Datanglah langsung pada tempatnya niscay

│ BENNY APRIARISKA SYAHRANI │ 170510120077│
│ Tugas Individu │ Reflection Paper of Field Study on Baduy│

Datanglah langsung pada tempatnya, niscaya disanalah kau akan mendapat
jawaban
Sejak awal perkuliahan semester 1 sudah ada informasi bahwa mahasiswa antropologi angkatan
2012 akan kuliah lapangan (kulap) ke Baduy, Banten. Tak terasa akhirnya waktu telah ditentukan dan
semakin dekat. Perizinan dan persiapan untuk di sana nanti telah diberikan dosen. Para senior juga
memberikan sharing time perihal kuliah lapangan yang akan dilakukan tiap semester ataupun berkenaan
dengan lokasi kulap kali ini, Baduy. Sharing time itu sangat terasa penting, karena masih ada yang belum
terbayang disana bagaimana dan mau apa. Dalam perbincangan yang tidak banyak diberikan dosen di
kelas perihal teknis, sesi berbagi pengalaman itu hanya saya gunakan untuk mencari-cari cara (belajar
berdasarkan pengalaman mereka -red) tentang bagaimana mendekati orang tanpa menjadikan saya adalah
orang asing. Atau intinya melebur seperti mereka apa adanya karena itu yang menjadi kesulitan pribadi
ketika menjumpai orang baru. Berhubung baru pertama kali, agaknya kulap masih santai dan saya anggap
itu sebagai jalan-jalan guna melatih jam terbang improv bersosialisasi (learning by doing -red). Dengan
mempersiapkan diri semaksimal mungkin dan perlengkapan serba dadakan satu hari sebelum berangkat,
mau tidak mau kami semua harus siap berangkat.
**
Lewat pukul sebelas malam hari kamis 22 November 2012 kami berangkat dari kampus.
Perjalanan malam memang enak dipakai untuk tidur, namun tidak bagi saya. Dalam kepala mendadak

muncul pikiran-pikiran tentang apa yang akan dilakukan ketika sudah tiba dan rasa penasaran mendalam
terhadap Baduy dalam.
Satu hal lagi yang mendadak muncul dikepala dan tak kalah memecah keheningan bus adalah
bayang-bayang atas fenomena budaya (sunda) yang mulai popular di Bandung beberapa tahun terakhir
khususnya dikalangan anak muda, bahkan beberapa kawan terdekat. Mengapa? entahlah, tidak ada alasan
kuat dan pasti. Justru itulah yang membuat pikiran kembali tak karuan dengan berbagai macam fenomena
seperti ada musik barat yang digabungkan dengan budaya lokal, sebut saja musik Sundanesse Death
Metal atau alat musik karinding yang dipadukan dengan musik-musik popular.
Ada pula yang menggembar-gemborkan "Save Sunda" atau "Sunda Nu Aing" pada t-shirt. Pula
pada acara pertunjukan musik, penonton memakai ikat kepala bahkan kerajinan khas Baduy. Jujur saya
tidak tahu bagaimana teori atau penjelasan ilmiah untuk mendiskripsikan fenomena tersebut. Tapi ada
perasaan risih yang tidak bisa dijelaskan untuk minimal berkata: "ada yang aneh dengan masyarakat
urban bandung hari ini" dan "saya merasa ada budaya yang 'ditelanjangi' dengan asumsi ada beberapa dari
mereka yang melabeli diri mereka 'Sunda nepi Modar' atau apalah dengan tidak mengenal secara utuh
dan mendalam akan apa yang disukainya."
Kesan-kesan yang semakin bergejolak dalam diri dikarenakan sedang trend-trend-nya 'nyunda'
tanpa ada ke-khusyuk-an mengetahui dan mempelajari. Bahkan saya pernah memperdebatkan dengan
kawan terdekat yang mendadak "berbudaya" atau nyunda. Saya hanya menyerang secara spekulatif tanpa
data, karena sebelumnya saya juga tidak tahu apa-apa. Hingga obrolan tentang masyarakat Kanekes
(Baduy) yang sama-sama sok tahu namun dia merasa paling tahu, padahal kami sama-sama belum pernah

ke Baduy, dan sayapun tahu orang-orang yang ada disekitar dia juga tidak ada narasumber yang benar-

benar valid mengenai Baduy. Dan sekali lagi entah dapat ilham dari mana dia, pula orang lain ngakungaku paling tahu tentang apa yang kali ini dianutnya.
Pikiran itu semakin kacau dikepala. Bahkan dari fenomena tersebut saya sudah 'tak peduli'
dengan budaya sunda apapun dan dekat dengan ketidakmenghargai-an atas penggeneralisiran fenomena
dan beberapa fakta. Resah dan selalu saja langsung saya judge "si kearifan lokal" ketika menjumpai
muda-mudi yang berdandan nyunda, bahkan orang tua sekalipun. Saya hampir 'tidak menyenangi' budaya
sunda begitupun kawan-kawan yang mempunyai perasaan dan pemikiran yang sama. Alasannya yang
logis-tak logis juga tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, cenderung subjektif dan egosentris.
Ada contoh lain, ketika saya ke perpustakaan baru di jalan Curie no.1, Cipaganti-Bandung.
Ternyata saya baru tahu kalau disitu salah satu pusat kebudayaan sunda di Bandung karena saking
rutinnya acara ritual mingguan dan orang-orang yang datang. Pernah saya temui orang Dayak Segandu
yang datang memakai motor dan membawa handphone, juga orang Baduy yang ke Bandung naik bus
bersama anaknya yang memakai sandal gunung untuk menjual hasil kerajinan setiap dua atau tiga bulan
sekali. Selebihnya saya tidak bertanya apapun karena perasaan kecewa duluan saat mengetahui aktivitas
dia dari baduy luar yang sepintas hampir tak ada bedanya dengan saya.
Sampailah pada titik tak karuan memikirkan dan membayangkan kenapa orang baduy luar dan
dalam sangatlah berbeda. Dan bagaimana hubungan antara suatu budaya sunda yang menjamur di
Bandung hingga calon-calon walikota atau gubernur sekalipun. Hal yang enak jika diperbincangkan dua
arah, ini malah berbelit dikepala. Dan tiba-tiba bus berhenti ditengah perjalanan untuk sejenak

beristirahat. Akhirnya kepulan asap membantu menenangkan sementara. Perjalanan dilajutkan dengan
mata ditutup, yang sebenarnya tidak ngantuk. Dipaksakan agar tidak memikirkan hal itu lagi dan agar fit
ketika sudah tiba.
**
Samar-samar terdengar suara riuh kerumunan orang ketika aku dibangunkan dalam tidurku di atas
tempat duduk paling belakang dekat kaca. Ternyata sudah tiba saat kupandang sembarang keluar seketika
disambut pantulan sinar matahari pagi. Kira-kira tujuh jam perjalanan hingga bus berhenti di desa
Ciboleger. Kawan-kawan yang lebih dulu datang dari bus satu lagi tengah menunggu dengan asyik
mengobrol. Lanjut sarapan di warung makan yang sudah dipesan, obrolan lebih hangat sebelum kita
bersama akan meninggalkan, katakanlah NKRI.
Ketika mulai berjalan meninggalkan Ciboleger memasuki Desa Kanekes (Baduy) kami melewati
pasar, sekolah, beberapa rumah dan satu perpustakaan diselingi iklan-iklan aneka produk dan sambutan
warga sekitar yang melihati kami. Melewati plang selamat datang di baduy dan plang aturan selama
berada disana. Saat itu seorang kawan bilang, "Ben nanti kalau udah di hutan tolong dibantu ya kalau
harus buka jalur menebas rimba". Aku hanya ketawa kecil dan komentarku, "emang ini hutan yang belum
terjamah, nggak mungkinlah, setidaknya ada jalan setapak yang tak perlu ditebang untuk masuk ke baduy
luar". Sebelum obrolan tersebut aku membayangkan akan berjalan melewati beberapa perkampungan,
ladang, hutan, dan barulah menemukan kampung yang akan dijadikan tempat stay selama di Baduy. Dan
kenyatannya setelah melewati plang, seratus meter kemudian itu ada tempat stay. Sial, kupikir jauh dan
ahh aku kecewa. Ini sangat-sangat dekat dengan dunia diluar baduy. Jarak dari rumah tempatku menginap

saja masih bisa melihat sinar televisi yang ada sangat dekat dengan batas baduy luar dan desa Ciboleger
(luar baduy). Aku kira tak sedekat ini tempatnya, dan rumah-rumah tempat kami menginap berada
disekitaran rumah kepala desa kanekes yang disebut jaro. Waktu itu jaro sedang tidak ada jadi kami tidak
mendapat sambutan ketika datang. Akhirnya kami dibagi ke beberapa rumah sebagai tempat menginap.
Para rombongan yang baru tiba dan mendapat tempat rebahan banyak diantara mereka yang
kecapekan dan langsung tidur. Namun tidak bagi saya, kupilih jalan-jalan kearah tak karuan. Pertama
arsitektur khas rumah baduy yang khas dan disesuaikan dengan fungsi, seperti selalu ada ganjalan batu
pada tiang-tiang penyangga rumah panggungnya. Tapi juga sangat disayangkan, banyak rumah yang
sudah terlalu mengadopsi teknologi seperti cara memotong kayu dengan mesin hingga pipih, penggunaan
paku, pintu lengkap dengan lubang kunci gaya rumah-rumah kompleks.

Arsitektur lain yang masih terselamatkan kekhasannya adalah lumbung padi yang ditempatkan
rata-rata pada daerah atas suatu perkampungan. Tak jauh dari rumah singgah kami bertemu dengan warga
yang dikira warga baduy luar pada pondok pembuatan gula aren. Ternyata bukan, mereka orang
Ciboleger yang sering bermain kebaduy luar untuk mancing atau menongkrong-nongkrong saja. Mereka
seperti warga daerah pada umumnya dan waktu itu saya belum bisa membedakan antara warga baduy luar
dan warga desa Ciboleger yang sering ke baduy luar. Kami disambut seperti bertemu orang bandung atau
sunda, mereka memakai bahasa sunda mudah dimengerti dan sesekali bahasa kasar. Lalu candaan mulai
muncul, saya hampir ditipu bahwa cukur kumis dalam bahasa sunda adalah "dikurud" dalam bahasa
mereka adalah "dibabad", dan seorang dari mereka menyahut "dipacul" dengan muka sok serius, untung

teman-temannya memberi tahu kalau itu bohong.
Layaknya pergi kekawasan pinggiran-pinggiran kota, mereka berkomunikasi dengan santai.
Sesekali lawakan erotis dan perihal duit diucapkan. Mereka juga memberi informasi perihal cara
membuat gula aren dipondok tempat mengobrol. Lantas salah satu dari mereka ada yang tiba-tiba
menawari "mau pelet nggak?" dan "ayo kita ke aki pinter!" Tentu saat itu kutolak mentah-mentah, tak
berpikir panjang dan langsung pergi. Eh ternyata menurut seorang kawan yang saat itu bersama saya
berkata, "ada maksud lain bukan mengapa mereka menawari kita pelet? karena bagi mereka kita adalah
bahan lawakan, seperti orang kota yang datang kedaerah seperti ini dan tiba menenyakan tempet pelet dan
lainnya." Barulah aku tersadarkan, oh iya ya, kenapa juga kalau mereka sebagai orang lokal meminta
pelet pada orang lokal juga. hahaha konyol.
Dikampung tak jauh dari pondokan kami berdua hanya duduk didepan rumah sambil melihati
buah durian sambil membayangkan itu telah masak dan diiringi kicauan burung kutilang pada rumah
depannya. Waktu itu maksud kami adalah mendengarkan sesama orang baduy mengobrol agar kita bisa
mendapatkan kajian dari sana. Indikasinya adalah cukup jika kami bisa mengerti mereka sedang
mengobrol apa, berarti kita berhasil. Dan alhasil tidaklah begitu, bahasa sunda kasar yang agak kejawajawaan. Itu membuat saya pribadi keteteran memahaminya ditambah dengan gaya ngomong yang cepat,
penggunaan logat yang berbeda-beda, juga penggunaan kosakata yang ada beda arti.
Awalnya lewat siang hari kami akan balik kerumah, namun yang terjadi justru saya dan seorang
teman malah kesasar, walaupun masih didaerah perkampungan bukan didaerah hutan. Jujur saya malu
untuk bertanya selain karena ada perasaan terhadap orang baduy yang lebih cenderung menutup diri maka
sayapun begitu, menjadi agak pendiam. Kami malah diperuntungkan dengan bertemu warung, itupun

tidak kami sangka ada warung disitu lengkap dengan spanduk salah satu provider telpon seluler. Setelah
memesan kopi pada teteh penjaga warung kami mencoba mengorek informasi yang ada dengan obrolanobrolan santai. Dan lagi-lagi teteh tersebut menjawab seperlunya dan nampak malu-malu. Kamipun
kebingungan dan lebih berbgai cerita berdua. Anehnya justru ketika kami berdua asik mengobrol sambil
mengamati keadaan sekitar teteh tersebut tidak balik menenun, malah duduk menunduk didekat kami
tanpa melakukan aktivitas apapun. Warga daerah sekitar para perempuannya kebanyakan juga sebagai
penenun, dan mereka melakukan komunikasi antar rumah yang satu dengan yang lainnya tanpa menatap
mata dan dengan fokus menenun, nampaknya mereka terbiasa denga pola-pola interaksi langsung dan
tidak langsung. Dari setiap percakapan merekapun bervariasi, ada yang dengan nada datar, nada seru
heran dan sebagainya, namun mereka tidak berhadapa satu sama lain apalagi bertatap mata.
Sore hari kuputuskan pulang kerumah dan langsung kuambil posisi tidur dikala hujan mulai
mengguyur dan melumpuhkan aktivitas. Sebelumnya saya bersama sepuluh orang lainnya berkenalan
denga ibu pemilik rumah dan meminta izin untuk menginap dan meminta ia memasak makanan dari
bahan mentah yang kami bawa. Problemnya adalah, dari kami tidak semua bisa bahasa sunda, dan ibu itu
juga tidak bisa berbahasa indonesia. Akhirnya kuajak bicara dengan bahasa sunda kasar dengan meminta
maaf karena bahasa sunda lemes saya tidak lancar, ia malah berkata bahwa didaerah baduy bahasanya
adalah sunda kasar. Akupun disuruh saja menggunakan sunda kasar, dan ini adalah hal yang canggung
dan mendadak tidak bisa diucapkan. Biasanya jika ngomong kasa pada teman sebaya adalah biasa saja,
dan ini ketika ngomong dengan orang yang lebih tua dengan bahasa kasar yang itu adalah bahasa yang
biasa bagi mereka justru ada perasaan tidak enak dan lain-lain. Dalam tahap ini saya masih etnosentris.


Dan dengan dipaksakan berbahasa kasar saya mulai terlatih untuk memberanikan diri agar terbiasa
dengan menyesuaikan bahasa masyarakat baduy.
Malam hari Jaro (kepala desa Kanekes) datang, tanpa banyak istirahat beliau langsung
memberikan sambutan kepada kami dimana sebelumnya kami melapor untuk melakukan kuliah lapangan
di baduy. Kemudian ia menjelaskan tentang baduy secara singkatnya, aturan, kebiasaan, dan perihal
tamu-tamu pendatang lainnya. Ketika Jaro memberi beberapa pertanyaan yang dilontarkan kepada
mahasiswa sontak disambut oleh orang-orang yang nampka mempersiapkan banyak pertanyaan dari saat
pertama kali datang ke baduy. Pertanyaa standar adalah apa bahasa yang dipake, apa perbedaan baduy
luar dan dalam, dan bagaimanakah konsep religi mereka? Saya terkagum saat jaro setiap kali menjawab,
ia sangat sistematis dalam menjelaskan, terperinci dan detail. Ia mempunyai kerangka berpikir yang baik,
yang mana ia gunakan untuk setiap kali menjelaskan atau mengetengahi warga baduy dan warga buan
baduy. Dan terkejut pula saat jaro menjawab konsep religi dengan bahasa mereka hingga sesimpel
menjelaskan konsep Islam secara substansisanya denga rangkaian kalimat panjang. Dengan bahasa sunda
mereka seperti sedang berjampi-jampi padahal Jaro sedang kembali menghubungi konsep=konsep religi
yang ia percayai untuk dipaparkan.
Lewat pukul sembilan apa yang saya rasakan adalah keheningan. Waktu yang tepat untuk
kontemplasi yang ditemani suaru jangkrik dan pekik cekakak-cekikik kelompok pada rumah lain. Lambat
laun rumah yang menjadi tempat bernaung tersebut ramai oleh obrolan-obolan kecil. Apapun dibahas dan
dengan diawali periahal apa saja yang telanh didapat hari ini, apa yang dirasakan hari ini, dan hal-hal
aneh apa yang ditemui disana. Akupun hanya melontarkan pertanyaan mengapa orang baduy dalam

kumisnya sangat bersih seperti memakai pisau cukur, yang kedua perasaan saya saat mendapat sambutan
dari jaro ada orang baduy dalam disekitar kami, dan mereka seolah sedang mengamati kami. Nampak
mereka ingin benar-benar tahu apa yang kami lakukan, namun mereka akan berpaling wajah jika terus
dilihati. Lagipula keadaan mereka yang pendiam memberi kharisma tersendiri untuk bisa memahami
mereka adalah orang yang harus dihargai.
Malam semakin larut, kilauan senter menyambar redup, kepulan asap dan kopi terus meminta jatah dalam
suhu yang tak terlalu dingin. obrola semakin khusyuk hingga seorang diantara kami minta izin tidur dan
semua pun bubar mengambil posisi. Dalam keheningan saat menuju tidur, aku membayang kan betapa
gemilangnya daerah baduy jika mereka masih bisa menjaga adat leluhur mereka. Baduy luar yang seperti
ini memberi sedikit kekecewaan karena beberapa hal yang tidak bisa mereka hindari. Justru keinginanku
adalah pergi ke baduy dalam bersama beberapa orang perwakilan kelompok. Sayang kami tidak diberi
izin karena perihal waktu. Padahal yang menjadi fokus dan daya ingin tahu besar bagi saya adalah baduy
dalam. Tapi dengan menjumpai beberapa baduy dalam di baduy luar selalu saja ada perasaan, wahhh kau
adalah orang kuat, tabah, sederhana, berani suatu sifat-sifat keunggulan manusia yang semuanya
kaudapatkan. Aku hanya bisa mengagumi sejarahmu dan kegigihan hingga masa kini yang rentan
globalisasi. Apalagi baduy yang jaraknya tak terlalu jauh dengan jakarta, masihkah kau kuat hingga
kapanpun waktunya untuk tetap lestari?
**
Keesoka paginya kami diberitahu ada jadwal jalan-jalan kedaerah kampung Gazebo dan entah daerah
mana itu, kemudian kami bersiap-siap. Setelah itu sarapan bersama kami lakukan bersama dengan teman

serumah. Kehangatan menyelimuti ditengah senda gurau keakraban. Tiada lagi masa seperti ini ditengah
kesibukan kampus apalagi urban. Semuanya seperti berjalan pelan, tidak apa-apa untuk dicapai jauh-jauh
selain untuk hari ini. Seolah dalam rumah kami adalah tim, kami sangat menikmati setiap senda gurau dan
hisapan asap setelahnya. Tak lama kami mulai berjalan.
Oh iya kemarin sore dengan maksud ingin mengetahui warga baduy luar pulang dari ladang dan
berbincang-bincang saat petang, kami melakukan jalan-jalan ditempat yang sama saat kesasar. Dan malah
ketemu kang Udil, ia adalah orang yang direkomendasikan senior jika terjadi apa-apa disana nanti dan
ialah yang dekat dengan para senior di kampus. Saya bersama teman diajak jalan-jalan ke lumbung
ketempat penumbukan padi sambil ia menerangkan bahwa penumbukan padi hanya dilakukan pada acara-

acara tertentu. Juga memberi pengalaman-pengalaman perjalannya keluar baduy misal Jakarta, Bandung,
Banten, dlll.. Ia juga menjelaskan mengapa orang baduy banyak memasang baling-baling diatap rumah
atau pohon-pohon, menurutnya karena baling-baling tersebut sedang dijadikan karya seni, dengan
indikasi bahwa semakin baling-baling berputar nyaring dan halus maka yang lain adalah kalah. Kemudian
kang Udil kami lanjut bercerita seputaran baduy juga sembari melihati kerajinan yang dibikin oleh orang
tuanya seperti gelang, tas, kain. Lagi-lagi ada yang membuat aneh adalah ketika kang udil mendapa
telepon dan menjawab bahasa Indonesia. Pertanyanna jika warga baduy tidak mendapat sekolah informal
tapi contohnya kang Udil dan beberapa warga lainnya telah memiliki handphone. Kemudian untuk hal
apakah hal itu tetap digunakan? Kalau bahasa Indonesia kang Udil sendiri perlu waktu cukup lama untuk
bisa. Awalnya ia tidak bisa dan sangat takut ketika menjumpai orang yang menggunakan bahasa

Indonesia. Namun dengan kekuatan niat hal-hal seperti rasa takut dan kemampuan bahasa akhirnya ia
taklukan
Saat hari kedua mulai berjalan melewati perkampungan kang Udil, jalurnya adalah rumah warga,
lumbung-lumbung hutan terdekat kemudian ladang-ladang huma yang membentang. Jalanan yang naikturun saya nikmati, karena kapan lagi memontum seperti ini datang. Beberapa dosen ikut dan dengan
semangat berjalan, dan sebagian dari kami ada yang menyerah sebelum tujuan. Beberapa perkampunagan
dilewati dan kebanyak dari mereka adalah perempuan menenun dan lelaki berladang. Hingga saya disuatu
kampung berhenti untuk ditawai dokumentasi foto, saya mengiyakan karena sebelumnya belum ada.
Kupilih rumah denga halaman terbesar agar suasana perkampungan terdokumentasi pula. Pada rumah
yang berhalaman luas tersebut memang ada nenek yang sedang menenun, dan tiba-tiba nenek itu bicara
yang tak dimengerti. Kutanggapi dengan "ngiring ngiyuhan sakedap" dengan maksud meminta izin. Iya
pun seolah mengerti bahwa aku sedang difoto. Namun semakin lama nenek itu semakin ngomong tak
karuan. Ketika ditanya jawabnya malah jauh sekali. Hingga akhirnya ia sendiri yang bilang bahwa
pendengarannya sudah berkurang. Hmmm, agak ekstra juga saya berkomunikasinya. Kebetulan ada dosen
yang juga berteduh dirumah nenek itu dan bertanya-tanya tentang dia nenek itu malah menjawanya
dengan kaliamt "tilu puluh rebu bae..." dan itu diulang-ulang oleh dia. Mendadak ia mengambil hasil
tenunan berwarna biru. Dan bu Selly bertanya apakah ada warna putih, ia pun tetap menjawab dengan
"tilu puluh rebu bau..." oh kesal juga aku, akhirnya kuambil benang warna putih sambil menangkat hasil
tenunan berharap ia mengerti isyarat bahasa yang saya sampaikan namun ia tetap menjawa "tilu puluh
rebu bae..." dan beruntunglah seorang tetangga memberi tahu bahwa nenek itu tuli dan harus berteriak
kencang jika ingin mengajak ngobrol. Akhirnya ketika saya teriakkan "aya nu warna bodas" nenek itu

dengan sigap masuk lagi ke rumah dan mengambil kain hasil tenun warna putih. Dan hingga seterusnya
teriakan digunakan untuk komunikasi
Yang unik dari nenek itu adalah ia tidak banyak paham dengan bahasa-bahasa isyarat pada
umumnya. Jadi kesulitan interaksi tanpa bahasa semakin sulit. Ia malah seperti menciptakan bahasa
isyarat seperti kalau orang rumahnya menunduk artinya itu akan ke huma. Dan ketika lidah dikeluarkan
sambil jari didekatkan artinya makan.
Dari rumah nenek tersebut ternyata batas perjalanan kawan-kawan hanya sampai jembatan
bambu. Darisana hanya kulihat mereka berfoto-foto, bermain air, bolak-balik melintasi jembatan dan
hala-hal yang lebih cocok disebut outbound. Dengan sisa waktu menuju siang hari saya bersama beberapa
orang lain berjalan melintasi jembatan dan terus semakin atas. Awalnya kita hanya inign berada
dipunggungan dan melihat lintas atau hutan yang menuju baduy dalam. Apa daya malah perjalanan
melewati ladang-ladang. Ditengah ladang saat itu kami menemui seorang ibu yang sedang beristirahat
makan. Kami dengan baik-baik menyakan nama kampung terdekat, tempat mengambil air minum dan
kawasan-kawasan yang yang jauh melintasi sungai. Apa yang didapat justru ibu itu sangat tertutup,
banyak diam dan sesekali menjawab terkesan jutek kalau istilah gaulnya. Begitulah mereka, sifat mereka
yang masih memberi batas pada orang baru, dan itu entah karena problem pemahaman bahasa atau
memang sudah keinginan dia untuk munutup diri bagi orang baru.
Perjalanan diteruskan dan kami kehabisan air minum. Di perkampungan selanjutnya ketika kami
menemui teteh dengan adiknya yang masih berumur dibawah sepuluh tahun niatnya kami hanya ingin
meminta minum, dan ternyata didalam rumah tersebut ada warung. Teteh tersebut akhirnya mengeluarkan

makanan ringan ciki-ciki yang dijual gopek-an dan kamipun lahap menyantap. Dipikir-pikir ada juga
warung diatas seperti ini, pertama siapa yang mau beli yang kampung itu tak terlalu banyak, kedua harga
yang mereka berikan tetap sama padahal jarak dan butuh tenaga ekstra dalam sekali berbelanja.
Setelah meniggalkan warung teteh tersebut perjalanan cukup curam menanjak. Kutemui anakanak kecil sedang bermian dipohon untuk mencari bahan bikin mainan. Lalu longsoran banyak dijumpai,
ada yang sengaja dari pohon yang ditebang, ada pula yang alamiah karena tanah yang bergeser karena
pengaruh hujan yang mengguyur tiap hari. Akhirnya melihat waktu dan memperkirakan cuaca kami
putuskan balik ke kampung Gazebo. Tak lama kami jalan hujanpun menyambut. Derasnya sama-sama tak
mau mengalah karena kami membawa payung dan ponco. Akhirnya selama perjalanan hujan mengantar
kami hingga Gazebo dan sial yang lain sudah tidak ada disana. Sepi. Padahal saya telah merencanakan
ingin berenang di sungai tersebut dan sekarang sungainya telah meluap. Hmm niat berenang diurungkan
dan perjalanan kami teruskan ke rumah karena kami pasti dicari. Diperjalanan pulang saya melihat atraksi
cantik. Jalana batu yang menanjak dilalui pelan-pelan begitupun sebaliknya. Namun saat arah pulang
kami bertemu orang baduy luar yang hanya memakai plastik tipis dikerudungkan pada badannya dengan
maksud agar tidak basah di punggungan. Setelah melewati kami apa yang dilakukan ketika kulihat
kebelakang, ia seperti ninja hatori. Dalam hujan ia berloncat-loncat cekatan dari satu batu kebatu lainnya.
Mendapatkan pengalaman yang baru seperti itu membuatku kagum. Budaya sunda yang
sebelumnya kupandang rendah kini bisa kupahami secara mendalam dari pusatnya. Aku bisa memahami
keadaan yang sederhana adalah yang yangpaling susah dilakukan bagi kaum urban. Konsep mereka dalam
menjalani spiritual, cara pandang mereka akan hidup serta aktivitas mereka yang santai dan penuh gairah
kehidupan benar-benar dinikmati. Tinagkatan pembelajaran dari balita bisa berjalan ia dibiasakan masuk
ke hutan dan ke ladang. Maksudnya adalah untuk membiasaakan berkenalan dengan alam. Masa anakanak sudah dilatin menenun bagi perempuan atau mancari kayu. Saat hal yang bagiku sangat miris adalah
ketika melihat anak berusia lima tahunan namun i telah menenteng ember penuh air tangan kanan dan
kirinya. mimik wajah anak tersebut yang entah sedih karena dipaksa melakukan, atau terkena hukuman,
atau ingin sesuatu namun harus ada imbalannya dari orangtuanya. Ada lagi perempuan dengan umur 9-13
tahun mereka mengangkat kayu yang sangat banya hingga berjalan terhuyung-huyung dan membungkuk.
Oh beratnya pasti tapi ia menerima tugas tersebut dengan senang gembira bersama teman-temannya yang
seperti itu. Anak laki-laki seumuran mereka lebih parah, yakni mengangkat kayu hasil tebangan dari
pohonnya, jadi masih bulat dan panjang. Aku mengakui kalah denga anak-anak seperti mereka yang
menjadikan aku sadar bahawa diri ini terlalu banyak manja.
Yang paling bisa kunikmati selama dibaduy adalah suasana waktu yang berjalan melambat jauh
dari kesibukan yang sebenarnya itu butuh tidak butuh, jika apa yng oleh alam sediakan kenapa kita masih
ingin yang lain-lain. Keadaan hening yang sangat menjernihkan kepala apalagi untuk berpikir yang santai
dan rumit sekalipun. Ketiga adala gelap. Sisi dimana gelap bukan warba tapi justru dalam kegelapan
sebuah warna bisa terlihat.
Kembali pada pernyataan saat masih di Bandung apalagi detik-detik dalam pergulatan
diperjalanan semua saya hapus. Sekali lagi saya bisa menganali dan menghargai. Sulit perasaan ini
dituliskan. Intinya saya tidak peduli dengan masyarakat urban bagamanapun keadaannya, namun jika
sudah mengarah kebudayaan sunda maka titik penerangan telah didaptkan untuk memahami lebih dalam.
Sekalipun sekarang sedang trend namun baduy tetaplah baduy. Semua pengalaman yang kudapat rasanya
terus menagih dan terlalu bertele-tele untuk diceriatakan. Baduy menyimpan kaca dalam diri untuk
dijadikan tempat renungan dan mendekatkan diri pada alam, mengenalai manusia sederhana dan
menemukan sang pencipta. Apa jadinya kalau kuliah lapangan tidak ke baduy, mungkin saya masih
menyimpan rasa ketidaksukaan. Dan sekali lagi untuk mencari tahu atas gejolak tak pasti maka perlu
datangilah tempat yang dianggap pusat, niscaya kau akan mendapat jawaban sebening mungkin.
***
Tulisan lepas
3 Desember 2012 02:19

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22