Memahami Perang Generasi Ke 4 Sebagai Pe

Memahami Perang Generasi Ke 4
Sebagai Perang Modern
Oleh Yan Daryono

Definisi
Menurut Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryaccudu, perang generasi ke
empat atau fourth generation warfare disebut juga sebagai perang asimetris,
yaitu suatu perang modern tanpa keterlibatan militer secara formal atau bisa juga
disebut perang sipil ( civil war ). Dalam bahasa populernya dikenal dengan sebutan
smart power atau perang non militer. Perang sipil yang murah meriah tetapi memiliki
daya hancur yang sangat dahsyat. “ Jika Jakarta dibom atom, daerah-daerah lain
tidak

terkena

dampaknya.

Tetapi

bila


dihancurkan

dengan

menggunakan

asymmetric warfare sama artinya dengan penghancuran sistem di negara ini, hancur
berpuluh-puluh tahun dengan akibat menyeluruh.” Ungkap Menhan Ryamizard
dalam forum diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Global Future Institute di
Jakarta pada tanggal 29 Januari 2015. 1
Dewan Riset Nasional ( DRN ) pada tahun 2008

telah

merumuskan

definisi tentang perang generasi ke empat sebagai berikut ; “ Perang asimetris (
Asymmetric Warfare ) adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari
cara berpikir yang tidak lazim dan di luar aturan peperangan yang berlaku dengan
spektrum perang yang sangat luas,


mencakup aspek-aspek astagatra sebagai

perpaduan antara trigatra ( geografi, demografi dan sumber daya alam / SDA )
dengan pancagatra ( ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya ). Selain itu
perang asimetris selalu melibatkan antara dua aktor atau lebih dengan ciri menonjol
dari kekuatan yang tidak seimbang yaitu pihak yang lemah melawan pihak yang
kuat atau disebut juga antara non state actor dan state actor “2
Hal

yang

Syamina3 yang

sama

juga

disampaikan


oleh

K.Mustarom dalam Jurnal

menyebutkan bahwa perang generasi ke empat itu bersifat

transnasional, tidak mengenal medan perang yang pasti, tidak membedakan sipil
1

M.Arief Pranoto – Mengenal Perang Asimetris ; Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya. 6
April 2015
2
Ibid
3
K.Mustarom – Perang Generasi Ke Empat Mengubah Paradigma Perang – Jurnal
Syamina Edisi XV/Oktober 2014.

1

dan militer, serta tidak mengenal garis depan. Aktor dalam perang generasi ke

empat pada umumnya memiliki tujuan regional yang jauh lebih luas dan bahkan
memiliki visi global. Mereka berusaha menerapkan sistem sosial yang sama
sekali

baru

dirumuskan
terbentuk

berdasarkan ideologi atau agama mereka. Singkatnya dapat
bahwa perang generasi ke empat itu bersifat

secara

politis,

sosial dan membutuhkan jangka waktu

yang


jaringannya
lama

serta

berlarut-larut. Bahkan bisa juga dikatakan sebagai antithesis dari konsep dan
strategi perang versi Pentagon yang mengandalkan teknologi

persenjataan

mutakhir. Sehingga dalam implementasinya, perang generasi

empat akan

memaksimalkan

seluruh

jaringan


yang

dimiliki

musuhnya

ke

seperti kondisi

dinamika politik, sosial, ekonomi dan militer, agar pihak musuh tidak mampu
melakukan keputusan pasti atau melaksanakan tindakan tegas terhadap tujuan
strategisnya. Bisa dilakukan dalam bentuk aksi teror, penyebaran isu hoax atau pun
sabotase.Jika dianalogikan, mungkin seperti filosofi Silat Minangkabau. Yaitu
gunakan kekuatan “lawan” untuk memukul “lawan” tersebut. Maka untuk itu
instrumen yang paling utama digunakan dalam melancarkan perang generasi ke
empat

ini adalah informasi, maka peran informasi menjadi elemen kunci dalam


setiap pengejawantahan strategi perang generasi ke empat.
Menurut US Army War College, dalam makalah M.Arief Pranoto 4, perang
asimetris dapat didiskripsikan sebagai suatu konflik dari dua pihak yang berseteru
dengan

sumber daya inti serta tujuan perjuangan yang berbeda, melakukan

tindakan interaksi

dan

kelemahan-kelemahan

upaya

untuk saling mengeksploitasi karakteristik

musuhnya. Perjuangan tersebut sering berhubungan

dengan strategi dan taktik unconventional war. Pihak yang lebih lemah akan

berusaha menggunakan strategi untuk mengimbangi kekurangan yang dimiliki.
Misalnya dalam hal kuantitas dan kualitas.
Alhasil dapat ditafsirkan bahwa perang asimetris merupakan metode
peperangan gaya baru secara non militer, namun daya hancurnya tidak kalah
bahkan dampaknya bisa lebih dahsyat daripada perang militer atau perang
konvensional.

Perang

ini

memiliki medan tempur yang

luas

meliputi segala

aspek kehidupan ( astagatra ). Sasarannya tidak hanya tertuju kepada satu aspek
tetapi justru beragam aspek yang dapat dilakukan bersamaan atau secara simultan
4


M.Arief Pranoto – Mengenal Perang Asimetris ; Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya. 6
April 2015

2

dengan intensitas berbeda. Sasaran perang asimetris ada 3 ( tiga ) yaitu : 1)
membelokkan sistem suatu negara sesuai arah atau tujuan kepentingan

pihak

kolonialisme, 2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat dan 3)
menghancurkan ketahanan pangan serta ketahanan energi suatu negara. Sehingga
dengan demikian pihak pelaku yang memenangkan perang asimetris tersebut
akan dengan mudah mengontrol kondisi ekonomi dan pengelolaan sumber daya
alam dari negara yang telah dikalahkannya dalam perang asimetris tersebut. Hal itu
selaras dengan pendapat Henry Kissinger, mantan Menlu AS, yang mengatakan
bahwa dengan mengontrol sumber daya alam, pangan dan energi, sudah dapat
mengendalikan mekanisme sistem suatu negara yang menjadi korban perang
asimetris atau perang generasi ke empat itu.

Sementara apa bila mencermati sifat dan bentuk perang asimetris, ada 2
( dua ) model yaitu; Pertama, melalui aksi massa di jalanan dengan target untuk
menekan
tentunya

sasaran. Kemudian
menguntungkan

yang

bagi

ke Dua, melalui keputusan politik yang

pihak

tertentu, khususnya pemenang dalam

perang asimetris tersebut.
Riwayat generasi perang

Perang dan sejarah manusia di muka bumi ini, nyaris tidak terpisahkan.
Berawal dari manusia hidup dalam kelompok-kelompok yang terpisah dan
membentuk

entitas

masing-masing

yang

kemudian

secara alamiah, entitas-

entitas tersebut saling menyerang untuk mengalahkan satu dan lainnya. Pihak
yang

menang akan menguasai yang kalah, begitu ketentuan yang tidak tertulis

tetapi terjadi secara alamiah pula.
Dalam salah satu bagian dari kitab Bhagawad Gita dikisahkan tentang
percakapan antara Arjuna dengan Sri Kresna atau Gowinda. Saat itu Sri Kresna
sedang menjadi kusir kereta perang Arjuna dan Arjuna yang berperawakan tegap
berdiri tegak dengan busur panah yang siap dilepaskan. Pada saat perjalanan
menuju kuru setra, Arjuna bertanya kepada Sri Kresna : “ Wahai Gowinda, kenapa
harus ada peperangan seperti ini ? “
Sri Kresna yang sedang mengendali kereta kuda menjawab tanpa menoleh
kepada Arjuna. Dia bilang : “ Perang itu memang perlu terjadi, karena peperangan
adalah bagian dari perjalanan sejarah manusia. Maka apa pun perangnya, akan

3

selalu membawa perubahan. Entah perubahan baik, atau perubahan buruk.
Tergantung apa tujuan perangnya....”
Mendengar jawaban Sri Kresna yang sederhana tapi penuh makna, Arjuna
tertegun sambil menggenggam erat busur panahnya. Ya perang selalu membawa
perubahan. Entah perubahan baik, atau perubahan buruk. Tergantung apa tujuan
perangnya.
Pada masa pra sejarah yaitu sejak bangsa-bangsa manusia terbentuk dan
hidup dalam kelompok atau komunitasnya, antara bangsa-bangsa itu kerap
melakukan peperangan. Perang untuk menaklukan satu dan lainnya, perang untuk
melindungi komunitasnya atau perang untuk bertahan hidup. Perang memang
menjadi bagian dari perjalanan hidup manusia, menjadi bagian dari peradaban dan
kebudayaan, bahkan kemudian menjadi bagian sejarah suatu bangsa.
“Perang”

menurut

pengertian

dalam

kamus

Bahasa

Indonesia

W.J.S.Poerwadarminta, disebutkan sebagai permusuhan antarnegara dan bangsa
yang mengerahkan tentara bersenjata. Sehingga perang juga merupakan kancah
pertempuran bersenjata yang tujuannya adalah menaklukan atau bertahan. 5
Perang terus berlanjut sampai pada saat kelompok-kelompok manusia itu
membentuk kerajaan sebagai kemajuan peradaban dan kebudayaannya. Tujuan
perangnya adalah untuk saling menguasai antara satu dan lainnya. Pihak yang
kalah akan dirampas harta benda dan wilayahnya, lalu diperlakukan sebagai budak
bagi pihak yang memenangkan perang. Hingga pada tahun 1648, bangsa-bangsa
yang berperang bersepakat untuk berdamai. Perjanjian perdamaian itu disebut
sebagai Perjanjian Westphalia.
Namun meski perjanjian perdamaian telah ditandatangani dan disepakati oleh
berbagai bangsa yang saling berperang, faktanya perang terus saja berlanjut
dengan berbagai alasan dan tujuan. Misalnya perang antar suku, etnis dan ras lalu
perang
ternyata

yang dilakukan atas nama agama dan budaya. Perang kemudian ini
tidak

terbatas

dua

pihak berseteru, tapi justru sudah menjalin

persekutuan antar kelompok, bangsa atau negara. Sehingga spektrum perang
pun meliputi wilayah yang sangat luas.Contohnya adalah Perang Dunia I dan
Perang Dunia II yang menjadi kancah perang antar persekutuan banyak negara di
berbagai benua. Oleh sebab itu sejarah militer khususnya dan sejarah perang
5

Lihat kamus Bahasa Indonesia – oleh WJS.Poerwadarminta. Penerbit PN.Balai Pustaka –
Th 1985.

4

umumnya, mencatat bahwa generasi perang dimulai dari paska Perjanjian
Westphalia seperti berikut 6 :
Perang Generasi Pertama ( 1648 – 1860 ) :
Sebagai suatu perang klasik, perang generasi pertama ini memiliki ciri formal,
tertib, rapi dan menjunjung nilai-nilai ksatria. Hal itu dikaitkan dengan kultur milier
yang penuh keteraturan ( disiplin ) dan memiliki etika perang yaitu dengan
membedakan antara warga sipil dan militer, termasuk identitas militer yang
berseragam

serta bertanda

pangkat

sebagai

jenjang kepemimpinan dan

perangkat persenjataan yang digunakan.
Perang generasi pertama sangat ditentukan oleh kekuatan pasukan dalam
bentuk jumlah prajurit, persenjataan dan keahlian, serta pengalaman dalam
bertempur secara frontal berhadapan. Contoh paling sederhana dari perang
generasi pertama ini adalah Perang Napoleon yaitu ketika bangsa Perancis
melakukan ekspansi di daratan Eropa.
Perang Generasi ke Dua ( 1860 - ) :
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di awal abad 19, yaitu ketika
ditemukannya mesiu dan mesin perang, perang generasi ke dua mengedepankan
daya

tembak

meriam

untuk

penghancuran massal. Metode tersebut

dikembangkan oleh militer Perancis pada Perang Dunia I.
Maka ciri dari perang generasi ke dua ini ialah daya tembak yang terkendali
secara terpusat, terperinci dan teratur bagi infantri, tank dan artileri yang
menekankan
sangat

pentingnya

ditekankan

dalam

peran komandan dalam pertempuran. Doktrin yang
perang

generasi ke dua ini adalah “ the artilery

conquers, the cavalry as the attackers and the infantry occupies.” Selanjutnya motto
yang berkembang dalam perang generasi pertama dan ke dua adalah “close and
destroy”.
Perang Generasi ke Tiga :
Perang generasi ke tiga adalah produk dari Perang Dunia I yang
dikembangkan oleh militer Jerman dalam Perang Dunia II dan dikenal dengan
6

K.Mustarom – Perang Generasi Ke Empat Mengubah Paradigma Perang – Jurnal Syamina
Edisi XV/Oktober 2014.

5

sebutan “blitzkrieg” atau perang dengan manuver berdasarkan daya tembak
pada

sasaran musuh dan menguras seluruh kemampuan musuh dalam

pertempuran jarak jauh mau pun jarak dekat. Ciri perang generasi ke tiga ini ialah
mengutamakan kecepatan, spontanitas, kekuatan mental serta fisik prajurit. Dalam
strategi

ini,

kedisiplinan prajurit dalam bertempur akan menentukan hasil yang

dicapai dan bukan menentukan cara bertempur. Maka pada perang generasi ke
tiga ini, insiatif prajurit mau pun komandan lapangan menjadi lebih penting dari
pada ketaatan kepada komando atas. Selanjutnya desentralisasi dan insiatif yang
berasal dari perang generasi ke tiga memunculkan strategi baru dalam perang, yaitu
interoperability strategy dalam membangun sinergitas dan komunikasi pertempuran
dengan dukungan perangkat teknologi modern.
Perang Generasi ke Empat :
Perang Dunia II berakhir setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di
kota Hiroshima dan Nagasaki – Jepang pada 15 Agustus 1945. Peristiwa tersebut
mengakhiri konflik bersenjata di sebagian kawasan Eropa dan Asia Pasifik.
Selanjutnya kurang lebih satu dekade kemudian, perang yang berlanjut adalah
Perang Dingin ( cold war ) atau perang intelijen dan spionase. Karena paska Perang
Dunia II itu, meskipun sudah ditandatangani kesepakatan perdamaian dunia, tetapi
negara-negara yang lebih maju ekonomi dan teknologinya masih melakukan
pengembangan teknologi persenjataannya untuk perang konvensional.
Di sisi lain, perang dingin yang berlangsung di seluruh dunia ini, akhirnya
memproduksi perang generasi ke empat. Kemudian dalam perang generasi ke
empat ini terjadi lagi perubahan radikal terhadap norma perang yang pernah
disepakati dalam Perjanjian Westphalia. Yakni kembali ke budaya perang masa lalu
yaitu yang terlibat konflik bukan semata-mata negara ( state actor ) tetapi keluarga,
suku, penganut agama dan dunia usaha yang menggunakan segala cara untuk
mencapai tujuannya. Maka pada perang generasi ke empat inilah muncul istilah
perang

asimetris atau asymmetric warfare yang sudah

dikenal sejak

perang

Franco – Spanish di tahun 1823. Perang asimetris ini memiliki ciri yaitu semakin
kaburnya batas-batas norma perang seperti yang pernah disepakati dalam
Perjanjian Westphalia. Karakter lainnya adalah perang dalam generasi ini bersifat
transnasional, tidak mengenal medan perang yang pasti, tidak pula membedakan

6

antara sipil dan militer, tidak mengenal masa perang dan damai serta tidak
mengenal garis depan.
Sesungguhnya perang generasi ke empat bukanlah sesuatu yang baru.
Dalam pidatonya dihadapan taruna West Point - Juni1965, Presiden AS John F
Kennedy mengatakan seperti berikut 7 :
“ Perang

generasi

ke empat adalah jenis perang yang lain, baru dalam

intensitasnya tapi kuno dalam asal – mulanya. Perang oleh gerilyawan,
pemberontak, pengacau, pembunuh. Perang dengan dadakan atau tiba-tiba, bukan
dalam

bentuk

pertempuran terorganisir. Perang dengan penyusupan, bukan

dengan agresi. Mencari kemenangan dengan ‘merontokkan musuh’ bukan dengan
‘menghadapinya’. Perang tanpa etika. Maka Itu adalah tantangan di hadapan kita,
jika kebebasan harus diselamatkan....”

Perang generasi ke empat berakar kepada aturan fundamental yang
menyatakan bahwa kemauan politiklah yang lebih superior. Bila digunakan dengan
benar dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Perang
generasi ke empat tidak berusaha untuk menang dengan cara mengalahkan
pasukan militer pihak musuh, tapi justru menyerang kemauan politik musuh dengan
menggabungkan antara taktik gerilya dengan pembangkangan sipil serta jaringan
ikatan sosial, budaya dan semacamnya. Yaitu melalui aksi kampanye disinformasi,
gosip, hoax dan aktifitas politik yang inovatif. Menurut Harry Darwanto dalam
makalahnya :”Perang Asimetris” menyebutkan bahwa perang generasi ke empat
atau perang asimetris dalam skala besar yang pernah terjadi paska Perang Dunia II
adalah Perang Vietnam, Perang Saudara Srilanka, Perang antara Israel dan
Palestina, Perang Saudara di Suriah, Perang Somalia dan seterusnya.

Bahkan

pada saat Jenderal Sudirman melakukan perang perlawanan terhadap

militer

Belanda dalam Agressi II yaitu paska proklamasi kemerdekaan RI, juga melalui
perang asimetris atau perang gerilya.
Strategi dan Pola Perang Asimetris
Ada dua model dalam peperangan asimetris yaitu 1) melalui gerakan aksi
massa di jalanan dalam rangka menekan target sasaran. 2) melalui meja para elit
politik dan pengambil kebijakan negara agar setiap kebijakan yang diterbitkan
7

Herry Darwanto : Perang Asimetris

7

selaras, sejalan dan senantiasa pro asing guna meraih tiga hal sesuai definisi
perang asimetris versi Global Future Institute yaitu 8:
“Pertama, belokan sistem suatu negara sesuai kepentingan kolonialisme. Ke
dua, lemahkan ideologi serta ubah pola pikir rakyatnya dan kemudian ke tiga,
hancurkan ketahanan pangan dan pasokan energinya. Selanjutnya ciptakan
ketergantungan negara tersebut terhadap pangan dan dan energi. Arab
Spring misalnya, adalah contoh nyata perang asimetris yang digelar oleh
Barat ( Amerika dan sekutunya ) dengan model gerakan massa yang
bertujuan melengserkan rezim dan elit penguasa di jalur sutera. Hasilnya ?
Ben Ali di Tunisia pun lengser, Ali Abdullah Saleh di Yaman terbirit-birit, Hosni
Mubarak tumbang di Mesir dan seterusnya....”
Berdasarkan pandangan di atas, untuk membangun dan mengembangkan
perang asimetris di suatu negara harus dicermati potensi dan kemungkinan peluang
terjadinya instabilitas di negara tersebut. Misalnya kondisi perekonomian

yang

lemah karena berbagai faktor, atau bisa juga kondisi stabilitas politik yang terganggu
oleh banyak kepentingan politik dan bisnis, kebijakan-kebijakan pemerintah yang
labil dan tidak dilaksanakan secara tegas, serta lain sebagainya yang merupakan
potensi dan peluang untuk memunculkan perang asimetris. Semua itu merupakan
proses awal yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku perang asimetris
di mana pun dan oleh siapa pun.
Namun apa bila di negara yang akan menjadi target perang asimetris itu
masih tampak stabil dan aman-aman saja, maka dilakukanlah suatu upaya
pengkondisian agar terjadi instabilitas di negara tersebut. Misalnya dengan
menggunakan

berbagai

Lembaga

Swadaya

Masyarakat

atau

LSM

untuk

melancarkan isu kritik terhadap kebijakan pemerintah atau isu-isu lainnya yang
berpotensi menimbulkan keresahan

atau dapat dikembangkan menjadi polemik

tajam di masyarakat luas. Selanjutnya isu-isu yang semakin berkembang itu
terbentuk

menjadi

opini

yang

semakin

meresahkan

dan

bahkan

mampu

menciptakan polarisasi di masyarakat luas. Kondisi demikianlah yang menjadi
potensi peluang berlangsungnya perang asimetris di suatu negara atau antara
negara dengan negara dan seterusnya.
Singkat kata, bila dianalogikan dengan teori perang konvensional yang
melalui tiga tahap yaitu di awali dengan serangan udara dan serangan meriam jarak
8

M.Arief Pranoto – Mengenal Perang Asimetris ; Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya. 6
April 2015

8

jauh atau istilah lainnya dibombardir, terhadap target daerah musuh. Kemudian
langkah berikutnya adalah serangan pasukan kavaleri dengan tank-tank dan
kendaraan lapis baja lainnya, hingga terakhir adalah pendudukan wilayah oleh
pasukan infanteri. Jika ketiga tahapan perang konvensional itu diaplikasikan dalam
perang asimetris dapat dijelaskan seperti berikut : 1) Serangan awal dimulai dengan
penyebaran isu yang dapat mengarah membentuk opini. 2) Serangan berikutnya
adalah dengan menyelenggarakan aksi unjuk rasa yang menentang kebijakan
pemerintah atau menyampaikan berbagai kritik terhadap kinerja pemerintah dan
sebagainya. 3) Pada tahap akhir, melakukan kontrol dan kendali terhadap sistem
ekonomi, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki serta mengelola dinamika
politik, sosial dan budaya. Pemerintah RI telah mengalami beberapa kali serangan
perang asimetris yang berdampak luar biasa. Misalnya terjadinya pemberontakan
DI/TII, PRRI, PERMESTA dan sebagainya di saat awal kemerdekaan, kemudian
dilanjut dengan peristiwa G30S PKI 1965 yang mengubah orde lama menjadi orde
baru, serta peristiwa Mei 98 yang akhirnya menggusur orde baru menjadi orde
reformasi. Namun sampai saat ini perang asimetris itu, disadari atau tidak disadari,
masih terus berlangsung.
Perang Proksi dan Perang Hibrida
Perang proksi atau proxy war adalah pengembangan dari perang asimetris.
Perang proksi disebut juga sebagai perang boneka. Yakni ketika dua negara yang
kuat berseteru tapi tidak mau terlihat oleh dunia internasional, maka kedua negara
tersebut akan menggunakan negara yang lebih lemah untuk menjadi “alat” atau
“boneka” dalam peperangan tersebut. Misalnya sebagai salah satu contoh nyata
adalah perang antara Afghanistan - Pakistan. Kedua negara di Timur Tengah itu
merupakan “alat” atau “boneka” perang proksi antara Pemerintah Amerika Serikat vs
Pemerintah Rusia.
Melalui penggunaan perang proksi, kedua negara kuat yang sedang bertikai
dapat meminimalisir biaya dan resiko di pihak masing-masing. Namun yang justru
menanggung resiko besar adalah negara yang menjadi “alat” atau “boneka”
peperangan tersebut. Negara-negara lemah itulah yang menanggung kehancuran
fisik seperti

infrastruktur,

bangunan

dan

sarana

penting

lainnya.

Bahkan

menanggung dampak psikologis bagi rakyatnya yang menjadi korban peperangan

9

tersebut. Baik yang tewas, luka-luka mau pun yang terpaksa harus mengungsi ke
negara lain untuk memperoleh suaka.
Perang proksi akan dilakukan oleh negara-negara yang kuat, semata-mata
untuk memperluas wilayah kekuasaan dan eksplorasi sumber daya alam yang
dimiliki oleh negara-negara boneka. Karena dengan melalui pelaksanaan perang
proksi tersebut, negara-negara kuat dapat secara leluasa menjarah kekayaan
sumber daya alam yang dimiliki oleh negara-negara boneka.Sehingga tujuan
mencapai kemakmuran bagi rakyat negara-negara kuat itu dapat terpenuhi seperti
yang diharapkan.
Ada pun negara-negara kuat yang dimaksud, ialah negara-negara yang
memiliki kekuatan ekonomi, sumber daya manusia maju dan memiliki militer yang
kuat serta didukung tehnologi persenjataan yang super modern. Negara-negara
demikian itu akan sangat berkepentingan terhadap sumber daya alam yang dimiliki
oleh negara-negara lemah, untuk dikuasai dan dieksplorasi demi kemamkmuran
negaranya.
Perang hibrida atau hybrid warfare tergolong sebagai perang modern yang
merupakan pengembangan dan kombinasi dari perang konvensional, perang
asimetris dan perang proksi. Oleh sebab itu perang hibrida ini menggunakan
perpaduan antara metode militer dan non militer pada masa damai untuk mencapai
tujuan militer.9 Maka tujuan dari perang hibrida adalah memenangkan kampanye
konklusif melalui penggunaan kekuatan dan kekerasan, atau mempersiapkan aksi
militer yang sangat menentukan.
Karena potensinya untuk memicu terjadinya konflik bersenjata, antara militer
dengan militer, atau militer dengan separatis, terorisme dan semacamnya, perang
hibrida digolongkan sebagai ancaman terhadap serangan militer konvensional yang
membahayakan dan menimbulkan resiko korban nyawa atau kehancuran fisik.
Meskipun perang ini diawali dengan perang informasi melalui sosial media atau pun
media mainstream, tapi ujung-ujungnya akan berakhir pada perang konvensional
atau dalam bentuk konflik senjata yang melibatkan militer. Oleh sebab itu pula, aksi
terorisme selain termasuk dalam pola perang asimetris juga termasuk dalam pola
perang hibrida ini.

9

Kol ( Pur ) Arthur N Tulak : Perang Hibrida – 16 Agustus 2016

10

Kesimpulan
Dari uraian singkat yang telah disampaikan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa Perang Generasi ke Empat merupakan Perang Modern. Perang yang bisa
melibatkan militer dengan militer dalam suatu perang konvensional, namun bisa juga
sebagai perang sipil yang tidak mengenal batas wilayah, tidak menjunjung norma
dan etika perang, tidak mengenal batas waktu dan bisa terjadi kapan saja serta
dimana saja, dilakukan oleh siapa saja.
Namun perang modern ini akan selalu diawali dengan perang informasi,
penyebaran isu sebagai bentuk perang urat syaraf ( psywar ) lalu membentuk opini
yang meresahkan dan membingungkan masyarakat di suatu kelompok, wilayah
bahkan negara. Tujuan perang modern ini sangat sederhana yaitu mengalahkan
dan menguasai.
Maka untuk menyikapi terjadinya perang modern di negeri kita, setiap warga
bangsa di negeri ini harus memiliki integritas yang kuat dan kesadaran penuh
terhadap kondisi bangsa serta negaranya. Membangun persatuan yang kokoh,
saling menjaga dan melindungi serta tidak mudah terhasut atau terpengaruh
isu-isu menyesatkan. Yaitu sebagai bangsa yang dewasa dan cerdas ! Bangsa
yang memiliki kesadaran penuh terhadap nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme.
Sumber referensi :
M.Arief Pranoto – Mengenal Perang Asimetris ; Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya. 6 April
2015
K.Mustarom – Perang Generasi Ke Empat Mengubah Paradigma Perang – Jurnal Syamina
Edisi XV/Oktober 2014

WJS.Poerwadarminta – Kamus Bahasa Indonesia - Penerbit PN.Balai Pustaka – Th
1985.
Herry Darwanto : Perang Asimetris
Kol ( Pur ) Arthur N Tulak : Perang Hibrida – 16 Agustus 2016

11

12