman tersebut, dan setelah hafal Al-Qur’an beliau
menghafal As-Sunnah untuk memperbaiki agamanya.24
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman
Abbasiyyah. Akan tetapi, sikap politik beliau berpihak pada alul bait keluarga Ali
yang selalu dianiaya dan selalu ditindas oleh Bani Umayyah. Ketika Yazid bin ‘Umar
bin Hubairah (Zaman Dinasti Umayyah) menjadi gubernur Iraq, Abu Hanifah diminta
menjadi hakim di pengadilan, tetapi ia menolaknya. Akibatnya beliau ditangkap dan
dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun atas pertolongan ahli cambuk, ia berhasil
meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Makkah. Ia tinggal disana selama 6 tahun
(130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kuffah dan
menyambut kekuasaan Abbasiyyah dengan rasa gembira.
Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga
melakukan kekerasan kepada Alul bait. Abu Hanifah tampil mengkritik Bani
Abbasiyyah, serta para hakim dan mufti pemerintah. Ketika diminta oleh Al-Manshur
untuk menjadi hakim dipengadilan, Abu Hanifah menolaknya. Akhirnya beliau
dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H akibat penderitaannya dalam
tahanan.25
b. Pendidikan Imam Abu Hanifah
Ketika beliau sudah mulai mengenal cara mengatur hidup dengan mulai
berdagang dan mencari nafkah untuk keluarga, beliau

tidak punya banyak

kesempatan untuk menemui para ulama, kecuali ketika libur. Beliau biasa berdiskusi
24

Dr. Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hal. 172-173; Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d,
Op.cit.hal. 87-88
25
Dr. Jaih Mubarok, Op.cit. hal. 71-72

dengan orang lain serta berkawan dengan para petani lebah, dengan pergaulan
tersebut, mereka berhasil memberi kemampuan orasi yang baik dan fitrah yang suci
kepada Imam Abu Hanifah. Pekerjaan sebagai pedagang berhasil menenamkan dua
sifat baik bagi beliau, yaitu jauh dari para penguasa dan tidak berminat dengan
jabatan.
Keadaan ini terus berlangsung hingga Imam Abu Hanifah mampu menarik
simpati dan rasa kagum para ulama atas motivasi dalam belajar dan menambah
wawasan, sehingga para ulama’ tersebut menasihati beliau untuk fokus menuntut ilmu
dan meninggalkan pekerjaan dagangnya.
Imam Abu Hanifah sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, beliau
mengawali studinya di bidang filsafat dan dialektika atau yang dikenal dengan ilmu
kalam. Namun setelah menguasai beragam kedisiplinan ilmu tersebut, beliau beralih
dan mulai mendalami fiqih dan hadits.26
c. Guru-guru Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, mengenal
seluk beluk dan wawasan mereka, kemudian beliau berguru dengan beberapa ulama
yang terkemuka pada zamannya, diantaranya yaitu; Hammad bin Sulaiman yang
merupakan guru paling senior bagi Imam Abu Hanifah dan banyak memberikan
pengaruh dalam membangun madzhab fiqihnya. Hammad bin Sulaiman belajar fiqih
dari Ibrahim An-Nakha’i sedangkan Imam An-Nakha’i belajar dari Alqamah AnNakha’i yang pernah belajar dengan Abdullah bin Mas’ud, yang merupakan seorang
sahabat terkemuka yang dikenal memeliki ilmu fiqih dan logika yang mumpuni.
Imam Abu Hanifah juga belajar hadits dari beberapa tabi’in seperti ‘Atha’ bin
Abi Rabah, dan Nafi’ pembantunya Ibnu Umar. Beliau juga meriwayatkan dari
beberapa orang seperti Zaid bin Ali bin Zainal Abidin, Ja’far Ash-Shadiq, dan
Abdullah bin Hasan. Disamping itu, beliau juga belajar fiqih selama dalam perjalanan
haji dengan beberapa ulama, terutama fuqaha’ Makkah, termasuk ketika beliau
mukim disana selama enam tahun setelah beliau hijrah ke Makkah pada tahun 130
H.27
d. Metodologi Pengajaran Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah mendasarkan metode pengajarannya pada prinsip syuro
(Musyawarah). Beliau menyodorkan beberapa persoalan hukum pada murid-muridnya
26

Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj. Dr. Nadirsyah Hawari, M.A, cet.2, (Jakarta:
Amzah, 2011), hal. 172-173; Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 87
27
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Loc.cit. hal. 173

untuk dibahas dan didiskusikan. Masing-masing orang menyampaikan pendapatnya,
terkadang mereka setuju dan terkadang mereka tidak dan sesekali mereka bersuara
keras. Apabila mereka telah mencapai kesepakatan pemahaman dalam suatu masalah,
barulah Imam Abu Hanifah mendiktekannya kepada para murid, atau ada murid yang
menuliskan untuk beliau. Melalui pendekatan yang interatif dalam membuat ketetapan
hukum ini, bisa dikatakan bahwa Madzhab Hanafi sebagian besar adalah hasil usaha
murid-muridnya dan hasil usahanya sendiri.
Terkadang pula terdapat perbedaan diantara mereka dan tidak menemukan
kata sepakat, lalu ditulislah semua pendapat yang ada, dengan cara inilah berdiri
Madzhab Imam Abu Hanifah atas dasar musyawarah, tukar pendapat, dan diskusi.
Dari sinilah kemudian lahirlah murid-murid Imam Abu Hanifah yang memiliki
kemampuan untuk melakukan penelitian dan Ijtihad, meskipun mereka masih dalam
tahap belajar dan menuntut ilmu.28
Mereka juga sering mendiskusikan problem hipotesis dan mencarikan solusisolusinya, dengan mengandaikan sebuah persoalan sebelum persoalan-persoalan itu
benar-benar

terjadi.

Karena

mengarah

pada

fiqih

hipotesis,

yang

sering

mengedepankan sebuah persoalan lewat pertanyaan “Bagaimana seandainya hal
demikian terjadi?”, mereka akhirnya dikenal sebagai kaum “Bagaimana jika” atau
Ahlul Ra’yu.29
Di masanya, dalam menetapkan hukum islam, beliau dipengaruhi kondisi
sosial di Kufah yang kurang tentang perbendaharaan ilmu hadist, disamping itu, kufah
sebagai kota yang berada ditengah kebudayaan persia yang masyarakatnya sudah
mencapai peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema
kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum, serta banyaknya pemalsuan
hadist, sehingga menyulitkan Imam Abu Hanifah dalam penetapan hukum, karena
hakl tersebut, beliau dalam menetapkan hukum Islam banyak menggunakan ra’yi.30
e. Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid, ada yang tinggal beberapa waktu
untuk belajar dan jika sudah selesai merekapun pulang dengan membawa bekal dari
gurunya berupa ilmu dan fiqih. Diantara murid-murid beliau yang ber-mulazamah
(nyantri) dengan sang guru, yang termasyhur adalah:
28

Ibid. Hal. 174; Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 88
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 88
30
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1997), hal. 99
29

1) Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Anshori
Beliau adalah sebesar-besarnya murid Abu Hanifah dan penolongnya yang
paling utama. Ia juga adalah orang pertama yang menyusun buku-buku menurut
madzhab Imam Abu Hanifah dan mendiktekan masalah-masalah serta menyiarkan.
Maka akhirnya tersiarlah ilmu Abu Hanifah ke penjuru bumi.
2) Zufar bin Hudzai bin Qais Al-Kufi
Beliau termasuk ahli hadits, kemudian dikalahkan oleh ra’yu. Ia juga
merupakan orang yang paling banyak menggunakan qiyas diantara murid-murid
Abu Hanifah. Ia tidak mengindahkan kemewahan dunia dan hidupnya selalu
disibukkan dengan ilmu dan mengajar sampai meninggalnya pada tahun 157 H.
3) Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani.
Diwaktu anak-anak, beliau menuntut ilmu, meriwayatkan hadits, dan belajar
dari Abu Hanifah. Setelah Abu Hanifah meninggal, selanjutnya beliau
menyempurnakan pembelajaran pada Yusuf. Beliau mempunyai akal yang cerdas,
sehingga berkembang sangat pesat dan menjadi tempat kembali ahli ra’yu.
4) Hasan bin Ziyadi Al-Lu’lui Al-Kufi maula Anshar
Beliau termasuk murid Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Beliau
menulis buku-buku tentang Madzhab Hanafi, tetapi buku-buku dan pendapatpendapatnya tidak dapat dianggap seperti buku-buku dan pendapat Muhammad.
Menurut Ahli Hadits, derajatnya rendah.
Dari ke-empat murid Imam Hanafi, yang paling banyak jasanya dalam
meriwayatkan hadits adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani.
Mereka berdualah yang pertama kali menulis fiqih Madzhab Imam Hanifah.31
Karena fiqih imam ini mempunyai kedudukan tersendiri dalam madzhab,
maka para ulama Hanafiyah ketika menukilkan pendapat Imam Abu Hanifah dan
murid-muridnya. Mereka memberi gelar ‘Syaikhani’ kepada Imam Abu Hanifah dan
Abu Yusuf jika keduanya sepakat, sementara Imam Muhammad Asy-Syaibani
menentang. Sedangkan jika yang sepakat adalah Abu Yusuf dan Muhammad, tanpa
Abu Hanifah, mereka menamakannya sebagai ‘pendapat dua sahabat’. Adapun jika
hanya dari salah satunya, maka pendapat tersebut dinisbahkan langsung pada
namanya. Sedangkan Zufar selalu disebut dengan namanya.

31

Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, terj. Drs. Mohammad Zuhri, (Semarang: Darul
Ikhya Indonesia, 1980), hal. 412-414

Para murid Imam Abu Hanifah ini juga mempunyai murid yang menukil
pendapat Hanafi dengan membuat penjelasan, komentar, dan meringkas kitab-kitab
generasi awal madzhab ini. bahkan diantara mereka yang berhasil menggali hukumhukum baru yang belum pernah dikemukakan oleh guru-guru mereka.32
f. Dasar Madzhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki cara tersendiri dalam men-istinbath hukum yang
tidak ada sebelumnya. Beliau pernah berkata, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika
tidak ada maka dari sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada pada keduanya, saya akan
mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain,
dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan mengambil pendapat orang lain,
dan jika sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Syatibi, Al-Hasan, Ibnu Sirin
dan Sa’ad bin Al-Musayyab, maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dasar Imam Abu
Hanifah dalam meng-istinbath hukum adalah:
1) Al-Qur’an
Merupakan sumber utama syari’at Islam, dan kepadanya dikembalikan semua
hukum, dan tidak ada satu sumber hukum pun, kecuali dikembalikan kepadanya.
2) Sunnah
Sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an, menjelaskan yang global dan alat
dakwah bagi Rasulullah dalam menyampaikan risalah Tuhannya. Maka
barangsiapa tidak mengamalkan sunnah, sama artinya tidak mengakui risalah
Tuhannya.
3) Ijma’ Sahabat
Alasan penggunaannya; karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah,
lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadits, dan
merekalah yang membawa ilmu Rasulullah kepada umatnya.
4) Qiyas
Beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Al-Qur’an, sunnah, atau
ucapan sahabat, beliau menggali illat permasalahan yang tidak terdapat dasar
hukumnya, untuk di sama kan dengan dengan permasalahan yang sudah ada dasar
hukumnya. Jika menemukannya, ia mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan

32

Dr. Rasyad Hasan Khalil,Op.cit. hal. 174-175

dan

menjawab

masalah

yang

terjadi

dengan

menerapkan

illat

yang

ditemukannya.33
5) Al-Istihsan
Secara sederhana yaitu, suatu bukti yang lebih disukai daripada bukti lainnya,
karena ia tampak lebih sesuai dengan situasimya, walaupun bukti yang digunakan
ini bisa jadi secara teknis lebih lemah daripada bukti lain yang digunakan
tersebut. Ini bisa menyangkut preferensi atau pemilihan sebuah hadits yang lebih
spesifik diatas hadits yang bersifat umum. Atau bisa juga menyangkut preferensi
hukum yang lebih tepat diatas hukum yang dirumuskan dengan qiyas.
6) Ijma’
Beliau mengakui ijma’ para ulama disemua periode sebagai hal yang valid dan
mengikat umat Islam.34
7) Al-‘Urf
yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum Muslim yang tidak ada
nash-nya baik didalam Al-Qur’an, Sunnah, maupun lainnya. Akan tetapi
kebiasaan tersebut berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash
sehingga dapat dijadikan hujjah.35
g. Peta Penyebaran Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi dapat tersebar luas di Negeri Islam bagian Timur pada abadabad pertengahan berkat

kekuasaan Imam Abu Yusuf sebagai hakim agung di

Baghdad dan sebagai akibat pengutamaan khalifah-khalifah Abbasiyyah terhadap
madzhab Hanafiah dalam lapangan pengadilan. Untuk negeri-negeri Maghribi,
madzhab tersebut dipakai sampai hampir tahun 400 H, sehingga dapat menguasai
kepulauan Sisilia.36
Selanjutnya, Madzhab Hanafi tersebar dibanyak negeri, bahkan menjadi
Madzhab resmi di Negara Iraq, terutama disekitar Sungai Eufrat, walaupun tidak
begitu dominan dalam hal ibadah. Madzhab Hanafi mulai tersebar di Kufah,
kemudian ke Baghdad, Mesir, Syam, Persia, Romawi, Yaman, India, Cina, Bukhara,
Kaukasus, Afghanistan, dan Turkistan.

33

Ibid, hal. 176
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 90-91
35
Dr. Rasyad Hasan Khalil,Op.cit. hal. 177
36
Ahmad Hanaf, MA, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1970), hal. 152
34

Hingga saat ini sebagian besar Madzhab Hanafi tersebar didaerah India,
Afganistan, Pakistan, Iraq, Syiria, Turki, Guyana, Trinidad, Suriname, dan juga
sebagian diantaranya berada didaerah Mesir. Madzhab ini juga masih terus menjadi
referensi dalam mengeluarkan fatwa oleh negara-negara yang pernah tunduk dibawah
pemerintahan Turki Usmani hingga sekarang.37
2.

Madzhab Maliki
a. Pendiri: Imam Malik (93-179 H / 717-801 M)
Madzhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin ‘Amir Al-Ashbahi, lahir

di Madinah pada tahun 93 H/ 717 M dari kedua orang tua keturunan Arab. Ayahnya
berasal dari Kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan Ibunya bernama Aliyah
binti Syuraik dari Kabilah Azdi.
Kakek Imam Malik adalah seorang pembesar tabi’in, banyak meriwayatkan
hadits dari

sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin

‘Ubaidllah, dan ‘Aisyah. Imam Malik tidak pernah meninggalkan kota Madinah,
kecuali untuk menunaikan ibadah haji. Ia membatasi dirinyadengan hanya mendalami
pengetahuan yang terdapat di Madinah.38
Tidak berbeda dengan Imam Abu Hanifah, beliau juga termasuk ulama dua
zaman. Ia lahir pada zaman Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Walid
bin ‘Abd Al-Malik, dan meninggal pada zaman Bani Abbasiyyah, tepatnya pada
zaman Harun Ar-Rasyid. Beliau sempat merasakan masa pemerintahan Bani
Umayyah selama 40 tahun dan Bani Abbasiyyah selama 46 tahun.
Imam Malik menyaksikan berbagai pemberontakan rakyat dan kezaliman
pemerintah pada waktu itu. Beliau tidak memihak kepada pemberontak maupun
pemerintah. Tidak memihak kepada pemberontak karena menurut beliau, keadaan
tidak dapat diperbaiki dengan pemberontakan, dan beliau tidak berpihak kepada
pemerintah karena beliau telah menyaksikan pemerintah sering melakukan penindasan
terhadap lawan politiknya, seperti terhadap keturunan ‘Ali bin Abi Thalib pada zaman
Dinasti Umayyah.39
Pada tahun 764 M Imam Malik ditangkap dan dianiaya atas perintah Amir
Madinah, karena mengeluarkan ketetapan hukum bahwa perceraian yang dipaksa
adalah tidak sah. Ketetapan ini dianggap bertentangan dengan praktik para penguasa
37

Dr. Rasyad Hasan Khalil, Loc.cit. hal. 177
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 93; Dr. Rasyad Hasan Khalil, Loc.cit.hal. 178
39
Dr. Jaih Mubarok, Op.cit, hal.79
38

Abbasiyyah. Imam Malik diikat dan dipukul sampai bahunya rusak, hingga beliau
tidak mampu berpegangan pada dadanya (bersedekap) ketika sholat.
Imam Malik melanjutkan mengajar haits di Madinah selama lebih dari 40
tahunsambil menyusun buku yang memuat hadits-hadits Nabi dan Atsar para sahabat
dan tabi’in yang beliau namai dengan Al-Muwatha’. Beliau mulai mengumpulkan
hadits-hadits tersebut atas perintah dari Khalifah Abbasiyyah, Abu Ja’far Al-Mansur
yang menginginkan sebuah kitab undang-undang hukum yang komprehensif yang
didasarkan pada Sunnah Nabi, yang bisa diterapkan secara seragam diseluruh wilayah
pemerintahannya. Akan tetapi dalam pelaksanaanya, Imam Malik menolak
memaksakannya kepada umat, dengan alasan bahwasannya para sahabat telah
menyebar diberbagai wilayah pemerintahan dan memiliki sebagian Sunnah Nabi
lainnya yang juga dianggap sebagai hukum yang bisa berlaku diseluruh wilayah
kerajaan. Khalifah Harun Ar-Rasyid juga melakukan permintaan yang sama, akan
tetapi beliau juga menolaknya. Imam Malik meninggal dikota tempat dimana beliau
dilahirkan pada tahun 801 M/179 H dalam usia 83 tahun.40
b. Pendidikan Imam Malik
Imam Malik sudah menghafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, berguru
pada Rabi’ah Ar-Ra’yi ketika beliau masih sangat muda. Beliau berpindah dari satu
ulama ke ulama yang lain untuk mencari ilmu, sampai beliau bertemu dan bermizalamah dengan Abdurrahman bin Hurmuz.
Imam Malik sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu apapun, meskipun
beliau bukan termasuk orang yang kaya. Akan tetapi semua yang dimilikinya
digunakan untuk mencari ilmu, sampai beliau menjual atap rumahnya sebagai bekal
untuk mencari ilmu. Beliau sangat penyabar terhadap sikap keras dari para urunya,
mendatangi mereka disaat teriknya matahari dan sejuknya udara.
Beliau mengawali pembelajarannya dengan menekuni ilmu riwayat hadits,
mempelajari

fatwa

para

sahabat,

dan

dengan

inilah

beliau

membangun

madzhabnya.tidak sebatas itu, beliau juga mengkaji setiap ilmu yang ada
hubungannya dengan ilmu syari’at.41
c. Guru-Guru Imam Maliki
Imam Malik mendapatkan ilm fiqih dan hadits dari para gurunya, diantara
guru-guru beliau yang masyhur adalah;
40
41

Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 94
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hal. 179

Abdurrahman bin Hurmuz, beliau adalah seorang tabi’in yang ahli dalam hal
qira’at dan ahli hadits, beliau meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Abu Sa’id AlKhudhri, dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Imam Malik tinggal bersama
Abdurrahman bin Hurmuz dalam waktu yang lama dan tidak bergaul dengan orangorang lain.
Selain itu, beliau juga belajar hadits pada Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, Ibnu
Syihab Az-Zuhri, dan Abu Zanad bin Dzakwan. Adapun guru beliau dalam bidang
fiqih adalah Yahya bin Sa’id, darinya beliau belajar ilmu fiqih dan periwayatan, serta
beliau juga belajar kepada Abdullah bin Abdurrahman dalam bidang fiqih logika yang
sangat ternama, sehingga beliau dijuluki ‘Rabi’ah logika’.
Perlu kita ketahui, bahwa semua guru Imam Malik telah merepresentasikan
semua disiplin ilmu; fiqih logika, hadits, dan ucapan sahabat. Imam Malik berguru
dari mereka semua, sehingga ia menjadi ahli fiqih dan hadits, bisa berfatwa, dan
melayani semua permasalahan.42
d. Metode Pengajaran Imam Maliki
Imam Maliki memiliki dua majelis taklim yaitu; majelis hadits dan majelis
fatwa. Beliau membuat jadwal khusus untuk fatwa dan hadits. Adapun metode
pengajaran yang dilakukan Imam Malik didasarkan pada ungkapan hadits dan
pembahasan

atas

makna-maknanya,

kemudian

dikaitkan

dengan

konteks

permasalahan yang ada pada saat itu.
Beliau juga meriwayatkan kepada murid-muridnya berbagai hadits dan atsar
atas dasar berbagai topik hukum Islam dan kemudian mendiskusikan implikasiimplikasinya. Kadangkala beliau meneliti masalah-masalah yang sedang terjadi
ditempat para murid-muridnya berasal, kemudian mencarikan hadits-hadits atau atsaratsar yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
Imam Malik sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, beliau tidak mau
menjawab pertanyaan yang beliau tidak tahu jawabannya. Jika beliau tidak dapat
memastikan hukum suatu masalah, beliau akan mengatakan tidak tahu, agar terlepas
dari salah fatwa, tidak tergesa-gesa dalam menjawab, dan berkata kepada si penanya
“Pergilah nanti saya lihat dahuli !”. Dalam memberikan fatwa, beliau hanya akan
menjawab masalah yang sudah terjadi, dan tidak melayani masalah yang belum
terjadi, meskipun ada kemungkinan untuk terjadi. Imam Malik tidak pernah
menganggap remeh atau susah masalah yang ditanyakan kepada beliau, akan tetapi
42

Ibid, hal. 180; Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 95

semua dianggap berat, terlebih jika permaslahan tersebut menyangkut halal dan
haram.
Setelah penyusunan Al-Muwattha’ selesai, Imam Malik menjelaskan kitab
tersebut kepada murid-muridnya sebagai madzhabnya, namun ia akan selalu
menambahkan didalamnya ketika ada informasi beru yang sampai kepadanya. Imam
Malik sangat menghindari spekulasi dan fiqih hipotesis, sehingga madzhabnya dan
para pengikutnya dikenal sebagai Ahlul Hadits.43
Tiga hal yang menyebabkan Madzhab Maliki berbeda dengan Madzhab
Hanafi; Pertama, banyak pendapat-pendapatnya oleh Imam Malik sendiri di Kota
kelahirannya dengan disertai alasan-alasannya dan dengan demikian maka kita bisa
melihat dengan jelas dasar-dasar madzhab beliau, sebagaimana dapat kita lihat dari
kitabnya muwattha’.
Kedua, madzhab Maliki merupakan hasil karya penelitiannya, sumbangan dari
para muridnya hanya mengenai pendapat-pendapat yang tidak keluar dari dasar-dasar
yang ditetapkan Imam Malik, dan oleh karena itu, murid-murid Imam Malik termasuk
dalam tingkatan mujtahid madzhab. Lain halnya dengan Madzhab Hanafi yang
merupakan hasil penelitian bersama dan pendapat-pendapat berbagai fuqaha’ telah
telah ikut serta membina madzhab tersebut, oleh karenanya mereka termasuk dalam
tingkatan mujtahid mutlak.
Ketiga, Madzhab Maliki banyak sekali menerima ijma’ sahabat dan tabi’in
sebagai salah satu dasar dalam penetapan hukum, sedangkan Madzhab Hanafi tidak
terdapat hal demikian.44
e. Murid-Murid Imam Malik
Lamanya beliau tinggal di Madinah dan ketokohannya dalam bidang fiqih
telah memberi andil besar bagi tersebarnya madzhab beliau dan banyaknya murid
yang datang untuk belajar dari segala penjuru negeri Islam, diantaranya dari; Syam,
Iraq, Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia. Dari merekalah madzhab beliau kemudian
menyebar keseluruh negeri Islam.
Diantara muridnya yang masyhur adalah; Abdullah bin Wahab yang berguru
kepada Imam Malik selama 20 tahun dan menyebarkan Madzhab Maliki di Mesir dan
Maroko. Imam Malik sangat menghormati dan mengagumi beliau dan sering menulis

43
44

Dr. Rasyad Hasan Khalil, Ibid, hal. 180-181; Abu Ameenah Bilal Philips, Ibid. hal. 95-96
Ahmad Hanaf, MA, Loc.cit, hal. 152-153

surat kepadanya ke Mesir dan menjulikinya sebagai faqih Mesir, wafat pada tahun
197 Hijriyah.
Diantara muridnya yang lain adalah Abdurrahman bin Al-Qasim Al-Mishry,
memiliki peranan penting dalam menulis Madzhab Imam Malik, berguru kepada
Imam Malik selama kurang lebih juga 20 tahun. Meriwayatkan kitab Al-Muwattaha’
dan periwayatannya termasuk yang paling shohih. Wafat pada tahun 192 H.
Selain keduanya yang masyhur adalah; Asyhab bin ‘Abdul ‘AzizmAl-Qaisi,
rujukan kaum Muslimin di Mesir dan Tunisia dalam bidang fiqih. Wafat pada tahun
224 H. Selain itu ada juga Abu Hasan Al-Qurthubiy, belajar kitab Al-Muwattha’
secara langsung kapada Imam Malik dan menyebarkannya di Andalusia. Selain
murid-murid yang disebutkan tersebut, masih banyak lagi murid-murid beliau yang
berasal dari berbagai penjuru negara.45
f. Dasar Madzhab Imam Malik
Imam Malik tidak pernah menuliskan dasar dan kaidah madzhabnya dalam
ber-istinbath serta manhaj-nya dalam ber-ijtihad walaupun beliau pernah mengatakan
atau meng-isyaratkannya. Berdasarkan penjelasan dan isyarat Imam Malik serta hasil
istinbath para fuqaha’ madzhab dari berbagai masalah furu’iyyah yang dinukilkan dan
juga pendapat yang ada dalam kitab Al-Muwattha’ dapat kami simpulkan bahwa dasar
madzhab Imam Malik adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam yang lainnya, Imam Malik menempatkan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum paling utama dan memanfaatkannya tanpa memberikan
persyaratan apapun dalam penerapannya.
2) Sunnah
Imam Malik dalam meng-istinbatkan hukum dari sunnah adalah mengambil
hadits mutawattir, hadi

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22