Pemeriksaan fisik pemeriksaan penunjang ECT

Sistem Neurobehavior

Pemeriksaan ECT

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Salah satu terapi pada psikiatri atau dunia kedokteran jiwa yang tidak banyak
diketahui oleh banyak masyarakat adalah suatu terapi kejut dengan menggunakan
sebuah instrumen khusus yang dinamakan sebagai ECT (Electro ConvulsionTherapy).
Zaman dahulu penanganan pasien gangguan jiwa adalah dengan dipasung, dirantai,
atau diikat, lalu ditempatkan di rumah atau hutan jika gangguan jiwa berat. Tetapi bila
pasien tersebut tidak berbahaya, dibiarkan berkeliaran di desa, sambil mencari
makanan dan menjadi tontonan masyarakat. Terapi dalam gangguan jiwa bukan hanya
meliputi pengobatan dengan farmakologi tetapi juga dengan psikoterapi, serta terapi
modalitas yang sesuai dengan gejala atau penyakit pasien yang akan mendukung
penyembuhan pasien jiwa. Terapi kejang listrik merupakan salah satu terapi dalam
kelompok terapi total. Terapi ini berupa terapi fisik dengan pasien-pasien psikiatri
dengan indikasi dan cara tertentu. Terapi kejang listrik adalah suatu pengobatan untuk
menimbulkan kejang grand mal secara artificial dengan melewatkan aliran listrik
melalui elektroda yang dipasang pada satu atau dua “temples”(Stuard,2007).

Pada pelaksanaanpengobatan ECT, mekanismenya sebenarnya tidak diketahui,
tapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia dalam
otak. Suatu peningkatan kadar norefinefrin dan serotonin, mirip efek obat
antidepresan. Kehilangan memori dan kekacauan mental sementara merupakan efek
samping yang paling umum dimana perawat merupakan hal yang penting hadir pada
saat pasien sadar setelah ECT, supaya dapat mengurangi ketakutan-ketakutan
yangdisertai dengan kehilangan memori (Erlinafsiah, 2010).

B. Tujuan Umum
1. Memahami dan mengerti tentang persiapan pemeriksaan ECT.
C. Tujuan Khusus
1. Mampu melakukan intervensi pada pemeriksaan ECT.
D. Manfaat Penulisan
Untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang persiapan pemeriksaan ECT.

1

Sistem Neurobehavior

Pemeriksaan ECT


BAB II
ISI
A. PEMERIKSAAN ECT
Pada penanganan klien gangguan jiwa di Rumah Sakit baik kronik maupun pasien
baru biasanya diberikan psikofarmaka, psikotherapi, terapi modalitas yang meliputi terapi
individu, terapi lingkungan, terapi kognitif, terapi kelompok terapi perilaku dan terapi
keluarga. Biasanya pasien menunjukan gejala yang berkurang dan menunjukan
penyembuhan, tetapi pada beberapa klien kurang atau bahkan tidak berespon terhadap
pengobatan sehingga diberikan terapi tambahan yaitu ECT (Electro Convulsive Therapy).
a. Pengertian
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana
arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis.
Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek
yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi
diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia didalam otak
(Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan.
b. Indikasi
1. Gangguan afek yang berat: pasien dengan depresi berat atau gangguan
bipolar, atau depresi menunjukkan respons yang baik pada pemberian ECT

(80-90% membaik versus 70% atau lebih dengan antidepresan). Pasien dengan
gejala vegetatif yang jelas (seperti insomnia, konstipasi; riwayat bunuh diri,
obsesi rasa bersalah, anoreksia, penurunan berat badan, dan retardasi
psikomotor) cukup bersespon.
2. Skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan
respons yang baik dengan ECT. Tetapi pada keadaan schizofrenia kronik hal
ini tidak teralalu berguna.
c. Kontraindikasi
1. Tumor intra kranial, karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
2. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran
3. Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
4. Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung.
5. Asthma bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita
d. Komplikasi
1. Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi
berakhir 2-3 bulan (tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat dengan
metode bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang
meningkat dan adanya organik sebelumnya.
2. Sakit kepala, mual, nyeri otot.
2


Sistem Neurobehavior

3.
4.
5.
6.

Pemeriksaan ECT

Kebingungan.
Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal
Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
Suksinilkolin diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan bisa menyebabkan
hipotonia.

e. Persiapan ECT (Pra-ECT)
1. Lengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik, konsentrasikan pada peme¬riksaan
jantung dan status neurologic, pemeriksaan darah perifer lengkap, EKG, EEG atau
CT Scan jika terdapat gambaran Neurologis tidak abnormal. Hal ini penting

mengingat terdapat kontraindikasi pada gangguan jantung, pernafasan dan
persarafan.
2. Siapkan pasien dengan, informasi, dan. dukungan, psikologis.
3. Puasa setelah tengah malam.
4. Kosongkan kandung kemih dan lakukan defekasi
5. Pada keadaan ansietas berikan 5 mg diazepam 1-2 jam sebelumnya
6. Antidepresan, antipsikotik, diberikan sehari sebelumnya
7. Sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan (dan sejenisnya) harus dihentikan -sehari
sebelumnya.
f. Pelaksanaan ECT
1. Buat pasien merasa nyaman. Pindahkan ke tempat dengan permukaan rata dan
cukup keras.
2. Hiperekstensikan punggung dengan bantal.
3. Bila sudah siap, berikan premedikasi dengan atropin (0,6-1,2 mg SC, IM atau IV).
Antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi
gastrointestinal.
4. Sediakan 90-100% oksigen dengan kantung oksigen ketika respirasi tidak spontan.
5. Beri natrium metoheksital (Brevital) (40-100 mg IV, dengan cepat). Anestetik
barbiturat kerja singkat ini dipakai untuk menghasilkan koma yang ringan.
6. Selanjutnya, dengan cepat berikan pelemas otot suksinilkolin (Anectine) (30-80

mg IV, secara cepat awasi kedalaman relaksasi melalui fasikulasi otot yang
dihasilkan) untuk menghindari kemungkinan kejang umum (seperti plantarfleksi)
meskipun jarang.
7. Setelah lemas, letakkan balok gigi di mulut kemudian berikan stimulus listrik
(dapat dilakukan secara bilateral pada kedua pelipis ataupun unilateral pada salah
satu pelipis otak yang dominan)
g. Post ECT
1. Awasi pasien dengan hati-hati sampai dengan klien stabil kebingungan biasanya
timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.
2. Pasien berada pada resiko untuk terjadinya apneu memanjang dan delirium
pascakejang
(5
10
mg
diazepam
IV
dapat
membantu)

3


Sistem Neurobehavior

Pemeriksaan ECT

BAB III
KESIMPULAN
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik danmenimbulkan
kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalahbentuk terapi pada
klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yangditempelkan pada pelipis
klien untuk membangkitkan kejang grandmall. Therapi ECTmerupakan peubahan untuk
penderita psikiatrik berat, dimana pemberian arus listriksingkat dikepala digunakan untuk
menghasilkan kejang tonik klonik umum.Padaterapi ECT ini,ada efek samping yang di
hasilkan.Oleh karena itu perawat harusmemperhatikan efek samping yang akan
terjadi.Dan peran perawat dalam terapiECT yaitu perawat sebelum melakukan terapi
ECT, harus mempersiapkan alat danmengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan
tindakan yang akandilakukan.

4


Sistem Neurobehavior

Pemeriksaan ECT

DAFTAR PUSTAKA
Guze, B., Richeimer, S., dan Siegel, D.J. (1990). The Handbook of Psychiatry. California:
Year
Book
Medical
Publishers
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (2000). Synopsis of Psychiatry. New York:
Williams
and
Wilkins
Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (Ed ke7). St. Louis: Mosby, Inc.
http://www.neurotherapy.asia/eeg_brain_mapping.htm

5