BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Hidden Curriculum Di SMP Negeri 2 Boja Kabupaten Kendal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep dan Substansi Teori
2.1.1 Hakekat Hidden Curriculum
2.1.1.1 Pengertian Kurikulum
Sebelum
hidden
berbicara
tentang
curriculum lebih luas,
pengembangan
maka
perlu
terlebih
dahulu dijelaskan tentang konsep dasar dan hakikat
kurikulum itu sendiri.
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin,
yaitu
curriculae
yang
artinya
adalah
jarak
yang
ditempuh oleh seorang pelari. Awalnya kurikulum
digunakan dalam dunia olah raga, yaitu curere artinya
tempat berpacu. Curriculum diartikan “jarak” yang
harus “ditempuh” oleh pelari. Istilah ini kemudian
diterapkan dalam dunia pendidikan. Antara kurikulum
dalam istilah dunia olah raga memiliki kesamaan
penafsiran dalam dunia pendidikan, di mana dalam
dunia pendidikan kurikulum berhubungan erat dengan
usaha mengembangkan siswa untuk mencapai tujuan
yang diinginkan (Wina Sanjaya, 2008: 3).
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 “Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran
digunakan
sebagai
pedoman
serta
cara
yang
penyelenggaraan
kegiatan
pendidikan
pembelajaran
untuk
mencapai
tujuan
tertentu. Sementara Sucipto dan Raflis
(dalam Rohiat, 2010: 22) mengemukakan kurikulum
dapat
diartikan
pengertian
secara
sempit,
sempit
kurikulum
dan
luas.
diartikan
Dalam
sebagai
sejumlah mata pelajaran yang diberikan di sekolah,
sedangkan dalam pengertian luas kurikulum adalah
semua pengalaman belajar yang diberikan sekolah
kepada siswa selama mereka mengikuti pendidikan di
sekolah. Dengan pengertian luas ini berarti segala
usaha sekolah untuk memberikan pengalaman belajar
kepada siswa dalam upaya menghasilkan lulusan yang
baiksecara
kuantitatif
maupun
kualitatif
tercakup
dalam pengertian kurikulum. Pandangan klasik dalam
penyusunan kurikulum yang masih digunakan sampai
saat ini adalah rasional Tyler (dalam Ella, 2007: 30)
yang mengemukakan pertanyaan sebab akibat yang
meliputi: 1) tujuan pendidikan apa yang harus dicapai
di sekolah?, 2) pengalaman pendidikan apakah yang
dapat disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan?,
3) bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat dikelola
secara efektif?, 4) bagaimana menentukan bahwa
tujuan pendiidkan telah dicapai?.
Bila digambarkan pemikiran Tyler ini sebagai
berikut.
Pengalaman
Belajar
Tujuan
Pelaksanaan
Penilaian
Gambar 1. Pemikiran Tyler (dalam Ella, 2007: 31)
Dari pengertian kurikulum menurut UU No. 20
Tahun
2003
dan
Sucipto
dan
Raflis
di
atas
persamaannya adalah dalam mendefinisikan kurikulum
sebagai
bahan
pelajaran
atau
mata
pelajaran
di
sekolah. Perbedaan keduanya adalah pada UU No. 20
tidak menyebutkan pengalaman belajar peserta didik.
Persamaan antara pengertian kurikulum dalam UU No.
20
Tahun
menjelaskan
2003
dan
tentang
Tyler
tujuan
adalah
dan
keduanya
pengelolaan
pendidikan, perbedaannya pada bahan pelajaran dan
evaluasi pencapaian tujuan pendidikan. Sementara
persamaan pengertian kurikulum pada Sucipto & Raflis
dan Tyler keduanya menyebutkan pengalaman belajar
peserta didik, sedangkan perbedaannya adalah pada
Sucipto & Raflis tidak dijabarkan tujuan, pengelolaan,
dan evaluasi pendidikan.
Berdasarkan pada definisi-definisi para ahli
tersebut, menunjukkan bahwa
kurikulum
diartikan
tidak
secara
pelajaran
sempit
saja,
Sehingga
tetapi
dapat
merupakan
terbatas
lebih luas
dipahami
aktifitas
sekolah
dalam rangka
belajar
untuk
didalamnya
atau
apa
kegiatan
bahan pelajaran dan
itu.
bahwa
kurikulum
yang
dilakukan
saja
suatu
anak
dalam
tujuan, termasuk
pembelajaran,
strategi
mata
daripada
mempengaruhi
mencapai
pada
pengaturan isi,
dalam pembelajaran,
cara evaluasi program pengembangan pembelajaran
dan lain-lain.
Terdapat dua hal yang dapat dipahami dalam
pengertian kurikulum, yaitu kurikulum pada aspek
program atau rencana, yang pada hakikatnya adalah
kurikulum ideal (ideal curriculum) dan kurikulum pada
aspek pengalaman belajar siswa, yang pada hakikatnya
adalah kurikulum faktual (actual curriculum) (Wina
Sanjaya, 2008: 22).
Ideal kurikulum merupakan kurikulum yang
menggambarkan
suatu
cita-cita
dalam
bidang
pendidikan. Maksud cita-cita di sini adalah sebuah
harapan dan keinginan. Oleh karena itu, apa yang
menjadi harapan yang direncanakan dalam kurikulum
yang sifatnya resmi pada hakikatnya adalah cita-cita
(idealisasi) tentang wujud hasil pendidikan yang ingin
dicapai. Kurikulum ideal merupakan kurikulum yang
diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai
acuan atau pedoman guru dalam proses pembelajaran.
Sedangkan
kurikulum
faktual
merupakan
kurikulum yang disajikan di hadapan kelas atau yang
dilaksanakan oleh guru di sekolah. Kurikulum faktual
ini merupakan penjabaran dari kurikulum resmi ke
dalam
pengembangan
program
mengajar,
dimana
kurikulum faktual secara riil dapat dilaksanakan oleh
guru sesuai dengan kondisi yang ada. Termasuk di
dalam kurikulum ini adalah hidden curriculum, karena
hidden curriculum disajikan dan dialami oleh peserta
didik di sekolah baik di kelas ataupun di luar kelas.
2.1.1.2 Tujuan Kurikulum
Kalau
pendidikan
berbagai
kita
yang
UU
kaji
secara
mendalam
tujuan
selama
ini
dirumuskan,
dalam
pendidikan
nasional
kita,
akan
menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan
untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang:
(1)
religius dan bermoral;
(2)
menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan;
(3)
sehat jasmani dan rohani;
(4)
berkepribadian dan bertanggung jawab.
Keempat
dirumuskan
karakteristik
dalam
manusia
Undang-Undang
yang
Pendidikan
Nasional tersebut hakekatnya adalah karakteristik yang
bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan ke
dalam rumusan yang operasional dan terkait dengan
perkembangan masyarakat Indonesia khususnya dan
masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata
dari setiap karakteristik tersebut akan berbeda dalam
suatu tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat
pendidikan.
keempat
wujud
Karena
karakteristik
kemampuan,
dijadikan
itu
dalam
tersebut
dalam
perlu
dipahami
kurikulum
kedalam
nilai, dan
rujukan
menterjemahkan
sikap
proses
rumusan
yang
dapat
perencanaan
tingkat
dan
arah
perkembangan masyarakat Indonesia.
Berangkat
dari
pemahaman
tentang
karakteristik masyarakat modern di era globalisasi yang
perlu kita wujudkan dapatlah kiranya kita sampai
kepada identifikasi kemampuan, nilai dan sikap yang
perlu dikuasai dan dimiliki peserta didik terdidik yaitu:
(1)
memiliki
kemampuan,
memungkinkannya
nilai
berpartisipasi
dan
secara
sikap
aktif
yang
dan
cerdas dalam proses politik; (2) memiliki kemampuan,
etos kerja, dan disiplin kerja yang memungkinkannya
dapat secara aktif dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi, (3) memiliki kemampuan
dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
melalui
kemampuan
penelitian dan pengembangan, (4) memiliki kepribadian
yang
mantap,
berakhlak mulia.
berkarakter
dan
bermoral,
serta
2.1.1.3 Komponen Kurikulum
Menurut Wina Sanjaya (2009: 59), unsurunsur yang merupakan komponen pokok kurikulum
terdiri dari empat jenis, yaitu:
1.
Komponen Tujuan
Tujuan merupakan gambaran harapan, sasaran
yang
menjadi
dilakukan
acuan
bagi
semua
aktivitas
untuk mencapainya. Istilah
yang
yang lebih
populer saat ini yang digunakan sebagai padanan
tujuan, yaitu “Kompetensi”. Kompetensi merupakan
rumusan kemampuan berhubungan dengan aspek
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus
direfleksikan
dalam berfikir dan
bertindak secara
konsisten.
Adapun jenis tujuan bisa dibedakan dari mulai
tujuan yang sangat umum dan bersifat jangka panjang
sampai pada tujuan lebih spesifik atau jangka pendek
(segera) dengan urutan sebagai berikut.
a.
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional merupakan sasaran
akhir
yang
harus
menjadi
inspirasi
bagi
setiap
penyelenggara pendidikan pada setiap jenjang, jalur
dan jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Dalam
Undang-undang no. 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa
Pendidikan
Nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak
mulia,
sehat,
berilmu,
cakap,
kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
b.
Tujuan Lembaga Pendidikan (Institusional)
Tujuan
Lembaga
Pendidikan
merupakan
sasaran, harapan atau arah yang harus menjadi acuan
untuk dicapai oleh setiap lembaga pendidikan sesuai
dengan jalur, jenjang dan jenis pendidikannya. Istilah
yang digunakan saat ini sebagai padanan tujuan
institusional ialah “Standar Kompetensi Lulusan/SKL”
Misalnya
tujuan
“Meletakkan
lembaga
dasar
pendidikan
kecerdasan,
dasar
ialah
pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.”
(Peraturan Mendiknas no. 23 Tahun 2006)
c.
Tujuan Kurikuler (Mata pelajaran)
Tujuan
Kurikuler
kemampuan/kompetensi
yang
harus
merupakan
dimiliki
oleh
peserta didik setelah memelajari suatu mata pelajaran
atau kelompok mata pelajaran. Adapun istilah yang
saat ini digunakan sebagai padanan tujuan mata
pelajaran (kurikuler) yaitu “standar kompetensi”
d.
Tujuan Pembelajaran (Instruksional)
Merupakan
standar
penjabaran
kompetensi,
lebih
lanjut
yaitu
kemampuan/kompetensi
dari
rumusan
(pengetahuan,
sikap,
keterampilan) yang harus dimiliki secara segera dan
bisa diketahui hasilnya setelah setiap pembelajaran
berakhir. Istilah yang digunakan saat ini sebagai
padanan tujuan pembelajaran adalah “kompetensi
dasar dan indikator” pembelajaran.
2.
Komponen Isi
Merupakan materi atau bahan ajar yang harus
dipelajari
oleh
peserta
didik
untuk
mencapai
kompetensi yang diharapkan. Isi kurikulum sebagai
bahan ajar sebaiknya dikembangkan dari berbagai
sumber yang luas dan bervariasi (cetak, noncetak,
web) baik yang sengaja dipersiapkan (by design)
maupun yang dimanfaatkan (by utilization).
a. Komponen Metode/Strategi
Merupakan pendekatan, strategi, dan sistem
pengelolaan
pendidikan/
pembelajaran
yang
dilakukan di setiap lembaga pendidikan, sehingga
program atau kurikulum yang telah ditetapkan dapat
berjalan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
b. Komponen Evaluasi
Merupakan
alat
ukur
untuk
mengetahui
keterlaksanaan program dan tingkat keberhasilan
yang telah dicapai dikaitkan dengan rencana yang
telah
ditetapkan
oleh
kurikulum.
Alat
evaluasi
kurikulum harus ditetapkan secara valid dan dapat
menilai seluruh aspek kurikulum (proses dan hasil).
Keempat komponen kurikulum (Tujuan, Isi,
Metode, Evaluasi) merupakan suatu kesatuan yang
terintegrasi, saling memengaruhi dan menentukan
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan
demikian kurikulum dikatakan sebagai suatu sistem,
seperti dapat dilihat pada bagan sebagai berikut.
Tujuan
Isi
Evaluasi
Metode
Gambar 2. Komponen Kurikulum
2.1.1.4 Pengertian Hidden Curriculum
Istilah hidden curriculum terdiri dari dua kata,
yaitu hidden dan curriculum. Secara etimologi, kata
“hidden” berasal dari Bahasa Inggris, yaitu hide yang
berarti tersembunyi (terselubung). Sedangkan istilah
kurikulum sendiri berarti sejumlah mata pelajaran dan
pengalaman belajar yang harus dilalui peserta didik
demi menyelesaikan tugas pendidikannya. Dengan
demikian,
hidden
tersembunyi
curriculum
atau
kurikulum
adalah
kurikulum
terselubung
dimana
kurikulum ini tidak tercantum dalam kurikulum ideal
tetapi
memiliki
andil
dalam
pencapaian
tujuan
pendidikan.
Beragam definisi tentang hidden curriculum atau
kurikulum tersembunyi yang dikemukakan oleh para
ahli (dalam Rohinah, 2012: 27), sebagai berikut:
1. Jhon
D.
MC.
Neil,
hidden
curriculum
adalah
pengaruh pembelajaran yang tidak resmi (tidak
direncana)
hal
mana
bisa
melemahkan
atau
menguatkan dalam mereliasasikan tujuan.
2. Allan
A.
Glattron,
kurikulum
dipelajari,
sebagai
yang
yang
berbagai
kurikulum
yang
memberikan
hidden
tidak
menjadi
secara
definitive
aspek
dari
dipelajari,
pengaruh
curriculum
dalam
adalah
bagian
untuk
digambarkan
sekolah
di
namun
mampu
perubahan
luar
nilai,
persepsi dan perilaku siswa.
3. Dede Rosyada, hidden curriculum secara teoritik
sangat
rasional
mempengaruhi
siswa,
baik
menyangkut lingkungan sekolah, suasana kelas,
pola interaksi guru dengan siswa dalam kelas,
bahkan
pada
kebijakan
serta
manajemen
pengelolaan sekolah secara lebih luas dan perilaku
dari semua komponen sekolah dalam hubungan
interaksi vertikal dan horisontal mereka.
4. Oemar Hamalik, hidden curriculum merupakan hasil
dari
desakan
sekolah,
tugas
baca
buku
yang
memberikan efek yang tak diinginkan begitu pula
kebutuhan untuk mempengaruhi orang lain agar
menyetujui
sesuatu
yang
diharapkan.
Melalui
interaksi kelas dan testing guru-guru secara sadar
dapat
mengubah
cita-cita
pendidikan
yang
dimintakan.
5. H. Dakir, hidden curriculum adalah kurikulum yang
tidak direncanakan, tidak diprogram dan tidak
dirancang tetapi mempunyai pengaruh, baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap output
dari proses belajar mengajar.
Persamaan definisi hidden curriculum di atas
adalah
kurikulum
yang
tidak
direncanakan.
Perbedaannya oleh Allan A. Glattron dan Dede Rosyada
hidden
curriculum
memberikan
pengaruh
dalam
perubahan nilai, persepsi dan perilaku siswa. Kegiatankegiatan
yang
disampaikan
termasuk
oleh
Dede
dalam
hidden curriculum
Rosyada,
antara
lain
pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi di kelas,
hubungan antar komponen di sekolah, kebijakan dan
manajemen sekolah.
Sehingga
curriculum
bisa
merupakan
dikatakan
kurikulum
bahwa
yang
hidden
tidak
direncanakan dan secara substansi mampu membina
peserta didik pada esensi program pembelajaran secara
berkelanjutan namun tidak termaktub secara formal
tetapi dapat dikembangkan dalam bentuk kegiatan
antara lain pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi
di kelas, hubungan
antar komponen
di sekolah,
kebijakan dan manajemen sekolah.
Pelaksanaan
kurikulum
tersembunyi
dalam
KTSP dapat digolongkan dalam aktivitas pengembangan
diri yang pelaksanaannya tidak terprogram. Dalam
panduan KTSP untuk pengembangan diri tentang
bentuk-bentuk
dinyatakan
pelaksanaan
bahwa,
pengembangan
bentuk-bentuk
diri
pelaksanaan
pengembangan diri mencakup:
a.
Kegiatan pengembangan diri secara terprogram
dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam
kurun
waktu
tertentu
kebutuhan
peserta
kelompok
dan
didik
atau
untuk
memenuhi
secara
individual,
klasikal
melalui
penyelenggaraan:
1) layanan dan kegiatan pendukung konseling,
dan
2) kegiatan ekstra kurikuler;
b.
Kegiatan
pengembangan
diri
secara
tidak
terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut:
1)
rutin,
yaitu
kegiatan
yang
dilakukan
terjadwal, seperti: upacara bendera, senam,
ibadah
khusus
keagamaan
bersama,
keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan
kesehatan diri;
2)
spontan,
adalah
kegiatan
yang
tidak
terjadwal dalam kejadian khusus seperti:
pembentukan
perilaku
memberi
salam,
membuang sampah pada tempatnya, antri,
mengatasi silang pendapat (pertengkaran);
dan
3)
keteladan, adalah kegiatan dalam bentuk
perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi,
berbahasa
yang
baik,
rajin
membaca,
memuji kebaikan dan atau keberhasilan
orang lain, datang tepat waktu (Tim Pustaka
Yustisia dalam Wahidmurni, 2009: 3).
2.1.1.5 Pendidikan
nilai
dalam
pengembangan
Hidden Curriculum
Hidden curriculum merupakan kurikulum yang
berkembang secara alamiah atau tidak direncanakan
secara khusus. Menurut Krathwohl (1984: 112), proses
pembentukan dan pengembangan nilai-nilai pada anak
didik itu ada lima tahap.
1.
Receiving (menyimak dan menerima). Dalam hal ini
anak menerima secara aktif, artinya anak telah
memilih untuk kemudian
menerima nilai. Jadi
pada tahap ini anak baru menerima saja.
2.
Responding (menanggapi). Pada tahap ini anak
sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi
secara aktif. Dalam hal ini ada tiga tahapan
sendiri,
yakni
manut
(menurut),
bersedia
menaggapi, dan puas dalam menanggapi.
3.
Valuing (memberi nilai), pada tahap ini anak sudah
mulai
mampu
membangun
persepsi
dan
kepercayaan terkait dengan nilai yang diterima.
Pada tahap ini ada tiga tingkatan yakni : percaya
terhadap
nilai
yang
diterima,
merasa
terikat
dengan nilai dipercayai, dan memiliki keterkaitan
batin dengan nilai yang diterima.
4.
Organization, dimana anak mulai mengatur sistem
nilai yang ia terima untuk ditata dalam dirinya
dalam konteks perilaku.
5.
Characterization,
atau karakterisasi nilai yang
ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk
mengorganisir sistem nilai yang diyakininya dalam
hidupnya yang serba mapan, ajek, dan konsisten.
2.1.2 Hakekat Evaluasi dan Evaluasi Program
2.1.2.1
Pengertian Evaluasi
Sudarwan
Danim
(2000:
14)
mendefinisikan
penilaian (evaluating) adalah Proses pengukuran dan
perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya
dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Menurut
Suchman
(dalam
Suharsimi
Arikunto,
2014:
1)
memandang evaluasi sebagai proses menentukan hasil
yang
telah
dicapai
beberapa
kegiatan
yang
direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.)
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuantujuan pendidikan. Mengevaluasi keberhasilan sebuah
pendidikan berarti juga mengevaluasi kurikulumnya.
Hal ini berarti bahwa evaluasi kurikulum merupakan
bagian dari evaluasi pendidikan, yang memusatkan
perhatiannya pada program-program untuk peserta
didik. Sedangkan evaluasi merupakan bagian penting
dalam proses pengembangan kurikulum, baik dalam
pembuatan kurikulum baru, memperbaiki kurikulum
yang ada atau menyempurnakannya. Evaluasi yang
tepat dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk
mendukung
terwujudnya
fase
pengembangan
ini
dengan efektif dan bermakna. Agar kurikulum yang
baik dapat tercapai, harus diimplementasikan dengan
baik, kreatif, dan inovatif. Untuk dapat mengetahui
tingkat tersebut harus melewati satu tahap yang
dinamakan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum
tanpa
kurikulum
tidak
punya
arti
sebaliknya
kurikulum tanpa evaluasi tidak akan mendapatkan
hasil
maksimal,
kurikulum
baik
maupun
dalam
dalam
proses
proses
konstruksi
pelaksanaan
kurikulum.
Sehingga
bisa
dikatakan
bahwa
evaluasi
kurikulum adalah suatu proses evaluasi terhadap
kurikulum secara keseluruhan baik yang bersifat
makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum)
maupun
lingkup
mikro
(actual
curriculum)
dalam
bentuk pembelajaran.
Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 3) program
didefinisikan
sebagai
suatu
unit
atau
kesatuan
kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi
dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi
yang melibatkan sekelompok orang. Dalam kosepsi ini,
terdapat tiga pengertian penting yang perlu ditekankan
dalam menentukan suatu program, yakni: 1) realisasi
atau implementasi suatu kebijakan, 2) terjadi dalam
waktu yang relative lama, bukan kegiatan tunggal
tetapi jamak berkesinambungan, dan 3) terjadi dalam
organisasi yang melibatkan orang banyak. Sebuah
program bukan hanya kegiatan tunggal, melainkan
kegiatan
yang
berkesinambungan
karena
melaksanakan suatu kebijakan. Program merupakan
sebuah system dimana system itu sendiri merupakan
satu kesatuan dari beberapa bagian atau komponen
program yang saling kait mengkait dan bekerja satu
dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam system. Dengan demikian program
terdiri dari komponen yang saling kait mengkait dan
saling
tujuan.
menunjang
dalam
rangka
mencapai
suatu
Menurut
Cronbach
Suharsimi
Arikunto,
merupakan
upaya
dan
2014:
Stufflebeam
4)
evaluasi
menyediakan
(dalam
program
informasi
untuk
disampaikan pada pengambil keputusan. Dalam bidang
pendidikan, Tyler (dalam Suharsimi Arikunto, 2014: 4)
mengemukakan bahwa evaluasi program merupakan
proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan
dapat
terealisasikan.
Dengan
demikian
evaluasi
program pendidikan merupakan rangkaian kegiatan
yang dilakukan
secara
cermat
untuk
mengetahui
efektivitas masing-masing komponennya. Ada empat
kemungkinan
kebijakan
yang
dapat
dilakukan
berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program
keputusan
yaitu
menghentikan
program,
merevisi
program, melanjutkan program, atau menyebarluaskan
program.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan
kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan
hasil
evaluasi
keputusan
akan
program
itulah
menentukan
para
tindak
pengambil
lanjut
dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan. Melalui
metode tertentu secara cermat dan sistematis akan
diperoleh data yang handal dan reliabel sehingga
penentuan kebijakan selanjutnya akan tepat, dengan
catatan
data
yang
digunakan
sebagai
dasar
pertimbangan tersebut adalah data yang tepat, baik
dari segi isi, cakupan, format maupun tepat dari segi
waktu penyampaian (Widoyoko, 2007). Untuk dapat
menjadi evaluator program, seseorang harus memiliki
kemampuan
dalam
melaksanakan
evaluasi
yang
didukung oleh teori dan kemampuan praktik, cermat,
obyektif,
sabar
dan
tekun,
serta
hati-hati
dan
bertanggung jawab.
2.1.2.2 Tujuan dan Fungsi Evaluasi Program
Evaluasi
dengan
program
dilakukan
oleh
peneliti
tujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan
program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan
kegiatan program, karena evaluator program ingin
mengetahui
bagaimana
dari
komponen
dan
subkomponen program yang belum terlaksana dan apa
sebabnya (Suharsimi Arikunto, 2014: 18).
Dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan
menentukan
langkah
bagaimana
melaksanakan
penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 7),
terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian
dan evaluasi program adalah sebagai berikut:
a.
Dalam
kegiatan
mengetahui
penelitian,
gambaran
kemudian hasilnya
dalam
evaluasi
peneliti
tentang
ingin
sesuatu
dideskripsikan, sedangkan
program
pelaksanan
menetahui seberapa tinggi mutu atau
ingin
kondisi
sesuatu
sebagai
setelah
data
hasil
yang
pelaksanaan
terkumpul
program,
dibandingkan
dengan criteria atau standar tertentu.
b.
Dalam
kegiatan
penelitian, peneliti dituntut
oleh rumusan masalah karena ingin mengetahui
jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam
evaluasi program
tingkat
pelaksanan ingin mengetahui
ketercapaian
tujuan
apabila tujuan belum
pgogram,
dan
tercapai sebagaimana
ditentukan, pelaksana ingin mengetahui letak
kekurangan itu dan apa sebabnya.
Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan
untuk mengetahui akhir dari adanya kebijakan, dalam
rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang
lalu,
yang
pada
tujuan
akhirnya
adalah
untuk
menentukan kebijakan selanjutnya. Kebijakan yang
memberikan manfaat bagi pengembangan program
pendidikan terkait.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan
kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan
hasil
evaluasi
keputusan
program
akan
itulah
menentukan
para
tindak
pengambilan
lanjut
dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud
dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari
evaluator untuk pengambil keputusan (decision maker).
Adapun Fungsi evaluasi dalam program proses
pendidikan adalah sebagai berikut:
a.
Memberi informasi yang valid mengenai kinerja
kebijakan, program dan kegiatan, yaitu mengenai
seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan
telah dicapai.
b.
Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik.
Evaluasi memberi sumbangan pada
klarifikasi
dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari
tujuan dan target.
c.
Memberi
sumbangan
pada
aplikasi
metode
analisis kebijakan, termasuk perumusan masalah
dan
rekomendasinya.
Evaluasi
dapat
pula
menyumbangkan rekomendasi bagi pendefinisian
alternatif
kebijakan,
mengganti
kebijakan
yang
bermanfaat
untuk
berlaku
dengan
yang
alternatif kebijakan yang lain.
Menurut pendapat di atas, fungsi evaluasi adalah
untuk memberi informasi yang baik dan benar kepada
masyarakat, memberi kritikan pada klarifikasi suatu
nilai-nilai dari suatu tujuan dan target, kemudian
membuat suatu metode kebijakan untuk mencapai
kinerja sehingga program dan kegiatan yang dievaluasi
memberikan
kebijakan
instansi.
kontribusi
suatu
kegiatan
bagi
perumusan
dalam
organisasi
ulang
atau
Terdapat 4 (empat) kemungkinan kebijakan
yang
dapat
dilakukan
berdasarkan
hasil
dalam
pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu:
1.
Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak ada manfaatnya, atau
tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2.
Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang
kurang
sesuai
dengan
harapan
(terdapat
kesalahan tapi hanya sedikit).
3.
Melanjutkan
program,
karena
pelaksanaan
program menunjukkan bahwa segala sesuatu
sudah sesuai dengan harapan dan memberikan
hasil yang bermanfaat.
4.
Menyebarluaskan
program
(melaksanakan
program ditempat-tempat lain atu mengulangi
lagi program dilain waktu), karena program
tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik
jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang
lain.
2.1.2.3 Model Evaluasi Program
Ada banyak model yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi suatu program pendidikan.
Suharsimi
banyak
berikut.
Arikunto
dikenal
serta
(2014:41)
Menurut
model-model yang
digunakan
adalah
sebagai
1) Goal Oriented Evaluation Model
Goal
Oriented
merupakan
model
Evaluation
Model
ini
yang muncul paling awal. Obyek
pengamatan yang diperhatikan pada model ini adalah
tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh
sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan, terus menerus, mencapai sejauh
mana tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam
proses
pelaksanaan
program.
Model
ini
dikembangkan oleh Tyler.
2) Goal Free Evaluation Model
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Michael
Scriven ini dapat dikatakan berlawanan dengan model
pertama yang dikembangkan oleh Tyler. Jika model
yang dikembangkan Tyler, evaluator terus menerus
memantau tujuan, yaitu sejak awal proses terus
melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat
dicapai, dalam model goal free evaluation (evaluasi
lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan.
3) Formatif-Sumatif Evaluation Model
Selain
Michael
model
“evaluasi
lepas
dari
tujuan”,
Scriven juga mengembangkan model lain,
yaitu model formatif-sumatif. Model ini menunjuk
adanya tahapan dan lingkup obyek yang dievaluasi,
yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program
masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika
program
sudah
selesai
atau
berakhir (disebut
evaluasi sumatif).
4) Countenance Evaluation Model
Model evaluasi ini dikembangkan oleh Stake,
model Stake menekankan
pokok
pada
adanya
dua
hal
yaitu: (1) deskripsi (description)
dan
(2)
pertimbangan (judgements), serta membedakan adanya
tiga komponen dalam evaluasi
masukan
pogram yaitu: (1)
(antecendents/context),
(2)
proses
(transaction/process) dan (3) produk (output-outcomes).
5) CSE-UCLA Evaluation Model
CSE-UCLA
terdiri
dari
CSE merupakan singkatan
Study
of
Evaluation,
dua
dari
singkatan
Center
dan
yaitu
for
the
UCLA merupakan
singkatan dari University of California in Los Angeles.
Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap
yang dilakukan dalam evaluasi,
yaitu
perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil dan dampak.
6) CIPP Evaluation Model
Model
evaluasi
ini
paling banyak dikenal
evaluator.
Stufflebeam
Model
dan
dan
CIPP
merupakan
model
yang
oleh
para
ini dikembangkan
oleh
diterapkan
kawan-kawan
di
Ohio
State
University. Stufflebeam berpandangan bahwa tujuan
penting
evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi
memperbaiki. The CIPP approach is based on the view
that the most important purpose of evaluation is not to
prove but to improve (Stufflebeam, 1993: 118). CIPP
merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat
buah
kata,
yaitu:
terhadap
konteks),
terhadap
masukan),
terhadap
terhadap
Context evaluation
(evaluasi
Input
(evaluasi
evaluation
Process
proses), Product
hasil).
Keempat
evaluation
evaluation
kata
(evaluasi
(evaluasi
yang disebutkan
dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran
evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses
sebuah program kegiatan.
7) Discrepancy Model
Discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang
diterjemahkan kedalam
“kesenjangan”.
Malcolm
bahasa
Model
Provus
ini
Indonesia
menjadi
yang dikembangkan
oleh
merupakan
yang
model
menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di
dalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang
dilakukan
oleh
evaluator
mengukur besarnya
kesenjangan yang ada di setiap komponen.
2.1.2.4 Model Evaluasi yang Dipilih
Model evaluasi yang dipilih dalam penelitian ini
adalah
Model
Evaluation
Evaluasi
Model).
Bebas
Model
yang
Tujuan
(Goal
Free
dikemukakan
oleh
Michael Scriven (dalam Suharsimi, 2014: 14) ini
menjelaskan bahwa dalam tata kerjanya tidak boleh
terlalu rinci bila menekankan evaluasi pada pencapaian
tujuan. Model ini tidak berarti melupakan tujuan
samasekali atau tidak memberikan batasan kepada
para evaluator, bahkan melarangnya untuk melupakan
tujuan program, tetapi memberikan peringatan agar
tidak bekerja terlalu rinci pada tujuan khusus yang
dapat menjurus pada tujuan yang umum. Dengan
peringatan tersebut evaluator boleh berpikir tentang
pencapaian tujuan. Sehingga dapat dipahami bahwa
penggunaan model evaluasi bebas tujuan sama dengan
penggunaan model evaluasi berorientasi pada tujuan.
Menurut
Scriven,
dalam
melaksanakan
evaluasi,
evaluator tidak harus hanya terpaku pada tujuan
program, tetapi mereka justru harus mengidentifikasi
dampak program, baik dampak yang positif (hal-hal
yang diharapkan) maupun dampak yang negatif (halhal yang tidak diharapkan).
2.2
Penelitian Relevan
Beberapa
kajian
terdahulu
tentang
hidden
curriculum adalah sebagai berikut:
Khairun Nisa’ (2009) dalam Hidden Curriculum:
Upaya Peningkatan Kecerdasan Spiritual Peserta didik.
Hasil kajiannya dapat disimpulkan bahwa dengan
penerapan
pencapaian
hidden
tujuan
curriculum
pendidikan
dapat
membantu
nasional
yang
diinginkan, peserta didik tidak hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga cerdas secara spiritual. Oleh
karena itu, hidden curriculum harus menjadi kajian
evaluatif dalam proses perbaikan dan pengembangan
sekolah.
Sigit Wahyono
(2010) dalam Inovasi Hidden
Curriculum pada Pesantren Berbasis Entrepreneurship
(Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Isti’anah Plangitan
Pati). Hasil dari penelitian ini adalah inovasi pendidikan
entrepreneurship yang diaplikasikan dalam bidangbidang usaha, sehingga terjadi perubahan-perubahan
antara
lain
:
1)
visi
seorang kyai
atau
sederhananya, impian dan keinginan
bahasa
seorang
kyai
dalam membentuk tradisi dan aktifitas keseharian
dalam
pondok
pesantren, 2) pola hubungan yang
dibangun antara sesama santri, antara santri dengan
ustadz dan santri dengan pengasuh/kyai, 3) peraturan,
rutinitas sehari-hari dan kebijakan yang ada dan
diterapkan
dalam
aktivitas
keseharian
pada
Pondok Pesantren Al-Isti’anah.
Wijayanto (2014) dalam Kepemimpinan kepala
sekolah perempuan dalam mengembangkan hidden
curriculum (studi kasus di SD Plus Al-Kautsar Malang).
Hasil
penelitian
disimpulkan
sebagai
berikut:
(1)
Hidden curriculum yang dikembangkan difokuskan pada
dua
aspek
diwujudkan
yaitu:
melalui
(a)
kegiatan
misi
terprogram
sekolah
serta
yang
kegiatan
ekstrakurikuler dan (b) kegiatan tidak terprogram yang
diwujudkan melalui keteladanan guru dan pembiasaan
budaya sekolah. (2) Strategi pengembangan hidden
curriculum dilakukan melalui: (a) pembiasaan peserta
didik untuk menerapkan budaya 7S (salam, salim,
senyum, sapa, santun, sehat dan sabar), (b) pelatihan
kepemimpinan
motivasi
peserta
untuk
guru,
didik,
(d)
(c)
penerapan
penciptaan
jam
lingkungan
sekolah yang kondusif. (3) karakteristik kepala sekolah
perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum
mengacu pada dua aspek yaitu: (a) berkaitan dengan
karakter kepala sekolah yang feminis sebagai seorang
perempuan yang dapat dilihat pada integritas kepala
sekolah,
gaya
kemampuan
kepemimpinan
manajerial
kepala
kepala
sekolah,
sekolah
serta
kompetensi kepala sekolah, (b) berkaitan dengan faktor
penentu keberhasilan hidden curriculum yang meliputi
kewenangan
kepala
sekolah,
peran
guru
dalam
mengawal pelaksanaan hidden curriculum, dukungan
orang
tua,
komponen
curriculum
serta
otonomi
sekolah
dalam
menjadi
pengembangan
karakter
sekolah.
(4)
dukungan
pelaksanaan
langkah
positif
hidden
strategis
peserta
didik.
bagi
(5)
kendala pelaksanaan hidden curriculum bersumber dari
dua hal yaitu (a) internal sekolah berupa minimnya
kesadaran guru dalam menjalankan program yang
telah ditetapkan yang berdampak pada pelanggaran
terhadap komitmen yang telah disepakati. Solusinya
dilakukan
melalui
upaya-upaya
sistematis
dengan
mencatat setiap pelanggaran yang dilakukan oleh guru
kedalam buku kasus, mengingatkan kembali akan
tanggung jawab dan peran sebagai pendidik, pemberian
teguran prosedur yang berlaku hingga pengurangan
jam mengajar bagi guru. (b) eksternal sekolah berupa
minimnya kesadaran orang tua dalam pendidikan
anaknya yang berdampak pada kepedulian orang tua
untuk mendukung setiap aktifitas positif peserta didik.
Solusinya
dilakukan
Komunikasi
Kelas,
melalui
pembentukan
membentuk
SMS
Forum
Centre,
dan
optimalisasi website sekolah. (6) dampak karakter yang
dibangun dari hidden curriculum yaitu: (a) perubahan
perilaku warga sekolah ke arah yang lebih baik, (b)
terwujudnya
suasana
sekolah
yang
nyaman
dan
menyenangkan, (c) terbangunnya kesadaran peserta
didik
akan
dijalankan,
batasan-batasan
dan
(d)
perilaku
tumbuhnya
yang
harus
kepercayaan
masyarakat pada sekolah untuk pendidikan putraputrinya.
Penelitian lainnya adalah “Hidden Curriculum
Contributing to Social Production-Reproduction in a Math
Classroom”
membuktikan
oleh
Esin
bahwa
Acar
kegiatan
(2012),
penelitian
kurikuler
dan
ekstrakurikuler seringkali dilingkari oleh pengaruh
keputusan budaya/kebiasaan. Di samping itu, sebuah
kelas matematika dasar menunjukkan bahwa murid-
murid dibentuk dari budaya dan pola sosial yang
memudar lebih dari yg diharapkan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Zuhal
Cubukcu (2012) dalam “The Effect of Hidden Curriculum
on Character Education Process of Primary School
Students” adalah penelitian yang menggunakan model
studi kasus dengan tujuan untuk mengetahui kegiatan
yang mendukung dan pandangan siswa berpartisipasi
dalam
kegiatan
kurikulum
ini
dengan
tersembunyi
pemikiran
dalam
pentingnya
mendapatkan
nilai
dalam pendidikan karakter di sekolah dasar. Kegiatan
mendukung kurikulum tersembunyi seperti kegiatan
sosial dan budaya, kegiatan waktu luang dan kegiatan
sportif, perayaan hari-hari khusus dan minggu, karya
klub sosial dapat dianggap sebagai nilai yang kuat alat
mendapatkan
bagi
siswa
sekolah
dasar
untuk
memahami, menginternalisasi dan melakukan nilainilai. Hasil penelitiannya nilai-nilai yang termasuk
dalam kurikulum sekolah dasar, dan kegiatan yang
mendukung bagi kurikulum tersembunyi dalam proses
mendapatkan
dan
internalisasi
nilai-nilai
memiliki
kepentingan yang besar.
Persamaan dari kelima penelitian di atas adalah
dalam hidden curriculum mampu membentuk nilai-nilai
dan perilaku peserta didik. Tetapi dalam penelitian oleh
Wijayanto lebih luas menghasilkan strategi-strategi
pengembangan hidden curriculum dari budaya 7S,
pelatihan kepemimpinan peserta didik, jam motivasi
guru, penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif.
Lebih jauh dijelaskan karakteristik kepala sekolah
perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum,
dampak dan faktor-faktor penentu keberhasilan hidden
curriculum. Pengintegrasian hidden curriculum dalam
mata pelajaran matematika telah mampu membentuk
budaya dan pola sosial.
2.3 Kerangka Pikir Penelitian
Menurutnya Scrieven (1972) (dalam Suharsimi,
2014:
41)
dan
pendukungnya,
pada
Goal
Free
Evaluation seorang evaluator harus menghindari tujuan
dan mengambil setiap tindak pencegahan. Pada model
ini
evaluasi
program
dapat
dilakukan
tanpa
mengetahui tujuan itu sendiri. Maka evaluasi sangat
tepat untuk mengungkap adanya perubahan perilaku
sebagai
dampak
nyata
hidden
curriculum
yang
dilanjutkan dengan tindakan dalam pendidikan. Untuk
melakukan
evaluasi
dengan
model
bebas
tujuan,
evaluator perlu menghasilkan dua informasi, yaitu: 1.
Penilaian tentang dampak nyata, 2. Penilaian tentang
hidden curriculum yang hendak dinilai.
Jika suatu kegiatan mempunyai pengaruh yang
dapat ditunjukkan secara nyata dan responsif terhadap
suatu kebutuhan, hal ini berarti bahwa suatu hidden
curriculum
berguna
dan
secara
positif
perlu
dikembangkan, dan jika sebaliknya yang terjadi, tidak
mempunyai pengaruh nyata pada peserta didiknya
sebaiknya di hentikan atau diperbaiki.
Kerangka
berpikir
tersebut
dapat
dilihat
sebagaimana bagan berikut.
Kurikulum Pendidikan
SMP Negeri 2 Boja
Kurikulum
Ideal
Kurikulum
faktual
Kegiatan pengembangan
Hidden Curriculum =
Kurikulum tersembunyi
(Hidden Curriculum)
Positif
(Berhasil)
Evaluasi
dilanjut
Negatif (Tidak
berhasil)
Kegiatan pengembangan
Hidden Curriculum =
diperbaiki/dihentikan
Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian
Dari
bagan
diinterpretasikan
kerangka
bahwa
pikir
tersebut
bisa
kurikulum
sebagai
satu
dokumen tertulis yaitu kurikulum ideal memerlukan
penerapan atau pelaksanaan dalam bentuk proses
pembelajaran.
Demikian
pula
kurikulum
yang
dikembangkan di SMP Negeri 2 Boja bahwa kenyataan
di lapangan apa yang dilakukan oleh guru di dalam dan
di luar sekolah menjadi pengalaman belajar yang
sangat mempengaruhi peserta didik. Oleh karena itu
maka pengelaman belajar yang diperoleh peserta didik
di sekolah dalam proses pelaksanaan kurikulum ideal
disebut sebagai kurikulum faktual. Dan segala sesuatu
yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal
menjadi kurikulum faktual di sebut sebagai kurikulum
tersembunyi.
Kegiatan
pengembangan
Hidden
Curriculum di SMP Negeri 2 Boja yang sudah dijalankan
belum mampu mengubah perilaku semua peserta didik
menjadi lebih baik sehingga perlu dilakukan evaluasi,
dengan evaluasi model goal free.
Model evaluasi ini bercirikan bebas tujuan
sehingga proses evaluasi tidak terperinci maupun
mengarah pada tujuan, namun evaluasi ini melihat
dampak dari adanya pelaksanaan hidden curriculum
baik dampak positif maupun dampak negatif. Sebagai
konsekuensinya,
kegiatan
pengembangan
hidden
curriculum akan dilanjutkan jika hasilnya berdampak
positif, sebaliknya jika kegiatan pengembangan hidden
curriculum
berdampak
negatif,
maka
kegiatan
pengembangan hidden curriculum akan diperbaiki atau
dihentikan.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep dan Substansi Teori
2.1.1 Hakekat Hidden Curriculum
2.1.1.1 Pengertian Kurikulum
Sebelum
hidden
berbicara
tentang
curriculum lebih luas,
pengembangan
maka
perlu
terlebih
dahulu dijelaskan tentang konsep dasar dan hakikat
kurikulum itu sendiri.
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin,
yaitu
curriculae
yang
artinya
adalah
jarak
yang
ditempuh oleh seorang pelari. Awalnya kurikulum
digunakan dalam dunia olah raga, yaitu curere artinya
tempat berpacu. Curriculum diartikan “jarak” yang
harus “ditempuh” oleh pelari. Istilah ini kemudian
diterapkan dalam dunia pendidikan. Antara kurikulum
dalam istilah dunia olah raga memiliki kesamaan
penafsiran dalam dunia pendidikan, di mana dalam
dunia pendidikan kurikulum berhubungan erat dengan
usaha mengembangkan siswa untuk mencapai tujuan
yang diinginkan (Wina Sanjaya, 2008: 3).
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 “Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran
digunakan
sebagai
pedoman
serta
cara
yang
penyelenggaraan
kegiatan
pendidikan
pembelajaran
untuk
mencapai
tujuan
tertentu. Sementara Sucipto dan Raflis
(dalam Rohiat, 2010: 22) mengemukakan kurikulum
dapat
diartikan
pengertian
secara
sempit,
sempit
kurikulum
dan
luas.
diartikan
Dalam
sebagai
sejumlah mata pelajaran yang diberikan di sekolah,
sedangkan dalam pengertian luas kurikulum adalah
semua pengalaman belajar yang diberikan sekolah
kepada siswa selama mereka mengikuti pendidikan di
sekolah. Dengan pengertian luas ini berarti segala
usaha sekolah untuk memberikan pengalaman belajar
kepada siswa dalam upaya menghasilkan lulusan yang
baiksecara
kuantitatif
maupun
kualitatif
tercakup
dalam pengertian kurikulum. Pandangan klasik dalam
penyusunan kurikulum yang masih digunakan sampai
saat ini adalah rasional Tyler (dalam Ella, 2007: 30)
yang mengemukakan pertanyaan sebab akibat yang
meliputi: 1) tujuan pendidikan apa yang harus dicapai
di sekolah?, 2) pengalaman pendidikan apakah yang
dapat disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan?,
3) bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat dikelola
secara efektif?, 4) bagaimana menentukan bahwa
tujuan pendiidkan telah dicapai?.
Bila digambarkan pemikiran Tyler ini sebagai
berikut.
Pengalaman
Belajar
Tujuan
Pelaksanaan
Penilaian
Gambar 1. Pemikiran Tyler (dalam Ella, 2007: 31)
Dari pengertian kurikulum menurut UU No. 20
Tahun
2003
dan
Sucipto
dan
Raflis
di
atas
persamaannya adalah dalam mendefinisikan kurikulum
sebagai
bahan
pelajaran
atau
mata
pelajaran
di
sekolah. Perbedaan keduanya adalah pada UU No. 20
tidak menyebutkan pengalaman belajar peserta didik.
Persamaan antara pengertian kurikulum dalam UU No.
20
Tahun
menjelaskan
2003
dan
tentang
Tyler
tujuan
adalah
dan
keduanya
pengelolaan
pendidikan, perbedaannya pada bahan pelajaran dan
evaluasi pencapaian tujuan pendidikan. Sementara
persamaan pengertian kurikulum pada Sucipto & Raflis
dan Tyler keduanya menyebutkan pengalaman belajar
peserta didik, sedangkan perbedaannya adalah pada
Sucipto & Raflis tidak dijabarkan tujuan, pengelolaan,
dan evaluasi pendidikan.
Berdasarkan pada definisi-definisi para ahli
tersebut, menunjukkan bahwa
kurikulum
diartikan
tidak
secara
pelajaran
sempit
saja,
Sehingga
tetapi
dapat
merupakan
terbatas
lebih luas
dipahami
aktifitas
sekolah
dalam rangka
belajar
untuk
didalamnya
atau
apa
kegiatan
bahan pelajaran dan
itu.
bahwa
kurikulum
yang
dilakukan
saja
suatu
anak
dalam
tujuan, termasuk
pembelajaran,
strategi
mata
daripada
mempengaruhi
mencapai
pada
pengaturan isi,
dalam pembelajaran,
cara evaluasi program pengembangan pembelajaran
dan lain-lain.
Terdapat dua hal yang dapat dipahami dalam
pengertian kurikulum, yaitu kurikulum pada aspek
program atau rencana, yang pada hakikatnya adalah
kurikulum ideal (ideal curriculum) dan kurikulum pada
aspek pengalaman belajar siswa, yang pada hakikatnya
adalah kurikulum faktual (actual curriculum) (Wina
Sanjaya, 2008: 22).
Ideal kurikulum merupakan kurikulum yang
menggambarkan
suatu
cita-cita
dalam
bidang
pendidikan. Maksud cita-cita di sini adalah sebuah
harapan dan keinginan. Oleh karena itu, apa yang
menjadi harapan yang direncanakan dalam kurikulum
yang sifatnya resmi pada hakikatnya adalah cita-cita
(idealisasi) tentang wujud hasil pendidikan yang ingin
dicapai. Kurikulum ideal merupakan kurikulum yang
diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai
acuan atau pedoman guru dalam proses pembelajaran.
Sedangkan
kurikulum
faktual
merupakan
kurikulum yang disajikan di hadapan kelas atau yang
dilaksanakan oleh guru di sekolah. Kurikulum faktual
ini merupakan penjabaran dari kurikulum resmi ke
dalam
pengembangan
program
mengajar,
dimana
kurikulum faktual secara riil dapat dilaksanakan oleh
guru sesuai dengan kondisi yang ada. Termasuk di
dalam kurikulum ini adalah hidden curriculum, karena
hidden curriculum disajikan dan dialami oleh peserta
didik di sekolah baik di kelas ataupun di luar kelas.
2.1.1.2 Tujuan Kurikulum
Kalau
pendidikan
berbagai
kita
yang
UU
kaji
secara
mendalam
tujuan
selama
ini
dirumuskan,
dalam
pendidikan
nasional
kita,
akan
menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan
untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang:
(1)
religius dan bermoral;
(2)
menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan;
(3)
sehat jasmani dan rohani;
(4)
berkepribadian dan bertanggung jawab.
Keempat
dirumuskan
karakteristik
dalam
manusia
Undang-Undang
yang
Pendidikan
Nasional tersebut hakekatnya adalah karakteristik yang
bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan ke
dalam rumusan yang operasional dan terkait dengan
perkembangan masyarakat Indonesia khususnya dan
masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata
dari setiap karakteristik tersebut akan berbeda dalam
suatu tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat
pendidikan.
keempat
wujud
Karena
karakteristik
kemampuan,
dijadikan
itu
dalam
tersebut
dalam
perlu
dipahami
kurikulum
kedalam
nilai, dan
rujukan
menterjemahkan
sikap
proses
rumusan
yang
dapat
perencanaan
tingkat
dan
arah
perkembangan masyarakat Indonesia.
Berangkat
dari
pemahaman
tentang
karakteristik masyarakat modern di era globalisasi yang
perlu kita wujudkan dapatlah kiranya kita sampai
kepada identifikasi kemampuan, nilai dan sikap yang
perlu dikuasai dan dimiliki peserta didik terdidik yaitu:
(1)
memiliki
kemampuan,
memungkinkannya
nilai
berpartisipasi
dan
secara
sikap
aktif
yang
dan
cerdas dalam proses politik; (2) memiliki kemampuan,
etos kerja, dan disiplin kerja yang memungkinkannya
dapat secara aktif dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi, (3) memiliki kemampuan
dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
melalui
kemampuan
penelitian dan pengembangan, (4) memiliki kepribadian
yang
mantap,
berakhlak mulia.
berkarakter
dan
bermoral,
serta
2.1.1.3 Komponen Kurikulum
Menurut Wina Sanjaya (2009: 59), unsurunsur yang merupakan komponen pokok kurikulum
terdiri dari empat jenis, yaitu:
1.
Komponen Tujuan
Tujuan merupakan gambaran harapan, sasaran
yang
menjadi
dilakukan
acuan
bagi
semua
aktivitas
untuk mencapainya. Istilah
yang
yang lebih
populer saat ini yang digunakan sebagai padanan
tujuan, yaitu “Kompetensi”. Kompetensi merupakan
rumusan kemampuan berhubungan dengan aspek
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus
direfleksikan
dalam berfikir dan
bertindak secara
konsisten.
Adapun jenis tujuan bisa dibedakan dari mulai
tujuan yang sangat umum dan bersifat jangka panjang
sampai pada tujuan lebih spesifik atau jangka pendek
(segera) dengan urutan sebagai berikut.
a.
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional merupakan sasaran
akhir
yang
harus
menjadi
inspirasi
bagi
setiap
penyelenggara pendidikan pada setiap jenjang, jalur
dan jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Dalam
Undang-undang no. 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa
Pendidikan
Nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak
mulia,
sehat,
berilmu,
cakap,
kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
b.
Tujuan Lembaga Pendidikan (Institusional)
Tujuan
Lembaga
Pendidikan
merupakan
sasaran, harapan atau arah yang harus menjadi acuan
untuk dicapai oleh setiap lembaga pendidikan sesuai
dengan jalur, jenjang dan jenis pendidikannya. Istilah
yang digunakan saat ini sebagai padanan tujuan
institusional ialah “Standar Kompetensi Lulusan/SKL”
Misalnya
tujuan
“Meletakkan
lembaga
dasar
pendidikan
kecerdasan,
dasar
ialah
pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.”
(Peraturan Mendiknas no. 23 Tahun 2006)
c.
Tujuan Kurikuler (Mata pelajaran)
Tujuan
Kurikuler
kemampuan/kompetensi
yang
harus
merupakan
dimiliki
oleh
peserta didik setelah memelajari suatu mata pelajaran
atau kelompok mata pelajaran. Adapun istilah yang
saat ini digunakan sebagai padanan tujuan mata
pelajaran (kurikuler) yaitu “standar kompetensi”
d.
Tujuan Pembelajaran (Instruksional)
Merupakan
standar
penjabaran
kompetensi,
lebih
lanjut
yaitu
kemampuan/kompetensi
dari
rumusan
(pengetahuan,
sikap,
keterampilan) yang harus dimiliki secara segera dan
bisa diketahui hasilnya setelah setiap pembelajaran
berakhir. Istilah yang digunakan saat ini sebagai
padanan tujuan pembelajaran adalah “kompetensi
dasar dan indikator” pembelajaran.
2.
Komponen Isi
Merupakan materi atau bahan ajar yang harus
dipelajari
oleh
peserta
didik
untuk
mencapai
kompetensi yang diharapkan. Isi kurikulum sebagai
bahan ajar sebaiknya dikembangkan dari berbagai
sumber yang luas dan bervariasi (cetak, noncetak,
web) baik yang sengaja dipersiapkan (by design)
maupun yang dimanfaatkan (by utilization).
a. Komponen Metode/Strategi
Merupakan pendekatan, strategi, dan sistem
pengelolaan
pendidikan/
pembelajaran
yang
dilakukan di setiap lembaga pendidikan, sehingga
program atau kurikulum yang telah ditetapkan dapat
berjalan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
b. Komponen Evaluasi
Merupakan
alat
ukur
untuk
mengetahui
keterlaksanaan program dan tingkat keberhasilan
yang telah dicapai dikaitkan dengan rencana yang
telah
ditetapkan
oleh
kurikulum.
Alat
evaluasi
kurikulum harus ditetapkan secara valid dan dapat
menilai seluruh aspek kurikulum (proses dan hasil).
Keempat komponen kurikulum (Tujuan, Isi,
Metode, Evaluasi) merupakan suatu kesatuan yang
terintegrasi, saling memengaruhi dan menentukan
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan
demikian kurikulum dikatakan sebagai suatu sistem,
seperti dapat dilihat pada bagan sebagai berikut.
Tujuan
Isi
Evaluasi
Metode
Gambar 2. Komponen Kurikulum
2.1.1.4 Pengertian Hidden Curriculum
Istilah hidden curriculum terdiri dari dua kata,
yaitu hidden dan curriculum. Secara etimologi, kata
“hidden” berasal dari Bahasa Inggris, yaitu hide yang
berarti tersembunyi (terselubung). Sedangkan istilah
kurikulum sendiri berarti sejumlah mata pelajaran dan
pengalaman belajar yang harus dilalui peserta didik
demi menyelesaikan tugas pendidikannya. Dengan
demikian,
hidden
tersembunyi
curriculum
atau
kurikulum
adalah
kurikulum
terselubung
dimana
kurikulum ini tidak tercantum dalam kurikulum ideal
tetapi
memiliki
andil
dalam
pencapaian
tujuan
pendidikan.
Beragam definisi tentang hidden curriculum atau
kurikulum tersembunyi yang dikemukakan oleh para
ahli (dalam Rohinah, 2012: 27), sebagai berikut:
1. Jhon
D.
MC.
Neil,
hidden
curriculum
adalah
pengaruh pembelajaran yang tidak resmi (tidak
direncana)
hal
mana
bisa
melemahkan
atau
menguatkan dalam mereliasasikan tujuan.
2. Allan
A.
Glattron,
kurikulum
dipelajari,
sebagai
yang
yang
berbagai
kurikulum
yang
memberikan
hidden
tidak
menjadi
secara
definitive
aspek
dari
dipelajari,
pengaruh
curriculum
dalam
adalah
bagian
untuk
digambarkan
sekolah
di
namun
mampu
perubahan
luar
nilai,
persepsi dan perilaku siswa.
3. Dede Rosyada, hidden curriculum secara teoritik
sangat
rasional
mempengaruhi
siswa,
baik
menyangkut lingkungan sekolah, suasana kelas,
pola interaksi guru dengan siswa dalam kelas,
bahkan
pada
kebijakan
serta
manajemen
pengelolaan sekolah secara lebih luas dan perilaku
dari semua komponen sekolah dalam hubungan
interaksi vertikal dan horisontal mereka.
4. Oemar Hamalik, hidden curriculum merupakan hasil
dari
desakan
sekolah,
tugas
baca
buku
yang
memberikan efek yang tak diinginkan begitu pula
kebutuhan untuk mempengaruhi orang lain agar
menyetujui
sesuatu
yang
diharapkan.
Melalui
interaksi kelas dan testing guru-guru secara sadar
dapat
mengubah
cita-cita
pendidikan
yang
dimintakan.
5. H. Dakir, hidden curriculum adalah kurikulum yang
tidak direncanakan, tidak diprogram dan tidak
dirancang tetapi mempunyai pengaruh, baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap output
dari proses belajar mengajar.
Persamaan definisi hidden curriculum di atas
adalah
kurikulum
yang
tidak
direncanakan.
Perbedaannya oleh Allan A. Glattron dan Dede Rosyada
hidden
curriculum
memberikan
pengaruh
dalam
perubahan nilai, persepsi dan perilaku siswa. Kegiatankegiatan
yang
disampaikan
termasuk
oleh
Dede
dalam
hidden curriculum
Rosyada,
antara
lain
pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi di kelas,
hubungan antar komponen di sekolah, kebijakan dan
manajemen sekolah.
Sehingga
curriculum
bisa
merupakan
dikatakan
kurikulum
bahwa
yang
hidden
tidak
direncanakan dan secara substansi mampu membina
peserta didik pada esensi program pembelajaran secara
berkelanjutan namun tidak termaktub secara formal
tetapi dapat dikembangkan dalam bentuk kegiatan
antara lain pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi
di kelas, hubungan
antar komponen
di sekolah,
kebijakan dan manajemen sekolah.
Pelaksanaan
kurikulum
tersembunyi
dalam
KTSP dapat digolongkan dalam aktivitas pengembangan
diri yang pelaksanaannya tidak terprogram. Dalam
panduan KTSP untuk pengembangan diri tentang
bentuk-bentuk
dinyatakan
pelaksanaan
bahwa,
pengembangan
bentuk-bentuk
diri
pelaksanaan
pengembangan diri mencakup:
a.
Kegiatan pengembangan diri secara terprogram
dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam
kurun
waktu
tertentu
kebutuhan
peserta
kelompok
dan
didik
atau
untuk
memenuhi
secara
individual,
klasikal
melalui
penyelenggaraan:
1) layanan dan kegiatan pendukung konseling,
dan
2) kegiatan ekstra kurikuler;
b.
Kegiatan
pengembangan
diri
secara
tidak
terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut:
1)
rutin,
yaitu
kegiatan
yang
dilakukan
terjadwal, seperti: upacara bendera, senam,
ibadah
khusus
keagamaan
bersama,
keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan
kesehatan diri;
2)
spontan,
adalah
kegiatan
yang
tidak
terjadwal dalam kejadian khusus seperti:
pembentukan
perilaku
memberi
salam,
membuang sampah pada tempatnya, antri,
mengatasi silang pendapat (pertengkaran);
dan
3)
keteladan, adalah kegiatan dalam bentuk
perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi,
berbahasa
yang
baik,
rajin
membaca,
memuji kebaikan dan atau keberhasilan
orang lain, datang tepat waktu (Tim Pustaka
Yustisia dalam Wahidmurni, 2009: 3).
2.1.1.5 Pendidikan
nilai
dalam
pengembangan
Hidden Curriculum
Hidden curriculum merupakan kurikulum yang
berkembang secara alamiah atau tidak direncanakan
secara khusus. Menurut Krathwohl (1984: 112), proses
pembentukan dan pengembangan nilai-nilai pada anak
didik itu ada lima tahap.
1.
Receiving (menyimak dan menerima). Dalam hal ini
anak menerima secara aktif, artinya anak telah
memilih untuk kemudian
menerima nilai. Jadi
pada tahap ini anak baru menerima saja.
2.
Responding (menanggapi). Pada tahap ini anak
sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi
secara aktif. Dalam hal ini ada tiga tahapan
sendiri,
yakni
manut
(menurut),
bersedia
menaggapi, dan puas dalam menanggapi.
3.
Valuing (memberi nilai), pada tahap ini anak sudah
mulai
mampu
membangun
persepsi
dan
kepercayaan terkait dengan nilai yang diterima.
Pada tahap ini ada tiga tingkatan yakni : percaya
terhadap
nilai
yang
diterima,
merasa
terikat
dengan nilai dipercayai, dan memiliki keterkaitan
batin dengan nilai yang diterima.
4.
Organization, dimana anak mulai mengatur sistem
nilai yang ia terima untuk ditata dalam dirinya
dalam konteks perilaku.
5.
Characterization,
atau karakterisasi nilai yang
ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk
mengorganisir sistem nilai yang diyakininya dalam
hidupnya yang serba mapan, ajek, dan konsisten.
2.1.2 Hakekat Evaluasi dan Evaluasi Program
2.1.2.1
Pengertian Evaluasi
Sudarwan
Danim
(2000:
14)
mendefinisikan
penilaian (evaluating) adalah Proses pengukuran dan
perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya
dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Menurut
Suchman
(dalam
Suharsimi
Arikunto,
2014:
1)
memandang evaluasi sebagai proses menentukan hasil
yang
telah
dicapai
beberapa
kegiatan
yang
direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.)
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuantujuan pendidikan. Mengevaluasi keberhasilan sebuah
pendidikan berarti juga mengevaluasi kurikulumnya.
Hal ini berarti bahwa evaluasi kurikulum merupakan
bagian dari evaluasi pendidikan, yang memusatkan
perhatiannya pada program-program untuk peserta
didik. Sedangkan evaluasi merupakan bagian penting
dalam proses pengembangan kurikulum, baik dalam
pembuatan kurikulum baru, memperbaiki kurikulum
yang ada atau menyempurnakannya. Evaluasi yang
tepat dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk
mendukung
terwujudnya
fase
pengembangan
ini
dengan efektif dan bermakna. Agar kurikulum yang
baik dapat tercapai, harus diimplementasikan dengan
baik, kreatif, dan inovatif. Untuk dapat mengetahui
tingkat tersebut harus melewati satu tahap yang
dinamakan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum
tanpa
kurikulum
tidak
punya
arti
sebaliknya
kurikulum tanpa evaluasi tidak akan mendapatkan
hasil
maksimal,
kurikulum
baik
maupun
dalam
dalam
proses
proses
konstruksi
pelaksanaan
kurikulum.
Sehingga
bisa
dikatakan
bahwa
evaluasi
kurikulum adalah suatu proses evaluasi terhadap
kurikulum secara keseluruhan baik yang bersifat
makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum)
maupun
lingkup
mikro
(actual
curriculum)
dalam
bentuk pembelajaran.
Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 3) program
didefinisikan
sebagai
suatu
unit
atau
kesatuan
kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi
dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi
yang melibatkan sekelompok orang. Dalam kosepsi ini,
terdapat tiga pengertian penting yang perlu ditekankan
dalam menentukan suatu program, yakni: 1) realisasi
atau implementasi suatu kebijakan, 2) terjadi dalam
waktu yang relative lama, bukan kegiatan tunggal
tetapi jamak berkesinambungan, dan 3) terjadi dalam
organisasi yang melibatkan orang banyak. Sebuah
program bukan hanya kegiatan tunggal, melainkan
kegiatan
yang
berkesinambungan
karena
melaksanakan suatu kebijakan. Program merupakan
sebuah system dimana system itu sendiri merupakan
satu kesatuan dari beberapa bagian atau komponen
program yang saling kait mengkait dan bekerja satu
dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam system. Dengan demikian program
terdiri dari komponen yang saling kait mengkait dan
saling
tujuan.
menunjang
dalam
rangka
mencapai
suatu
Menurut
Cronbach
Suharsimi
Arikunto,
merupakan
upaya
dan
2014:
Stufflebeam
4)
evaluasi
menyediakan
(dalam
program
informasi
untuk
disampaikan pada pengambil keputusan. Dalam bidang
pendidikan, Tyler (dalam Suharsimi Arikunto, 2014: 4)
mengemukakan bahwa evaluasi program merupakan
proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan
dapat
terealisasikan.
Dengan
demikian
evaluasi
program pendidikan merupakan rangkaian kegiatan
yang dilakukan
secara
cermat
untuk
mengetahui
efektivitas masing-masing komponennya. Ada empat
kemungkinan
kebijakan
yang
dapat
dilakukan
berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program
keputusan
yaitu
menghentikan
program,
merevisi
program, melanjutkan program, atau menyebarluaskan
program.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan
kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan
hasil
evaluasi
keputusan
akan
program
itulah
menentukan
para
tindak
pengambil
lanjut
dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan. Melalui
metode tertentu secara cermat dan sistematis akan
diperoleh data yang handal dan reliabel sehingga
penentuan kebijakan selanjutnya akan tepat, dengan
catatan
data
yang
digunakan
sebagai
dasar
pertimbangan tersebut adalah data yang tepat, baik
dari segi isi, cakupan, format maupun tepat dari segi
waktu penyampaian (Widoyoko, 2007). Untuk dapat
menjadi evaluator program, seseorang harus memiliki
kemampuan
dalam
melaksanakan
evaluasi
yang
didukung oleh teori dan kemampuan praktik, cermat,
obyektif,
sabar
dan
tekun,
serta
hati-hati
dan
bertanggung jawab.
2.1.2.2 Tujuan dan Fungsi Evaluasi Program
Evaluasi
dengan
program
dilakukan
oleh
peneliti
tujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan
program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan
kegiatan program, karena evaluator program ingin
mengetahui
bagaimana
dari
komponen
dan
subkomponen program yang belum terlaksana dan apa
sebabnya (Suharsimi Arikunto, 2014: 18).
Dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan
menentukan
langkah
bagaimana
melaksanakan
penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 7),
terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian
dan evaluasi program adalah sebagai berikut:
a.
Dalam
kegiatan
mengetahui
penelitian,
gambaran
kemudian hasilnya
dalam
evaluasi
peneliti
tentang
ingin
sesuatu
dideskripsikan, sedangkan
program
pelaksanan
menetahui seberapa tinggi mutu atau
ingin
kondisi
sesuatu
sebagai
setelah
data
hasil
yang
pelaksanaan
terkumpul
program,
dibandingkan
dengan criteria atau standar tertentu.
b.
Dalam
kegiatan
penelitian, peneliti dituntut
oleh rumusan masalah karena ingin mengetahui
jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam
evaluasi program
tingkat
pelaksanan ingin mengetahui
ketercapaian
tujuan
apabila tujuan belum
pgogram,
dan
tercapai sebagaimana
ditentukan, pelaksana ingin mengetahui letak
kekurangan itu dan apa sebabnya.
Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan
untuk mengetahui akhir dari adanya kebijakan, dalam
rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang
lalu,
yang
pada
tujuan
akhirnya
adalah
untuk
menentukan kebijakan selanjutnya. Kebijakan yang
memberikan manfaat bagi pengembangan program
pendidikan terkait.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan
kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan
hasil
evaluasi
keputusan
program
akan
itulah
menentukan
para
tindak
pengambilan
lanjut
dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud
dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari
evaluator untuk pengambil keputusan (decision maker).
Adapun Fungsi evaluasi dalam program proses
pendidikan adalah sebagai berikut:
a.
Memberi informasi yang valid mengenai kinerja
kebijakan, program dan kegiatan, yaitu mengenai
seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan
telah dicapai.
b.
Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik.
Evaluasi memberi sumbangan pada
klarifikasi
dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari
tujuan dan target.
c.
Memberi
sumbangan
pada
aplikasi
metode
analisis kebijakan, termasuk perumusan masalah
dan
rekomendasinya.
Evaluasi
dapat
pula
menyumbangkan rekomendasi bagi pendefinisian
alternatif
kebijakan,
mengganti
kebijakan
yang
bermanfaat
untuk
berlaku
dengan
yang
alternatif kebijakan yang lain.
Menurut pendapat di atas, fungsi evaluasi adalah
untuk memberi informasi yang baik dan benar kepada
masyarakat, memberi kritikan pada klarifikasi suatu
nilai-nilai dari suatu tujuan dan target, kemudian
membuat suatu metode kebijakan untuk mencapai
kinerja sehingga program dan kegiatan yang dievaluasi
memberikan
kebijakan
instansi.
kontribusi
suatu
kegiatan
bagi
perumusan
dalam
organisasi
ulang
atau
Terdapat 4 (empat) kemungkinan kebijakan
yang
dapat
dilakukan
berdasarkan
hasil
dalam
pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu:
1.
Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak ada manfaatnya, atau
tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2.
Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang
kurang
sesuai
dengan
harapan
(terdapat
kesalahan tapi hanya sedikit).
3.
Melanjutkan
program,
karena
pelaksanaan
program menunjukkan bahwa segala sesuatu
sudah sesuai dengan harapan dan memberikan
hasil yang bermanfaat.
4.
Menyebarluaskan
program
(melaksanakan
program ditempat-tempat lain atu mengulangi
lagi program dilain waktu), karena program
tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik
jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang
lain.
2.1.2.3 Model Evaluasi Program
Ada banyak model yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi suatu program pendidikan.
Suharsimi
banyak
berikut.
Arikunto
dikenal
serta
(2014:41)
Menurut
model-model yang
digunakan
adalah
sebagai
1) Goal Oriented Evaluation Model
Goal
Oriented
merupakan
model
Evaluation
Model
ini
yang muncul paling awal. Obyek
pengamatan yang diperhatikan pada model ini adalah
tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh
sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan, terus menerus, mencapai sejauh
mana tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam
proses
pelaksanaan
program.
Model
ini
dikembangkan oleh Tyler.
2) Goal Free Evaluation Model
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Michael
Scriven ini dapat dikatakan berlawanan dengan model
pertama yang dikembangkan oleh Tyler. Jika model
yang dikembangkan Tyler, evaluator terus menerus
memantau tujuan, yaitu sejak awal proses terus
melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat
dicapai, dalam model goal free evaluation (evaluasi
lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan.
3) Formatif-Sumatif Evaluation Model
Selain
Michael
model
“evaluasi
lepas
dari
tujuan”,
Scriven juga mengembangkan model lain,
yaitu model formatif-sumatif. Model ini menunjuk
adanya tahapan dan lingkup obyek yang dievaluasi,
yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program
masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika
program
sudah
selesai
atau
berakhir (disebut
evaluasi sumatif).
4) Countenance Evaluation Model
Model evaluasi ini dikembangkan oleh Stake,
model Stake menekankan
pokok
pada
adanya
dua
hal
yaitu: (1) deskripsi (description)
dan
(2)
pertimbangan (judgements), serta membedakan adanya
tiga komponen dalam evaluasi
masukan
pogram yaitu: (1)
(antecendents/context),
(2)
proses
(transaction/process) dan (3) produk (output-outcomes).
5) CSE-UCLA Evaluation Model
CSE-UCLA
terdiri
dari
CSE merupakan singkatan
Study
of
Evaluation,
dua
dari
singkatan
Center
dan
yaitu
for
the
UCLA merupakan
singkatan dari University of California in Los Angeles.
Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap
yang dilakukan dalam evaluasi,
yaitu
perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil dan dampak.
6) CIPP Evaluation Model
Model
evaluasi
ini
paling banyak dikenal
evaluator.
Stufflebeam
Model
dan
dan
CIPP
merupakan
model
yang
oleh
para
ini dikembangkan
oleh
diterapkan
kawan-kawan
di
Ohio
State
University. Stufflebeam berpandangan bahwa tujuan
penting
evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi
memperbaiki. The CIPP approach is based on the view
that the most important purpose of evaluation is not to
prove but to improve (Stufflebeam, 1993: 118). CIPP
merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat
buah
kata,
yaitu:
terhadap
konteks),
terhadap
masukan),
terhadap
terhadap
Context evaluation
(evaluasi
Input
(evaluasi
evaluation
Process
proses), Product
hasil).
Keempat
evaluation
evaluation
kata
(evaluasi
(evaluasi
yang disebutkan
dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran
evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses
sebuah program kegiatan.
7) Discrepancy Model
Discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang
diterjemahkan kedalam
“kesenjangan”.
Malcolm
bahasa
Model
Provus
ini
Indonesia
menjadi
yang dikembangkan
oleh
merupakan
yang
model
menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di
dalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang
dilakukan
oleh
evaluator
mengukur besarnya
kesenjangan yang ada di setiap komponen.
2.1.2.4 Model Evaluasi yang Dipilih
Model evaluasi yang dipilih dalam penelitian ini
adalah
Model
Evaluation
Evaluasi
Model).
Bebas
Model
yang
Tujuan
(Goal
Free
dikemukakan
oleh
Michael Scriven (dalam Suharsimi, 2014: 14) ini
menjelaskan bahwa dalam tata kerjanya tidak boleh
terlalu rinci bila menekankan evaluasi pada pencapaian
tujuan. Model ini tidak berarti melupakan tujuan
samasekali atau tidak memberikan batasan kepada
para evaluator, bahkan melarangnya untuk melupakan
tujuan program, tetapi memberikan peringatan agar
tidak bekerja terlalu rinci pada tujuan khusus yang
dapat menjurus pada tujuan yang umum. Dengan
peringatan tersebut evaluator boleh berpikir tentang
pencapaian tujuan. Sehingga dapat dipahami bahwa
penggunaan model evaluasi bebas tujuan sama dengan
penggunaan model evaluasi berorientasi pada tujuan.
Menurut
Scriven,
dalam
melaksanakan
evaluasi,
evaluator tidak harus hanya terpaku pada tujuan
program, tetapi mereka justru harus mengidentifikasi
dampak program, baik dampak yang positif (hal-hal
yang diharapkan) maupun dampak yang negatif (halhal yang tidak diharapkan).
2.2
Penelitian Relevan
Beberapa
kajian
terdahulu
tentang
hidden
curriculum adalah sebagai berikut:
Khairun Nisa’ (2009) dalam Hidden Curriculum:
Upaya Peningkatan Kecerdasan Spiritual Peserta didik.
Hasil kajiannya dapat disimpulkan bahwa dengan
penerapan
pencapaian
hidden
tujuan
curriculum
pendidikan
dapat
membantu
nasional
yang
diinginkan, peserta didik tidak hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga cerdas secara spiritual. Oleh
karena itu, hidden curriculum harus menjadi kajian
evaluatif dalam proses perbaikan dan pengembangan
sekolah.
Sigit Wahyono
(2010) dalam Inovasi Hidden
Curriculum pada Pesantren Berbasis Entrepreneurship
(Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Isti’anah Plangitan
Pati). Hasil dari penelitian ini adalah inovasi pendidikan
entrepreneurship yang diaplikasikan dalam bidangbidang usaha, sehingga terjadi perubahan-perubahan
antara
lain
:
1)
visi
seorang kyai
atau
sederhananya, impian dan keinginan
bahasa
seorang
kyai
dalam membentuk tradisi dan aktifitas keseharian
dalam
pondok
pesantren, 2) pola hubungan yang
dibangun antara sesama santri, antara santri dengan
ustadz dan santri dengan pengasuh/kyai, 3) peraturan,
rutinitas sehari-hari dan kebijakan yang ada dan
diterapkan
dalam
aktivitas
keseharian
pada
Pondok Pesantren Al-Isti’anah.
Wijayanto (2014) dalam Kepemimpinan kepala
sekolah perempuan dalam mengembangkan hidden
curriculum (studi kasus di SD Plus Al-Kautsar Malang).
Hasil
penelitian
disimpulkan
sebagai
berikut:
(1)
Hidden curriculum yang dikembangkan difokuskan pada
dua
aspek
diwujudkan
yaitu:
melalui
(a)
kegiatan
misi
terprogram
sekolah
serta
yang
kegiatan
ekstrakurikuler dan (b) kegiatan tidak terprogram yang
diwujudkan melalui keteladanan guru dan pembiasaan
budaya sekolah. (2) Strategi pengembangan hidden
curriculum dilakukan melalui: (a) pembiasaan peserta
didik untuk menerapkan budaya 7S (salam, salim,
senyum, sapa, santun, sehat dan sabar), (b) pelatihan
kepemimpinan
motivasi
peserta
untuk
guru,
didik,
(d)
(c)
penerapan
penciptaan
jam
lingkungan
sekolah yang kondusif. (3) karakteristik kepala sekolah
perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum
mengacu pada dua aspek yaitu: (a) berkaitan dengan
karakter kepala sekolah yang feminis sebagai seorang
perempuan yang dapat dilihat pada integritas kepala
sekolah,
gaya
kemampuan
kepemimpinan
manajerial
kepala
kepala
sekolah,
sekolah
serta
kompetensi kepala sekolah, (b) berkaitan dengan faktor
penentu keberhasilan hidden curriculum yang meliputi
kewenangan
kepala
sekolah,
peran
guru
dalam
mengawal pelaksanaan hidden curriculum, dukungan
orang
tua,
komponen
curriculum
serta
otonomi
sekolah
dalam
menjadi
pengembangan
karakter
sekolah.
(4)
dukungan
pelaksanaan
langkah
positif
hidden
strategis
peserta
didik.
bagi
(5)
kendala pelaksanaan hidden curriculum bersumber dari
dua hal yaitu (a) internal sekolah berupa minimnya
kesadaran guru dalam menjalankan program yang
telah ditetapkan yang berdampak pada pelanggaran
terhadap komitmen yang telah disepakati. Solusinya
dilakukan
melalui
upaya-upaya
sistematis
dengan
mencatat setiap pelanggaran yang dilakukan oleh guru
kedalam buku kasus, mengingatkan kembali akan
tanggung jawab dan peran sebagai pendidik, pemberian
teguran prosedur yang berlaku hingga pengurangan
jam mengajar bagi guru. (b) eksternal sekolah berupa
minimnya kesadaran orang tua dalam pendidikan
anaknya yang berdampak pada kepedulian orang tua
untuk mendukung setiap aktifitas positif peserta didik.
Solusinya
dilakukan
Komunikasi
Kelas,
melalui
pembentukan
membentuk
SMS
Forum
Centre,
dan
optimalisasi website sekolah. (6) dampak karakter yang
dibangun dari hidden curriculum yaitu: (a) perubahan
perilaku warga sekolah ke arah yang lebih baik, (b)
terwujudnya
suasana
sekolah
yang
nyaman
dan
menyenangkan, (c) terbangunnya kesadaran peserta
didik
akan
dijalankan,
batasan-batasan
dan
(d)
perilaku
tumbuhnya
yang
harus
kepercayaan
masyarakat pada sekolah untuk pendidikan putraputrinya.
Penelitian lainnya adalah “Hidden Curriculum
Contributing to Social Production-Reproduction in a Math
Classroom”
membuktikan
oleh
Esin
bahwa
Acar
kegiatan
(2012),
penelitian
kurikuler
dan
ekstrakurikuler seringkali dilingkari oleh pengaruh
keputusan budaya/kebiasaan. Di samping itu, sebuah
kelas matematika dasar menunjukkan bahwa murid-
murid dibentuk dari budaya dan pola sosial yang
memudar lebih dari yg diharapkan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Zuhal
Cubukcu (2012) dalam “The Effect of Hidden Curriculum
on Character Education Process of Primary School
Students” adalah penelitian yang menggunakan model
studi kasus dengan tujuan untuk mengetahui kegiatan
yang mendukung dan pandangan siswa berpartisipasi
dalam
kegiatan
kurikulum
ini
dengan
tersembunyi
pemikiran
dalam
pentingnya
mendapatkan
nilai
dalam pendidikan karakter di sekolah dasar. Kegiatan
mendukung kurikulum tersembunyi seperti kegiatan
sosial dan budaya, kegiatan waktu luang dan kegiatan
sportif, perayaan hari-hari khusus dan minggu, karya
klub sosial dapat dianggap sebagai nilai yang kuat alat
mendapatkan
bagi
siswa
sekolah
dasar
untuk
memahami, menginternalisasi dan melakukan nilainilai. Hasil penelitiannya nilai-nilai yang termasuk
dalam kurikulum sekolah dasar, dan kegiatan yang
mendukung bagi kurikulum tersembunyi dalam proses
mendapatkan
dan
internalisasi
nilai-nilai
memiliki
kepentingan yang besar.
Persamaan dari kelima penelitian di atas adalah
dalam hidden curriculum mampu membentuk nilai-nilai
dan perilaku peserta didik. Tetapi dalam penelitian oleh
Wijayanto lebih luas menghasilkan strategi-strategi
pengembangan hidden curriculum dari budaya 7S,
pelatihan kepemimpinan peserta didik, jam motivasi
guru, penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif.
Lebih jauh dijelaskan karakteristik kepala sekolah
perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum,
dampak dan faktor-faktor penentu keberhasilan hidden
curriculum. Pengintegrasian hidden curriculum dalam
mata pelajaran matematika telah mampu membentuk
budaya dan pola sosial.
2.3 Kerangka Pikir Penelitian
Menurutnya Scrieven (1972) (dalam Suharsimi,
2014:
41)
dan
pendukungnya,
pada
Goal
Free
Evaluation seorang evaluator harus menghindari tujuan
dan mengambil setiap tindak pencegahan. Pada model
ini
evaluasi
program
dapat
dilakukan
tanpa
mengetahui tujuan itu sendiri. Maka evaluasi sangat
tepat untuk mengungkap adanya perubahan perilaku
sebagai
dampak
nyata
hidden
curriculum
yang
dilanjutkan dengan tindakan dalam pendidikan. Untuk
melakukan
evaluasi
dengan
model
bebas
tujuan,
evaluator perlu menghasilkan dua informasi, yaitu: 1.
Penilaian tentang dampak nyata, 2. Penilaian tentang
hidden curriculum yang hendak dinilai.
Jika suatu kegiatan mempunyai pengaruh yang
dapat ditunjukkan secara nyata dan responsif terhadap
suatu kebutuhan, hal ini berarti bahwa suatu hidden
curriculum
berguna
dan
secara
positif
perlu
dikembangkan, dan jika sebaliknya yang terjadi, tidak
mempunyai pengaruh nyata pada peserta didiknya
sebaiknya di hentikan atau diperbaiki.
Kerangka
berpikir
tersebut
dapat
dilihat
sebagaimana bagan berikut.
Kurikulum Pendidikan
SMP Negeri 2 Boja
Kurikulum
Ideal
Kurikulum
faktual
Kegiatan pengembangan
Hidden Curriculum =
Kurikulum tersembunyi
(Hidden Curriculum)
Positif
(Berhasil)
Evaluasi
dilanjut
Negatif (Tidak
berhasil)
Kegiatan pengembangan
Hidden Curriculum =
diperbaiki/dihentikan
Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian
Dari
bagan
diinterpretasikan
kerangka
bahwa
pikir
tersebut
bisa
kurikulum
sebagai
satu
dokumen tertulis yaitu kurikulum ideal memerlukan
penerapan atau pelaksanaan dalam bentuk proses
pembelajaran.
Demikian
pula
kurikulum
yang
dikembangkan di SMP Negeri 2 Boja bahwa kenyataan
di lapangan apa yang dilakukan oleh guru di dalam dan
di luar sekolah menjadi pengalaman belajar yang
sangat mempengaruhi peserta didik. Oleh karena itu
maka pengelaman belajar yang diperoleh peserta didik
di sekolah dalam proses pelaksanaan kurikulum ideal
disebut sebagai kurikulum faktual. Dan segala sesuatu
yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal
menjadi kurikulum faktual di sebut sebagai kurikulum
tersembunyi.
Kegiatan
pengembangan
Hidden
Curriculum di SMP Negeri 2 Boja yang sudah dijalankan
belum mampu mengubah perilaku semua peserta didik
menjadi lebih baik sehingga perlu dilakukan evaluasi,
dengan evaluasi model goal free.
Model evaluasi ini bercirikan bebas tujuan
sehingga proses evaluasi tidak terperinci maupun
mengarah pada tujuan, namun evaluasi ini melihat
dampak dari adanya pelaksanaan hidden curriculum
baik dampak positif maupun dampak negatif. Sebagai
konsekuensinya,
kegiatan
pengembangan
hidden
curriculum akan dilanjutkan jika hasilnya berdampak
positif, sebaliknya jika kegiatan pengembangan hidden
curriculum
berdampak
negatif,
maka
kegiatan
pengembangan hidden curriculum akan diperbaiki atau
dihentikan.