Penerapan Konsep BPR pada Pemerintahan
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
Penerapan Konsep BPR pada Pemerintahan
oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - [email protected]
EKOJI999 Nomor
248, 14 Mei 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan
teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan permohonan anda melalui alamat email [email protected].
HALAMAN 1 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
PENDAHULUAN
Ketika
untuk
pertama
kalinya
konsep
Business
Process
Reengineering
(BPR)
diperkenalkan
oleh
Michael
Hammer
dan
James
Champy
pada
awal
tahun
1990-‐an,
beribu-‐ribu
perusahaan
berlomba-‐lomba
untuk
menerapkan
paradigma
baru
dalam
memandang
bisnis
tersebut.Hasilnya
cukup
mengejutkan,
dalam
arti
kata
cukup
banyak
perusahaan
yang
pada
akhirnya
berhasil
meningkatkan
kinerjanya
secara
signi�ikan
dan
mentransformasikan
dirinya
menjadi
sebuah
korporasi
kelas
dunia.
Melihat
hal
tersebut,
sejumlah
birokrat
di
negara
maju
mencoba
untuk
menerapkan
konsep
ini
pada
organisasi
pemerintahan
dengan
tujuan
akhir
untuk
meningkatkan
kualitas
kinerja
institusi,
terutama
di
dalam
menghadapi
berbagai
tantangan
pada
era
globalisasi.Dari
hasil
yang
didapatkan
terlihat
bahwa
paradigma
yang
dipergunakan
di
dalam
BPR
merupakan
sebuah
batu
loncatan
efektif
dalam
membantu
pemerintah
dalam
mengimplementasikan
konsep
“electronic
government”
(e-‐Government),
yang
merupakan
sebuah
perwujudan
dari
model
pemerintahan
di
masa
mendatang.
Artikel
ini
memperlihatkan
bagaimana
penerapan
pola
pola
pikir
dalam
teori
BPR
dapat
membantu
pemerintah
dalam
memahami
dan
menjawab
berbagai
tuntutan
perubahan
jaman
dewasa
ini,
terutama
yang
berkaitan
dengan
bagaimana
penerapan
teknologi
informasi
dapat
membantu
pemerintah
Indonesia
dalam
usahanya
untuk
meredi�inisikan
kembali
dirinya
dan
mencoba
untuk
menjadi
salah
satu
agen
perubahan
dalam
menuju
sebuah
negara
moderen.
TANTANGAN
PEMERINTAH
DI
MASA
DEPAN
Globalisasi
merupakan
sebuah
fenomena
dimana
negara-‐negara
di
dunia
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
mengharapkan
terjadinya
sebuah
interaksi
antar
masyarakat
yang
jauh
lebih
efektif
dan
e�isien
dibandingkan
dengan
saat-‐saat
sebelumnya
(Douglas,
2001).
Di
dalam
format
ini,
proses
interaksi
dan
komunikasi
antar
negara-‐negara
di
dunia
akan
jauh
lebih
intens
dibandingkan
dengan
apa
yang
selama
ini
pernah
terjadi.
Adalah
merupakan
suatu
kenyataan
bahwa
globalisasi
telah
membuka
isolasi
batasan
antar
negara
yang
selama
ini
berlaku
-‐
terutama
untuk
hal-‐hal
yang
berhubungan
dengan
politik,
ekonomi,
sosial,
budaya,
dan
hukum.
Seperti
layaknya
dua
sisi
pada
mata
uang,
fenomena
globalisasi
menjanjikan
sebuah
lingkungan
dan
suasana
kehidupan
bermasyarakat
yang
jauh
lebih
baik;
sementara
di
sisi
lain,
terdapat
pula
potensi
terjadinya
chaos
jika
perubahan
ini
tidak
dikelola
dan
dijalani
secara
baik.
Karena
pada
suatu
titik
ekstrem
seorang
individu
di
sebuah
negara
dapat
melakukan
apa
saja
yang
dikehendakinya
(misalnya
berdagang,
bermitra,
berkolaborasi,
berbuat
kejahatan,
berkolusi,
dan
lain-‐lain)
dengan
individu
yang
berada
di
negara
lain,
maka
jelas
bahwa
kehidupan
masyarakat
harus
dapat
terlebih
dahulu
ditata
dengan
baik
di
dalam
sebuah
sistem
yang
menjamin
bahwa
negara
yang
bersangkutan
akan
memperoleh
manfaat
yang
besar
di
dalam
lingkungan
global,
bukan
sebaliknya
(Indrajit,
2001).
Visi
pemerintah
sebuah
negara
selain
memiliki
dimensi
internal
(cita-‐cita
bangsa
yang
bersangkutan)
tidak
dapat
pula
dilepaskan
dari
sejumlah
aspek
eksternal,
terutama
yang
berkaitan
dengan
tuntutan
pemenuhan
berbagai
aspek
relasi
antar
negara
dan
antar
anggota
masyarakatnya.
Adalah
merupakan
suatu
fakta
bahwa
terdapat
desakan
dari
negara-‐negara
besar
yang
mengharuskan
setiap
negara
di
dunia
untuk
menjamin
terselenggaranya
berbagai
isu
penting
semacam
demokratisasi,
hak
asasi
manusia,
kepastian
hukum,
pencegahan
korupsi,
transparansi
bisnis,
dan
lain
sebagainya
agar
negara
yang
bersangkutan
tidak
ingin
dikucilkan
dari
pergaulan
dunia
(Leer,
1999).
Dalam
format
ini
pemerintah
di
sebuah
negara
diminta
untuk
lebih
responsif
terhadap
berbagai
permintaan
masyarakatnya,
terutama
mereka
yang
aktivitas
sehari-‐harinya
memiliki
ketergantungan
yang
tinggi
dengan
birokrasi
pemerintahan.
Jika
dahulu
sebuah
pemerintah
terkenal
dengan
birokrasinya
yang
sangat
lambat,
boros,
dan
sangat
fungsional,
maka
masyarakat
saat
ini
membutuhkan
sebuah
kinerja
pemerintah
yang
cepat,
murah,
dan
HALAMAN 2 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
berorientasi
pada
proses
agar
dapat
memberikan
dukungan
yang
signi�ikan
dan
kompetitif
bagi
para
mereka
yang
dilayaninya
(individu,
komunitas
bisnis,
masyarakat,
dan
stakeholder
yang
lain).
Tentu
saja
merubah
paradigma
tersebut
bukanlah
merupakan
suatu
hal
yang
mudah.
Namun
di
sisi
lain
perubahan
merupakan
suatu
keharusan,
bukan
pilihan
(ICGFM,
20010).
Dan
bagi
siapa
yang
dapat
melakukan
perubahan
secara
cepat,
akan
semakin
diuntungkan
karena
selain
dapat
beradaptasi
dengan
lingkungan
yang
baru,
yang
bersangkutan
dapat
menjadi
pemain
kunci
dalam
mekanisme
global
tersebut.
MEMAHAMI
KONSEP
BPR
Ada
dua
hal
utama
yang
kerap
mengawali
berbagai
usaha
perubahan.
Pertanyaan
pertama
berkaitan
dengan
derajat
perubahan
yang
diinginkan,
sementara
pertanyaan
kedua
berkisar
pada
dari
sisi
mana
inisiatif
perubahan
harus
dimulai
(Champy,
1995).
Untuk
menjawab
pertanyaan
pertama,
ada
baiknya
dilihat
sejumlah
teori
perubahan
pada
organisasi
yang
telah
dikenal
luas.
Secara
teori,
spektrum
jenis
perubahan
dapat
diklasi�ikasikan
menjadi
tiga
kelompok
besar,
yang
diklasi�ikasikan
berdasarkan
parameter,
yaitu
frekuensi
aplikasi
perubahan
dan
dampak
yang
diharapkan
dari
inisiatif
perubahan
(Tenner,
1996):
Sumber:
Arthur
Tenner
et.al.,
1997
Continuous
Improvement
–
perubahan
yang
dilakukan
secara
perlahan-‐lahan
dan
kontinyu,
dimana
hasilnya
berupa
perbaikan
kinerja
secara
inkremental;
Leapfrogging
–
perubahan
yang
dilakukan
secara
bertahap
dengan
mengikuti
periode
tertentu,
dimana
menghasilkan
perbaikan
kinerja
yang
cukup
signi�ikan
pada
sektor
tertentu;
dan
Reengineering
–
perubahan
yang
dilakukan
sesekali
namun
sanggup
menghasilkan
sebuah
perbaikan
kinerja
yang
sangat
signi�ikan.
Bagi
negara
berkembang
seperti
Indonesia,
yang
secara
relatif
semakin
terpuruk
posisinya
karena
krisis
yang
berkepanjangan,
memilih
pendekatan
perubahan
yang
pertama
dan
kedua
tentu
saja
tidak
akan
memberikan
pengaruh
yang
berarti.
Oleh
karena
itu
tidak
ada
jalan
lain,
jika
pemerintah
dan
segenap
masyarakat
secara
serius
ingin
meningkatkan
keunggulan
kompetitif
Indonesia
secara
cepat,
maka
ada
baiknya
metode
pendekatan
”Reengineering”
dipelajari
dan
dicoba
dicari
jalan
penerapannya.
HALAMAN 3 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
BPR
merupakan
salah
satu
metodologi
yang
di
dalam
klasi�ikasi
terkait.
Secara
de�inisi,
BPR
memiliki
empat
buah
karakteristik
utama,
yaitu
(Hammer,
1993):
Hasil
perubahan
yang
diharapkan
bersifat
dramatis
(sangat
signi�ikan);
Paradigma
perubahan
dihasilkan
dari
pemikiran
yang
bersifat
fundamental
(sangat
mendasar);
Perancangan
lingkungan
yang
baru
dihasilkan
melalui
ide-‐ide
radikal;
dan
Fokus
perubahan
yang
diarahkan
pada
perbaikan
proses.
Keempat
aspek
utama
ini
secara
logika
memiliki
keterkaitan
sebagai
berikut.
Sebuah
hasil
perubahan
yang
dramatis
hanya
akan
lahir
dari
adanya
pemikiran-‐pemikiran
yang
bersifat
sangat
mendasar,
dimana
didalamnya
akan
mengandung
sejumlah
ide-‐ide
perubahan
yang
bersifat
radikal.
Karena
sebuah
organisasi
pada
dasarnya
merupakan
kumpulan
dari
orang-‐
orang
dalam
sebuah
struktur
untuk
menjalankan
aktivitas
tertentu,
maka
subyek
utama
perubahan
yang
tepat
adalah
pada
dasarnya
memperbaiki
kinerja
proses
terkait
yang
ada.
TEKNIK
MEMULAI
PERUBAHAN
Pertanyaan
kedua
menyangkut
dari
sisi
mana
sebuah
inisiatif
perubahan
harus
dimulai,
dijawab
secara
jelas
melalui
metodologi
baku
BPR.
Menurut
metodologi,
langkah
pertama
dan
utama
yang
harus
dilakukan
adalah
menentukan
siapa
saja
sebenarnya
”customer”
(baca:
kustomer)
dari
pemerintah
(Dorine,
1994).
Hal
ini
perlu
diperhatikan
secara
sungguh-‐
sungguh
karena
pada
dasarnya
keberadaan
organisasi
pemerintahan
adalah
menjalankan
sejumlah
rangkaian
proses
untuk
melayani
berbagai
kustomer
yang
berbeda-‐beda.
Secara
umum,
kustomer
besar
dari
sebuah
organisasi
pemerintahan
dapat
dikelompokkan
menjadi
beberapa
kategori
sebagai
berikut:
Masyarakat
–
yang
merupakan
kumpulan
dari
individu,
kelompok,
atau
komunitas
tertentu
yang
sehari-‐harinya
membutuhkan
sejumlah
pelayanan
tertentu
dari
pemerintahnya
untuk
kebutuhan
aktivitas
sehari-‐hari;
Pelaku
Bisnis
(Industri)
–
yang
merupakan
sekelompok
perusahaan
dan/atau
organisasi
komersial
yang
sehari-‐harinya
melakukan
kegiatan
pertukaran
barang
dan
jasa
untuk
menggerakkan
roda
perekonomian
nasional;
Organisasi
–
yang
merupakan
kumpulan
dari
orang-‐orang
yang
memiliki
misi
tertentu
dalam
sebuah
kerangka
bernegara,
seperti
misalnya:
LSM,
partai
politik,
yayasan,
perhimpunan,
perguruan
tinggi,
dan
lain
sebagainya;
dan
Institusi
Pemerintah
Lain
–
yang
merupakan
mitra
kerja
dari
sebuah
organisasi
pemerintahan
karena
adanya
unsur
keterkaitan
dalam
proses.
Pada
dasarnya
keempat
kustomer
ini
memiliki
obyektif
yang
berbeda
dalam
hubungannya
berinteraksi
dengan
pemerintahan.
Kelompok
masyarakat
membutuhkan
berbagai
pelayanan
pemerintah
yang
berkaitan
dengan
keberadaannya
sebagai
seorang
penduduk
atau
warganegara,
seperti
misalnya
menyangkut
proses-‐proses
berhubungan
dengan:
pembuatan
KTP,
perpanjangan
STNK,
kepemilikan
harta
benda,
permasahalan
hukum,
dan
lain
sebagainya.
Kelompok
pelaku
bisnis
membutuhkan
keterlibatan
pemerintah
sehubungan
dengan
proses-‐proses
seperti:
transaksi
jual
beli,
pembayaran
pajak,
administrasi
ekspor-‐
impor,
pengurusan
imigrasi,
dan
lain
sebagainya.
Kelompok
organisasi
di
lain
pihak
membutuhkan
keterlibatan
pemerintah
dalam
sejumlah
proses
berkaitan
dengan:
pendirian
organisasi,
eksekusi
kegiatan
komunitas,
penjaminan
pencapaian
misi,
penggunaan
sumber
daya,
dan
lain
sebagainya.
Sementara
institusi
pemerintahan
lain
perlu
melakukan
sejumlah
HALAMAN 4 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
koordinasi
dan
komunikasi
dengan
berbagai
lembaga
pemerintahan
yang
ada
untuk
menjalankan
berbagai
proses
yang
bersifat
lintas
sektoral.
PEMETAAN
DAN
PENGKAJIAN
PROSES
Setelah
mende�inisikan
kustomer,
langkah
selanjutnya
yang
perlu
dilakukan
adalah
melakukan
pemetaan
terhadap
seluruh
proses
yang
dilakukan
oleh
institusi
pemerintah
terkait,
terutama
yang
berkaitan
dengan
berbagai
pelayanan
yang
dibutuhkan
oleh
sejumlah
stakeholder
terkait.
Tujuan
dilakukannya
pemetaan
ini
adalah
sebagai
berikut
(Hunt,
1996):
§
§
§
Mendapatkan
gambaran
secara
keseluruhan
bagaimana
beragam
proses
di
dalam
organisasi
pemerintahan
saling
terkait
dan
berjalan
selama
ini;
Memudahkan
penemuan
dan
pengkajian
terhadap
sejumlah
sub-‐proses
yang
dianggap
kinerjanya
rendah
untuk
kemudian
dicari
akar
penyebabnya;
dan
Membantu
mencari
jalan
keluar
dalam
proses
perubahan
desain
proses
agar
menghasilkan
suatu
kinerja
perubahan
yang
signi�ikan.
Agar
proses
pemetaan
dan
pengkajian
dapat
dilakukan
secara
mudah
dan
cepat,
banyak
sekali
perangkat
lunak
(software)
yang
dapat
dipergunakan,
seperti
misalnya:
Extend
(Imagine
That
Inc.),
WITNESS
Simulation
(AT&T),
SIMPROCESS
(CACI
Products
Coy),
ITHINK
(Performance
Systems
Inc.),
dan
lain-‐lain
(ImagineThat,
1995).
PERANCANGAN
PROSES
BARU
Di
mata
kustomer,
kinerja
pemerintah
dalam
hal
melayani
publik
akan
dianggap
membaik
jika
dari
waktu
ke
waktu
sejumlah
proses
pelayanan
terlihat
semakin
bertambah
baik,
bertambah
murah,
dan
bertambah
cepat.
Untuk
menghasilkan
proses
yang
diinginkan
tersebut,
ada
4
(empat)
hal
yang
harus
dilakukan
oleh
pemerintah
sehubungan
dengan
proses
yang
terjadi
di
sejumlah
organisasinya,
masing-‐masing
adalah
(Hammer,
1996):
Sumber:
Extend
Software
Inc.,
1998
Eliminasi
-‐
berupa
penghilangan
atau
pemangkasan
proses-‐proses
yang
sebenarnya
tidak
perlu
untuk
dilakukan;
Simpli�ikasi
–
berupa
penyederhanaan
rangkaian
proses
yang
sebenarnya
dapat
diperingkas
atau
diperpendek;
Integrasi
–
berupa
penggabungan
beberapa
proses
yang
sebenarnya
dapat
dilakukan
sekaligus
secara
bersamaan
(simultan);
dan
HALAMAN 5 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
Otomatisasi
–
berupa
pengalihan
proses
dari
yang
biasa
dikerjakan
oleh
manusia
menjadi
kegiatan
yang
dapat
dijalankan
oleh
teknologi.
Berdasarkan
pengalaman
dari
negara-‐negara
maju,
dan
juga
sejumlah
negara
tetangga
Indonesia
–
seperti
Malaysia,
Singapura,
Taiwan,
Hongkong,
dan
Korea
–
teknologi
informasi
(perpaduan
antara
teknologi
komputer
dan
telekomunikasi)
ternyata
mampu
untuk
melakukan
keempat
strategi
peningkatan
kinerja
proses
tersebut
(Ho,
2000).
Ada
dua
jenis
pendekatan
perancangan
proses
baru
yang
dapat
dilakukan.
Pendekatan
pertama
adalah
dengan
cara
mengkaji
peta
proses
yang
dikerjakan
pada
saat
ini,
kemudian
masing-‐masing
sub-‐proses
tersebut
dilihat
kemungkinannya
untuk
dilakukan
eliminasi,
simpli�ikasi,
integrasi,
dan
otomatisasi
melalui
pemanfaatan
teknologi
informasi
yang
ada.
Sementara
pendekatan
kedua
adalah
dengan
melakukan
perbandingan
(benchmarking)
terhadap
apa
yang
telah
dilakukan
oleh
pemerintah
negara
lain
sehubungan
dengan
proses
serupa,
dan
mencoba
untuk
menerapkannya
di
Indonesia
(biasanya
akan
dipilih
proses
yang
terbaik
dari
hasil
perbandingan,
atau
yang
kerap
dikenal
dengan
istilah
”best
practices”).
Jika
kedua
pendekatan
ini
dilakukan
–
baik
secara
terpisah
maupun
bersama-‐sama
–
makan
akan
dijamin
terjadinya
sebuah
perbaikan
kinerja
proses
yang
cukup
signi�ikan.
Bahkan
secara
prinsip,
perancangan
proses
baru
dengan
memanfaatkan
teknologi
informasi
ini
akan
merupakan
sebuah
cikal
bakal
atau
embrio
dari
lahirnya
sebuah
konsep
”Electronic
Government”
(e-‐Government)
di
Indonesia,
yang
oleh
Bank
Dunia
dide�inisikan
sebagai
(Belt,
2001):
“E-‐Government
refers
to
the
use
by
government
agencies
of
information
technologies
that
have
the
ability
to
transform
relations
with
citizens,
businesses,
and
other
arms
of
government.”
Pemahaman
yang
utuh
dan
lengkap
mengenai
konsep
e-‐Government
dan
penerapan
strategi
perampingan
proses
melalui
metodologi
BPR
secara
tidak
langsung
akan
membawa
pemerintah
kepada
tantangan
perubahan
paradigma
secara
mendasar
dan
radikal
yang
perlu
untuk
dipertimbangkan.
PERUBAHAN
PARADIGMA
Dalam
kerangka
perubahan
tersebut,
paradigma
birokrat
yang
selama
ini
efektif
dipergunakan
harus
mulai
digantikan
dengan
paradigma
e-‐Government.
Setidak-‐tidaknya
ada
8
(delapan)
aspek
yang
membedakan
antara
kedua
buah
paradigma
tersebut,
yaitu
(Haedler
2001
dan
Pellici
2001):
1. Orientation;
2. Process
Organization;
3. Management
Principle;
4. Leadership
Style;
5. Internal
Communication;
6. External
Communication;
7. Mode
of
Service
Delivery;
dan
8. Principles
of
Service
Delivery.
HALAMAN 6 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
ORIENTATION
yang
hemat
biaya
(cost-‐ef�icient)
kepada
masyarakat
dan
mereka
yang
berkepentingan
(stakeholders).
Orientasinya
pada
e�isiensi
karena
bukan
merupakan
rahasia
umum
bahwa
biaya
pemerintahan
diambil
langsung
dari
anggaran
belanja
negara/daerah
yang
terkadang
sangat
kecil
dibandingkan
dengan
volume
dan
frekuensi
produk/pelayanan
yang
harus
diberikan
kepada
masyarakat.
Karena
selalu
menggunakan
ukuran
biaya
sebagai
fokus,
maka
dapat
dimaklumi
jika
banyak
sekali
produk
atau
pelayanan
yang
diberikan
kalangan
birokrat
terkadang
memiliki
kualitas
yang
rendah
dan
cenderung
terkesan
asal-‐asalan.
Di
dalam
e-‐Government,
pemberian
produk
dan
pelayanan
harus
berorientasi
pada
kepuasan
kustomer
(customer
satisfaction
oriented).
Ukuran
keberhasilan
pemberian
produk
dan
pelayanan
dari
pihak
pemerintah
kepada
masyarakat
adalah
jumlah
keluhan
dari
pelanggan
yang
bersangkutan
terhadap
kualitas
produk
dan
pelayanan
yang
diberikan.
Hal
yang
lain
yang
harus
diperhatikan,
karena
berorientasi
kepada
kebutuhan
dan
kepuasan
pelanggan,
maka
produk
maupun
pelayanan
yang
diberikan
pun
harus
dapat
�leksibel
(di
sisi
ekstrim,
setiap
produk
atau
pelayanan
harus
dapat
disesuaikan/tailor-‐made
dengan
kebutuhan
unik
masing-‐masing
individu).
Contoh
lain
aspek
�leksibilitas
adalah
sehubungan
dengan
cara
akses
kepada
pemerintahan.
Kalau
di
dalam
pendekatan
konvensional
masyarakat
yang
harus
datang
ke
birokrat,
di
dalam
e-‐Government
pemerintah
harus
dapat
menjawab
kebutuhan
masyarakat
24
jam
sehari
dan
7
hari
seminggu,
dari
mana
saja
dan
kapan
saja.
PROCESS
ORGANIZATION
Sebagaimana
layaknya
organisasi
birokrat
kebanyakan,
struktur
organisasi
yang
rigid
dan
kaku
merupakan
ciri
khas
mesin
manajemen
pemerintahan.
Dalam
kerangka
ini,
pemerintah
membagi
dirinya
menjadi
departemen-‐departemen
atau
divisi-‐divisi
berdasarkan
spesialisasinya
masing-‐masing
(fungsional)
dimana
di
setiap
departemen
atau
divisi
terkait,
akan
diberlakukan
lagi
struktur
organisasi
yang
disusun
dengan
paradigma
yang
sama.
Tujuan
dibangunnya
mesin
birokrasi
semacam
ini
adalah
agar
kontrol
internal
secara
efektif
dapat
berjalan
dengan
baik.
Dampak
dari
pendekatan
organisasi
seperti
ini
adalah
pembentukan
teritori
pada
masing-‐masing
bagian
sehingga
terkadang
membuat
penyelesaian
serangkaian
pekerjaan
menjadi
lambat
dan
mahal.
Lihatlah
bagaimana
masyarakat
kerap
di-‐“ping-‐pong”
dari
satu
bagian
ke
bagian
yang
lain
jika
yang
bersangkutan
ingin
mendapatkan
pelayanan
tertentu.
Di
dalam
e-‐Government,
fenomena
“ping-‐pong”
semacam
itu
tidak
boleh
terjadi
lagi
karena
akan
sangat
merugikan
masyarakat
dan
mereka
yang
berkepentingan
dengan
pemerintah.
Masyarakat
menuntut
agar
berbagai
proses
pelayanan
yang
diberikan
dari
hari
harus
semakin
baik,
cepat,
dan
murah.
Untuk
keperluan
tersebut,
pemerintah
harus
merombak
ulang
struktur
organisasi
rigid-‐nya
agar
dari
yang
bersifat
fungsional
dapat
mendukung
aktivitas
yang
berbasis
proses.
Jelas
terlihat
di
sini
bahwa
kerja
sama
antara
departemen
(lintas
sektoral)
harus
terjadi.
Di
dalam
e-‐Government,
tuntutan
ini
dapat
menjadi
kenyataan
bila
pemerintah
mengimplementasikan
sistem
jaringan
antar
departemennya
yang
berfungsi
saling
tukar-‐menukar
informasi
melalui
sistem
informasi
(aplikasi)
yang
terintegrasi.
MANAGEMENT
PRINCIPLE
Sistem
manajemen
yang
diterapkan
di
sini
adalah
“management
by
mandate
and
rule”,
artinya
seseorang
baru
akan
bergerak
jika
mendapatkan
mandat
dari
atasannya
yang
biasanya
secara
sah
dinyatakan
dalam
surat
keputusan.
Buruknya
gaya
manajemen
ini
adalah
tidak
beraninya
atau
tidak
maunya
seseorang
karyawan
untuk
bekerja
atau
mengambil
inisiatif
jika
belum
diberikan
perintah
atau
mandat
dari
atasannya.
Hal
ini
menyebabkan
lambatnya
kerja
atau
response
dari
manajemen
di
segala
lini
yang
bermuara
pada
buruknya
pelayanan
yang
diberikan
pada
pelanggan
internal
maupun
eksternal.
Di
dalam
paradigma
e-‐
HALAMAN 7 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
Government,
gaya
manajemen
pemerintahan
harus
lebih
�leksibel
dalam
arti
kata
harus
dapat
selalu
beradaptasi
dengan
berbagai
perubahan
kebutuhan
para
pelanggan,
baik
yang
berasal
dari
kalangan
birokrat
sendiri
(internal)
maupun
dari
luar
lembaga
pemerintahan
(eksternal).
Kunci
sukses
manajemen
dengan
gaya
�leksibel
ini
terletak
pada
kemampuan
para
birokrat
bekerja
secara
tim
(teamwork).
Tim
yang
terdiri
dari
berbagai
sumber
daya
manusia
dari
beragam
struktur
organisasi
ini
bekerja
sama
untuk
menghasilkan
sebuah
rangkaian
produk
atau
pelayanan
yang
baik
dan
berkualitas.
LEADERSHIP
TYPE
Gaya
kepemimpinan
yang
dahulu
terbukti
efektif
di
dalam
mengelola
struktur
organisasi
birokratis
adalah
“command
and
control”
seperti
yang
biasa
diterapkan
pada
organisasi
militer.
Maksudnya
baik,
yaitu
agar
mesin
birokrasi
dipastikan
dapat
berjalan
secara
efektif
sesuai
dengan
pagu
yang
disusun
bersama
(karena
adanya
kontrol
yang
baik
dan
tidak
terjadi
persepsi
yang
salah
karena
semua
pekerjaan
berasal
dari
satu
perintah
atau
rantai
komando).
Namun
kelemahannya
adalah
berkurangnya
potensi
kreativitas
pada
masing-‐masing
sumber
daya
manusia
karena
yang
bersangkutan
hanya
bekerja
berdasarkan
perintah
dari
atasan
semata.
Karena
struktur
organisasi
merupakan
satu-‐satunya
alat
manajemen
yang
dipergunakan
untuk
berkomunikasi,
maka
secara
tidak
langsung
gaya
kepemimpinan
yang
ada
akan
menular
sampai
ke
unit
organisasi
terkecil
yang
ada
pada
struktur.
Dengan
kata
lain,
karena
semua
memiliki
gaya
kepemimpinan
pasif,
maka
sebagai
organisasi
akan
sulit
berkembang
dan
adaptif
terhadap
perubahan
lingkungan.
Menerapkan
e-‐Government
yang
efektif
berarti
memaksa
para
birokrat
untuk
mengubah
gaya
kepemimpinannya.
Idealnya,
mereka
haruslah
seseorang
yang
dapat
menggabungkan
antara
gaya
kepemimpinan
seorang
profesional
dan
seorang
wiraswastawan
(entrepreneurship).
Karena
seluruh
departemen
telah
dihubungkan
melalui
infrastruktur
teknologi
informasi
(data,
aplikasi,
dan
teknologi),
maka
fungsi
pemerintah
menjadi
berubah,
dari
seorang
pemberi
perintah
dan
pengontrol,
menjadi
seorang
fasilitator
dan
koordinator
yang
bekerja
berdasarkan
kebutuhan
atau
tuntutan
pelanggan.
Jika
dahulu
prinsip
kepemimpinan
dibangun
berdasarkan
“the
boss
idea”,
maka
dengan
gaya
kepemimpinan
e-‐Government
yang
harus
diikuti
adalah
“the
best
idea”.
INTERNAL
COMMUNICATION
Proses
komunikasi
yang
terjadi
di
dalam
manajemen
internal
adalah
dengan
mempergunakan
“top-‐down
approach”.
Walaupun
terlihat
bahwa
sekilas
sistem
tersebut
bersifat
netral,
namun
dalam
pelaksanaannya
menghasilkan
efek
psikologis
yang
cenderung
membuat
organisasi
menjadi
kontraproduktif.
Contoh
klasiknya
adalah
ketidakberanian
seorang
anak
buah
untuk
bersikap
yang
bertentangan
dengan
kemauan
atasan
(bahkan
untuk
berbeda
pendapat
pun
terkadang
yang
bersangkutan
tidak
berani),
atau
terbentuknya
suasana
yang
kaku
karena
adanya
hubungan
struktural
antara
atasan
dan
bawahan
(atasan
harus
selalu
dihormati
dan
tidak
boleh
dipersalahkan),
dan
lain
sebagainya.
Karena
tidak
adanya
suasana
demokrasi
yang
cukup
di
dalam
organisasi,
sering
kali
kinerja
institusi
terkait
tergantung
dari
kompetensi
manajemen
puncak
yang
ada
(bukan
terletak
pada
sistem
organisasi).
Jika
manajemen
puncak
ditempati
oleh
orang-‐orang
yang
ahli
dan/atau
capable
di
bidangnya,
maka
cenderung
keputusannya
akan
berkualitas;
namun
jika
manajemen
puncak
ditempati
oleh
mereka
yang
memiliki
kompetensi
dan
keahlian
rendah,
maka
berbagai
keputusan
yang
diambil
akan
cenderung
berdampak
buruk
bagi
kinerja
institusi.
Di
dalam
e-‐Government,
melalui
fasilitas
semacam
email
dan
chatting,
komunikasi
dapat
berlangsung
secara
bebas
dan
intensif
antara
masing-‐masing
individu
maupun
di
dalam
format
kelompok.
Dengan
diinstalasinya
jaringan
komputer
lokal
yang
terhubung
ke
internet,
maka
setiap
individu
di
dalam
pemerintahan
dapat
berkomunikasi
secara
cepat,
langsung,
aman,
dan
murah
ke
berbagai
pihak
yang
berkepentingan
tanpa
harus
mengikuti
garis
komando
yang
ada
pada
struktur
organisasi.
HALAMAN 8 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
EXTERNAL
COMMUNICATION
Seperti
halnya
internal
communication,
external
communication
merupakan
hal
lain
yang
tidak
kalah
pentingnya
untuk
diperhatikan
di
dalam
mengelola
pemerintahan.
Dalam
sistem
birokratis,
hubungan
antar
departemen
atau
antara
pihak
pemerintah
dengan
kalangan
lain
(seperti
swasta,
luar
negeri,
LSM,
organisasi,
partai,
dan
lain
sebagainya)
biasanya
dilakukan
secara
formal,
dengan
mengikuti
prosedur-‐prosedur
baku
baik
korespondensi
maupun
protokoler
yang
berlaku.
Karena
banyaknya
aturan
yang
harus
ditaati,
maka
sangat
terasa
sekali
sulitnya
menjalin
kerja
sama
antara
satu
departemen
dengan
departemen
lainnya.
Tentu
saja
format
tersebut
tidak
bisa
diterapkan
pada
e-‐Government
yang
lebih
mengutamakan
pada
bekerjanya
sebuah
sistem
lintas
sektoral
yang
cepat.
Di
samping
itu,
beragam
kanal
akses
pun
dibutuhkan
untuk
keperluan
komunikasi
agar
para
pengambil
keputusan
dapat
melakukan
hubungan
dengan
mitra
kerjanya
dari
mana
saja
dan
kapan
saja.
Komunikasi
eksternal
secara
cepat
dibutuhkan
agar
berbagai
produk
dan
pelayanan
pemerintah
kepada
masyarakat
yang
sifatnya
lintas
sektoral,
disamping
untuk
mempermulus
jalannya
kerja
sama
dan
menghindari
adanya
pertikaian
karena
saling
“memasuki
teritori”
pihak
lain.
MODE
OF
SERVICE
DELIVERY
Karena
banyak
berhubungan
dengan
hal-‐hal
berbau
administratif,
maka
model
pelayanan
yang
biasa
diberikan
oleh
pemerintah
pasti
melibatkan
sejumlah
dokumen-‐dokumen
penting
(seperti
formulir,
laporan,
dan
lain
sebagainya).
Selain
memakan
biaya
yang
cukup
banyak,
proses
yang
melibatkan
dokumen-‐dokumen
berbasis
kertas
biasanya
memakan
waktu
yang
cukup
banyak,
sehingga
pelayanan
yang
diberikan
cenderung
lambat.
Di
dalam
era
e-‐
Government,
tujuan
akhirnya
adalah
terbentuk
suasana
kerja
yang
paperless/scriptless,
dimana
sejauh
mungkin
penggunaan
kertas
dikurangi
(karena
memakan
biaya
pembuatan
dan
penyimpanannya).
Sehingga
semua
aspek
pelayanan
dan
sumber
daya
yang
dapat
didigitalisasikan
harus
dilakukan
migrasi
dari
sistem
manual
ke
otomatis.
Konsep
virtual
of�ice
(kantor
maya)
juga
akan
diterapkan
di
sini.
Jika
dahulu
sebuah
transaksi
dikatakan
sah
apabila
terdapat
dua
pihak
yang
saling
bertatap
muka
dan
bersepakat,
pada
implementasi
e-‐
Government,
kebutuhan
bertatap
muka
secara
�isik
tidak
perlu
dilakukan
karena
semuanya
dapat
diwakili
dengan
berbagai
produk
teknologi
informasi
yang
canggih.
PRINCIPLES
OF
SERVICE
DELIVERY
Aspek
yang
terakhir
menyangkut
prinsip
yang
dipakai
dalam
memberikan
pelayanan
berbasis
informasi.
Pada
sistem
birokrasi,
semua
jenis
pelanggan
diperlakukan
sama
di
mata
pemerintah,
sehingga
disusunlah
berbagai
standar-‐standar
aturan
baku
yang
harus
dipatuhi
oleh
semua
khalayak.
Seringkali
ditemui
kasus-‐kasus
tertentu
yang
tidak
dapat
dipecahkan
dengan
standarisasi
yang
ada;
namun
masalah
tersebut
tidak
dapat
segera
ditemukan
solusinya,
karena
pemerintah
tidak
mau
bekerja
diluar
mekanisme
standar
yang
telah
disepakati.
Sebaliknya
pada
e-‐Government,
pemerintah
harus
memperlakukan
masing-‐
masing
pelanggannya
sebagai
sebuah
entiti
yang
unik,
dalam
arti
kata
masing-‐masing
memiliki
kebutuhan
yang
spesi�ik.
Sehingga
pelayanan
yang
diberikanpun
harus
dapat
di-‐
tailor-‐made
sesuai
kebutuhan
unik
masing-‐masing
pelanggan.
KESIMPULAN
Jika
dipandang
secara
sungguh-‐sungguh,
esensi
penggabungan
teori
BPR
dan
e-‐Government
memiliki
kesamaan
dengan
tuntutan
reformasi
total
yang
disuarakan
oleh
masyarakat
Indonesia.
Keseluruhan
inisiatif
program
perubahan
tidak
ada
artinya
tanpa
terlebih
dahulu
diawali
dengan
perubahan
paradigma
atau
cara
pandang
akan
peranan
pemerintah
di
era
reformasi,
terutama
terkait
dengan
relasinya
dengan
para
kustomer
utamanya.
Indonesia
baru
hanya
akan
dapat
terwujud
jika
pemerintah
berani
untuk
melakukan
rede�inisi
ulang
HALAMAN 9 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
terhadap
peranannya,
dan
mengambil
langkah-‐langkah
yang
cukup
fundamental
dan
radikal
dalam
memperbaiki
kinerja
aktivitas
organisasinya
sehari-‐hari.
-‐-‐-‐
akhir
dokumen
-‐-‐-‐
HALAMAN 10 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
Penerapan Konsep BPR pada Pemerintahan
oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - [email protected]
EKOJI999 Nomor
248, 14 Mei 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan
teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan permohonan anda melalui alamat email [email protected].
HALAMAN 1 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
PENDAHULUAN
Ketika
untuk
pertama
kalinya
konsep
Business
Process
Reengineering
(BPR)
diperkenalkan
oleh
Michael
Hammer
dan
James
Champy
pada
awal
tahun
1990-‐an,
beribu-‐ribu
perusahaan
berlomba-‐lomba
untuk
menerapkan
paradigma
baru
dalam
memandang
bisnis
tersebut.Hasilnya
cukup
mengejutkan,
dalam
arti
kata
cukup
banyak
perusahaan
yang
pada
akhirnya
berhasil
meningkatkan
kinerjanya
secara
signi�ikan
dan
mentransformasikan
dirinya
menjadi
sebuah
korporasi
kelas
dunia.
Melihat
hal
tersebut,
sejumlah
birokrat
di
negara
maju
mencoba
untuk
menerapkan
konsep
ini
pada
organisasi
pemerintahan
dengan
tujuan
akhir
untuk
meningkatkan
kualitas
kinerja
institusi,
terutama
di
dalam
menghadapi
berbagai
tantangan
pada
era
globalisasi.Dari
hasil
yang
didapatkan
terlihat
bahwa
paradigma
yang
dipergunakan
di
dalam
BPR
merupakan
sebuah
batu
loncatan
efektif
dalam
membantu
pemerintah
dalam
mengimplementasikan
konsep
“electronic
government”
(e-‐Government),
yang
merupakan
sebuah
perwujudan
dari
model
pemerintahan
di
masa
mendatang.
Artikel
ini
memperlihatkan
bagaimana
penerapan
pola
pola
pikir
dalam
teori
BPR
dapat
membantu
pemerintah
dalam
memahami
dan
menjawab
berbagai
tuntutan
perubahan
jaman
dewasa
ini,
terutama
yang
berkaitan
dengan
bagaimana
penerapan
teknologi
informasi
dapat
membantu
pemerintah
Indonesia
dalam
usahanya
untuk
meredi�inisikan
kembali
dirinya
dan
mencoba
untuk
menjadi
salah
satu
agen
perubahan
dalam
menuju
sebuah
negara
moderen.
TANTANGAN
PEMERINTAH
DI
MASA
DEPAN
Globalisasi
merupakan
sebuah
fenomena
dimana
negara-‐negara
di
dunia
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
mengharapkan
terjadinya
sebuah
interaksi
antar
masyarakat
yang
jauh
lebih
efektif
dan
e�isien
dibandingkan
dengan
saat-‐saat
sebelumnya
(Douglas,
2001).
Di
dalam
format
ini,
proses
interaksi
dan
komunikasi
antar
negara-‐negara
di
dunia
akan
jauh
lebih
intens
dibandingkan
dengan
apa
yang
selama
ini
pernah
terjadi.
Adalah
merupakan
suatu
kenyataan
bahwa
globalisasi
telah
membuka
isolasi
batasan
antar
negara
yang
selama
ini
berlaku
-‐
terutama
untuk
hal-‐hal
yang
berhubungan
dengan
politik,
ekonomi,
sosial,
budaya,
dan
hukum.
Seperti
layaknya
dua
sisi
pada
mata
uang,
fenomena
globalisasi
menjanjikan
sebuah
lingkungan
dan
suasana
kehidupan
bermasyarakat
yang
jauh
lebih
baik;
sementara
di
sisi
lain,
terdapat
pula
potensi
terjadinya
chaos
jika
perubahan
ini
tidak
dikelola
dan
dijalani
secara
baik.
Karena
pada
suatu
titik
ekstrem
seorang
individu
di
sebuah
negara
dapat
melakukan
apa
saja
yang
dikehendakinya
(misalnya
berdagang,
bermitra,
berkolaborasi,
berbuat
kejahatan,
berkolusi,
dan
lain-‐lain)
dengan
individu
yang
berada
di
negara
lain,
maka
jelas
bahwa
kehidupan
masyarakat
harus
dapat
terlebih
dahulu
ditata
dengan
baik
di
dalam
sebuah
sistem
yang
menjamin
bahwa
negara
yang
bersangkutan
akan
memperoleh
manfaat
yang
besar
di
dalam
lingkungan
global,
bukan
sebaliknya
(Indrajit,
2001).
Visi
pemerintah
sebuah
negara
selain
memiliki
dimensi
internal
(cita-‐cita
bangsa
yang
bersangkutan)
tidak
dapat
pula
dilepaskan
dari
sejumlah
aspek
eksternal,
terutama
yang
berkaitan
dengan
tuntutan
pemenuhan
berbagai
aspek
relasi
antar
negara
dan
antar
anggota
masyarakatnya.
Adalah
merupakan
suatu
fakta
bahwa
terdapat
desakan
dari
negara-‐negara
besar
yang
mengharuskan
setiap
negara
di
dunia
untuk
menjamin
terselenggaranya
berbagai
isu
penting
semacam
demokratisasi,
hak
asasi
manusia,
kepastian
hukum,
pencegahan
korupsi,
transparansi
bisnis,
dan
lain
sebagainya
agar
negara
yang
bersangkutan
tidak
ingin
dikucilkan
dari
pergaulan
dunia
(Leer,
1999).
Dalam
format
ini
pemerintah
di
sebuah
negara
diminta
untuk
lebih
responsif
terhadap
berbagai
permintaan
masyarakatnya,
terutama
mereka
yang
aktivitas
sehari-‐harinya
memiliki
ketergantungan
yang
tinggi
dengan
birokrasi
pemerintahan.
Jika
dahulu
sebuah
pemerintah
terkenal
dengan
birokrasinya
yang
sangat
lambat,
boros,
dan
sangat
fungsional,
maka
masyarakat
saat
ini
membutuhkan
sebuah
kinerja
pemerintah
yang
cepat,
murah,
dan
HALAMAN 2 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
berorientasi
pada
proses
agar
dapat
memberikan
dukungan
yang
signi�ikan
dan
kompetitif
bagi
para
mereka
yang
dilayaninya
(individu,
komunitas
bisnis,
masyarakat,
dan
stakeholder
yang
lain).
Tentu
saja
merubah
paradigma
tersebut
bukanlah
merupakan
suatu
hal
yang
mudah.
Namun
di
sisi
lain
perubahan
merupakan
suatu
keharusan,
bukan
pilihan
(ICGFM,
20010).
Dan
bagi
siapa
yang
dapat
melakukan
perubahan
secara
cepat,
akan
semakin
diuntungkan
karena
selain
dapat
beradaptasi
dengan
lingkungan
yang
baru,
yang
bersangkutan
dapat
menjadi
pemain
kunci
dalam
mekanisme
global
tersebut.
MEMAHAMI
KONSEP
BPR
Ada
dua
hal
utama
yang
kerap
mengawali
berbagai
usaha
perubahan.
Pertanyaan
pertama
berkaitan
dengan
derajat
perubahan
yang
diinginkan,
sementara
pertanyaan
kedua
berkisar
pada
dari
sisi
mana
inisiatif
perubahan
harus
dimulai
(Champy,
1995).
Untuk
menjawab
pertanyaan
pertama,
ada
baiknya
dilihat
sejumlah
teori
perubahan
pada
organisasi
yang
telah
dikenal
luas.
Secara
teori,
spektrum
jenis
perubahan
dapat
diklasi�ikasikan
menjadi
tiga
kelompok
besar,
yang
diklasi�ikasikan
berdasarkan
parameter,
yaitu
frekuensi
aplikasi
perubahan
dan
dampak
yang
diharapkan
dari
inisiatif
perubahan
(Tenner,
1996):
Sumber:
Arthur
Tenner
et.al.,
1997
Continuous
Improvement
–
perubahan
yang
dilakukan
secara
perlahan-‐lahan
dan
kontinyu,
dimana
hasilnya
berupa
perbaikan
kinerja
secara
inkremental;
Leapfrogging
–
perubahan
yang
dilakukan
secara
bertahap
dengan
mengikuti
periode
tertentu,
dimana
menghasilkan
perbaikan
kinerja
yang
cukup
signi�ikan
pada
sektor
tertentu;
dan
Reengineering
–
perubahan
yang
dilakukan
sesekali
namun
sanggup
menghasilkan
sebuah
perbaikan
kinerja
yang
sangat
signi�ikan.
Bagi
negara
berkembang
seperti
Indonesia,
yang
secara
relatif
semakin
terpuruk
posisinya
karena
krisis
yang
berkepanjangan,
memilih
pendekatan
perubahan
yang
pertama
dan
kedua
tentu
saja
tidak
akan
memberikan
pengaruh
yang
berarti.
Oleh
karena
itu
tidak
ada
jalan
lain,
jika
pemerintah
dan
segenap
masyarakat
secara
serius
ingin
meningkatkan
keunggulan
kompetitif
Indonesia
secara
cepat,
maka
ada
baiknya
metode
pendekatan
”Reengineering”
dipelajari
dan
dicoba
dicari
jalan
penerapannya.
HALAMAN 3 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
BPR
merupakan
salah
satu
metodologi
yang
di
dalam
klasi�ikasi
terkait.
Secara
de�inisi,
BPR
memiliki
empat
buah
karakteristik
utama,
yaitu
(Hammer,
1993):
Hasil
perubahan
yang
diharapkan
bersifat
dramatis
(sangat
signi�ikan);
Paradigma
perubahan
dihasilkan
dari
pemikiran
yang
bersifat
fundamental
(sangat
mendasar);
Perancangan
lingkungan
yang
baru
dihasilkan
melalui
ide-‐ide
radikal;
dan
Fokus
perubahan
yang
diarahkan
pada
perbaikan
proses.
Keempat
aspek
utama
ini
secara
logika
memiliki
keterkaitan
sebagai
berikut.
Sebuah
hasil
perubahan
yang
dramatis
hanya
akan
lahir
dari
adanya
pemikiran-‐pemikiran
yang
bersifat
sangat
mendasar,
dimana
didalamnya
akan
mengandung
sejumlah
ide-‐ide
perubahan
yang
bersifat
radikal.
Karena
sebuah
organisasi
pada
dasarnya
merupakan
kumpulan
dari
orang-‐
orang
dalam
sebuah
struktur
untuk
menjalankan
aktivitas
tertentu,
maka
subyek
utama
perubahan
yang
tepat
adalah
pada
dasarnya
memperbaiki
kinerja
proses
terkait
yang
ada.
TEKNIK
MEMULAI
PERUBAHAN
Pertanyaan
kedua
menyangkut
dari
sisi
mana
sebuah
inisiatif
perubahan
harus
dimulai,
dijawab
secara
jelas
melalui
metodologi
baku
BPR.
Menurut
metodologi,
langkah
pertama
dan
utama
yang
harus
dilakukan
adalah
menentukan
siapa
saja
sebenarnya
”customer”
(baca:
kustomer)
dari
pemerintah
(Dorine,
1994).
Hal
ini
perlu
diperhatikan
secara
sungguh-‐
sungguh
karena
pada
dasarnya
keberadaan
organisasi
pemerintahan
adalah
menjalankan
sejumlah
rangkaian
proses
untuk
melayani
berbagai
kustomer
yang
berbeda-‐beda.
Secara
umum,
kustomer
besar
dari
sebuah
organisasi
pemerintahan
dapat
dikelompokkan
menjadi
beberapa
kategori
sebagai
berikut:
Masyarakat
–
yang
merupakan
kumpulan
dari
individu,
kelompok,
atau
komunitas
tertentu
yang
sehari-‐harinya
membutuhkan
sejumlah
pelayanan
tertentu
dari
pemerintahnya
untuk
kebutuhan
aktivitas
sehari-‐hari;
Pelaku
Bisnis
(Industri)
–
yang
merupakan
sekelompok
perusahaan
dan/atau
organisasi
komersial
yang
sehari-‐harinya
melakukan
kegiatan
pertukaran
barang
dan
jasa
untuk
menggerakkan
roda
perekonomian
nasional;
Organisasi
–
yang
merupakan
kumpulan
dari
orang-‐orang
yang
memiliki
misi
tertentu
dalam
sebuah
kerangka
bernegara,
seperti
misalnya:
LSM,
partai
politik,
yayasan,
perhimpunan,
perguruan
tinggi,
dan
lain
sebagainya;
dan
Institusi
Pemerintah
Lain
–
yang
merupakan
mitra
kerja
dari
sebuah
organisasi
pemerintahan
karena
adanya
unsur
keterkaitan
dalam
proses.
Pada
dasarnya
keempat
kustomer
ini
memiliki
obyektif
yang
berbeda
dalam
hubungannya
berinteraksi
dengan
pemerintahan.
Kelompok
masyarakat
membutuhkan
berbagai
pelayanan
pemerintah
yang
berkaitan
dengan
keberadaannya
sebagai
seorang
penduduk
atau
warganegara,
seperti
misalnya
menyangkut
proses-‐proses
berhubungan
dengan:
pembuatan
KTP,
perpanjangan
STNK,
kepemilikan
harta
benda,
permasahalan
hukum,
dan
lain
sebagainya.
Kelompok
pelaku
bisnis
membutuhkan
keterlibatan
pemerintah
sehubungan
dengan
proses-‐proses
seperti:
transaksi
jual
beli,
pembayaran
pajak,
administrasi
ekspor-‐
impor,
pengurusan
imigrasi,
dan
lain
sebagainya.
Kelompok
organisasi
di
lain
pihak
membutuhkan
keterlibatan
pemerintah
dalam
sejumlah
proses
berkaitan
dengan:
pendirian
organisasi,
eksekusi
kegiatan
komunitas,
penjaminan
pencapaian
misi,
penggunaan
sumber
daya,
dan
lain
sebagainya.
Sementara
institusi
pemerintahan
lain
perlu
melakukan
sejumlah
HALAMAN 4 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
koordinasi
dan
komunikasi
dengan
berbagai
lembaga
pemerintahan
yang
ada
untuk
menjalankan
berbagai
proses
yang
bersifat
lintas
sektoral.
PEMETAAN
DAN
PENGKAJIAN
PROSES
Setelah
mende�inisikan
kustomer,
langkah
selanjutnya
yang
perlu
dilakukan
adalah
melakukan
pemetaan
terhadap
seluruh
proses
yang
dilakukan
oleh
institusi
pemerintah
terkait,
terutama
yang
berkaitan
dengan
berbagai
pelayanan
yang
dibutuhkan
oleh
sejumlah
stakeholder
terkait.
Tujuan
dilakukannya
pemetaan
ini
adalah
sebagai
berikut
(Hunt,
1996):
§
§
§
Mendapatkan
gambaran
secara
keseluruhan
bagaimana
beragam
proses
di
dalam
organisasi
pemerintahan
saling
terkait
dan
berjalan
selama
ini;
Memudahkan
penemuan
dan
pengkajian
terhadap
sejumlah
sub-‐proses
yang
dianggap
kinerjanya
rendah
untuk
kemudian
dicari
akar
penyebabnya;
dan
Membantu
mencari
jalan
keluar
dalam
proses
perubahan
desain
proses
agar
menghasilkan
suatu
kinerja
perubahan
yang
signi�ikan.
Agar
proses
pemetaan
dan
pengkajian
dapat
dilakukan
secara
mudah
dan
cepat,
banyak
sekali
perangkat
lunak
(software)
yang
dapat
dipergunakan,
seperti
misalnya:
Extend
(Imagine
That
Inc.),
WITNESS
Simulation
(AT&T),
SIMPROCESS
(CACI
Products
Coy),
ITHINK
(Performance
Systems
Inc.),
dan
lain-‐lain
(ImagineThat,
1995).
PERANCANGAN
PROSES
BARU
Di
mata
kustomer,
kinerja
pemerintah
dalam
hal
melayani
publik
akan
dianggap
membaik
jika
dari
waktu
ke
waktu
sejumlah
proses
pelayanan
terlihat
semakin
bertambah
baik,
bertambah
murah,
dan
bertambah
cepat.
Untuk
menghasilkan
proses
yang
diinginkan
tersebut,
ada
4
(empat)
hal
yang
harus
dilakukan
oleh
pemerintah
sehubungan
dengan
proses
yang
terjadi
di
sejumlah
organisasinya,
masing-‐masing
adalah
(Hammer,
1996):
Sumber:
Extend
Software
Inc.,
1998
Eliminasi
-‐
berupa
penghilangan
atau
pemangkasan
proses-‐proses
yang
sebenarnya
tidak
perlu
untuk
dilakukan;
Simpli�ikasi
–
berupa
penyederhanaan
rangkaian
proses
yang
sebenarnya
dapat
diperingkas
atau
diperpendek;
Integrasi
–
berupa
penggabungan
beberapa
proses
yang
sebenarnya
dapat
dilakukan
sekaligus
secara
bersamaan
(simultan);
dan
HALAMAN 5 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
Otomatisasi
–
berupa
pengalihan
proses
dari
yang
biasa
dikerjakan
oleh
manusia
menjadi
kegiatan
yang
dapat
dijalankan
oleh
teknologi.
Berdasarkan
pengalaman
dari
negara-‐negara
maju,
dan
juga
sejumlah
negara
tetangga
Indonesia
–
seperti
Malaysia,
Singapura,
Taiwan,
Hongkong,
dan
Korea
–
teknologi
informasi
(perpaduan
antara
teknologi
komputer
dan
telekomunikasi)
ternyata
mampu
untuk
melakukan
keempat
strategi
peningkatan
kinerja
proses
tersebut
(Ho,
2000).
Ada
dua
jenis
pendekatan
perancangan
proses
baru
yang
dapat
dilakukan.
Pendekatan
pertama
adalah
dengan
cara
mengkaji
peta
proses
yang
dikerjakan
pada
saat
ini,
kemudian
masing-‐masing
sub-‐proses
tersebut
dilihat
kemungkinannya
untuk
dilakukan
eliminasi,
simpli�ikasi,
integrasi,
dan
otomatisasi
melalui
pemanfaatan
teknologi
informasi
yang
ada.
Sementara
pendekatan
kedua
adalah
dengan
melakukan
perbandingan
(benchmarking)
terhadap
apa
yang
telah
dilakukan
oleh
pemerintah
negara
lain
sehubungan
dengan
proses
serupa,
dan
mencoba
untuk
menerapkannya
di
Indonesia
(biasanya
akan
dipilih
proses
yang
terbaik
dari
hasil
perbandingan,
atau
yang
kerap
dikenal
dengan
istilah
”best
practices”).
Jika
kedua
pendekatan
ini
dilakukan
–
baik
secara
terpisah
maupun
bersama-‐sama
–
makan
akan
dijamin
terjadinya
sebuah
perbaikan
kinerja
proses
yang
cukup
signi�ikan.
Bahkan
secara
prinsip,
perancangan
proses
baru
dengan
memanfaatkan
teknologi
informasi
ini
akan
merupakan
sebuah
cikal
bakal
atau
embrio
dari
lahirnya
sebuah
konsep
”Electronic
Government”
(e-‐Government)
di
Indonesia,
yang
oleh
Bank
Dunia
dide�inisikan
sebagai
(Belt,
2001):
“E-‐Government
refers
to
the
use
by
government
agencies
of
information
technologies
that
have
the
ability
to
transform
relations
with
citizens,
businesses,
and
other
arms
of
government.”
Pemahaman
yang
utuh
dan
lengkap
mengenai
konsep
e-‐Government
dan
penerapan
strategi
perampingan
proses
melalui
metodologi
BPR
secara
tidak
langsung
akan
membawa
pemerintah
kepada
tantangan
perubahan
paradigma
secara
mendasar
dan
radikal
yang
perlu
untuk
dipertimbangkan.
PERUBAHAN
PARADIGMA
Dalam
kerangka
perubahan
tersebut,
paradigma
birokrat
yang
selama
ini
efektif
dipergunakan
harus
mulai
digantikan
dengan
paradigma
e-‐Government.
Setidak-‐tidaknya
ada
8
(delapan)
aspek
yang
membedakan
antara
kedua
buah
paradigma
tersebut,
yaitu
(Haedler
2001
dan
Pellici
2001):
1. Orientation;
2. Process
Organization;
3. Management
Principle;
4. Leadership
Style;
5. Internal
Communication;
6. External
Communication;
7. Mode
of
Service
Delivery;
dan
8. Principles
of
Service
Delivery.
HALAMAN 6 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
ORIENTATION
yang
hemat
biaya
(cost-‐ef�icient)
kepada
masyarakat
dan
mereka
yang
berkepentingan
(stakeholders).
Orientasinya
pada
e�isiensi
karena
bukan
merupakan
rahasia
umum
bahwa
biaya
pemerintahan
diambil
langsung
dari
anggaran
belanja
negara/daerah
yang
terkadang
sangat
kecil
dibandingkan
dengan
volume
dan
frekuensi
produk/pelayanan
yang
harus
diberikan
kepada
masyarakat.
Karena
selalu
menggunakan
ukuran
biaya
sebagai
fokus,
maka
dapat
dimaklumi
jika
banyak
sekali
produk
atau
pelayanan
yang
diberikan
kalangan
birokrat
terkadang
memiliki
kualitas
yang
rendah
dan
cenderung
terkesan
asal-‐asalan.
Di
dalam
e-‐Government,
pemberian
produk
dan
pelayanan
harus
berorientasi
pada
kepuasan
kustomer
(customer
satisfaction
oriented).
Ukuran
keberhasilan
pemberian
produk
dan
pelayanan
dari
pihak
pemerintah
kepada
masyarakat
adalah
jumlah
keluhan
dari
pelanggan
yang
bersangkutan
terhadap
kualitas
produk
dan
pelayanan
yang
diberikan.
Hal
yang
lain
yang
harus
diperhatikan,
karena
berorientasi
kepada
kebutuhan
dan
kepuasan
pelanggan,
maka
produk
maupun
pelayanan
yang
diberikan
pun
harus
dapat
�leksibel
(di
sisi
ekstrim,
setiap
produk
atau
pelayanan
harus
dapat
disesuaikan/tailor-‐made
dengan
kebutuhan
unik
masing-‐masing
individu).
Contoh
lain
aspek
�leksibilitas
adalah
sehubungan
dengan
cara
akses
kepada
pemerintahan.
Kalau
di
dalam
pendekatan
konvensional
masyarakat
yang
harus
datang
ke
birokrat,
di
dalam
e-‐Government
pemerintah
harus
dapat
menjawab
kebutuhan
masyarakat
24
jam
sehari
dan
7
hari
seminggu,
dari
mana
saja
dan
kapan
saja.
PROCESS
ORGANIZATION
Sebagaimana
layaknya
organisasi
birokrat
kebanyakan,
struktur
organisasi
yang
rigid
dan
kaku
merupakan
ciri
khas
mesin
manajemen
pemerintahan.
Dalam
kerangka
ini,
pemerintah
membagi
dirinya
menjadi
departemen-‐departemen
atau
divisi-‐divisi
berdasarkan
spesialisasinya
masing-‐masing
(fungsional)
dimana
di
setiap
departemen
atau
divisi
terkait,
akan
diberlakukan
lagi
struktur
organisasi
yang
disusun
dengan
paradigma
yang
sama.
Tujuan
dibangunnya
mesin
birokrasi
semacam
ini
adalah
agar
kontrol
internal
secara
efektif
dapat
berjalan
dengan
baik.
Dampak
dari
pendekatan
organisasi
seperti
ini
adalah
pembentukan
teritori
pada
masing-‐masing
bagian
sehingga
terkadang
membuat
penyelesaian
serangkaian
pekerjaan
menjadi
lambat
dan
mahal.
Lihatlah
bagaimana
masyarakat
kerap
di-‐“ping-‐pong”
dari
satu
bagian
ke
bagian
yang
lain
jika
yang
bersangkutan
ingin
mendapatkan
pelayanan
tertentu.
Di
dalam
e-‐Government,
fenomena
“ping-‐pong”
semacam
itu
tidak
boleh
terjadi
lagi
karena
akan
sangat
merugikan
masyarakat
dan
mereka
yang
berkepentingan
dengan
pemerintah.
Masyarakat
menuntut
agar
berbagai
proses
pelayanan
yang
diberikan
dari
hari
harus
semakin
baik,
cepat,
dan
murah.
Untuk
keperluan
tersebut,
pemerintah
harus
merombak
ulang
struktur
organisasi
rigid-‐nya
agar
dari
yang
bersifat
fungsional
dapat
mendukung
aktivitas
yang
berbasis
proses.
Jelas
terlihat
di
sini
bahwa
kerja
sama
antara
departemen
(lintas
sektoral)
harus
terjadi.
Di
dalam
e-‐Government,
tuntutan
ini
dapat
menjadi
kenyataan
bila
pemerintah
mengimplementasikan
sistem
jaringan
antar
departemennya
yang
berfungsi
saling
tukar-‐menukar
informasi
melalui
sistem
informasi
(aplikasi)
yang
terintegrasi.
MANAGEMENT
PRINCIPLE
Sistem
manajemen
yang
diterapkan
di
sini
adalah
“management
by
mandate
and
rule”,
artinya
seseorang
baru
akan
bergerak
jika
mendapatkan
mandat
dari
atasannya
yang
biasanya
secara
sah
dinyatakan
dalam
surat
keputusan.
Buruknya
gaya
manajemen
ini
adalah
tidak
beraninya
atau
tidak
maunya
seseorang
karyawan
untuk
bekerja
atau
mengambil
inisiatif
jika
belum
diberikan
perintah
atau
mandat
dari
atasannya.
Hal
ini
menyebabkan
lambatnya
kerja
atau
response
dari
manajemen
di
segala
lini
yang
bermuara
pada
buruknya
pelayanan
yang
diberikan
pada
pelanggan
internal
maupun
eksternal.
Di
dalam
paradigma
e-‐
HALAMAN 7 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
Government,
gaya
manajemen
pemerintahan
harus
lebih
�leksibel
dalam
arti
kata
harus
dapat
selalu
beradaptasi
dengan
berbagai
perubahan
kebutuhan
para
pelanggan,
baik
yang
berasal
dari
kalangan
birokrat
sendiri
(internal)
maupun
dari
luar
lembaga
pemerintahan
(eksternal).
Kunci
sukses
manajemen
dengan
gaya
�leksibel
ini
terletak
pada
kemampuan
para
birokrat
bekerja
secara
tim
(teamwork).
Tim
yang
terdiri
dari
berbagai
sumber
daya
manusia
dari
beragam
struktur
organisasi
ini
bekerja
sama
untuk
menghasilkan
sebuah
rangkaian
produk
atau
pelayanan
yang
baik
dan
berkualitas.
LEADERSHIP
TYPE
Gaya
kepemimpinan
yang
dahulu
terbukti
efektif
di
dalam
mengelola
struktur
organisasi
birokratis
adalah
“command
and
control”
seperti
yang
biasa
diterapkan
pada
organisasi
militer.
Maksudnya
baik,
yaitu
agar
mesin
birokrasi
dipastikan
dapat
berjalan
secara
efektif
sesuai
dengan
pagu
yang
disusun
bersama
(karena
adanya
kontrol
yang
baik
dan
tidak
terjadi
persepsi
yang
salah
karena
semua
pekerjaan
berasal
dari
satu
perintah
atau
rantai
komando).
Namun
kelemahannya
adalah
berkurangnya
potensi
kreativitas
pada
masing-‐masing
sumber
daya
manusia
karena
yang
bersangkutan
hanya
bekerja
berdasarkan
perintah
dari
atasan
semata.
Karena
struktur
organisasi
merupakan
satu-‐satunya
alat
manajemen
yang
dipergunakan
untuk
berkomunikasi,
maka
secara
tidak
langsung
gaya
kepemimpinan
yang
ada
akan
menular
sampai
ke
unit
organisasi
terkecil
yang
ada
pada
struktur.
Dengan
kata
lain,
karena
semua
memiliki
gaya
kepemimpinan
pasif,
maka
sebagai
organisasi
akan
sulit
berkembang
dan
adaptif
terhadap
perubahan
lingkungan.
Menerapkan
e-‐Government
yang
efektif
berarti
memaksa
para
birokrat
untuk
mengubah
gaya
kepemimpinannya.
Idealnya,
mereka
haruslah
seseorang
yang
dapat
menggabungkan
antara
gaya
kepemimpinan
seorang
profesional
dan
seorang
wiraswastawan
(entrepreneurship).
Karena
seluruh
departemen
telah
dihubungkan
melalui
infrastruktur
teknologi
informasi
(data,
aplikasi,
dan
teknologi),
maka
fungsi
pemerintah
menjadi
berubah,
dari
seorang
pemberi
perintah
dan
pengontrol,
menjadi
seorang
fasilitator
dan
koordinator
yang
bekerja
berdasarkan
kebutuhan
atau
tuntutan
pelanggan.
Jika
dahulu
prinsip
kepemimpinan
dibangun
berdasarkan
“the
boss
idea”,
maka
dengan
gaya
kepemimpinan
e-‐Government
yang
harus
diikuti
adalah
“the
best
idea”.
INTERNAL
COMMUNICATION
Proses
komunikasi
yang
terjadi
di
dalam
manajemen
internal
adalah
dengan
mempergunakan
“top-‐down
approach”.
Walaupun
terlihat
bahwa
sekilas
sistem
tersebut
bersifat
netral,
namun
dalam
pelaksanaannya
menghasilkan
efek
psikologis
yang
cenderung
membuat
organisasi
menjadi
kontraproduktif.
Contoh
klasiknya
adalah
ketidakberanian
seorang
anak
buah
untuk
bersikap
yang
bertentangan
dengan
kemauan
atasan
(bahkan
untuk
berbeda
pendapat
pun
terkadang
yang
bersangkutan
tidak
berani),
atau
terbentuknya
suasana
yang
kaku
karena
adanya
hubungan
struktural
antara
atasan
dan
bawahan
(atasan
harus
selalu
dihormati
dan
tidak
boleh
dipersalahkan),
dan
lain
sebagainya.
Karena
tidak
adanya
suasana
demokrasi
yang
cukup
di
dalam
organisasi,
sering
kali
kinerja
institusi
terkait
tergantung
dari
kompetensi
manajemen
puncak
yang
ada
(bukan
terletak
pada
sistem
organisasi).
Jika
manajemen
puncak
ditempati
oleh
orang-‐orang
yang
ahli
dan/atau
capable
di
bidangnya,
maka
cenderung
keputusannya
akan
berkualitas;
namun
jika
manajemen
puncak
ditempati
oleh
mereka
yang
memiliki
kompetensi
dan
keahlian
rendah,
maka
berbagai
keputusan
yang
diambil
akan
cenderung
berdampak
buruk
bagi
kinerja
institusi.
Di
dalam
e-‐Government,
melalui
fasilitas
semacam
dan
chatting,
komunikasi
dapat
berlangsung
secara
bebas
dan
intensif
antara
masing-‐masing
individu
maupun
di
dalam
format
kelompok.
Dengan
diinstalasinya
jaringan
komputer
lokal
yang
terhubung
ke
internet,
maka
setiap
individu
di
dalam
pemerintahan
dapat
berkomunikasi
secara
cepat,
langsung,
aman,
dan
murah
ke
berbagai
pihak
yang
berkepentingan
tanpa
harus
mengikuti
garis
komando
yang
ada
pada
struktur
organisasi.
HALAMAN 8 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
EXTERNAL
COMMUNICATION
Seperti
halnya
internal
communication,
external
communication
merupakan
hal
lain
yang
tidak
kalah
pentingnya
untuk
diperhatikan
di
dalam
mengelola
pemerintahan.
Dalam
sistem
birokratis,
hubungan
antar
departemen
atau
antara
pihak
pemerintah
dengan
kalangan
lain
(seperti
swasta,
luar
negeri,
LSM,
organisasi,
partai,
dan
lain
sebagainya)
biasanya
dilakukan
secara
formal,
dengan
mengikuti
prosedur-‐prosedur
baku
baik
korespondensi
maupun
protokoler
yang
berlaku.
Karena
banyaknya
aturan
yang
harus
ditaati,
maka
sangat
terasa
sekali
sulitnya
menjalin
kerja
sama
antara
satu
departemen
dengan
departemen
lainnya.
Tentu
saja
format
tersebut
tidak
bisa
diterapkan
pada
e-‐Government
yang
lebih
mengutamakan
pada
bekerjanya
sebuah
sistem
lintas
sektoral
yang
cepat.
Di
samping
itu,
beragam
kanal
akses
pun
dibutuhkan
untuk
keperluan
komunikasi
agar
para
pengambil
keputusan
dapat
melakukan
hubungan
dengan
mitra
kerjanya
dari
mana
saja
dan
kapan
saja.
Komunikasi
eksternal
secara
cepat
dibutuhkan
agar
berbagai
produk
dan
pelayanan
pemerintah
kepada
masyarakat
yang
sifatnya
lintas
sektoral,
disamping
untuk
mempermulus
jalannya
kerja
sama
dan
menghindari
adanya
pertikaian
karena
saling
“memasuki
teritori”
pihak
lain.
MODE
OF
SERVICE
DELIVERY
Karena
banyak
berhubungan
dengan
hal-‐hal
berbau
administratif,
maka
model
pelayanan
yang
biasa
diberikan
oleh
pemerintah
pasti
melibatkan
sejumlah
dokumen-‐dokumen
penting
(seperti
formulir,
laporan,
dan
lain
sebagainya).
Selain
memakan
biaya
yang
cukup
banyak,
proses
yang
melibatkan
dokumen-‐dokumen
berbasis
kertas
biasanya
memakan
waktu
yang
cukup
banyak,
sehingga
pelayanan
yang
diberikan
cenderung
lambat.
Di
dalam
era
e-‐
Government,
tujuan
akhirnya
adalah
terbentuk
suasana
kerja
yang
paperless/scriptless,
dimana
sejauh
mungkin
penggunaan
kertas
dikurangi
(karena
memakan
biaya
pembuatan
dan
penyimpanannya).
Sehingga
semua
aspek
pelayanan
dan
sumber
daya
yang
dapat
didigitalisasikan
harus
dilakukan
migrasi
dari
sistem
manual
ke
otomatis.
Konsep
virtual
of�ice
(kantor
maya)
juga
akan
diterapkan
di
sini.
Jika
dahulu
sebuah
transaksi
dikatakan
sah
apabila
terdapat
dua
pihak
yang
saling
bertatap
muka
dan
bersepakat,
pada
implementasi
e-‐
Government,
kebutuhan
bertatap
muka
secara
�isik
tidak
perlu
dilakukan
karena
semuanya
dapat
diwakili
dengan
berbagai
produk
teknologi
informasi
yang
canggih.
PRINCIPLES
OF
SERVICE
DELIVERY
Aspek
yang
terakhir
menyangkut
prinsip
yang
dipakai
dalam
memberikan
pelayanan
berbasis
informasi.
Pada
sistem
birokrasi,
semua
jenis
pelanggan
diperlakukan
sama
di
mata
pemerintah,
sehingga
disusunlah
berbagai
standar-‐standar
aturan
baku
yang
harus
dipatuhi
oleh
semua
khalayak.
Seringkali
ditemui
kasus-‐kasus
tertentu
yang
tidak
dapat
dipecahkan
dengan
standarisasi
yang
ada;
namun
masalah
tersebut
tidak
dapat
segera
ditemukan
solusinya,
karena
pemerintah
tidak
mau
bekerja
diluar
mekanisme
standar
yang
telah
disepakati.
Sebaliknya
pada
e-‐Government,
pemerintah
harus
memperlakukan
masing-‐
masing
pelanggannya
sebagai
sebuah
entiti
yang
unik,
dalam
arti
kata
masing-‐masing
memiliki
kebutuhan
yang
spesi�ik.
Sehingga
pelayanan
yang
diberikanpun
harus
dapat
di-‐
tailor-‐made
sesuai
kebutuhan
unik
masing-‐masing
pelanggan.
KESIMPULAN
Jika
dipandang
secara
sungguh-‐sungguh,
esensi
penggabungan
teori
BPR
dan
e-‐Government
memiliki
kesamaan
dengan
tuntutan
reformasi
total
yang
disuarakan
oleh
masyarakat
Indonesia.
Keseluruhan
inisiatif
program
perubahan
tidak
ada
artinya
tanpa
terlebih
dahulu
diawali
dengan
perubahan
paradigma
atau
cara
pandang
akan
peranan
pemerintah
di
era
reformasi,
terutama
terkait
dengan
relasinya
dengan
para
kustomer
utamanya.
Indonesia
baru
hanya
akan
dapat
terwujud
jika
pemerintah
berani
untuk
melakukan
rede�inisi
ulang
HALAMAN 9 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI
PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
terhadap
peranannya,
dan
mengambil
langkah-‐langkah
yang
cukup
fundamental
dan
radikal
dalam
memperbaiki
kinerja
aktivitas
organisasinya
sehari-‐hari.
-‐-‐-‐
akhir
dokumen
-‐-‐-‐
HALAMAN 10 DARI 10
(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013