PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL | Khotimah | TOLERANSI
PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL
Khotimah
Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau Email: khotimahimah91@yahoo.co.id
Januarizal
Kepala Madrasah Aliyah Negeri Kota Dumai Email: ijan_dumai@yahoo.com
Abstrak
Pendidikan Multikultural adalah satu satu model pendidikan yang mencoba membangun sikap menghargai perbedaan dankerja sama untuk mencapai cita-cita mulia dalam bingkai keragaman etnis, suku, budaya, dan agama. Dalam konteks pendidikan Islam, ini relevan dengan tugas kemanusiaan yang dijadikan sebagai tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagai hamba (abd) dan sebagai khalifah. Tugas kehambaan, manusia secara niscaya tidakdapat menafikan realita yang ada di sekitarnya.Sedang tugaskekhalifahannya menuntut aktualisasi ide-ide ketuhanannya dalam praktekkehidupan sehari-hari, bagi sesama maupun alam semesta.
Kata kunci: Pendidikan, Multikulturalisme, Islam dan Pendidikan multikultural
multiconfensional akan muncul. Hal ini
Pendahuluan
tidak berarti bahwa seseorang bisa Masyarakat modern dihadapkan
memeluk banyak agama, tetapi harus pada masalah adanya kelompok
sebuah pengakuan minoritas yang menuntut pengakuan atas
menumbuhkan
bahwa kebaikan itu ada di banyak agama identitas mereka, dan diterimanya
dan pemeluk agama (Jainuri, 2005). perbedaan budaya mereka.Di abad
modern ini terdapat dua aspek penting Indonesia sebagai Negeri dan yang
Bangsa, merupakan salah satu negara hubungannya dengan kehidupan. (1) di
perlu diperhatikan
dalam
yang multikultural terbesar didunia, Hal bidang budaya, masyarakat abad ke 21
ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun sedang menuju pasca-ideologis, yakni
geografis yang begitu beragam dan luas. sebuah era yang lebih berorientasi pada
Dengan jumlah yang ada diwilayah nilai pluarlisme dan multikulturalisme.
NKRI sekitar kurang lebih 13.000 pulau (2) dalam bidang agama, lambat atau
besar dan kecil, dan jumlah penduduk cepat, suatu masyarakat dunia yang
kurang lebih 200 juta jiwa, terdiri dari
300 suku yang menggunakan hampir 200 kemanusiaan untuk selalu menghargai bahasa yang berbeda. Selain itu juga
hak-hak orang lain adalah bentuk nyata menganut agama dan kepercayaan yang
dari multikulturalisme itu. Contoh beragam seperti Islam, Katholik, Kristen
konkrit terjadinya tragedy pembunuhan protestan, hindu,budha,konghucu, serta
besar-besaran tehadap pengikut partai berbagai macam kepercayaan (Yakin,
PKI pada tahun 1965, kekerasan etnis 2005).
cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antara islam Kristen di maluku
Dilihat dari berbagai segi, utara pada tahun 1999-2003.
masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural) dari segi etnis ada 1072
Sifat realitas kekerasan dan konflik suku .dimana suku-suku yang ini
sosial yang aktual dan menyejarah, membentuk suku-suku besar dan kecil.
membenarkan bahwa kekerasan hampir Dari segi bahsa, terdapat raturan bahsa
menjadi setelan mental (mind-set) dan yang digunakan seluruh wilayah
nalar kolektif masyarakat maupun Nusantara, dari segi pulau yang dihuni
tentang multikulturalitas terdapat sekitar 13.000 lingkungan
individu
kebangsaan masih terkooptasi oleh kepulauan.Dari segi sejarah politik local
logosentrisme, tafsir hegemonik yang sarat terdapat puluhan bahkan ratusan sistem
akan prasangka, kecurigaan, bias, kerajaan-kerajaan, kesukuan lama yang
kebencian, dan reduksi terhadap berpengaruh terhadap sistim stratifikasi
kelompok yang berada di luar dirinya (the social dan adat istiadat setempat.Konteks
other), serta pemahaman tentang teologi Indonesia yang plural ini barangkali bisa
yang masih sangat eksklusif yang tumbuh menyebabkan rawan terhadap konflik.
dan berkembang di internal umat beragama. Akibatnya, ikatan-ikatan sosial
Keragaman ini, dalam banyak hal (societal bonds) melalui kolektivitas dan
telah dan akan mengalami berbagai kerjasama hanya berlaku di dalam
hambatan dalam
membangun
kelompoknya sendiri (in group), tidak keharmonisan penduduk Indonesia yang
berlaku terhadap kelompok lain (Hily, multietnik, multi-agama, dan multi-
kultur. Di atas fakta tersebut, di sini
Keragaman ini diakui atau tidak, gagasan multikuturalisme menjadi suatu
akan dapat menimbulkan berbagai tawaran gerakan sosial-budaya baru yang
macam persoalan seperti yang sekarang patut ditimbang dan menjadi alternative
ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, untuk mengatasi problem bangsa yang
kolusi nepotisme,
premanisme,
pluralitas dan multi-kultur, baik yang perseteruan
politik,
kemiskinsn
vertikal maupun ,kekerasan, separatisme, perusakan
bersifat
sebuah konsep, lingkunghan
horizontal.Sebagai
dan hilangnya rasa dan hilangnya rasa
keberagaman ini sebagai pluralitas kesederajatan, baik secara individual
perbedaan
dalam
identitas dan sebagai kondisi natural maupun kelompok dalam ranah
eksistensi manusia.Multikulturalisme, jika kebudayaan (Suparlan, 2006).
dinisbahkan pada Amerika dalam upaya mengatasi persoalan keragaman budaya
Multikulturalisme, sebagai sebuah adalah semacam melting-pot (tempat
gerakan sosial-budaya megedepankan bercampur), di mana masyarakat dengan
pengakuan terhadap masing-masing berbagai pluralitas dengan ciri-cirinya
entitas perbedaan dengan sendirinya yang unik dan khas bercampur menjadi
menghendaki dan mempunyai karakter satu sehingga bisa menumbuhkan generic
yang beranekaragam identitas, sehingga
dalam kerangka masyarakat dapat mengartikulasikan dan
culture.Identitas,
pluralitas dilihat sebagai produk mengevaluasi tradisi mereka dalam
kumpulan tradisi, adat-istiadat, praktik, diskursus public yang rasional.Gerakan
nilai, norma, dan makna. ini
(multikulturalisme)
mengusung
semangat yang sangat penting yakni living Namun sejatinya, multikultural together as one society (Jahroni, 2003).
sebagai fakta keanekaragaman berbeda dengan konsep multikulturalisme sebagai
Gerakan sosial-budaya
ini
normatif.Sebagai konsep mengususng konsep di mana sebuah
gagasan
normatif, multikulturalisme sendiri komunitas dalam konteks kebangsaan
bukan konsep yang netral, kelahirannya dapat
mengakui
keberagaman,
sendiri bertolak dari situasi yang berbeda perbedaan, dan kemajemukan budaya,
dengan yang terjadi di Indonesia.Secara baik ras, etnis, suku, dan agama. Sebuah
historis, multkulturalisme dilahirkan dari konsep yang memberikan bangunan
rahim negara-negara yang memiliki pemahaman kepada kita bahwa sebuah
persoalan rasial yang akut. bangsa yang plural atau majemuk adalah
bangsa yang dipenuhi dengan budaya- Hanya saja dalam perkembangan budaya yang beragam (multikultural).
dewasa ini dan arus globalisasi, tepatnya globalisasi kultural, turut menjadi faktor
Bangsa yang multikultural adalah yang signifikan dalam persoalan
bangsa yang kelompok-kelompok etnik
demikian, konsep atau budaya yang ada dapat hidup
budaya.Dengan
multikul-turalisme ini penting juga dilihat berdampingan secara damai dalam
sebagai persoalan yang bakal menimpa prinsip pro-existence bukan sekedar co-
negara bangsa modern saat ini yang existence yang ditandai oleh kesediaan
semakin menyisakan keanekaragaman untuk menghormati budaya lain
(Mahendrawati dan Syafi’i, 2001). masyarakat yang terus berkembang,
misalnya Indonesia.
Jika dilacak, embrio gagasan Khususnya yang ada pada siswa seperti: multkulturalisme secara filosofis telah
keragaman etnis, budaya ,bahasa ,agama, digaungkan oleh Charles Taylor yang
status sosial, gender, kemampuan umur membicarakan
Walaupun pendidikan Recognation
multikultural merupakan pendidikan pengakuan).Menurutnya, di bawah politic
(politik
relatif baru di dalam dunia pendidikan. of recognition tuntutan kelompok warga
Selanjutnya, dari aspek Islam minorotas terhadap hak-hak mereka
sendiri, wacana multikulturalisme dapat adalah untuk dapat menentukkan diri
dicermati dan dipahami melalui adanya sebagai sebuah minoritas kultural.Mereka
teks-teks normatif baik al- Qur’an juga ingin mendapat hak-hak mereka
maupun al-hadith yang menunjukkan dalam
partisipasi
pengmebilan
adanya kehidupan yang pluralitas dan keputusan-keputusan public (Hardiman,
multikulturalitas. Dalam tataran praktis 2002).
kehidupan sosial, adanya budaya Sementara wacana Taylor bergerak
mayoritas (muslim) yang toleran dan dalam wilayah sosio-kultural, Will
terbuka yang tercermin dalam berbagai Kymlicka justru melangkah jauh lebih
sosial-budaya masyarakat konkrit dalam ranah aplikatif politis
kegiatan
muslim, terlebih yang dilakaukan oleh tentang teori-teori hak, di mana hak-hak
muslim yang moderat. minoritas dimasukkan dalam bagian
Di mana Islam selalu menghargai sistem hak-hak di dalam liberalisme.
dan menerima segala perbedaan dengan Menurut Kymlicka, politik multikul-
segala keunikannya dalam semua aspek turalisme adalah politik tentang hak-hak
kehidupan yang pluralitas. Oleh minoritas.
karenanya, Islam sebagai agama etika Dari sini, Kymlicka memberikan
semestinya dapat menjadi faktor syarat adanya suatu budaya moyoritas
fundamen bagi membentuk dan yang toleran dan terbuka yang bisa
masyarakat memberi fundamen bagi kebudayaan
mengembangkan
multicultural seperti Indonesia, melalui masyarakat yang multi-etnik dan liberal
interaksi sosial, baik dalam internal (Hardiman, 2002).Dalam konteks politik
masyarakat muslim maupun masyakat multikulturalisme, etnisitas diartikan
non-muslim.
sebagai warga sipil.
multikulturalisme Berdasarkan permasalahan seperti
Dimensi
sebenarnya tersirat kuat dalam setiap diatas maka pendidikan multikul-
agama.Setiap agama mempunyai nilai- turalisme menawarkan satu altrnatif dan
nilai khas (partikural) dengan segala konsep pendidikan berbasis pemanfaatan
keunikannya dan nilai-nilai umum keragaman yang ada dimasyarakat.
(universal) (Yakin, 2005).Dalam diri (universal) (Yakin, 2005).Dalam diri
hidupnya. Orang yang arif dan luhur Islam, sebagai agama rahmat bagi
budi (akhlaq al-karimah) mampu semesta alam, Islam memiliki perspektif
menentukan pilihan yang paling tepat yang konstruktif terhadap perdamaian
dan selalu menolak cara-cara kekerasan dan kerukunan hidup. Dalam al- Qur’an,
dalam mensikapi berbagai dilemma semua golongan manusia yakni kaum
kehidupan. Kercerdasan dan kearifan muslim, Yahudi, Nasrani, dan di luar
yang bersumber pada daya kritis atas keduanya, mempunyai
nilai diri dan social sehingga mampu memberikan sinaran yang selalu tumbuh
Sementara itu, inti dari cita-cita terhadap kepedulian pada sesama
pendidikan, terutama pendidikan islam
(Mulkhan, 2000).
adalah terbentuknya manusia yang beriman cerdas kreatif dan memiliki
Dalam pandangan Nurcholis keluhuran budi. Tugas utama pendidikan
Majid (1999) dengan mengutip pendapat adalah upaya sadar yang megantarakan
Bernard Lewis, diatara tantangan manusia pada cita-cita tersebut dan
modernitas dan globalisasi yang paling pendidikan islam juga memiliki fungsi
nyata adalah persoalan toleransi dan mengarahkan
plural. Sebenarnya hal ini tidak menjadi keberagaman manusia ke arah kehidupan
kehidupan
dan
persoalan pada generasi awal baik bagi yang ideal (Mulkhan, 1993).
umat Islam, Kristen maupun yahudi. Lewis menunjukkan bahwa generasi
Jika upaya pendidikan mengalami Islam yang awal cendrung lebih toleransi
kegagalan dalam mengantar manusia jika dibandingkan dengan generasi Islam
kearah cita-cita manusiawi yang berdasar
yang belakangan.
pada nilai-nilai ke-Tuhanan, maka yang akan terajadi adalah tumbuhnya prilaku-
Oleh karena itu, tulisan ini prilaku negatif dan destruktif seperti
bermaksud mendiskusikan tentang kekerasan, ketidakpedulian social dan
implikasi pendidikan seabagainya.
bagaimaina
multikultural ini, terhadap pendidikan Islam.
Berdasarkan
prilaku-prilaku
destruktif tersebut yang sering muncul di
Multikulturalisme dan Pendidikan
negara Indonesia merupakan akibat dari
Multikultural
belum munculnya pendidikan cerdas, Secara sederhana multikultural
kreatif dan berbuat luhur. Orang yang
“keberagaman budaya” cerdas akan selalu menggunakan nalar
berarti
(Featherstone, 2002). Sebenarnya, ada manusiawinya secara benar dan obkektif
tiga istilah yang kerap digunakan secara dalam melihat realitas social, orang yang
untuk menggambarkan kreatif mempunyai pilihan-pilahan dalam
bergantian
masyarakat yang terdiri keberagaman masyarakat yang terdiri keberagaman
sebuah gerakan menuntut pengakuan pluralitas (plurality), keragaman (diversity),
(politics of recognition) terhadap semua dan multicultural (multicultural).
perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai,
Ketiga ekspresi itu sesungguhnya dilindungi serta dijamin eksisitensinya.
tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada
dalam masyarakat adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep
Diversitas
modern bisa berupa banyak hal, pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal
termasuk perbedaan yang secara alamiah yang lebih dari satu’ (many); keragaman
individu maupun menunjukkan bahwa keberadaan yang
diterima
oleh
kelompok dan yang dikonstruksikan ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda,
secara bersama dan menjadi semacam heterogen, dan bahkan tak dapat
common sense. Perbedaan tersebut disamakan. Dibandingkan dua konsep
Bikhu Parekh bisa terdahulu, multikulturalisme sebenarnya
menurut
dikategorikan dalam tiga hal - salah satu relatif baru.
atau lebih dari tiga hal-, yaitu pertama perbedaan subkultur (subculture diversity),
Secara konseptual
terdapat
individu atau sekelompok perbedaan signifikan antara pluralitas,
yaitu
masyarakat yang hidup dengan cara keragaman, dan multikultural. Inti dari
pandang dan kebiasaan yang berbeda multikulturalisme adalah kesediaan
dengan komunitas besar dengan sistem menerima kelompok lain secara sama
nilai atau budaya pada umumnya yang sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan
berlaku.
perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu atau
Apabila pluralitas
sekadar
kelompok dengan perpektif kritis merepresentasikan adanya kemajemukan
terhadap mainstream nilai atau budaya (yang lebih dari satu), multikulturalisme
mapan yang dianut oleh mayoritas memberikan penegasan bahwa dengan
masyarakat di sekitarnya. Ketiga, segala perbedaannya itu mereka adalah
komunalitas (communal sama
perbedaan
di dalam ruang publik. diversity), yakni individu atau kelompok
Multikulturral. menjadi semacam respons yang hidup dengan gaya hidup yang
kebijakan baru terhadap keragaman. genuine sesuai dengan identitas komunal
Dengan kata lain, adanya komunitas- mereka (indigeneous people way of life).
komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah
Sebagai sebuah gerakan, menurut bahwa
Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an diperlakukan sama oleh negara. Oleh
komunitas-komunitas
itu
multikulturalisme muncul pertama kali di
Kanada dan Australia, kemudian di perlu mempelajari sebab-sebab dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan
hegemoni barat dalam bidang-bidang lainnya.
tersebut dan mengambil langkahlangkah multikulturalisme berkembang dengan
seperlunya mengatasinya, sehingga dapat sangat cepat. Setelah tiga dekade sejak
sejajar dengan dunia barat. digulirkan, multikulturalisme sudah
Kedua, esensialisasi budaya. Dalam mengalami dua gelombang penting yaitu,
hal ini multikulturalisme berupaya Pertama multikulturalisme dalam
mencari esensi budaya tanpa harus jatuh konteks perjuangan pengakuan budaya
ke dalam pandangan yang xenophobia dan yang berbeda. Prinsip kebutuhan
etnosentrisme.Multikulturalisme dapat terhadap pengakuan (needs of recognition)
melahirkan tribalisme yang sempit yang adalah ciri utama dari gelombang
pada akhirnya merugikan komunitas itu pertama ini.
sendiri di dalam era globalisasi. Gelombang
Ketiga, proses globalisasi, bahwa multikulturalisme yang melegitimasi
kedua,
adalah
globalisasi bisa memberangus identitas keragaman budaya, yang mengalami
dan kepribadian suatu budaya. beberapa tahapan, diantaranya (Tilaar,
karena itu, untuk 2002): kebutuhan atas pengakuan,
Oleh
menghindari kekeliruan dalam diskursus melibatkan berbagai disiplin akademik
tentang multikulturalisme, Bikhu Parekh lain, pembebasan melawan imperialisme
(1996) menggarisbawahi tiga asumsi dan kolonialisme, gerakan pembebasan
mendasar yang harus diperhatikan dalam kelompok identitas dan masyarakat
kajian ini, yaitu;
asli/masyarakat adapt (indigeneous people), Pertama, pada dasarnya manusia
post-kolonialisme, globalisasi, post- nasionalisme, post-modenisme dan post-
akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan
strukturalisme yang mendekonstruksi berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti
stuktur kemapanan dalam masyarakat (Jay, 2005).
bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan
Multikulturalisme
gelombang
tetapi mereka dibentuk oleh budayanya kedua ini, menurut Steve Fuller (2002)
dan akan selalu melihat segala sesuatu pada gilirannya memunculkan tiga
berdasarkan budayanya tersebut. tantangan yang harus diperhatikan
perbedaan budaya sekaligus harus diwaspadai, yaitu,
Kedua,
merupakan representasi dari sistem nilai Pertama adanya hegemoni barat
dan cara pandang tentang kebaikan yang dalam bidang politik, ekonomi, sosial
berbeda pula. Oleh karena itu, suatu dan ilmu pengetahuan. Komunitas,
budaya merupakan satu entitas yang utamanya negara-negara berkembang, budaya merupakan satu entitas yang utamanya negara-negara berkembang,
Golongan-golongan budaya lain untuk memahaminya.
yang
Kristen.
lainnya yang ada dalam masyarakat- Sehingga, tidak satu budaya-pun yang
masyarakat tersebut dikelompokkan berhak memaksakan budayanya kepada
sebagai minoritas dengan pembatasan sistem budaya lain.
hak-hak mereka (Suparlan, 2002) Ketiga, pada dasarnya, budaya
Gerakan hak-hak sipil ini, menurut secara internal merupakan entitas yang
James A. Bank (1989), berimplikasi pada plural yang merefleksikan interaksi antar
dunia pendidikan, dengan munculnya perbedaan tradisi dan untaian cara
beberapa tuntutan untuk melakukan pandang. Hal ini tidak berarti
reformasi kurikulum pendidikan yang menegasikan koherensi dan identitas
sarat dengan diskriminasi. Pada awal budaya, akan tetapi budaya pada
tahun 1970-an muncullah sejumlah dasarnya adalah sesuatu yang majemuk,
kursus dan program pendidikan yang terus berproses dan terbuka.
menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan
dengan etnik dan Oleh karena itu, tepat kiranya jika
keragaman budaya (cultural diversity). Parekh (1996) menulis: “ a culture’s relation to itself shapes and is turn shaped by its relation
Alasan lain yang melatarbelakangi to others, and their internal and external
adanya pendidikan multikultural adalah pluralities presuppose and reinforce each other.
keberadaan masyarakat dengan individu-
A culture cannot appreciate the value of other individu yang beragam latar belakang unless it appreciates the plurality within it”.
bahasa dan kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama (religion), gender,
Sebagai sebuah ide, pendidikan dan kelas sosial (social class). Keragaman
multikultural dibahas dan diwacanakan latar belakang individu dalam masyarakat
pertama kali di Amerika dan negara- tersebut berimplikasi pada keragaman
negara Eropa Barat pada tahun 1960-an latar belakang peserta didik dalam suatu
oleh gerakan
yang
menuntut
lembaga pendidikan (James A. Bank, diperhatikannya hak-hak sipil (civil right
movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik
Dalam konteks Indonesia, peserta driskriminasi di tempat-tempat publik, di
didik di berbagai lembaga pendidikan rumah, di tempat-tempat kerja, dan di
diasumsikan juga terdiri dari peserta lembaga-lembaga pendidikan, yang
didik yang memiliki beragam latar dilakukan oleh kelompok mayoritas
belakang agama, etnik, bahasa, dan terhadap kelompok minoritas. Selama
ini dibangun itu, di Amerika dan negara-negara Eropa
budaya.
Asumsi
berdasarkan pada data bahwa di Barat hanya dikenal adanya satu
Indonesia terdapat 250 kelompok suku, kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih
250 lebih bahasa lokal (lingua francka),
13.000 pulau, dan
suatu masyarakat adalah individu yang resmi(suryadinata, dkk., 2003). Paling
5 agama
beretnik Jawa, maka individu lain yang tidak keragaman latar belakang siswa di
beretnik non-Jawa harus mencair ke lembaga-lembaga
dalam etnik Jawa, dan demikian Indonesia terdapat pada paham
pendidikan
di
seterusnya. Teori ini hanya memberikan keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial
peluang kepada kelompok mayoritas ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan
menunjukkan identitasnya. asal
untuk
Sebaliknya, kelompok minoritas sama pedesaan).
sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan identitasnya. Identitas
Hal lain yang melatarbelakangi di sini bisa berupa agama, etnik, bahasa,
adanya pendidikan multikultural adalah dan budaya. Teori ini tampak sangat
adanya 3 (tiga) teori sosial yang dapat
tidak demokratis.
menjelaskan hubungan antar individu dalam masyarakat dengan beragam latar
Karena teori pertama tidak belakang agama, etnik, bahasa, dan
demokratis, maka muncullah teori kedua, budaya. Menurut Ricardo L. Garcia
yaitu Melting Pot II : Ethnic Synthesis. (1982) ketiga teori sosial tersebut adalah:
Teori yang dipopulerkan oleh Israel (1) Melting Pot I: Anglo Conformity, (2)
Zangwill ini memandang bahwa Melting Pot II: Ethnic Synthesis, dan (3)
dalam suatu Cultural Pluralism: Mosaic Analogy.
individu-individu
yang beragam latar Ketiga teori tersebut populer dengan
masyarakat
belakangnya, disatukan ke dalam satu sebutan teori masyarakat majmuk
wadah, dan selanjutnya membentuk (communal theory).
wadah baru, dengan memasukkan sebagian unsur budaya yang dimiliki oleh
Teori pertama, Melting Pot I :Anglo
individu dalam Conformity,
masyarakat tersebut. Identitas agama, masyarakat yang terdiri dari individu-
etnik, bahasa, dan budaya asli para individu yang beragam latar belakang — anggotanya melebur menjadi identitas
seperti agama, etnik, bahasa, dan yang baru, sehingga identitas lamanya
budaya —harus disatukan ke dalam satu menjadi hilang. Bila dalam suatu
wadah yang paling dominan. Teori ini masyarakat terdapat individu-individu
melihat individu dalam masyarakat secara yang beretnik Jawa, Sunda, dan Batak,
hirarkis, yaitu kelompok mayoritas dan misalnya, maka identitas asli dari ketiga
minoritas. Bila mayoritas individu dalam etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya
suatu masyarakat adalah pemeluk agama membentuk identitas baru. Islam Jawa di
Islam, maka individu lain yang memeluk kraton dan masyarakat sekitarnya yang
agama non-Islam harus melebur ke merupakan perpaduan antara nilai-nilai
dalam Islam. Bila yang mendominasi Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah dalam Islam. Bila yang mendominasi Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah
teori ketigalah yang dijadikan dasar oleh mengambil sebagian unsur budaya asli
pendidikan multikultural, yaitu teori individu dalam masyarakat, dan
Cultural Pluralism :Mosaic Analogy. Untuk membuang sebagian unsur budaya yang
konteks Indoneisa, teori ini sejalan lain.
dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif,
Mengingat teori kedua belum semboyan tersebut memberi peluang
sepenuhnya demokratis, maka muncullah kepada semua bangsa Indonesia untuk
teori ketiga, yaitu Cultural Pluralism : mengekspresikan identitas bahasa, etnik,
Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan budaya, dan agama masing-masing, dan
oleh Berkson ini berpandangan bahwa
diizinkan untuk masyarakat yang terdiri dari individu-
bahkan
mengembangkannya. individu yang beragam latar belakang
agama, etnik, bahasa, dan budaya, Lebih jauh, menurut Jose A. memiliki hak untuk mengekspresikan
Cardinas (1975), pentingnya pendidikan identitas budayanya secara demokratis.
multikultural ini didasarkan pada lima Teori ini sama sekali tidak meminggirkan
(1) incompatibility identitas budaya tertentu, termasuk
pertimbangan:
hidup secara identitas budaya kelompok minoritas
(ketidakmampuan
harmoni), (2) other languages acquisition sekalipun. Bila dalam suatu masyarakat
(tuntutan bahasa lain), (3) cultural terdapat individu pemeluk agama Islam,
pluralism (keragaman kebudayaan), (4) Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan
positive self-image Konghucu, maka semua pemeluk agama
development
of
(pengembangan citra diri yang positif), diberi peluang untuk mengekspresikan
dan (5) equility of educational opportunity identitas keagamaannya masing-masing.
(kesetaraan memperoleh kesempatan Bila individu dalam suatu masyarakat
pendidikan).
berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Di pihak lain, Donna M. Gollnick
Betawi, dan Ambon, misalnya, maka (1983) menyebutkan bahwa pentingnya
masing-masing individu
berhak
pendidikan multikultural dilatarbelakangi menunjukkan
identitas
budayanya,
oleh beberapa asumsi: (1) bahwa setiap bahkan
diizinkan
untuk
budaya dapat berinteraksi dengan budaya mengembangkannya. Masyarakat yang
lain yang berbeda, dan bahkan dapat menganut teori ini, terdiri dari individu
saling memberikan kontribusi; (2) yang sangat pluralistik, sehingga masing-
keragaman budaya dan interaksinya masing identitas individu dan kelompok
merupakan inti dari masyarakat Amerika dapat hidup dan membentuk mosaik
dewasa ini; (3) keadilan sosial dan yang indah.
kesempatan yang setara bagi semua kesempatan yang setara bagi semua
pendidikan multikultur yaitu agar sekolah dibagi secara sama kepada semua
menjadi element pengentas sosial kelompok etnik; (5) sistem pendidikan
(transformasi sosial) dari struktur memberikan fungsi kritis terhadap
masyarakat yang timpang kepada kebutuhan kerangka sikap dan nilai demi
struktur yang berkeadilan. kelangsungan masyarakat demokratis;
Sementara itu, H.A.R. Tilaar (2002) serta (6) para guru dan para praktisi
menggariswahi bahwa model pendidikan pendidikan
dapat
mengasumsikan
yang dibutuhkan di Indonesia harus sebuah peran kepemimpinan dalam
memperhatikan enam hal, yaitu, mewujudkan
lingkungan
yang
mendukung pendidikan multikultural. Pertama, pendidikan multikultural haruslah berdismensi “ right to culture” dan
Dalam pelaksanaannya, Banks
identitas lokal.
(2001) menjelaskan lima dimensi yang Kedua, kebudayaan Indonesia yang
harus ada yaitu, menjadi, artinya kebudayaan Indonesia Pertama,
adanya
integrasi
merupakan Weltanshauung yang terus pendidikan dalam kurikulum (content
berproses dan merupakan bagian integral integration) yang didalamnya melibatkan
dari proses kebudayaan mikro. Oleh keragaman dalam satu kultur pendidikan
karena itu, perlu sekali untuk yang tujuan
utamanya adalah
mengoptimalisasikan budaya local yang menghapus prasangka.
beriringan dengan apresiasi terhadap Kedua,
konstruksi
ilmu
budaya nasional.
pengetahuan (knowledge construction) yang Ketiga, pendidikan multikultural
diwujudkan dengan mengetahui dan normatif yaitu model pendidikan yang
memahami secara
komperhensif
memperkuat identitas nasional yang keragaman yang ada.
tanpa harus Ketiga, pengurangan prasangka
terus
menjadi
menghilangkan identitas budaya lokal (prejudice reduction) yang lahir dari interaksi
yang ada.
antar keragaman
dalam
kultur
Keempat, pendidikan multikultural pendidikan.
merupakan suatu rekonstruksi sosial, Keempat, pedagogik kesetaraan
artinya pendidikan multikultural tidak manusia (equity pedagogy) yang memberi
boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme ruang dan kesempatan yang sama kepada
dan fundamentalisme, baik etnik, suku, setiap element yang beragam.
ataupun agama.
Kelima, pemberdayaan kebudayaan Kelima, pendidikan multikultural sekolah (empowering school culture). Hal
merupakan pedagogic pemberdayaan
(pedagogy of empowerment) dan pedagogik bahasa dan budaya orang lain, dan kesetaraan dalam kebudayaan yang
kemampuan untuk menganalisis dan beragam (pedagogy of equity).Pedagogik
menerjemahkan perilaku kultural, dan pembedayaan pertama-tama berarti,
tentang kesadaran seseorang diajak mengenal budayanya
pengetahuan
perspektif kultural.
sendiri dan selanjutnya digunakan untuk Sedangkan tujuan pendidikan
mengembangkan budaya Indonesia di multikultural yang berkaitan dengan
dalam bingkai
negara-bangsa
pembelajaran (instructional goals) adalah Indonesia.Dalam
upaya
tersebut
untuk memperbaiki distorsi, stereotip, diperlukan suatu pedagogik kesetaraan
dan kesalahpahaman tentang kelompok antar-individu, antar suku, antar agama
etnik dalam buku teks dan media dan beragam perbedaan yang ada.
pembelajaran; memberikan berbagai Keenam, pendidikan multikultural
strategi untuk mengarahkan perbedaan bertujuan mewujudkan visi Indonesia
di depan orang, memberikan alat-alat masa depan serta etika bangsa.
konseptual untuk komunikasi antar Pendidikan ini perlu dilakukan untuk
budaya; mengembangkan keterampilan mengembangkan prinsip-prinsip etis
interpersonal; memberikan teknik-teknik (moral) masyarakat Indonesia yang
evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan dipahami oleh keseluruhan komponen
menjelaskan dinamika kultural. sosial-budaya yang plural.
Memperhatikan definisi dan tujuan Sementara itu, tujuan pendidikan
pendidikan multikultural di atas, maka multikultural dapat dibedakan menjadi 3
kurikulum pendidikan multikultural (tiga) macam tujuan, yaitu: tujuan yang
seharusnya berisi tentang materi-materi berkaitan dengan sikap, pengetahuan,
yang dapat menghadirkan lebih dari satu dan pembelajaran. Tujuan pendidikan
perspektif tentang suatu fenomena multikultural yang berkaitan dengan
Untuk menghadirkan aspek sikap (attitudinal goals) adalah untuk
kultural.
keragaman perspektif dalam kurikulum mengembangkan
ini, menurut James A. Bank sebagaimana kepekaan kultural, toleransi kultural,
kesadaran
dan
dikutip Zoran Minderovic (2003) dapat penghargaan terhadap identitas kultural,
dilakukan dengan 4 (empat) tahapan, sikap responsif terhadap budaya,
yaitu: (a) tahap kontribusi (contribution keterampilan untuk menghindari dan
level), (b) tahap penambahan (additive meresolusi konflik.
level), (c) tahap perubahan (transformative level), dan (d) tahap aksi sosial (social action
Tujuan pendidikan multikultural
level).
yang berkaitan
dengan
aspek
pengetahuan (cognitive goals) adalah untuk Bila pada tahap kontribusi, memperoleh
memfokuskan pada memfokuskan pada
obyek ketundukan (Arab ; ilah). Apabila memperkenalkan konsep dan tema-tema
itu diteruskan dengan al-itsbât atau baru, misalnya tema-tema yang terkait
peneguhan dalam fase afirmatif, “kecuali dengan multikulturalisme, dengan tanpa
Alla h” (Allâh). Maka yang dimaksudkan mengubah struktur kurikulum yang
adalah kemestian untuk tunduk pada esensial. Selanjutnya, bila pada tahap
Allah, Tuhan yang sebenarnya itu, dan perubahan, kurikulum memfasilitasi para
tidak kepada apa dan siapapun yang lain. siswa untuk melihat berbagai isu dan
Disinilah sebenarnya, problem utama peristiwa dari perspektif budaya
manusia menyangkut soal ketuhanan, minoritas, maka pada tahap aksi sosial,
bukan ateisme, sebagaimana yang diduga kurikulum mengajak para siswa untuk
oleh para filosof, tetapi politheisme memecahkan problem sosial yang
(Syirik).
disebabkan oleh persepsi budaya dalam Karena Allah adalah Wujud yang
satu dimensi tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu
Multikulturalisme dalam Kurikulum
apapun (laysa kamitslihi syay-un), serta Pendidikan Islam tiada suatu apapun yang sepadan dengan
Tema sentral dan fundamental Dia (wa lam yakun lahû kufuwan ahad), dari agama, terkait dengan isu
maka tunduk pada Tuhan berarti tunduk pendidikan multikultural ini adalah
dalam maknanya yang dinamis, berupa rumusan tentang aqîdah (belief) atau
usaha yang tulus dan murni untuk kepercayaan.Dalam Islam istilah ini
mencari dan terus menerus mencari disebut sebagai Tauhid ( the Qur’anic
kebenaran. Usaha mencari kebenaran monotheism), dan tauhid ini diyakini
inilah sifat kehanifan (hanîfiyyah) manusia sebagai suatu prinsip lengkap yang
atas dorongan Fitrah atau kejadian mempu menembus semua dimensi dan
asalnya sendiri yang suci. Maka tunduk seluruh khazanah fundamental keimanan
secara benar, justru akan membawa pada dan aksi manusia. Sementara bagi kaum
kebebasan dan pembebasan diri dari sufi, istilah ini sebenarnya adalah takhalli,
setiap nilai dan pranata yang yaitu sikap pengosongan diri dan
membelenggu sukma. pembebasan dari setiap belenggu yang
Tuhan tidak mungkin diketahui menghalangi jalan menuju Allah. oleh manusia, sebab Dia tidak akan Pembebasan ini biasanya dimualai terjangkau oleh pikiran dang khayalan dengan al-nafy atau peniadaan dalam manusia, maka sesungguhnya keyakinan fase negatif yaitu tiada Tuhan. atau klaim “mengetahui Tuhan” (yang
diindikasikan oleh sikap “berhenti dilambangkan dengan konsep tentang
adalah suatu jenis adalah suatu jenis
Dalam beragama, merupakan contradiction in terms (berupa
Allah.
manusiamenyatakan sifat kemustahilan suatu wujud nisbi, seperti
kemakhlukannya yang sangat tergantung manusia dapat menjangkau atau
pada al-Khâliq, yaitu yang terwujud dalam mengetahui Wujud Mutlak, yaitu Tuhan),
sikap aslâma, yaitu penyerahan dan tetapi juga akan berarti bahwa Tuhan
pemasrahan diri kepada Allah yang telah disejajarkan dengan apa yang
merupakan aspek asasi, bukan saja bagi tercapai oleh pikiran kita sendiri. Padahal
hidup keberagamaan, melainkan juga pikiran itu, tidak akan lupt dari dari
bagi keberaaannya.
dorongon “ego” pikirannya sendiri. Meskipun dalam wujud kejadian
Dengan kata lain, keyakinan bahwa manusia terkandung aneka kemampuan
dirinya sendiri telah “mengetahui batin, namun manusia dilahirkan dalam
Tuhan” akan berakhir pada penuhanan keadaan lemah.Aneka kemampuan batin
keiginan diri sendiri atau sikap dan
tersebut harus pandangan yang mengangkat keinginan
manusia
ditumbuhkembangkan dengan usaha diri sendiri itu sebagai Tuhan. Inilah yang
mengenal, mencintai dan mengabdi pada mungkin oleh al- Qur’an digambarkan Allah, sehingga mampu menumbuhkan bahwa ada diantara manusia yang
akhlaq Ilahi dalam dirinya. menjadikan hawâ atau keinginan dirinya Kedua, aspek kebersamaan. Salah
sebagai Tuhan. satu prinsip dasar yang diajarkan oleh al- Oleh karena itu, al- Qur’an
Qur’an adalah gagasan tentang kesatuan memperingatkan kepada manuisa bahwa
umat manusia, “manuisa adalah satu umat “ “Mereka selalu diliputi oleh kehinaan,
saja ” (QS. al-Baqârah :213).Tetapi dibalik dimana saja mereka di temukan, kecuali (jika)
gagasan kesatuan umat tersebut, al- mereka berpegang teguh pada tali Allah dan
Qur’an tidak mengecilkan arti bahkan tali manusia ”(QS. Ali Imrân : 111). Ayat
keniscayaan eksisitensial ini memperlihatkan akan adanya dua
mengakui
kemajemukan dan keanekaragaman system hubungan yang harus dilakukan
manusia. Marilah kita perhatikan oleh manusia, dalam rangka berproses
bebarapa ayat berikut ini : penyempurnaan diri pribadinya, yaitu
hubungan manuisa dengan Tuhan (aspek “Manusia hanya satu umat saja,
kemudian mereka bertikai. Jika tiada keberagamaan) dan hubungan manusia
ketentuan terdahulu keluar dari dengan sesamanya (aspek kebersamaan).
Tuhanmu, tentu apa yang mereka perselisihkan, telah diselesaikan
Pertama, Aspek keberagamaan. antara merek”.(QS. Yunus : 19) Hidup beragama
“Sunggguh agama kamu ini, satu perwujudan nyata dari sikap habl min
adalah
sebuah
agama saja,.Dan aku adalah Allâh, yaitu hubungan manusia dengan
Tuhanmu.Maka bertakwalah kepadaku. Tetapi mereka berpecah Tuhanmu.Maka bertakwalah kepadaku. Tetapi mereka berpecah
kolektif” dengan golongan bergirang hati pada apa yang ada padanya”. (QS. Al- Tuhannya.Akibatnya, seseorang kurang
“keselamata
Mu’minun : 52 – 53)
kebersamaan dan “Hai manusia!Kami ciptakan kamu
memilik
rasa
sensitifitas terhadap sesamanya. Kondisi dari laki-laki dan perempuan, Kami
ini dapat kita rasakan dalam proses jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
pendidikan agama di sekolah-sekolah, bersusku-suku, supaya kamu saling
mengenal.Sungguh, yang paling yang bersifat doctrinal, monolog, dan mulia diantara kamu, bagi Allah,
dipenuhi dengan muatan formalitas yang adalah yang paling taqwa diantara
cenderung menolak realitas plural dalam kamu.Sungguh,
Allah
maha
mengetahui, maka
sempurna
ber-Tuhan.
pengetahuan- Nya”.(QS. Al-Hujurat : Jika dilihat dari sisi Tuhan,agama
13). memang tunggal dan tidak ada pluralitas
Ayat-ayat diatas mengemukakan disana, karena Tuhan adalah Tunggal
adanya lingkungan-lingkungan maknawi dan Mutlak. Tetapi jika dilihat dari aspek
tertentu, baik yang bersifat kesukuan, turunnya sebuah agama kewilayah
kekeluargaan dan kebangsaan maupun manusia, maka agama menyejarah dalam
yang bersifat aliran-aliran pemikiran, kehidupan manusia. Hal ini adanya
keyakinan dan
agama
(ber-
relatifitas waktu dan Tuhan).Masing-masing
perbedaan
lingkungan
responnya pun tersebut, mempunyai daya pengaruh
temapt.Sehingga
disesuaikan dengan tuntutan zaman dan yang cukup signifikan bagi kelahiran
kondisi historisnya. Maka ketika Allah ikatan-ikatan batin, dan tidak jarang pula
mengutus Nabi dan Rasul-Nya, untuk melahirkan ikatan fisik. Sehingga
menyampaikan pesan-pesan-Nya (al- menimbulkan proses pemiripan dan
Wasiyah) kepada seluruh umat manusia, penyerupaan
maka akan terjadi perbedaan syir’ah lingkungannya dalam satu ikatan
(jalanmenuju kebenaran) dan minhaj kelompok tertentu. Dan tidak jarang,
(cara atau metode perjalanan menuju daya pengaruh lingkungan tersebut yang
kebenaran), karena adanya tuntutan sedemikina besar, menimbulkan ekses
ruang dan waktu tersebut (Madjid, 1995). besar yang negatif dan menghambat pola
Di sinilah interpretasi manusia ikut perkembangan
nilai-nilai
identitas
berperan dalam menentukan kebenaran, pribadi.
yang tentunya disesuaikan dengan taraf Hal ini tidak lepas dari dari
pemahaman dan pengetahuan mereka. konsepsi tentang sesuatu, yang berbeda
Menurut Hamka (1985), nama satu kelompok dengan kelompok
Tuhan itu dikenali dalam segala bentuk lainnya.Misalnya, kecenderungan sebuah
bahasa. Berbagai nama muncul, menurut agama, yang menekankan “keselamatan bahasa. Berbagai nama muncul, menurut agama, yang menekankan “keselamatan
Tuhan saya tidaklah musti sama dengan dinamai adalah yang satu itu juga.Bahkan
konse psi Tuhan orang lain”. terkadang Tuhan dimonopoli oleh suatu
Gagasan tentang kurikulum suku, atau suatu bangsa. Padahal segenap
pendidikan Islam berbasis multikultural risalah (pesan-pesan Tuhan) itu menuju
adalah dengan menonjolkan beberapa kepada satu sasaran, yaitu mengarahkan
karakter sebagai berikut; tujuan
kesempurnaan. Pokok-pokok risalah dan Pertama kurikulum pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai
aqidah pertama dari masing-masing lembaga pendidikan umum yang
adalah sama, tiada berbeda antara satu dengan yang lainnya (Syaltut, 1994).
bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan pendidikannya dengan
Hal inilah yang menjadikan penguasaan atas ilmu pengetahuan,
namun karakter keagamaan juga menjadi keniscayaan dalam ber-Tuhan, karena ia
bagian integral dan harus dikuasai serta adalah sunnatullah (aturan Allah), yang
menjadi bagian dari kehidupan siswa tidak akan berubah. Keniscayaan ini,
sehari-hari.Tentunya, ini masih menjadi harus dipahami sebagai landasan
pertanyaan, apakah sistem pendidikan pengertian mendasar, bahwa semua
betul-betul mampu agama diberi kebebasan untuk hidup ,
seperti
ini
sakralitas ilmu-ilmu dengan resiko yang ditanggung oleh para
membongkar
keagamaan dan dikhotomi keilmuan pengikutnya masing-masing.
antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu Oleh sebab itu, pemaksaan
keagamaan.
terhadap seseorang atau kelompok, Kedua ;Pendidikan Islam juga
meskipun atas nama Kebenaran harus mempunyai karakter sebagai
sekalipun, bukanlah suatu hal yang bijak. pendidikan yang berbasis pada pluralitas.
Karena pada diri manusia telah dibekali Artinya, bahwa pendidikan yang
naluri untuk tunduk kepada Tuhan
kepada siswa tidak (fithrah) dan akal, yang mampu
diberikan
menciptakan suatu pemahaman yang mempertimbangkan
segala sesuatu
tunggal, termasuk di dalamnya juga kearah yang baik (taqwa) atau kearah
tentang realitas yang buruk (fujûr).
pemahaman
keberagamaan.Kesadaran pluralisme Dengan demikian, absolutisme
merupakan suatu keniscayaan yang harus yang hanya untuk kelompok tertentu,
disadari oleh setiap peserta didik. haruslah diganti dnegan sikap-sikap yang
Tentunya, kesadaran tersebut tidak lahir apresiasif, menghargai dan menghormati
begitu saja, namun mengalami proses pemahaman yang mereka temukan
yang sangat panjang, sebagai realitas yang sangat panjang, sebagai realitas
pertentangan dan konflik dalam kehidupan. Inilah sistem pendidikan
Ketiga; Pendidikan Islam harus yang gagal dalam menciptakan citra
mempunyai karakter sebagai lembaga
kemanusiaan.
pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan.Sistem
Untuk merealisasikan cita-cita pendidikan yang memberikan keluasaan
pendidikan yang pada siswa untuk mengekspresikan
kurikulum
mencerdaskan seperti tersebut, lembaga pendapatnya secara bertanggung jawab.
pendidikan Islam perlu menerapkan Sekolah memfasilitasi adanya “mimbar
sistem pengajaran yang berorientasi pada bebas”, dengan meberikan kesempatan
penanaman kesadaran pluralisme dalam kepada semua civitas untuk berbicara
kehidupan. Adapun beberapa program atau mengkritik tentang apa saja, asal
pendidikan yang sangat strategis dalam bertanggung jawab. Tentunya, sistem
menumbuhkan kesadaran pluralisme demokrasi ini akan memberikan
adalah: pendidikan sekolah harus pendidikan pada siswa tentang realitas
membekali para mahasiswa atau peserta sosial yang mempunyai pandangan dan
didik dengan kerangka (frame work) yang pendapat yang berbeda. Di sisi yang lain,
menyusun dan akan membudayakan “reasoning” bagi
memungkinkannya
memahami pengetahuan yang diperoleh civitas di lembaga pendidikan Islam.
dari lingkunganya (UNESCO, 1981). Perlunya membentuk pendidikan
masyarakat kita Islam berbasis multikulturalime tersebut,
Karena
majemuk, maka kurikulum PAI yang sekali lagi merupakan suatu inisiasi yang
ideal adalah kurikulum yang dapat lahir dari realitas sejarah pendidikan
menunjang proses siswa menjadi khususnya di Indonesia yang dianggap
manusia yang demokratis, pluralis dan gagal
menekankan penghayatan hidup serta kemanusiaan.
dalam membangun
citra
refleksi untuk menjadi manusia yang pendidikan umum hanya mencetak
Dimana
umumnya,
utuh, yaitu generasi muda yang tidak orang-orang yang pinter namun tidak
hanya pandai tetapi juga bermoral dan mempunyai integritas keilmuan dan
etis, dapat hidup dalam suasana akhlaq ilmuan. Ini yang kemudian
demokratis satu dengan lain, dan melahirkan para koruptor yang justru
menghormati hak orang lain. menjadi penyakit dan menyengsarakan
itu, perlu kiranya bangsa ini. Di satu sisi, pendidikan
Selain
kurikulum sebagai agama yang ada hanya menciptakan ahli
memperhatikan
proses. Ada empat hal yang perlu agama yang cara berpikirnya parsial dan
guru dalam sempit. Akhirnya, semakin banyak orang
diperhatikan
mengembangkan kurikulum multikul- mengembangkan kurikulum multikul-
dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan (2) cara belajar siswa yang ditentukan
unit pendidikan. Untuk tingkat dasar, oleh latar belakang budayanya, (3)
filosofi konservatif seperti esensialisme lingkungan budaya mayoritas masyarakat
dan perenialisme haruslah dapat diubah dan pribadi siswa adalah entry behaviour
ke filosofi yang lebih menekankan kultur siswa, (4) lingkungan budaya siswa
sebagai upaya adalah sumber belajar. Dalam konteks
pendidikan
kemampuan deskriptif ini, kurikulum pendidikan
mengembangkan
kemanusiaan peserta didik baik sebagai mestilah mencakup subjek seperti:
individu maupun sebagai anggota toleransi, tema-tema tentang perbedaan
masyarakat bangsa, dan dunia.Filosofi ethno-kultural dan agama: bahaya
kurikulum yang progresif seperti diskriminasi: penyelesaian konflik dan
progresifme, dan mediasi: HAM; demokrasi dan pluralitas;
humanisme,
rekontruksi sosial dapat dijadikan kemanusiaan universal dan subjek-subjek
landasan pengembangan kurikulum. lain yang relevan.
Kedua, teori kurikulum tentang Bentuk
konten (curriculum content) haruslah pendidikan agama Islam hendaknya tidak
kurikulum
dalam
berubah dari teori yang mengartikan lagi ditujukan pada siswa secara individu
konten sebagai aspek substantif yang menurut agama yang dianutnya,
berisikan fakta, teori, generalisasi kepada melainkan
pengertian yang mencakup pula nilai, berdasarkan kepentingan bersama. Bila
moral, prosedur, dan ketrampilan yang selama ini setiap siswa memperoleh
harus dimiliki generasi muda. pelajaran agama sesuai dengan agamanya,
Ketiga, teori belajar yang maka diusulkan agar lebih baik bila setiap
digunakan dalam kurikulum masa depan siswa SLTP memperoleh materi agama
yang memperhatikan keragaman sosial, yang sama, yaitu berisi tentang sejarah
budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh pertumbuhan semua agama yang
lagi hanya mendasarkan diri pada teori berkembang di Indonesia.
belajar yang bersifat Langkah-langkah yang perlu
psikologi
individualistik dan menempatkan siswa diperhatikan oleh pembuat kurikulum,
dalam suatu kondisi value free, tetapi harus penulis textbook dan guru untuk
pula didasarkan pada teori belajar yang mengembangkan
menempatkan siswa sebagai makhluk berbasis pluralisme di Indonesia, adalah
kurikulum
PAI
sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai sebagai berikut; Pertama, mengubah
anggota aktif masyarakat, bangsa, dan filosofi kurikulum dari yang berlaku
dunia.
seragam seperti saat ini kepada filosofi
Keempat, proses belajar yang komunikatif.Aspek perbedaan harus dikembangkan untuk siswa haruslah pula
menjadi titik tekan dari setiap berdasarkan proses yang memiliki tingkat
pendidik.Pendidik harus sadar betul isomorphism yang tinggi dengan kenyataan
bahwa masing-masing peserta didik sosial. Artinya, proses belajar yang
merupakan “manusia yang unik” (human mengandalkan
uniqe), karena itu tidak boleh ada individualistis harus ditinggalkan dan
siswa
belajar
penyeragaman-peyeragaman. Dalam diganti dengan cara belajar berkelompok
prespektif ini, pendidikan agama Islam dan bersaing secara kelompok dalam
memberikan materi kajian suatu situasi positif. Dengan cara
yang
perbandingan agama dan nilai-nilai demikian maka perbedaan antar-individu
prinsip Islam seperti; toleransi, keadilan, dapat dikembangkan sebagai suatu
demokrasi —untuk kekuatan kelompok dan siswa terbiasa
kebebasan
dan
memperoleh suatu pemahaman di antara hidup dengan berbagai keragaman
orang-orang yang berbeda iman itu — budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi,
adalah sebuah keniscayaan. dan aspirasi politik.
Kesimpulan
Kelima, evaluasi yang digunakan Berbagai kasus kemanusiaan yang
haruslah meliputi keseluruhan aspek sementara ini tampak di hadapan
kemampuan dan kepribadian peserta kita merupakan salah satu fenomena