Relevansi Pendidikan Dan Kewarganegaraan den

Relevansi Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pendidikan Damai dalam
membangun Warganegara Demokratis di Sekolah
Candra Cuga1
Abstrak
Relevansi pendidikan damaia (peace education) dengan pendidikan
kewarganeraraan (civic education) ditinjau dari sisi urgensinya, yaitu
keduanya memiliki komitmen dalam menyiapkan peserta didik menjadi warga
negara yang (good and smart citizen) yang nantinya berperan sebagai agen
perdamaiaan dimuka bumi dengan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan. Sementara secara konseptual, relevansi pendidikan damai dengan
pendidikan kewarganegaraan, ditinjau dari dimensi tujuan, dimensi
kurikulum, dimensi materi, dan dimensi pembelajaran, keduanya sama-sama
memiliki hubungan yang berkesinambungan,yaitu menumbuhkan sikap
mencegah kekerasan, menyelesaikan konflik secara damai, dan memajukan
kondisi yang kondusif untuk terwujudnya perdamaiaan yang pada gilirannya
membentuk warga negara demokratis.
A. Urgensi Pendidikan Damai (Peace Education)
Dalam masyarakat Indonesia, konflik yang berbau kekerasan menjadi sebuah
fenomena yang akrab dijumpai oleh masayarakat. Kekerasan menjadi sebuah
keniscayaan yang secara sadar atau tidak akan selalu menggerayangi dan
mengahantui masyarakat. Kekerasan ada di sekitar rumah, lingkungan sekitar

bahhkan di berbegai tempat, termasuk dalam lingkungan pendidikan
Fenomena kekerasan di masyarakat terus bergulir meski UU Perlindungan
Anak No. 23 Tahun 2003 telah dilahirkan dan kata damai dan aman juga terus
membanjir dari pendidik, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah. Dalam
praktik kekerasan itu, korban paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan
psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa.
(Ariyani, F, dkk. 2010). Itu berarti anak-anak dalam dunia pendidikan tidak terlepas
dari perilaku dan tindakan kekerasaan. Dalam kontek ini adalah kekerasan yang
terjadi pada peserta didik di sekolah.

1

Candra C adalah Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Gorontalo, Email: [email protected]

610

Tumpubolon dkk, dan atas kesepakatan dengan UNICEF (The United Nations
Children’s Fund), melakukan screening sheet untuk mengetahui apakah seseorang
peserta didik pernah menerima perlakukan kekerasan dari orangtua atau gurunya.

Dalam screening sheet tersebut terindentifikasi

36 tindakan yang tergolong

kekerasan pada anak, yaitu (1) dipukul/disabet; (2) dilempar dengan buku,
penghapus, kapur, dll; (3) dicubit; (4) dijabak; (5) ditampar; (6) dijewer; (7)
ditendang; (8) dicambuk; (9) diikat; (10) disiram air; (11) didorong; (12) dibanting;
(13) dikurung di kamar mandi; (14) dicekik; (15) diinjak; (16) dijemur; (17) disuruh
berdiri di depan kelas; (18) dibotakin kelapa; (19) disuruh lari; (20) diminta push up;
(21) disuruh kerja (mengepel, dll); (22) dicolek; (23) dicium paksa; (24) dipeluk
paksa; (25) paha dielus; (26) dada diraba; (27) disingkap roknya; (28) alat kelamin
diraba/disentuh/dipegang; (29) dimarahi/diomelin; (30) dimaki/dicela; (31) dihina;
(32) diusir; (33) diejek; (34) dibentak/digertak; (35) diancam; (36) disumpah. (Rianto,
A. 2009: 249). Jika dikaji secara teoritis kekerasan tersebut mencakup kekerasan
simbolik, kekerasan psikologis dan kekerasan fisik.
Berdasar dengan data tersebut, kekerasan yang terjadi di sekolah merupakan
sebuah fenomena dimana selama ini kita beranggapan lembaga pendidikan adalah
tempat untuk mencetak individu-individu yang memiliki moral dan mandiri di masa
depan. Situasi kekerasan itu dapat tergambar dengan jelas, dimana tidak ada
permasalahan ketika seorang guru menghukum peserta didiknya dengan cara

memukul, mencubit, menampar. Hal ini dianggap sebagai satu proses pembelajaran
untuk menegakkan disiplin di sekolah, tentu saja hal ini sangat jauh dari cita dan
tujuan pendidikan nasional Indonesia.
Untuk mengantisipasi berulangnya kasus dan peristiwa kekerasan dalam skala
yang lebih besar, diperlukan upaya prevensi, yaitu melalui pendidikan di sekolah.
Pendidikan adalah upaya untuk membantu peserta didik, dalam hal ini peserta didik,
untuk mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral dan psikologis mereka.
Perkembangan masyarakat modern menuntut bahwa tugas sebagian tugas pendidikan
dijalankan oleh institusi yang disebut sekolah (Galtumg,J. 2003).
611

Ada beberapa asumsi dan alasasan rasional mengenai pentingnya pendidikan
bagi anak-anak (peserta didik) di sekolah dalam rangka mencegah kekerasan yang
terjadi pada mereka. Adapun yang mendasari gagasan tersebut diantaranya adalah (
Fountain, S. 1999: 2-3):
a.

Konvensi Hak Anak (1989), Pasal 29 menyatakan:
“...the education of the child shall be directed to...the preparation of the child
forvresponsible life in a free society, in the spirit of understanding, peace,

tolerance,vequality of sexes, and friendship among all peoples...”

b. Tahun 1990, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua mengatakan
bahwa:
“Every person – child, youth and adult – shall be able to benefit from educational
opportunities designed to meet their basic learning needs. These needs comprise
both essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and
problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills,
values, and attitudes) required by human beings to be able to survive, to develop
their full capacities, to live and work in dignity, to participate fully in
development, to improve the quality of their lives, to make informed decisions,
and to continue learning …The satisfaction of these needs empowers individuals
in any society and confers upon them a responsibility to … further the cause of
social justice, … to be tolerant towards social political and religious systems
which differ from their own, ensuring that commonly accepted humanistic values
and human rights are upheld, and to work for international
peace and solidarity in an interdependent world.”
c. Tahun 1990, Penelitian yang dilakukan Graça Machel tentang Dampak Konflik
Bersenjata pada Anak-anak menegaskan kembali pentingnya pendidikan dalam
membentuk masa depan damai :

“...Both the content and the process of education should promote peace, social
justice, respect for human rights and the acceptance of responsibility. Children
need to learn skills of negotiation, problem solving, critical thinking and
communication that will enable them to resolve conflicts without resorting to
violence.”
d. The UNICEF ‘Anti-War Agenda’, set out in The State of the World’s Children
1996, declares:

612

“...Disputes may be inevitable, but violence is not. To prevent continued cycles of
conflict, education must seek to promote peace and tolerance, not fuel hatred and
suspicion.”
Berdasar pada berbagai argumentasi dan rekomendasi yang tersebut, demi
kelancaran amanat pendidikan yang diemban oleh sekolah, maka kelancaran proses
yang terjadi di dalam sekolah menjadi fokus perhatian banyak kalangan yang
mengkaji masalah manajemen sekolah. Salah satu isu yang dibawa adalah terciptanya
situasi yang kondusif bagi peserta didik

dalam mengembangkan potensi yang


dimilikinya. Pada titik tertentu, situasi yang kondusif ini menjangkau tema mengenai
kedamaian di sekolah, karena kedamaian berkaitan dengan kenyamanan dalam
belajar, jaminan akan keamanan dalam beraktifitas di sekolah, kehangatan dalam
berinteraksi dengan orang lain serta kebebasan dalam berkreasi dan berkarya, yang
menyebabkan terpenuhinya kebutuhan psikologis peserta didik di sekolah.
Mengingat pentingnya masalah kedamaian di sekolah, pada tahun 2000
Majelis Umum PBB mengeluarkan mandat kepada UNESCO untuk menetapkan
bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year for
the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya
damai dan tanpa kekerasan (International Decade for a Culture of Peace and NonViolence for the Children of the World).

Penetapan dekade 2001 sampai 2010

sebagai dekade budaya damai anti kekerasan tersebut merupakan kelanjutan dari
program berkesinambungan yang dimulai semenjak tahun 1974 mengenai Education
for International Understanding, Co-operation and Peace and Education relating to
Human Rights and Fundamental Freedoms yang ditetapkan di Paris, World Plan of
Action on Education for Human Rights and Democracy yang ditetapkan di Montreal
pada tahun 1993, Declaration and Programme of Action of the World Conference on

Human Rights yang ditetapkan di Wina pada tahun 1993, Declaration and Integrated
Framework of Actionon Education for Peace, Human Rights and Democracy yang
ditetapkan di Paris pada tahun 1995 serta penetapan dekade the Plan of Action for the

613

United Nations Decade for Human Rights Education yang dimulai dari 1995 sampai
tahun 2005 ( M. Hadjam, NR dan Widhiarso, W. 2003).
Semenjak ditetapkan, berbagai macam program mulai dilakukan pada
berbagai negara yang memusatkan pada pendekatan holistik yang menekankan pada
metode partisipatif masyarakat terutama peserta didik di sekolah. Dimensi-dimensi
yang dikembangkan pada program tersebut antara lain kedamaian dan anti kekerasan
(peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy),
toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and
intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa
(cultural and linguistic diversity) ( M. Hadjam, NR dan Widhiarso, W. 2003).
Dalam kontek tersebut, pendidikan damai (peace education) menjadi urgen
dalam upaya membangun budaya perdamaian yang harus ditumbuhkembangkan
sebagai kebiasaan yang baik seperti nilai, sikap saling menghormati, adanya
kebebasan bagi setiap orang, adanya sikap kepedulian, saling berbagi tanpa konflik.

Kemudian apabila terjadi konflik harus dicari akar permasalahan dengan
memperioritaskan cara-cara yang menguntungkan bagi semua. Berkaitan dengan
cara-cara yang ditempuh efektif dan efesien untuk diberlakukan, yaitu bisa melalui
dialog dan negosiasi antara pihak-pihak yang mengalami konflik sebagai wujud dari
upaya membangun warga negara demokratis
Dalam beberapa penelitian yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli dan
akademisi telah banyak disimpulkan tentang kekuatan pendidikan damai dapat
menekan dan mencegah kekerasan pada sebuah tatananan masyarakat yang memiliki
keberagaman sehingga berpontensi terjadi tindakan kekerasan atau konflik, termasuk
dalam literatur penelitian Internasional. Menurut International Peace Research
Association (IPRA), dalam konferensi yang ke-17 di Durban, Afrika Selatan, pada
tanggal 23 Juni 1998, dinyatakan bahwa pendidikan damai adalah proses
memberdayakan orang dengan kecakapan, sikap dan pengetahuan (skills, attitudes,
and knowledge) untuk: (1) Membangun, memelihara dan memperbaiki hubungan di
semua level dalam seluruh interaksi manusia (to build, maintain, and restore
614

relationships at all levels of human interaction); (2) Mengembangkan pendekatanpendekatan positif terhadap cara untuk menangani konflik, dari level personal sampai
tingkat internasional; (3) Menciptakan lingkungan yang aman, baik lingkungan fisik
maupun emosi yang mengayomi semua individu; (4) Menciptakan sebuah dunia yang

aman berdasarkan keadilan dan hak asasi manusia; (5) Membangun sebuah
lingkungan yang lestari dan menjaganya dari eksploitasi dan peperangan. (Salomon,
G & Cairns, E. 2010).
Studi lain yang dilakukan oleh Farida Ariyani, dkk tahun 2010, menunjukkan
bahwa pengembangan pendidikan damai dan hak asasi manusia (PD-HAM) efektiv
mencegah kekerasan

di sekolah. Penelitian dilakukan di kota Makassar dengan

mengambil sampel beberapa sekolah dasar (SD) yang menunjukkan bahwa model
PD-HAM yang dikembangkan memiliki kelayakan (feasibility), ketepatan (accuracy),
dan kegunaan (utility). Atau dengan kata lain model PD-HAM ini acceptable untuk
digunakan secara terintegrasi pada pelajaran PKn di sekolah dasar untuk mencegah
kekrasan di sekolah (Ariyani, F, dkk. 2010).
Berdasar pada kajian ilmiah dan akademik tersebut, diperlukan sebuah
langkah konkrit dalam menindaklanjuti kesadaran mengenai pentingnya budaya
damai dan anti kekerasan melalui wahana pendidikan damai. Hemat penulis, salah
satu hal yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan pendidikan damai melalui
bidang kajian yang sudah menjadi program sosio cultural, akademik dan kurikuler
secara formal dilaksanakan di Indonesia yakni melalui bidang studi/mata pelajaran

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau Kewarganegaraan (PKn) di
perguruan tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu bidang
kajian dalam konteks pendidikan nasional yang memiliki peran strategis bagi
pembentukan karakter bangsa (nation and character building) di tengah
heterogenitas masyarakat Indonesia. Realitas pluralitas dan heterogenitas tesebut
tergambar dalam prinsip berbhineka, tetapi integrasi dalam kesatuan. Untuk itu, PKn
menemukan momentumnya menjadi

topik sentral dalam

615

membangun negara

bangsa Indonesia dengan prinsip dan nilai kedamaian sebagai salah satu visi dari PKn
dalam konteks konstitusional.
Sebagaimana visi PKn NKRI dalam landasan konstitusional adalah lahirnya
manusia WNI dan kehidupan masyarakat bangsa NKRI, religius cerdas, demokratis
dan lawful ness, damai-tentram-sejahtera, modern dan berkepribadian Indonesia. Dan
Misi PKn adalah Program Pendidikan membelajarkan dan melatih anak didik secara

demokratis-humanistic-fungsional (Djahiri, K. 2006:9-10). Visi dan Misi inilah yang
menjadi arahan atau landasan kita dalam melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar
sehingga menjadi searah dan sesuai dengan arah tujuan Cita-cita NKRI baik secara
idiil, maupun konstitusional.
Dengan demikian, untuk mencapai masyarakat

yang damai tidak

bisa

dibangun secara taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus
diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan.
Salah satu strategi yang bisa dilakukan dalam konteks tersebut adalah melalui
pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan

yang dimaksudkan

dalam hal ini adalah pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas (citizenship
education) yang memiliki perspektif

kewarganegaraan dunia abad ke-21

yang

terkenal dengan sebutan kewarganegaraan multidimensi yang salah satu cirinya
memiliki karakteristik multikultural (Cogan, 1998:116).
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dimaknai bahwa PKn memiliki peran
yang sangat strategis dalam membentuk generasi muda sebagai warga negara yang
baik. Hal tersebut senada dengan pendapat Kerr yang menyatakan bahwa:
Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the
preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens
and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and
learning) in that preparatory process atau, “citizenship or civics
education (Kerr, D. 1999:17)
Dari pengertian tersebut, tergambar bahwa PKn memiliki peran dalam
membina warga negara Indonesia agar menjadi masyarakat yang memahami tugas
dan tanggung jawabnya sebagai warga negara terhadap kehidupan berbangsa dan
616

bernegara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
memegang perinsip Bhinneka Tungga Ika. Untuk itu, PKn memiliki peranan yang
sangat penting dalam upaya mengembangkan masyarakat yang damai yang pada
gilirannya dapat membentuk warga negara demokratis.

Hal

ini

sebagaimana

tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) secara prinsip telah termaktub di pasal (4), di mana dijelaskan bahwa
“pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai damai, Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai
keagamaan dan kultural” (Candra, C. 2012).
Berdasarkan konsepsi tersebut, pendidikan damai di Sekolah merupakan salah
satu instrument dalam konteks pendidikan nasional dalam memprogramkan secara
kurikuler PKn sebagai wadah dalam membina warga negara demokratis agar menjadi
baik dan cerdas sehingga dapat berperan menjadi agen perdamaiaan.
Dari pandangan-pandangan tersebut, cukup argumentatif bahwa pendidikan
kewarganegaraan relevan sebagai kajian yang bersifat interdisipliner, multidisipliner
bahkan transdisipliner. Oleh karena itu, mengkaji pendidikan kewarganegaraan dalam
konteks tersebut merupakan suatu hal yang menantang, khususnya bagi penulis untuk
mendalami dan menalaah secara lebih tajam mengenai peran pendidikan
kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan damai di sekolah yang tidak lain
merupakan bagian dari komitmen akademik dan salah satu upaya untuk memperkuat
jati diri dalam mewujudkan (body of knowlodge) PKn.
B. Relevansi Peace Education dengan Pendidikan Kewarganegaraan untuk
membentuk Warganegara Demokratis
1. Dimensi Tujuan
Menerapkan Peace education di tingkat sekolah atau perguruan tinggi
dimaksudkan untuk mengubah sikap individual ke arah saling menghargai perbedaan
dalam keberagaman kelompok, sebagai realitas kehidupan yang harus dihadapi (
UNESCO,1998). Selain itu, peace education bertujuan untuk mendidik lebih banyak
617

ke arah terjadinya proses perubahan peserta didik dengan terlibat secara langsung di
dalamnya yang tidak hanya sekadar diberikan materi saja, tetapi dipraktikkan secara
langsung (Galtung, J. 1983: 281). Alasannya karena mereka yang akan merasakan
secara langsung manfaatnya sebagai generasi muda pada masa yang akan datang
melalui perdamaian.
UNESCO memberikan batasan tujuan peace education apabila dikembangkan
dalam ruang kelas yang bisa diajarkan kepada peserta didik, peace education aims to
develop skills, attitudes, and knowledge With cooperative and participatory learning
methods and an environment of tolerance, care, and resfect. Through dialogue and
exploration, teachers and students engage in a journey of shared learning. Tuiuan
peace

education

menurut

UNESCO

lebih

mengarah

pada

pengembangan

keterampilan, sikap, dan pengetahuan yang orientasinya pada kerja sama, metode
pembelajaran partisipasi dengan lingkungan yang di dalamnya ada toleransi,
kepedulian, saling menghormati, ada Tanya jawab eksplorasi, dan keterlibatan guru
maupun para peseta didik dari pengalaman yang dibagi bersama. Sementara UNICEF
memberikan pernyataan tentang tujuan peace education sebagai berikut, Peace
education is an essential component of quality basic education that aims to build the
knowledge, skills, attitudes, and values that will enable young People to Prevent
violence, resolve conflict peacefully, and promote social conditions conductive to
peace and justice. Peace education adalah komponen penting penentu dasar mutu
pendidikan yang bertujuan untuk membangun pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
nilai-nilai yang akan memungkinkan peserta didik untuk mencegah kekerasan,
menyelesaikan konfik secara damai, dan memajukan kondisi yang kondusif untuk
perdamaian dan keadilan (Fountain, S. 1999).
Jadi, tujuan penting diberlukannya peace education terutama pada institusi
pendidikan (sekolah) pada dasarnya memberikan pemahaman kepada peserta didik
bagaimana akar kekerasan dan kemudian diberikan pengetahuan baru tentang isu
kritis sebagai jalan alternative, dengan cara menjaga perdamaian (peacekeeping),
menciptakan perdamain (peacemaking), membangun perdamaian (pecebuilding).
618

Apabila mencermati dari tujuan pembelajaran pendidikan damai, maka
memiliki keterkaitan dengan tujuan dari pendidikan kewarganegaraan (civic
education) terutama dalam konteks membentuk warga negara demokratis dan
bertanaggunjawab yang berlandaskan pada prinsip dan nilai kedamaian serta menolak
akan sikap dan perilaku kekerasan dalam arti yang luas. Dilihat secara filosofis,
sosio-politis dan psikopedagogis, pendidikan kewarganegaraan memegang misi
suci (mission sacre) untuk pembentukan watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat

dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan

manusia sebagai warga
(Winataputra,

U.S.

dan

negara yang

demokratis

Budimansyah,

D.

dan

2007:156.

bertanggung

jawab

Hal

dapat

tersebut

ditelusuri dari rumusan pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang secara imperatif menggariskan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Secara

khusus “Pendidikan

kewarganegaraan

dimaksudkan

untuk

membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air” (Penjelasan Pasal 37 ayat (1)). Dalam konteks itu pendidikan
kewarganegaran

pada

dasarnya

merupakan

pendidikan

kebangsaan

atau

pendidikan karakter bangsa dengan beragama kemampuan yang harus dimiliki oleh
warga negara. Kemampuan ini telah dirangkum menjadi tiga sasaran pembelajaran
PKn yang dikenal pula sebagai orientasi tujuan pembelajaran PKn untuk membentuk
warga negara yang demokratis, ialah membentuk warga negara yang baik dan cerdas
(good and smart citizen), partisipatif (partisipatif citizen) dan bertanggung jawab
(responsible citizen). (Wahab, A dan Sapriya, 2011: 333-334).

619

Apabila mencermati tujuan yang ingin dikembangkan dan dicapai dalam
pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan khususnya pada lingkungan sekolah maka
dapat dimaknai bahwa bidang studi tersebut memiliki tujuan yang hampir sama
dengan pendidikan damai yakni untuk mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk bisa hidup berdampingan dengan orang lain, karena
tanpa itu , maka warga negara yang (good and smart citizen) dan atau warga negara
yang demokratis dan bertanggungjawab susah untuk dicapai.
2. Dimensi Materi
Memahami peace education, tidak hanya terkait dengan perilaku kekerasan,
peperangan, konflik, kriminalitas, dan seterusnya, tetapi juga terwujudnya kondisi
perdamaian yang positif. Dengan demikian, peace education, akan mencakup seluruh
aspek perdamaian yang dikembangkan dalam bentuk materi yang mengarahkan pada
tiga aspek atau domain utama, yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta
didik melalui metode yang dinamis agar terarah dalam pengajaran di lingkungan
sekolah. Pengembangan materi peace education berasal dari tujuan peace education
sebagaimana dinyatakan UNESCO dan UNICEF, atau menurut pendapat para ahli
dengan mengarahkan pada tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan skill (Khun, D.
2008: 6). Masing-masing aspek sudah dijabarkan ke dalam berbagai bentuk materi
khsusus menyangkut perdamaian. Idealnya, pengembangan peace education harus
memiliki standar dalam pengajaran sehingga jelas sasaran yang akan dicapai.
UNESCO menjabarkan materi peace education antara lain aspek kognitif
meliputi mawas diri, pengakuan tentang prasangka, konflik dan perang, damai tanpa
kekerasan, lingkungan dan ekologi, nuklir dan senjata, keadilan dan kekerasan, teori
resolusi, pencegahan dan analisis konflik, budaya, ras, gender, agama, isu HAM,
sikap tanggungjawab, pengaruh globalisasi, masalah buruh, kemiskinan dan ekonomi
internasional, hokum internasional dan mahkamah keadilan, PBB, masalah AIDS dan
lain sebagainya. Aspek Apektif meliputi kesadaran ekologi, penghormatan diri, sikap
toleransi, hormat terhadap martabat manusia dan perbedaan, saling memahami antar-

620

budaya, kepekaan jenis kelamin, sikap peduli dan empati, sikap rekonsiliasi dan tanpa
kekerasan, tanggungjawab social, solidaritas, resolusi berwawasan global. Aspek skill
meliputi komunikasi, kegiatan reflektif dan pendengaran aktif, bekerjasama, empati,
berpikir kritis, dan kemampuan memecahkan masalah, apresiasi artistic dan estetika,
kemampuan menegahi sengketa dan negosiasi dan resolusi konflik, sikap sabar dan
pengendalian diri penuh imajinasi, kepemimpinan ideal dan memiliki visi (Loreta, N
& Jasmin, N, 2008: 25).
Mencermati materi yang dimuat dan dikembangkan dalam pembelajaran
pendidikan damai (peace education) tentu memiliki relevansi terhadap materi dan
nilai yang ada pada pembelajaran pendidikan kewarganegaraan. Hal ini dapat dilihat
pada kompetensi yang dikembangkan melalui kompetensi kewarganegaraan yang
terdiri dari civic knowlodge, civic disposition and civic skill yang juga berkait dengan
konsep kompetensi peserta didik dalam pembelajaran pendidikan damai yang dibagi
ke dalam tiga ranah yakni kognitif, afektif dan psikomotorik.
Sebagaimana dalam tujuan dan misi suci dari pelaksanaan pendidikan
kewarganegaraan yakni membentuk warga negara yang cerdas dan baik (good and
smart citizen) serta membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab maka tentu saja harus di barengi dengan berbagai nilai yang ada, termasuk
pada nilai dan materi yang ada pada pendidikan damai itu sendiri.
Menyiapkan,

membentuk

dan

mengembangkan

warga

negara

yang

demokratis merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia dalam mengukuhkan diri
sebagai bangsa yang mampu mengintegrasikan keberagaman (multikulturalisme dan
atau pluralisme) sehingga mampu menciptakan peradaban baru dengan segala
dimensi yang dimilikinya sebagai bangsa yang menerapkan prinsip dan nilai
Pancasila dalam alam demokrasi Indonesia. Untuk itu, dalam mencapai hal tersebut,
pendidikan damai menemukan relevansinya sebagai salah satu instumen dalam
menciptakan perdamaian dalam keberagaman yang sangat potensial mengalami
disintegrasi karena adanya bentuk kekerasan baik berupa difensif maupun destruktif.
Jika mencermati materi, dan nilai yang ada pada pendidikan damai maka pendidikan
621

kewarganegaraan dalam perspektif sosio cultural dan kurikuler merupakan salah satu
bidang kajian yang sangat strategis dan relevan untuk mewadahi pelaksanaan dan
pengembangan pendidikan damai di Indonesia.
3. Dimensi Pembelajaran
Mengajarkan perdamaian di sekolah atau perguruan tinggi kepada peserta
didik/mahasiswa merupakan proses belajar yang menyenangkan. Guru atau dosen
mengajarkan tentang masalah-masalah kekerasan dan alternatif pemecahan. Empat
prinsip pokok dalam pengajaran peace education, yaitu 1) holistik/ menyeluruh; 2)
dialog; 3) pemikiran lritis; 4) membentuk nilai-nilai perdamaian. Harris dalam
tulisannya mengungkapkan peace educaton teach about problems of violence and
alternatives to violence. Pendidik perdamaian mengajarkan tentang masalah
kekerasan dan alternative terhadap kekerasan, atau dengan bahasa yang lain, lebih
jelasnya, peace education; memberikan pengetahuan tentang masalah kekerasan dan
suategi untuk perdamaian, peace education; providing knowledge about prolems of
violence and strategies for peace (Harris, I.M. 2004).
Pembelajaran peace education secara holistik adalah proses pembelajaran
melibatkan pikiran, hati, dan semangat. Jadi, pembelajaran benar-benar meresapi dan
mengerti apa yang dia pelajari, bukan hanya sekadar untuk memperkaya pikiran
keilmuan mereka, melainkan pula memperkaya hatinya. Menyeluruh juga berarti
melibatkan semua aspek dalam kehidupan dari tingkat individu sampai ringkat
bangsa atau negara dengan melibatkan semua sektor dalam masyarakat. Dilaksanakan
di semua tingkat pendidikan; dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi dan dalam
bentuk pendidikan formal, non-formal, maupun informal. Selain itu, juga menyeluruh
dalam artian keterkaitan semua bidang ilmu. Pengajaran melalui dialog diartikan
bahwa pelaksanaan peace cducation selalu dilakukan dalam bentuk dialog. Dialog
memungkinkan pembelajaran dan pendidik berada dalam posisi yang sama dan saling
belajar. Dialog sendiri juga melatih pembelajaran dan pendidik untuk saling
menghormati karena di dalam dialog terdapat unsur mendengarkan dengan baik yang
kemudian membuka pembelajaran dan guru untuk dapat menerima ide-ide baru.
622

Selain itu, melalui dialog, akan terbangun suasana demokratis dan membuka
kemungkinan semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
Pengajaran peace education mendorong pemikiran kritis, artinya peace education
dirancang untuk mendorong pemikiran kritis dari peserta didik, yang nantinya
diharapkan akan memunculkan komitmen dari mereka untuk berperan dalam
membangun budaya damai. Komitmen itu bisa saja pada tingkat personal, tetapi juga
dapat mencakup pada lingkungan yang lebih luas. Pengajaran peace education
membentuk nilai-nilai perdamaian artinya bahwa akhir pengajaran peace education
diharapkan akan menghasilkan budaya damai yang mungkin digali dari budaya lokal,
dan dapat pula merupakan bentukan baru yang merupakan konsensus bersama.
(Saleh, I.N. 2012).
Jadi apabila mengembangkan pembelajaran peace education di sekolah,
kapasitas pembelajarannya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah atau
perguruan tinggi, seperti variasi tempat pendidikan, komunitas sekolah, kurikulum
formal atau nonformal sekaligus juga kultur budaya yang mengarah pada budaya
damai. Proses pembelajaran

peace education akan memerhatikan peserta didik,

pendidik, materi, dan model pengajaran. Menerapkan model pengajaran peace
education memerlukan pengelolaan kelas, interaksi belajar mengajar, menyampaikan
materi dan metode dengan pendekatan humanistik. Alasannya agar guru dengan
peserta didik dapat melakukan komunikasi multi-arah sehingga tercipta suasana
demokratis di dalam kelas, dan tidak didominasi oleh peran guru/dosen secara
berlebihan.
Mencermati pembelajaran yang dikembangkan pada peace education maka
tentu berkait dengan prinsip pembelajaran PKn yang menginginkan ruang kelas
sebagai “democratic laboratory” lingkungan sekolah/ kampus sebagai micro cosmos
of democracy”, yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi
berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang demokratis
atau “learning democracy, in democracy, and for democracy” Disamping

hal

tersebut perlu dikembangan dalam bentuk ekstrakulikuler yang bernuansa demokrasi,
623

menjadikan sekolah sebagai lingkungan demokratis dengan melibatkan siswa dalam
kegiatan masyarakat. Selain itu pendidikan yang bersifat demokratis tidak cukup
hanya melalui mengajar demokrasi (teaching democracy) akan tetapi lebih
menekankan pada penerapan cara hidup berdemokrasi (doing democracy) sebagai
modus penting dalam pembelajaran PKn. (Wahab, A dan Sapriya, 2011)
Jadi

pembelajaran

pendidikan

kewarganegaraan

haruslah

bersifat

multidimensional yang memungkinkan para peserta didik dapat mengembangkan dan
menggunakan seluruh potensinya sebagai individu dan warganegara dalam
masyarakat bangsa-negara yang demokratis.
Kesimpulan
Mencermati ulasan yang dikembangkan sebelumnya dapat dimaknai bahwa
relevansi peace education dengan pendidikan kewarganeraraan ditinjau dari sisi
historitas atau urgensinya, yaitu keduanya memiliki komitmen dalam menyiapkan
peserta didik menjadi warga negara yang (good and smart citizen) yang nantinya
berperan sebagai agen perdamaiaan dimuka bumi dengan keterampilan yang
diperlukan dan pengetahuan serta sikap yang dicontohkan para pendiri bangsa
Indonesia (Faunding Father and Mather Indonesia bagaimana mereka mengelola
konflik untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi
perdamaian. Sementara secara konseptual, relevansi peace education dengan
pendidikan kewarganegaraan, ditinjau dari dimensi dimensi tujuan, dimensi
kurikulum, dimensi materi, dan dimensi pengajaran, keduanya sama-sama memiliki
hubungan yang berkesinambungan,yaitu menumbuhkan sikap mencegah kekerasan,
menyelesaikan konflik secara damai, dan memajukan kondisi yang kondusif untuk
terwujudnya perdamaiaan yang pada gilirannya membentuk warga negara
demokratis.
Daftar Pustaka
Ariyani, F, dkk. (2010). pengembangan model pendidikan damai dan hak asasi
manusia (pd-ham) untuk mencegah kekerasan di sekolah. universitas negeri
makassar. dibiayai oleh dp2m (kompetitif penelitian
sesuai prioritas
nasional).
624

Candra, C. (2012). Pendikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan
Multikultural dalam Membagun Warga Negara Demokratis (Penelitian
Grounded Theory di Universitas Negeri Jakarta). Tesis. SPS UPI: tidak
diterbitkan.
Cogan (1998). Developing the Civic Society: The Role of Civic Education.
Bandung: CICED.
Djahiri, K. (2006), Esensi Pendidikan Nilai Moral Dan Era PKN di Era Globalisasi
dalam Pendidikan Nilai Moral Dalam Dimensi Pendidikan
Kewarganegaraan, Bandung : Laboratorium Pendidikan Kewarganegaran
(PKn) FIPS - UPI
Fountain, S. (1999). Peace Education in UNICEF (New York: UNICEF).
Galtung, J. (1983). Peace Education: Learning to Hate War, Love Peace, and to Do
Something About It. Prancis: UNESCO Institute for Education.
Galtung, J. (2003). Studi Perdamaian: Perdamain dan Konflik, Pembangunan dan
Peradaban, terj. Asnawi & Safruddin. Surabaya: Pustaka Eureka.
Ian M Harris, (2004). Comment: Peace Educatiors Teach Strategies for Peace,"
Dalam Journial of Peace Education, Vol. 1, No. 2, September 2004,
(Francis: Canfax Publishing.
Kerr, D. (1999). Citezenship Education: an Inernational Comparison, london:
National Foundation For Education Research-NFER.
Khun, D. (2008). Education for Thinking, (United State Of Amerika: Harvard
University Press.
Loreta, N & Jasmin, N. (2008). Peace Education; A Pathway to A Culture of Peace.
Philippines: Center For Peace Education.
M. Hadjam, NR & Widhiarso, W. (2003). Budaya Damai Anti Kekerasan (Peace
And Anti Violence). Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Umum.
Rianto, A. (2009). Kekerasan dalam Pendidikan; Sebuah survey atas Praktek
Pendidikan di Flores NTT, dalam jurnal Etika Sosial, Pusat Pengembangan
Etika UNIKA Atma Jaya, Jakarta Selatan, Volume 14-Nomor 2.
Saleh, I, N. (2012). Peace Education (Kajian Sejarah, Konsep, dan Relevansinya
dengan Pendidikan Islam. Jokjakarta: Ar-ruzzmedia.
Salomon, G & Cairns, E (edit.), (2010). Handboook on Peace Education. Psychology
Press, Taylor & Francis, New York
UNESCO, (1998). Learning To Live Together in Peace and Harmony (Bangkok
UNESCO PROAP
Wahab, A & Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan.
Bandung: Alfabeta.
Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007) Civic Education: Konteks,
Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi
Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

625