Minyak Kosambi Schleichera oleosa Sebaga

Minyak Kesambi (Schleichera oleosa L.) sebagai bahan baku biodiesel
Permintaan minyak bumi telah meningkat pesat akibat industrialisasi. Namun
cadangan minyak bumi yang terbatas dan semakin langka, menarik berbagai kalangan untuk
mencari bahan bakar alternatif yang dapat diproduksi dari bahan baku terbarukan. Metil ester,
yang lebih dikenal sebagai biodiesel menjadi semakin populer karena rendahnya dampak
terhadap lingkungan dan potensinya sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel.
Produksi biodiesel dari minyak pangan akan mengganggu harga minyak dipasaran.
Penggunaan minyak dari kesambi merupakan pilihan yang tepat karena dikategorikan sebagai
minyak non pangan dan mempunyai kandungan minyak yang tinggi (mencapai 40,3 %).

Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BPMIGAS Gde Pradnyana dalam
pertemuan Perhimpunan Mahasiswa Geologi se Indonesia (Perhimagi) Sabtu (3/3/2012) di
Universitas Diponegoro menyatakan kebutuhan/konsumsi bahan bakar minyak (bbm)
nasional yang saat ini sudah diatas 1,2 juta barel per hari dan kemampuan kilang domestik
hanya 700 ribu barel per hari, maka sisa kebutuhan bbm masih harus diimpor
(www.esdm.go.id). Minyak diesel (solar) merupakan jenis bahan bakar yang paling banyak
digunakan pada sektor transportasi, industri, komersial dan sektor lain. Pada tahun 2010,
konsumsinya mencapai 37,8% dari total BBM (ESDM, 2012). Oleh karena itu perlu dicari
alternatif pengganti minyak diesel.
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari mono-alkyl ester dari asam lemak
rantai panjang yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewan, yang dapat digunakan

sebagai pengganti bahan bakar diesel (Hu et al, 2004). Beberapa keuntungan menggunakan
bahan bakar biodiesel yang lebih ramah, biodegradabilitas mudah, non-toksisitas dan lebih
aman penangananny karena titik nyala yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar
fosil, gas buangnya lebih ditoleransi dibandingkan diesel fosil konvensional serta bebas sulfur
dan aromatik (Demirbas, 2009).
Produksi biodiesel secara komersial selama ini telah dilakukan dari minyak pangan,
misalnya minyak sawit. Penggunaan minyak sawit di Indonesia tidak feasible diterapkan,
karena dapat mengganggu stabilitas harga minyak pangan. Indonesia memiliki banyak
keanekaragaman hayati, sehingga sering disebut sebagai “Mega Biodiversity”, memiliki
banyak tanaman penghasil minyak nabati, salah satunya adalah kesambi (Schleichera oleosa
L.). Kesambi juga punya nama lain, diantaranya kasambi (sunda); kesambi, kusambi, sambi
(Jawa, Bali); kasambhi (Madura); kasembi, kahembi (Sumba) dan diluar negeri dikenal
dengan nama Lac tree (Inggris), kusum (India), pongro (Perancis, Khmer (Kamboja)), gumlac tree (Filipina), kusambi (Malaysia), dan takhro (Thailand) (Iwasa, 1997).
Kesambi berasal dari kaki Pegunungan Himalaya, Dataran Tinggi Dekkan, kemudian
berkembang ke Srilangka hingga Indocina. Kemungkinan pada masa lampau tumbuhan ini
diintroduksi ke Malaysia, termasuk Indonesia, dan kemudian tersebar di beberapa daerah
diantaranya Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku (Seram dan Kepulauan Kai).
Pohon ini tumbuh liar di daerah beriklim kering, perpaduan antara hutan gugur daun
dan savana serta tumbuh dengan baik pada kisaran curah hujan antara 750–2.500 mm per
tahun. Di Jawa, kesambi umumnya ditemukan disekitar hutan jati di dataran rendah, namun


dapat hidup hingga ketinggian tempat 1.200 m dpl. Kesambi bersifat menggugurkan daun
pada musim kemarau.
Tanaman kesambi mempunyai banyak kegunan. Karakteristik dari kayu yang padat,
berat, keras, dan mempunyai nilai energi yang tinggi (hingga 20.800 kJ/kg) membuat kayu
kesambi disukai untuk kayu bakar dan arang berkualitas tinggi. Daun muda digunakan
sebagai bahan sayur/lauk. Bubuk biji dapat digunakan untuk luka dan borok ternak maupun
untuk menghapus belatung. Kulit kayu mengandung tanin dan dapat digunakan sebagai obat
radang kulit dan borok, disamping itu juga dapat digunakan sebagai pewarna dan
penyamakan kulit. Daun, ranting dan biji muda dapat digunakan juga sebagai pakan ternak
(Iwasa, 1997).
Minyak kesambi
Minyak kesambi lebih dikenal dengan nama minyak makasar sering digunakan untuk
penerangan, obat tradisional untuk gatal, jerawat, dan beberapa masalah kulit lainnya, encok
(minyak urut), mempercepat pertumbuhan rambut, dan industri batik (Council of Scientific &
Industrial Research, 1972). Minyak kesambi diekstrak dari biji kesambi yang telah
dikeringkan hingga kadar air 5% (Gambar 1). Berat biji kesambi berkisar antara 0,51 – 0,72
gr/biji dengan komposis, kulit biji ±39% dan kernel ±61%.

Gambar 1. Biji kesambi yang telah dikeringkan (kiri) dan bungkil kesambi (kanan)

Ekstraksi minyak biji kesambi dilakukan menggunakan metode pengepresan dengan
menggunakan eskspeller. Dari 133,7 kg biji kesambi diperoleh 68,3% bungkil dan
31,7%minyak kotor. Minyak kotor kesambi kemudian disaring untuk memisahkan minyak
dari pengotor dan didapatkan pasta sebanyak 12,5% dan minyak kasar 87,5%. Sehingga
rendemen minyak kesambi menggunakan metode ekspeller sebesar 23,11%. Berdasarkan
penelitian Palanuvej (2008), ekstraksi biji kesambi menggunakan pelarut methanol
didapatkan minyak sebesar 40,3 %. Ini menunjukkan bahwa metode press dengan pemanasan
hanya dapat mengekstrak sebesar 71,3% minyak dari biji kesambi, sedangkan sisanya masih
tersisa dalam bungkil kesambi dan pasta yang dapat dijadikan sebagai bahan baku biobriket,
pupuk ataupun biogas. Menurut Gupta et al.(1986), bungkil kesambi mengandung 20.9%
protein, 7.4% lemak, 56.9% karbohidrat, 9% serat, 5.8% abu, 0.52% kasium, dan 1.14%
fosfor . Minyak kasar kesambi hasil penyaringan berwarna kuning kecoklatan, encer dan
berbau khas (Gambar 2).

Gambar 2. Minyak kasar kesambi (kiri) dan Biodiesel kesambi (kanan)
Minyak kesambi digolongkan sebagai minyak nabati yang tidak dapat dimakan ( nonedible oil) sehingga cocok digunakan sebagai bahan baku produksi biodiesel karena tidak
bersaing dengan pangan. Karakteristik minyak kesambi mirip tanaman penghasil biodiesel
lainnya. Kandungan asam lemak minyak kesambi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak kesambi
Asam lemak


Asam miristat (Myristic acid)
Asam palmitat (Palmitic acid)
Asam palmitoleat (Palmitoleic acid)
Asam Oleat (Oleic acid)

Asam linolelaid (Linolelaidic acid)
Asam linoleat (Linoleic acid)
Asam alfa-linoleat (alpha-Linolenic acid)
Asam eicosenoat (Eicosenoic acid)
Asam ecosadienoat (Eicosadienoic Acid)
Asam heneicosanoit (Heneicosanoic Acid)
Asam behenit (Behenic Acid)
Asam erucic (Erucic acid)
Asam lignoceric (Lignoceric Acid)
Asam Docosaheksanoat (Docosahexaenoic Acid)

%
0.01
7.59

1.8
2.83
49.69
5.56
0.26
29.54
0.24
0.04
1.14
1.22
0.03
0.02
0.01

Sumber : Palanuvej (2008)

Biodiesel didefinisikan sebagai metil ester yang diproduksi dari minyak
tumbuhan atau lemak hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di
dalam mesin diesel (Vicente et al., 2006). Biodiesel secara konvensional diproduksi melalui
tahap esterifikasi atau trans-esterifikasi atau kombinasi keduanya dengan bahan baku minyak

nabati dan alkohol rantai pendek yang dibantu dengan katalis. Esterifikasi adalah reaksi asam
karboksilat (asam lemak) dengan alkohol untuk menghasilkan ester. Sedangkan
transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang mengalami
penukaran posisi asam lemak (Swern, 1982).

Masalah terbesar dalam membuat biodiesel dari minyak kesambi adalah tingginya
kandungan asam lemak bebas (ALB) dari minyak kesambi. Tingginya asam lemak bebas
kemungkinan disebabkan adanya kandungan air biji/minyak yang mengakibatkan reaksi
hidrolisis sehingga dapat memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Selain
itu juga, kandungan enzim lipase pada jaringan juga dapat memacu terjadinya reaksi
hidrolisis. Oleh karena itu perlu adanya penanganan panen dan pasca panen yang tepat untuk
meminimalisir terjadinya proses hidrolisis. Komposisi ALB pada minyak kesambi
ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 2. Komposisi ALB pada minyak kesambi
Jenis asam lemak bebas
Asam miristat (Myristic acid)
Asam palmitat (Palmitic acid)
Asam palmitoleat (Palmitoleic acid)
Asam Oleat (Oleic acid)
Asam linolelaid (Linolelaidic acid)

Asam linoleat (Linoleic acid)
Asam alfa-linoleat (alpha-Linolenic acid)
Asam eicosenoat (Eicosenoic acid)
Asam ecosadienoat (Eicosadienoic acid)
Asam heneicosanoit (Heneicosanoic acid)
Asam behenit (Behenic acid)
Asam erucic (Erucic acid)
Asam lignoceric (Lignoceric Acid)
Asam Docosaheksanoat (Docosahexaenoic acid)

%
0,01
7,59
1,8
2,83
49,69
5,56
0,26
29,54
0,24

0,04
1,14
1,22
0,03
0,02

Sumber : Gandhi (2011)

Asam lemak bebas yang tinggi pada minyak dapat menghambat proses produksi
biodiesel karena pada reaksi transesterifikasi yang berkatalis basa, asam lemak bebas akan
bereaksi dengan katalis sehingga membentuk sabun melalui reaksi penyabunan akibatnya
efektifitas katalis menurun yang dapat mengakibatkan penurunan rendemen biodiesel dan
menyulitkan pemisahan gliserol. Ghandi (2011) menggunakan dua tahap esterifikasi
(esterifikasi asam dan transesterifikasi basa) untuk membuat biodiesel, sedangkan Sudradjat
(2010) menggunakan empat tahap proses yaitu degumming, esterifikasi, netralisasi, dan
transesterifikasi dalam membuat biodiesel. Namun metode tersebut memerlukan katalis yang
tidak sedikit dan waktu proses yang lama serta biaya yang lebih mahal.
Proses produksi biodiesel
Minyak kesambi hasil ekstraksi dari biji dapat langsung di transesterifikasi jika nilai
asam lemak bebasnya kurang dari 3. Jika nilainya lebih dari 3, maka harus diturunkan

terlebih dahulu. Penurunan ALB dilakukan menggunakan metode memanaskan minyak
kesambi hingga 100oC. pemanasan minyak kesambi dapat menurunkan asam lemak bebas
minyak kasar kesambi. Nilai asam lemak bebas minyak kasar kesambi awal sebesar 5,01 dan
setelah dilakukan pemanasan hingga 100°C turun menjadi 1,2 atau turun sebesar 76% dari
asam lemak bebas awal.

6
5

FFA

4
3
2

1
0
awal

50°C


60°C

70°C

80°C

90°C

100°C

.
Gambar 3. Grafik pengaruh pemanasan terhadap kadar ALB minyak kesambi
Minyak kesambi yang telah diturunkan ALB-nya kemudian di transesterifikasi
dengan menggunakan metanol dan katalis KOH. Penggunaan metanol dalam reaksi
transesterifikasi karena lebih murah untuk menghasilkan metil ester. Reaksi trasnesterifikasi
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah mutu minyak yang
meliputi kandungan air, ALB, dan komposisi minyak, sedangkan faktor eksternal meliputi
suhu reaksi, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis, dan jumlah
rasio molar metanol terhadap minyak.

Proses transesterfikasi dilakukan dengan memanaskan minyak kesambi hingga
mencapai suhu 60oC, kemudian ditambahkan metanol sebesar dengan perbandingan molar
5:1, katalis KOH 1,5% b/b dan diaduk selama 2 jam. Setelah reaksi selesai, larutan tersebut
akan memisah menjadi dua lapisan. Lapisan atas adalah metil ester (biodiesel mentah) dan
lapisan bawah mengandung pengotor dan gliserol. Metil ester berwarna kuning cerah dan
gliserol berwarna coklat gelap. Gliserol sisa proses dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan sabun dan produk kosmetik lainnya untuk moisturising. Warna metil ester
kesambi lebih jernih dibandingkan minyak kasar kesambi, ini disebabkan karena pigmen
warna dominan pada minyak yaitu karotenoid ikut terpisah bersama gliserol selain itu pula
penggunaan katalis basa juga membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran berupa
getah dan lendir dalam minyak (Ketaren, 2005).
Setelah gliserol dan pengotor dipisahkan, biodiesel dicuci menggunakan air hangat
(60 C) untuk membersihkan sisa pegotor dan katalis. Pencucian dilakukan hingga air
pencucian bersifat netral atau berwarna jernih.
o

Biodiesel kemudian uapkan dengan cara memanaskan metil ester hingga suhu 65 oC
selama satu jam. Penguapan bertujuan untuk menghilangkan sisa air pencucian dan metanol
tersisa. Setelah didinginkan, biodiesel siap digunakan sebagai bahan bakar diesel baik dengan
campuran solar maupun biodiesel murni. Perbandingan karakterisitik minyak kasar kesambi
dan metil ester kesambi ditunjukkan pada tabel 3. Berdasarkan tabel 3, proses
transesterifikasi dapat meningkatkan beberapa karakteristik penting biodiesel sebagai bahan
bakar nabati.

Tabel 3. Perbandingan karakterisitik minyak kasar kesambi dan metil ester kesambi
Karakteristik
Viskositas @40oC (cSt)
Berat jenis @40oC (Kg/m3)
Flash point (oC)
Titik Bakar (oC)
Nilai Kalor (kj/kg)

Minyak Kesambi
40,36
860
225
231
38.140

Biodiesel Kesambi
12,2
850
145
152
41.650

SNI 04-7182-2006
2,3 – 6,0
850 – 890
min. 100
-

Sumber : Gandhi, M et. al. (2011)

Viskositas adalah tahanan alir cairan akibat gesekan internal dari salah satu bagian
dari fluida bergerak di atas yang lain. Viskositas biodisel kesambi yang belum masuk SNI
perlu diturunkan kembali karena viskositas yang tinggi dapat menyulitkan pompa bahan
bakar mengalirkan bahan bakar ke ruang bakar. Rendahnya aliran bahan bakar akan
menyulitkan terjadinya atomisasi bahan bakar yang baik. Hal ini menyebabkan peningkatan
deposit, penetrasi semprot bahan bakar, dan emisi mesin (Knothe G. et al., 2005).
Penutup
Rendemen minyak kesambi menggunakan metode ekspeller diperoleh sebesar 23,11
%. Tingginya asam lemak bebas dalam minyak kesambi dapat diturunkan hingga 1,2 %
dengan metode pemanasan. Untuk menurunkan angka asam lemak bebas minyak kesambi
hingga mencapai 2% diperlukan suhu 80oC. Proses transesterifikasi dilakukan dengan
penambahan metanol dengan perbandingan molar 5:1 dan katalis KOH 1,5% b/b. Biodisel
kesambi mempunyai karakteristik mendekati bahan bakar solar jika dibandingkan dengan
minyak kasar kesambi yang dilihat dari perbandingan viskositas, berat jenis, flash point, titik
bakar, dan nilai kalornya (Asif Aunillah dan Dibyo Pranowo, Balittri)

DAFTAR PUSTAKA

Council of Scientific & Industrial Research. 1972. The wealth of India: A dictionary of India
raw materials and industrial products. New Delhi: Publications & Information
Directorate, CSIR.
Demirbas, A., 2009. Biodiesel from waste cooking oil via base-catalytic and supercritical
transesterification. Energy Convers. Manage. 50, 923–927.
ESDM, 2012. HANDBOOK of ENERGY & ECONOMIC STATISTICS of INDONESIA
Gandhi, M., N. Ramu dan S. Bakkiya Raj. 2011. Methyl ester production from schlichera
oleosa. International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research (2011),
Vol. 2, Issue 5: 1244-1250
Gupta, R.; Srivastava, J. P.; Gupta, B. S.; Dutta, K. S., 1986. Palatability and nutritive value
of expeller pressed kosum (Schleichera oleosa ) cake. Indian J. Anim. Health, 25:
165-169
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3:1252-1260 Terj. Yayasan Sarana Wana
Jaya, Jakarta.
Hu, J., Du, Z., Tang, Z., Min, E., 2004. Study on the solvent power of new green solvent:
biodiesel. Ind. Eng. Chem. Res. 43, 7928–7931
Iwasa, S., 1997. Schleichera oleosa (Lour.) Oken[Internet] Record from Proseabase. Faridah
Hanum, I & van der Maesen, L.J.G. (Editors). PROSEA (Plant Resources of
South-East Asia) Foundation, Bogor, Indonesia. http://www.proseanet.org.
Accessed from Internet: 17-Oct-2011
Ketaren, S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak & Lemak Pangan.UI-Press, Jakarta
Knothe, G., Jon Van Gerpen dan Jürgen Krahl., 2005. The Biodiesel Handbook. AOCS press.
USA
Palanuvej, C dan Vipunngeun, N. 2008. Fatty acid constituents of
(Lour.) oken. seed oil. J Health Res 2008, 22(4): 203

schleichera oleosa

Sudradjat, R., E. Pawoko., D. Hendra & D. Setiawan. 2010. Pembuatan biodiesel dari biji
kesambi (Schleichera oleosa L.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 28 No. 4,
Desember 2010: 358-379
Swern, D. 1982. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products 4th. Volume ke-2. John Wiley &
Sons, New York.
Vicente, G., M. Martinez dan J. Aracil. 2004. Integrated Biodiesel Production: a Comparison
of Different Homogeneous Catalysts Systems. Biores. Technol., 92:297–305.

http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/5529-laju-eksplorasi-cadangan-minyakindonesia-sangat-tinggi.html. Diakses tanggal 7 Maret 2012