BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Hidden Curriculum Di SMP Negeri 2 Boja Kabupaten Kendal

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Konsep dan Substansi Teori

2.1.1 Hakekat Hidden Curriculum
2.1.1.1 Pengertian Kurikulum
Sebelum
hidden

berbicara

tentang

curriculum lebih luas,

pengembangan

maka


perlu

terlebih

dahulu dijelaskan tentang konsep dasar dan hakikat
kurikulum itu sendiri.
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin,
yaitu

curriculae

yang

artinya

adalah

jarak

yang


ditempuh oleh seorang pelari. Awalnya kurikulum
digunakan dalam dunia olah raga, yaitu curere artinya
tempat berpacu. Curriculum diartikan “jarak” yang
harus “ditempuh” oleh pelari. Istilah ini kemudian
diterapkan dalam dunia pendidikan. Antara kurikulum
dalam istilah dunia olah raga memiliki kesamaan
penafsiran dalam dunia pendidikan, di mana dalam
dunia pendidikan kurikulum berhubungan erat dengan
usaha mengembangkan siswa untuk mencapai tujuan
yang diinginkan (Wina Sanjaya, 2008: 3).
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 “Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran
digunakan

sebagai

pedoman


serta

cara

yang

penyelenggaraan

kegiatan
pendidikan

pembelajaran

untuk

mencapai

tujuan

tertentu. Sementara Sucipto dan Raflis


(dalam Rohiat, 2010: 22) mengemukakan kurikulum
dapat

diartikan

pengertian

secara

sempit,

sempit

kurikulum

dan

luas.


diartikan

Dalam
sebagai

sejumlah mata pelajaran yang diberikan di sekolah,
sedangkan dalam pengertian luas kurikulum adalah
semua pengalaman belajar yang diberikan sekolah
kepada siswa selama mereka mengikuti pendidikan di
sekolah. Dengan pengertian luas ini berarti segala
usaha sekolah untuk memberikan pengalaman belajar
kepada siswa dalam upaya menghasilkan lulusan yang
baiksecara

kuantitatif

maupun

kualitatif


tercakup

dalam pengertian kurikulum. Pandangan klasik dalam
penyusunan kurikulum yang masih digunakan sampai
saat ini adalah rasional Tyler (dalam Ella, 2007: 30)
yang mengemukakan pertanyaan sebab akibat yang
meliputi: 1) tujuan pendidikan apa yang harus dicapai
di sekolah?, 2) pengalaman pendidikan apakah yang
dapat disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan?,
3) bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat dikelola
secara efektif?, 4) bagaimana menentukan bahwa
tujuan pendiidkan telah dicapai?.

Bila digambarkan pemikiran Tyler ini sebagai
berikut.

Pengalaman
Belajar

Tujuan


Pelaksanaan

Penilaian

Gambar 1. Pemikiran Tyler (dalam Ella, 2007: 31)

Dari pengertian kurikulum menurut UU No. 20
Tahun

2003

dan

Sucipto

dan

Raflis


di

atas

persamaannya adalah dalam mendefinisikan kurikulum
sebagai

bahan

pelajaran

atau

mata

pelajaran

di

sekolah. Perbedaan keduanya adalah pada UU No. 20

tidak menyebutkan pengalaman belajar peserta didik.
Persamaan antara pengertian kurikulum dalam UU No.
20

Tahun

menjelaskan

2003

dan

tentang

Tyler
tujuan

adalah
dan


keduanya
pengelolaan

pendidikan, perbedaannya pada bahan pelajaran dan
evaluasi pencapaian tujuan pendidikan. Sementara
persamaan pengertian kurikulum pada Sucipto & Raflis
dan Tyler keduanya menyebutkan pengalaman belajar
peserta didik, sedangkan perbedaannya adalah pada
Sucipto & Raflis tidak dijabarkan tujuan, pengelolaan,
dan evaluasi pendidikan.
Berdasarkan pada definisi-definisi para ahli
tersebut, menunjukkan bahwa

kurikulum

diartikan

tidak

secara


pelajaran

sempit

saja,

Sehingga

tetapi

dapat

merupakan

terbatas

lebih luas

dipahami

aktifitas

sekolah

dalam rangka

belajar

untuk

didalamnya

atau

apa

kegiatan

bahan pelajaran dan

itu.

bahwa

kurikulum

yang

dilakukan

saja

suatu

anak

dalam

tujuan, termasuk

pembelajaran,
strategi

mata

daripada

mempengaruhi

mencapai

pada

pengaturan isi,

dalam pembelajaran,

cara evaluasi program pengembangan pembelajaran
dan lain-lain.
Terdapat dua hal yang dapat dipahami dalam
pengertian kurikulum, yaitu kurikulum pada aspek
program atau rencana, yang pada hakikatnya adalah
kurikulum ideal (ideal curriculum) dan kurikulum pada
aspek pengalaman belajar siswa, yang pada hakikatnya
adalah kurikulum faktual (actual curriculum) (Wina
Sanjaya, 2008: 22).
Ideal kurikulum merupakan kurikulum yang
menggambarkan

suatu

cita-cita

dalam

bidang

pendidikan. Maksud cita-cita di sini adalah sebuah
harapan dan keinginan. Oleh karena itu, apa yang
menjadi harapan yang direncanakan dalam kurikulum
yang sifatnya resmi pada hakikatnya adalah cita-cita
(idealisasi) tentang wujud hasil pendidikan yang ingin
dicapai. Kurikulum ideal merupakan kurikulum yang
diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai
acuan atau pedoman guru dalam proses pembelajaran.

Sedangkan

kurikulum

faktual

merupakan

kurikulum yang disajikan di hadapan kelas atau yang
dilaksanakan oleh guru di sekolah. Kurikulum faktual
ini merupakan penjabaran dari kurikulum resmi ke
dalam

pengembangan

program

mengajar,

dimana

kurikulum faktual secara riil dapat dilaksanakan oleh
guru sesuai dengan kondisi yang ada. Termasuk di
dalam kurikulum ini adalah hidden curriculum, karena
hidden curriculum disajikan dan dialami oleh peserta
didik di sekolah baik di kelas ataupun di luar kelas.

2.1.1.2 Tujuan Kurikulum
Kalau
pendidikan
berbagai

kita
yang

UU

kaji

secara

mendalam

tujuan

selama

ini

dirumuskan,

dalam

pendidikan

nasional

kita,

akan

menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan
untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang:
(1)

religius dan bermoral;

(2)

menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan;

(3)

sehat jasmani dan rohani;

(4)

berkepribadian dan bertanggung jawab.
Keempat

dirumuskan

karakteristik

dalam

manusia

Undang-Undang

yang

Pendidikan

Nasional tersebut hakekatnya adalah karakteristik yang
bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan ke
dalam rumusan yang operasional dan terkait dengan
perkembangan masyarakat Indonesia khususnya dan

masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata
dari setiap karakteristik tersebut akan berbeda dalam
suatu tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat
pendidikan.
keempat
wujud

Karena

karakteristik

kemampuan,

dijadikan

itu

dalam

tersebut

dalam

perlu

dipahami

kurikulum

kedalam

nilai, dan

rujukan

menterjemahkan

sikap

proses

rumusan

yang

dapat

perencanaan

tingkat

dan

arah

perkembangan masyarakat Indonesia.
Berangkat

dari

pemahaman

tentang

karakteristik masyarakat modern di era globalisasi yang
perlu kita wujudkan dapatlah kiranya kita sampai
kepada identifikasi kemampuan, nilai dan sikap yang
perlu dikuasai dan dimiliki peserta didik terdidik yaitu:
(1)

memiliki

kemampuan,

memungkinkannya

nilai

berpartisipasi

dan
secara

sikap
aktif

yang
dan

cerdas dalam proses politik; (2) memiliki kemampuan,
etos kerja, dan disiplin kerja yang memungkinkannya
dapat secara aktif dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi, (3) memiliki kemampuan
dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan

dan

teknologi

melalui

kemampuan

penelitian dan pengembangan, (4) memiliki kepribadian
yang

mantap,

berakhlak mulia.

berkarakter

dan

bermoral,

serta

2.1.1.3 Komponen Kurikulum
Menurut Wina Sanjaya (2009: 59), unsurunsur yang merupakan komponen pokok kurikulum
terdiri dari empat jenis, yaitu:
1.

Komponen Tujuan
Tujuan merupakan gambaran harapan, sasaran

yang

menjadi

dilakukan

acuan

bagi

semua

aktivitas

untuk mencapainya. Istilah

yang

yang lebih

populer saat ini yang digunakan sebagai padanan
tujuan, yaitu “Kompetensi”. Kompetensi merupakan
rumusan kemampuan berhubungan dengan aspek
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus
direfleksikan

dalam berfikir dan

bertindak secara

konsisten.
Adapun jenis tujuan bisa dibedakan dari mulai
tujuan yang sangat umum dan bersifat jangka panjang
sampai pada tujuan lebih spesifik atau jangka pendek
(segera) dengan urutan sebagai berikut.
a.

Tujuan Pendidikan Nasional

Tujuan pendidikan nasional merupakan sasaran
akhir

yang

harus

menjadi

inspirasi

bagi

setiap

penyelenggara pendidikan pada setiap jenjang, jalur
dan jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Dalam
Undang-undang no. 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa
Pendidikan

Nasional

berfungsi

mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak

mulia,

sehat,

berilmu,

cakap,

kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
b.

Tujuan Lembaga Pendidikan (Institusional)

Tujuan

Lembaga

Pendidikan

merupakan

sasaran, harapan atau arah yang harus menjadi acuan
untuk dicapai oleh setiap lembaga pendidikan sesuai
dengan jalur, jenjang dan jenis pendidikannya. Istilah
yang digunakan saat ini sebagai padanan tujuan
institusional ialah “Standar Kompetensi Lulusan/SKL”
Misalnya

tujuan

“Meletakkan

lembaga

dasar

pendidikan

kecerdasan,

dasar

ialah

pengetahuan,

kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.”
(Peraturan Mendiknas no. 23 Tahun 2006)
c.

Tujuan Kurikuler (Mata pelajaran)

Tujuan

Kurikuler

kemampuan/kompetensi

yang

harus

merupakan
dimiliki

oleh

peserta didik setelah memelajari suatu mata pelajaran
atau kelompok mata pelajaran. Adapun istilah yang
saat ini digunakan sebagai padanan tujuan mata
pelajaran (kurikuler) yaitu “standar kompetensi”

d.

Tujuan Pembelajaran (Instruksional)

Merupakan
standar

penjabaran

kompetensi,

lebih

lanjut

yaitu

kemampuan/kompetensi

dari

rumusan

(pengetahuan,

sikap,

keterampilan) yang harus dimiliki secara segera dan
bisa diketahui hasilnya setelah setiap pembelajaran
berakhir. Istilah yang digunakan saat ini sebagai
padanan tujuan pembelajaran adalah “kompetensi
dasar dan indikator” pembelajaran.
2.

Komponen Isi
Merupakan materi atau bahan ajar yang harus

dipelajari

oleh

peserta

didik

untuk

mencapai

kompetensi yang diharapkan. Isi kurikulum sebagai
bahan ajar sebaiknya dikembangkan dari berbagai
sumber yang luas dan bervariasi (cetak, noncetak,
web) baik yang sengaja dipersiapkan (by design)
maupun yang dimanfaatkan (by utilization).
a. Komponen Metode/Strategi
Merupakan pendekatan, strategi, dan sistem
pengelolaan

pendidikan/

pembelajaran

yang

dilakukan di setiap lembaga pendidikan, sehingga
program atau kurikulum yang telah ditetapkan dapat
berjalan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
b. Komponen Evaluasi
Merupakan

alat

ukur

untuk

mengetahui

keterlaksanaan program dan tingkat keberhasilan
yang telah dicapai dikaitkan dengan rencana yang

telah

ditetapkan

oleh

kurikulum.

Alat

evaluasi

kurikulum harus ditetapkan secara valid dan dapat
menilai seluruh aspek kurikulum (proses dan hasil).
Keempat komponen kurikulum (Tujuan, Isi,
Metode, Evaluasi) merupakan suatu kesatuan yang
terintegrasi, saling memengaruhi dan menentukan
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan
demikian kurikulum dikatakan sebagai suatu sistem,
seperti dapat dilihat pada bagan sebagai berikut.
Tujuan

Isi

Evaluasi

Metode

Gambar 2. Komponen Kurikulum

2.1.1.4 Pengertian Hidden Curriculum
Istilah hidden curriculum terdiri dari dua kata,
yaitu hidden dan curriculum. Secara etimologi, kata
“hidden” berasal dari Bahasa Inggris, yaitu hide yang
berarti tersembunyi (terselubung). Sedangkan istilah
kurikulum sendiri berarti sejumlah mata pelajaran dan
pengalaman belajar yang harus dilalui peserta didik
demi menyelesaikan tugas pendidikannya. Dengan

demikian,

hidden

tersembunyi

curriculum

atau

kurikulum

adalah

kurikulum

terselubung

dimana

kurikulum ini tidak tercantum dalam kurikulum ideal
tetapi

memiliki

andil

dalam

pencapaian

tujuan

pendidikan.
Beragam definisi tentang hidden curriculum atau
kurikulum tersembunyi yang dikemukakan oleh para
ahli (dalam Rohinah, 2012: 27), sebagai berikut:
1. Jhon

D.

MC.

Neil,

hidden

curriculum

adalah

pengaruh pembelajaran yang tidak resmi (tidak
direncana)

hal

mana

bisa

melemahkan

atau

menguatkan dalam mereliasasikan tujuan.
2. Allan

A.

Glattron,

kurikulum
dipelajari,
sebagai

yang
yang

berbagai

kurikulum

yang

memberikan

hidden

tidak

menjadi

secara

definitive

aspek

dari

dipelajari,

pengaruh

curriculum

dalam

adalah

bagian

untuk

digambarkan

sekolah

di

namun

mampu

perubahan

luar

nilai,

persepsi dan perilaku siswa.
3. Dede Rosyada, hidden curriculum secara teoritik
sangat

rasional

mempengaruhi

siswa,

baik

menyangkut lingkungan sekolah, suasana kelas,
pola interaksi guru dengan siswa dalam kelas,
bahkan

pada

kebijakan

serta

manajemen

pengelolaan sekolah secara lebih luas dan perilaku
dari semua komponen sekolah dalam hubungan
interaksi vertikal dan horisontal mereka.

4. Oemar Hamalik, hidden curriculum merupakan hasil
dari

desakan

sekolah,

tugas

baca

buku

yang

memberikan efek yang tak diinginkan begitu pula
kebutuhan untuk mempengaruhi orang lain agar
menyetujui

sesuatu

yang

diharapkan.

Melalui

interaksi kelas dan testing guru-guru secara sadar
dapat

mengubah

cita-cita

pendidikan

yang

dimintakan.
5. H. Dakir, hidden curriculum adalah kurikulum yang
tidak direncanakan, tidak diprogram dan tidak
dirancang tetapi mempunyai pengaruh, baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap output
dari proses belajar mengajar.
Persamaan definisi hidden curriculum di atas
adalah

kurikulum

yang

tidak

direncanakan.

Perbedaannya oleh Allan A. Glattron dan Dede Rosyada
hidden

curriculum

memberikan

pengaruh

dalam

perubahan nilai, persepsi dan perilaku siswa. Kegiatankegiatan

yang

disampaikan

termasuk
oleh

Dede

dalam

hidden curriculum

Rosyada,

antara

lain

pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi di kelas,
hubungan antar komponen di sekolah, kebijakan dan
manajemen sekolah.
Sehingga
curriculum

bisa

merupakan

dikatakan
kurikulum

bahwa
yang

hidden
tidak

direncanakan dan secara substansi mampu membina
peserta didik pada esensi program pembelajaran secara

berkelanjutan namun tidak termaktub secara formal
tetapi dapat dikembangkan dalam bentuk kegiatan
antara lain pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi
di kelas, hubungan

antar komponen

di sekolah,

kebijakan dan manajemen sekolah.
Pelaksanaan

kurikulum

tersembunyi

dalam

KTSP dapat digolongkan dalam aktivitas pengembangan
diri yang pelaksanaannya tidak terprogram. Dalam
panduan KTSP untuk pengembangan diri tentang
bentuk-bentuk
dinyatakan

pelaksanaan

bahwa,

pengembangan

bentuk-bentuk

diri

pelaksanaan

pengembangan diri mencakup:
a.

Kegiatan pengembangan diri secara terprogram
dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam
kurun

waktu

tertentu

kebutuhan

peserta

kelompok

dan

didik
atau

untuk

memenuhi

secara

individual,

klasikal

melalui

penyelenggaraan:
1) layanan dan kegiatan pendukung konseling,
dan
2) kegiatan ekstra kurikuler;
b.

Kegiatan

pengembangan

diri

secara

tidak

terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut:
1)

rutin,

yaitu

kegiatan

yang

dilakukan

terjadwal, seperti: upacara bendera, senam,
ibadah

khusus

keagamaan

bersama,

keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan
kesehatan diri;
2)

spontan,

adalah

kegiatan

yang

tidak

terjadwal dalam kejadian khusus seperti:
pembentukan

perilaku

memberi

salam,

membuang sampah pada tempatnya, antri,
mengatasi silang pendapat (pertengkaran);
dan
3)

keteladan, adalah kegiatan dalam bentuk
perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi,
berbahasa

yang

baik,

rajin

membaca,

memuji kebaikan dan atau keberhasilan
orang lain, datang tepat waktu (Tim Pustaka
Yustisia dalam Wahidmurni, 2009: 3).

2.1.1.5 Pendidikan

nilai

dalam

pengembangan

Hidden Curriculum
Hidden curriculum merupakan kurikulum yang
berkembang secara alamiah atau tidak direncanakan
secara khusus. Menurut Krathwohl (1984: 112), proses
pembentukan dan pengembangan nilai-nilai pada anak
didik itu ada lima tahap.
1.

Receiving (menyimak dan menerima). Dalam hal ini
anak menerima secara aktif, artinya anak telah
memilih untuk kemudian

menerima nilai. Jadi

pada tahap ini anak baru menerima saja.

2.

Responding (menanggapi). Pada tahap ini anak
sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi
secara aktif. Dalam hal ini ada tiga tahapan
sendiri,

yakni

manut

(menurut),

bersedia

menaggapi, dan puas dalam menanggapi.
3.

Valuing (memberi nilai), pada tahap ini anak sudah
mulai

mampu

membangun

persepsi

dan

kepercayaan terkait dengan nilai yang diterima.
Pada tahap ini ada tiga tingkatan yakni : percaya
terhadap

nilai

yang

diterima,

merasa

terikat

dengan nilai dipercayai, dan memiliki keterkaitan
batin dengan nilai yang diterima.
4.

Organization, dimana anak mulai mengatur sistem
nilai yang ia terima untuk ditata dalam dirinya
dalam konteks perilaku.

5.

Characterization,

atau karakterisasi nilai yang

ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk
mengorganisir sistem nilai yang diyakininya dalam
hidupnya yang serba mapan, ajek, dan konsisten.

2.1.2 Hakekat Evaluasi dan Evaluasi Program
2.1.2.1

Pengertian Evaluasi

Sudarwan

Danim

(2000:

14)

mendefinisikan

penilaian (evaluating) adalah Proses pengukuran dan
perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya
dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Menurut
Suchman

(dalam

Suharsimi

Arikunto,

2014:

1)

memandang evaluasi sebagai proses menentukan hasil
yang

telah

dicapai

beberapa

kegiatan

yang

direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.)
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuantujuan pendidikan. Mengevaluasi keberhasilan sebuah
pendidikan berarti juga mengevaluasi kurikulumnya.
Hal ini berarti bahwa evaluasi kurikulum merupakan
bagian dari evaluasi pendidikan, yang memusatkan
perhatiannya pada program-program untuk peserta
didik. Sedangkan evaluasi merupakan bagian penting
dalam proses pengembangan kurikulum, baik dalam
pembuatan kurikulum baru, memperbaiki kurikulum
yang ada atau menyempurnakannya. Evaluasi yang
tepat dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk
mendukung

terwujudnya

fase

pengembangan

ini

dengan efektif dan bermakna. Agar kurikulum yang
baik dapat tercapai, harus diimplementasikan dengan
baik, kreatif, dan inovatif. Untuk dapat mengetahui
tingkat tersebut harus melewati satu tahap yang
dinamakan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum
tanpa

kurikulum

tidak

punya

arti

sebaliknya

kurikulum tanpa evaluasi tidak akan mendapatkan
hasil

maksimal,

kurikulum

baik

maupun

dalam
dalam

proses
proses

konstruksi
pelaksanaan

kurikulum.
Sehingga

bisa

dikatakan

bahwa

evaluasi

kurikulum adalah suatu proses evaluasi terhadap

kurikulum secara keseluruhan baik yang bersifat
makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum)
maupun

lingkup

mikro

(actual

curriculum)

dalam

bentuk pembelajaran.
Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 3) program
didefinisikan

sebagai

suatu

unit

atau

kesatuan

kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi
dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi
yang melibatkan sekelompok orang. Dalam kosepsi ini,
terdapat tiga pengertian penting yang perlu ditekankan
dalam menentukan suatu program, yakni: 1) realisasi
atau implementasi suatu kebijakan, 2) terjadi dalam
waktu yang relative lama, bukan kegiatan tunggal
tetapi jamak berkesinambungan, dan 3) terjadi dalam
organisasi yang melibatkan orang banyak. Sebuah
program bukan hanya kegiatan tunggal, melainkan
kegiatan

yang

berkesinambungan

karena

melaksanakan suatu kebijakan. Program merupakan
sebuah system dimana system itu sendiri merupakan
satu kesatuan dari beberapa bagian atau komponen
program yang saling kait mengkait dan bekerja satu
dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam system. Dengan demikian program
terdiri dari komponen yang saling kait mengkait dan
saling
tujuan.

menunjang

dalam

rangka

mencapai

suatu

Menurut

Cronbach

Suharsimi

Arikunto,

merupakan

upaya

dan

2014:

Stufflebeam
4)

evaluasi

menyediakan

(dalam
program

informasi

untuk

disampaikan pada pengambil keputusan. Dalam bidang
pendidikan, Tyler (dalam Suharsimi Arikunto, 2014: 4)
mengemukakan bahwa evaluasi program merupakan
proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan
dapat

terealisasikan.

Dengan

demikian

evaluasi

program pendidikan merupakan rangkaian kegiatan
yang dilakukan

secara

cermat

untuk

mengetahui

efektivitas masing-masing komponennya. Ada empat
kemungkinan

kebijakan

yang

dapat

dilakukan

berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program
keputusan

yaitu

menghentikan

program,

merevisi

program, melanjutkan program, atau menyebarluaskan
program.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan
kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan
hasil

evaluasi

keputusan

akan

program

itulah

menentukan

para

tindak

pengambil
lanjut

dari

program yang sedang atau telah dilaksanakan. Melalui
metode tertentu secara cermat dan sistematis akan
diperoleh data yang handal dan reliabel sehingga
penentuan kebijakan selanjutnya akan tepat, dengan
catatan

data

yang

digunakan

sebagai

dasar

pertimbangan tersebut adalah data yang tepat, baik

dari segi isi, cakupan, format maupun tepat dari segi
waktu penyampaian (Widoyoko, 2007). Untuk dapat
menjadi evaluator program, seseorang harus memiliki
kemampuan

dalam

melaksanakan

evaluasi

yang

didukung oleh teori dan kemampuan praktik, cermat,
obyektif,

sabar

dan

tekun,

serta

hati-hati

dan

bertanggung jawab.

2.1.2.2 Tujuan dan Fungsi Evaluasi Program
Evaluasi
dengan

program

dilakukan

oleh

peneliti

tujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan

program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan
kegiatan program, karena evaluator program ingin
mengetahui

bagaimana

dari

komponen

dan

subkomponen program yang belum terlaksana dan apa
sebabnya (Suharsimi Arikunto, 2014: 18).
Dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan
menentukan

langkah

bagaimana

melaksanakan

penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 7),
terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian
dan evaluasi program adalah sebagai berikut:
a.

Dalam

kegiatan

mengetahui

penelitian,
gambaran

kemudian hasilnya
dalam

evaluasi

peneliti

tentang

ingin
sesuatu

dideskripsikan, sedangkan

program

pelaksanan

menetahui seberapa tinggi mutu atau

ingin

kondisi

sesuatu

sebagai

setelah

data

hasil

yang

pelaksanaan

terkumpul

program,

dibandingkan

dengan criteria atau standar tertentu.
b.

Dalam

kegiatan

penelitian, peneliti dituntut

oleh rumusan masalah karena ingin mengetahui
jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam
evaluasi program
tingkat

pelaksanan ingin mengetahui

ketercapaian

tujuan

apabila tujuan belum

pgogram,

dan

tercapai sebagaimana

ditentukan, pelaksana ingin mengetahui letak
kekurangan itu dan apa sebabnya.
Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan
untuk mengetahui akhir dari adanya kebijakan, dalam
rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang
lalu,

yang

pada

tujuan

akhirnya

adalah

untuk

menentukan kebijakan selanjutnya. Kebijakan yang
memberikan manfaat bagi pengembangan program
pendidikan terkait.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan
kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan
hasil

evaluasi

keputusan

program

akan

itulah

menentukan

para
tindak

pengambilan
lanjut

dari

program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud
dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari
evaluator untuk pengambil keputusan (decision maker).

Adapun Fungsi evaluasi dalam program proses
pendidikan adalah sebagai berikut:
a.

Memberi informasi yang valid mengenai kinerja
kebijakan, program dan kegiatan, yaitu mengenai
seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan
telah dicapai.

b.

Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik.
Evaluasi memberi sumbangan pada

klarifikasi

dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari
tujuan dan target.
c.

Memberi

sumbangan

pada

aplikasi

metode

analisis kebijakan, termasuk perumusan masalah
dan

rekomendasinya.

Evaluasi

dapat

pula

menyumbangkan rekomendasi bagi pendefinisian
alternatif

kebijakan,

mengganti

kebijakan

yang

bermanfaat

untuk

berlaku

dengan

yang

alternatif kebijakan yang lain.
Menurut pendapat di atas, fungsi evaluasi adalah
untuk memberi informasi yang baik dan benar kepada
masyarakat, memberi kritikan pada klarifikasi suatu
nilai-nilai dari suatu tujuan dan target, kemudian
membuat suatu metode kebijakan untuk mencapai
kinerja sehingga program dan kegiatan yang dievaluasi
memberikan
kebijakan
instansi.

kontribusi

suatu

kegiatan

bagi

perumusan

dalam

organisasi

ulang
atau

Terdapat 4 (empat) kemungkinan kebijakan
yang

dapat

dilakukan

berdasarkan

hasil

dalam

pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu:
1.

Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak ada manfaatnya, atau
tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.

2.

Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang
kurang

sesuai

dengan

harapan

(terdapat

kesalahan tapi hanya sedikit).
3.

Melanjutkan

program,

karena

pelaksanaan

program menunjukkan bahwa segala sesuatu
sudah sesuai dengan harapan dan memberikan
hasil yang bermanfaat.
4.

Menyebarluaskan

program

(melaksanakan

program ditempat-tempat lain atu mengulangi
lagi program dilain waktu), karena program
tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik
jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang
lain.

2.1.2.3 Model Evaluasi Program
Ada banyak model yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi suatu program pendidikan.
Suharsimi
banyak
berikut.

Arikunto

dikenal

serta

(2014:41)

Menurut

model-model yang

digunakan

adalah

sebagai

1) Goal Oriented Evaluation Model
Goal

Oriented

merupakan

model

Evaluation

Model

ini

yang muncul paling awal. Obyek

pengamatan yang diperhatikan pada model ini adalah
tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh
sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan, terus menerus, mencapai sejauh
mana tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam
proses

pelaksanaan

program.

Model

ini

dikembangkan oleh Tyler.
2) Goal Free Evaluation Model
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Michael
Scriven ini dapat dikatakan berlawanan dengan model
pertama yang dikembangkan oleh Tyler. Jika model
yang dikembangkan Tyler, evaluator terus menerus
memantau tujuan, yaitu sejak awal proses terus
melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat
dicapai, dalam model goal free evaluation (evaluasi
lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan.
3) Formatif-Sumatif Evaluation Model
Selain
Michael

model

“evaluasi

lepas

dari

tujuan”,

Scriven juga mengembangkan model lain,

yaitu model formatif-sumatif. Model ini menunjuk
adanya tahapan dan lingkup obyek yang dievaluasi,
yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program
masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika

program

sudah

selesai

atau

berakhir (disebut

evaluasi sumatif).
4) Countenance Evaluation Model
Model evaluasi ini dikembangkan oleh Stake,
model Stake menekankan
pokok

pada

adanya

dua

hal

yaitu: (1) deskripsi (description)

dan

(2)

pertimbangan (judgements), serta membedakan adanya
tiga komponen dalam evaluasi
masukan

pogram yaitu: (1)

(antecendents/context),

(2)

proses

(transaction/process) dan (3) produk (output-outcomes).
5) CSE-UCLA Evaluation Model
CSE-UCLA

terdiri

dari

CSE merupakan singkatan
Study

of

Evaluation,

dua
dari

singkatan
Center

dan

yaitu

for

the

UCLA merupakan

singkatan dari University of California in Los Angeles.
Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap
yang dilakukan dalam evaluasi,

yaitu

perencanaan,

pengembangan, implementasi, hasil dan dampak.
6) CIPP Evaluation Model
Model

evaluasi

ini

paling banyak dikenal
evaluator.
Stufflebeam

Model
dan

dan

CIPP

merupakan

model

yang

oleh

para

ini dikembangkan

oleh

diterapkan

kawan-kawan

di

Ohio

State

University. Stufflebeam berpandangan bahwa tujuan
penting

evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi

memperbaiki. The CIPP approach is based on the view
that the most important purpose of evaluation is not to

prove but to improve (Stufflebeam, 1993: 118). CIPP
merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat
buah

kata,

yaitu:

terhadap

konteks),

terhadap

masukan),

terhadap
terhadap

Context evaluation

(evaluasi

Input

(evaluasi

evaluation

Process

proses), Product
hasil).

Keempat

evaluation
evaluation

kata

(evaluasi
(evaluasi

yang disebutkan

dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran
evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses
sebuah program kegiatan.
7) Discrepancy Model
Discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang
diterjemahkan kedalam
“kesenjangan”.
Malcolm

bahasa

Model

Provus

ini

Indonesia

menjadi

yang dikembangkan

oleh

merupakan

yang

model

menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di
dalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang
dilakukan

oleh

evaluator

mengukur besarnya

kesenjangan yang ada di setiap komponen.

2.1.2.4 Model Evaluasi yang Dipilih
Model evaluasi yang dipilih dalam penelitian ini
adalah

Model

Evaluation

Evaluasi

Model).

Bebas

Model

yang

Tujuan

(Goal

Free

dikemukakan

oleh

Michael Scriven (dalam Suharsimi, 2014: 14) ini
menjelaskan bahwa dalam tata kerjanya tidak boleh
terlalu rinci bila menekankan evaluasi pada pencapaian

tujuan. Model ini tidak berarti melupakan tujuan
samasekali atau tidak memberikan batasan kepada
para evaluator, bahkan melarangnya untuk melupakan
tujuan program, tetapi memberikan peringatan agar
tidak bekerja terlalu rinci pada tujuan khusus yang
dapat menjurus pada tujuan yang umum. Dengan
peringatan tersebut evaluator boleh berpikir tentang
pencapaian tujuan. Sehingga dapat dipahami bahwa
penggunaan model evaluasi bebas tujuan sama dengan
penggunaan model evaluasi berorientasi pada tujuan.
Menurut

Scriven,

dalam

melaksanakan

evaluasi,

evaluator tidak harus hanya terpaku pada tujuan
program, tetapi mereka justru harus mengidentifikasi
dampak program, baik dampak yang positif (hal-hal
yang diharapkan) maupun dampak yang negatif (halhal yang tidak diharapkan).

2.2

Penelitian Relevan
Beberapa

kajian

terdahulu

tentang

hidden

curriculum adalah sebagai berikut:
Khairun Nisa’ (2009) dalam Hidden Curriculum:
Upaya Peningkatan Kecerdasan Spiritual Peserta didik.
Hasil kajiannya dapat disimpulkan bahwa dengan
penerapan
pencapaian

hidden
tujuan

curriculum
pendidikan

dapat

membantu

nasional

yang

diinginkan, peserta didik tidak hanya cerdas secara

intelektual, tetapi juga cerdas secara spiritual. Oleh
karena itu, hidden curriculum harus menjadi kajian
evaluatif dalam proses perbaikan dan pengembangan
sekolah.
Sigit Wahyono

(2010) dalam Inovasi Hidden

Curriculum pada Pesantren Berbasis Entrepreneurship
(Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Isti’anah Plangitan
Pati). Hasil dari penelitian ini adalah inovasi pendidikan
entrepreneurship yang diaplikasikan dalam bidangbidang usaha, sehingga terjadi perubahan-perubahan
antara

lain

:

1)

visi

seorang kyai

atau

sederhananya, impian dan keinginan

bahasa

seorang

kyai

dalam membentuk tradisi dan aktifitas keseharian
dalam

pondok

pesantren, 2) pola hubungan yang

dibangun antara sesama santri, antara santri dengan
ustadz dan santri dengan pengasuh/kyai, 3) peraturan,
rutinitas sehari-hari dan kebijakan yang ada dan
diterapkan

dalam

aktivitas

keseharian

pada

Pondok Pesantren Al-Isti’anah.
Wijayanto (2014) dalam Kepemimpinan kepala
sekolah perempuan dalam mengembangkan hidden
curriculum (studi kasus di SD Plus Al-Kautsar Malang).
Hasil

penelitian

disimpulkan

sebagai

berikut:

(1)

Hidden curriculum yang dikembangkan difokuskan pada
dua

aspek

diwujudkan

yaitu:
melalui

(a)

kegiatan

misi

terprogram

sekolah

serta

yang

kegiatan

ekstrakurikuler dan (b) kegiatan tidak terprogram yang

diwujudkan melalui keteladanan guru dan pembiasaan
budaya sekolah. (2) Strategi pengembangan hidden
curriculum dilakukan melalui: (a) pembiasaan peserta
didik untuk menerapkan budaya 7S (salam, salim,
senyum, sapa, santun, sehat dan sabar), (b) pelatihan
kepemimpinan
motivasi

peserta

untuk

guru,

didik,
(d)

(c)

penerapan

penciptaan

jam

lingkungan

sekolah yang kondusif. (3) karakteristik kepala sekolah
perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum
mengacu pada dua aspek yaitu: (a) berkaitan dengan
karakter kepala sekolah yang feminis sebagai seorang
perempuan yang dapat dilihat pada integritas kepala
sekolah,

gaya

kemampuan

kepemimpinan

manajerial

kepala

kepala

sekolah,

sekolah

serta

kompetensi kepala sekolah, (b) berkaitan dengan faktor
penentu keberhasilan hidden curriculum yang meliputi
kewenangan

kepala

sekolah,

peran

guru

dalam

mengawal pelaksanaan hidden curriculum, dukungan
orang

tua,

komponen
curriculum

serta

otonomi

sekolah

dalam

menjadi

pengembangan

karakter

sekolah.

(4)

dukungan

pelaksanaan

langkah
positif

hidden

strategis
peserta

didik.

bagi
(5)

kendala pelaksanaan hidden curriculum bersumber dari
dua hal yaitu (a) internal sekolah berupa minimnya
kesadaran guru dalam menjalankan program yang
telah ditetapkan yang berdampak pada pelanggaran
terhadap komitmen yang telah disepakati. Solusinya

dilakukan

melalui

upaya-upaya

sistematis

dengan

mencatat setiap pelanggaran yang dilakukan oleh guru
kedalam buku kasus, mengingatkan kembali akan
tanggung jawab dan peran sebagai pendidik, pemberian
teguran prosedur yang berlaku hingga pengurangan
jam mengajar bagi guru. (b) eksternal sekolah berupa
minimnya kesadaran orang tua dalam pendidikan
anaknya yang berdampak pada kepedulian orang tua
untuk mendukung setiap aktifitas positif peserta didik.
Solusinya

dilakukan

Komunikasi

Kelas,

melalui

pembentukan

membentuk

SMS

Forum

Centre,

dan

optimalisasi website sekolah. (6) dampak karakter yang
dibangun dari hidden curriculum yaitu: (a) perubahan
perilaku warga sekolah ke arah yang lebih baik, (b)
terwujudnya

suasana

sekolah

yang

nyaman

dan

menyenangkan, (c) terbangunnya kesadaran peserta
didik

akan

dijalankan,

batasan-batasan
dan

(d)

perilaku

tumbuhnya

yang

harus

kepercayaan

masyarakat pada sekolah untuk pendidikan putraputrinya.
Penelitian lainnya adalah “Hidden Curriculum
Contributing to Social Production-Reproduction in a Math
Classroom”
membuktikan

oleh

Esin

bahwa

Acar
kegiatan

(2012),

penelitian

kurikuler

dan

ekstrakurikuler seringkali dilingkari oleh pengaruh
keputusan budaya/kebiasaan. Di samping itu, sebuah
kelas matematika dasar menunjukkan bahwa murid-

murid dibentuk dari budaya dan pola sosial yang
memudar lebih dari yg diharapkan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Zuhal
Cubukcu (2012) dalam “The Effect of Hidden Curriculum
on Character Education Process of Primary School
Students” adalah penelitian yang menggunakan model
studi kasus dengan tujuan untuk mengetahui kegiatan
yang mendukung dan pandangan siswa berpartisipasi
dalam

kegiatan

kurikulum

ini

dengan

tersembunyi

pemikiran

dalam

pentingnya

mendapatkan

nilai

dalam pendidikan karakter di sekolah dasar. Kegiatan
mendukung kurikulum tersembunyi seperti kegiatan
sosial dan budaya, kegiatan waktu luang dan kegiatan
sportif, perayaan hari-hari khusus dan minggu, karya
klub sosial dapat dianggap sebagai nilai yang kuat alat
mendapatkan

bagi

siswa

sekolah

dasar

untuk

memahami, menginternalisasi dan melakukan nilainilai. Hasil penelitiannya nilai-nilai yang termasuk
dalam kurikulum sekolah dasar, dan kegiatan yang
mendukung bagi kurikulum tersembunyi dalam proses
mendapatkan

dan

internalisasi

nilai-nilai

memiliki

kepentingan yang besar.
Persamaan dari kelima penelitian di atas adalah
dalam hidden curriculum mampu membentuk nilai-nilai
dan perilaku peserta didik. Tetapi dalam penelitian oleh
Wijayanto lebih luas menghasilkan strategi-strategi
pengembangan hidden curriculum dari budaya 7S,

pelatihan kepemimpinan peserta didik, jam motivasi
guru, penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif.
Lebih jauh dijelaskan karakteristik kepala sekolah
perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum,
dampak dan faktor-faktor penentu keberhasilan hidden
curriculum. Pengintegrasian hidden curriculum dalam
mata pelajaran matematika telah mampu membentuk
budaya dan pola sosial.

2.3 Kerangka Pikir Penelitian
Menurutnya Scrieven (1972) (dalam Suharsimi,
2014:

41)

dan

pendukungnya,

pada

Goal

Free

Evaluation seorang evaluator harus menghindari tujuan
dan mengambil setiap tindak pencegahan. Pada model
ini

evaluasi

program

dapat

dilakukan

tanpa

mengetahui tujuan itu sendiri. Maka evaluasi sangat
tepat untuk mengungkap adanya perubahan perilaku
sebagai

dampak

nyata

hidden

curriculum

yang

dilanjutkan dengan tindakan dalam pendidikan. Untuk
melakukan

evaluasi

dengan

model

bebas

tujuan,

evaluator perlu menghasilkan dua informasi, yaitu: 1.
Penilaian tentang dampak nyata, 2. Penilaian tentang
hidden curriculum yang hendak dinilai.
Jika suatu kegiatan mempunyai pengaruh yang
dapat ditunjukkan secara nyata dan responsif terhadap
suatu kebutuhan, hal ini berarti bahwa suatu hidden

curriculum

berguna

dan

secara

positif

perlu

dikembangkan, dan jika sebaliknya yang terjadi, tidak
mempunyai pengaruh nyata pada peserta didiknya
sebaiknya di hentikan atau diperbaiki.
Kerangka

berpikir

tersebut

dapat

dilihat

sebagaimana bagan berikut.

Kurikulum Pendidikan
SMP Negeri 2 Boja

Kurikulum
Ideal

Kurikulum
faktual

Kegiatan pengembangan
Hidden Curriculum =

Kurikulum tersembunyi
(Hidden Curriculum)

Positif
(Berhasil)

Evaluasi

dilanjut
Negatif (Tidak
berhasil)

Kegiatan pengembangan
Hidden Curriculum =
diperbaiki/dihentikan

Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian

Dari

bagan

diinterpretasikan

kerangka

bahwa

pikir

tersebut

bisa

kurikulum

sebagai

satu

dokumen tertulis yaitu kurikulum ideal memerlukan
penerapan atau pelaksanaan dalam bentuk proses

pembelajaran.

Demikian

pula

kurikulum

yang

dikembangkan di SMP Negeri 2 Boja bahwa kenyataan
di lapangan apa yang dilakukan oleh guru di dalam dan
di luar sekolah menjadi pengalaman belajar yang
sangat mempengaruhi peserta didik. Oleh karena itu
maka pengelaman belajar yang diperoleh peserta didik
di sekolah dalam proses pelaksanaan kurikulum ideal
disebut sebagai kurikulum faktual. Dan segala sesuatu
yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal
menjadi kurikulum faktual di sebut sebagai kurikulum
tersembunyi.

Kegiatan

pengembangan

Hidden

Curriculum di SMP Negeri 2 Boja yang sudah dijalankan
belum mampu mengubah perilaku semua peserta didik
menjadi lebih baik sehingga perlu dilakukan evaluasi,
dengan evaluasi model goal free.
Model evaluasi ini bercirikan bebas tujuan
sehingga proses evaluasi tidak terperinci maupun
mengarah pada tujuan, namun evaluasi ini melihat
dampak dari adanya pelaksanaan hidden curriculum
baik dampak positif maupun dampak negatif. Sebagai
konsekuensinya,

kegiatan

pengembangan

hidden

curriculum akan dilanjutkan jika hasilnya berdampak
positif, sebaliknya jika kegiatan pengembangan hidden
curriculum

berdampak

negatif,

maka

kegiatan

pengembangan hidden curriculum akan diperbaiki atau
dihentikan.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

AN ANALYSIS OF GRAMMATICAL ERRORS IN WRITING DESCRIPTIVE PARAGRAPH MADE BY THE SECOND YEAR STUDENTS OF SMP MUHAMMADIYAH 06 DAU MALANG

44 306 18

AN ANALYSIS ON GRAMMATICAL ERROR IN WRITING MADE BY THE TENTH GRADE OF MULTIMEDIA CLASS IN SMK MUHAMMADIYAH 2 MALANG

26 336 20

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

A DESCRIPTIVE STUDY ON THE TENTH YEAR STUDENTS’ RECOUNT TEXT WRITING ABILITY AT MAN 2 SITUBONDO IN THE 2012/2013 ACADEMIC YEAR

5 197 17