BAB II Konsep Perencanaan Bidang Cipta Karya - DOCRPIJM 15dc4f7b6e BAB IIBAB II RPIJM Moker.compressed
BAB II Konsep Perencanaan Bidang Cipta Karya
2.1. Konsep Perencanaan dan Pelaksanaan Program Ditjen Cipta Karya
Penyusunan program adalah suatu rangkaian aktivitas kegiatan keciptakaryaan di tingkat Kabupaten/Kota/Provinsi yang diambil dari kegiatan identifikasi, formulasi dan sinkronisasi yang selaras dengan pencapaian sasaran kinerja Program Pembinaan dan Pengembangan Infrastruktur Permukiman, peningkatan kualitas kegiatan, dan penanganan isu-isu strategis Bidang Cipta Karya. Penyusunan program dalam lingkup Perencanaan dan Pengendalian Cipta Karya lebih difokuskan untuk menghasilkan Dokumen Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) sebagai keluaran. Dokumen RPIJM disusun oleh Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan di masing-masing daerah. Dengan adanya RPIJM diharapkan Kabupaten/Kota dapat menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan serta mewujudkan lingkungan yang layak huni (livable).
RPIJM disusun dengan memperhatikan aspek kelayakan program masing- masing sektor dan kelayakan spasial sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang ada serta kelayakan sosial dan lingkungannya. Sebagai dokumen teknis, RPIJM perlu dikerjakan secara profesional, dengan tetap menekankan proses partisipasi melalui dialog kebijakan dengan seluruh stakeholder, masyarakat, profesional dan lain-lain pada tahap penyusunan rencana pembangunan Kabupaten/Kota dan melalui dialog investasi dengan masyarakat dan dunia usaha maupun pihak lain yang terkait dengan penyusunan prioritas program/kelayakan program investasi. Untuk mengetahui konsep perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Bidang Cipta Karya Tahun 2014 dapat dilihat pada diagram dibawah ini.
Laporan
II-1
Gambar 2.1. Konsep Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya2.2. Amanat Pembangunan Nasional
2.2.1. RPJP Nasional 2005 - 2025 (UU No. 17 Tahun 2007)
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025 yang selanjutnya disebut sebagai RPJP Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025 ;
2) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005 - 2025 yang selanjutnya disebut sebagai RPJP Daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025 ;
3) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, yang selanjutnya disebut RPJM Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahunan, yaitu RPJM Nasional I Tahun 2005 - 2009, RPJM Nasional II Tahun 2010 - 2014, RPJM Nasional III Tahun 2015 - 2019, dan RPJM Nasional IV Tahun 2020 – 2024 ;
4) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, yang selanjutnya disebut RPJM Daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala
Laporan
II-2 daerah dengan berpedoman pada RPJP Daerah serta memerhatikan RPJM Nasional.
RPJP Nasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran UU merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang tersebut. RPJP Nasional sebagaimana dimaksud dalam UU No.17 tahun 2007 menjadi pedoman dalam penyusunan RPJM Nasional yang memuat Visi, Misi dan Program Presiden. UU No.17 tahun 2007 juga mengamanatkan bahwa kondisi sarana dan prasarana masih rendah aksesbilitas, kualitas, maupun cakupan pelayanan. Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan untuk menghindarkan kekosongan rencana pembangunan nasional, Presiden yang sedang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajibkan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya. RKP sebagaimana yang dimaksud digunakan sebagai pedoman untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya. RPJP Nasional menjadi acuan dalam penyusunan RPJP Daerah yang memuat visi, misi, dan arah Pembangunan Jangka Panjang Daerah. RPJP Daerah menjadi pedoman dalam penyusunan RPJM Daerah yang memuat Visi, Misi dan Program Kepala Daerah. RPJM Daerah disusun dengan memerhatikan RPJM Nasional.
2.2.2. RPJM Nasional 2010 - 2014 (Perpres No.5 Tahun 2010)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 - 2014 merupakan tahap kedua dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. RPJMN 2010 - 2014 ini selanjutnya menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga dalam menyusun Rencana Strategis kementerian/lembaga (Renstra-KL) dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun/menyesuaikan rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional. Untuk pelaksanaan lebih lanjut, RPJMN akan dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang akan menjadi pedoman bagi penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 - 2014 merupakan penjabaran dari Visi, Misi, dan Program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang memuat memuat hal - hal sebagai berikut :
Laporan
II-3 Memuat strategi, kebijakan umum, dan kerangka ekonomi makro yang merupakan penjabaran dari Visi, Misi, dan Program Aksi serta sebelas prioritas pembangunan nasional dari Presiden-Wakil Presiden, dengan visi: “TERWUJUDNYA
INDONESIA YANG SEJAHTERA, DEMOKRATIS, DAN BERKEADILAN.”
Memuat rencana pembangunan yang mencakup bidang-bidang kehidupan masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam RPJPN 2005 - 2025 dengan tema :
“MEMPERKUAT SINERGI ANTAR BIDANG PEMBANGUNAN” dalam rangka mewujudkan visi pembangunan nasional.
Memuat rencana pembangunan kewilayahan yang disusun dengan tema :
“MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAN ANTAR DAERAH” dalam rangka mewujudkan visi pembangunan nasional.
Dengan demikian, RPJMN 2010 - 2014 adalah pedoman bagi Pemerintah Pusat/Daerah, masyarakat, dan dunia usaha dalam melaksanakan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan bernegara yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.2.3. MP3EI (Pepres No. 32 Tahun 2011)
Sebagai dokumen kerja, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang sudah lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan/revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang perlu dilakukan maupun pemberlakuan peraturan-perundangan baru yang diperlukan untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi. Selanjutnya MP3EI menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. MP3EI bukan dimaksudkan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang telah ada seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 - 2025 (Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2007) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, namun menjadi dokumen yang terintegrasi dan komplementer yang penting serta khusus untuk melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi.
MP3EI juga dirumuskan dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) karena merupakan komitmen nasional yang berkenaan dengan perubahan iklim global.
Laporan
II-4
Gambar 2.2. Posisi MP3EI di dalam Rencana Pembangunan PemerintahBerdasarkan berbagai faktor di atas, maka kerangka desain dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 - 2025 dirumuskan sebagaimana pada Gambar 2.3 berikut ini.
Gambar 2.3. Kerangka Desain Pendekatan Masterplan P3EILaporan
II-5
2.2.4. MP3KI
Dalam upaya menekan angka kemiskinan, pemerintah sejak 2009 mendesain program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI). Program ini langsung menyasar masyarakat bawah yang mengalami kemiskinan ekstrim di Indonesia. Sebagai program andalan, MP3KI ini juga bertujuan untuk mengimbangi rencana besar pembangunan ekonomi yang terintegrasi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Sebagaimana diketahui, program MP3EI dimaksudkan untuk mendorong percepatan dan perluasan Pembangunan ekonomi melalui pembangunan di enam koridor ekonomi yaitu (1) koridor ekonomi Sumatera, (2) koridor ekonomi Jawa, (3) koridor ekonomi Kalimantan, (4) koridor ekonomi Sulawesi, (5) koridor ekonomi Bali - NTT, dan (6) koridor ekonomi Papua-Kep.Maluku. Upaya tersebut diharapkan dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Hal inilah yang mendasarkan dipersiapkan program MP3KI.
MP3KI merupakan affirmative action atau program keberpihakan terhadap rakyat miskin, sehingga pembangunan ekonomi yang terwujud tidak hanya pro-growth atau pertumbunan ekonomi semata, tapi juga pro-poor, pro-job dan pro-environment, temasuk penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat miskin. MP3KI merupakan program yang memiliki target yang kongkrit, terukur dan fokus, serta sinergi dengan berbagai program kemiskinan yang ada di Kementerian/Lembaga, termasuk ke-4 klaster program penanggulangan kemiskinan. Ke-4 klaster dimaksud adalah: (1) Klaster I, antara lain: Beasiswa miskin, Jamkesmas, Raskin, PKH (Program Keluarga Harapan), dan BLT (bila diperlukan saat krisis); (2) Klaster II, program-program pemberdayaan masyarakat (PNPM); (3) Klaster III, Kredit Usaha Rakyat; dan (4) Klaster IV: rumah sangat murah, kendaraan umum angkutan murah, air bersih, listrik murah & hemat, peningkatan kehidupan nelayan dan peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan.
Tujuan MP3KI adalah akselerasi pertumbuhan dengan pemerataan. Pendekatannya dilakukan berdasarkan peningkatan nilai tambah berbasis komoditi unggulan wilayah. MP3KI diharapkan akan menjadi gerakan nasional dengan melibatkan unsur pemerintah, BUMN, swasta dan masyarakat. MP3KI ini tidak akan berdiri sendiri, tapi akan komplemen dengan dokumen-dokumen perencanaan yang telah ada (RPJP, RPJMN, MDG dan Penanggulangan Kemiskinan). Dengan demikian pelaksanaan program MP3KI yang dilaksanakan pemerintah pusat harus sinkron dengan program pemerintah-program pemerintah daerah, termasuk sinkronisasi
Laporan
II-6 perencanaan dan anggaran. Apabila sinkronisasi ini terjadi, maka kehadiran MP3KI tidak akan menjadi pesaing dari program-program penanggulangan kemiskinan, baik yang sudah ada di Kementerian/Lembaga maupun di daerah. Sebaliknya semua akan merasa memiliki.
Gambar 2.4. Kolaborasi MP3EI dan MP3KILaporan
II-7
Gambar 2.5. Kerangka Desain Pendekatan MP3KI2.2.5. KEK (UU No. 39 Tahun 2009)
Dalam rangka mempercepat pencapaian pembangunan ekonomi nasional, diperlukan peningkatan penanaman modal melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategis. Kawasan tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pengembangan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Ketentuan KEK dalam Undang-Undang ini mencakup pengaturan fungsi, bentuk, dan kriteria KEK, pembentukan KEK, pendanaan infrastruktur, kelembagaan, lalu lintas barang, karantina, dan devisa, serta fasilitas dan kemudahan.
KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang lain. Sesuai dengan hal tersebut, KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, antara lain Zona pengolahan ekspor, logistik, industri,
Laporan
II-8 pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor dan untuk dalam negeri.
Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat ditetapkan sebagai KEK adalah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung, adanya dukungan dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam pengelolaan KEK, terletak pada posisi yang strategis atau mempunyai potensi sumber daya unggulan di bidang kelautan dan perikanan, perkebunan, pertambangan, dan pariwisata, serta mempunyai batas yang jelas, baik batas alam maupun batas buatan. Untuk menyelenggarakan KEK, dibentuk lembaga penyelenggara KEK yang terdiri atas Dewan Nasional di tingkat pusat dan Dewan Kawasan di tingkat provinsi. Dewan Kawasan membentuk Administrator KEK di setiap KEK untuk melaksanakan pelayanan, pengawasan, dan pengendalian operasionalisasi KEK. Kegiatan usaha di KEK dilakukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha.
Fasilitas yang diberikan pada KEK ditujukan untuk meningkatkan daya saing agar lebih diminati oleh penanam modal. Fasilitas tersebut terdiri atas fasilitas fiskal, yang berupa perpajakan, kepabeanan dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, dan fasilitas nonfiskal, yang berupa fasilitas pertanahan, perizinan, keimigrasian, investasi, dan ketenagakerjaan, serta fasilitas dan kemudahan lain yang dapat diberikan pada Zona di dalam KEK yang akan diatur oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pengawasan, ketentuan larangan tetap diberlakukan di KEK, seperti halnya daerah lain di Indonesia. Namun, untuk ketentuan pembatasan, diberikan kemudahan dalam sistem dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan tetap mengutamakan pengawasan terhadap kemungkinan penyalahgunaan atau pemanfaatan KEK sebagai tempat melakukan tindak pidana ekonomi.
2.2.6. Direktif Presiden (Inpres No. 3 Tahun 2010)
Dalam rangka pencapaian pembangunan yang berkeadilan, Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Untuk lebih memfokuskan pelaksanaan pembangunan yang berkeadilan, disusun program-program :
1. Pro rakyat, untuk program pro rakyat dalam Inpres No. 3 Tahun 2010 memfokuskan pada : a. Program Penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga ;
b. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat ;
Laporan
II-9 Laporan
II-10
c. Program pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan ;
Dapat dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 2011 ini, bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat
Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan program-program dalam Inpres No. 3 tahun 2010 ini, dilakukan oleh Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atau yang biasa disebut UKP4 dan akan melaporkannya kepada Presiden. Bagi daerah yang dalam hal ini digawangi oleh Gubernur sebagai perwakilan Pemerintah di daerah, diharuskan melaksanakan dan mengkoordinasikan kepada Bupati/Walikota dalam pelaksanaan program tersebut, dengan merumuskan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk mendukung pencapaian program-program dalam Inpres No. 3 tahun 2010 tersebut sehingga terjalin sinergi antara pusat dan daerah.
g. Program penjaminan kelestarian lingkungan hidup ; h. Program pendukung percepatan pencapaian tujuan pembangunan milenium.
f. Program pengendalian HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya ;
e. Program kesehatan ibu ;
d. Program penurunan angka kematian anak ;
b. Program pencapaian pendidikan dasar untuk semua ;
c. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
3. Pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals), memfokuskan pada : a. Program pemberantasan kemiskinan dan kelaparan ;
e. Program keadilan di bidang reformasi hukum dan peradilan ; f. Program keadilan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan.
d. Program keadilan di bidang bantuan hukum ;
c. Program keadilan di bidang ketenagakerjaan ;
b. Program keadilan bagi perempuan ;
a. Program keadilan bagi anak ;
2. Keadilan untuk semua (justice for all), untuk program ini difokuskan pada :
2.3. Peraturan Perundangan Pembangunan Bidang PU/CK
2.3.1. UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman
sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; bahwa Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur sehingga perlu diganti.
Di dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman ini diatur mengenai jenis-jenis rumah. Hal ini diatur didalam pasal 21, jenis-jenisnya yaitu: Rumah komersial : diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat ; Rumah umum : diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR dan mendapat bantuan dari pemerintah atau pemerintah daerah ; Rumah swadaya : diselenggarakan atas upaya dan prakarsa masyarakat, baik secara sendiri maupun berkelompok dan memperoleh bantuan dari pemerintah atau pemerintah daerah ; Rumah khusus : diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah untuk kebutuhan khusus ; Rumah negara : disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Kemudian untuk bentuk-bentuk rumah, dalam UU No.1 Tahun 2011 ini diatur di penjelasan pasal 22 angka 2, yaitu :
Rumah tunggal merupakan rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling ; Rumah deret : beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai kavling sendiri ; Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan- satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
Laporan
II-11
Gambar 2.6. Pola Pikir UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman2.3.2. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Pada dasarnya bangunan gedung memegang peranan yang sangat penting sebagai tempat dimana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari. Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Pengetahuan mengenai UU Bangunan Gedung ini menjadi penting mengingat hal-hal yang diatur dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya diperuntukan bagi pemilik bangunan gedung melainkan juga bagi pengguna
Laporan
II-12 Laporan
II-13
gedung serta masyarakat. Diatur dalam UU Bangunan Gedung, pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung. Pengaturan bangunan gedung dalam UU ini bertujuan untuk: a. Mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya ; b. Mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan ; c. Mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Secara umum UU Bangunan Gedung mengatur tentang beberapa hal yaitu antara lain :
1. Fungsi Bangunan Gedung
Dalam UU Bangunan Gedung diatur bahwa setiap bangunan gedung memiliki fungsi antara lain fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Fungsi bangunan gedung ini yang nantinya akan dicantumkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”). Dalam hal terdapat perubahan fungsi bangunan gedung dari apa yang tertera dalam IMB, perubahan tersebut wajib mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh Pemerintah Daerah.
2. Persyaratan Bangunan Gedung
Persyaratan bangunan gedung dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung dimana diatur bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi kedua persyaratan tersebut.
a. Yang masuk dalam ruang lingkup persyaratan administratif bangunan gedung ini yaitu : Persyaratan status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah ; Status kepemilikan bangunan gedung ; dan Izin mendirikan bangunan gedung.
b. Sementara itu, persyaratan teknis bangunan gedung dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
Ruang lingkup persyaratan tata bangunan yaitu meliputi : Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, yaitu berhubungan dengan persyaratan peruntukan lokasi bangunan gedung yang tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum, serta ketinggian gedung ; Arsitektur bangunan gedung ; dan Persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yaitu persyaratan pengendalian dampak lingkungan yang hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Persyaratan terhadap dampak lingkungan ini sendiri berpedoman pada undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup yang mengatur tentang kewajiban setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup untuk wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Persyaratan keandalan bangunan gedung, persyaratan ini ditetapkan berdasarkan fungsi masing-masing bangunan gedung yang secara umum meliputi persyaratan :
Keselamatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dengan melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif serta bahaya petir melalui sistem penangkal petir ;
Kesehatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan sistem sirkulasi udara, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung ; Kenyamanan, yaitu berkenaan dengan kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan ; dan
Kemudahan, yaitu berkenaan dengan kemudahan akses bangunan gedung, termasuk tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut usia, serta penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.
Laporan
II-14
3. Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Laporan
II-15
Penyelenggaraan bangunan gedung tidak hanya terdiri dari penggunaan bangunan gedung, melainkan juga meliputi kegiatan : a. Pembangunan, yang dilakukan oleh penyedia jasa konstruksi melalui tahapan perencanaan dan pelaksanaan dengan diawasi pembangunannya oleh pemilik bangunan gedung. Pembangunan bangunan gedung dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk IMB. Pembangunan bangunan gedung ini sendiri dapat dilakukan baik di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
b. Pemanfaatan, yang dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi. Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi apabila telah memenuhi persyaratan teknis. Agar persyaratan laik fungsi suatu bangunan gedung tetap terjaga, maka pemilik gedung atau pengguna bangunan gedung wajib melakukan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala terhadap bangunan gedung.
c. Pelestarian, yang dilakukan khusus untuk bangunan gedung yang ditetapkan sebagai cagar budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan.
d. Pembongkaran, alasan-alasan bangunan gedung dapat dibongkar apabila bangunan gedung yang ada : Tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki ; Dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya ; Tidak memiliki IMB. Selain mengatur tentang persyaratan bangunan gedung, UU Bangunan gedung juga mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik bangunan.
a. Pemilik bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain : Melaksanakan pembangunan bangunan gedung setelah mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Daerah atas rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan ; Mendapatkan surat ketetapan serta insentif untuk bangunan gedung dan/atau lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah Daerah; Mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari Pemerintah Daerah ;
Mendapatkan ganti rugi apabila bangunannya dibongkar oleh Pemerintah Daerah atau pihak lain yang bukan diakibatkan oleh kesalahannya.
b. Pemilik bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara lain : Melaksanakan pembangunan sesuai dengan rencana teknis bangunan gedung ; Memiliki IMB ; Meminta pengesahan dari Pemerintah Daerah atas perubahan rencana teknis bangunan gedung pada tahap pelaksanaan bangunan.
c. Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain: Mengetahui tata cara atau proses penyelenggaraan bangunan gedung ; Mendapatkan keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan pada lokasi dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun ; Mendapatkan keterangan tentang ketentuan persyaratan keandalan dan kelayakan bangunan gedung ; Mendapatkan keterangan tentang bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan.
d. Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara lain : Memanfaatkan serta memelihara bangunan gedung sesuai dengan fungsinya secara berkala ; Melengkapi petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan gedung ; Membongkar bangunan gedung yang telah ditetapkan dapat mengganggu keselamatan dan ketertiban umum serta tidak memiliki perizinan yang disyaratkan.
4. Peran Masyarakat
Sebagai bagian dari pengguna bangunan gedung, dalam UU Bangunan Gedung juga mengatur mengenai peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang mencakup :
Pemantauan penyelenggaraan bangunan gedung ; Memberi masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis untuk bangunan gedung ; Menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan, rencana teknis
Laporan
II-16 bangunan gedung dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan ; Melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
5. Sanksi
Berkenaan dengan sanksi dalam hal adanya pelanggaran atas UU Bangunan Gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Yang masuk dalam ruang lingkup sanksi administratif yaitu dapat diberlakukan pencabutan IMB sampai dengan pembongkaran bangunan gedung serta dapat dikenakan sanksi denda maksimal 10% (sepuluh persen) dari nilai bangunan yang sedang maupun telah dibangun. Sedangkan sanksi pidana yang diatur dalam UU Bangunan Gedung ini dapat berupa sanksi kurungan penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara dan/atau pidana denda paling banyak 20% (dua puluh persen) dari nilai bangunan gedung jika karena kelalaiannya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
2.3.3. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Air merupakan salah satu sumber kehidupan mutlak untuk mahkluk hidup.
Ketersediaan dan kebutuhan harus seimbang untuk menjamin keberlanjutan sumber daya air. Kelebihan air terutama di musim hujan di suatu tempat bisa menjadi masalah seperti banjir atau longsor. Namun kekurangan air terutama pada musim kemarau juga menimbulkan masalah, yaitu timbulnya bencana kekeringan. Keberadaaan, ketersediaan, kebutuhan dan penggunaan sumber daya air tergantung dari banyak aspek yang saling mempengaruhi saling memberikan dampak baik yang positif maupun negatif. Sejarah terbitnya Undang-Undang Sumber Daya Air ini merupakan suatu proses yang cukup panjang. Ada yang pro maupun ada yang kontra untuk diterbitkan. Isu-isu timbul selama proses penerbitannya, antara lain privatisasi, ekspor air, peningkatan fungsi ekonomi dan berkurangnya fungsi sosial yang akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa air merupakan kepentingan semua pihak (water is everyone's business).
Pengaturan hak atas air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan merupakan hak pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna air, baik untuk yang wajib memperoleh izin maupun yang tidak wajib izin.
Laporan
II-17 Hak guna air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan bukan usaha disebut dengan hak guna pakai air, sedangkan hak guna air untuk memenuhi kebutuhan usaha, baik penggunaan air untuk bahan baku produksi, pemanfaatan potensinya, media usaha, maupun penggunaan air untuk bahan pembantu produksi, disebut dengan hak guna usaha air.
Jumlah alokasi air yang ditetapkan tidak bersifat mutlak dan harus dipenuhi sebagaimana yang tercantum dalam izin, tetapi dapat ditinjau kembali apabila persyaratan atau keadaan yang dijadikan dasar pemberian izin dan kondisi ketersediaan air pada sumber air yang bersangkutan mengalami perubahan yang sangat berarti dibandingkan dengan kondisi ketersediaan air pada saat penetapan alokasi. Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi dijamin oleh Pemerintah atau pemerintah daerah. Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat tersebut termasuk hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya. Pemerintah atau pemerintah daerah menjamin alokasi air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat tersebut dengan tetap memperhatikan kondisi ketersediaan air yang ada dalam wilayah sungai yang bersangkutan dengan tetap menjaga terpeliharanya ketertiban dan ketentraman.
Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendorong lebih menguatnya nilai ekonomi air dibanding nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antarsektor, antarwilayah dan berbagai pihak yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan sumber daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung lebih memihak kepada pemilik modal serta dapat mengabaikan fungsi sosial sumber daya air. Berdasarkan pertimbangan tersebut undang-undang ini lebih memberikan perlindungan terhadap kepentingan kelompok masyarakat ekonomi lemah dengan menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu menyelaraskan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, pengaturan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya air oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota didasarkan pada keberadaan wilayah sungai yang bersangkutan, yaitu:
a. Wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan/atau wilayah sungai strategis nasional menjadi kewenangan Pemerintah ; b. Wilayah sungai lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah provinsi ;
Laporan
II-18 c. Wilayah sungai yang secara utuh berada pada satu wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Di samping itu, undang-undang ini juga memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain sepanjang kewenangan yang ada belum dilaksanakan oleh masyarakat dan/atau oleh pemerintah di atasnya. Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya air tersebut termasuk mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas peruntukan, penyediaan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dengan tetap dalam kerangka konservasi dan pengendalian daya rusak air.
Pola pengelolaan sumber daya air merupakan kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air pada setiap wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Pola pengelolaan sumber daya air disusun secara terkoordinasi di antara instansi yang terkait, berdasarkan asas kelestarian, asas keseimbangan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi, asas kemanfaatan umum, asas keterpaduan dan keserasian, asas keadilan, asas kemandirian, serta asas transparansi dan akuntabilitas. Pola pengelolaan sumber daya air tersebut kemudian dijabarkan ke dalam rencana pengelolaan sumber daya air. Penyusunan pola pengelolaan perlu melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha, baik koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah maupun badan usaha swasta. Sejalan dengan prinsip demokratis, masyarakat tidak hanya diberi peran dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air, tetapi berperan pula dalam proses perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, pemantauan, serta pengawasan atas pengelolaan sumber daya air.
Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air yang disusun secara terkoordinasi berbasis wilayah sungai. Rencana tersebut menjadi dasar dalam penyusunan program pengelolaan sumber daya air yang dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kegiatan setiap instansi yang terkait. Rencana pengelolaan sumber daya air tersebut termasuk rencana penyediaan sumber daya air dan pengusahaan sumber daya air. Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan di atas semua kebutuhan lainnya. Karena keberagaman ketersediaan sumber daya air dan jenis kebutuhan sumber daya air
Laporan
II-19 pada suatu tempat, urutan prioritas penyediaan sumber daya air untuk keperluan lainnya ditetapkan sesuai dengan kebutuhan setempat.
Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan tetap memperhatikan fungsi sosial sumber daya air dan kelestarian lingkungan hidup. Pengusahaan sumber daya air yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara keduanya, dengan tujuan untuk tetap mengedepankan prinsip pengelolaan yang selaras antara fungsi sosial, fungsi lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi sumber daya air. Pengusahaan sumber daya air pada tempat tertentu dapat diberikan kepada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah bukan pengelola sumber daya air, badan usaha swasta dan/atau perseorangan berdasarkan rencana pengusahaan yang telah disusun melalui konsultasi publik dan izin pengusahaan sumber daya air dari pemerintah.
Pengaturan mengenai pengusahaan sumber daya air dimaksudkan untuk mengatur dan memberi alokasi air baku bagi kegiatan usaha tertentu. Pengusahaan sumber daya air tersebut dapat berupa pengusahaan air baku sebagai bahan baku produksi, sebagai salah satu media atau unsur utama dari kegiatan suatu usaha, seperti perusahaan daerah air minum, perusahaan air mineral, perusahaan minuman dalam kemasan lainnya, pembangkit listrik tenaga air, olahraga arung jeram, dan sebagai bahan pembantu proses produksi, seperti air untuk sistem pendingin mesin
(water cooling system) atau air untuk pencucian hasil eksplorasi bahan tambang.
Kegiatan pengusahaan dimaksud tidak termasuk menguasai sumber airnya, tetapi hanya terbatas pada hak untuk menggunakan air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dan menggunakan sebagian sumber air untuk keperluan bangunan sarana prasarana yang diperlukan misalnya pengusahaan bangunan sarana prasarana pada situ. Pengusahaan sumber daya air tersebut dilaksanakan sesuai dengan rambu- rambu sebagaimana diatur dalam norma, standar, pedoman, manual (NSPM) yang telah ditetapkan.Air dalam siklus hidrologis dapat berupa air yang berada di udara berupa uap air dan hujan; di daratan berupa salju dan air permukaan di sungai, saluran, waduk, danau, rawa, dan air laut; serta air tanah. Air laut mempunyai karakteristik yang berbeda dan memerlukan adanya penanganan serta pengaturan tersendiri, sedangkan untuk air laut yang berada di darat tunduk pada pengaturan dalam undang-undang ini. Pemanfaatan air laut di darat untuk keperluan pengusahaan, baik melalui rekayasa teknis maupun alami akibat pengaruh pasang surut, perlu memperhatikan fungsi lingkungan hidup dan harus mendapat izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah
Laporan
II-20 sesuai dengan wewenangnya, serta berdasarkan prosedur dan standar perizinan menurut pedoman teknik dan administrasi yang telah ditetapkan.
Untuk terselenggaranya pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan, penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air, pada prinsipnya, wajib menanggung biaya pengelolaan sesuai dengan manfaat yang diperoleh. Kewajiban ini tidak berlaku bagi pengguna air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk kepentingan sosial serta keselamatan umum. Karena keterbatasan kemampuan petani pemakai air, penggunaan air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air dengan tidak menghilangkan kewajibannya untuk menanggung biaya pengembangan, operasi, dan pemeliharaan sistem irigasi tersier.
Undang-undang ini disusun secara komprehensif yang memuat pengaturan menyeluruh tidak hanya meliputi bidang pengelolaan sumber daya air, tetapi juga meliputi proses pengelolaan sumber daya air. Mengingat sumber daya air menyangkut kepentingan banyak sektor, daerah pengalirannya menembus batas-batas wilayah administrasi, dan merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan kehidupan masyarakat, undang-undang ini menetapkan perlunya dibentuk wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air yang beranggotakan wakil dari pihak yang terkait, baik dari unsur pemerintah maupun non pemerintah. Wadah koordinasi tersebut dibentuk pada tingkat nasional dan provinsi, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota dan wilayah sungai dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Wadah koordinasi itu diharapkan mampu mengoordinasikan berbagai kepentingan instansi, lembaga, masyarakat, dan para pemilik kepentingan (stakeholders) sumber daya air lainnya dalam pengelolaan sumber daya air, terutama dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air, serta mendorong peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air. Dalam melaksanakan tugasnya wadah koordinasi tersebut secara teknis mendapatkan bimbingan Pemerintah dalam hal ini kementerian yang membidangi sumber daya air.
Kemudian untuk menjamin terselenggaranya kepastian dan penegakan hukum dalam hal yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia diperlukan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang penyidikan. Selanjutnya, terhadap berbagai masalah sumber daya air yang merugikan kehidupan, masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan, sedangkan terhadap berbagai sengketa sumber daya air, masyarakat dapat mencari penyelesaian sengketa, baik dengan menempuh cara melalui pengadilan maupun di
Laporan
II-21 luar pengadilan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.3.4. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan
Hampir di setiap kabupaten/kota yang ada di Indonesia selalu dihadapkan dengan permasalahan sampah. Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat telah menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan karakteristik sampah yang semakin beragam yang harus dikelola. Pengelolaan sampah yang ada selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Oleh karena sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu (sumber timbulan) ke hilir (tempat pemrosesan akhir) agar dapat memberikan manfaat secara ekonomi, kehidupan yang sehat bagi masyarakat dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat.
Definisi sampah, sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Yang termasuk jenis sampah adalah sampah rumah tangga (tidak termasuk tinja), sampah sejenis sampah rumah tangga yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum dan fasilitas lainnya serta sampah spesifik. Yang terakhir ini adalah sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun, sampah yang timbul akibat bencana, puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan sampah yang timbul secara tidak periodik.
Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengurangan sampah dapat dilakukan melalui pembatasan timbulan sampah (reduce), pemanfaatan kembali sampah (reuse) dan pendauran ulang sampah (recycle). Kegiatan penanganan sampah meliputi : 1) pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah dan sifat sampah, 2) pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu, 3) pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat
Laporan
II-22 pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir, 4) pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah, 5) pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. Sementara untuk pengelolaan sampah spesifik menjadi tanggung jawab Pemerintah yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.