Tanggung Jawab Hukum Pihak Pengangkut Dalam Angkutan Barang Melalui Laut Dengan Menggunakan Container (Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

(1)

TANGGUNG JAWAB HUKUM PIHAK PENGANGKUT

DALAM ANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT DENGAN

MENGGUNAKAN

CONTAINER

(Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Juli Ranola S

NIM : 070200055

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TANGGUNG JAWAB HUKUM PIHAK PENGANGKUT

DALAM ANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT DENGAN

MENGGUNAKAN

CONTAINER

(Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Juli Ranola S

NIM : 070200055

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH.,M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Dr. H. Hasim Purba, SH.,M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing II

Aflah, SH.M.,Hum NIP. 197005192002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini

berjudul “Tanggung Jawab Hukum Pihak Pengangkut Dalam Angkutan

Barang Melalui Laut Dengan Menggunakan Container (Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I.


(4)

meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya

Universitas Sumatera Utara.

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada

terhingga kepada Ayahanda dan, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2013 Penulis

JULI RANOLA S NIM : 070200055


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iii

ABSTRAK ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metodologi Penulisan ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 7

G. Sistematika Penulisan. ... 7

BAB II. TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT ... 10

A. Perjanjian pada Umumnya ... 10

B. Pengertian Perjanjian Pengangkutan Secara Umum ... 29

C. Saat Terjadinya Perjanjian Pengangkutan Laut ... 34

D. Hak-Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan di Laut. ... 36

BAB III. PENGATURAN HUKUM MENGENAI ANGKUTAN BARANG DENGAN CONTAINER... 41


(6)

A. Pengertian Container dan Jenis Container ... 41

B. Aturan-Aturan Hukum Tentang Container ... 48

C. Dokumen-Dokumen Yang Dipergunakan Dalam Pengoperasional Container. ... 48

BAB IV. ASPEK HUKUM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG DENGAN MENGGUNAKAN CONTAINER. ... 51

A. Perjanjian Pengangkutan Yang Dilaksanakan... 51

B. Tanggungjawab Pihak Pengangkut Sebagai Penyelenggaraan Pengangkutan Barang Dengan Container ... 55

C. Jaminan Asuransi Dalam Pengangkutan Laut Dengan Container... 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA


(7)

TANGGUNG JAWAB HUKUM PIHAK PENGANGKUT DALAM ANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT DENGAN

MENGGUNAKAN CONTAINER (Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

Juli Ranola S*

Dr. Hasim Purba, SH.,M.Hum** Aflah, SH.,M.Hum***

ABSTRAK

Container adalah sebuah sarana tempat dimuatnya barang dari mulai tempat pengiriman hingga sampai ke tujuan. Penggunaan container dimaksudkan bagi pengamanan barang yang diangkut, sehingga kerusakan barang tersebut tidak akan terjadi, atau jika terjadi kerusakan maka tidak separah apabila tidak menggunakan container.Salah satu sisi yang menarik dari pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang di laut dengan menggunakan container ini adalah masalah tanggung jawab terhadap ganti rugi apabila terjadi keterlambatan atau kerusakan akibat pengiriman dengan menggunakan container tersebut. Baik itu permasalahan siapa pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut maupun juga kerusakan yang bagaimanakah yang dapat dipertanggung jawabkan.

Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana perjanjian pengangkutan yang dilaksanakan di PT. Sumatera Madya Jaya, bagaimana tanggungjawab pihak

pengangkut sebagai penyelenggaraan pengangkutan barang dengan container di

PT. Sumatera Madya Jaya dan bagaimana jaminan asuransi dalam pengangkutan laut dengan container di PT. Sumatera Madya Jaya.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bentuk perjanjian pengangkutan laut dengan container di Laut yang dilakukan oleh PT. Sumatera Madya Jaya adalah berdasarkan kebiasaan bukan secara tertulis. Kebiasaan dalam hal ini adalah kebiasaan yang dipakai dalam hal pelaksanaan perjanjian pengangkutan di laut yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kepatutan. Meskipun hubungan antara pihak diatur berdasarkan kebiasaan tetapi pada hakekatnya pelaksanaan perjanjian pengangkutan laut dengan container di laut juga dilakukan dengan bukti-bukti tertulis yaitu berupa surat muatan. Dimana dalam surat muatan ini memuat hal tentang tanggal, jenis barang yang diangkut, nama pengirim, nama penerima, nama pengangkut serta pelabuhan tujuan. Tanggung-jawab pengangkut jika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan adalah memberikan ganti rugi kepada pihak pihak pengirim atas kerugian yang dialami. Keadaan pemberian ganti rugi tersebut harus melalui suatu pembuktian bahwa benar kerugian tersebut disebabkan oleh PT. Sumatera Madya Jaya bukan atas

hal-hal seperti keadaan memaksa atau force majeur. Jaminan asuransi dalam

pengangkutan laut dengan container yang dilakukan PT. Sumatera Madya Jaya adalah berupa pengalihan pertanggung-jawaban dari pihak PT. Sumatera Madya Jaya dan juga pengirim kepada suatu perusahaan asuransi.

Kata Kunci: Tanggungjawab Hukum, Angkutan Barang, Container

*) Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.

**) Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU. ***) Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU


(8)

BAB I

P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang

Mengikuti perkembangan dari perekonomian yang moderen, adanya pengangkutan merupakan salah satu sarana yang cukup penting dalam menunjang pembangunan ekonomi, demikian juga halnya dengan pengangkutan di laut.

Sungguhpun pengangkutan laut berkembang dengan pesat namun dijumpai juga beberapa hambatan ataupun masalah yang kurang baik oleh perusahaan pengangkutan maupun para pengguna jasa pengangkutan itu sendiri. Hal ini timbul juga lebih banyak disebabkan oleh belum sempurnanya perundang-undangan yang mengatur mengenai pengangkutan ini, sehingga keadaan demikian menyebabkan tidak terdapatnya kepastian hukum bagi para pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan laut ini. Tetapi karena pengangkutan merupakan perjanjian dimana titik tolak hukum perjanjian adalah diatur dalam KUH Perdata yang berlaku di Indonesia, maka tidak terlepas dari peranan Buku III KUH Perdata tersebut.

Bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak yang membuatnya. Hal ini merupakan tuntutan kepastian hukum, sedang dilain pihak hukum itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Apabila karena kelalaian pihak yang wajib melakukan prestasi telah melakukan Wanprestasi ini mempunyai akibat hukum.

Tidak hanya wanprestasi, masalah resiko sering juga terjadi dalam suatu perjanjian. Persoalan resiko ini sering berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian.


(9)

Dalam bagian umum Buku III KUH Perdata ada suatu pasal yang mengatur resiko ini, yaitu Pasal 1237 yang berbunyi sebagai berikut :

“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggung jawab si berpiutang”.

Pelaksanaan perjanjian pengangkutan di dalam KUH Perdata dapat dihubungkan dengan Pasal 1601 b KUH Perdata yaitu tentang perjanjian berkala. Dikatakan perjanjian berkala karena perjanjian pengangkutan dilakukan sewaktu-waktu saja. Sedangkan apabila kita lihat di dalam KUH Dagang maka perjanjian pengangkutan ini dapat dilihat di dalam Pasal 468 ayat (1) KUH Dagang yang berbunyi “ Perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut, juga di dalam Pasal 346 KUH Dagang. Baik Pasal 1601 a KUH Perdata maupun pasal-pasal di dalam KUD Dagang mengandung prinsip bahwa perjanjian pengangkutan adalah perjanjian campuran.

Di satu sisi pada dasarnya pelaksanaan perjanjian pengangkutan baik di darat maupun di laut tidak dilakukan di atas suatu perjanjian secara tertulis. Pelaksanaan perjanjian pengangkutan dalam hukum kebiasaan didasarkan kepada dokumen-dokumen pengangkutan saja, yang di dalamnya menerangkan tujuan pengiriman, nama pengirim, nama pengangkut serta biaya pengangkutan. Berdasarkan hukum kebiasaan tersebut para pihak melakukan kewajiban-kewajibannya, sehingga apabila terjadi suatu sengketa di belakang hari maka yang diajukan sebagai bukti adalah dokumen-dokumen tersebut, sedangkan


(10)

hubungan antara pengirim dan pengangkut diikat dengan perjanjian.

Dengan keadaan demikian adalah sangat menarik untuk mengetahui secara lebih dekat lagi tentang pelaksanaan perjanjian dalam hukum pengangkutan di laut ini terutama perihal bagaimana sebenarnya perjanjian pengangkutan tersebut disepakati.

Perjanjian pada dasarnya dibuat dengan kesepakatan-kesepakatan para pihak terhadap maksud dan tujuan yang dinginkan oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan dasar bersifat terbukanya hukum perjanjian itu maka para pihak bebas untuk mengadakan klausula-klausula yang selama ini tidak ada diatur di dalam KUH Perdata bagi pengikatan perjanjian antara mereka.

Demikian juga halnya dalam hal perjanjian pengangkutan, khususnya

perjanjian pengangkutan di laut dengan menggunakan container. Container

adalah sebuah sarana tempat dimuatnya barang dari mulai tempat pengiriman

hingga sampai ke tujuan. Penggunaan container dimaksudkan bagi pengamanan

barang yang diangkut, sehingga kerusakan barang tersebut tidak akan terjadi, atau jika terjadi kerusakan maka tidak separah apabila tidak menggunakan

container.

Salah satu sisi yang menarik dari pelaksanaan perjanjian pengangkutan

barang di laut dengan menggunakan container ini adalah masalah tanggung

jawab terhadap ganti rugi apabila terjadi keterlambatan atau kerusakan akibat

pengiriman dengan menggunakan container tersebut. Baik itu permasalahan


(11)

kerusakan yang bagaimanakah yang dapat dipertanggung jawabkan.

B. Permasalahan

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

1. Bagaimana perjanjian pengangkutan yang dilaksanakan di PT. Sumatera Madya Jaya?

2. Bagaimana tanggungjawab pihak pengangkut sebagai penyelenggaraan

pengangkutan barang dengan container di PT. Sumatera Madya Jaya?

3. Bagaimana jaminan asuransi dalam pengangkutan laut dengan container di

PT. Sumatera Madya Jaya?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui perjanjian pengangkutan yang dilaksanakan di PT. Sumatera Madya Jaya.

2. Untuk mengetahui tanggungjawab pihak pengangkut sebagai

penyelenggaraan pengangkutan barang dengan container di PT. Sumatera

Madya Jaya.

3. Untuk mengetahui jaminan asuransi dalam pengangkutan laut dengan


(12)

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum

perdata dalam kaitannya dengan perjanjian pengangkutan barang melalui laut dengan menggunakan container.

b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil

manfaatnya terutama dalam hal mengetahui dari pelaksanaan pertanggungjawaban para pihak dalam perjanjian pengangkutan di laut

dengan menggunakan container.

E. Metodologi Penulisan

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau

ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.1

2. Sumber data

Sedangkan sifat penelitian pada skripsi bersifat deskriptif analisis.

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni

1

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2003. Hal. 32


(13)

seperti KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang

hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Hukum Pihak Pengangkut Dalam Angkutan Barang Melalui Laut Dengan


(14)

merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metodologi Penulisan, Keaslian Penulisan, serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Yuridis Mengenai Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang beberapa hal

yang berkaitan dengan judul sub bab yaitu: Perjanjian pada Umumnya, Pengertian Perjanjian Pengangkutan Secara Umum, Saat Terjadinya Perjanjian Pengangkutan Laut serta Hak-Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan di Laut.

Bab III. Pengaturan Hukum Mengenai Angkutan Barang dengan Container.


(15)

secara umum dibahas mengenai container yaitu: Pengertian

Container dan Jenis Container, Aturan-Aturan Hukum Tentang

Container serta Dokumen-Dokumen Yang Dipergunakan Dalam Pengoperasian Container.

Bab IV. Aspek Hukum Perjanjian Pengangkutan Barang Dengan

Menggunakan Container.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Perjanjian

Pengangkutan Yang Dilaksanakan, Tanggungjawab Pihak Pengangkut Sebagai penyelenggaraan Pengangkut Barang Dengan

Container serta Jaminan Asuransi Dalam Pengangkutan Laut Dengan Container.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana

akan diberikan kesimpulan dan saran.


(16)

BAB II

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT

Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian

Apabila kita membicarakan perjanjian, terlebih dahulu kita ketahui apa sebenarnya perjanjian itu dan dimana dasar hukumnya. Perjanjian yang penulis maksudkan adalah perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus.

Perkataan perikatan (Verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari

perkataan “perjanjian“, sebab dalam Buku III itu ada juga diatur perihal perhubungan-perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari

perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatigedaat) dan perihal

perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak

berdasarkan persetujuan (zaak waarning). Tetapi, sebagian besar dari

Buku III ditujukan kepada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian.2

Adapun yang dimaksudkan dengan perikatan oleh Buku III KUH Perdata itu adalah suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.3

2

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1992, hal. 101.

3


(17)

Perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus itu, mengatur tentang persetujuan-persetujuan tertentu yang disebut dengan

perjanjian bernama, artinya disebut bernama karena perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembuat undang-undang, dan di samping perjanjian bernama juga terdapat perjanjian yang tidak bernama, yang tidak diatur dalam undang-undang, misalnya perjanjian sewa beli dan lain sebagainya.

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan

hukum/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.4

Perikatan seperti yang dimaksudkan di atas, paling banyak dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian janji-janji. Dapat dikonstatir bahwa perkataan perjanjian sudah sangat populer di kalangan rakyat.5

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

Demikian pula Wirjono Prodjodikoro mengemukakan :

6

Menurut Pasal 1233 KUH Perdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena undang-undang, maupun karena adanya suatu perjanjian. Dengan demikian maka harus terlebih dahulu adanya suatu perjanjian atau

4

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 6.

5

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1999, hal. 12.

6

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1985, hal 7.


(18)

undang, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian dan undang-undang itu merupakan sumber suatu ikatan.

Dasar hukum dari persetujuan adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan sumber perikatan yang lahir karena undang-undang dapat dibagi dua pengertian yaitu undang-undang saja dan undang-undang yang diciptakan oleh individu-individu karena perbuatan mereka tidak ada diatur dalam undang-undang karena undang-undang saja misalnya kewajiban atau hak orang tua terhadap anak dan sebaliknya kewajiban anak terhadap orang tua apabila orang tua tidak berkemampuan. Undang-undang yang diciptakan oleh indiividu-individu disebabkan perbuatan mereka tidak ada diatur di dalam undang-undang positif hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja, dan selama undang-undang tersebut diperbolehkan oleh undang-undang-undang-undang dan tidak bertentangan dengan hukum.

Perihal hukum perjanjian sebagai termuat dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang perikatan, yang keseluruhannya terdiri atas delapan belas bab (bab I sampai dengan bab XVIII). Bab I sampai dengan IV mengatur tentang:

I. : Perikatan pada umumnya

II. : Perikatan yang lahir dari perjanjian III. : Perikatan yang lahir dari undang-undang


(19)

IV. : Mengatur tentang hapusnya perikatan.

Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang perjanjian-perjanjian khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian-perjanjian-perjanjian yang selalu terjadi dalam masyarakat, dan lazim disebut perjanjian bernama.

Kalau kita perhatikan dari hal perikatan dalam Buku III antara yang diatur pada Bab I sampai dengan Bab IV adalah mengatur tentang pokok-pokok perikatan, sedang kan bab V sampai dengan Bab XVIII memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari bahagian umum. Jadi bahagian umum dari Buku III tersebut pada dasarnya berlaku terhadap semua perjanjian, baik bernama maupun yang tidak bernama.

Misalnya : Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat-syarat sahnya perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang ada dalam Bab V sampai Bab XVIII.

Sistim dan azas yang terkandung dalam buku ke III, KUH Perdata adalah sistim terbuka, dan berbeda dengan sistim tertutup yang terkandung dalam Buku ke–II dimana para pihak tidak dapat menentukan lain selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Sistim terbuka berarti bahwa para pihak dapat menentukan lain pada yang lain telah ditentukan oleh

Undang-Undang. Jadi dengan kata lain bahwa Buku ke–III tersebut mengatur secara tersendiri, atau dapat juga disebut azas kebebasan berkontak dalam membuat perjanjian (Beginsel Der Contracts Vrijheid).7

Azas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi para

7


(20)

pihak leluasa untuk membuat perjanjian macam apa saja tidak melanggar isi undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Perkataan semua sebagai tertera didalam pasal 1338 KUH Perdata tersebut dapat pula kita anggap sebagai suatu pernyataan-pernyataan lainnya yang juga tertuju atau ditujukan kepada masyarakat.

Selain menganut azas kebebasan berkontrak seperti yang disebut di atas, juga pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap atau aanvullend recht yang mengandung arti bahwa pasal-pasal dalam hukum

perjanjian itu boleh masuk disingkatkan manakala dikehendaki oleh pihak yang membuat perjanjian. Mereka pada umumnya diperbolehkan membuat

perjanjian tersendiri atau ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. “Jadi undang-undang baru berarti bagi pihak-pihak yang saling mengadakan janji itu sendiri didalam perjanjian yang mereka buat.

“Maka diartikan disini bahwa mereka mengenai soal yang satu ini

akan tunduk kepada Undang-undang”.8

8

Ibid, hal. 105 – 106.

Dengan demikian melihat uraian singkat tersebut diatas nyatalah

berlainan dengan sistim tertutup, sebagaimana yang dianut dalam Buku ke- Dua KUH Perdata, dimana para pihak tidak menentukan lain, selain yang telah ditentukan dalam undang-undang.


(21)

Di samping sistim terbuka dari hukum perjanjian, juga mengandung suatu pengertian yang mungkin atau memungkinkan terciptanya perjanjian-perjanjian khusus yang telah diatur seperti yang kerap kali ditimbulkan dalam praktek sehari-hari ataupun karena kebiasaan.

Suatu hal sudah dianggap sah, dalam arti sudah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat apabila sudah tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari pada perjanjian itu, atau dengan kata lain bahwa perjanjian itu pada umumnya adalah konsensual. Penganggapan perjanjian sebagai demikian itu berkembang dari Hukum Perjanjian dalam KUH Perdata, yang mengandung pengertian bahwa pada azasnya perjanjian itu telah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat atau dengan kata lain perjanjian itu telah sah apabila telah tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok tidaklah diperlukan suatu formalitas.

Sepakat mengenai hal-hal yang pokok misalnya: Antara calon pembeli dan calon penjual telah tercapai sepakat mengenai barang-barang dan harganya. Maka dalam hal yang demikian itu dikatakan bahwa antara kedua belah pihak telah tercapai sepakat mengenai yang pokok, dan perjanjian jual beli itupun sudahlah dilahirkan dengan segala akibat hukumnya.9

Perihal tercantumnya azas konsensualitas dalam hukum perjanjian lazimnya disimpulkan bahwa Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang


(22)

mengikatkan dirinya.

Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana sudah kita lihat, ada

kekecualiannya, yaitu disana sini oleh undang-undang ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya untuk perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta Notaris Perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis dan lain sebagainya.

Perjanjian-perjanjian untuk itu, ditetapkan suatu formalitas atau bentuk cara tertentu sebagaimana sudah kita lihat, yang dinamakan perjanjian formal. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang, maka ia batal demi hukum.

2. Syarat-Syarat Suatu Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

c. Mengenai suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,

9


(23)

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Maksud dari adanya syarat-syarat subjektif adalah sebuah perjanjian yang dibuat tanpa dipenuhinya syarat-syarat subjektif, maka perjanjian tersebut secara langsung batal demi hukum karena tidak dipenuhinya syarat subjektif. Jadi tidak perlu adanya penuntutan dari salah satu pihak.

Sedangkan maksud adanya syarat-syarat objektif adalah syah atau batalnya perjanjian tersebut masih tetap diserahkan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian. Jadi perjanjian tidak batal dengan sendirinya tetapi dibatalkan.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, di penjual mengingini sesuatu barang si penjual .10

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena

penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan Persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Persetujuan itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

10


(24)

salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.11

Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu,

terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan tu terhadap unsur pokok dari barang – barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjiann itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada persetujuan dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa persetujuan yang telah diberikan itu adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaaan yang membuat persetujuan atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

11


(25)

dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama

namanya”.12

Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya.

Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya.

12


(26)

Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUH Perdata.

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata, Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan

kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena tipu muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada

gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua

untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan :

a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara

sah.

b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinayatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :


(27)

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan

c. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi

kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya.

Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.

Walau, demikian, melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan Surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu


(28)

sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu, mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konskwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat

dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan

membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyafi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Orang-orang yang dapat


(29)

berbuat itu harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah

pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang

diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 Ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu.

“Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat

dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.13

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab

13


(30)

yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu :

“Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu kedaan belaka. Selanjutnya beliau

mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu“.14

“Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang”.

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.

15

14

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur, Bandung, 2009, hal. 36.

15

Subekti, Op.Cit, hal. 20.

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu

perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.


(31)

Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat obyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

3. Pengertian Wanprestasi

Di dalam setiap pekerjaan timbal-balik selalu ada 2 (dua) macam subjek hukum, yang masing-masing subjek hukum tersebut mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal balik dalam melaksanakan perjanjian yang mereka perbuat.

Perjanjian asuransi merupakan suatu perjanjian bertimbal-balik, kedua subjek hukumnya, yaitu pihak tertanggung dan penanggung tentu mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal-balik sebagaimana diuraikan penulis terdahulu.

Di dalam suatu perjanjian, tidak terkecuali perjanjian asuransi ada kemungkinan salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama-sama.

Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, atau lebih jelas apa yang merupakan kewajiban menurut perjanjian yang mereka perbuat, maka dikatakan bahwa pihak tersebut wanprestasi, yang artinya tidak memenuhi prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan :

“Wanprestasi adalah berarti ketiadaan suatu prestasi dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi


(32)

dan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi”.16

“Apabila dalam suatu perikatan si debitur karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan debitur itu wanprestasi“.

Lebih tegas Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa :

17

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

Untuk menentukan apakah seorang (debitur) itu bersalah karena telah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seseorang itu dikatakan lalai atau alpa tidak memenuhi prestasi.

Subekti mengemukakan bahwa: Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam :

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana

diperjanjikan

c. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat

d. Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilaksanakannya.18

4. Pengertian Asuransi Laut

Berkaitan dengan judul skripsi ini, maka apa yang akan di uraikan dalam bahagian ini adalah penting artinya oleh karena dengan adanya asuransi maka ingatan orang akan tertuju kepada dua pihak yang tersangkut di dalamnya secara timbal balik. Justru itu pengertian asuransi ini penulis letakkan

16

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal 44.

17

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Penerbit Fak. Hukum USU, Medan, 1998, hal. 33.

18

Subekti, IV, Hukum Perjanjian, Cetakan XI, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 2010, hal 23.


(33)

pada bagian pertama dari bab dua ini. “Asuransi atau dalam bahasa Belanda “verzekering“ berarti pertanggungan”.19

Demikian juga dengan Abdulkadir Muhammad tampaknya ia kurang suka terhadap penggunaan kata-kata penjamin atau terjamin. Sebab menurut beliau istilah ini akan lebih tepat jika digunakan dalam Hukum Perjanjian Jaminan (garantie), borgtoch dan hoof delijkheid, yang diatur dalam KUH Perdata karena dengan demikian kita akan dapat membedakan antara istilah yang dipakai dalam KUH Dagang sebagai ketentuan khusus dari pertanggungan di lain pihak.

Dalam pertanggungan, ada dua pihak yang tersangkut di dalamnya yaitu tertanggung dan penanggung. Pihak yang satu sebagai penanggung, bersedia menangung kerugian yang akan terjadi akibat dari suatu peristiwa tertentu. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa kepada orang yang kerugiannya akan dipikul oleh penanggung tersebut ke atas pundaknya suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu pembayaran dengan jumlah uang kepada pihak penanggung apabila kerugian tersebut terjadi dalam batas waktu yang diperjanjikan.

Selanjutnya kita lihat pula pengertian yang telah dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 yang menyebutkan sebagai berikut :

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang

dipertanggungkan.

Selanjutnya pengertian yang diberikan oleh para sarjana tampaknya sejauh ini tidak ada perbedaan yang menyolok, seperti Wirjono Prodjodikoro ia memakai istilah asuransi untuk pertanggungan, penjamin untuk yang

menanggung, sedangkan terjamin untuk yang tertanggung.

20

Dari apa yang diuraikan di atas tampaklah beranekaragam peristilahan untuk pertanggungan ini, sehingga sangat diperlukan keseragaman dalam hal

19

Wirjono Prodjodikoro, III, Hukum Asuransi di Indonesia, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hal. 1.

20


(34)

penggunaan istilah untuk pertanggungan. Dalam uraian selanjutnya penulis akan memakai istilah pertanggungan untuk asuransi sedangkan istilah

penanggung dipakai untuk pihak yang menanggung orang yang berkepentingan dengan barang yang dipertanggungkan sebagai pihak tertanggung, serta untuk istilah persetujuan dipergunakan istilah perjanjian.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pengertian asuransi secara umum adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung

mengakibatkan dirinya terhadap seorang tertanggung dengan menerima sejumlah uang sebagai premi untuk memberikan penggantian padanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang akan diterimanya karena suatu peristiwa yang belum dapat dipastikan saat terjadinya.

Pengertian daripada asuransi laut tersebut berdasarkan Pasal 595 KUH dagang terdapat ketentuan bahwa pertanggungan dapat diadakan untuk segala bahaya laut. Namun tidak terdapat penjelasan, apakah artinya atau apa yang dimaksud dengan “bahaya laut”.

Dalam pada itu terdapat suatu pegangan dalam Pasal 637 KUH dagang untuk merumuskan bahaya laut, sebagaimana diputuskan oleh H.R. dalam arrestnya tertanggal 17 April 1862, itu bahwa Pasal 637 tidak mengandung/memuat suatu ketentuan asuransi laut, melainkan suatu petunjuk yang disebutkan dalam kata-kata yang sangat luas dan dan hanya dengan contoh.21

Pengertian Perjanjian Pengangkutan Secara Umum

Sebagaimana iuraikan pada bagian terdahulu di atas, bahwa siapapun menanggung risiko dan risiko ini sangat luas artinya, maka dapat disimpulkan bahwa mengenai asuransi lautpun dapat diasuransikan risiko apa saja, yang dirasakan oleh yang berkepentingan.

Sebagaimana dikatakan, bahwa Buku III KUH Perdata mengatur berbagai bentuk daripada perjanjian, dimana perjanjian-perjanjian tersebut memiliki nama-nama tertentu seperti misalnya perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa dan sebagainya.

Berhubung karena adanya kebebasan untuk mengadakan perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 1337 KUH Perdata, maka dalam prakteknya banyak terdapat perjanjian yang tidak dapat digolongkan ke dalam satu nama perjanjian secara utuh dalam Buku III KUH Perdata itu. Dan salah satu nama perjanjian yang terdapat di luar Buku III KUH Perdata adalah Perjanjian Pengangkutan barang di Jalan Raya.


(35)

1. Pengangkutan udara

Pengangkutan udara adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di udara.

Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan menjelaskan Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.

Pasal 1 butir 14 sampai dengan 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan menjelaskan berbagai jenis angkutan udara yang meliputi:

1. Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

2. Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.

3. Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

21

Sution Usman Adji, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 402.


(36)

4. Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya.

5. Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.

2. Pengangkutan Laut

Pengangkutan laut yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk penangngkutan orang atau barang yang dijalankan di laut.

Yang diatur di dalam :

a. KUHD, Buku II, Bab V, tentang “Perjanjian Carter kapal”.

b. KUHD, Buku II, Bab V-A, tentang “Pengangkutan barang-barang”.

Pengangkutan barang-barang ini adalah merupakan suatu bentuk pengangkutan dengan objek yang diangkut berupa barang-barang. Muatan barang lazim disebut dengan barang saja. Barang yang dimaksud adalah yang sah menurut undang-undang. Dalam pengertian barang termasuk juga hewan.

c. KUHD, Buku II, Bab V-B, tentang “Pengangkutan orang”.


(37)

angkutan laut merupakan angkutan di perairan. Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, menjelaskan angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.

3. Pengangkutan Darat yaitu :

Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang di jalan selain daripada kendaraan yang berjalan di atas rel.

Yang dapat dibagi :

a. Pengangkutan kereta api yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan

tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di atas rel.

Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian dijelaskan Angkutan kereta api adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api.

b. Pengangkutan jalan raya yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan

tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di setiap jalan dalam bentuk apapun yang terbuka untuk lalu lintas umum.

Undang-Undang yang mengatur tentang pengangkutan di jalan raya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan


(38)

Jalan.

4. Pengangkutan Perairan darat atau perairan pedalaman

Yaitu kendaraan yang biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di atas perairan seperti sungai, danau ataupun terusan-terusan. Yang diatur di dalam :

a. KUHD, Buku II, Bab XIII, pasal 748 sampai dengan 754, mengenai

kapal-kapal yang melalui perairan darat.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di

Perairan.

Untuk memberikan pengertian (definisi) yang lengkap dan sempurna tentang istilah perjanjian pengangkutan itu adalah suatu hal yang sangat sulit, sebab undang-undang sendiripun tidak mengaturnya secara tersendiri. Tetapi guna mempermudah pembahasan dalam tulisan ini, maka pengertian perjanjian pengangkutan itu akan penulis uraikan menurut pendapat beberapa sarjana.

Menurut Subekti, bahwa perjanjian pengangkutan adalah ;

“Suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barng dari suatu tempat ke tempat lain, sedangkan pihak

lainnya menyanggupi akan membayar ongkos”.22

Sebuah perjanjian timbal balik, pada mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau/dan orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim sebagai penerima, pengirim atau penerima, penumpang)

Menurut R. Soekardono, bahwa perjanjian pengangkutan itu adalah :

22


(39)

berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan itu.23

“Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan / atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pihak pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”.

Selanjutnya menurut H.M.N. Purwosutjipto, berpendapat bahwa :

24

Saat Terjadinya Perjanjian Pengangkutan Laut

Berdasarkan pendapat-pendapat sarjana di atas, dapat diketahui bahwa perjanjian pengangkutan barang adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, dan sebaliknya pihak pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan (ongkos), sebagaimana yang diperjanjikan.

Sebelum kita lebih lanjut membahas masalah judul sub bab di atas ada baiknya terlebih dahulu kita mengerti apa yang dimaksud dengan kata pengangkut.

Menurut KUH Dagang dalam Pasal 466 menentukan bahwa pengangkut dalam arti menurut titel ini adalah orang yang baik karena penggunan penyediaan kapal menurut perjalanan, maupun karena perjanjian lainnya, mengikat diri untuk melaksanakan pengangkutan barang-barang seluruhnya atau sebagian menyeberang laut.

Sedangkan pengertian pengangkut menurut The Haque Rules artikel I

maka dapatlah diartikan bahwa yang disebut sebagai pengangkut adalah

termasuk pemilik kapal atau pihak penyedia kapal dalam hal kapal dicharter

yang telah mengadakan perjanjian.25

Dalam KUH Dagang ada ketentuan yang mengatur saat terjadi persetujuan kehendak, baik mengenai pengangkutan barang maupun penumpang. Menurut ketentuan Pasal 504 KUH Dagang, pengirim yang telah

23

R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia (Hukum Pegangkutan di Darat), Penerbit Soeroeng, Jakarta, 1982, hal 10.

24

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998, hal 2.

25

Wiwoho Soedjono, Hukum Perkapalan dan Pengangkutan Laut, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hal 124.


(40)

menyerahkan barang kepada pengangkut di kapal menerima surat tanda terima (mate’s receipt) yang merupakan bukti bahwa barangnya telah dimuat dalam kapal. Jika pengirim menghendaki konosemen, ia dapat menukarkan surat tanda terima itu dengan konosemen yang diterbitkan oleh pengangkut.

Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa penerbitan surat tanda terima adalah suatu keharusan. Tetapi penerbitan konosemen bukan suatu keharusan. Surat tanda terima membuktikan bahwa barang sudah diterima dan dimuat dalam kapal sesuai dengan penyerahan dari pengirim. Dengan demikian, perjanjian pengangkutan laut terjadi dan mengikat pihak-pihak sejak surat tanda terima barang ditandatangani oleh pengangkut atau orang atas nama pengangkut. Dalam surat tanda terima itu dicantumkan tanda tangan pengangkut dan tanggal penerimaan. Jika diterbitkan konosemen, tanggal penerimaan sama dengan tanggal surat itu.

Menurut ketentuan Pasal 533 ayat 1 KUH Dagang, biaya pengangkutan harus dibayar lebih dahulu. Dalam pengertian biaya pengangkutan termasuk juga biaya makan penumpang (Pasal 533 butir j KUH Dagang). Berdasarkan ketentuan ini dapat dinyatakan bahwa tanpa pembayaran biaya pengangkutan lebih dahulu tidak ada pengangkutan penumpang. Berdasarkan kenyataan, penumpang yang naik ke kapal wajib sudah membayar lunas biaya pengangkutan, yang dibuktikan dengan tiket penumpang yang dikuasainya. Dengan demikian, perjanjian pengangkutan laut terjadi dan mengikat pihak-pihak sejak pengangkut menerima biaya pengangkutan dari penumpang. Tiket penumpang diterbitkan, ditanggali, dan ditandatangani oleh pengangkut atau orang atas nama pengangkut.

Hak - Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan di Laut

Pada setiap perjanjian, sudah barang tentu harus ada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu, karena tanpa adanya pihak-pihak tersebut maka perjanjian itu tidak mungkin ada. Demikian pula halnya pada perjanjian pengangkutan, karena tanpa adanya yang mengadakan perjanjian pengangkutan tidaklah akan ada (lahir).

Sebagaimana kita ketahui, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan itu adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim barang, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk


(41)

menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan tepat pada waktunya, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar ongkos (uang angkutan) sebagaimana yang diperjanjikan.

Dari pengertian pengangkutan tersebut di atas, dapatlah kita ketahui bahwa, pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan itu adalah “pengangkut dan pengirim. Dengan kata lain bahwa, pengangkut dan pengirimlah yang

mengadakan perjanjian pengangkutan.26

Sebagai dasar hukum bagi si penerima menjadi pihak ketiga yang berkepentingan terhadap terlaksananya perjanjian pengangkutan itu, terdapat pada Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyebutkan : Lagi pula diperbolehkan

Pengangkut adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan tepat pada waktunya. Sedangkan pengirim adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan (ongkos) sebagai imbalan jasa yang dilakukan oleh pihak pengangkut dalam

menyelenggarakan pengangkutan itu.

Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut barang muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan barang itu kepada orang yang ditunjuk (tempat tujuan) sebagai penerima, dan menjaga keselamatan barang muatan itu. Dalam hal ini, maka si penerima barang tersebut, mungkin saja di pengirim sendiri atau juga orang lain sebagai pihak ketiga.

Apabila orang lain yang menjadi pengirim barang, maka disini kedudukan penerima tersebut adalah pihak ketiga (di luar pihak dalam perjanjian pengangkutan) yang berkepentingan terhadap terlaksananya perjanjian pengangkutan itu.


(42)

juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.

Siapa yang telah menjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.

Menurut isi pasal tersebut, jelaslah bahwa kedudukan penerima di dalam perjanjian pengangkutan adalah pihak ketiga yang berkepentingan dalam perjanjian pengangkutan itu, tetapi ia tidak termasuk dalam perjanjian pengangkutan tersebut.

Dalam hal ini, pihak penerima dapat menjadi pihak yang berkepentingan di dalam perjanjian pengangkutan adalah setelah ia menyatakan kehendaknya untuk menerima barang, maka si penerima barang berkewajiban untuk membayar uang angkutan (ongkos) barang itu jika ada penagihan dari pihak pengangkut.

Apabila penerima telah menerima barang-barang itu sebagaimana yang telah dialamati dalam surat muatan pada perjanjian pengangkutan di tempat tujuan, maka penerima telah memasuki perjanjian pengangkutan dan menaklukkan diri kepada seluruh perjanjian pengangkutan antara si pengangkut

26

Abdul Kadir Muhammad, II, Hukum Pengangkutan Darat, laut dan Udara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal 17.


(43)

dengan si pengirim.

Penaklukan diri ini berarti, penetapan-penetapan hak dan kewajiban penerima, dan kewajiban si penerima tersebut adalah seperti membayar uang angkutan atau ongkos-ongkos lainnya sebagaimana yang termuat dalam perjanjian pengangkutan”.27

Ekspeditur adalah suatu badan yang pekerjaannya menuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, baik melalui darat, laut maupun udara.

Mengenai uang angkutan, dapat diatur lain antara si pengirim dengan si penerima. Jika uang angkutan belum dibayar oleh pengirim dapat diketahui oleh penerima dari surat muatan yang diterimanya. Karena di dalam surat muatan itu akan dicantumkan apakah uang angkutan sudah dibayar atau belum. Dengan demikian jika uang angkutan belum dibayar oleh pengirim, maka penerima wajib untuk membayar uang angkutan (ongkos) yang dipergunakan dalam perjanjian pengangkutan itu sebagaimana telah ditentukan di dalam surat muatan.

Pengirim pada suatu perjanjian pengangkutan tidak hanya orang perorangan saja, tetapi juga dapat merupakan suatu badan yang bergerak di dalam pengiriman barang, yang kemudian badan seperti ini dikenal dengan nama ekspeditur.

28

27

R. Soekardono, Op.Cit, hal 15.

28


(44)

BAB III

PENGATURAN HUKUM MENGENAI ANGKUTAN BARANG DENGAN CONTAINER

A. Pengertian Container dan Jenis Container

Pada dewasa ini perkembangan pengangkutan barang baik melalui laut, darat maupun udara sudah menunjukkan suatu kemajuan yang pesat, yaitu suatu kemajuan yang pesat, yaitu suatu penyelenggaraan pengangkutan dengan

menggunakan sistem container (peti kemas). Hal ini berarti bahwa di dalam

pengangkutan barang melalui laut di samping menggunakan sistem angkutan konvensional, juga ada penyelenggaraan angkutan laut yang menggunakan sistem angkutan laut berupa container.

Container itu merupakan peti kemas yang terbuat dari loham dan dari beberapa macam ukuran serta tipe. Untuk lebih jelasnya maka menurut Herman

A. Carel Lawalata bahwa: Peti kemas atau container dapat dikatakan sebagai

the moving go down, ukuran kecil yaitu gudang mini yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain tempat sebagai akibat dari adanya pengangkutan.29

Container Dalam pengertian dunia perniagaan internasional ialah berupa sebuah peti tempat persegi panjang terbuat dari besi, aluminium, plastik,

fibreglass atau kayu yang berpintu dan dilengkapi dengan alat-alat kemudahan pada ke-empat sudut atau pada atapnya untuk mengangkutnya dan digunakan untuk mengepak atau mengkemas barang guna dapat diangkut melalui laut.

Menurut Widodo Soedjono menyebutkan mengenai pengertian sebagai berikut :

30

29

Herman A. Carel Lawalata, Tekhnik Operasi Peti Kemas dan Perasuransiannya, Bina Aksara, Jakarta, 2000, hal. 70.

30

Wiwoho Soedjono, Hukum Dagang, Bina Aksara. Jakarta, 1982, hal. 16. 41


(45)

Selanjutnya Amir, MS, mengemukakan pendapatnya mengenai

container sebagai berikut: “Peti kemas adalah peti yang terbuat dari logam ke

dalam mana barang-barang yang disebut muatan (General Cargo) yang akan

dikirimkan melalui laut dimasukkan ke dalamnya”.31

Mengenai container ini di Indonesia masih merupakan hal yang baru,

sehingga tidaklah heran jika dunia Business kita belum menyadari tentang

manfaat dalam keuntungan dari penggunaan peti kemas atau container ini.

Adapun manfaat atau keuntungan dari penggunaan peti kemas ini dalam dunia pengangkutan barang melalui laut sebagai berikut :

Menurut pendapat para sarjana tersebut di atas bahwa yang dimaksud dengan container atau peti kemas itu adalah peti tempat memuat barang-barang yang akan dikirim, yang akan dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dengan berbagai macam ukuran serta tipe.

32

1. Bongkar muat barang dapat dilakukan secara cepat bila dibandingkan

dengan bongkar muat barang-barang dengan sistem pengepakan konvensional.

2. Persentase kerusakan dapat diturunkan karena barang-barang disusun secara

mantap di dalam container dan hanya disentuh pada saat pengisian dan

pengosongan container itu saja.

3. Barang-barang yang hilang karena dicuri berkurang persentasenya karena

barang-barang tertutup di dalam container dari logam tersebut.

4. Memudahkan pengawasan oleh pemilik barang yang bila perlu dapat

31

Amir MS, Hal Ikhwal Peti Kemas dan Dokumen Pengangkutan Gabungan, Balai Aksara, Jakarta, 1984, hal. 69.

32


(46)

menyimpan barangnya ke dalam peti kemas di arena pergudangannya sendiri. Begitupun si penerima dapat dengan mudah mengawasi pembongkaran pengundangnya sendiri bilamana dikehendakinya.

5. Dapat dihindarkan percampuran barang-barang yang sebenarnya tidak boleh

bercampur satu sama lain.

Di samping manfaat serta keuntungan yang diperoleh dari penggunaan

container ini, ternyata container juga membawa masalah-masalah yang rumit

khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah-masalah itu antara lain sebagai berikut :33

1. Sebuah container yang berkapasitas isi rata-rata antara 15 sampai 20 ton sudah barang tentu memerlukan peralatan bongkar muat di darat maupun di atas kapal dengan kapasitas yang sesuai seperti deret darat maupun derek kapal yang berkapasitas di atas 20 ton.

2. Barang-barang yang dimuat dengan container apabila mana pengangkutan

didasarkan pada kontrak angkutan “ door to door “, sesungguhnya tidak

memerlukan dermaga untuk pelaksanaan bongkar muat serta terminal

container yang luas di wilayah pelabuhan sebagai penumpukan container. 3. Container dengan kapasitas 20 ton itu jelas memerlukan alat angkutan darat

seperti trailer dengan kapasitas di atas 20 ton.

Sebagai konskwensi logis diperlukan perombakan struktur dan daya tahan

jalan raya sesuai untuk keperluan container ini. Dengan adanya

33


(47)

kemungkinan kontrak pengangkutan bersyarat door to door maka dengan sendirinya memerlukan pula perluasan dan perombakan urusan kepabeanan dan dokumen pengangkutan serta kondisi perasuransian.

4. Oleh karena penggunaan container lebih cocok barang-barang hasil industri, maka khusus bagi Indonesia dengan hasil eksport sebagian besar terdiri dari hasil pertanian dan perkebunan maka perlu kiranya pengembangan pengepakan yang sesuai container.

5. Mengingat jumlah dan penyebaran pelabuhan import eksport di Indonesia

maka pemikiran ke arah pengembangan pelayaran “ Feeders Service “ serta

Lash“ dan “Sea Train“ kiranya akan lebih cocok untuk negara kepulauan

seperti Indonesia, sebagai pengusahaan container dibatasi pada satu atau dua pelabuhan utama dan juga dibatasi pada pelayaran port to port.

Peti kemas atau container pada umumnya mempunyai berbagai macam

ukuran seperti ukuran 20 kaki yang dikenal dengan istilah “ twenty

footercontainer “ atau D20 dengan berat kosong 2 ½ ton yang bila diisi dengan

muatan maka berat container dapat mencapai 15 – 18 ton. Di samping itu ada

juga peti kemas atau container yang berkurang 40 kaki yang dikenal dengan

istilah “fourty footer container“ dengan berat kosong 4 yon, yang bila diisi dengan muatan maka berat container dapat mencapai 30 ton bruto.

Pengangkutan barang melalui laut dengan menggunakan container

haruslah disesuaikan dengan jenis barang (muatan) yang akan diangkut. Untuk


(48)

berikut:34

1. General Purposes Container.

Jenis container ini lebih umum dan banyak dipergunakan, khususnya untuk

pengangkutan barang jadi (industri) seperti tekstil, barang kelontong dan

sebagainya. General Purpose container umumnya terbuat dari besi dan ada

pula diantaranya terbuat dari aluminium dan fibreglass. Container ini tidak

memerlukan perlakuan khusus. Ukuran standart general purposes container

adalah sebagai berikut :

a. Twenty footers (20IContainer )

Panjang : 20I (20 feet) = 6,055 m.

Lebar : 8 I (8 feet) = 2,425 m

Tinggi : 8I (8 feet) = 2,425 m.

Berat kosong : 2.210 kg.

Kapasitas : 30 m 33 (isi) atau berat muatan umum = 18.111

kg.

Twenty footer container biasa juga dijadikan dasar satuan sebagai TEU (Twenty Feet Equivalent unit) misalnya :

100 TEU berarti terdapat 100 unit container dengan ukuran 20 feet atau

sejumlah container sebanding dengan 100 TEU.

b. Fourty footers (40IContainer )

Panjang : 40I (40 feet) = 12.192 m.

34


(49)

Lebar : 8 I (8 feet) = 2,425 m

Tinggi : 8I (8 feet) = 2,425 m.

Berat kosong : 3.801 kg.

Container ini dilengkapi dengan pintu yang dikunci dari luar, pada pintu disediakan tempat pemasangan materai sedemikian rupa sehingga apabila dikunci dan dibubuhi materi (Segel) tidak dapat dimasukkan atau dikeluarkan barang tanpa meninggalkan bekas yang nyata atau tanpa merusak materai.

Permukaan lantai dalam container berupa lantai besi yang

bergelombang dan biasa pula dilapisi dengan lantai kayu.

2. Open Top Container.

Jenis container ini merupakan container tanpa tutup pada dinding atau sisi

atas. Container ini biasanya digunakan untuk mengangkut muatan-muatan

yang tinginya lebih dari 8 feet atau 8,6 feet.

Setelah container ini diisi dengan muatan kemudian bagian atasnya ditutup dengan kain terpal. Open top container ini terdiri dari 20 footer dan 40 feet footer.

3. Flat Rack Container.

Jenis container ini tidak berdinding sama sekali, kecuali keempat tiang

penyangganya dan pilar serta lantai. Tiang penyangga dan pilar ini dapat

dicabut-cabut. Container ini dipergunakan untuk muatan yang ukurannya

melebihi container.


(50)

muatan seperti : motor, mesin, traktor, kemudian memasang tiang dan pilar

container tersebut.

4. Reefer Container.

Reefer container adalah jenis container yang mempunyai atau dilengkapi dengan mesin pendingin yang dipergunakan khusus mengangkut muatan disingin (beku), misalnya : buah-buahan, daging mentah, ikan, udang, dan

sebagainya. Mesin pendingin container ini dipasang pada bagian depan

ujung container di maksud. Container ini selain dibuat dari besi, ada juga yang terbuat dari aluminium dari fibreglass, tetapi rangkanya tetap dari besi.

5. Tank Container.

Tank container ini adalah jenis container yang berbentuk tangki, yang

rangkanya tetap rangka container, dan biasanya dipergunakan untuk

mengangkut muatanmuatan cair. Misalanya : Latex, minyak nilam, minyak

kelapa sawit, minyak kelapa dan lain sebagainya.

B. Aturan-Aturan Hukum Tentang Container

Aturan-aturan hukum tentang container dapat dilihat dari uraian berikut ini:

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.


(51)

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

3. PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

4. PP Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan. 5. PP Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan.

6. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke kapal.

C. Dokumen-Dokumen Yang Dipergunakan Dalam Pengoperasional Container

Di dalam pengoperasian container pihak pemakai haruslah terlebih

dahulu mengurus dan mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam pengoperasian container tersebut.

Adapun dokumen (Surat) yang dipergunakan di dalam pengoperasian container tersebut ialah dalam teorinya adalah sebagai berikut :35

1. SI (Shipin Instruction).

Untuk dapat mempergunakan container (peti kemas) seorang shipper

haruslah menyerahkan SI (perintah pengapalan) terlebih dahulu. Di dalam SI ini berfungsi sebagai bukti bahwa telah adanya keinginan dari seorang shiper untuk mengirimkan barangnya melalui perusahaan pelayaran tersebut.


(52)

Yakni perintah pelepasan container. Seorang shiper baru dapat mengambil

container dari depot apabila shiper tersebut telah mempunyai delivery order

yang diberikan perusahaan pelayaran. Dan juga DO ini baru dapat diberikan

setelah shiper tersebut menyerahkan shipping intruction seperti yang

dikemukakan di atas.

3. EIR (Equipment Interchange Receipt).

Adalah merupakan dokumen sebagai hasil survey yang mencatat keterangan

mengenai kondisi atau kerusakan pada bagian container pada waktu

penyerahan dari satu lingkungan ke lingkungan kerja lainnya.

Misalnya : Pada waktu pengambilan container dari depot dan juga pada

waktu penyerahan pada CFS atau pihak pemakai (Shipper), selalu dibuatnya

EIR-nya.

Pembuatan EIR pada waktu penerimaan atau penyerahan container

merupakan keharusan, mengingat pada hadling atau penggunaan container

dapat terjadi kerusakan tambahan atau meneliti di lingkungan mana kerusakan terjadi untuk dipertanggung jawabkan pada pihak yang bersangkutan.

Seperti : Jika container yang dimuat ke kapal dalam keadaan baik tetapi setelah diserahkan kepada pemiliknya rusak maka pihak kapal haruslah

bertanggung jawab dalam hal perbaikan atau penggantian container

tersebut. 4. Manifest.

35


(53)

Merupakan surat muatan barang. Manifest ini berfungsi untuk menerangkan

barang-barang yang dimuat di dalam container. Di dalam manifest ini

haruslah tertera : a. Sipper (pengirim),

b. Nityfi atau cosignee (penerima)

c. Nama barang.

d. Jumlah barang.

Apabila dilihat dari prakteknya maka pada PT. Sumatera Madya Jaya, perihal pengadaan dokumen-dokumen tersebut khususnya dalam pelaksanaan

pengangkutan barang di laut dengan menggunakan container maka dibutuhkan

dokumen-dokumen tersebut sebagaimana diterangkan di atas ditambah copy

bill of lading yaitu bukti adanya kontrak antara maskapai pelayaran dan pengirim/penerima.


(54)

BAB IV

ASPEK HUKUM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG DENGAN MENGGUNAKAN CONTAINER

A. Perjanjian Pengangkutan Yang Dilaksanakan

Sebelum masuk pada isi judul sub bab di atas ada baiknya terlebih dahulu diuraikan secara ringkas tentang PT. Sumatera Madya Jaya.

PT. Sumatera Madya Jaya adalah salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa pelayanan pengangkutan barang di laut. Perusahaan ini berdiri pada tahun 1979 dan langsung terjun pada bisnis angkutan barang di laut

dengan rute Pelabuhan Belawan, Batam dan Pekan Baru, sedangkan untuk

internasional Malaysia, Singapura, Thailand dan lain-lainnya termasuk India. Perkembangan perdagangan membawa akibat bahwa perusahaan ini juga semakin berkembang sehingga sekarang ini perusahaan juga melakukan jasa pengangkutan barang ke luar Pulau Sumatera. Sedangkan ruang lingkup pelayanan yang diselenggarakan dalam hal pengangkutan barang oleh PT. Sumatera Madya Jaya meliputi hanya perairan Indonesia terutama Indonesia Bagian Tengah dan juga Indonesia Bagian Barat.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada PT. Sumatera

Madya Jaya maka bentuk perjanjian pengangkutan laut dengan container yang

dilaksanakan adalah berdasarkan kebiasaan yang dipakai dalam perjanjian pengangkutan laut pada umumnya.

Hal ini juga berarti bahwa tidak ada penuangan perjanjian pengangkutan laut dengan container di laut yang dilakukan PT. Sumatera

Madya Jaya dalam bentuk suatu perjanjian putih di atas hitam, atau tidak ada klausula-klausula yang secara teratur terdiri dari apa pasal yang secara jelas mengatur hubungan antara para pihak dalam perjanjian pengangkutan laut dengan container di laut.

Dengan demikian maka dapatlah dipahami bahwa pada dasarnya bentuk perjanjian pengangkutan laut dengan container di laut ini pada dasarnya


(55)

dilakukan berdasarkan suatu kebiasaan.

Keadaan di atas dirasakan terbit karena pada dasarnya apabila dalam undang-undang tidak diatur mengenai kewajiban dan hak serta syarat-syarat yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang tersangkut dalam perjanjian pengangkutan di laut ini, atau walaupun diatur tetapi dirasakan kurang sesuai dengan kehendak pihak-pihak, maka pihak-pihak mengikuti kebiasaan yang telah berlaku dalam praktek pengangkutan laut dengan container di laut.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa perjanjian pengangkutan

dengan container di laut yang mereka buat hanya menciptakan hubungan

kewajiban dan hak sebagaimana ditentukan oleh kebiasaan, ini sejalan dengan sifat asas konsensual yang mendasari perjanjian pengangkutan khususnya pengangkutan dengan container di laut.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dalam perjanjian pengangkutan

laut dengan container maka kebiasaan yang hidup adalah kebiasaan yang

berderajat hukum keperdataan yaitu berupa perilaku atau perbuatan yang memenuhi ciri-ciri berikut ini :

1. Tidak tertulis yang hidup dalam praktek pengangkutan,

2. Berisi kewajiban bagaimana seharusnya pihak-pihak berbuat,

3. Tidak bertentangan dengan undang-undang atau kepatutan,

4. Diterima oleh pihak-pihak karena adil dan masuk akal (logis),

5. Menuju kepada akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak-pihak.36


(56)

container di laut antara lain adalah sebagai berikut :37

1. Kebiasaan menentukan cara penawaran (offer) dan penerimaan

(acceptance), sehingga terjadi perjanjian,

2. Kebiasaan menentukan bahwa jika tidak dibuat surat muatan,

pemberitahuan pengirim atau nota pengiriman berfungsi sama dengan surat muatan,

3. Kebiasaan menentukan bahwa waktu keberangkatan sewaktu-waktu dapat

berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu,

4. Kebiasaan yang berlaku ialah bahwa biaya pengangkutan dibayar lebih

dahulu oleh pengirim.

Bentuk perjanjian pengangkutan dengan menggunakan container di

laut yang didasarkan pada kebiasaan pengangkutan di laut itu sendiri hanya dilandasi oleh surat muatan atau dikenal dalam istilah hukum dengan sebutan konosemen.

Mengenai surat muatan angkutan laut atau disebut juga dengan

konosemen ini di dalam Pasal 506 KUH Dagang dinyatakan bahwa konosemen adalah surat bertanggal dalam mana pengangkut menerangkan bahwa ia telah menerima barang tertentu untuk diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan disana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk (penerima) disertai dengan janji-janj apa penyerahan akan terjadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUH dagang konosemen diterbitkan oleh pengangkut atas permintaan

pengirim. Tetapi menurut ketentuan Pasal 505 KUH Dagang, nakhoda dibolehkan menerbitkan konosemen apabila ada barang yang harus diterima untuk diangkut, sedangkan pengangkut atau perwakilannya tidak ada di tempat itu.

Dalam prakteknya di PT. Sumatera Madya Jaya dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan laut dengan container ini juga dikenal istilah pemakaian surat muatan angkutan. Surat muatan yang dikeluarkan oleh PT.

36

Abdulkadir Muhamma, Op.Cit., hal. 55.

37


(1)

barang angkutan. Atau dengan kata lain meskipun tidak 100% aman tetapi apabila pelaksanaan pengangkutan barang dilakukan dengan container maka barang yang akan diangkut akan aman dari kerusakan. Penggunaan container ini pada dasarnya meliputi perbuatan pemuatan barang dari tempat pemberangkatan sampai barang tersebut sampai ketujuan, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan container maka pelaksanaan pengangkutan barang aman sampai di tempat.

C. Jaminan Asuransi Dalam Pengangkutan Laut Dengan Container Dari uraian-uraian terdahulu dapat dilihat suatu keadaan bahwasanya suatu pelaksanaan perjanjian pengangkutan di lau memiliki risiko dalam pelaksanaannya. Risiko dalam artinya ini akan membawa kerugian bagi para pihak yang tersangkut di dalam suatu perjanjian pengangkutan baik itu bagi pihak pengangkut maupun pengirim dan bahkan pihak yang menerima barang.

Demikian juga halnya dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan kayu di laut, para pihak juga senantiasa menghadapi risiko yang yang dapat timbul suatu waktu. Maka dalam keadaan ini dibutuhkan peranan dari pihak ketiga dalam hal mengantisipasi kerugian tersebut sehingga baik itu pengangkut dan pengirim merasa aman dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan laut dengan container.

Pihak ketiga ini dalam prakteknya adalah asuransi atau lembaga pertanggungan yang menanggung risiko apabila terjadi hal-hal yang diperjanjikan dalam pertanggungan antara pihak asuransi dengan pengangkut terjadi di lapangan.


(2)

Dalam hubungan perihal asuransi ini, maka pihak pengirim tidak terikat kepada perjanjian pertanggungan. Pihak yang terikat dalam hubungan ini

adalah pihak pengangkut (PT. Sumatera Madya Jaya) dengan lembaga

pertanggungan. Keterlibatan PT. Sumatera Madya Jaya dengan pihak asuransi ini didasarkan kepada suatu keadaan bahwa pihak pengangkut PT. Sumatera Madya Jaya) memberikan jaminan apabila timbul hal-hal yang tidak terduga di dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan yang dilaksanakan. Dimana jaminan tersebut akan memberikan perlindungan kerugian atau pengalihan kerugian dari pihak pengirim dan pengangkut kepada pihak asuransi.

Pemberian jaminan dalam bentuk asuransi ini juga merupakan suatu daya tarik agar konsumen dapat menghubungi pihak PT. Sumatera Madya Jaya dalam hal pelaksanaan pengangkutan dengan kapal umumnya dan khususnya pengangkutan kayu balok. Sedangkan bagi pihak PT. Sumatera Madya Jaya juga merupakan suatu penjaminan atas armada-armada yang dimilikinya apabila timbul suatu hal yang tidak diinginkan timbul di belakang hari.

Jadi pada dasarnya penggunaan asuransi laut diadakan untuk menghadapi bahaya di laut, artinya hubungan dengan risiko, yang harus dihadapi selama berada di laut. Apabila sudah tidak menghadapi risiko lagi maka berakhirlah perjanjian asuransi laut yang bersangkutan.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari pembahasan-pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya sampailah penulis pada bagian akhir yaitu berupa kesimpulan dan saran.

Kesimpulan

1. Bentuk perjanjian pengangkutan laut dengan container di Laut yang dilakukan oleh PT. Sumatera Madya Jaya adalah berdasarkan kebiasaan bukan secara tertulis. Kebiasaan dalam hal ini adalah kebiasaan yang dipakai dalam hal pelaksanaan perjanjian pengangkutan di laut yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kepatutan. Meskipun hubungan antara pihak diatur berdasarkan kebiasaan tetapi pada hakekatnya pelaksanaan perjanjian pengangkutan laut dengan container di laut juga dilakukan dengan bukti-bukti tertulis yaitu berupa surat muatan. Dimana dalam surat muatan ini memuat hal tentang tanggal, jenis barang yang diangkut, nama pengirim, nama penerima, nama pengangkut serta pelabuhan tujuan.

2. Tanggungjawab pengangkut jika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan adalah memberikan ganti rugi kepada pihak pihak pengirim atas kerugian yang dialami. Keadaan pemberian ganti rugi tersebut harus melalui suatu pembuktian bahwa benar kerugian tersebut disebabkan oleh PT. Sumatera Madya Jaya bukan atas hal-hal seperti keadaan


(4)

memaksa atau force majeur.

3. Jaminan asuransi dalam pengangkutan laut dengan container yang dilakukan PT. Sumatera Madya Jaya adalah berupa pengalihan pertanggung-jawaban dari pihak PT. Sumatera Madya Jaya dan juga pengirim kepada suatu perusahaan asuransi. Pengalihan risiko tersebut pada dasarnya untuk mengantisipasi hal-hal yang dapat merugikan di laut. Sehingga dengan demikian para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian pengangkutan di laut dapat terlepas dari suatu beban kerugian yang dapat timbul sewaktu-waktu.

Saran

1. Kepada pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan di laut hendaknya dapat membuat landasan perjanjian mereka dalam bentuk tertulis, yang terdiri dari klausula-klausula tentang hak dan kewajiban, sehingga apabila timbul hal-hal yang tidak diinginkan di belakang hari, maka dapat dipedomani surat perjanjian tersebut.

2. Pelaksanaan penyelesaian perselisihan yang dilakukan secara musyawarah hendaknya dapat dipertahankan terus, sehingga dengan demikian rasa permusuhan tidak ditimbulkan sebagaimana halnya jika diselesaikan melalui pengadilan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adji Usman Sution, dkk, 1991, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.

Badrulzaman Darus Mariam, 1998, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Penerbit Fak. Hukum USU, Medan.

Harahap Yahya .M, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.

Lawalata Carel A Herman, 2000, Tehnik Operasi Peti Kemas dan Perasuransiannya, Bina Aksara, Jakarta.

Muhammad Abdul Kadir, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, laut dan Udara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

_____________, 2002, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung.

Muis Abdul, 1993, Bunga Rampai Hukum Dagang, Fak. Hukum USU, Medan.

MS Amir, 1984, Hal Ikhwal Peti Kemas dan Dokumen Pengangkutan Gabungan, Balai Aksara, Jakarta.

Poerwadarminta W.J.S, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta.

Purwosutjipto H.M.N, 1988, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Prodjodikoro Wirjono, 2009, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur, Bandung.

______________, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung.

______________, 1986, Hukum Asuransi di Indonesia, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta.


(6)

Soedjono Wiwoho, 1982, Hukum Dagang, Bina Aksara. Jakarta.

______________, 1982, Hukum Perkapalan dan Pengangkutan Laut, Bina Aksara, Jakarta.

Soekardono R, 1982, Hukum Dagang Indonesia (Hukum Pegangkutan di Darat), Penerbit Soeroeng, Jakarta.

Subekti, 1999, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung. _____________, 2010, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta.

_____________, 1987, Hukum Perjanjian, Cetakan XI, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta.

_____________, 1992, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta.

Sunggono Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Pihak Pengangkut dalam Perjanjian Pengangkutan Pulp antara PT. Toba Pulp Lestari, Tbk dengan CV. Anugrah Toba Permai Lestari (Studi pada CV. Anugrah Toba Permai Lestari)

0 119 99

Tanggung Jawab Hukum Pemborong Terhadap Pemerintah dalam Kontrak Pengadaan varang/Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan)

4 71 82

Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

12 141 80

INSIP-PRINSIP HUKUM TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT DENGAN KAPAL LAYAR

1 28 17

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT PADA PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT (Studi Pada PT. samudera Indonesia Tbk cabang padang).

1 2 6

PERIODE TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT PADA PENGANGKUTAN BARANG DENGAN CONTAINER DALAM ANGKUTAN LAUT - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 180

BAB III PENGATURAN HUKUM MENGENAI ANGKUTAN BARANG DENGAN CONTAINER - Tanggung Jawab Hukum Pihak Pengangkut Dalam Angkutan Barang Melalui Laut Dengan Menggunakan Container (Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

0 0 27

Tanggung Jawab Hukum Pihak Pengangkut Dalam Angkutan Barang Melalui Laut Dengan Menggunakan Container (Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Hukum Pihak Pengangkut Dalam Angkutan Barang Melalui Laut Dengan Menggunakan Container (Studi Pada PT. Sumatera Madya Jaya)

0 0 8

TANGGUNG JAW AB PENGANGKUT PADA ANGKUTAN BARANG DENGAN KAPAL LAUT

0 5 86