Contoh BERITA ACARA PEMERIKSAAN TERSANGK

Contoh BERITA ACARA PEMERIKSAAN ( TERSANGKA )
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH SUMATERA BARAT
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL
PRO. JUSTITIA.

BERITA ACARA PEMERIKSAAN
( TERSANGKA )

—— Pada hari ini ……….. tanggal .… Agustus 2008 sekira jam 10.00 WIB Saya :
————————————————— : TANJUNG NASITUHANG, S.H. :
—————————————–Pangkat Briptu NRP. 69015993, Jabatan Selaku Penyidik Pembantu
pada kantor tersebut di atas, berdasarkan Surat Keputusan Sumbar No. Pol : Skep/06/I/2008, tanggal
06 Januari 2008, melakukan pemeriksaan terhadap seorang wanita yang belum saya kenal mengaku
bernama :
————————————————————- : EVA MAIDANI :
—————————————————
Lahir di Padang tanggal 6 Januari 1980, Umur 28 Tahun, Suku Tanjung, Pekerjaan Ibu Rumah
Tangga, Pendidikan terakhir SMP (Tamat), Negeri Asal Padang, Kewarganegaraan Indonesia, Agama
Islam, Alamat Jln. Parak Gadang No. 23 Kec. Padang Timur Kota Padang. Dia ( EVA MAIDANI )
diperiksa dan didengar keterangannya sebagai Tersangka dalam perkara Tindak Pidana Pembunuhan

secara berencana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP, sehubungan dengan Laporan Polisi
No. Pol. : LP 14/VIII/2008 Poltabes Padang tanggal 14 Agustus 2008.
————————————————— Atas pertanyaan yang diajukan Pemeriksa kepada yang
diperiksa maka yang diperiksa menjawab dan menerangkan sebagai berikut di bawah ini :
—————————————————————————–
PERTANYAAN

JAWABAN

1. Bagaimanakah keadaan kesehatan Sdr sekarang ini, bersediakah Sdr diperiksa dan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya?
——————————————————————————–
——-1. Ya, Saya sekarang dalam keadaan sehat Jasmani dan Rohani, bersedia diperiksa dan akan
keterangan yang sebenar-benarnya. ———————————————————————

1. Mengertikah Sdr sebabnya Sdr ditangkap dan dimintai keterangan oleh Petugas Polisi saat
sekarang ini?—————————————————————————————————
——-2. Saya mengerti sebabnya Saya ditangkap Petugas Polisi, sehubung dengan Saya telah
melakukan pembunuhan secara berencana. ———————————————————–
1. Sudah pernahkah Sdr dihukum dalam perkara tindak pidana kejahatan atau pelanggaran

sebelum perkara ini, jika pernah dalam perkara apa? Jelaskan!
—————————————————————-3. Saya belum pernah dihukum dalam perkara tindak pidana ataupun perkara pelanggaran
lainnya.————————————————————————————————————
1. Dalam perkara yang dipersangkakan kepada Sdr sekarang ini yang mana diancam hukuman
diatas 5 (lima) tahun, untuk itu sesuai dengan Pasal 56 KUHAP diwajibkan kepada Sdr untuk
didampingi oleh Penasihat Hukum, apakah saat sekarang ini Sdr ada mempunyai penasihat
hukum, Jika ada sebutkan nama dan identitasnya serta dari mana penasihat hukum atau
pengacara Sdr tersebut, Jika tidak ada maka penyidik menyediakan Penasihat Hukum atas
nama ——————————————————————– untuk mendampingi Sdr,
bagaimana selanjutnya? ———————————–4.
Pada pemeriksaan sekarang ini
Saya sudah didampingi oleh seorang Penasihat Hukum yang
bernama REFKI
SAPUTRA, S.H, L.LM yang berumur 31 Tahun yang berasal dari LBH Padang.
——————————————————————————————————————

1. Ceritakan riwayat hidup Sdr dengan singkat dan jelas?
———————————————————
——-5. Saya lahir di Padang tanggal 6 Januari 1980. Saya anak keempat dari 5 (lima) orang
bersaudara diantaranya 4 (empat) orang laki-laki 1 (satu) orang perempuan, ibu kandung saya bernama

SUHARTINI dan Bapak saya bernama yang beralamat di Jalan Parak Gadang No. 23 Kec. Padang
Timur.————————————————————————
Pendidkan: SMP ———————————————————————————————–
Pada Tahun 1995 saya tamat SMP 2 Padang ———————————————————-Karena
tidak ada biaya saya tidak melanjutkan sekolah ——————————————–
Pekerjaan : ——————————————————————————————————
Setelah berhenti sekolah saya bekerja sebagai TKI Ke Arab Saudi dan 5 (lima) bulan lalu saya bekerja
sebagai Ibu rumah tangga sampai sekarang.——————————————Keluarga : ——————————————————————————————————–
Saya sudah bekeluarga.—————————————————————————————
6. Kapan dan dimanakah Sdr ditangkap serta bersama siapa Sdr ditangkap, saat ditangkap Sdr
sedang mengapa dan siapakah yang melakukan penangkapan terhadap Sdr ?—————————
——-6. Saya ditangkap sendiri pada hari………..tanggal………Agustus 2008 sekitar jam 10.00 WIB
di Jalan Parak Gadang No. 23 Kec. Padang Timur dan pada saat ditangkap saya sedang berbaring di
tempat tidur. Yang menangkap saya adalah seorang dua orang polisi. Mereka menunjukan sebuah surat
dan saya diborgol lalu dibawa ke atas mobil polisi.—–

20. Adakah saksi yang meringankan Sdr dalam perkara yang dipersangkakan kepada Sdr saat ini? ———-20. Ada, tetangga saya.
——————————————————————————————21. Masih adakah keterangan lain yang perlu Sdr tambahkan atau jelaskan sehubugan perkara ini?———-21. Semua keterangan yang saya berikan diatas sudah cukup dan tidak ada lagi yang akan saya
jelaskan atau tambahkan.—————————————————————————–
22. Sudah sebenar-benarnyakah semua keterangan yang Sdr berikan di atas dan dalam hal memberikan

keterangan tersebut apakah Sdr merasa dipaksa, mendapat penekanan-penekanan atau anda
dipengaruhi oleh orang lain maupun oleh pemeriksa sendiri?———————————–
——22. Semuanya telah saya terangkan dengan sebenar-benarnya tanpa ada rasa paksaan, penekananpenekanan dan juga tidak ada dipengaruhi oleh orang lain maupun oleh pemeriksa sendiri dan apa
yang saya terangkan diatas adalah menurut apa yang saya lihat dan saya lakukan
————————————————————————————————- Setelah berita acara pemeriksaan tersangka ini selesai dibuat kemudian dibaca sendiri oleh
yang diperiksa (tersangka) dan yang diperiksa menyatakan setuju serta membenarkan kemudian untuk
menguatkannya yang diperiksa turut membubuhkan tanda tangannya di bawah ini.
———————————–
Yang diperiksa / Tersangka
( EVA MAIDANI)
———- Demikianlah Berita Acara Pemeriksaan tersangkan ini dibuat dengan sebenar-benarnya atas
kekuatan sumpah jabatan kemudian ditutup dan ditanda-tangani di Padang pada Hari dan tanggal
tersebut diatas.———
Penyidik Pembantu
TANJUNG NASITUHANG
BRIPTU/NRP. 69015993

Contoh BERITA ACARA PEMERIKSAAN DI TKP

Leave a comment


KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH SUMATERA BARAT
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL
PRO. JUSTITIA.

BERITA ACARA PEMERIKSAAN DI TKP

—— Pada hari ini ……….. tanggal .… Agustus 2008 sekira jam 10.00 WIB Saya :
——————————————————————————— : TANJUNG NASITUHANG, S.H. :
—————————————–Pangkat Briptu NRP. 69015993, Jabatan Selaku Penyidik Pembantu
pada kantor tersebut di atas, ——Bersama : 1. Adelia, Briptu/NRP.77121276
2. Romeo Denisa, Briptu/NRP.81011790
3. Sonnia Putri, Briptu/NRP.79091009

Berdasarkan Laporan Polisi No. Pol. : LP 14/VIII/2008 Poltabes Padang tanggal 14 Agustus 2008,
telah mendatangi tempat kejadian perkara di Jln. Parak Gadang No. 23 Kec. Padang Timur Kota
Padang.—–

1. Hasil-hasil yang ditemukan :


1)

Satu buah piring makan

2)

Bungkusan sisa racun tikus

1. Tindakan-tindakan yang telah diambil adalah sebagai berikut :

1)

Mengamankan barang bukti berupa satu buah piring bekas makan korban

2)

Mengamankan bungkus racun tikus yang tersisa

3)


Membawa tersangka untuk di periksa lebih lanjut

———- Demikianlah Berita Acara Pemeriksaan Di Tempat Kejadian Perkara ini dibuat dengan
sebenar-benarnya atas kekuatan sumpah jabatan kemudian ditutup dan ditanda-tangani di Padang pada
Hari dan tanggal tersebut diatas.———————————————————————————

Penyidik Pembantu

TANJUNG NASITUHANG
BRIPTU/NRP. 69015993

Contoh BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
Sebagian besar orang, mungkin belum pernah melihat BERITA Acara Pemeriksaan, atau
yang lazim disebut BAP. Ini adalah salah satu contoh BAP.

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH JAWA BARAT
WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG
“PRO JUSTITIA”


(lambang POLRI)
BERITA ACARA PEMERIKSAAN
SAKSI PELAPOR

Pada hari ini Kamis tanggal 5 Juni Tahun 2008 waktu jam 09.00 WIB, saya----------------------------------------------- RAMDHANI TRI ---------------------------------------------Pangkat BRIPTU/ NRP 65090137selaku penyidik pada kantor kepolisian tersebut diatas
berdasarkan surat tugas No. pol. : SP. Gas/ 517/ VI/ 2008/ Reskrim tanggal 5 Juni 2008
telah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan yang belum saya kenal
mengaku bernama :------------------------------------------------------------------------------------------------------ SARAH RAMADHANI binti BAROKAH ----------------------------Umur 24 Tahun, dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1984, Agama Islam, Pekerjaan
Sekertaris di PT. Abadi Mekar, Suku Sunda, Bangsa Indonesia. Pendidikan terakhir S1
Sarjana Ekonomi jurusan Management, Alamat sekarang Jln. Aceh No. 2 Bandung
-------------------------------------------------------Ia diperiksa untuk dimintai keterangan selaku saksi pelapor dalam perkara Tindak Pidana
Pembunuhan berencana atau Pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340
ayat atau 338 KUHPidana, sehubungan dengan adanya laporan polisi No. Pol
LP/778/VI/2008/SPK tanggal 5 Juni 2008
------------------------------------------------------------------------------------------

Atas pertanyaan pemeriksa yang diperksa menerangkan secara Tanya jawab sebagai
berikut dibawah ini : ---------------------------------------------------------------------------------PERTANYAAN JAWABAN
1. Apakah saksi sekarang dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta bersediakah

anda sekarang untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan pernyataan dengan
sebenar-benarnya.?
--------- 01. Ya, sekarang saya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta saya
bersedia untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan sebenar-benarnya.

2. Mengertikah saudara sekarang mengapa saudara sekarang dimintai keterangan oleh
polisi. Kalau mengerti dalam perkara apa? Coba Jelaskan ?
--------- 02. Ya, Saya mengerti sehingga diperiksa sekarang ini sehubungan sebagai saksi
pelapor terkait dengan kematian Abdul Manan di PT. Abadi Mekar tepatnya di ruang
kerja korban.
3. Kapan dan dimana kejadian itu terjadi ?
--------- 03. Pada tanggal 4 Juni 2008 sekitar pukul 14.00 PT. Abadi Mekar Jl Merdeka No. 7
tepatnya di ruang kerja korban.

4. Apakah saudara mengetahui siapakah pelaku penganiayaan tersebut, coba saudara
jelaskan?
--------- 04. Tidak tahu, tapi yang saya tahu pada hari itu ada dua orang tamu terakhir
yang bertemu dengan korban yaitu 1. Pa wisnutama 2. Pa Setiawan Putra dari PT. Mekar
Jaya , tamu itu datang sekitar pukul 13.20 dan seingat saya mereka keluar dari ruangan
korban pada pukul 14.30 WIB, dan satu hal saya ingat bahwa sebelumnya ia telah

membuat janji sekitar tanggal 27 Mei 2008 via telepon
5. Apakah saudara kenal dengan kedua tamu itu dan apakah saudara tahu maksud dari
kedatangan mereka, jelaskan?
--------- 05. Tidak saya tidak kenal dengan mereka, dan seingat saya mereka datang
untuk membicarakan suatu proyek dengan korban selaku rekanan bisnisnya, namun
saya juga tridak mengetahui persis karena saya tidak berada didalam pada waktu
mereka masuk ke ruang korban saya hanya mengantarkan mereka lalu kembali ke
ruangan saya.
6. Bisa saudari jelaskan cirri-ciri dari kedua tamu itu?
--------- 06. ke dua orang yang datang pada waktu itu memiliki ciri-ciri fsik yang satu
orangnya berkulit gelap, berbadan tinggi besar sekitar 180 cm dan wajah penuh dengan
cambang dan janggut dan model rambut botak dan pada waktu itu menggunakan jas
hitam dan kemeja merah, yang satunya lagi tingginya sekitar 170 cm berkulit putih
rambut model pendek dan lurus, dan pada waktu itu menggunakan jas hitam dengan
kemeja biru tua dan itu semua juga dapat terlihat di rekaman kamera cctv yang berada
di lift dan yang berada di depan pintu masuk ruangan korban.
7. Adakah orang lain setelah mereka yang masuk ke ruangan korban?
--------- 07. Ada, yaitu Cecep Supriatna dia OB di kantor itu dan memang sudah

kebiasaannya pada pukul 08.00 pagi ia mengantar kopi untuk korban dan pukul 15.00 ia

mengantarkan teh hangat untuk korban.
8. Berapa lama saudara Cecep berada di ruangan itu?
--------- 08. Ya di bawah lima menit seingat saya
9. Apa reaksi saudara Cecep ketika keluar dari ruangan korban?
--------- 09. Biasa saja dan tidak ada yang aneh pada waktu itu
10. Lalu apakah betul saudari yang mengetahui pertama korban telah meninggal, coba
jelaskan?
--------- 10. Ya, ketika itu pukul 16.20 ketika saya hendak pulang saya curiga kenapa
korban tidak terlihat keluar dari ruangannya padahal kebiasaanya ia selalu pulang ketika
telah pukul 04.00, sehingga saya memberanikan diri untuk masuk Lalu ketika saya
masuk ke ruangan korban, terdengar lantunan melodi klasik kesukaan korban ketika
sedang bersantai( suatu kebiasaannya) dan melihat posisi korban sedang terduduk
membelakangi pintu masuk seolah seperti sedang tertidur, dengan terpaksa ia hendak
membangunkan korban yang ia kira sedang tertidur, namun ketika didekati saya
terperanjat kaget ketika melihat muka korban penuh dengan lebam dan kondisi baju
yang tidak rapih seolah telah dipukuli dan ada luka di dahinya dan noda darah di bagian
kerah baju bagian leher belakang. Lantas saya langsung menghubungi petugas
keamanan.
11. Sepengetahuan saudara apakah korban mempunyai musuh atau sedang mempunyai
masalah dengan pihak lain?
--------- 11. Setahu saya korban pernah terlihat berselisih dengan para pemegang saham
lainnya ketika sedang diadakan RUPS pada tanggal 8 Mei 2008 hari Kamis di ruang
rapat, yang dilatarbelakangi korban secara sepihak telah menjual asset-aset perusahaan
PT. Abadi Mekar, kepada Rahardjo Slamet dan itu diketahui oleh Sulaeman dan ia
memberitahukan hal itu pada pemegang saham lainnya yaitu pa haryono dan pa ahmad
hambali.
12. Apakah ada saksi lain yang dapat dimintai keterangan terkait meninggalnya Abdul
Manan?
--------- 12. Ada, yaitu: Asih Rahmayanti, Muhamad Alvian, Joko Pryanto, Dede Muharam,
Cecep supriyatna.
13. Apakah masih ada keterangan lain yang akan saudara sampaikan selain keterangan
diatas?
--------- 13. Semua keterangan yang saya sampaikan cukup
14. Apakah semua keterangan yang sudah saudara sampaikan benar, tidak bohong,
tidak ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan?
--------- 14. Semua keterangan yang sudah saya sampaikan benar dan tidak bohong, tidak
ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah selesai Berita Acara Pemeriksaan dibuat, kemudian dibacakan kembali kepada
yang diperiksa dalam bahasa yang mudah dimengerti olehnya selanjutnya yang
diperiksa menyatakan setuju dan membenarkan semua keterangan yang diberikan,
untuk menguatkannya membubuhkan tanda tangannya dibawah ini.
Tanda tangan yang diperiksa,

SARAH RAMADHANI
Demikianlah Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya mengingat atas
kekuatan sumpah jabtan yang sekarang ini kemudian ditutup dan ditandatangani di
Bandung, pada tanggal tersebut diatas.
Penyidik Pembantu Pemeriksa

RAMDHANI TRI

Desersi (kejahatan militer terhadap tugasnya)
Posted by lisa on Sunday, 23 October 2011
A. Pengertian Desersi dan Macam-Macam Tindak Pidana Desersi
Menurut kamus bahasa Indonesia desersi adalah (perbuatan) lari meninggalkan dinas
ketentaraan; pembelotan kepada musuh; perbuatan lari dan memihak kapada musuh.
Pengertian atau defnisi dari desersi tersebut dapat disimpulkan dari pasal 87 KUHPM,
bahwa desersi adalah tidak hadir dan tidak sah lebih dari 30 hari pada waktu damai dan
lebih dari 4 hari pada waktu perang. Ciri utama dari tindak pidana desersi ini adalah
ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh seorang militer pada suatu tempat dan
waktu yang ditentukan baginya dimana dia seharusnya berada untuk melaksanakan
kewajiban dinas.
Dalam perumusan pasal 87 KUHPM dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam
jenis tindak pidana desersi yaitu :
1. Tindak pidana desersi murni diatur dalam pasal 87 ayat (1) ke-1 KUHPM.
2. Tindak pidana desersi sebagai peningkatan dari kejahatan ketidakhadiran tanpa izin,
diatur dalam pasal 87 ayat 1 ke-2 dan ke-3 KUHPM.
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Tindak Pidana Desersi
Salah satu tindak pidana yang sering dilakukan dalam lingkungan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) adalah tindak pidana desersi. Adapun tindak pidana desersi ini diatur
dalam pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang berbunyi :
1. Diancam karena desersi, Militer :
Ke-1, yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban
dinasnya, dihindari bahaya perang, menyeberang ke musuh atau memasuki dinas militer
pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu;
Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin
dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari
empat hari;
Ke-3, yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dan karena tidak ikut
melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintah.
2. Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara
maksimum dua tahun delapan bulan.

3. Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara
maksimum delapan tahun enam bulan.
Apabila kita cermati substansi rumusan pasal tersebut, sesuai dengan penempatannya
dibawah judul mengenai ketentuan cara bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari
pelaksanaan kewajiban dinas, maka dapat dipahami bahwa hakekat dari tindak pidana
desersi harus dimaknai bahwa pada diri prajurit yang melakukan desersi harus tercermin
sikap bahwa ia tidak ada lagi keinginannya untuk berada dalam dinas militer.
Sikap tersebut dapat saja terealisasikan dalam perbuatan yang bersangkutan pergi
meninggalkan kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturutturut atau perbuatan menarik diri untuk selamanya.
Bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seorang militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat
dimana ia harus berada, tanpa itu sukar dapat diharapkan dari padanya untuk menjadi
militer yang mampu menjalankan tugasnya.
Dalam kehidupan militer, tindakan-tindakan ketidakhadiran pada suatu tempat untuk
menjalankan dinas, ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin
merupakan hal yang sangat urgen dari kehidupan militer.
Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan militer, bahwa perbuatan tersebut
bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai pelanggaran disiplin organisasi.
Apabila kita mencermati makna dari rumusan perbuatan menarik diri untuk selamanya
dari kewajiban-kewajiban dinasnya, secara sepintas perbuatan tersebut, menunjukkan
bahwa ia tidak akan kembali lagi ketempat tugasnya.
Mungkin saja hal ini dapat dilihat dari suatu kenyataan bahwa ia telah bekerja pada
suatu perusahaan, tanpa menyatakan pekerjaan tersebut hanya bersifat sementara.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hakikat dari tindak pidana
desersi, bukan hanya sekedar perbuatan meninggalkan dinas tanpa izin dalam tenggang
waktu tiga puluh hari. Melainkan harus di maknai bahwa hakikat dari perbuatan desersi
tersebut, terkandung maksud tentang sikap dan kehendak pelaku untuk menarik diri dari
kewajiban dinasnya dan karenanya harus ditafsirkan bahwa pada diri prajurit tersebut
terkandung kehendak atau keinginan bahwa ia tidak ada lagi keinginannya untuk tetap
berada dalam dinas militer. Hal ini harus dipahami oleh para penegak hukum
dilingkungan TNI, khususnya para hakim militer agar dalam memeriksa dan mengadili
perkara desersi dapat menjatuhkan putusan yang tepat dan adil serta bermanfaat bagi
kepentingan pembinaan kesatuan militer.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kenyataan, sering terjadi motivasi seorang prajurit
melakukan desersi, dikarenakan rasa takut kepada seniornya akibat suatu kesalahan,
sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan dinas karena apabila ia ada di kesatuan
akan menghadapi tindakan keras dari seniornya. Hal lainnya adalah dikarenakan banyak
hutang disana-sini sehingga ia lebih memilih pergi meninggalkan kesatuan ketimbang
menyelesaikan masalahnya itu, dan banyak juga motivasi lainnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan tindak pidana desersi ada 2 macam yaitu:
1. Faktor ekstern meliputi :
a. Perbedaan status sosial yang mencolok
b. Terlibat perselingkuhan/mempunyai wanita idaman lain (WIL)
c. Jenuh dengan peraturan/ingin bebas
d. Trauma perang
e. Mempunyai banyak hutang
f. Silau dengan keadaan ekonomi orang lain
2. Faktor intern meliputi :
a. Kurangnya pembinaan mental (Bintal)

b. Krisis kepemimpinan
c. Pisah keluarga
Untuk mencegah terjadinya perkara tindak pidana di lingkungan TNI, maka setiap satuan
hendaknya :
1. Meningkatkan efektiftas pengawasan melekat atau pengawasan internal sebagai
salah satu fungsi komando.
2. Melaksanakan program pembinaan personel dan pembinaan mental untuk
meningkatkan kepatuhan, ketaatan dan kedisiplinan prajurit terhadap ajaran agama,
etika dan moral serta peraturan hukum dan tata tertib.
3. Mengadakan evaluasi faktor penyebab terjadinya perkara, sehingga dapat digunakan
sebagai bahan dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya.
4. Menindak tegas prajurit TNI yang terlibat perkara pidana dengan ketentuan hukum
yang berlaku serta menghindarkan proses penyelesaian yang berlarut-larut.

C. Hambatan Penyelesaian Perkara Desersi
Ciri utama tindak pidana desersi
ditunjukkan dengan perbuatan ketidakhadiran tanpa izin seorang militer pada suatu
tempat yang ditentukan baginya, dimana ia seharusnya berada untuk melaksanakan
kewajiban dinas.
Diluar organisasi militer, perbuatan ketidakhadiran ini tidak ditentukan sebagai suatu
kejahatan, tetapi dalam kehidupan militer ditentukan sebagai kejahatan dan kepada
pelakunya apat dijatuhi pidana penjara bahkan sampai pemidana-an yang paling berat
yakni penjatuhan pidana pemecatan dari dinas militer. Pemberian sanksi tersebut, sesuai
dengan hakikat dan akibat dari tindak pidana desersi, dimana kesatuan yang
bersangkutan tidak dapat mendayagunakan tenaga dan pikiran personel tersebut untuk
melaksanakan tugas pokok.
Pelaksanaan persidangan tindak pidana desersi sering menemui hambatan dikarenakan
pelakunya tidak kembali atau tidak berhasil ditangkap sehingga Terdakwa tidak bisa
dihadirkan di persidangan. Akibatnya terjadi tunggakan penyelesaian perkara, dan bagi
kesatuan dapat berpengaruh terhadap pembinaan satuan dan pencapaian tugas pokok
satuan.
Dalam praktek peradilan, tindak pidana tersebut kerap menimbulkan kesulitan antara
lain yang berkenaan dengan penentuan locus dan tempos delicti yang ada kaitannya
dengan kompetensi pegadilan misalnya: seorang Kapten X anggota Kodam A mendapat
perintah untuk mutasi ke Kodam Jayapura. Yang bersangkutan berdasarkan surat
perintah dari Pangdam A, telah melapor kepada atasannya untuk melaksanakan perintah
mutasi ke Kodam Jayapura.
Namun dalam kenyataannya, Kapten X tidak segera berangkat ke Kodam Jayapura, baru
setelah lewat waktu enam bulan, Kapten X berangkat ke Jayapura dan melapor kepada
Komandan Satuan di Kodam Jayapura. Selanjutnya Kapten X oleh Atasannya diserahkan
kepada Penyidik Polisi Militer, karena diduga tidak hadir tanpa izin lebih lama dari 30
hari.
Persoalan yang timbul dari posisi kasus tersebut adalah; apakah ia diduga melakukan
desersi, dimana locus delicti dan sejak kapan menentukan awal tempos delictinya, atau
apakah melakukan tindak pidana insubordinasi (pembangkangan terhadap perintah
dinas, karena tidak melaksanakan perintah mutasi/pindah kesatuan ke Kodam Jayapura).
Dilihat dari sudut tugas dan kewajiban Kapten X untuk berada dikesatuan guna
melaksanakan tugas kewajibannya sebagai Perwira di Kodam Jayapura, maka kepadanya
dapat diterapkan tindak pidana desersi. Tetapi apabila penekanannya terhadap
pelaksanaan surat perintah yang dikeluarkan Kodam A untuk melaksanakan mutasi,
ternyata ia tidak melaksanakannya atau melaksanakan dengan semaunya, maka

kepadanya dapat diterapkan pembangkangan atau insubordinasi. Demikian pula dari
aspek tempos, sejak kapan Kapten X melakukan ketidakhadiran, apakah setelah yang
bersangkutan melapor kepada atasannya di Kodam A. Untuk penerapan tindak pidana
desersi, penentuan tempos ini perlu diperhatikan karena untuk menentukan lama
ketidakhadiran seorang prajurit di kesatuan. Demikian pula, harus ditentukan dimana
kesatuan yang ia tinggalkan, karena yang bersangkutan belum melapor ke tempat
satuan baru.
Kesulitan dalam praktek untuk menghadirkan para pelaku tindak pidana desersi ke muka
sidang, telah disadari oleh pembuat Undang-undang, karenanya pembuat Undangundang telah merumuskan secara limitatif dalam sebuah pasal untuk menyidangkan
perkara desersi secara in absensia.
1. Persidangan perkara desersi secara in absensia
Ketentuan ini dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997, dirumuskan dalam
beberapa pasal, yakni:
a. Pasal 124 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa: “Dalam hal berkas perkara desersi yang
Tersangkanya tidak diketemukan, berita acara pemeriksaan Tersangka tidak merupakan
persyaratan lengkapnya suatu berkas perkara”.
Substansi dari rumusan pasal 124 ayat (4) tersebut:
1) Bahwa pemeriksaan Tersangka bukan merupakan syarat formal
2) Pemberkasan perkara desersi yang dilaporkan oleh Satuan kepada Penyidik dapat
dilakukan meskipun Tersangka tidak ada.
Dengan demikian dari substansi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyidikan terhadap
tindak pidana desersi ini dilakukan tanpa hadirnya Tersangka, karenanya dinamakan
penyidikan perkara desersi in absensia.
Kemudian terhadap berkas hasil penyidikan ini akan disidangkan secara in absensia.
Ketentuan formalitas tersebut terdapat permasalahan, yakni mengenai penentuan
tempos delicti, yaitu sampai kapan waktu desersi tersebut, apakah berakhirnya tindak
pidana desersi ditentukan pada saat kasusnya dilakukan penyidikan atau pada saat
perkaranya disidangkan meskipun pelaku tindak pidana desersi belum kembali.
b. Pasal 141 ayat (10) Undang-undang No. 31 tahun 1997.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa “Dalam perkara desersi yang Terdakwanya tidak
diketemukan pemeriksaan dilaksanakan tanpa hadirnya Terdakwa”.
Apabila kita mencermati rumusan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa rumusannya
bersifat imperatif, artinya perintah yang tidak bisa dimaknai lain agar pengadilan
menyidangkan perkara desersi secara in absensia. Dari rumusan pasal 141 tersebut ada
dua hal pokok yang substansial yakni Terdakwanya tidak diketemukan, dan persidangan
dilaksanakan secara in absensia.
Apabila kita cermati rumusan kata-kata “Terdakwanya…….” maka dapat dipahami
bahwa untuk berkas tersebut Terdakwanya tidak ada ketika perkaranya akan
disidangkan, maka persidangan dilaksanakan secara in absensia. Berbeda dengan
rumusan Pasal 124 ayat (4), yang menegaskan Tersangkanya yang tidak diketemukan
maka penyidikan dilakukan secara in absensia.
Permasalahannya, bagaimana apabila Terdakwa hadir di persidangan apakah
pemeriksaan perkara tersebut bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan desersi biasa (bukan
in absensia) atau harus dihentikan?.
c. Pasal 143 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa: “Perkara tindak pidana desersi sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, yang Terdakwanya
melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam waktu enam bulan berturut-turut serta
sudah diupayakan pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir

disidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukanpemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya
Terdakwa”.
- Penjelasan Pasal 143
Ketentuan penjelasan tersebut merumuskan bahwa yang dimaksud dengan
“Pemeriksaan tanpa hadirnya Terdakwa dalam pengertian in absensia” adalah
pemeriksaan yang dilaksanakan supaya perkara tersebut dapat diselesaikan dengan
cepat demi tetap tegaknya disiplin prajurit dalam rangka menjaga keutuhan pasukan,
termasuk dalam hal ini pelimpahan perkara yang Terdakwanya tidak pernah diperiksa
karena sejak awal melarikan diri dan tidak
diketemukan lagi dalam jangka waktu enam bulan berturut-turut, untuk keabsahannya
harus dikuatkan dengan surat dari keterangan Komandan atau Kepala Satuannya.
Penghitungan tenggang waktu enam bulan berturut-turut terhitung mulai tanggal
pelimpahan berkas perkaranya ke Pengadilan.
Substansi rumusan pasal 143 tersebut memberikan persyaratan untuk Persidangan
desersi secara in absensia, yaitu:
1) Batas waktu berkas perkara adalah enam bulan dihitung tanggal pelimpahan ke
Pengadilan.
2) Telah dipanggil menghadap persidangan sebanyak tiga kali.
3) Dapat dilaksanakan terhadap perkara desersi yang penyidikannya dilakukan secara in
absensia.
Apabila dicermati, persyaratan yang dirumuskan dalam pasal 143 tersebut, sudah
bersifat limitative dan imperative, sehingga pengadilan hanya melaksanakan yang
diperintahkan oleh Undang-undang. Ternyata dalam prakteknya banyak permasalahan,
utamanya dihadapkan pada tuntutan satuan yang menghendaki percepatan
penyelesaian agar cepat mendapatkan kepastian hukum dengan pertimbangan bahwa
secara nyata prajurit tersebut sudah tidak
ada lagi di kesatuan. Oleh karenanya ada pemikiran untuk menyimpangi ketentuan
acara demi untuk percepatan, yakni:
1) Apakah batas waktu enam bulan dan pemanggilan sidang tiga kali secara berturutturut bersifat imperative atau bersifat tentative.
2) Bagaimana kemungkinan penyelesaian perkara desersi yang penyidikannya dilakukan
secara in absensia dengan perkara desersi yang Terdakwanya tidak hadir saja dalam
sidang, dikaitkan dengan ketentuan waktu?
3) Bagaimana untuk menentukan akhir dari pelaksanaan waktu desersi, apakah sampai
pada saat perkara disidik atau ketika perkara disidangkan.
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan inventarisasi permasalahan yang berkenaan
dengan persidangan perkara desersi secara in absensia, yakni:
- Mengenai batasan tindak pidana desersi in absensia.
Apakah desersi in absensia sebagai perkara desersi yang penyidikannya dilakukan
secara in absensia, atau juga perkara desersi yang Terdakwanya tidak hadir
dipersidangan?.
- Perkara desersi yang disidik secara in absensia, akan tetapi Terdakwa hadir di
persidangan, dapatkah pemeriksaannya dilanjutkan?
- Penerapan limit waktu enam bulan, dan tenggang waktu pemanggilan tiga kali, dalam
penyelesaian perkara desersi in absensia. Apakah dapat disimpangi, untuk alasan
percepatan dan kepentingan pembinaan satuan?.
- Tentang akhir waktu penghitungan desersi.
Permasalahan tersebut di atas, ada kesamaan dengan bahan TOR (Terms Of Reference)
yang disampaikan oleh Panitia untuk dibahas dalam pelaksanaan pembinaan teknis
hakim pada bulan Juli 2010 di Surabaya.
Terms of reference yang disampaikan panitia tersebut, sangat tepat karena hampir

disetiap pegadilan militer dalam menyidangkan perkara desersi secara in absensia,
kerap menemukan perbedaan pendapat dalam membuat tafsir terhadap ketentuan
persidangan perkara desersi secara in absensia.
2. Upaya mengatasi masalah
Untuk kesamaan pendapat, dalam memecahkan perbedaan pendapat selama ini
mengenai ketentuan pelaksanaan sidang perkara desersi secara in absensia, dapat
dikemukakan pendapat untuk dijadikan pedoman sebagai berikut:
a. Mengenai batasan tentang tindak pidana desersi in absensia:
Pada awal penerapan UU No. 31 Tahun 1997, ada pihak yang berpendapat bahwa untuk
dapat disidangkan secara in absensia, adalah tindak pidana desersi yang pelakunya
tidak diketemukan lagi, sehingga penyidikan perkara tersebut dilakukan tanpa hadirnya
Tersangka. Atas dasar tindakan penyidikan inilah maka persidangannya juga dilakukan
secara in absensia karena memang dari sejak awal sudah merupakan perkara in
absensia.
Pendapat ini mendasarkan pemahamannya terhadap pasal 124 danpenjelasan pasal 143
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997. Konsekuensi yuridis dari pendapat ini, apabila
ternyata Terdakwa yang disidik secara in absensia, hadir dipersidangan maka
pemeriksaan harus ditunda, dan berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan secara
in absensia tersebut di kembalikan kepada penyidik untuk memeriksa ulang Tersangka
secara biasa.
Pendapat ini menegaskan bahwa perkara desersi yang bisa disidangkan secara in
absensia hanya perkara desersi yang disidik secara in absensia.
Pendapat lainnya, menegaskan bahwa persidangan perkara desersi secara in absensia
dapat juga dilaksanakan terhadap perkara-perkara desersi yang penyidikannya tidak
dilakukan secara in absensia, tetapi Terdakwanya setelah itu tidak diketemukan lagi
sehingga tidak bisa dihadirkan di persidangan.
Dengan demikian, menurut pendapat kedua ini, bahwa terhadap semua perkara desersi
baik yang penyidikannya dilakukan secara in absensia maupun yang penyidikannya
dilakukan secara biasa, dapat disidangkan secara in absensia, apabila Terdakwanya
tidak bisa dihadirkan di persidangan.
Pendapat ini mendasarkan pemahamannya terhadap ketentuan pasal 141 ayat 10 dan
penjelasan pasal 143 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.
Sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas, saya meminta agar saudara memedomani
pendapat yang kedua.
b. Persidangan perkara desersi yang disidik secara in absensia, dalam kenyataan
Terdakwa hadir di persidangan.
Permasalahan ini, apabila dihadapkan dengan pendapat yang kedua, tidak ada
permasalahan, karena pendapat ini meletakkan persoalan pada ketidakhadiran
Terdakwa pelaku desersi di persidangan. Sehingga dengan hadirnya Terdakwa di
persidangan, maka sidang dapat dilanjutkan karena sebelumnya Terdakwa pernah
diperiksa pada saat penyidikan. Namun demikian, bagi pendapat pertama, persoalan-nya
menjadi lain, karena sebelumnya ketika
dilakukan penyidikan, Tersangka belum pernah diperiksa. Oleh karena Terdakwa hadir di
persidangan ketika perkaranya akan diperiksa, maka persidangan harus dihentikan,
dalam keadaan ini apabila sidang belum dimulai maka kepala pengadilan membuat
penetapan untuk mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Kaotmil dengan
permintaan penyidik melakukan pemeriksaan Tersangka yang bersangkutan.
Namun apabila sidang sudah dibuka, maka Hakim ketua membuat penetapan
pengembalian berkas perkara tersebut kepada Oditur dengan permintaan diteruskan
kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan kepada Tersangka.
c. Tentang penerapan tenggang waktu selama enam bulan, dan pemanggilan sebanyak

tiga kali dalam persidangan desersi secara in absensia.
Pasal 143 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 dan penjelasannya telah merumuskan
secara tegas persyaratan untuk dapatnya tindak pidana desersi disidangkan secara in
absensia. Persyaratan tersebut adalah:
- Terdakwanya tidak diketemukan lagi dalam waktu enam bulan berturutturut.
- Sudah dilakukan pemanggilan sebanyak tiga kali berturut-turut secara sah.
Sebagai penjelasan dari syarat yang pertama bahwa tenggang waktu enam bulan
tersebut dihitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke pengadilan.
Selanjutnya untuk membuktikan kebenaran bahwa benar Terdakwa sudah tidak
diketemukan lagi, harus dikuatkan dengan surat keterangan dari Komandan
Kesatuannya.
Mengenai syarat formalitas yang dirumuskan dalam pasal 143 tersebut, ada perbedaan
pendapat, pertama menyatakan bahwa syarat tersebut dapat diterobos. Aliran progresif
ini menekankan bahwa efektiftas dan efsiensi suatu percepatan penyelesaian perkara
menjadi pertimbangan utama, bukankah Komandan Kesatuan telah menyatakan
Terdakwa sejak pergi meninggalkan kesatuan tidak kembali lagi, dan kenyataannya
Terdakwa tidak kembali. Apabila persidangan lebih cepat, akan ada kepastian hukum,
dan kesatuan diuntungkan
karena persoalan tersebut tidak menjadi beban lagi. Karenanya tenggang waktu enam
bulan tersebut, dipandang sebagai hal yang berlarut-larut dan tidak efektif.
Bukankah ada adagium bahwa “Menunda-nunda keadilan, sama dengan meniadakan
keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied)”.
Pendapat kedua, bahwa rumusan pasal 143 dan penjelasannya sudah sangat jelas,
rumusan tersebut bersifat limitative dan imperative karenanya kita hanya melaksanakan
apa yang dinyatakan dan diperintahkan Undang-undang.
Pendapat ini dilandasi pemikiran, bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dan
juga muaranya pada keadilan, maka hakim dan penegak hokum harus melaksanakan
Undang-undang. Penafsiran baru bisa dilakukan dalam rangka Rechts Vinding atau
Rechts Schepping, apabila Undang-undangnya tidak jelas atau belum ada hukum yang
mengaturnya. Persoalan tenggang waktu enam bulan yang dirumuskan dalam Undangundang, bukan tidak ada makna
dan tujuannya.
Terhadap perbedaan pendapat tersebut, saya memedomani pendapat yang kedua, oleh
karenanya dalam kesempatan ini, perlu saya tekankan bahwa untuk dapat
menyidangkan perkara desersi secara in absensia harus ditaati dan dipedomani
persyaratan yang digariskan dalam pasal 143 tersebut di atas.
Ketentuan batas waktu enam bulan tersebut, berlaku juga bagi perkara desersi yang
penyidikannya dilakukan secara in absensia. Dengan demikian, pemeriksaan perkara
desersi secara in absensia yang dilakukan tidak sesuai ketentuan apapun alasan dan
pertimbangannya, tidak dibenarkan karena bertentangan dengan persyaratan formal
yang dirumuskan dalam Undang-undang.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan pemanggilan yang ditentukan harus tiga kali,
adalah apakah dimungkinkan melakukan pemeriksaan kepada saksi atau para saksi yang
ternyata hadir dalam panggilan pertama atau kedua?.
Pertanyaan ini, sering disampaikan oleh hakim dari beberapa pengadilan militer yang
pernah melakukan pemeriksaan saksi pada saat panggilan pertama.
Terhadap persoalan ini, saya ingin memberikan pendapat sekaligus penekanan, bahwa
pemeriksaan perkara desersi secara in absensia adalah sama dengan pemeriksaan
perkara-perkara lainnya, yang membedakan adalah sidang dilakukan tanpa kehadiran
Terdakwa. Dengan demikian sesuai dengan hukum acara, bahwa pemeriksaan saksi
harus didengarkan oleh Terdakwa, karena Terdakwa mempunyai hak untuk menyangkal

keterangan Saksi tersebut.
Dalam hal pemeriksaan perkara desersi secara in absensia, pemeriksaan Saksi
dilaksanakan tanpa kehadiran Terdakwa, tentunya setelah sidang dinyatakan secara in
absensia, dan karenanya pemeriksaan saksi tersebut dibenarkan pelaksanaannya oleh
hukum acara. Kapan hakim ketua menyatakan bahwa pemeriksaan perkara desersi
dilakukan secara in absensia, tentu saja sesudah Oditur melakukan pemanggilan tiga kali
secara sah. Oleh karena itu, dalam
sidang pemanggilan yang pertama dan kedua bahwa sidang tersebut belum dinyatakan
sebagai pelaksanaan sidang secara in absensia. Dengan demikian, pemeriksaan Saksi
tersebut tidak bisa dilaksanakan pada siding pertama dan kedua. Hal yang dapat
berakibat fatal apabila Saksi di periksa pada panggilan pertama adalah, jika ternyata
pada panggilan yang kedua Terdakwa hadir di persidangan.
Ada contoh kasus yang berkenaan dengan ketentuan pemanggilan tiga kali ini, yaitu
kasus desersi seorang Bintara suatu batalyon yang disidangkan pada pengadilan militer
Bandung. Dalam panggilan sidang pertama, Terdakwa tidak hadir dan saat itu mendapat
penjelasan dari Kasi Pers Batalyon bahwa Terdakwa masih desersi. Setelah lama
tertunda pada sidang kedua Oditur tidak melakukan pemanggilan ulang dengan
anggapan bahwa keadaan Terdakwa
masih desersi, dan karenanya mohon kepada Majelis perkara desersinya disidangkan
secara in absensia. Kemudian majelis menyidangkan perkara tersebut dan menjatuhkan
hukuman kepada Terdakwa. Putusan tersebutdisampaikan oleh Oditur kepada Kesatuan
Terdakwa, dan tanpa disangka mendapat penjelasan dari Kesatuan, bahwa Terdakwa
sudah lama kembali dan pada saat sidang dilaksanakan Terdakwa saat itu sedang
melaksanakan tugas operasi militer, sementara putusan telah berkekuatan Hukum
Tetap.
d. Mengenai penghitungan jangka waktu desersi
Terhadap permasalahan ini ada pendapat, yang mengatakan bahwa penentuan waktu
batas akhir desersi ketika perkara tersebut dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.
Pendapat lainnya adalah, menentukan batas waktu akhir desersi berdasarkan waktu
ditandatanganinya surat keputusan penyerahan perkara (Skeppera) oleh Papera.
Sedangkan pendapat ketiga, menyatakan bahwa batas waktu penentuan akhir desersi
adalah pada saat pemeriksaan di Pengadilan.
D. Upaya-Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Desersi
Cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikannya. Cara-cara tersebut dapat ditempuh
melalui Hukum Pidana Militer, yang akan diselesaikan melalui peradilan militer. Yang
kedua yaitu melalui Hukum Disiplin militer yang proses penanganannya diserahkan pada
Ankum. Dan yang ketiga yaitu melalui Hukum Administrasi Militer, dengan jalan
mengenakan tindakan administrasi seperti schorsing pada setiap prajurit yang
melakukan perbuatan tersebut. Dan upaya yang dapat dilakukan dalam
menanggulanginya dapat dilakukan secara preventif, yaitu merupakan upaya
pencegahan timbulnya desersi tersebut. Dan dapat pula dilakukan secara Represif, yaitu
upaya menanggulangi suatu peristiwa atau kejadian yang telah terjadi.
Untuk penyelesaian tindak pidana dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
diperlukan adanya peraturan guna mencapai keterpaduan cara bertindak antara para
pejabat yang diberi kewenangan dalam penyelesaian perkara pidana di lingkungan TNI.
Oleh karena itu, dikeluarkan Surat Keputusan KASAD Nomor : SKEP/239/VII/1996
mengenai Petunjuk Penyelesaian Perkara Pidana di Lingkungan TNI AD, sebagai
penjabaran dari Skep Pangab Nomor : Skep/711/X/1989 tentang penyelesaian perkara
pidana di lingkungan ABRI.
Penyelesaian perkara pidana yang terjadi di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia melewati beberapa tahap/tingkatan sebagai berikut :
1. Tingkat penyidikan
2. Tingkat penuntutan
3. Tingkat pemeriksaan di persidangan
4. Tingkat putusan
Tahapan-tahapan tersebut di atas hampir sama dengan tahapan penyelesaian perkara
pidana di Peradilan Umum, hanya saja aparat yang berwenang untuk menyelesaikan
perkara, yang berbeda. Jika dalam peradilan umum yang berhak menjadi penyidik adalah
anggota Kepolisian Republik Indonesia atau pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 6 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:
1. Penyidik adalah :
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang.
2. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah.
Sedangkan di Peradilan Militer yang mempunyai hak menjadi penyidik adalah “pejabat
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang untuk melakukan
penyidikan terhadap anggota TNI dan atau mereka yang tunduk pada Peradilan Militer”
yaitu Polisi Militer sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang tata peradilan militer.
Dalam hal terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, maka Polisi
Militer wajib melakukan tindakan penyidikan sesuai dengan tata cara dan prosedur yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997. Pasal 69 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 Hak penyidik
pada
1. Para Ankum Terhadap anak buahnya (Ankum)
2. Polisi militer (POM)
3. Jaksa-jaksa Militer di lingkungan Peradilan Militer (Oditur Militer)
Keputusan PANGAB Nomor : Skep/04/P/II/1984/tanggal 4 April 1984 tentang fungsi
Penyelenggaraan ke POM di lingkungan ABRI (Skep/711/X/1989).
Dengan demikian Polisi Militer adalah salah satu tulang punggung yang menegakkan
norma-norma hukum di dalam lingkungan ABRI. Sesuai fungsi Polisi Militer yang
merupakan fungsi teknis, secara langsung turut menentukan keberhasilan dalam
pembinaan ABRI maupun penyelenggaraan operasi Hankam. Selain itu untuk
meningkatkan kesadaran hukum, disiplin dan tata tertib yang merupakan syarat utama
dalam kehidupan prajurit yang tercermin dalam sikap perilaku, tindakan dan
pengabdiannya maka diperlukan adanya pengawasan secara ketat dan berlanjut yang
dilakukan oleh Polisi Militer.