BAB II - DOCRPIJM 4bb3a52366 BAB II2. BAB II Konsep Perencanaan Bidang Cipta Karya

BAB II KONSEP PERENCANAAN PEMBANGUNAN BIDANG CIPTA KARYA

2.1 Konsep Perencanaan dan Pelaksanaan Program Ditjen Cipta Karya

  Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan, konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun dengan berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan dan amanat perencanaan pembangunan. Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan permukiman, Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota perlu memahami arahan kebijakan tersebut, sebagai dasar perencanaan, pemrograman, dan pembiayaan pembangunan Bidang Cipta Karya.

  Sumber: Direktorat Bina Program, 2014

Gambar 2.1 Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta KaryaGambar 2.1 memaparkan konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang

  Cipta Karya, yang membagi amanat pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dalam 4 (empat) bagian, yaitu amanat penataan ruang/spasial, amanat pembangunan nasional dan direktif presiden, amanat pembangunan Bidang Pekerjaan Umum, serta amanat internasional.

  Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dihadapkan pada beberapa isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan iklim, kemiskinan, reformasi birokrasi, kepadatan penduduk perkotaan, pengarusutamaan gender, serta green economy. Disamping isu umum, terdapat juga permasalahan dan potensi pada masing- masing daerah, sehingga dukungan seluruh stakeholders pada penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya sangat diperlukan.

2.2 Amanat Pembangunan Nasional

  Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan nasional.

2.2.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)

  RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007, merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal sebagai berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu: a.

  Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan ( demand responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan.

  b.

  Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada

  1) Peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air minum dan sanitasi,

  2) Pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat,

  3) Penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan

  4) Penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.

  c.

  Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.

  d.

  Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan RPJMN, yaitu:  RPJMN ke 2 (2010-2014): Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan permukiman.

   RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh masyarakat terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh.

   RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh.

2.2.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

  RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan mendorong partisipasi masyarakat Dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28H, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase. Dokumen RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur permukiman pada periode 2010-2014, yaitu: a)

  Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014, dengan perincian akses air minum perpipaan 32 persen dan akses air minum non-perpipaan terlindungi 38 %.

  b) Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga akhir tahun

  2014, yang ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan air limbah terpusat ( off-site) bagi 10% total penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat skala kota sebesar 5% maupun sistem pengelolaan air limbah terpusat skala komunal sebesar 5 % serta penyediaan akses dan peningkatan kualitas sistem on-site) yang layak bagi 90 % total penduduk. pengelolaan air limbah setempat (

  c) Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 % rumah tangga di daerah perkotaan.

d) Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis perkotaan.

  Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang memadai, melalui: a.

  Menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah, b. Memastikan ketersediaan air baku air minum, c. Meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman, d.

  Meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air limbah, dan pengelolaan persampahan, e.

  Meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi, f. Meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman, g.

  Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), h.

  Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur, i. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta, j. Mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.

2.2.3 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI)

  • – Dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 2025 dan untuk melengkapi dokumen perencanaan guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang lebih solid, diperlukan adanya suatu masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia yang memiliki arah yang jelas, strategi
yang tepat, fokus dan terukur. Berdasarkan pertimbangan, maka perlu ditetapkan Peraturan Presiden tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

Gambar 2.2 Kedudukan MP3EI dalam Konteks Perencanaan

  Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005

  • – 2025, maka ditetapkan Peraturan Presiden tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, yang selanjutnya disebut MP3EI.

  MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 dan melengkapi dokumen perencanaan.

  MP3EI tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini. MP3EI berfungsi sebagai : a.

  Acuan bagi menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non kementerian untuk menetapkan kebijakan sektoral dalam rangka pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di bidang tugas masing-masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis masing-masing kementerian/lembaga pemerintah non kementerian sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan. b.

  Acuan untuk penyusunan kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait.

  MP3EI dapat menjadi acuan bagi badan usaha dalam menanamkan modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Koordinasi pelaksanaan MP3EI dilakukan oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, yang selanjutnya disebut KP3EI. KP3EI mempunyai tugas: a.

  Melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan MP3EI b. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan MP3EI c. Menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam rangka penyelesaian permasalahan dan hambatan pelaksanaan MP3EI.

  MP3EI digagas untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan 8 program utama, yang terdiri atas pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program tersebut dibagi lagi ke dalam 22 kegiatan ekonomi utama (lihat gambar 2.2)

Gambar 2.3 Kegiatan Ekonomi Utama Sedangkan strategi pengembangan 22 kegiatan ekonomi tersebut adalah mengintegrasikan tiga elemen utama, meliputi:

  1. Pengembangan potensi ekonomi wilayah di 6 Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu: Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali

  • –Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua–Kepulauan Maluku; 2.

  Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected);

  3. Memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.

  Dengan demikian pertumbuhan ekonomi akan makin terarah karena digenjot pada 8 program utama berbasis potensi nasional (yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi) dan berlangsung lintas wilayah di 6 koridor, terkoneksi, dan terintegrasi. Pada gilirannya strategi tersebut diharapkan menunjang penguatan kapasitas SDM dan penguasaannya terhadap pengembangan IPTEK.

Gambar 2.4 Tema Pembangunan Masing Masing Koridor Ekonomi

2.2.4 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia (MP3KI)

  Ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi menciptakan kesenjangan, ketidakstabilan dan meluasnya ketidaksejahteraan. Sehingga, membuat pemerintah merasa perlu untuk melengkapi master plan pertumbuhan ekonomi dengan master plan pengurangan kemiskinan agar dunia seimbang (equilibrium). Master plan tersebut adalah Master Plan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan (MP3KI), yang bertujuan memeratakan pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kesenjangan.

  MP3KI adalah affirmative action, sehingga pembangunan ekonomi yang terwujud tidak hanya Pro-growth, tetapi juga Pro-Poor, Pro-job dan Pro-environment; termasuk penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat miskin.

  Substansi yang melatarbelakangi perluasan pengurangan kemiskinan melalui MP3KI dapat dirangkum dalam 9 alasan, yaitu:

1. Pertumbuhan penduduk yang besar (bisa jadi potensi, bisa juga jadi tantangan) 2.

  Lahan usaha petani dan nelayan makin terbatas 3. Peluang dan pengembangan usaha si miskin amat terbatas 4. Urbanisasi memperparah kemiskinan perkotaan (slum and squatter) 5. Rendahnya kualitas SDM usia muda 6. Rendahnya penyerapan kerja sector industri 7. Masih banyak daerah terisolir dengan akses pelayanan dasar yang rendah 8. Belum tersedianya jaminan sosial yang komprehensif 9. Masih terjadi marjinalisasi penduduk miskin, cacat, illegal, berpenyakit kronis, dsb.

Gambar 2.5 Kerangka Desain MP3KI

  Tahapan Pelaksanaan MP3KI Periode 2013-2014:

  • Percepatan pengurangan kemiskinan untuk mencapai target 8% - 10% pada tahun

  2014; • Perbaikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan.

  • Pada kantong-kantong kemiskinan, sinergi lokasi dan waktu, serta perbaikan sasaran

  (seperti : Program Gerbang Kampung di Menko Kesra);

  • Sustainable livelihood penguatan kegiatan usaha masyarakat miskin, termasuk membangun keterkaitan dengan MP3EI; • Terbentuknya BPJS kesehatan pada tahun 2014 .

  Periode 2015

  • – 2019:
    • Transformasi program-program pengurangan kemiskinan;
    • Peningkatan cakupan, terutama untuk Sistem Jaminan Sosial menuju universal coverage;
    • Terbentuknya BPJS Tenaga Kerja; • Penguatan sustainable livelihood.

  Periode 2020-2025:

  • Pemantapan sistem penanggulangan kemiskinan secara terpadu; • Sistem jaminan sosial mencapai universal coverage.

Gambar 2.6 Skenario Tahapan Pelaksanaan MP3KIGambar 2.7 Kolaborasi MP3EI dengan MP3KIGambar 2.8 Sinergi MP3EI dan MP3KI Dalam Pengembangan Lingkungan

2.2.5 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

  Untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dilaksanakan pembangunan perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

  Sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi, diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dan dukungan pada usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi dan sekaligus memberikan manfaat bagi industri dalam negeri. Berkaitan dengan hal itu, dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) disediakan lokasi bagi UMKM dan koperasi agar dapat mendorong terjadinya keterkaitan dan sinergi hulu hilir dengan perusahaan besar, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung Pelaku Usaha lain.

  Dalam rangka mempercepat pencapaian pembangunan ekonomi nasional, diperlukan peningkatan penanaman modal melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategis. Kawasan tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pengembangan KEK bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan.

  Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur bahwa ketentuan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus diatur dengan Undang- Undang. Ketentuan tersebut menjadi dasar hukum perlunya diatur kebijakan tersendiri mengenai KEK dalam suatu Undang-Undang.

  Ketentuan KEK dalam Undang-Undang ini mencakup pengaturan fungsi, bentuk, dan kriteria KEK, pembentukan KEK, pendanaan infrastruktur, kelembagaan, lalu lintas barang, karantina, dan devisa, serta fasilitas dan kemudahan.

  KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang lain.

  Sesuai dengan hal tersebut, KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, antara lain Zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor dan untuk dalam negeri.

  Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat ditetapkan sebagai KEK adalah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung, adanya dukungan dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam pengelolaan KEK, terletak pada posisi yang strategis atau mempunyai potensi sumber daya unggulan di bidang kelautan dan perikanan, perkebunan, pertambangan, dan pariwisata, serta mempunyai batas yang jelas, baik batas alam maupun batas buatan.

  Untuk menyelenggarakan KEK, dibentuk lembaga penyelenggara KEK yang terdiri atas Dewan Nasional di tingkat pusat dan Dewan Kawasan di tingkat provinsi. Dewan Kawasan membentuk Administrator KEK di setiap KEK untuk melaksanakan pelayanan, pengawasan, dan pengendalian operasionalisasi KEK. Kegiatan usaha di KEK dilakukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha.

  Fasilitas yang diberikan pada KEK ditujukan untuk meningkatkan daya saing agar lebih diminati oleh penanam modal. Fasilitas tersebut terdiri atas fasilitas fiskal, yang berupa perpajakan, kepabeanan dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, dan fasilitas nonfiskal, yang berupa fasilitas pertanahan, perizinan, keimigrasian, investasi, dan ketenagakerjaan, serta fasilitas dan kemudahan lain yang dapat diberikan pada Zona di dalam KEK, yang akan diatur oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Dalam hal pengawasan, ketentuan larangan tetap diberlakukan di KEK, seperti halnya daerah lain di Indonesia. Namun, untuk ketentuan pembatasan, diberikan kemudahan dalam sistem dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan tetap mengutamakan pengawasan terhadap kemungkinan penyalahgunaan atau pemanfaatan KEK sebagai tempat melakukan tindak pidana ekonomi.

  Dengan berlakunya Undang-Undang ini, diharapkan terdapat satu kesatuan pengaturan mengenai kawasan khusus di bidang ekonomi yang ada di Indonesia dengan memberi kesempatan kepada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775) untuk diusulkan menjadi KEK, baik dalam jangka waktu maupun setelah berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan. Dengan berlakunya Undang- Undang ini, tidak terjadi lagi pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

2.2.6 Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan

  Untuk lebih memfokuskan pelaksanaan pembangunan yang berkeadilan, dan untuk kesinambungan serta penajaman Prioritas Pembangunan Nasional sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, maka diinstruksikan kepada para menteri dan seluruh pimpinan lembaga yang berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan program- program pembangunan yang berkeadilan, yang meliputi program :

1. Program pro rakyat, memfokuskan pada :

   Program penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga  Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat  Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil

2. Program keadilan untuk semua, memfokuskan pada :

   Program keadilan bagi anak  Program keadilan bagi perempuan  Program keadilan di bidang ketenagakerjaan  Program keadilan di bidang bantuan hukum  Program keadilan di bidang reformasi hukum dan peradilan  Program keadilan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan 3. Program pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), memfokuskan pada :

   Program pemberantasan kemiskinan dan kelaparan  Program pencapaian pendidikan dasar untuk semua  Program pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan  Program penurunan angka kematian anak  Program kesehatan ibu  Program pengendalian HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya  Program penjaminan kelestarian lingkungan hidup  Program pendukung percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Dari ke tiga program pembangunan tersebut, program pembangunan di bidang Cipta Karya tertuang didalam program pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium. Adapun program- program pembangunan bidang Cipta Karya yang tertuang didalam Rencana tindak upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Rencana Tindak Upaya Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium No. Program Tindakan Sasaran Keluaran

  1. Program

  pengelolaan sumber daya air Penyediaan dan pengelolaan air baku

  Meningkatnya kapasitas dan layanan air baku untuk penyediaan air minum

  Terbangunnya sarana dan prasarana air baku

  2. Program

  pembinaan dan pengembangan infrastruktur permukiman

  1. Pengaturan, pembinaan, pengawasan, pengembangan sumber pembiayaan dan pola investasi, serta pengembangan sistem penyediaan air minum

  Meningkatnya pelayanan air minum terhadap MBR di perkotaan dan perdesaan

  1. Terfasilitasinya kawasan perkotaan yang terlayani air minum 2. Terfasilitasinya kawasan perkotaan yang terlayani air minum

3. Peningkatan

  Meningkatnya akses penduduk terhadap sanitasi dasar 1.

  Pengaturan, pembinaan, pengawasan, pengembangan sumber pembiayaan dan pola investasi, serta pengembangan infrastruktur sanitasi dan persampahan

  Meningkatnya pelayanan infrastruktur air limbah

  1. Terlayaninya kawasan dengan infrastruktur air limbah melalui sistem off-site 2.

  Terlayaninya kawasan dengan infrastruktur air limbah melalui sistem on-site

  akses penduduk terhadap sanitasi dasar yang layak

  Peningkatan akses sanitasi dasar yang layak

  No. Program Tindakan Sasaran Keluaran 2.

  Jumlah desa yang melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat 2. Jumlah desa yang melaksanakan

  Community led total sanitation

  • ) keluaran dapat disesuaikan berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan secara berkala

2.3 Amanat Peraturan Perundangan

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif sehingga terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia.

  Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui

  Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi peraturan perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No. 7 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, dan UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.

2.3.1 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

  tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi, dan social budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

  Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung.

  Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk: a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia b.

  Ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan c. Mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna d.

  Memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara e. Mendorong iklim investasi asing.

  Sejalan dengan arah kebijakan umum tersebut, penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan yang berpenduduk padat maupun di daerah perdesaan yang ketersediaan lahannya lebih luas perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pengelolaannya. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dalam bentuk pemberian kemudahan pembiayaan dan/atau pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan hunian.

  Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman tidak hanya melakukan pembangunan baru, tetapi juga melakukan pencegahan serta pembenahan perumahan dan kawasan permukiman yang telah ada dengan melakukan pengembangan, penataan, atau peremajaan lingkungan hunian perkotaan atau perdesaan serta pembangunan kembali terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Untuk itu, penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman perlu dukungan anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan belanja daerah, lembaga pembiayaan, dan/atau swadaya masyarakat. Dalam hal ini, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat perlu melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan perumahan dan permukiman secara menyeluruh dan terpadu.

  Di samping itu, sebagai bagian dari masyarakat internasional yang turut menandatangani Deklarasi Rio de Janeiro, Indonesia selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh United Nations Centre for Human Settlements. Jiwa dan semangat yang tertuang dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II adalah bahwa rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Dalam Agenda 21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia. Hal itu telah sesuai pula dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Pengaturan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR, meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di lingkungan hunian perkotaan maupun lingkungan hunian perdesaan, dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

  Penyelenggaraan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, yang meliputi perencanaan perumahan, pembangunan perumahan, pemanfaatan perumahan dan pengendalian perumahan.

  Salah satu hal khusus yang diatur dalam undang-undang ini adalah keberpihakan negara terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam kaitan ini, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu, dengan memberikan kemudahan, berupa pembiayaan, pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum, keringanan biaya perizinan, bantuan stimulan, dan insentif fiskal.

  Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang. Penyelenggaraan kawasan permukiman tersebut bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian bermukim, yang wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan permukiman yang terpadu dan berkelanjutan.

  Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman ini juga mencakup pemeliharaan dan perbaikan yang dimaksudkan untuk menjaga fungsi perumahan dan kawasan permukiman agar dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup orang perseorangan yang dilakukan terhadap rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman. Di samping itu, juga dilakukan pengaturan pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, memiliki, dan/atau menikmati tempat tinggal, yang dilaksanakan sejalan dengan kebijakan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

2.3.2 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

  Pembangunan nasional untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan, kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.

  Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.

  Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib.

  Undang-undang tentang Bangunan Gedung mengatur fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada setiap tahap penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah, sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

  Keseluruhan maksud dan tujuan pengaturan tersebut dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.

  Masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan secara aktif bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.

  Perwujudan bangunan gedung juga tidak terlepas dari peran penyedia jasa konstruksi berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi baik sebagai perencana, pelaksana, pengawas atau manajemen konstruksi maupun jasa-jasa pengembangannya, termasuk penyedia jasa pengkaji teknis bangunan gedung. Oleh karena itu, pengaturan bangunan gedung ini juga harus berjalan seiring dengan pengaturan jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Dengan diberlakukannya undang-undang ini, maka semua penyelenggaraan bangunan gedung baik pembangunan maupun pemanfaatan, yang dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, masyarakat, serta oleh pihak asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang tentang Bangunan Gedung.

  Dalam menghadapi dan menyikapi kemajuan teknologi, baik informasi maupun arsitektur dan rekayasa, perlu adanya penerapan yang seimbang dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang telah ada, khususnya nilai-nilai kontekstual, tradisional, spesifik, dan bersejarah.

  Pengaturan dalam undang-undang ini juga memberikan ketentuan pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah terus mendorong, memberdayakan dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini secara bertahap sehingga jaminan keamanan, keselamatan, dan kesehatan masyarakat dalam menyelenggarakan bangunan gedung dan lingkungannya dapat dinikmati oleh semua pihak secara adil dan dijiwai semangat kemanusiaan, kebersamaan, dan saling membantu, serta dijiwai dengan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik.

  Undang-undang ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif, sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan Daerah, dengan tetap mempertimbangkan ketentuan dalam undang-undang lain yang terkait dalam pelaksanaan undang-undang ini.

2.3.3 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

  Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras.

  Pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor, dan antar generasi. Sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang telah diuraikan tersebut, maka perlu dibentuk undang-undang tentang sumber daya air.

  Berdasarkan Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 huruf D ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia memutuskan menetapkan Undang- Undang tentang Sumber Daya Air.

  Ketentuan Umum Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang dimaksud dengan : 1.

  Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.

  2. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.

  3. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.

  4. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.

  5. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.

  6. Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.

  7. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.

  8. Pola pengelolaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.

  9. Rencana pengelolaan sumber daya air adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air.

  10. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.

  11. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

  12. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.

  13. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan.

  14. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air.

  15. Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.

  16. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.

  17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.

  18. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.

  19. Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna.

  20. Pengendalian daya rusak air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air.

  21. Daya rusak air adalah daya air yang dapat merugikan kehidupan.

  22. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumber daya air.

  23. Operasi adalah kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan air dan sumber air untuk mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sumber daya air.

  24. Pemeliharaan adalah kegiatan untuk merawat sumber air dan prasarana sumber daya air yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber air dan prasarana sumber daya air.

  25. Prasarana sumber daya air adalah bangunan air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun tidak langsung.

  26. Pengelola sumber daya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air.

  Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.

  Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Atas dasar penguasaan negara ditentukan hak guna air.

  Hak guna air berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Hak guna air tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya. Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi. Hak guna pakai air memerlukan izin apabila: a.

  Cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air.

  b.

  Ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar.

  c.

  Digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.

  Izin diberikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Hak guna pakai air meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya. Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Persetujuan dapat berupa kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi.