HUKUM HAK ASASI MANUSIA PELANGGARAN HAK

HUKUM HAK ASASI MANUSIA
PELANGGARAN HAK PEREMPUAN dalam KASUS
PERDAGANGAN PEREMPUAN

Disusun Oleh:
Yola Maulin Peryogawati

(110110140192)

Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. 1 Berdasarkan definisi tersebut,
terdapat frasa “yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa” yang berarti HAM melekat tidak hanya pada
setiap pria akan tetapi melekat juga pada wanita.
Dewasa ini, isu-isu mengenai diskriminasi terhadap perempuan dibidang
politik dan pemerintahan, pendidikan, dan ketenagakerjaan masih marak terjadi,
tidak hanya di Indonesia akan tetapi terjadi juga di negara-negara lain di dunia.
Meskipun pada tahun 1984 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, diskriminasi terhadap wanita masih sering
terjadi. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sudah sepatutnya perempuan
mendapat perlakuan yang sama dengan pria. Emansipasi wanita yang dipelopori
oleh R.A. Kartini seakan-akan tidak ada maknanya. Selain diskriminasi terhadap
perempuan, perempuan-perempuan di seluruh dunia sering sekali mengalami
kekerasan. Isu ini menjadi perhatian bagi masyarakat internasional sehingga pada
tahun 1994 dibuatlah Declaration on The Elemination of All Forms Violence
Against Women.
Selain isu mengenai diskriminasi dan kekerasan terhadap wanita, terdapat isu
mengenai perdagangan manusia yang dianggap sangatlah memprihatinkan.
Dengan adanya ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially
Women and Children. Telah membuktikan bahwa perdagangan manusia, terutama
1


Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.

1

wanita dan anak-anak, masih marak terjadi di wilayah Asia Tenggara. Dan dengan
adanya Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, telah menunjukkan komitmen negara melalui pemerintahnya
untuk memberantas hal tersebut. Meskipun begitu, perdagangan manusia masih
marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia, terutama terhadap wanita. Sehingga
timbul pertanyaan, Apakah negara melalui pemerintahnya benar-benar serius
dalam menangani hal ini? Bagaimana usaha pemerintah dalam menangani hal
tersebut?
B. Rumusan Masalah
1. Hak-Hak Apa Saja yang dilanggar dalam Kasus Perdagangan Perempuan?;
2. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Kasus Perdagangan Perempuan?

2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Macam-Macam Hak Perempuan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.2 Sehingga HAM melekat
tidak hanya pada setiap pria akan tetapi melekat juga pada wanita. Dan oleh
karena itu hak-hak asasi manusia yang diatur oleh undang-undang HAM dan
UUD 1945 sudah pasti berlaku bagi wanita.
Adapun macam-macam Hak Perempuan adalah sebagai berikut:
1. Hak-hak wanita dalam di bidang politik dan pemerintahan;
Diatur dalam Pasal 46 UUHAM dan Pasal 7 Undang-Undang No. 2 tahun
2008.
2. Hak-Hak Wanita di Bidang Kewarganegaraan;
Diatur dalam Pasal 47 UUHAM
3. Hak-Hak Wanita di Bidang Pendidikan dan Pengajaran;
Diatur dalam Pasal 48 UUHAM dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.

4. Hak Wanita di Bidang Ketenagakerjaan;
Diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang no. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
5. Hak Wanita di Bidang Kesehatan;
Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) UUHAM dan Pasal 4 Undang-Undang No.
23 Tahun 1992 tentang kesehatan.
6. Hak Wanita untuk Melakukan Perbuatan Hukum;
Diatur dalam Pasal 50 UUHAM.
7. Hak Wanita Dalam Ikatan / Putusnya Perkawinan;
2

Idem.

3

Diatur dalam Pasal 51 UUHAM.
Selain daripada itu, dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia juga diatur mengenai hak asasi manusia dan bahkan
terdapat bagian khusus mengenai hak perempuan dalam BAB III bagian 9
(kesembilan), adapun hak-hak manusia dan hak perempuan adalah sebagai

berikut:3
1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang
sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum. (3) Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi. (Pasal 3)
2. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun. (Pasal 4)
3. Hak untuk Hidup (Pasal 9)
4. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan (Pasal 10)
5. Hak Mengembangkan Diri (Pasal 11 – 16 )
6. Hak untuk Memperoleh Keadilan (Pasal 17 – 19 )
7. Hak Atas Kebebasan Pribadi (Pasal 20 – 27)

8. Hak Atas Rasa Nyaman (Pasal 28 – 35 )
9. Hak Atas Kesejahteraan (Pasal 36 – 42)
10. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (Pasal 43 dan 44)
11. Hak Wanita (Pasal 45 – 51)
3

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

4

a. Pasal 45: Hak Wanita dalam Undang-Undang ini adalah Hak Asasi
Manusia.
b. Pasal 46: Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota
badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif,
yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan
yang ditentukan.
c. Pasal 47: Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria
berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status
kewarganegaraan


suaminya

tetapi

mempunyai

hak

untuk

mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status
kewarganegaraannya.
d. Pasal 48: Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan.
e. Pasal 49: (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam
pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan
peraturan

perundang-undangan.


(2)

Wanita

berhak

untuk

mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan
atau

profesinya

terhadap

hal-hal

yang


dapat

mengancam

keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi
reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita
dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh
hukum.
f. Pasal 50: Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak
untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain
oleh hukum agamanya.
g. Pasal 51: (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya
atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya,
hubungan

dengan anak-anaknya dan

hak pemilikan


serta

pengelolaan harta bersama. (2) Setelah putusnya perkawinan,

5

seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan
anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak. (3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai
hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, Prof. DR. Komariah Emong Supardjaja,SH dalam laporan
Akhir Kompendium Tentang Hak-Hak perempuan mengatakan ada 3 materi
pokok dalam Kompilasi HAM Perempuan, yaitu4 :
Pertama, Convention on The Political Rights of Women (UN 1952) yang
telah diratifikasi oleh RI dengan UU No.68 Tahun 1958 tentang : Persetujuan
Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita (Memori Penjelasan dalam

Tambahan Lembaran Negara No. 1653), dan disetujui DPR dalam rapat pleno
terbuka ke-82 tanggal 30 Juni 1958, hari Senin P 336/1958. Di dalam pasal 2
UU No.68/1958 tersebut berbunyi : “Kalimat terakhir Pasal VII dan Pasal X
seluruhnya konsepsi hak-hak politik kaum wanita dianggap sebagai tidak
berlaku bagi Indonesia dan direservasi oleh Indonesia”.5
Kedua, Convention on The Elimination of Discrimination of All Forms of
Discrimination Against Women (UN 1979) ... Disahkannya Konvensi
CEDAW, pada tanggal 24 Juli 1984 dengan UU No.7 Tahun 1984.Dalam UU
No.7 Tahun 1984, Indonesia mereservasi pasal 29 ayat 1 tentang :
Penyelesaian Perselisihan mengenai Penafsiran atau Penerapan Konvensi.
Dalam salah satu pertimbangan pada pembentukan Konvensi CEDAW
bahwa : memperhatikan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia
(DUHAM), HAM menegaskan asas mengenai tidak dapat diterimanya
diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan
4

Komariah Emong Supardjaja [et.all], “Laporan Akhir Kompendium Tentang Hak-Hak
Perempuan”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, 2006.
5
Ibid., hlm. 13.

6

sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak
dan kebebasan, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan
jenis kelamin.
Konvensi CEDAW adalah salah satu perangkat hukum internasional
yang bertujuan untuk melindungi hak asasi kaum perempuan, yang
kenyataannya sifat kemanusiaan mereka belum menjamin akan pelaksanaan
hak-haknya atau karena ia seorang perempuan. Mukadimah Konvensi
CEDAW menyatakan bahwa: walaupun ada perangkat-perangkat lain,
perempuan tetap tidak memiliki hak yang sama seperti laki-laki. Diskriminasi
tetap berlangsung dalam masyarakat. Jadi Konvensi CEDAW merupakan
perangkat internasional yang dirancang untuk memerangi kelangsungan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang tetap berlangsung
sepanjang kehidupan perempuan (bidang hukum).6 ...
Issue Gender dalam pembangungan dimasukkan dalam agenda sebagai
upaya untuk meningkatkan kedudukan dan peran perempuan sebagai mitra
sejajar lakilaki atau untuk pencapaian kesetaraan dan keadilan gender dalam
pembangunan pada tingkat dunia. KTT yang perlu disoroti berkaitan dengan
HAM adalah Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina Tahun
1993, yang dalam paragraf operatifnya menyebutkan bahwa: ”HAM dari
perempuan dan anak perempuan adalah bagian dari HAM yang tidak dapat
dicabut, integral dan tidak dapat dipisahkan”. Keprihatinan PBB akan peran
dan kedudukan perempuan di dunia dalam proses globalisasi berdasarkan
kenyataan-kenyataan yang ada seperti yang dijelaskan di atas, mendorong
PBB berinisiatif untuk mengadakan Sidang Khusus Majelis Umum PBB
tentang: ”Women 2000 : Gender Equality, Development and Peace for the
Twenty First Century” di New York (4-9 Juni 2000). Tujuan dari
penyelenggaraan seminar tersebut adalah untuk menyamakan persepsi di

6

Ibid, hlm. 14.

7

antara negara-negara di dunia tentang pengertian dan pemahaman yang
meliputi:7
a. Saling keterkaitan antara issu-issu yang dibahas maupun rekomendasi
yang dihasilkan oleh berbagai KTT.
b. Dampaknya dalam proses demokrasi, transformasi dan Good
Govermance di tingkat nasional.
c. Terbentuknya mekanisme koordinasi pada tingkat nasional yang
menghasilkan kinerja untuk suatu pelaksanaan akuntabilitas publik.
Rumusan materi yang melandasi semua butir-butir yang terkandung
dalam pasal-pasal Konvensi dapat dilihat dalam pasal 1 yang memberikan
pengertian tentang

diskriminasi.

Dengan diskriminasi terhadap wanita

dimaksudkan setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas
dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan. Untuk
mengurangi, menghapuskan pengkuan, penikmatan atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita terlepas dari status
perkawiman mereka atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Beberapa
pasal dari Konvensi CEDAW yang merupakan substansi pokok adalah pasal
2 sampai dengan pasal 16 yang mewajibkan negara peserta, untuk:8
1. Mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya (Pasal
2).
2. Menjalankan semua upaya yang tepat, termasuk pembuatan UU
berkenaan dengan semua bidang kehidupan, terutama bidang politik,
sosial, ekonomi dan budaya (Pasal 3).
3. Mengakselerasi persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan dan
apabila

persamaan

telah

tercapai,

maka

tindakan

tersebut

dihapuskan/affirmative action (Pasal 4).
4. Mengupayakan untuk merubah pola-pola tingkah laku pria dan wanita
dengan tujuan supaya terhapus semua prasangka dan kebiasaan serta
7
8

Ibid., hlm. 15.
Ibid., hlm. 16.

8

praktek-praktek lainnya yang didasarkan pada ide tentang inferioritas
atau superioritas salah satu jenis kelamin atau pada anggapan-anggapan
streotip pokok tentang peranan pria dan wanita (Pasal 5a).
5. Menjamin bahwa dalam pendidikan keluarga haruslah tercakup
pemahaman yang tepat dari kehamilan sebagai fungsi sosial dan
pengakuan mengenai asuhan dan perkembangan anak sebagai tanggung
jawab bersama pria dan wanita dengan pengertian bahwa dalam
semuanya kepentingan anaklah yang merupakan pertimbangan utama
(Pasal 5b).
6. Mengupayakan untuk pembuatan undang-undang yang memberantas
semua perdagangan wanita (Pasal 6).
7. Menjalankan semua upaya untuk meniadakan diskriminasi terhadap
wanita dalam kehidupan politik dan publik (Pasal 7).
8. Menjalankan upaya semua wanita berkesempatan mewakili pemerintah
dan bekerja dalam organisasi internasional tanpa diskriminasi (Pasal 8).
9. Khusus memuat ketentuan-ketentuan mengenai kewarganegaraan dalam
kaitan dengan perkawinan (Pasal 9).
10. Menjamin bahwa pria dan wanita diberikan kesempatan yang sama
dalam bidang pendidikan (Pasal 10).
11. Meniadakan diskriminasi di bidang pekerjaan (Pasal 11).
12. Memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 12).
13. Mengadakan upaya supaya menghapuskan diskriminasi dalam bidang
ekonomi (Pasal 13).
14. Memberikan perhatian pada masalah-masalah wanita pedesaan (Pasal
14)
15. Memperoleh persamaan dengan pria di depan hukum (Pasal 15).
16. Menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dalam
segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan-hubungan
dalam keluarga (Pasal 16).
17. Pasal 17 – 28 menentukan tentang bagaimana pembentukan dan
mekanisme kerja komite CEDAW. Pasal 29 yang direservasi

9

menentukan tentang perselisihan antara dua atau lebih negara peserta
mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi. Larangan diskriminasi
yang spesifik menjadi substansi CEDAW adalah hak politik,
perkawinan dan keluarga serta pekerjaan.
UU No.7 Tahun 1984 yang merupakan aturan yang mengesahkan
berlakunya

Konvensi

CEDAW

tidak

dapat

secara

langsung

diimplementasikan, pengaturan secara langsung tersebar dalam peraturan
perundang-undangan nasional, baik merevisi UU yang telah ada seperti UU
Perkawinan, KUHP, KUHAP, UU Ketenagakerjaan, UU Pemilihan Umum,
UU Partai Politik, UU Pendidikan, UU Kewarganegaraan, UU Kesehatan,
UU Usaha Kecil dan Menengah dan membentuk UU yang belum ada
pengaturannya seperti UU Perlindungan Anak UU No.23 Tahun 2002 dan
UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No.23 Tahun
2004) serta serangkaian UU lainnya yang meliputi pengaturan tentang
semua kehidupan manusia. Namun yang perlu dicermati dan ditindaklanjuti
terhadap UU yang telah berlaku adalah, apakah semua UU tersebut
memihak kepada kepentingan salah satu jenis kelamin saja (bias gender).
Yang urgen untuk melindungi korban perdagangan (Trafficking) perempuan
dan anak seperti yang diamanatkan Konvensi CEDAW (pasal 6)
Ketiga, Declaration on the Elimination of Violence Againts Women
(UN 1973). Deklarasi Penghapusan KTP disetujui PBB dengan Resolusi
48/104 tanggal 20 Desember 1993. Dalam deklarasi tersebut definisi KTP
pasal 1 menyebutkan bahwa: tindakan kekerasan adalah kekerasan berbasis
gender yang ditujukan kepada perempuan baik berupa fisik, sex, atau
psikologi, tekanan mental, termasuk pengekangan kebebasan yang terjadi
baik dalam kehidupan pribadi atau politik. Ada 8 bentuk KTP yang
ditentukan dalam pasal 3 Deklarasi, yaitu: hak untuk hidup, persamaan, hak
untuk memperoleh persamaan atas perlindungan hukum di bawah UU, hak
atas kebebasan dan keamanan, hak memperoleh pelayanan secara
layak/standar di bidang kesehatan fisik maupun mental, hak memperoleh

10

kesempatan kerja dan hak untuk tidak mengalami penganiayaan, kekejaman,
hak untuk mendapatkan kesamaan dalam keluarga. Seks dan kesehatan
reproduksi perempuan merupakan bagian dari diskriminasi berbasis gender,
dimana salah satu strategi utama untuk meningkatkan kesehatan seks dan
reproduksi perempuan adalah memberikan kepada mereka akses pelayanan
yang komprehensif termasuk metode kontrasepsi, aborsi aman, masa
perawatan kehamilan dan kelahiran.9
Diskriminasi berbasis gender yang melanggar HAM perempuan,
dalam berbagai bentuk KTP, seperti yang disebut dalam pasal 3 Deklarasi,
diperlukan suatu upaya untuk memberdayakan perempuan. Pemberdayaan
perempuan diperlukan melalui satu kerangka kerja dalam Issue Gender dan
Pembangunan. Kompilasi HAM khusus untuk perempuan yang diadopsi
dalam hukum nasional masing-masing Negara peserta adalah semata-mata
untuk memberikan perlindungan kepada kaum perempuan yang mempunyai
kedudukan yang rentan untuk mendapat perlakuan

diskriminatif, jadi

bukanlah hal yang diskriminatif. Hal tersebut sesuai dengan pasal 4 (1),
Konvensi CEDAW (affirmative action) yang berbunyi :
‘Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-negara
peserta yang ditujukan untuk mempercepat persamaan defakto antara pria
dan wanita, tidak dianggap diskriminasi seperti ditegaskan dalam Konvensi
yang sekarang ini dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi
pemeliharaan norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturan ini
dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai”.
Sehubungan dengan perangkat hukum internasional tentang HAM
yang telah diratifikasi Indonesia, seperti yang telah disebutkan diatas,
Indonesia wajib melaksanakannya. Jauh sebelum adanya DUHAM,
Konvensi, Kovenan serta perangkat hukum internasional lannya, Indonesia
telah berikrar dalam pembentukan UUD yaitu dalam Preambule
(Pembukaan) : “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala

9

Ibid., hlm. 17.

11

bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Pengaturan HAM dalam UUD 45 terdapat dalam BAB XA tentang
”Hak Asasi Manusia”, yang disahkan DPR pada Perubahan Kedua tanggal 18
Agustus 2000, dari pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. HAM yang meliputi
semua bidang kehidupan, dalam perkawinan (pasal 28 B, khusus anak diberi
pengaturan khusus terhadap perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
ayat 2-nya), mengembangkan diri (pasal 28 C), pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum (pasal 28 D), bebas memeluk agama (pasal 28 E),
berkomunikasi dan memperoleh informasi (pasal 28 F), perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan dst (pasal 28 G), hidup sejahtera lahir batin
(pasal 28 H), hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dst (pasal 28 I) dan
pasal 28 J yang merupakan kewajiban setiap warga negara untuk
menghormati hak asasi orang lain. Pengaturan dasar tentang HAM oleh
negara diatur lebih rinci dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang ”Hak Asasi
Manusia”. UU tersebut merupakan payung hukum bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan nasional, yang dalam salah satu pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa: ”bangsa Indonesia sebagai anggota PBB
mengemban tanggung jawab moral dan tanggung jawab hukum untuk
menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi
Manusia yang ditetapkan oleh PBB, serta berbagai instrumen internasional
lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara
Republik Indonesia”. Komitmen negara untuk memberi perlindungan khusus
pada perempuan dan anak yang rentan untuk mendapat perlakuan
diskriminatif dan melanggar hak asasi mereka diatur dalam Bagian
Kesembilan tentang Hak Wanita, yaitu dalam pasal 45 sampai dengan pasal
51 UU No.39 Tahun 1999, di mana pasal 45 menyebutkan bahwa: Hak
wanita dalam UU HAM adalah hak asasi manusia.

Untuk lebih dapat

memahami dan mengoperasionalkan hak-hak perempuan dalam kehidupan
keluarga, masyarakat, bernegara, bahkan antar negara, maka sistem hukum

12

kita seyogyanya tidak mendiskriminasikan perempuan. Hak-hak politik,
perkawinan, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan dan hak dibidang
hukum, diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 (UU HAM), yaitu :10
Pasal 46 : Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan
legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif,

yudikatif, harus

menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47 :

Seorang wanita yang menikah dengan seseorang pria

berkewarganegaraan

asing

tidak

secara

otomatis

mengikuti

status

kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan,
mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Pasal 48 : Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran
di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang
telah ditentukan.
Pasal 49 : (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam
pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan

peraturan

perundang-undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan
khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang
dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan
fungsi reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita
dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50 : Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk
melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum
agamanya. .
Pasal 51 : (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai
hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anakanaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. (2) Setelah
putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan
anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. (3)
10

Ibid., hlm. 20.

13

Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung
jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kesehatan Hak Reproduksi Dan Kesehatan Reproduksi Sebagai Hak
Asasi Perempuan
1. UUD 1945
2. UU No.39/1999 tentang “Hak Asasi Manusia”
3. UU No.23/1992 tentang ”Kesehatan”
Dari ketiga undang-undang yang disebutkan di atas hak-hak reproduksi
dan kesehatan reproduksi telah diakui sebagai hak asasi manusia, khususnya
hak asasi kaum perempuan. Pemikiran mengenai hak-hak reproduksi dan
kesehatan reproduksi sebenarnya bukan hal yang baru. Hak-hak tersebut
dilahirkan dari integrasi berbagai hak dasar manusia yang diakui secara
internasional, dan secara khusus dari berbagai jaminan lain dari hak-hak
sosial, seperti hak akan kesehatan.
Dalam berbagai konvensi Internasional lain, hak reproduksi diterima
sebagai hak sosial yang mencakup hak kesehatan dalam kaitannya dengan
hakhak sosial lainnya seperti dalam ICCPER (Ecosoc – tahun 1987).
Konvensi mengingatkan kita tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi
sebagai hak (terutama perempuan) yang ada sepanjang daur kehidupannya,
dalam prinsip kehormatan perorangan, keadilan dan tidak membeda-bedakan,
dan peran kemitraan. Dengan demikian hak reproduksi bukan lagi merupakan
hak asasi manusia perorangan, tetapi telah merupakan hak-hak solidaritas,
karena mengemuka sebagai prinsip perlindungan hak asasi manusia di seluruh
dunia terhadap perempuan khususnya, yang wajib diperjuangkan oleh semua
kelompok masyarakat dan negara dunia sebagai hak asasi manusia. Hak
reproduksi yang harus dilihat sebagai hak-hak baru, untuk menciptakan masa
depan dengan kehidupan yang lebih berkualitas. Tetapi dalam tataran
implementasi perlidungan untuk mendapat akses atau pelayanan terhadap

14

kesehatan reproduksi tersebut belum secara baik dituntaskan dalam
perundang-undangan khusus, atau program khusus. Kesehatan reproduksi
tetap merupakan bagian dari program keluarga berencana, lebih khusus lagi
berkenaan dengan kesehatan ibu dan anak, atau program ibu hamil. Dengan
demikian Pemerintah Republik Indonesia masih menganut pengertian
kesehatan reproduksi secara sempit. Dalam bagian-bagian program lainnya,
kesehatan reproduksi tidak dikaitkan secara menyeluruh dengan program
pencegahan aborsi tidak aman, penyakit seksual menular, HIV/AIDS, dan
segala macam penyakit masyarakat seperti sebab-sebab terjadinya hal
tersebut di atas. Sebab-sebab timbulnya penyakit masyarakat seperti narkoba,
sex bebas, homoseksual, dan kekerasan terhadap perempuan, perceraian,
kawin muda, dsb, tidak dibahas dalam program yang terpadu tetapi dibahas
atau dilaksanakan melalui program secara parsial, seolah-olah tidak ada
keterkaitan antara satu dan lainnya.

15

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus Pelanggaran Hak Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Barat selama ini selalu
menjadi persoalan yang sangat krusial. Hal ini dikarenakan, Jawa Barat
merupakan salah satu provinsi terbanyak terjadinya kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak.11 Direktur RESIC (Research of Environment and Self
Independent Capacity), Neng Hannah Hakim menyatakan bahwa penyebab
utama dari masalah tersebut adalah tingkat perekonomian korban trafficking
yang cenderung rendah. Lebih lanjut ia mengatakan, terjadinya trafficking yang
kian marak terjadi diantaranya diakibatkan oleh adanya kemiskinan, pendidikan
rendah, pernikahan dini yang diakhiri dengan perceraian, dan budaya yang telah
mengakar pada masyarakat kita yang menganggap bahwa anak perempuan
merupakan aset keluarga.12
Berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat, selama tahun 2010 hingga tahun 2014 kasus
trafficking yang ditanganinya sejumlah 242 kasus.13 Salah satu kasus tersebut
adalah trafficking yang terjadi di Palembang, Sumatera Selatan pada tahun 2010
dimana sebagian besar para korbannya adalah warga yang berasal dari Jawa
Barat. Terungkapnya kasus perdagangan perempuan ini berawal dari adanya
laporan dari ketiga korban yang diterima Polisi Palembang, menyatakan bahwa
mereka dijual dan disekap di sebuah kafe selama kurang lebih 2 (dua) bulan oleh
germo yang juga merupakan pengelola kafe tersebut, bernama Andi. Ketiga
korban tersebut menceritakan bahwa, mereka berangkat dari Bandung pada
11

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat. “Case
Conference Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jawa Barat”.
. [24/11/2016].
12
Iqbal Tawakal. “Korban Perdagangan Wanita Terbanyak dari Jawa Barat”. .
[24/11/2016].
13
Idem.

16

tanggal 09 April 2010 dan sampai di Palembang pada tanggal 10 April 2010.
Kemudian, pada tanggal 12 April mereka mulai disuruh oleh sang germo untuk
bekerja melayani tamu-tamu pria berhidung belang padahal sebelumnya mereka
dijanjikan akan bekerja untuk melayani tamu yang hanya minum bir. Selama
penyekapan berlangsung, ketika pergi kemana pun para korban selalu diberikan
kawalan yang cukup ketat oleh sang germo. Sudah beberapa kali para korban
mencoba untuk kabur, akan tetapi tidak berhasil dikarenakan ketahuan oleh para
pengawal tersebut.14
Menindaklanjuti laporan yang diberikan oleh ketiga korban tersebut, Tim
Judisila Polda Sumatera Selatan, Pimpinan Kompol Suwandi P SIk dibantu oleh
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Pimpinan AKP Rusdiani Sik
langsung melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Hasil dari
penyelidikan yang telah dilakukan, didapat bahwa sejumlah 12 Pekerja Seks
Komersial (PSK), Andi (germo), dan seorang kasir kafe diamankan ke Mapolda
Sumatera Selatan untuk dilakukan pengusutan kasus lebih lanjut. Dirreskrim
Polda Sumatera Selatan Kombes Pol Drs. Raja Haryono, S.H., M.Hum, melalui
Kasatpidum AKBP Erwin Rachmat SIK, menyatakan bahwa ia akan meminta
keterangan para korban yang saat ini dijadikan saksi dalam kasus ini. Lebih
lanjut ia menyatakan, siapa pun yang terlibat dalam kasus perdagangan
perempuan ini akan di proses sesuai dengan hukum yang berlaku dan pihak
kepolisian akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait, termasuk
diantaranya Dinas Sosial Sumatera Selatan.15
B. Pelanggaran Hak yang Terkandung dalam Kasus Perdagangan
Perempuan
Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu isu yang harus
dihadapi dan ditangani dengan serius oleh Pemerintah Indonesia, terkait dengan
adanya laporan investigasi Internasional yang menempatkan negara Republik
14

Info Sketsa. “Sindikat Kasus Perdagangan Perempuan di Palembang”.
. [24/11/2016].
15
Idem.

17

Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai tingkat kepedulian dan
upaya penanggulangan yang rendah terhadap kasus perdagangan perempuan dan
anak. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara sebagai sumber
terjadinya perdagangan perempuan dan anak yang cukup tinggi baik untuk
kepentingan dalam negeri maupun luar negeri. Meningkatnya jumlah keluarga
miskin dan angka putus sekolah di berbagai tingkat pendidikan, menurunnya
kesempatan kerja dan maraknya konflik sosial di berbagai daerah yang muncul
sebagai dampak krisis sangat berpotensi dalam mendorong timbulnya pergangan
perempuan dan anak. Hal ini dapat diperparah oleh adanya kenyataan
melemahnya peranan lembaga keluarga dan solidaritas antar warga masyarakat
untuk melaksanakan fungsi pemenuhan kebutuhan di bidang ekonomi, sosial,
dan psikologis sekaligus sebagai kontrol terhadap para anggotanya.16
Meskipun Indonesia telah meratifikasi dan mengundangkan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, akan tetapi
kiranya penerapan penegakan hukum belum cukup efektif dalam rangka
memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran.
Dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia, tentu saja isu perdagangan
perempuan dan anak merupakan sebuah pelanggaran dan kejahatan terhadap
manusia. Perdagangan perempuan dapat menghambat pembangunan Sumber
Daya Manusia (SDM) mengingat dampak sosial dan psikologis yang dialami
para korban dapat menghalangi mereka untuk berfungsi secara sosial,
memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan melanjutkan proses
regenerasi yang berkualitas. Selain itu, perdagangan perempuan juga berpotensi
untuk melemahkan nilai-nilai sosial positif dalam masyarakat yang pada
akhirnya akan dapat menimbulkan berbagai macam kerawanan sosial.17
Adapun pelanggaran hak yang terkandung dalam kasus perdagangan
perempuan diantaranya adalah sebagai berikut:
16

Komariah Emong Sapardjaja, “Trafficking Perempuan dan Anak di Jawa Barat: Studi Kasus di
Kabupaten Bandung, Indramayu, dan Karawang”, Sosiohumaniora, Nomor 2 Volume 5, hlm. 132
(2003).
17
Idem.

18

1. Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa,
“setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai
individu.”;18
2. Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “tidak
seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan
perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.”;19
3. Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “tidak
seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan
atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”;20
4. Pasal 23 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa, “setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih
pekerjaan,

berhak

atas

syarat-syarat

perburuhan

yang

adil

dan

menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.”;21
5. Pasal 23 ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa, “setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan
menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat
baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah
dengan perlindungan sosial lainnya.”;22
6. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “tiaptiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.”;23
7. Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa,
“setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”;24
18

Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
20
Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
21
Pasal 23 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
22
Pasal 23 ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
23
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24
Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
19

19

8. Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa,
“setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”;25
9. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa,
“setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”;26
10. Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa,
“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.”;27
11. Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”;28
12. Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia menyatakan bahwa, “setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya.”;29
13. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa, “tidak seorang pun boleh diperbudak atau
diperhamba.

Perbudakan

atau

perhambaan,

perdagangan

budak,

25

Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
27
Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
28
Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
29
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
26

20

perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya
serupa, dilarang.”;30
14. Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia menyatakan bahwa, “setiap orang, baik pria maupun
wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat
kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan
dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.”;31
15. Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia menyatakan bahwa, “wanita berhak untuk mendapatkan
perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya
terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau
kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.”;32
16. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyatakan
bahwa, “tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau
penghukuman

yang

kejam,

tidak

manusiawi,

atau

merendahkan

martabat.”;33
17. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyatakan
bahwa, “tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan
perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorang pun boleh
diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib.”;34
18. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa,
30

Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
31
Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
32
Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
33
Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
34
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

21

“setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia,
dipidana”;35
C. Upaya Pemerintah dalam Kasus Perdagangan Perempuan
Pemerintah memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan
terpadu dalam melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan
perempuan. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional,
namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai
baik sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun
dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian
terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional.
Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan
kewenangan masing-masing dan kode etik instansi.
Sebenarnya, komitmen Pemerintah untuk melakukan pencegahan dan
penanggulangan perdagangan orang telah sangat kuat dan larangan praktik
perdagangan orang sudah diatur dalam produk hukum nasional. Pada
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea ke-4, Pancasila, sila kedua
yaitu: “Kemanusiaan Yang Adil dan

Beradab,” menunjukkan bahwa

perbudakan tidak dimungkinkan, apalagi berdasarkan pasal 28 (1) negara
menjamin “hak untuk tidak diperbudak” (amandemen Ke-2, tanggal 18 Agustus
2000). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 297: “perdagangan
wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun”. Meskipun pada kenyataannya korban
35

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

22

perdagangan orang tidak hanya perempuan dan laki-laki yang belum dewasa,
melainkan orang-orang yang berada dalam posisi rentan, baik perempuan, laki
laki, dewasa, dan anak-anak. Selain itu KUHP pasal 297 ini juga memberikan
sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita
korban akibat kejahatan perdagangan orang.
Sikap Pemerintah RI untuk memerangi perdagangan orang dipertegas
dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A), serta
diundangkannya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang pada tahun 2007.
Selain beberapa produk Undang-Undang di atas, masih ada lagi beberapa
produk Undang-Undang yang memperlihatkan komitmen Pemerintah Indonesia
dalam mencegah dan menanggulangi perdagangan perempuan. Surat Keputusan
Bersama (SKB) antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri
Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala Kepolisian Negara RI (Oktober 2002)
mengenai Pelayanan Terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan
menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjalin kerjasama lintas sektoral
yang sinergis, terpadu, dan terkoordinasi sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawab masing-masing, termasuk menyediakan anggaran yang memadai. Terkait
dengan hal ini, Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan-tindakan
pencegahan (prevention), menindak dan menghukum (prosecution) dengan tegas
pelaku perdagangan orang (trafficker), serta melindungi (protection) korban
melalui upaya repatriasi, rehabilitasi, konseling, pendidikan dan pelatihan
keterampilan, termasuk menjamin hal-hal yang berkaitan dengan HAM-nya agar
mereka bisa mandiri dan kembali berintegrasi ke masyarakat. Mengingat bahwa
perdagangan orang berkaitan dengan kejahatan terorganisir lintas negara, maka
kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun regional serta kerjasama
dengan

badan-badan

dan

LSM

internasional

akan

terus

dibina

dan

dikembangkan.

23

Sementara itu, penindakan hukum kepada pelaku perdagangan perempuan,
sesuai dengan kewenangannya diselenggarakan oleh yang berwajib (Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan), akan tetapi mengingat perdagangan orang
merupakan tindak kejahatan yang beroperasi diam-diam, kepada masyarakat
umum, lembaga kemasyarakatan dan LSM, disosialisasikan agar ikut
berpartisipasi aktif dalam mengungkap kejahatan ini dengan cara memberikan
informasi kepada yang berwenang jika melihat, menyaksikan atau mengindikasi
adanya kegiatan perdagangan orang atau hal-hal yang dapat diduga menjurus
kepada terjadinya kejahatan itu. Pihak Kepolisian di seluruh wilayah telah
membuka hotline yang dapat diakses oleh masyarakat yang ingin melaporkan
adanya tindak kejahatan, dan pihak Kepolisian akan segera menanggapi dan
menindaklanjuti informasi yang diberikan.
Dalam menilai usaha-usaha pemerintah dalam memberantasnya, selain kita
harus menyoroti beberapa tindakan, yakni prosecution, protection dan
prevention

(penuntutan,

perlindungan

dan

pencegahan),

juga

harus

mengiringinya dengan suatu pendekatan yang terpusat pada korban perdagangan
perempuan

yakni

rescue,

removal

dan

reintegration

(penyelamatan,

pemindahan, dan reintegrasi). Strategi anti perdagangan manusia yang efektif,
dengan demikian, harus mencakup tiga aspek perdagangan: segi persediaan, para
pelaku perdagangan, dan segi permintaan.
Dari aspek persediaan, memerangi kondisi-kondisi yang memicu
perdagangan harus diarahkan pada program-program yang mendidik masyarakat
untuk waspada akan bahaya perdagangan, memperbaiki kesempatan pendidikan
dan sistem sekolah, menciptakan kesempatan ekonomis, mempromosikan
persamaan hak, mendidik masyarakat yang menjadi sasaran mengenai hak-hak
hukum mereka dan menciptakan kesempatan hidup yang lebih baik dan lebih
luas.
Dari aspek pelaku perdagangan, program-program pelaksanaan hukum
harus difokuskan pada upaya mengenali dan menghalangi jalur-jalur
perdagangan; mengklarifikasikan definisi-definisi hukum dan mengkordinasikan
tanggung jawab pelaksanaan hukum; menuntut para pelaku perdagangan dan

24

mereka yang membantu dan bersekongkol dengannya; dan memerangi korupsi
yang dilakukan oleh orang-orang yang memfasilitasi dan mengambil keuntungan
dari perdagangan manusia, yang mengikis peranan hukum.
Dari aspek permintaan, program-program pelaksanaan hukum harus
difokuskan pada upaya-upaya mengenali dan kemudian menuntut secara hukum
orang-orang

yang

melakukan

perdagangan

perempuan

serta

juga

mengeksploitasinya. Nama para majikan kerja paksa dan para pelaku eksploitasi
terhadap korban yang diperjual-belikan untuk eksploitasi seksual harus
disebutkan dan dibuat malu. Kampanye untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat harus dilakukan di negara-negara tujuan untuk membuat
perdagangan semakin sulit disembunyikan atau diacuhkan. Masyarakat harus
ditarik

dari

situasi

perbudakan

dan

dikembalikan

ke

keluarga

dan

masyarakatnya.
Harus ada koordinasi antara program-program lokal, nasional dan regional
untuk melawan perdagangan manusia. Dengan mengambil perhatian publik
mengenai masalah tersebut, pemerintah dapat meningkatkan alokasi dana untuk
memerangi perdagangan manusia, memperbaki pemahaman terhadap masalah,
dan meningkatkan kemampuan mereka membangun strategi-strategi yang
efektif. Koordinasi dan kerjasama baik secara nasional, bilateral atau regional
akan memperkuat usaha-usaha negara dalam merekrut sukarelawan untuk
memerangi

perdagangan

manusia.

Standar-standar

internasional

harus

diserasikan dan bangsa-bangsa harus bekerjasama secara lebih dekat untuk
menolak perlindungan hukum bagi para pelaku perdagangan.
Pengetahuan

masyarakat

mengenai

perdagangan

manusia

harus

ditingkatkan dan jaringan kerja organisasi anti perdagangan dan usaha-usahanya
harus diperkuat. Lembaga agama, LSM, sekolah-sekolah, perkumpulan
masyarakat, dan para pemimpin tradisional dengan pranata adatnya perlu
dimobilisasi dalam perjuangannya melawan perdagangan manusia. Para korban
dan keluarga mereka memerlukan pelatihan keahlian dan kesempatan untuk
melakukan ekonomi alternatif.

25

Strategi anti perdagangan harus dievaluasi secara berkala untuk
memastikan bahwa strateginya masih tetap inovatif dan efektif. Akhirnya, para
pejabat pemerintah harus dilatih mengenai teknik-teknik anti perdagangan
manusia, dan jalur-jalur perdagangan harus secara statistik dicermati untuk
menjelaskan sifat dan seriusnya serta besarnya masalah sehingga dapat dipahami
secara lebih baik.
Semua upaya-upaya di atas menuntut adanya langkah-langkah yang
terencana dan konsisten antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
bahkan melibatkan jaringan luas baik dengan pemerintah negara sahabat dan
lembaga internasional. Oleh karena itu dalam Peraturan Daerah dikembangkan
pula kerjasama antara provinsi ataupun kabupaten/kota di Indonesia, kemitraan
dengan dunia usaha dan berbagai elemen masyarakat sebagai upaya untuk
melakukan pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang dan
membangun berbagai jejaring dengan berbagai elemen masyarakat.
Peraturan

daerah

tentang

Pencegahan

dan

Penanganan

Korban

Perdagangan orang lebih menekankan pada upaya untuk melakukan pencegahan
perdagangan orang daripada upaya represif terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan orang karena pengaturan mengenai tindakan represif telah diatur
dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pemberantasan Perdagangan
orang dan dengan dimaksimalkannya upaya pencegahan terhadap perdagangan
orang diharapkan dapat menekan seminimal mungkin korban perdagangan
orang.
Upaya pencegahan perdagangan orang dilakukan melalui pencegahan
preemtif dan pencegahan preventif. Pencegahan preemtif merupakan tindakan
yang harus dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan oleh
Pemerintah Daerah yang bersifat jangka panjang dalam upaya pencegahan
perdagangan orang. Pencegahan preventif merupakan upaya langsung yang
harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan
perdagangan orang yang berupa pengawasan terhadap setiap PPTKIS (Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) dan Korporasi yang ada,

26

membangun jejaring dengan berbagai pihak terkait (LSM, penegak hukum) dan
membuka akses pengaduan terhadap adanya tindak pidana perdagangan orang.
Berdasarkan berbagai data tentang profil korban perdagangan perempuan
terungkap bahwa perempuan dan anak korban perdagangan orang serta mereka
yang beresiko, pada umumnya berasal dari keluarga miskin, kurang pendidikan,
kurang informasi dan berada pada kondisi sosial budaya yang kurang
menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Oleh sebab itu kebijakan
pencegahan perdagangan orang haruslah ditekankan pada upaya untuk
meningkatkan pendidikan dan perekonomian di daerah, selain dilakukan pula
upaya pemberdayaan dan penyadaran kepada masyarakat mengenai nilai-nilai
keagamaan, moral, kemanusiaan dan kehidupan.
Bagi para korban perdagangan orang akan dilakukan tindakan penanganan
dan rehabilitasi. Penanganan perdagangan orang akan lebih ditekankan pada
upaya untuk menyelamatkan korban perdagangan korban dari tindakan
eksploitasi maupun penganiayaan dan mengusahakan upaya penanganan hukum
sedangkan rehabilitasi merupakan upaya untuk memulihkan kondisi fisik dan
psikis dari korban perdagangan orang dan pemberdayaan pendidikan dan
perekonomian korban agar tidak terkena korban perdagangan orang kembali.
Mengingat

luasnya

aspek

pencegahan

dan

penanganan

korban

perdagangan orang maka pelaksanaannya perlu dilakukan secara lintas sektor
antara organisasi perangkat daerah yang berwenang di bidang sosial,
ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, dan perekonomian dengan organisasi
perangkat daerah di bidang sosial sebagai leading sector d