Tanggung Jawab Hukum Pihak Pengangkut Dalam Angkutan Barang Melalui Laut Dengan Menggunakan Container (Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

BAB II TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian

  Apabila kita membicarakan perjanjian, terlebih dahulu kita ketahui apa sebenarnya perjanjian itu dan dimana dasar hukumnya. Perjanjian yang penulis maksudkan adalah perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus.

  Perkataan perikatan (Verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian“, sebab dalam Buku III itu ada juga diatur perihal perhubungan-perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatigedaat) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak waarning). Tetapi, sebagian besar dari Buku III ditujukan kepada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian.

   Adapun yang dimaksudkan dengan perikatan oleh Buku III KUH

  Perdata itu adalah suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

   2 Perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus itu, mengatur tentang persetujuan-persetujuan tertentu yang disebut dengan perjanjian bernama, artinya disebut bernama karena perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembuat undang-undang, dan di samping perjanjian bernama juga terdapat perjanjian yang tidak bernama, yang tidak diatur dalam undang-undang, misalnya perjanjian sewa beli dan lain sebagainya.

  Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada

   pihak lain untuk menunaikan prestasi.

  Perikatan seperti yang dimaksudkan di atas, paling banyak dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu.

  Peristiwa ini paling tepat dinamakan perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian janji-janji. Dapat dikonstatir bahwa perkataan perjanjian

  

sudah sangat populer di kalangan rakyat.

  Demikian pula Wirjono Prodjodikoro mengemukakan : Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan

   sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

  Menurut Pasal 1233 KUH Perdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena undang-undang, maupun karena adanya suatu perjanjian. Dengan demikian maka harus terlebih dahulu adanya suatu perjanjian atau

  4 5 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 6.

  undang-undang, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian dan undang- undang itu merupakan sumber suatu ikatan.

  Dasar hukum dari persetujuan adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan sumber perikatan yang lahir karena undang-undang dapat dibagi dua pengertian yaitu undang-undang saja dan undang-undang yang diciptakan oleh individu-individu karena perbuatan mereka tidak ada diatur dalam undang-undang karena undang-undang saja misalnya kewajiban atau hak orang tua terhadap anak dan sebaliknya kewajiban anak terhadap orang tua apabila orang tua tidak berkemampuan. Undang-undang yang diciptakan oleh indiividu-individu disebabkan perbuatan mereka tidak ada diatur di dalam undang-undang positif hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja, dan selama undang- undang tersebut diperbolehkan oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan hukum.

  Perihal hukum perjanjian sebagai termuat dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang perikatan, yang keseluruhannya terdiri atas delapan belas bab (bab I sampai dengan bab XVIII). Bab I sampai dengan IV mengatur tentang: I.

  : Perikatan pada umumnya II.

  : Perikatan yang lahir dari perjanjian III. IV.

  : Mengatur tentang hapusnya perikatan.

  Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang perjanjian- perjanjian khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian yang selalu terjadi dalam masyarakat, dan lazim disebut perjanjian bernama.

  Kalau kita perhatikan dari hal perikatan dalam Buku III antara yang diatur pada Bab I sampai dengan Bab IV adalah mengatur tentang pokok-pokok perikatan, sedang kan bab V sampai dengan Bab XVIII memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari bahagian umum. Jadi bahagian umum dari Buku III tersebut pada dasarnya berlaku terhadap semua perjanjian, baik bernama maupun yang tidak bernama.

  Misalnya : Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat-syarat sahnya perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang ada dalam

  Bab V sampai Bab XVIII. Sistim dan azas yang terkandung dalam buku ke III, KUH Perdata adalah sistim terbuka, dan berbeda dengan sistim tertutup yang terkandung dalam Buku ke–II dimana para pihak tidak dapat menentukan lain selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Sistim terbuka berarti bahwa para pihak dapat menentukan lain pada yang lain telah ditentukan oleh Undang-Undang. Jadi dengan kata lain bahwa Buku ke–III tersebut mengatur secara tersendiri, atau dapat juga disebut azas kebebasan

   berkontak dalam membuat perjanjian (Beginsel Der Contracts Vrijheid).

  Azas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat

  1 KUH Perdata yang menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi para pihak leluasa untuk membuat perjanjian macam apa saja tidak melanggar isi undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Perkataan semua sebagai tertera didalam pasal 1338 KUH Perdata tersebut dapat pula kita anggap sebagai suatu pernyataan-pernyataan lainnya yang juga tertuju atau ditujukan kepada masyarakat.

  Selain menganut azas kebebasan berkontrak seperti yang disebut di atas, juga pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap atau aanvullend recht yang mengandung arti bahwa pasal-pasal dalam hukum perjanjian itu boleh masuk disingkatkan manakala dikehendaki oleh pihak yang membuat perjanjian. Mereka pada umumnya diperbolehkan membuat perjanjian tersendiri atau ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. “Jadi undang-undang baru berarti bagi pihak-pihak yang saling mengadakan janji itu sendiri didalam perjanjian yang mereka buat.

  “Maka diartikan disini bahwa mereka mengenai soal yang satu ini

   akan tunduk kepada Undang-undang”.

  Dengan demikian melihat uraian singkat tersebut diatas nyatalah berlainan dengan sistim tertutup, sebagaimana yang dianut dalam Buku ke- Dua KUH Perdata, dimana para pihak tidak menentukan lain, selain yang telah ditentukan dalam undang-undang.

  Di samping sistim terbuka dari hukum perjanjian, juga mengandung suatu pengertian yang mungkin atau memungkinkan terciptanya perjanjian- perjanjian khusus yang telah diatur seperti yang kerap kali ditimbulkan dalam praktek sehari-hari ataupun karena kebiasaan.

  Suatu hal sudah dianggap sah, dalam arti sudah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat apabila sudah tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari pada perjanjian itu, atau dengan kata lain bahwa perjanjian itu pada umumnya adalah konsensual. Penganggapan perjanjian sebagai demikian itu berkembang dari Hukum Perjanjian dalam KUH Perdata, yang mengandung pengertian bahwa pada azasnya perjanjian itu telah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat atau dengan kata lain perjanjian itu telah sah apabila telah tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok tidaklah diperlukan suatu formalitas.

  Sepakat mengenai hal-hal yang pokok misalnya: Antara calon pembeli dan calon penjual telah tercapai sepakat mengenai barang-barang dan harganya.

  Maka dalam hal yang demikian itu dikatakan bahwa antara kedua belah pihak telah tercapai sepakat mengenai yang pokok, dan perjanjian jual beli itupun

   sudahlah dilahirkan dengan segala akibat hukumnya.

  Perihal tercantumnya azas konsensualitas dalam hukum perjanjian lazimnya disimpulkan bahwa Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

  Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana sudah kita lihat, ada kekecualiannya, yaitu disana sini oleh undang-undang ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya untuk perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta Notaris Perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis dan lain sebagainya.

  Perjanjian-perjanjian untuk itu, ditetapkan suatu formalitas atau bentuk cara tertentu sebagaimana sudah kita lihat, yang dinamakan perjanjian formal. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang, maka ia batal demi hukum.

2. Syarat-Syarat Suatu Perjanjian

  Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu : a.

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b.

  Cakap untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu d.

  Suatu sebab yang halal.

  Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

  Maksud dari adanya syarat-syarat subjektif adalah sebuah perjanjian yang dibuat tanpa dipenuhinya syarat-syarat subjektif, maka perjanjian tersebut secara langsung batal demi hukum karena tidak dipenuhinya syarat subjektif. Jadi tidak perlu adanya penuntutan dari salah satu pihak. Sedangkan maksud adanya syarat-syarat objektif adalah syah atau batalnya perjanjian tersebut masih tetap diserahkan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian. Jadi perjanjian tidak batal dengan sendirinya tetapi dibatalkan.

  Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, di

   penjual mengingini sesuatu barang si penjual .

  Persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Persetujuan itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaaan.

  Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak- kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

  Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana

   menjadi pincang tidak sempurna.

  Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada persetujuan dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa persetujuan yang telah diberikan itu adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

  Paksaaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaaan yang membuat persetujuan atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

  Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan tu terhadap unsur pokok dari barang – barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjiann itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

  Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

  Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama

   namanya”.

  Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya.

  Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat- sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya.

  Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUH Perdata.

  Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata, Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena tipu muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan : a.

  Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.

  b.

  Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinayatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

  Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh pasal a.

  Anak-anak atau orang yang belum dewasa b.

  Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan c. Wanita yang bersuami

  Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri.

  Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya.

  Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.

  Walau, demikian, melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan Surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

  Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu, mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konskwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

  Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyafi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

  Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berbuat itu harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

  Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 Ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

  Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu.

  “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi

   syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.

  Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu : “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu kedaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi

   dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu“.

  Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.

  “Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli

   membunuh orang”.

  Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

14 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur, Bandung, 2009,

  Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat obyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

3. Pengertian Wanprestasi

  Di dalam setiap pekerjaan timbal-balik selalu ada 2 (dua) macam subjek hukum, yang masing-masing subjek hukum tersebut mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal balik dalam melaksanakan perjanjian yang mereka perbuat.

  Perjanjian asuransi merupakan suatu perjanjian bertimbal-balik, kedua subjek hukumnya, yaitu pihak tertanggung dan penanggung tentu mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal-balik sebagaimana diuraikan penulis terdahulu.

  Di dalam suatu perjanjian, tidak terkecuali perjanjian asuransi ada kemungkinan salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama- sama.

  Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, atau lebih jelas apa yang merupakan kewajiban menurut perjanjian yang mereka perbuat, maka dikatakan bahwa pihak tersebut wanprestasi, yang artinya tidak memenuhi prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian.

  Wirjono Prodjodikoro mengatakan : “Wanprestasi adalah berarti ketiadaan suatu prestasi dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali

   dan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi”.

  Lebih tegas Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa : “Apabila dalam suatu perikatan si debitur karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan debitur itu

   wanprestasi“.

  Untuk menentukan apakah seorang (debitur) itu bersalah karena telah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seseorang itu dikatakan lalai atau alpa tidak memenuhi prestasi.

  Subekti mengemukakan bahwa: Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam : a.

  Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya b.

  Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan c.

  Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat d.

  Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

   dilaksanakannya.

4. Pengertian Asuransi Laut

  Berkaitan dengan judul skripsi ini, maka apa yang akan di uraikan dalam bahagian ini adalah penting artinya oleh karena dengan adanya asuransi maka ingatan orang akan tertuju kepada dua pihak yang tersangkut di dalamnya secara timbal balik. Justru itu pengertian asuransi ini penulis letakkan 16 17 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal 44.

  Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Penerbit Fak. Hukum pada bagian pertama dari bab dua ini. “Asuransi atau dalam bahasa Belanda “verzekering“ berarti pertanggungan”.

  

Demikian juga dengan Abdulkadir Muhammad tampaknya ia kurang suka

  terhadap penggunaan kata-kata penjamin atau terjamin. Sebab menurut beliau istilah ini akan lebih tepat jika digunakan dalam Hukum Perjanjian Jaminan (garantie), borgtoch dan hoof delijkheid, yang diatur dalam KUH Perdata karena dengan demikian kita akan dapat membedakan antara istilah yang dipakai dalam KUH Dagang sebagai ketentuan khusus dari pertanggungan di lain pihak.

  Dalam pertanggungan, ada dua pihak yang tersangkut di dalamnya yaitu tertanggung dan penanggung. Pihak yang satu sebagai penanggung, bersedia menangung kerugian yang akan terjadi akibat dari suatu peristiwa tertentu. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa kepada orang yang kerugiannya akan dipikul oleh penanggung tersebut ke atas pundaknya suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu pembayaran dengan jumlah uang kepada pihak penanggung apabila kerugian tersebut terjadi dalam batas waktu yang diperjanjikan.

  Selanjutnya kita lihat pula pengertian yang telah dirumuskan dalam

  Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 yang menyebutkan sebagai berikut : Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

  Selanjutnya pengertian yang diberikan oleh para sarjana tampaknya sejauh ini tidak ada perbedaan yang menyolok, seperti Wirjono Prodjodikoro ia memakai istilah asuransi untuk pertanggungan, penjamin untuk yang menanggung, sedangkan terjamin untuk yang tertanggung.

20 Dari apa yang diuraikan di atas tampaklah beranekaragam peristilahan

  untuk pertanggungan ini, sehingga sangat diperlukan keseragaman dalam hal 19 Wirjono Prodjodikoro, III, Hukum Asuransi di Indonesia, Penerbit PT. Intermasa, penggunaan istilah untuk pertanggungan. Dalam uraian selanjutnya penulis akan memakai istilah pertanggungan untuk asuransi sedangkan istilah penanggung dipakai untuk pihak yang menanggung orang yang berkepentingan dengan barang yang dipertanggungkan sebagai pihak tertanggung, serta untuk istilah persetujuan dipergunakan istilah perjanjian.

  Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pengertian asuransi secara umum adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengakibatkan dirinya terhadap seorang tertanggung dengan menerima sejumlah uang sebagai premi untuk memberikan penggantian padanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang akan diterimanya karena suatu peristiwa yang belum dapat dipastikan saat terjadinya.

  Pengertian daripada asuransi laut tersebut berdasarkan Pasal 595 KUH dagang terdapat ketentuan bahwa pertanggungan dapat diadakan untuk segala bahaya laut. Namun tidak terdapat penjelasan, apakah artinya atau apa yang dimaksud dengan “bahaya laut”.

  Dalam pada itu terdapat suatu pegangan dalam Pasal 637 KUH dagang untuk merumuskan bahaya laut, sebagaimana diputuskan oleh H.R. dalam arrestnya tertanggal 17 April 1862, itu bahwa Pasal 637 tidak mengandung/memuat suatu ketentuan asuransi laut, melainkan suatu petunjuk yang disebutkan dalam kata-kata yang sangat luas dan dan hanya

   dengan contoh.

  Sebagaimana iuraikan pada bagian terdahulu di atas, bahwa siapapun menanggung risiko dan risiko ini sangat luas artinya, maka dapat disimpulkan bahwa mengenai asuransi lautpun dapat diasuransikan risiko apa saja, yang dirasakan oleh yang berkepentingan.

  Pengertian Perjanjian Pengangkutan Secara Umum

  Sebagaimana dikatakan, bahwa Buku III KUH Perdata mengatur berbagai bentuk daripada perjanjian, dimana perjanjian-perjanjian tersebut memiliki nama-nama tertentu seperti misalnya perjanjian jual-beli, tukar- menukar, sewa-menyewa dan sebagainya.

  Berhubung karena adanya kebebasan untuk mengadakan perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 1337 KUH Perdata, maka dalam prakteknya banyak terdapat perjanjian yang tidak dapat digolongkan ke dalam satu nama perjanjian secara utuh dalam Buku

  III KUH Perdata itu. Dan salah satu nama perjanjian yang terdapat di luar Buku III KUH Perdata adalah Perjanjian Pengangkutan barang di Jalan Raya.

  Adapun sebagai jenis-jenis pengangkutan adalah:

1. Pengangkutan udara

  Pengangkutan udara adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di udara.

  Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan menjelaskan Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.

  Pasal 1 butir 14 sampai dengan 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan menjelaskan berbagai jenis angkutan udara yang meliputi:

  1. Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

  2. Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.

  3. Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 21

  4. Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya.

  5. Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.

2. Pengangkutan Laut

  Pengangkutan laut yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk penangngkutan orang atau barang yang dijalankan di laut. Yang diatur di dalam : a.

  KUHD, Buku II, Bab V, tentang “Perjanjian Carter kapal”.

  b.

  KUHD, Buku II, Bab V-A, tentang “Pengangkutan barang-barang”.

  Pengangkutan barang-barang ini adalah merupakan suatu bentuk pengangkutan dengan objek yang diangkut berupa barang-barang. Muatan barang lazim disebut dengan barang saja. Barang yang dimaksud adalah yang sah menurut undang-undang. Dalam pengertian barang termasuk juga hewan.

  c.

  KUHD, Buku II, Bab V-B, tentang “Pengangkutan orang”. angkutan laut merupakan angkutan di perairan. Pasal 1 butir 3 Undang- Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, menjelaskan angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.

3. Pengangkutan Darat yaitu :

  Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang di jalan selain daripada kendaraan yang berjalan di atas rel. Yang dapat dibagi : a.

  Pengangkutan kereta api yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di atas rel.

  Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian dijelaskan Angkutan kereta api adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api.

  b.

  Pengangkutan jalan raya yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di setiap jalan dalam bentuk apapun yang terbuka untuk lalu lintas umum.

  Undang-Undang yang mengatur tentang pengangkutan di jalan raya adalah

  Jalan.

4. Pengangkutan Perairan darat atau perairan pedalaman

  Yaitu kendaraan yang biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di atas perairan seperti sungai, danau ataupun terusan-terusan. Yang diatur di dalam : a.

  KUHD, Buku II, Bab XIII, pasal 748 sampai dengan 754, mengenai kapal- kapal yang melalui perairan darat.

  b.

  Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan.

  Untuk memberikan pengertian (definisi) yang lengkap dan sempurna tentang istilah perjanjian pengangkutan itu adalah suatu hal yang sangat sulit, sebab undang-undang sendiripun tidak mengaturnya secara tersendiri. Tetapi guna mempermudah pembahasan dalam tulisan ini, maka pengertian perjanjian pengangkutan itu akan penulis uraikan menurut pendapat beberapa sarjana.

  Menurut Subekti, bahwa perjanjian pengangkutan adalah ; “Suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barng dari suatu tempat ke tempat lain, sedangkan pihak

   lainnya menyanggupi akan membayar ongkos”.

  Menurut R. Soekardono, bahwa perjanjian pengangkutan itu adalah : Sebuah perjanjian timbal balik, pada mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau/dan orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim sebagai penerima, pengirim atau penerima, penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk

   pengangkutan itu.

  Selanjutnya menurut H.M.N. Purwosutjipto, berpendapat bahwa : “Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan / atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pihak pengirim mengikatkan diri untuk

   membayar uang angkutan”.

  Berdasarkan pendapat-pendapat sarjana di atas, dapat diketahui bahwa perjanjian pengangkutan barang adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, dan sebaliknya pihak pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan (ongkos), sebagaimana yang diperjanjikan.

  Saat Terjadinya Perjanjian Pengangkutan Laut

  Sebelum kita lebih lanjut membahas masalah judul sub bab di atas ada baiknya terlebih dahulu kita mengerti apa yang dimaksud dengan kata pengangkut.

  Menurut KUH Dagang dalam Pasal 466 menentukan bahwa pengangkut dalam arti menurut titel ini adalah orang yang baik karena penggunan penyediaan kapal menurut perjalanan, maupun karena perjanjian lainnya, mengikat diri untuk melaksanakan pengangkutan barang-barang seluruhnya atau sebagian menyeberang laut.

  Sedangkan pengertian pengangkut menurut The Haque Rules artikel I maka dapatlah diartikan bahwa yang disebut sebagai pengangkut adalah termasuk pemilik kapal atau pihak penyedia kapal dalam hal kapal dicharter

   yang telah mengadakan perjanjian.

  Dalam KUH Dagang ada ketentuan yang mengatur saat terjadi persetujuan kehendak, baik mengenai pengangkutan barang maupun penumpang. Menurut ketentuan Pasal 504 KUH Dagang, pengirim yang telah 23 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia (Hukum Pegangkutan di Darat), Penerbit Soeroeng, Jakarta, 1982, hal 10. 24 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum

  menyerahkan barang kepada pengangkut di kapal menerima surat tanda terima (mate’s receipt) yang merupakan bukti bahwa barangnya telah dimuat dalam kapal. Jika pengirim menghendaki konosemen, ia dapat menukarkan surat tanda terima itu dengan konosemen yang diterbitkan oleh pengangkut.

  Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa penerbitan surat tanda terima adalah suatu keharusan. Tetapi penerbitan konosemen bukan suatu keharusan. Surat tanda terima membuktikan bahwa barang sudah diterima dan dimuat dalam kapal sesuai dengan penyerahan dari pengirim. Dengan demikian, perjanjian pengangkutan laut terjadi dan mengikat pihak-pihak sejak surat tanda terima barang ditandatangani oleh pengangkut atau orang atas nama pengangkut. Dalam surat tanda terima itu dicantumkan tanda tangan pengangkut dan tanggal penerimaan. Jika diterbitkan konosemen, tanggal penerimaan sama dengan tanggal surat itu.

  Menurut ketentuan Pasal 533 ayat 1 KUH Dagang, biaya pengangkutan harus dibayar lebih dahulu. Dalam pengertian biaya pengangkutan termasuk juga biaya makan penumpang (Pasal 533 butir j KUH Dagang). Berdasarkan ketentuan ini dapat dinyatakan bahwa tanpa pembayaran biaya pengangkutan lebih dahulu tidak ada pengangkutan penumpang. Berdasarkan kenyataan, penumpang yang naik ke kapal wajib sudah membayar lunas biaya pengangkutan, yang dibuktikan dengan tiket penumpang yang dikuasainya. Dengan demikian, perjanjian pengangkutan laut terjadi dan mengikat pihak- pihak sejak pengangkut menerima biaya pengangkutan dari penumpang. Tiket penumpang diterbitkan, ditanggali, dan ditandatangani oleh pengangkut atau orang atas nama pengangkut.

  Hak - Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan di Laut

  Pada setiap perjanjian, sudah barang tentu harus ada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu, karena tanpa adanya pihak-pihak tersebut maka perjanjian itu tidak mungkin ada. Demikian pula halnya pada perjanjian pengangkutan, karena tanpa adanya yang mengadakan perjanjian pengangkutan tidaklah akan ada (lahir).

  Sebagaimana kita ketahui, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan itu adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan tepat pada waktunya, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar ongkos (uang angkutan) sebagaimana yang diperjanjikan.

  Dari pengertian pengangkutan tersebut di atas, dapatlah kita ketahui bahwa, pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan itu adalah “pengangkut dan pengirim. Dengan kata lain bahwa, pengangkut dan pengirimlah yang

   mengadakan perjanjian pengangkutan.

  Pengangkut adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan tepat pada waktunya. Sedangkan pengirim adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan (ongkos) sebagai imbalan jasa yang dilakukan oleh pihak pengangkut dalam menyelenggarakan pengangkutan itu.

  Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut barang muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan barang itu kepada orang yang ditunjuk (tempat tujuan) sebagai penerima, dan menjaga keselamatan barang muatan itu. Dalam hal ini, maka si penerima barang tersebut, mungkin saja di pengirim sendiri atau juga orang lain sebagai pihak ketiga.

  Apabila orang lain yang menjadi pengirim barang, maka disini kedudukan penerima tersebut adalah pihak ketiga (di luar pihak dalam perjanjian pengangkutan) yang berkepentingan terhadap terlaksananya perjanjian pengangkutan itu.

  Sebagai dasar hukum bagi si penerima menjadi pihak ketiga yang berkepentingan terhadap terlaksananya perjanjian pengangkutan itu, terdapat pada Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyebutkan : Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.

  Siapa yang telah menjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.

  Menurut isi pasal tersebut, jelaslah bahwa kedudukan penerima di dalam perjanjian pengangkutan adalah pihak ketiga yang berkepentingan dalam perjanjian pengangkutan itu, tetapi ia tidak termasuk dalam perjanjian pengangkutan tersebut.

  Dalam hal ini, pihak penerima dapat menjadi pihak yang berkepentingan di dalam perjanjian pengangkutan adalah setelah ia menyatakan kehendaknya untuk menerima barang, maka si penerima barang berkewajiban untuk membayar uang angkutan (ongkos) barang itu jika ada penagihan dari pihak pengangkut.

  Apabila penerima telah menerima barang-barang itu sebagaimana yang telah dialamati dalam surat muatan pada perjanjian pengangkutan di tempat tujuan, maka penerima telah memasuki perjanjian pengangkutan dan menaklukkan diri kepada seluruh perjanjian pengangkutan antara si pengangkut dengan si pengirim.

  Penaklukan diri ini berarti, penetapan-penetapan hak dan kewajiban penerima, dan kewajiban si penerima tersebut adalah seperti membayar uang angkutan atau ongkos-ongkos lainnya sebagaimana yang termuat dalam

   perjanjian pengangkutan”.

  Mengenai uang angkutan, dapat diatur lain antara si pengirim dengan si penerima. Jika uang angkutan belum dibayar oleh pengirim dapat diketahui oleh penerima dari surat muatan yang diterimanya. Karena di dalam surat muatan itu akan dicantumkan apakah uang angkutan sudah dibayar atau belum.

  Dengan demikian jika uang angkutan belum dibayar oleh pengirim, maka penerima wajib untuk membayar uang angkutan (ongkos) yang dipergunakan dalam perjanjian pengangkutan itu sebagaimana telah ditentukan di dalam surat muatan.

  Pengirim pada suatu perjanjian pengangkutan tidak hanya orang perorangan saja, tetapi juga dapat merupakan suatu badan yang bergerak di dalam pengiriman barang, yang kemudian badan seperti ini dikenal dengan nama ekspeditur.

  Ekspeditur adalah suatu badan yang pekerjaannya menuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, baik melalui darat, laut

   maupun udara.

  27

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Perusahaan PT. Samudera Indonesia Dalam Pelaksanaan Bongkar Muat Barang Melalui Angkutan Laut (Studi Pada PT. Samudera Indonesia Cab. Belawan Medan)

26 180 94

Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Wanprestasi Pada PT. Pegadaian (PERSERO) Kantor Wilayah Medan

1 55 48

Tanggung Jawab Hukum Pihak Pengangkut Dalam Angkutan Barang Melalui Laut Dengan Menggunakan Container (Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

0 53 72

Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

12 141 80

Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Barang Terhadap Barang Kiriman Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Studi Pada Perusahaan Angkutan CV. Sempurna)

0 39 85

Peranan Container Dalam Perjanjian Kerja Pada Pengangkutan Barang Melalui Angkutan Laut (Studi Pada PT. Samudera Indonesia Cabang Belawan)

5 80 89

Tinjauan Hukum Islam dan UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Mengenai Tanggung Jawab Perusahaan Sebagai Pengangkut Terhadap Pihak ketiga

0 4 86

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Perusahaan PT. Samudera Indonesia Dalam Pelaksanaan Bongkar Muat Barang Melalui Angkutan Laut (Studi Pada PT. Samudera Indonesia Cab. Belawan Medan)

0 0 14

Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Perusahaan PT. Samudera Indonesia Dalam Pelaksanaan Bongkar Muat Barang Melalui Angkutan Laut (Studi Pada PT. Samudera Indonesia Cab. Belawan Medan)

0 1 8

BAB III PENGATURAN HUKUM MENGENAI ANGKUTAN BARANG DENGAN CONTAINER - Tanggung Jawab Hukum Pihak Pengangkut Dalam Angkutan Barang Melalui Laut Dengan Menggunakan Container (Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

0 0 27