Islam Politik di Dunia Kontemporer

Islam Politik di Dunia Kontemporer

RESUME
ISLAM POLITIK DI DUNIA KONTEMPORER
KONSEP, GENEALOGI, DAN TEORI[1]
Thibburruhany
Pendahuluan
Buku berjudul Islam Politik di Dunia Kontemporer; Konsep, Genealogi, dan
Teori karya Noorhaidi Hasan ini dilatar belakangi dari perhatian para pengamat dan
masyarakat Dunia terhadap Islam setelah peristiwa hancurnya menara WTC pada
11 September 2001. Perhatian ini terpusat pada Islam politik, sebuah konsep yang
lebih dulu berkembang di kalangan para sarjana dan pemerhati dunia Islam
menyusul pecahnya revolusi Iran 1979. Namun belakangan konsep Islam politik ini
belum menemukan rumusan dan defnisi yang jelas menyusul berbagai perdebatan
dari berbagai kalangan sebab setiap sarjana, pengamat, ataupun pengambil
kebijakan memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang Islam politik, seturut
disiplin keilmuwan, pendekatan yang digunakan, dan kepentingan mereka masingmasing. Buku ini dimaksudkan untuk menjadi referensi yang memadai sekaligus
sebuah upaya untuk dapat memahami fenomena ini secara lebih jernih dan
komperhensif. Fenomena Islam politik dalam dunia kontemporer dalam buku ini
diawali dengan pembahasan mengenai defnisi dan konsep Islam Politik. Lalu dalam
bab-bab selanjutnya secara berurutan membahas mengenai, genealogi islam

politik, ideologi islam politik, sosiologi islam politik, teori gerakan sosial dan analisis
wacana kritis, serta terakhir adalah milisia islamis, demokrasi, dan
multikulturalisme pengalaman Indonesia.
Definisi dan Konsep Islam Politik
Sebagaimana disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa upaya
pendefnisian dan parameter apa yang bisa digunakan untuk mengkategorisasikan
sesuatu sebagai Islam politik selalu berujung pada perdebatan dari berbagai
1

kalangan. Berbagai pendapat mengemuka dari yang bernada positif, negatif,
sampai
peyoratif
terhadap
pemakaian
istilah
Islam
Politik.
Gilles
Keppel[2] mendefniskan Islam politik sebagai gejala sosial-politik di berbagai
belahan dunia yang berkaitan dengan aktivitas kelompok individu Muslim yang

bergerak berdasarkan landasan ideologi yang diyakini bersama. Oliver Roy
mengajukan defnisi serupa meski dalam hal ini ia menggaris bawahi tentang
terwujudnya ‘Negara Islam’. Nazih Ayyubi menganggap bahwa Islam politik
merupakan fenomena yang berkaitan dengan doktrin dan atau gerakan yang
meyakini Islam memiliki teori politik dan negara. Dimana Islam kontemporer
berkembang sebagai konsekuensi persinggungan antara agama dan politik.
Sekaligus menunjukkan nuansa aktivisme yang bertujuan mendorong terjadinya
perubahan. Islam ditegaskan bukan sekedar agama, namun juga sebagai ideologi
politik. Islam politik adalah sebuah istilah yang dapat digunakan untuk
menggambarkan gejala politik keagamaan kontemporer di kalangan masyarakat
Muslim yang mengambil beragam bentuk, dari pemikiran, wacana, aksi dampai
gerakan yang semuanya itu didasari oleh sebuah ideologi yang bertujuan
mengubah sistem yang berlaku menjadi sistem Islami.
Sebagai gelaja modern yang memperlihatkan persinggungan antara agama
dan politik berhadapan dengan arus perubahan sosial, Islam politik melahirkan
berbagai varian pemikiran, aksi dan gerakan. Di dalam islam politik melekat visi
tentang perubahan terhadap sistem yang berlaku baik secara perlahan-lahan dan
parsial maupun serta-merta dan radikal. Dari sinilah lahir radikalisme Islam dimana
ia memiliki dua ciri terpenting yaitu, visi tentang tatanan politik Islam yang menolak
legitimasi

negara-bangsa
berdaulat
modern
dan
berupaya
mendirikan
pemerintahan pan-Islam ataupun merevitalisasi sistem kekhalifahan. Serta
penekanan terhadap perjuangan kekerasan (jihad) sebagai metode utama dan
bahkan satu-satunya yang dianggap sah untuk mewujudkan perubahan politik.
Dengan
demikian
ukuran
radikalisme
terletak
dalam
kecenderungan
mengupayakan perubahan sistem yang ada dengan menggunakan kekerasan.
Radikalisme yang dipoles dengan semangat dan doktrin jihad melahirkan jihadisme.
Istilah ini merujuk pada pemikiran, wacana, dan aksi yang mengesahkan
penggunaan kekerasan dengan dalih jihad sebagai strategi untuk mencapai tujuan.

Dari jihadisme ini lalu berkembang terorisme Islam. Terorisme adalah puncak aksi
kekerasan dimana hal yang paling mendasari terorisme adalah adanya pemikiran
dan taktik sistematis yang tujuannya berkait dengan upaya-upaya mengubah
sistem dan tatanan politik yang berlaku secara menyeluruh.
Genealogi Islam Politik
Manifestasi islam politik acap kali merupakan cermin persinggungan antara
dinamika sosial-ekonomi dan politik yang berlangsung di dataran global dan
konteks sosial politik yang berlangsung di tingkat lokal dengan cara mengukuhkan
otentisitas dan meneguhakan identitas. Islam politik di dunia Muslim kontemporer
berakar pada gerakan puritanisme Islam yang mulai tumbuh pada abad ke-18.
Dengan tokohnya Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) yang mengambil
inspirasi dari ajaran-ajaran Taqiy al-Din Ahmad ibn Taymiyyah (1263-1328). Hampir
satu abad setelah pengaruh Muhamamd ibn Abdul Wahab menancapkan
pengaruhnya di seluruh Semenanjung Arabia, gerakan reformisme Islam atau lebih
dikenal sebagai salafsme, berkembang. Hingga dalam perkembangannya,
salafsme mengalami krisis politik akibat kepemimipinan yang rapuh, keterpurukan
kondisi sosial ekonomi dan imperalisme Barat. Disaat yang sama, ideologi
2

nasionalis yang didasari etnik-kebangsaan muncul dan bersaing satu sama lain.

Bermula pada 1930-an Hasan al-Banna (1906-1949) pendiri Ikhwanul Muslimin di
Mesir dan Abdul a’la Maududi (1903-1978) pencetus partai Jama’at-i Islami di IndoPakistan memperkenalkan gerakan pemikiran yang berusaha mendefnisikan Islam
sebagai ideologi politik, berhadapan dengan ideologi politik besar lainnya di abad
ke-20.
Gerakan pemikiran Islam sebagai ideologi politik ini kemudian berkembang
hingga pada tahun 1953, muncul organisasi Hizb al-Tahrir yang didirikan oleh Taqiy
al-Din al-Nabhani dengan mengambil inspirasi dari Sayyid Qutb, salah seorang
tokoh Ikhwanul Muslimin setelah al-Banna. Sementara itu di Asia Selatan, melalui
Jamaa’t-i Islami, Maududi mengenalkan slogan ‘Islamisasi dari atas’. Maududi
berjuang dari dalam ‘sistem’ untuk mendirikan negara Islam dimana Jamaa’t-i
Islami berdiri sebagai partai politik yang sah dan terbuka dan aktif berpartisipasi
dalam pemilu di Pakistan. Di tahun 1960, ketika Qutb dieksekusi di tiang gantungan
di Mesir, islam politik berkembang dan mengambil bentuk di Iran yang saat itu
dipimpin oleh Shah Muhammad Reza Pahlevi. Di saat yang bersamaan, sekelompok
ulama yang dipimpin Ayatullah Khomeini juga bergerak melawan Pahlevi dengan
mengadopsi posisi anti-modernis yang militan. Pergerakan Khomeini dibantu oleh
sosok pemikir dan ideolog Syiah terkemuka, Ali Syariati (1933-1977). Pada tahun
1979 setelah pecahnya revolusi Iran, pemerintahan Shah jatuh dan secara resmi
Iran menjadi republik Islam pada 1 April 1979. Pada pertengahan tahun 1980-an,
varian baru Wahabisme yang lebih konservatif secara politik berkembang di Saudi

Arabia dengan menggunakan bendera gerakan dakwah Salaf. Berbeda dengan
pengikut Ikhwanul Muslimin dan Jamaati Islami, Salaf mengambil sikap ‘nonpolitik’ (apolotical
quietism) dan
menekankan
uapaya
menyatukan
dan
membersihkan tauhid umat dari dosa syirik dan bid’ah. Garis pemikiran semacam
ini identik dengan kebijakan Saudi menghambat radikalisme yang terus merambat
di tubuh aktivisme Islam pada saat itu.
Mencermati sejarah pertumbuhannya, Islam politik sebenarnya berkembang
sebagai bagian dari dinamika power struggle. Ia dalam banyak hal merupakan
protes politik yang terbalut dengan simbol-simbol dan wacana agama. Tonggak
perkembangan Islam politik berlangsung menyusul kekalahan dunia Arab dari Israel
pada Perang 1967. Hingga pada Desember 1979 perang Afghanistan
berlangsung sejak tentara Uni Soviet datang menginvasi Kabul untuk membela
pemerintahan Marxis yang dipimpin Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan
menghadapi perlawanan mujahidin. Ideologi jihad yang terbangun selama perang
Afghanistan mendapatkan artikulasi dan format baru ketika al-Zawahiri dan bin
Laden mengembangkan sebuah visi gerakan jihad: perang melawan jahiliyyahisme

harus langsung ke sumbernya yakni kaum Salabis, yang identik dengan Amerika
Serikat, sekutunya, dan Zionis Israel. Inilah embrio awal terbentuknya organisasi alQaeda yang digambarkan sebagai sejenis merek dagang dan konglomerasi
multinasional. Dimana ia bukan organisasi dalam pengertian rigid yang memiliki
garis dan struktur komando dari atas sampai bawah. Namun yang pasti mereka
semua diikat oleh keyakinan yang sama: jihad sebagai satu-satunya jalan menuju
kejayaan.
Note :
Ringkasan tentang bab selanjutnya akan saya susulkan dilain hari. Atau daripada
menunggu kalian bisa membeli atau mencari bukunya di perpustakaan terdekat.

3

[1]

Penulis : Noorhaidi Hasan. 214 halaman. Cetakan Pertama : Januari 2012. SUKA Press :

Yogyakarta.
[2]

Dalam bukunya, Jihad: The Trail Of Political Islam


4