Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

(1)

PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM

PENGANGKUTAN LAUT MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

PELAYARAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

Adi Perwira S

NIM : 070200032

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

ABSTRAK

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau, dan memiliki posisi yang sangat strategis serta penting dalam dunia internasional. Oleh karena itu, dibutuhkan modal transportasi (pengangkutan) yang memadai guna memenuhi kebutuhan mobilitas dalam rangka pemerataan dan peningkatan perekonomian serta memperkukuh keutuhan bangsa Indonesia dan mempererat hubungan antar bangsa. Maka pelayaran sebagai sarana pengangkutan melalui perairan (laut) harus ditata atau dikelolah secara efektif dan efisien, atas dasar hal-hal tersebut disusunlah UU tentang Pelayaran yakni UU No. 17 Tahun 2008 yang telah menggantikan UU No. 21 Tahun 1992.

Masalah dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana terjadinya penyelenggaraan pengangkutan melalui laut? Kedua, bagaimana prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut KUHD dan konvensi internasional? Ketiga, bagaimana prinsip tanggung jawab pengangkut tersebut menurut UU No. 17 Tahun 2008?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum yang berlaku. Undang-undang yang dimaksud adalah UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kemudian KUHD dan beberapa konvensi internasional (The Haque Rule dan The Hamburg Rule).

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: Pertama, proses terjadinya penyelenggaraan pengangkutan melalui laut dilakukan dengan adanya perjanjian pengangkutan yang menunjuk pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim atau penumpang secara timbal-balik. Kedua, prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut KUHD, terdapat 3 (tiga) prinsip tanggung jawab yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, praduga bersalah, dan pembatasan tanggung jawab pengangkut. Kemudian prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut The Hague Rule, sama halnya seperti yang dianut oleh KUHD. Sedangkan prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut The Hamburg Rules, yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, praduga tidak bersalah, praduga bersalah, pembatasan tanggung jawab pengangkut, dan prinsip tanggung


(4)

jawab mutlak. Ketiga, Prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut UU No. 17 Tahun 2008, juga dikenali adanya 3 (tiga) prinsip tanggung jawab yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, praduga bersalah, dan pembatasan tanggung jawab pengangkut.

Saran dalam penelitian ini diperlukan adanya perbaikan atau revisi dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, karena ada beberapa hal yang penting tidak diatur secara khusus di dalamnya seperti hal mengenai pemberian ganti rugi oleh pengangkut terhadap penumpang dan pengirim barang. Kemudian masih tetap diperlukan sosialisasi secara berkelanjutan dan menyeluruh terutama di daerah-daerah atau pula-pulau terpencil, agar masyarakat yang belum mengetahui atau mengerti tidak dibiarkan begitu saja. Dan diharapkan adanya pengawasan dari pemerintah terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini agar dapat berjalan sebagaimana mestinya, guna menjamin kepastian hukum dan tegaknya supremasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penlis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, pada saat ini masih di berikan-Nya kesempatan yang tidak terhingga untuk dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam

Pengangkutan Laut Meurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.”sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum ( S1 ) di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

Selama Skripsi ini belangsung banyak pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini .Oleh karena itu, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu,SH.M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH.M.Hum, Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni,SH.M.Hum, Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasyim Purba, SH.M.Hum, Ketua Departemen Hukum Keperdataan Selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak membantu memberikan arahan,bimbingan dan masukan bagi penulis.

6. Ibu Afflah, SH.M.Hum, Sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan, nasehat dan masukanbagi penulis

7. Seluruh Dosen / Staf Pengajar dan Pegawai AdministrasiFakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmu nya dan membantu penulis selama masa perkuliahan.

8. Teristimewa kepada orang tua ku tercinta, terutama ibu ku tersayang yang selalu mendukung dan memberi bantuannya secara moril maupun materil dalam segala bidang untuk mendorong selesainya kuliah hingga skripsi ini. 9. Kepada teman,sahabat-sahabat ku Angkatan 2007 yang selanjutnya penulis harapkan persahabatan ini tidak akan berakhir sampai akhir usia kita dan


(6)

kalian dapat menjadi pembesar negeri ini ,saudara yang telah memberikan dukungan nya kepada saya, saya ucapkan salam persaudaraan dan terima kasih yang sebesar-besarnya.

10.Kepada kakanda-kakanda di Fakultas Hukum Khususnya yang di parkiran yang setiap waktu rela memberikan waktu dan ilmu nya kepada saya terutama kepada bang Rahman saya ucapkan terima kasih yang sebesar nya karena sudah banyak sekali membantu penulis selama ini.

11.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikan nya Skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis memahami berbagai kelemahan dan kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu diharapkan saran dan kritikan yang membangun. Demikianlah sebagai Kata Pengantar, mudah-mudahan bermanfaat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi semua pihak, mohon maaf segala kekurangan, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2011 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Tinjauan Kepustakaan ... 6

E. Keaslian Penulisan ... 7

F. Metode Penelitian ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II : PENYELENGGARAAN PENGANGKUTAN MELALUI LAUT .... A. Pengertian Pengangkutan... 10

B. Pengertian Pengangkutan Laut ... 14

C. Tujuan dan Fungsi Pengangkutan Laut... ... 16

D. Jenis-Jenis Pengangkutan Laut ... 19

BAB III : PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PENGANGKUTAN LAUT MENURUT KUHD dan KONVENSI INTERNASIONAL A. Hak dan Kewajiban Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut KUHD ... 23

B. Prinsip dan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut KUHD ... 49

C. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut Konvensi Internasional (Haque Rules dan Hamburg Rules ) ... 55


(8)

BAB IV : PRINSIP-PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PENGANGKUTAN LAUT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 tentang PELAYARAN

A. Hak dan Kewajiban Pengangkut Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ... 62 B. Tanggung Jawab Pengangkut Menurut Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2008 tentang Pelayaran ... 63 C. Pemberian Ganti Rugi Oleh Pengangkut Terhadap Penumpang dan

Pengirim Barang Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ... 65

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 68


(9)

ABSTRAK

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau, dan memiliki posisi yang sangat strategis serta penting dalam dunia internasional. Oleh karena itu, dibutuhkan modal transportasi (pengangkutan) yang memadai guna memenuhi kebutuhan mobilitas dalam rangka pemerataan dan peningkatan perekonomian serta memperkukuh keutuhan bangsa Indonesia dan mempererat hubungan antar bangsa. Maka pelayaran sebagai sarana pengangkutan melalui perairan (laut) harus ditata atau dikelolah secara efektif dan efisien, atas dasar hal-hal tersebut disusunlah UU tentang Pelayaran yakni UU No. 17 Tahun 2008 yang telah menggantikan UU No. 21 Tahun 1992.

Masalah dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana terjadinya penyelenggaraan pengangkutan melalui laut? Kedua, bagaimana prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut KUHD dan konvensi internasional? Ketiga, bagaimana prinsip tanggung jawab pengangkut tersebut menurut UU No. 17 Tahun 2008?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum yang berlaku. Undang-undang yang dimaksud adalah UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kemudian KUHD dan beberapa konvensi internasional (The Haque Rule dan The Hamburg Rule).

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: Pertama, proses terjadinya penyelenggaraan pengangkutan melalui laut dilakukan dengan adanya perjanjian pengangkutan yang menunjuk pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim atau penumpang secara timbal-balik. Kedua, prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut KUHD, terdapat 3 (tiga) prinsip tanggung jawab yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, praduga bersalah, dan pembatasan tanggung jawab pengangkut. Kemudian prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut The Hague Rule, sama halnya seperti yang dianut oleh KUHD. Sedangkan prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut The Hamburg Rules, yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, praduga tidak bersalah, praduga bersalah, pembatasan tanggung jawab pengangkut, dan prinsip tanggung


(10)

jawab mutlak. Ketiga, Prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut UU No. 17 Tahun 2008, juga dikenali adanya 3 (tiga) prinsip tanggung jawab yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, praduga bersalah, dan pembatasan tanggung jawab pengangkut.

Saran dalam penelitian ini diperlukan adanya perbaikan atau revisi dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, karena ada beberapa hal yang penting tidak diatur secara khusus di dalamnya seperti hal mengenai pemberian ganti rugi oleh pengangkut terhadap penumpang dan pengirim barang. Kemudian masih tetap diperlukan sosialisasi secara berkelanjutan dan menyeluruh terutama di daerah-daerah atau pula-pulau terpencil, agar masyarakat yang belum mengetahui atau mengerti tidak dibiarkan begitu saja. Dan diharapkan adanya pengawasan dari pemerintah terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini agar dapat berjalan sebagaimana mestinya, guna menjamin kepastian hukum dan tegaknya supremasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahwa atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang terletak memanjang di garis khatulistiwa di antara 2 (dua) benua dan 2 (dua) samudera, oleh karena itu mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam hubungan antar bangsa.

Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, transportasi, memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah1

1

Tjakranegara Soegijatna, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Penerbit Rineka Cipta, Bandung, 1995. hlm. 24

.

Transportasi merupakan sarana untuk memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, dalam rangka memantapkan perwujudan wawasan nusantara dan meningkatkan ketahanan nasional, serta mempererat hubungan antar bangsa.

Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas manusia dan barang di dalam negeri serta dari dan ke luar negeri.

Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.


(12)

Menyadari peranan transportasi maka pelayaran sebagai salah satu modal transportasi, penyelenggaraannya harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, teratur, nyaman, dan efisien dengan biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat2

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka disusunlah Undang-undang (UU) tentang Pelayaran, yang merupakan penyempurnaan dan kodifikasi, agar penyelenggaraan pelayaran dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, memupuk dan mengembangkan jiwa bahari, dengan mengutamakan kepentingan umum, dan kelestarian lingkungan, koordinasi

.

Pelayaran yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri perlu dikembangkan dengan memperhatikan sifatnya yang padat modal, sehingga mampu meningkatkan pelayanan yang, lebih luas, baik di dalam negeri maupun ke dan dari luar negeri.

Mengingat penting dan strategisnya peranan pelayanan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka pelayaran dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Dalam kenyataannya berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda yang tersebar di berbagai bentuk peraturan antara lain di bidang kenavigasiannya, perkapalan, kepelabuhanan, dan angkutan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

2


(13)

antara pusat dan daerah serta antara instansi, sektor, dan antar unsur terkait serta pertahanan keamanan negara3

1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wet Boek Van Koophandel/Wvk), .

Dengan diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran ini maka ketentuan-ketentuan yang tedapat dalam undang-undang lain yang berkaitan dengan pelayaran antara lain:

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia,

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia,

5. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut),

6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan,

7. Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939 merupakan undang yang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan undang-undang ini.

Di samping itu berbagai konvensi internasional lainnya yang telah diratifikasi oleh Indonesia, merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan sesuai dengan kepentingan nasional4

Perlunya pembaharuan hukum pengangkutan, khususnya hukum pengangkutan laut ini sangat dirasakan oleh Indonesia dengan meratifikasi perjanjian multilateral GATT/ WTO karena asas-asas yang dianut dalam perjanjian multilateral

.

3

Ibid, hlm. 26.

4


(14)

ini akan berlaku juga bagi GATS (General Agreement on Trade in Services), sehingga persaingan antara perusahaan pelayaran nasional dengan perusahaan pelayaran asing tidak dapat dielakkan lagi dan akan lebih ketat lagi. Oleh karena itu perusahaan pelayaran nasional harus dibangun kembali apalagi setelah kebijaksanaan Pemerintah untuk membesituakan kapal yang usianya 30 tahun mulai 1 Mei 1984 dan kapal-kapal berusia 25 tahun ke atas mulai 1 Januari 1985. Kebijaksanaan ini telah mengakibatkan banyaknya perusahaan pelayaran yang bangkrut, sehingga di kepulauan Indonesia yang tercinta ini kapal-kapal Indonesia bukan merupakan tuan rumah di negara sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kiranya diusahakan pembaharuan peraturan yang akan menunjang perusahaan pelayaran di satu pihak agar dapat bersaing dengan perusahaan pelayaran dari negara lain dan memberikan perlindungan yang layak kepada pengangkutan dan atau pengusaha kapal, muatan dan penumpang, sehingga terdapat keseimbangan diantara keduanya. Untuk itu perlu dilakukan pembahasan terhadap konsep tanggung jawab yang telah ada sekarang ini dan memilah sejauh mana ketentuan yang telah ada tentang tanggung jawab masih dapat dipertahankan dan dijadikan bahan masukan bagi penulisan skripsi ini.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik membahas dan mengangkat judul: “PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

DALAM PENGANGKUTAN LAUT MENURUT UNDANG-UNDANG PELAYARAN NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pokok masalah yang akan dirumuskan dalam penulisan skripsi ini, yaitu :


(15)

2. Bagaimanakah prinsip tanggung jawab pengangkut dalam penyelenggaraan pengangkutan laut menurut KUHD dan Konvensi Internasional (The Haque dan The Hamburg Rules)?

3. Bagaimanakah prinsip tanggung jawab pengangkut menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan Penulisan

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini, antara lain, yaitu :

1. Untuk mengetahui terjadinya penyelenggaraan pengangkutan melalui laut.

2. Untuk mengetahui prinsip tanggung jawab pengangkut dalam penyelenggaraan pengangkutan laut menurut KUHD dan Konvensi Internasional (The Hague Rule dan The Hamburg Rule).

3. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang hendak diberikan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini antara lain :

1. Secara teoritis

Pembahasan masalah dari penulisan skripsi ini akan memberikan pemahaman dan sikap kritis dalam menghadapi pengetahuan tentang prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut KUHD, beberapa Konvensi Internasional (The Hague Rule dan The Hamburg Rule), dan berdasarkan Undang-undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 tentang


(16)

Pelayaran, selanjutnya hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam kajian mengenai prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap pengangkutan laut serta untuk menambah wawasan bagi para mahasiswa Fakultas Hukum. Hasil tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi pedoman bahan perbandingan dan juga bahan bagi peneliti yang mengkaji masalah sejenis.

2. Secara Praktis

Diharapkan agar tulisan ini dapat menjadi masukan bagi para pembaca, baik di kalangan akademial maupun peneliti yang mengkaji masalah yang sejenis ke dalam suatu pemahaman yang komprehensif tentang sejauh mana prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut KUHD, beberapa Konvensi Internasional (The Hague Rule dan The Hamburg Rule), dan berdasarkan Undang-undang pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan bagaimana isi perjanjian pengangkutan melalui laut menurut Undang-undang pelayaran Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang diharapkan dapat menambah wawasan tentang prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut.

D. Tinjauan Kepustakaan

Pengertian Prinsip dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah suatu sikap atau sifat yang menjadi acuan atau tolak ukur.

Pengertian tanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah suatu respon seseorang atas pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya5

5

Frista Artmanda W. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, Bandung, 2004. hlm. 747.

. Selanjutnya pengertian dari prinsip tanggung jawab yaitu merupakan bagian dari pembelajaran


(17)

yang memuat azas-azas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga sifat yang melindungi kepentingan pengangkut.

Pengertian pengangkut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perorangan atau perusahaan yang membawa atau mengangkut sesuatu barang6

Kemudian pengertian pengangkutan laut menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah pengangkut yang beroperasi melalui rute laut untuk pengangkut barang-barang

.

7

Dan mengenai pelayaran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah alat transportasi yang menggunakan pengangkutan laut

.

8

6

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2006. hlm. 612.

7

Ibid, hlm. 614.

8

Ibid, hlm. 620.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah pernah dibahas dengan Undang-undang yang lama akan tetapi sekarang saya bahas dengan Undang-undang yang baru, sebab ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Dengan ini penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini, belum pernah ada judul yang sama demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan. Dalam hal mendukung penulisan ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan, baik berupa karya ilmiah maupun karya ilmiah maupun pasal-pasal dalam KUH Perdata dan perundang-undangan.


(18)

Untuk memperoleh suatu yang baik dari suatu karya ilmiah, maka harus didukung oleh bukti dan fakta atau data yang akurat. Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan prinsipnya bertendansi kepada penelitian yuridis normative.

Lazimnya sebuah penelitian hukum normatif, sumber data sekunder sebagai data utama atau data pokok penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari studi kepustakaan (library research), baik dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier,9

a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD) , Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), dan beberapa Konvensi Internasional (The Hague Rule dan The Hamburg Rule), dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

sebagai berikut:

b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku-buku teks dari para ahli hukum, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, hasil-hasil penelitian, majalah, surat kabar, situs internet dan lain-lain.

c. Bahan hukum tertier, terdiri dari kamus-kamus hukum, ensiklopedi, dan lain-lain. Keseluruhan data sekunder yang diperoleh ditujukan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual.

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

9

Sunggono Bambang, Penelitian Hukum : Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. hlm.194-195.


(19)

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Penyelenggaraan Pengangkutan Melalui Laut

Bab ini menguraikan tentang pengertian pengangkutan laut, tujuan dan fungsi pengangkutan laut, serta jenis-jenis pengangkutan laut.

BAB III : Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Pengangkutan Laut Menurut KUHD dan Konvensi Internasional (The Haque dan The Hamburg Rules) Bab ini menguraikan tentang hak dan kewajiban pengangkut dalam pengangkutan laut menurut KUHD, serta prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut Konvensi Internasional (The Haque dan The Hamburg Rules).

BAB IV : Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

Bab ini menguraikan tentang bagian dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 yang mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut, serta menguraikan tentang pemberian ganti rugi oleh pengangkut terhadap penumpang dan pengirim barang yang menerima kerugian.

BAB V : Kesimpulan dan Saran Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.


(20)

BAB II

PENYELENGGARAAN PENGANGKUTAN MELALUI LAUT

A. Pengertian Pengangkutan

Kata pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang artinya bawa atau muat dan kirimkan. Jadi pengangkutan diartikan sebagai pengangkutan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang yang diangkut dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan selamat, walaupun demikian diperlukan suatu alat sebagai sarana pengangkut.

Pengangkutan dapat juga diartikan sebagai perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan, baik yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan, atau mesin.

Konsep pengangkutan didasarkan pada adanya perjalanan (trip) antara asal (origin) dan tujuan (destination). Perjalanan adalah pergerakan orang dan barang antara dua tempat kegiatan yang terpisah untuk melakukan kegiatan perorangan atau kelompok dalam masyarakat. Perjalanan dilakukan melalui suatu lintasan tertentu yang menghubungkan asal dan tujuan, menggunakan alat angkut atau kendaraan dengan kecepatan tertentu. Jadi perjalanan adalah proses perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.

Ada 5 (lima) unsur pokok pengangkutan, adalah sebagai berikut: 1. Manusia, yang membutuhkan pengangkutan.

2. Barang-barang tertentu, yang diperlukan oleh manusia.

3. Kendaraan termasuk kapal dan pesawat, sebagai sarana pengangkutan. 4. Terminal, pelabuhan, bandara sebagai prasarana pengangkutan. 5. Organisasi, sebagai pengelola pengangkutan.


(21)

Pada dasarnya, kelima unsur di atas saling terkait untuk terlaksananya transportasi, yaitu terjaminnya penumpang atau barang yang diangkut akan sampai ke tempat tujuan dalam keadaan baik seperti pada saat awal diangkut.

Selain itu banyak para sarjana yang mengemukakan pendapatnya megenai pengertian pengangkutan antara lain :

Menurut HMN. Poerwosutjipto mengatakan bahwa: “Pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari satu tempat ke tempat tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.”10

Sedangkan Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa: “Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang kedalam pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkut ke tempat yang ditentukan.”11

Menurut Sution Usma Adji, bahwa pengangkutan adalah12

10

Purwosutjipto H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit Djambatan, Jakarta ,2000.hlm.10.

11

Muhammad Abdul Kadir, Hukum Pengangkut Darat, laut dan Udara, Cipta Aditya Bahkti, Jakarta,1991.hlm.18.

12

Sution Usman Adji, dkk,Hukum Pengangkutan di Indonesia, PT Rinka Cipta, cet.2 Jakarta,1991.hlm.26.

: ”Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima) berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.”


(22)

Usaha pengangkutan bukan hanya berupa kegiatan pemindahan barang dan orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan cara dan kondisi yang statis, akan tetapi pengangkutan itu selalu diusahakan perbaikan dan kemajuannya sesuai dengan perkembangan peradaban dan teknologi.

Dengan demikian pengangkutan itu selalu diusahakan perbaikan dan peningkatannya, sehingga akan tercapai efisiensi pengangkutan yang lebih baik. Ini berarti bahwa orang akan selalu berusaha mencapai efisiensi terhadap pengangkutan, agar pengangkutan barang dan orang tersebut dapat memakan waktu yang secepat mungkin dan dengan pengeluaran biaya yang sekecil mungkin.

Pada dasarnya, pengangkutan atau pemindahan penumpang dan barang dengan transportasi ini diselenggarakan dengan maksud untuk dapat mencapai ke tempat tujuan serta dapat menciptakan maupun menaikkan utilitas (kegunaan) dari barang yang diangkut. Utilitas (kegunaan) yang dapat diciptakan oleh transportasi atau pengangkutan tersebut, khususnya untuk barang yang diangkut pada dasarnya ada 2 (dua) macam, yaitu:13

1. Utilitas tempat (place utility), yaitu kenaikan atau tambahan nilai ekonomi atau nilai kegunaan daripada suatu komoditi yang diciptakan dengan mengangkutnya dari suatu tempat/daerah dimana barang tersebut mempunyai kegunaan lebih besar.

2. Utilitas waktu (time utility), yaitu transportasi akan menyebabkan terciptanya kesanggupan daripada barang untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan menyediakan barang yang bersangkutan yaitu tidak hanya dimana mereka dibutuhkan, tetapi juga pada waktu bilamana mereka diperlukan.

13


(23)

Pengangkutan sebagai proses yaitu serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat pengangkut, kemudian dibawa menuju ke tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Pengangkutan sebagai perjanjian, pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi.

Pengangkutan sebagai proses merupakan sistem hukum yang mempunyai unsur-unsur sistem, yaitu:14

1. Subjek (pelaku) hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian dan pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan.

2. Status pelaku hukum pengangkutan, khususnya pengangkut selalu berstatus perusahaan badan hukum atau bukan badan hukum.

3. Objek hukum pengangkutan, yaitu proses penyelenggaraan pengangkutan. 4. Peristiwa hukum pengangkutan, yaitu proses penyelenggaraan pengangkutan. 5. Hubungan hukum pengangkutan, yaitu hubungan kewajiban dan hak antara

pihak-pihak dan mereka yang berkepentingan dengan pengangkutan.

Pengangkutan sebagai perjanjian merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.15

Pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan sangat vital karena didasari oleh berbagai faktor, baik

14

Muhammad Abdulkadir, Hukum Pengangkutan Niaga, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. hlm. 12.

15

Purwosutjipto H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1995. hlm. 2.


(24)

geografis maupun kebutuhan yang tidak dihindari dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Dengan jalur tempuh yang dipisahkan oleh lautan, maka dalam pengangkutan domestik maupun internasional, dihadapkan kepada 2 (dua) pilihan jalur, yaitu melalui udara atau melalui laut. Dengan mempertimbangkan faktor biaya dan pembatasan beban kiriman, maka para pengirim cenderung memilih jalur laut, walaupun pengangkutan melalui jalur laut sifatnya lebih lama dan tentu tidak sedikit resiko dan permasalahannya.

B. Pengertian Pengangkutan Laut

Pengangkutan laut adalah merupakan kegiatan mengangkut ataupun membawa maupun memindahkan penumpang, hewan, dan barang dengan menggunakan kapal tertentu yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran baik swasta dan juga pemerintah dari satu pelabuhan di suatu pulau ke pelabuhan lain yang terdapat di pulau lain tersebut. Pengangkutan laut dapat berlangsung antarpulau dalam satu negara atau secara nasional dan antarpulau dari satu negara ke negara lain atau secara internasional.

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pengangkutan laut atau dengan kata lain disebut:

1. Angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.

2. Angkutan laut khusus adalah kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.

3. Angkutan laut pelayaran rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.


(25)

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu pulau sepanjang garis khatulistiwa, berada di antara 2 (dua) benua dan 2 (dua) samudera sehingga mempunyai posisi dan peran yang strategis dalam hubungan antar bangsa maupun negara. Posisi strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dimanfaatkan secara maksimal sebagai modal dasar pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk mewujudkan cita-cita nasional.

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional dan perwujudan wawasan nusantara maka diperlukan sistem transportasi nasional yang efektif dan efisien, dalam menunjang serta sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang, dan jasa, membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis, serta mendukung pengembangan wilayah dan lebih memantapkan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, turut mendukung pertahanan dan keamanan, serta peningkatan hubungan internasional.

Transportasi merupakan sarana untuk memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, dalam rangka memantapkan perwujudan wawasan nusantara, meningkatkan serta mendukung pertahanan dan keamanan negara, yang selanjutnya mempererat hubungan antarbangsa.

Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang dan barang dalam negeri serta ke dan dari luar negeri. Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar tetapi belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.


(26)

Menyadari pentingya peran transportasi tersebut, angkutan laut sebagai salah satu moda transportasi harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional yang terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang atau sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib, aman, polusi rendah, dan efisien memegang peranan penting adalah angkutan laut.

Angkutan laut yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara nasional dan menjangkau seluruh wilayah melalui perairan perlu dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung antarwilayah, baik nasional maupun internasional termasuk lintas batas, karena digunakan untuk sebagai sarana untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengingat penting dan strategisnya pengangkutan laut maka peranan angkutan laut yang menguasai hajat hidup orang banyak maka keberadaannya dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Transportasi laut sebagai salah satu pilar utama untuk pengangkutan perdagangan internasional yang menghubungkan antaradaerah di Indonesia maupun negara eksportir dan importir masih merupakan pilihan utama sampai sekarang ini dikarenakan pengangkutan melalui laut relatif lebih murah dengan kapasitas volume pengangkutan yang besar.

C. Tujuan dan Fungsi Pengangkutan Laut

1. Tujuan Pengangkutan Laut

Adapun tujuan pengangkutan laut sebagai salah satu faktor penunjang Pembangunan Ekonomi Nasional bertujuan untuk:


(27)

a) Meningkatkan pendapatan nasional, karena adanya distribusi barang yang dapat dilakukan secara merata

b) Meningkatkan jenis dan jumlah barang jadi yang dapat dihasilkan oleh produsen, industri, dan pemerintah.

c) Mengembangkan industri dalam negeri atau industri nasional

d) Menciptakan dan memelihara tingkatan kesempatan kerja bagi masyarakat Pengangkutan laut juga menjadi sarana untuk mencapai tujuan non-ekonomis, antara lain:

a) untuk mempertinggi integritas bangsa,

b) untuk mempertinggi ketahanan dan pertahanan nasional, c) untuk meningkatkan hubungan dengan bangsa atau negara lain,

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dalam pasal 3, disebutkan bahwa pengangkutan laut termasuk dalam pelayaran diselenggarakan dengan tujuan:

1. Memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional.

2. Membina jiwa kebaharian. 3. Menjunjung kedaulatan negara.

4. Menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional.

5. Menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional.

6. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara.


(28)

7. Meningkatkan ketahanan nasional.

2. Fungsi Pengangkutan Laut

Pada dasarnya fungsi pengangkutan laut adalah untuk mengangkut penumpang dan barang dari satu pulau ke pulau lainnya. Akan tetapi fungsi pengangkutan laut tersebut juga semakin berkembang, diantaranya:

a) Meningkatkan nilai dan kegunaan barang.

Kebutuhan atas angkutan barang merupakan kebutuhan yang berkaitan dengan faktor-faktor lain. Suatu jenis barang lebih bermanfaat di suatu tempat daripada di tempat lain, pemiliknya sanggup membayar harga untuk terciptanya kegunaan barang itu. Upah angkut merupakan unsur penting dalam produksi barang yang merupakan faktor pendorong bagi produksi barang jadi.

b) Mengelakkan adanya kelebihan dan kurangan barang di pasar.

Pengangkutan memudahkan pemindahan barang dari tempat yang memiliki barang-barang kebutuhan dalam jumlah yang besar ke tempat yang hanya memiliki barang-barang kebutuhan dalam jumlah yang minim agar nantinya penawaran dan permintaan dapat diselaraskan. Penawaran yang berlebihan akan menyebabkan harga menurun sementara penawaran yang tidak mencukupi akan mengakibatkan kenaikan harga. Dengan bantuan pengangkutan, harga akan dapat distabilkan karena lebihan penawaran dapat dialihkan ke tempat yang mengalami kekurangan barang-barang.

c) Memperluas pasar dan menggalakkan perniagaan antarabangsa

Pengangkutan membantu dalam memperluas pasar karena dapat mengalihkan barang ke berbagai tempat dan dapat meningkatkan keuntungan. Perniagaan impor dan ekspor dapat dijalankan dengan licin dengan adanya sistem pengangkutan yang moden dan canggih. Contohnya, udang galah yang segar dapat dieksport ke Jepang dengan terdapatnya sistem pengangkutan laut.


(29)

D. Jenis-jenis Pengangkutan Laut

Jenis-jenis angkutan laut di Indonesia sebagai berikut :

1. Angkutan Laut Khusus yaitu kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.

2. Angkutan Laut Pelayaran Rakyat yaitu suatu usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan diperairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan kapal motor sederhana dengan berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.

3. Angkutan laut dalam negeri yaitu suatu angkutan laut yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia dan dapat melayani kegiatan mengangkut penumpang dan barang antar pulau dan antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia.

4. Angkutan laut luar negeri yaitu kegiatan angkutan laut yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan perusahaan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia atau kapal asing. Dan angkutan laut luar negeri hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan wajib menunjuk perusahaan nasional sebagi agen umum.

Berdasarkan fungsinya, kapal sebagai sarana pengangkutan laut yang utama dibedakan menjadi:

1. Kapal pesiar (cruise ship/cruise liner) adalah kapal penumpang yang dipakai untuk pelayaran pesiar. Penumpang menaiki kapal pesiar untuk menikmati waktu yang dihabiskan di atas kapal yang dilengkapi fasilitas penginapan dan


(30)

perlengkapan bagaikan hotel berbintang. Sebagian kapal pesiar memiliki rute pelayaran yang selalu kembali ke pelabuhan asal keberangkatan. Lama pelayaran kapal pesiar bisa berbeda-beda, mulai dari beberapa hari sampai sekitar tiga bulan tidak kembali ke pelabuhan asal keberangkatan.

2. Kapal samudra (ocean liner) yang melakukan rute pelayaran reguler di laut terbuka, kadang antar benua, dan mengantarkan penumpang dari satu titik keberangkatan ke titik tujuan yang lain. Kapal yang lebih kecil dan lebih rendah digunakan sebagai kapal pesiar sungai.

3. Kapal penumpang adalah kapal yang digunakan untuk angkutan penumpang. Untuk meningkatkan effisiensi atau melayani keperluan yang lebih luas kapal penumpang dapat berupa kapal Ro-Ro, ataupun untuk perjalanan pendek terjadwal dalam bentuk kapal feri. Di Indonesia perusahaan yang mengoperasikan kapal penumpang adalah PT. Pelayaran Nasional Indonesia yang dikenal sebagai PELNI, sedang kapal Ro-Ro penumpang dan kendaraan dioperasikan oleh PT ASDP, PT Dharma Lautan Utama, PT Jembatan Madura dan berbagai perusahaan pelayaran lainnya.

4. Kapal Ro-Ro adalah kapal yang bisa memuat kendaraan yang berjalan masuk kedalam kapal dengan penggeraknya sendiri dan bisa keluar dengan sendiri juga sehingga disebut sebagai kapal roll on-roll off disingkat Ro-Ro, untuk itu kapal dilengkapi dengan pintu rampa yang dihubungkan dengan dermaga apung (moveble bridge) ke dermaga. Kapal Roro selain digunakan untuk angkutan truk juga digunakan untuk mengangkut mobil penumpang, sepeda motor serta penumpang jalan kaki. Angkutan ini merupakan pilihan populer antara Jawa dengan Sumatera, antara Jawa dengan Madura dan antara Jawa dengan Bali.


(31)

5. Kapal barang atau kapal kargo adalah segala jenis kapal yang membawa barang-barang dan muatan dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Ribuan kapal jenis ini menyusuri lautan dan samudra dunia setiap tahunnya memuat barang-barang perdagangan internasional. Kapal kargo pada umumnya didesain khusus untuk tugasnya, dilengkapi dengan crane dan mekanisme lainnya untuk bongkar muat, serta dibuat dalam beberapa ukuran. Jenis-jenis pengangkutan kargo termasuk kapal kontainer dan pengangkutan massal. 6. Kapal tanker ialah kapal yang dirancang untuk mengangkut minyak atau

produk turunannya. Jenis utama kapal tanker termasuk tanker minyak, tanker kimia, dan pengangkut LNG. Berikut adalah pengelompokan kapal tanker menurut kapasitasnya, yakni:

a) ULCC (Ultra Large Crude Carrier), berkapasitas 500.000 ton.

b) VLCC (Very Large Crude Carrier/Malaccamax), berkapasitas 300.000 ton.

c) Suezmax, yang dapat melintasi Terusan Suez dalam muatan pnuh, berkapasitas 125.000 sampai dengan 200.000 ton.

d) Aframax (Average Freight Rate Assessment) berkapasitas 80.000 sampai dengan 125.000 ton.

e) Panamax, yang dapat melintasi pintu di Terusan Panamá, berkapasitas 50.000 sampai dengan 79.000 ton.

7. Kapal tunda adalah kapal yang dapat digunakan untuk melakukan pergerakan (maneuver), utamanya menarik atau mendorong kapal lainnya di pelabuhan, laut lepas atau melalui sungai atau terusan. Kapal tunda digunakan pula untuk menarik tongkang, kapal rusak, dan peralatan lainnya. Kapal tunda terbagi atas 3 (tiga) jenis, yakni:


(32)

a) kapal tunda konvensional (towing or pusher tug), b) kapal tunda serbaguna (utility tug),

c) kapal tunda pelabuhan (harbour tug).

8. Kapal peti kemas (containership) adalah kapal yang khusus digunakan untuk mengangkut peti kemas yang standar. Peti kemas diangkat ke atas kapal di terminal peti kemas dengan menggunakan kran khusus, yang dapat dilakukan dengan cepat.

9. Kapal Keruk (dredger) merupakan kapal yang memiliki peralatan khusus untuk melakukan pengerukan. Kapal ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan, baik dari suatu pelabuhan, alur pelayaran, ataupun industri lepas pantai, agar dapat bekerja sebagaimana halnya alat-alat levelling yang ada di darat seperti excavator dan Buldoser.

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, angkutan laut atau perairan terbagi atas:

1. Jenis angkutan di perairan terdiri dari: a) angkutan laut,

b) angkutan sungai dan danau, c) angkutan penyeberangan. 2. Jenis angkutan di laut terdiri dari:

a) angkutan laut dalam negeri, b) angkutan laut luar negeri,

c) angkutan laut khusus,


(33)

BAB III

PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM

PENGANGKUTAN LAUT MENURUT KUHD DAN KONVENSI

INTERNASIONAL (THE HAQUE RULES DAN THE HAMBURG

RULES )

A. Hak dan Kewajiban Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)

Proses terjadinya penyelenggaraan pengangkutan melalui laut dilakukan dengan adanya perjanjian pengangkutan yang menunjuk pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim atau penumpang secara timbal-balik yang tidak ada pengaturannya secara khusus dalam undang-undang, melainkan ada dalam kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan.

Perjanjian (verbintenis) mengandung pengertian yaitu suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

Dari pengertian singkat diatas kita jumpai didalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, salah satunya yaitu merupakan hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

Dengan demikian, perjanjian (verbintenis) adalah hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan (persoon) adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.


(34)

Hubungan hukum yang dimaksud adalah antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum” (rechtshandeling). Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi.

Jadi satu pihak memperoleh “hak (recht)” dan pihak sebelah lagi memikul “kewajiban (plicht)” menyerahkan atau menunaikan prestasi.

Prestasi ini adalah “objek (voorwerp)” dari perjanjian (verbintenis). Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum maka sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai “kreditur (schuldeiser)” . Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “debitur (schuldenaar)”.

Sedangkan pengertian lain tentang perjanjian yaitu pada Pasal 1313 KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah seperti diuraikan berikut ini:

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

Hal ini diketahui dari perumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja ”mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu ”saling mengikatkan diri”.


(35)

Dalam pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai kata ”persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut diatas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang di kehendaki oleh buku ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.

Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan diatas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka ”perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian (law of contract).

Dalam defenisi yang dikemukakan diatas, secara jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak. Pihak yang satu setuju dan pihak yang lainnya juga setuju untuk melaksanakan sesuatu, kendatipun pelaksanaan itu datang dari satu pihak.


(36)

Perjanjian yang dibuat itu dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dapat pula dalam bentuk tertulis berupa satu akta. Perjanjian yang dibuat secara tertulis (akta) biasanya untuk kepentingan pembuktian.

Apabila diperhatikan perumusan perjanjian tersebut diatas tadi, dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian tersebut seperti berikut ini :

1. Ada pihak-pihak, sedikit-dikitnya dua orang. 2. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu. 3. Ada tujuan yang akan dicapai.

4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.

6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian

Perjanjian dapat dianggap sah apabila perjanjian tersebut memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat sah perjanjian adalah:

1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (consensus).

Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dengan demikian persetujuan disini sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan. Meskipun demikian sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negotiation), yaitu pihak-pihak yang satu


(37)

memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syaratnya. Sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu, sehingga tercapailah ”persetujuan yang mantap”. Kadang-kadang secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki pihak lain itu. Persetujuan itu harus bebas, tidak ada paksaan. Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya yang bersifat menakut nakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian itu (Pasal 1324 KUH Perdata).

Dikatakan tidak ada kehilafan atau kekeliruan atau kesesatan, apabila salah satu pihak tidak hilaf tentang hal yang pokok yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak hilaf mengenai hal itu ia tidak akan menyetujuinya.

Yang terakhir ialah tidak ada penipuan. Dikatakan tidak ada penipuan, apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti undang-undang (Pasal 1378 KUH Perdata). Dikatakan menipu menurut pengertian undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui (Pasal 1328 KUH Perdata). Menurut yurisprudensi, tidak cukup dikatakan ada penipuan, apabila hanya berupa kebohongan belaka mengenai suatu hal. Baru ada penipuan kalau disitu ada tipu muslihat yang meperdayakan.

Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena paksaan, kehilafan, penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada


(38)

hakim (voidable). Menurut ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun; dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kehilafan dan penipuan itu.

2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).

Pada umumnya orang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai usia 21 tahun atau sudah kawin walaupun usianya belum 21 tahun. Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampunan, dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi istri ada izin suaminya. Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin suaminya. Perbuatan hukum yang dilakukan isteri itu sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan kepada hakim.

Selain kecakapan, ada lagi yang disebut kewenangan melakukan perbuatan hukum, kewenangan membuat perjanjian. Dikatakan ada kewenangan, apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dalam hal ini membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan, apabila tidak mendapat kuasa untuk itu.

Akibat hukum ketidakcakapan atau ketidakwenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (voidable). Jika pembatalan itu tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.


(39)

3. Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter).

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan obyek perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (void, nietig).

4. Ada suatu sebab yang halal (legal cause).16

Kata ”causa” berasal dari bahasa Latin yang artinya ”sebab”. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti ”isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang ialah ”isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan

16


(40)

ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.Menurut undang-undang, causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata). Perjanjian yang berisi causa atau sebab yang halal diperbolehkan, sebaliknya perjanjian yang berisi causa atau sebab yang tidak halal, tidak diperbolehkan.

Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum (void, nietig). Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 KUH Perdata).

Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian antara pengangkutan dengan suatu pihak kedua (penumpang/pemilik barang/pengirim barang/penerima barang). Dalam perjanjian ini pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut orang/barang ke suatu tempat dengan selamat, dan pengangkut akan memperoleh imbalan dari pihak kedua berupa upah pengangkutan. Sifat dasar dari perjanjian pengangkutan merupakanperjanjian campuran (jasa dan pemborongan), timbal-balik (para pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan dan berhak memperoleh prestasi) dan konsensual (perjanjian pengangkutan sah terjadinya kesepakatan).

Perjanjian Pengangkutan dikenal juga sebagai Contract of Carriage yang secara umum didefinisikan sebagai berikut:

“Contract between a carrier of goods or passengers and the consignor, consignee or passenger.”


(41)

Dalam Black Law Dictonary, terdapat juga istilah “Contract Carrier” yang didefinisikan sebagai berikut:

“A carrier which furnished transportation service to meet the needs of shipper.”

Hal ini berbeda juga dengan istilah Contract of Affreigment yang dalam Black Law Dictionary lebih diartikan sebagai kontrak penyewaan kapal. Dalam Pasal 1 huruf b Hagues rules, penggunaan istilah contract of carriage diartikan dalam kondisi sebagai berikut:

“"Contract of carriage" applies only to contracts of carriage covered by a bill of lading or any similar document of title, in so far as such document relates to the carriage of goods by sea, including any bill of lading or any similar document as aforesaid issued under or pursuant to a charter party from the moment at which such bill of lading or similar document of title regulates the relations between a carrier and a holder of the same.”

Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pengangkutan laut, antara lain: 1. Pengangkut.

2. Pengusaha kapal.

3. Pengangkut yang bukan pengusaha kapal. 4. Pihak yang mencarterkan (vervrachter). 5. Pihak Pencarter (bevrachter).

Cara-cara memperoleh kapal dalam mendukung terlaksananya pengangkutan melalui laut, adalah sebagai berikut:

1. Jual Beli

2. Sewa-Menyewa 3. Pinjam-Meminjam


(42)

4. Sewa-Beli 5. Leasing 6. Carter

7. Hibah dan Waris

8. Bare Boat Charter

Dalam perjanjian pengangkutan barang di laut terlebih dahulu ada perjanjian perdagangan antara kedua negara. Dalam hal pengangkutan barang di laut yang lebih ditekankan mengenai kesepakatan mengenai tarif bea masuk. Tarif bea masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah negara lain atau beberapa negara lain, misalnya: bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tariff untuk Asean Free Trade Area (Cept for AFTA). Dengan memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The Word Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum ditetapkan setinggi-tingginya 40% termasuk bea masuk tambahan.

Ada 2 (dua) hal yang penting dalam proses terjadinya penyelenggaraan pengangkutan melalui laut sehingga dapat menciptakan perjanjian pengangkutan melalui laut, yaitu:

1. Penawaran dari pihak pengangkut

Pengangkut merupakan pengusaha pengangkutan yang memiliki dan menjalankan perusahaan pengangkut yang berbentuk perusahaan persekutuan badan hukum. Cara terjadi perjanjian pengangkutan dapat secara langsung antara pihak-pihak atau secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara (ekspeditur, biro perjalanan). Apabila pembuatan perjanjian pengangkutan dilakukan secara langsung, maka penawaran pihak pengangkut


(43)

dilakukan dengan menghubungi langsung pihak pengirim atau penumpang, atau melalui media massa. Ini berarti pengangkut mencari sendiri muatan atau penumpang untuk diangkut. Pada pengangkutan laut, kapal laut menyinggahi pelabuhan-pelabuhan untuk memuat barang atau penumpang. Jika penawaran pihak pengangkut dilakukan melalui media massa, pengangkut hanya menunggu permintaan dari pengirim atau penumpang. Pada pengangkutan laut, pengangkut mengumumkan atau mengiklankan kedatangan dan keberangkatan kapal laut, sehingga pengirim atau penumpang dapat memesan untuk kepentingan pengirim atau keberangkatannya.

2. Penawaran dari pihak pengirim, penumpang

Apabila pembuatan perjanjian pengangkutan dilakukan secara langsung, maka penawaran pihak pengirim atau penumpang dilakukan dengan menghubungi langsung pihak pengangkut. Ini berarti pengirim atau penumpang mencari sendiri pengangkut untuknya. Hal ini terjadi setelah pengirim atau penumpang mendengar atau membaca mengumuman dari pengangkut.

Jika penawaran dilakukan melalui perantara (ekspeditur, biro perjalanan), maka perantara menghubungi pengangkut atas nama pengirim atau penumpang. Pengirim menyerahkan barang kepada perantara (ekspeditur) untuk diangkut.

Mengenai kapan perjanjian pengangkutan itu terjadi dan mengikat pihak-pihak, sebagian ada ditentukan dalam undang-undang dan sebagian lagi tidak ada. Dalam hal tidak ada ketentuan, maka kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan diikuti.

Dalam KUHD terdapat ketentuan yang mengatur saat terjadi persetujuan kehendak, baik mengenai pengangkutan barang maupun penumpang. Menurut


(44)

ketentuan Pasal 504 KUHD pengirim yang telah menyerahkan barang kepada pengangkut di kapal menerima surat tanda terima (mate's receipt) yang merupakan bukti bahwa barangnya telah dimuat dalam kapal. Jika pengirim menghendaki konosemen, ia dapat menukarkan surat tanda terima itu dengan konosemen yang diterbitkan oleh pengangkut.

Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa penerbit surat tanda terima adalah suatu keharusan, akan tetapi penerbitan konosemen bukan suatu keharusan. Surat tanda terima membuktikan bahwa barang sudah diterima dan dimuat dalam kapal sesuai dengan penyerahan dari pengirim.

Dengan demikian, perjanjian pengangkutan laut terjadi dan mengikat pihak-pihak "sejak surat tanda terima barang ditandatangani" oleh pengangkut atau orang atas nama pengangkut. Dalam surat tanda terima itu dicantumkan tanda tangan pengangkut dan tanggal penerimaan jika diterbitkan konosemen, tanggal penerimaan sama dengan tanggal surat itu.

Dokumen pengangkutan terdiri dari surat muatan. Dalam Pasal 90 KUHD dinyatakan bahwa surat muatan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dengan pengangkut, ditandatangani oleh pengirim atau ekspeditur. Memperhatikan ketentuan Pasal 90 KUHD, maka dapat dinyatakan bahwa surat muatan dibuat oleh pengirim atau ekspeditur atas nama pengirim, dan baru berfungsi sebagai surat perjanjian (bukti ada perjanjian) jika pengangkut menandatangani juga surat muatan tersebut dan dalam Pasal 506 KUHD dinyatakan bahwa konosemen adalah surat bertanggal dalam mana pengangkut menerangkan bahwa ia telah menerima barang tertentu untuk diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan di sana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk (penerima) disertai dengan janji-janji apa penyerahan akan terjadi. Konosemen atau Bill of Lading (B/L) juga diartikan


(45)

sebagai suatu dokumen pengangkutan melalui laut yang sangat luas dipakai dalam perdagangan internasional

Berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUHD konosemen diterbitkan oleh pengangkut atas permintaan pengirim. Tetapi menurut ketentuan Pasal 505 KUHD, nakhoda dibolehkan menerbitkan konosemen apabila ada barang yang harus diterima untuk diangkut, sedangkan pengangkut atau perwakilan tidak ada di tempat itu.

Dalam Hamburg Rules, konosemen atau Bill of Lading (B/L) didefinisikan sebagai berikut:

“Bill of lading means a document which evidences a contract of carriage by sea and the taking over or loading of the goods againts surrender document. A provision in the document that the goods are to be delivered to the order of a named person, or, to order, or to bearer, constitutes such an undertaking”. Konosemen atau Bill of Lading (B/L) yang merupakan dokumen yang digunakan dalam perdagangan internasional tidak terlepas dari pengaruh hukum internasional, antara lain Hague Rules dan Hague Visby Rules serta Hamburgh Rules terutama yang menginggung masalah tanggung jawab pengangkut sering dijadikan dasar dari klausula-klausula B/L.

Namun perlu dicatat bahwa sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi konvensi-konvensi tersebut di atas. Adapun mengenai yurisdiksi yang digunakan dalam hal terjadi sengketa adalah jurisdiksi negara dimana B/L tersebut dikeluarkan. dalam Hamburgh Rules lebih luas dibandingkan dengan Hague/Hague Visby Rules.

Seperti diketahui konosemen memiliki tiga fungsi pokok, yaitu: 1. Merupakan bukti penerimaan barang (document of receipt),

2. Merupakan bukti adanya perjanjian pengangkutan (evidence of contract carriage),


(46)

3. Merupakan dokumen yang dapat diperdagangkan (document of title and negotiable instrument).

Konosemen semakin mempunyai arti penting dalam dunia perusahaan pengangkutan laut dan perdagangan sebab fungsi konosemen semakin berkembang, yakni:

1. Pelindung barang yang diangkut dengan kapal yang bersangkutan.

Konosemen merupakan persetujuan yang mengikat pengangkut, pengirim dan penerima, sehingga barang dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab pengangkut.

2. Surat bukti tanda terima barang di atas kapal.

Dengan adanya konosemen pengangkut atau agen atau nakhoda mengakui bahwa ia telah menerima barang dari pengirim untuk diangkut dengan kapal yang bersangkutan;

3. Tanda bukti atas barang.

Dengan memiliki konosemen berarti sekaligus memiliki barang yang tersebut didalamnya. Setiap pemegang konosemen berhak menuntut penyerahan barang yang tersebut didalamnya. Di kapal mana barang itu berada (Pasal 510 KUHD). Penyerahan konosemen sebelum barang yang tersebut didalamnya diserahkan oleh pengangkut, dianggap sebagai penyerahan barang tersebut (Pasal 517 a KUHD);

4. Kuitansi pembayaran biaya pengangkutan.

Dalam konosemen dinyatakan bahwa biaya pengangkutan diserahkan lebih dahulu di pelabuhan pemuatan (freight prepaid) oleh pengirim atau dibayar kemudian di pelabuhan tujuan (freight to collected) oleh penerima;


(47)

Konosemen adalah bukti perjanjian pengangkutan yang memuat syarat-syarat pengangkutan.

Dalam KUHD tidak ada pasal khusus yang secara rinci isi yang perlu dimuat dalam konosemen, tetapi dari beberapa pasal yang mengatur perihal konosemen dan contoh konosemen yang diterbitkan oleh perusahaan pelayaran, isi yang perlu dimuat dalam konosemen dapat dirinci sebagai berikut:

1. Nama dan tanggal pembuatan konosemen;

2. Nama dan alamat pengangkut (perusahaan pelayaran); 3. Nama dan alamat pengirim;

4. Nama dan alamat penerima;

5. Nama dan pengangkut sebelumnya;

6. Tempat penerimaan oleh pengangkut sebelumnya; 7. Nama kapal yang mengangkut

8. Nama pelabuhan pemuatan; 9. Nama pelabuhan pembongkaran;

10. Tempat penyerahan oleh pengangkut terusan; 11. Jenis barang, merek, jumlah, ukuran berat; 12. Jumlah biaya pengangkutan dan biaya-biaya lain;

13. Tempat pembayaran biaya pengangkutan dan biaya-biaya lain; 14. Syarat-syarat penyerahan (klausula-klausula perjanjian); 15. Jumlah konosemen asli yang diterbitkan;

16. Tanda tangan pengangkut.


(48)

1) Konosemen atas nama (op naam), nama penerima dicantumkan dengan jelas dalam konosemen. Konosemen ini diperalihkan (diserahkan) kepada pihak lain dengan caracesse.

2) Konosemen atas pengganti (aan toonder), nama penerima dicantumkan dengan jelas diikuti oleh "atau pengganti" dalam konosemen. Konosemen ini diperoleh (diserahkan) kepada pihak lain dengan cara endosemen (Pasal 506 ayat 3 KUHD).

3) Konosemen atas tunjuk (aan toonder), nama penerima tidak dicantumkan dalam konosemen, tetapi dicantumkan "atau pembawa" atau "yang menunjukkan". Konosemen ini diperalihkan (diserahkan) kepada pihak lain dengan cara dari tangan ke tangan.

Yang paling banyak digunakan dalam praktek pengangkutan laut di Indonesia adalah konosemen atas (op naam).

Dengan adanya perjanjian pengangkutan barang melalui kapal laut akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, seperti telah diketahui para pihak di dalam perjanjian pengangkutan itu ialah pihak pengangkut dan pihak pemakai jasa.

Dalam menyelenggarakan pengangkutan harus memperhatikan azas-azas hukum pengangkutan, yang dalam hal ini terdiri dari dua macam azas, yaitu: 1. Azas yang bersifat publik, yaitu:

a) Azas manfaat

Yang dimaksud dengan azas manfaat adalah pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan


(49)

pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara.

b) Azas usaha bersama dan kekeluargaan

Yang dimaksud dengan azas usaha bersama adalah penyelenggaraan pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.

c) Azas adil dan merata

Yang dimaksud dengan azas adil dan merata adalah penyelengaraan pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat tanpa membedakan suku, agama, keturunan, serta tingkat ekonomi.

d) Azas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan

Yang dimaksud dengan azas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara sarana serta prasarana, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasioanl dan internasional.

e) Azas kepentingan umum

Yang dimaksud dengan azas kepentingan umum adalah penyelenggaraan pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas atau kepentingan umum.


(50)

Yang dimaksud dengan azas keterpaduan adalah pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran merupakan kesatuan bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antarmoda transportasi.

g) Azas kesadaran hukum atau tegaknya hukum

Yang dimaksud dengan azas kesadaran hukum atau tegaknya hukum penyelenggaraan pengangkutan laut sebagai bagian dari dari dilaksanakan dengan mengikuti peraturan dan ketentuan hukum (undang-undang) yang berlaku dengan penuh kesadaran, guna menegakkan dan menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia.

h) Azas percaya pada diri sendiri atau kemandirian

Yang dimaksud dengan azas percaya diri sendiri kemandirian adalah pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran harus bersendikan kepada kepribadian bangsa, berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, mengutamakan kepentingan nasional dan memperhatikan pangsa muatan yang wajar dalam angkutan di perairan baik dari dan luar negeri.

i) Azas keselamatan penumpang

Yang dimaksud dengan azas keselamatan penumpang adalah pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran harus diselenggarakan dengan memperhatikan keselamatan penumpang.

j) Azas berwawasan lingkungan hidup

Yang dimaksud dengan azas berwawasan lingkungan hidup adalah pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran harus dilakukan berdasarkan wawasan lingkungan hidup.


(51)

k) Azas kedaulatan negara

Yang dimaksud dengan azas kedaulatan negara adalah penyelenggaraan pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran harus dapat menjaga keutuhan wilayah negara Republik Indonesia.

l) Azas kebangsaan

Yang dimaksud dengan azas kebangsaan adalah penyelenggaraan pengangkutan laut sebagai bagian dari pelayaran harus dapat mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Azas yang bersifat perdata, yaitu: a) Azas konsensual

b) Azas koordinatif c) Azas campuran

d) Azas pembuktian dengan dokumen

Berdasarkan pada asas-asas yang ada dalam hukum pengangkutan, maka ada hubungan timbal balik antara pengangkut dan pengirim, yaitu hubungan hak dan kewajiban. Dan sebagai pihak perantara sampainya barang kepada penerima, maka pengangkut memiliki tanggung jawab tertentu terhadap sesuatu (barang atau orang) yang dipercayakan kepadanya oleh pengirim untuk disampaikan kepada penerima.

Kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan adalah kebiasaan yang berderajat hukum keperdataan. Undang-undang menganut asas bahwa penundaan keberangkatan harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Kebiasaan menentukan bahwa waktu keberangkatan sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Jadi apabila terjadi keterlambatan sedangkan barang dalam keadaan selamat


(52)

tidak rusak atau hilang, maka merupakan kebiasaan dalam pengangkutan laut dan tidak ada ganti kerugian (denda), kecuali apabila barang muatan tersebut rusak atau hilang.

Baik pihak pengangkut maupun pihak pemakai jasa, kedua belah pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan prestasi. Dan para pihak ini saling mempunyai hak untuk melakukan penuntutan. Apabila salah satu pihak tidak melakukan prestasi sesuai dengan hal apa yang menjadi isi perjanjian, maka perjanjian itu dapat diancam dengan pembatalan. Pengaturan kewajiban dan hak pihak-pihak dalam pengangkutan laut terdapat dalam Bab V A Buku II KUHD untuk barang dan Bab V B Buku II KUHD untuk penumpang. Kedua bab ini berlaku sebagai lex specialis pengangkutan laut, sedangkan Bab I sampai dengan Bab IV Buku III KUH Perdata berlaku sebagai lex generalis.

Kewajiban-kewajiban pengangkut pada umumnya antara lain adalah:

1. Mengangkut penumpang atau barang-barang ke tempat tujuan yang telah ditentukan.

2. Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan sebaik-baiknya.

3. Memberi tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi. 4. Menjamin pengangkutan tepat pada waktunya.

5. Mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Dalam perjanjian pengangkutan laut, kewajiban pokok pengangkut adalah sebagai berikut:

1. Menyelenggarakan pengangkutan barang dari pelabuhan pemuatan sampai di pelabuhan tujuan dengan selamat;


(53)

3. Menyerahkan barang yang diangkut kepada penerima dengan sebaik-baiknya dalam keadaan lengkap, utuh, tidak rusak atau tidak terlambat.

Kemudian adapun kewajiban pengangkut secara khusus yang diatur dalam KUHD ialah:

1. Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya. Pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak menyerahkan seluruh atau sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali bila Ia membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang itu seluruhnya atau sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim. Ia bertanggung jawab atas tindakan orang yang dipekerjakannya, dan terhadap benda yang digunakannya dalam pengangkutan itu. (Pasal 468 KUHD)

2. Persyaratan untuk membatasi tanggung jawab pengangkut dalam hal apa pun tidak membebaskannya untuk membuktikan, bahwa untuk pemeliharaan, perlengkapan atau pemberian awak untuk alat pengangkutan yang diperjanjikan telah cukup diusahakan, bila ternyata, bahwa kerugian itu adalah akibat dari cacat alat pengangkutannya atau tatanannya. Dari hal ini tidak dapat diadakan penyimpangan dengan perjanjian. (Pasal 470a KUHD)

3. Bila kapal karena keadaan setempat tidak mencapai atau tidak dapat mencapai tempat tujuannya dalam waktu yang layak, pengangkut wajib berusaha atas biayanya mengantarkan barang-barang ke tempat tujuannya dengan tongkang atau dengan jalan lain. (Pasal 480 KUHD)


(54)

Kewajiban pengangkut ini diimbangi dengan hak atas biaya pengangkutan yang diterima dari pengirim atau penerima. Apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan seluruh atau sebagian atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab mengganti kerugian apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkan seluruh, sebagian atau rusaknya barang itu karena :

1. Suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadi; 2. Sifat, keadaan atau cacat barang itu sendiri;

3. Kesalahan atau kelalaian pengirim sendiri (Pasal 468 ayat 2 KUHD)

Pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap pencurian dan kehilangan emas, perak, permata dan barang berharga lainnya, uang dan surat berharga serta kerusakan barang berharga yang mudah rusak, apabila sifat dan harga barang-barang tersebut diberitahukan kepadanya sebelum atau pada saat penerimaan (Pasal 469 KUHD) dan berdasarkan Pasal 491 KUHD, penerima wajib membayar biaya pengangkutan kepada pengangkut setelah penyerahan barang dilakukan di tempat tujuan. Tetapi kebiasaan yang berlaku dan diikuti adalah apabila pengirim menyerahkan barang kepada pengangkut, ia harus membayar biaya pengangkutan lebih dahulu, kemudian baru diperhitungkan dengan penerima, karena pengangkut tidak mempunyai hak retensi bila penerima tidak membayar biaya pengangkutan setelah barang diserahkan kepadanya.

Selanjutnya hak yang dimiliki oleh pengangkut dalam pengangkutan laut menurut KUHD, antara lain:


(1)

pengangkutan yang telah disepakati. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan akibat pengoperasian kapal, berupa:

a) kematian atau lukanya penumpang yang diangkut, b) musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut,

c) keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut, d) kerugian pihak ketiga”

Bila tidak ada pembatasan tanggung jawab pengangkut, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang.

C. Pemberian Ganti Rugi Oleh Pengangkut Terhadap Penumpang Dan

Pengirim Barang Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008

Tentang Pelayaran.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pemberian ganti rugi yang dilakukan oleh pengangkut terhadap penumpang dan pengirim barang dalam pengangkutan laut tidak diatur secara khusus. Akan tetapi pengaturrannya digabung bersama penerapan tanggung jawab pengangkut, atau seperti yang terdapat pada Pasal 41 ayat 1 dan 2 berikut:

Ayat (1), Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan akibat pengoperasian kapal, berupa:

a) kematian atau lukanya penumpang yang diangkut, b) musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut,

c) keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut, d) kerugian pihak ketiga


(2)

Ayat (2), Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf b, c, dan d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya tanggung jawabnya.

Ayat (3), Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap keselamatan dan kenyamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya serta melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah penulis menguraikan pada bab-bab sebelumnya yang menjadi materi penulisan skripsi ini, maka pada bab ini yaitu bab terakhir penulis akan membuat kesimpulan. Kesimpulan dari bab-bab sebelumnya, dan pada bab ini juga penulis akan mengemukakan beberapa saran yang nantinya penulis mengharapkan agar saran-saran ini dapat berguna bagi kita semua.

A. Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Proses terjadinya penyelenggaraan pengangkutan melalui laut dilakukan

dengan adanya perjanjian pengangkutan yang menunjuk pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim atau penumpang secara timbal-balik yang tidak ada pengaturannya secara khusus dalam undang-undang, melainkan ada dalam kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan.

2. Prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut KUHD, terdapat 3 (tiga) prinsip tanggung jawab yaitu:

a) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (Pasal 468 ayat 2).

b) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga Bersalah (Pasal 468 ayat 2). c) Prinsip Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Pasal 474 sampai 476). Kemudian prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut The Hague Rule, antara lain:

a) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (Pasal 2). b) Prinsip Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Pasal 4 bis).


(4)

Sedangkan prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut The Hamburg Rules, diantaranya:

a) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (Pasal 5). b) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Pasal 5 ayat 1).

c) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga Tidak Bersalah (Pasal 5 ayat 1).

d) Prinsip Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut. e) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga Bersalah.

3. Prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut menurut Undnag-Undang Nomor 17 Tahun 2008, juga dikenali adanya 3 (tiga) prinsip tanggung jawab yaitu:

a) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (Pasal 40 ayat 1 dan Pasal 41 ayat 1)

b) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga Bersalah (Pasal 41 ayat 2) c) Prinsip Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Pasal 40 ayat 2 dan

Pasal 41 ayat 2)

B. Saran-Saran

1. Diperlukan adanya perbaikan atau revisi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, karena ada beberapa hal yang penting tidak diatur secara khusus di dalamnya seperti hal mengenai pemberian ganti rugi oleh pengangkut terhadap penumpang dan pengirim barang.

2. Masih tetap diperlukan sosialisasi secara berkelanjutan dan menyeluruh terutama di daerah-daerah atau pula-pulau terpencil, agar masyarakat yang belum mengetahui atau mengerti tidak dibiarkan begitu saja.

3.

Diperlukan adanya pengawasan dari pemerintah terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini agar dapat berjalan sebagaimana mestinya, guna menjamin kepastian


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abdurrahman, 1982, Ensiklopedia: Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, Djambatan, Jakarta.

C.S.T. Kansil, 1985, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Baru, Jakarta.

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Frista, Artmanda W, 2004, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, Bandung .

Harahap, M. Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung. Hartini, Rahayu, 2007, Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui

Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta Pengangkutan Udara di Indonesia, UMM Press, Malang.

Kamaludin Rustian, 1986, Ekonomi Transportasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Padang. Lubis, M. Solly,1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung.

M.S, Amir., 1996, Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, PT. Pustaka Binaan Pressindo, Jakarta.

Muhammad , 1991, Abdul Kadir, Hukum Pengangkut Darat, laut dan Udara, Cipta Aditya Bahkti, Jakarta.

____________________,2008, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung. Purwosutjipto, H.M.N, 2000, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,

Penerbit Djambatan, Jakarta.

Sunggono Bambang, 2002, Penelitian Hukum : Suatu Pengantar, ,Raja Grafindo Persada, Jakarta .

Suryatin, 1983, Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Bandung. Sutiono Usman Adji, dkk, 1990, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka

Citra, Bandung.


(6)

Tjakranegara Soegijatna, 1995 ,Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Penerbit Rineka Cipta, Bandung.

Waluyo, Bambang ,1996 ,Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. W.J.S. Poerwadarminta, 2006 ,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta.

Wuisman , 1996 ,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting: M. Hisyam, FE UI, Jakarta.

B. Peraturan Undang-Undang dan Konvensi Internasional

UUD RI 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. GATS (General Agreement on Trade in Services) Tahun 1995. GATT (General Agreement on Tarif and Trade) Tahun 1947. The Hague Rules Tahun 1924.

The Hamburg Rules Tahun 1978.

C. Internet

2011.

D. Jurnal/ Makalah

Aiskha, 22 september 2010, “Pengertian, Fungsi Dan

KegunaanPengangkutan, disampaikan dalam perkuliahan pertama hukum pengangkutan dan transportasi hukum bisnis syariah” , UIN Malang.

Rahayu Hartini, 2007, “ Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta


Dokumen yang terkait

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

6 131 125

Sinkronisasi Antara Hukum Pajak Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

1 75 183

Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

3 77 140

Mediasi Di Pengadilan Pasca Keluarnya Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan

0 24 135

Tanggung Jawab pengangkut Dalam pengangkutan semen curah Melalui Laut Pada PT. Pelayaran Parnaraya Nusantara cabang Padang.

0 0 6

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT UNTUK MENYEDIAKAN KELAIKLAUTAN KAPAL YANG MENINGKAT STANDARNYA SESUAI DAERAH PELAYARAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN.

0 0 1

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENGANGKUT ATAS BARANG KIRIMAN APABILA KAPAL TENGGELAM AKIBAT BERTABRAKAN DENGAN KAPAL LAIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN DAN UNDANG-UNDAN.

0 1 1

IMPLIKASI HUKUM PENERAPAN ASAS CABOTAGE DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN TERHADAP OPERASI DAN PENGANGKUTAN DI SEKTOR MIGAS.

0 0 2

Pertanggungjawaban PT Pelayaran Sakti Inti Makmur atas barang kiriman yang rusak/hilang melalui pengangkutan laut ditinjau dari undang-undang nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 13