PPn Tanggung Jawab Renteng pada
PPN TJR
1.
2.
3.
4.
Aturan ttg TJR
Paparkan inti TJR
Kasus TJR
Solusi TJR
Aturan
Pasal 16F UU Nomor 42 Tahun 2009 (berlaku sejak 1 April 2010) tentang perubahan
ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa dan PPnBM
Pasal 4 PP 1 Tahun 2012 (berlaku sejak tanggal diundangkan (4 Januari 2012) kecuali
mengenai Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 berlaku sejak tanggal 1 April 2010) tentang
Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan
ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM
YANG BERTANGGUNG JAWAB SECARA RENTENG (Pasal 4 PP 1 Tahun 2012)
Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1
Tahun 2012)
1. pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi
jasa; atau
2. pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.
Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) PP 1
Tahun 2012)
CARA PENAGIHAN PPN KARENA TANGGUNG JAWAB RENTENG
Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. asal 4 ayat (3) PP 1
Tahun4
sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar .
Muncul lah tanggung renteng seperti diatur dalam UU PPN Pasal 16 F, isinya ” Pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran
pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar”
Dalam Penjelasannya disebutkan “Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada
pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa.
Perhatikan!!!!! ,, dalam ayat ini tidak disebutkan bahwa tidak ada ketentuan yang menyebutkan
bahwa faktur pajak yang tidak disetor oleh penjual. Kenapa?, karena kewajiban memungut PPN
ada di penjual dan bukan urusannya pembeli.
Lalu bagaimana penerapan aturan tanggung jawab renteng di lapangan?. Salah satunya adalah
melalui pemeriksaan. Pemeriksa akan melakukan koreksi pajak masukan jika jawaban hasil
konfirmasi pajak masukan tidak ada. KPP yang menjawab konfirmasi pun akan melakukan
himbauan kepada penjual yang telah menerbitkan faktur untuk menyetor PPN bahkan
menerbitkan ketetapan pajak. Hal ini menjadi tidak normal, PPN dikenakan dua kali. Secara
matematis, jika penjual membetulkan SPT PPN dan menyetor PPN maka pajak masukan pembeli
tidak dikoreksi. Sebaiknya, jika pajak masukan pembeli dikoreksi maka penjual tidak perlu
menyetor PPN. Hitungan matematis ini tidak bisa diterapkan karena aturan dalam undangundang tidak semata mengatur hitungan matematis tetapi juga efek jera dan ke hati-hatian.
Seperti juga pajak masukan yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan tidak dapat
dikreditkan.
Saat ini, sedang dibuat e-faktur. Salah satunya, pembuatan faktur pajak oleh penjual akan
langsung terkoneksi dengan kantor pajak dan pembeli. Dengan demikian pembeli dapat
mengetahui apakah pajak masukan yang akan dikreditkan telah dilaporkan dalam SPT PPN
pembeli. Dasar hukum faktur pajak elektronik telah ada yaitu 151/PMK.011/2013. Tentu saja
masih banyak aturan yang harus disesuaikeun seperti definisi pajak masukan dan teknologi
informasi yang applicable.
Harapannya, e-faktur bisa menjadi salah satu solusi dari dispute tanggung jawab renteng.
Dimana pembeli hanya bisa mengkreditkan pajak masukan yang telah dilaporkan. Atau pembeli
langsung bisa mengkreditkan pajak masukan dan KPP secara sistem langsung membuat
ketetapan pajak bagi penjual yang telah membuat faktur pajak dan telah dikreditkan oleh
pembeli.
Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa
bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak
yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau
penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual
atau pemberi jasa”.
Ilustrasi:
PT Megacom telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang
perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit komputer kepada
PT Nusantara dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan ini terutang PPN
sebesar 10% x Rp70.000.000= Rp7.000.000. Mekanisme umum yang diatur dalam UU PPN
1984 atas transaksi tersebut adalah:
1. PT Megacom menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7.000.000.
2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:
- lembar pertama diberikan kepada PT Nusantara sebagai bukti beban pajak yang seharusnya
dibayar;
- lembar kedua menjadi arsip PT Megacom sebagai bukti pemungutan pajak.
3. PT Megacom wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas Negara.
4. PT Nusantara wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT Megacom.
5. Bagi PT Nusantara, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil/sah bagi pengreditan pajak
dalam suatu Masa Pajak.
Kemudian bagaimana jika PT. Nusantara tidak dapat menunjukkan bukti sah bahwa dia sudah
melunasi PPN atas pembelian komputer tersebut? maka PT Nusantara dibebani tanggung jawab
secara renteng atas pajak dimaksud. Yang artinya si pembeli (PT Nusantara) harus membayar
Rp.7.000.000 lagi. Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun 2000), Pasal
33 yang berbunyi:
Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara
renteng atas pembayaran pajak pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak
telah dibayar.
1.
2.
3.
4.
Aturan ttg TJR
Paparkan inti TJR
Kasus TJR
Solusi TJR
Aturan
Pasal 16F UU Nomor 42 Tahun 2009 (berlaku sejak 1 April 2010) tentang perubahan
ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa dan PPnBM
Pasal 4 PP 1 Tahun 2012 (berlaku sejak tanggal diundangkan (4 Januari 2012) kecuali
mengenai Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 berlaku sejak tanggal 1 April 2010) tentang
Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan
ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM
YANG BERTANGGUNG JAWAB SECARA RENTENG (Pasal 4 PP 1 Tahun 2012)
Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1
Tahun 2012)
1. pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi
jasa; atau
2. pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.
Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) PP 1
Tahun 2012)
CARA PENAGIHAN PPN KARENA TANGGUNG JAWAB RENTENG
Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. asal 4 ayat (3) PP 1
Tahun4
sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar .
Muncul lah tanggung renteng seperti diatur dalam UU PPN Pasal 16 F, isinya ” Pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran
pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar”
Dalam Penjelasannya disebutkan “Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada
pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa.
Perhatikan!!!!! ,, dalam ayat ini tidak disebutkan bahwa tidak ada ketentuan yang menyebutkan
bahwa faktur pajak yang tidak disetor oleh penjual. Kenapa?, karena kewajiban memungut PPN
ada di penjual dan bukan urusannya pembeli.
Lalu bagaimana penerapan aturan tanggung jawab renteng di lapangan?. Salah satunya adalah
melalui pemeriksaan. Pemeriksa akan melakukan koreksi pajak masukan jika jawaban hasil
konfirmasi pajak masukan tidak ada. KPP yang menjawab konfirmasi pun akan melakukan
himbauan kepada penjual yang telah menerbitkan faktur untuk menyetor PPN bahkan
menerbitkan ketetapan pajak. Hal ini menjadi tidak normal, PPN dikenakan dua kali. Secara
matematis, jika penjual membetulkan SPT PPN dan menyetor PPN maka pajak masukan pembeli
tidak dikoreksi. Sebaiknya, jika pajak masukan pembeli dikoreksi maka penjual tidak perlu
menyetor PPN. Hitungan matematis ini tidak bisa diterapkan karena aturan dalam undangundang tidak semata mengatur hitungan matematis tetapi juga efek jera dan ke hati-hatian.
Seperti juga pajak masukan yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan tidak dapat
dikreditkan.
Saat ini, sedang dibuat e-faktur. Salah satunya, pembuatan faktur pajak oleh penjual akan
langsung terkoneksi dengan kantor pajak dan pembeli. Dengan demikian pembeli dapat
mengetahui apakah pajak masukan yang akan dikreditkan telah dilaporkan dalam SPT PPN
pembeli. Dasar hukum faktur pajak elektronik telah ada yaitu 151/PMK.011/2013. Tentu saja
masih banyak aturan yang harus disesuaikeun seperti definisi pajak masukan dan teknologi
informasi yang applicable.
Harapannya, e-faktur bisa menjadi salah satu solusi dari dispute tanggung jawab renteng.
Dimana pembeli hanya bisa mengkreditkan pajak masukan yang telah dilaporkan. Atau pembeli
langsung bisa mengkreditkan pajak masukan dan KPP secara sistem langsung membuat
ketetapan pajak bagi penjual yang telah membuat faktur pajak dan telah dikreditkan oleh
pembeli.
Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa
bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak
yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau
penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual
atau pemberi jasa”.
Ilustrasi:
PT Megacom telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang
perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit komputer kepada
PT Nusantara dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan ini terutang PPN
sebesar 10% x Rp70.000.000= Rp7.000.000. Mekanisme umum yang diatur dalam UU PPN
1984 atas transaksi tersebut adalah:
1. PT Megacom menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7.000.000.
2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:
- lembar pertama diberikan kepada PT Nusantara sebagai bukti beban pajak yang seharusnya
dibayar;
- lembar kedua menjadi arsip PT Megacom sebagai bukti pemungutan pajak.
3. PT Megacom wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas Negara.
4. PT Nusantara wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT Megacom.
5. Bagi PT Nusantara, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil/sah bagi pengreditan pajak
dalam suatu Masa Pajak.
Kemudian bagaimana jika PT. Nusantara tidak dapat menunjukkan bukti sah bahwa dia sudah
melunasi PPN atas pembelian komputer tersebut? maka PT Nusantara dibebani tanggung jawab
secara renteng atas pajak dimaksud. Yang artinya si pembeli (PT Nusantara) harus membayar
Rp.7.000.000 lagi. Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun 2000), Pasal
33 yang berbunyi:
Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara
renteng atas pembayaran pajak pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak
telah dibayar.