Tradisi Pernikahan Adat doc 1

Tradisi Pernikahan Adat Betawi
Posted on 8 September 2009 by Batavusqu
22

Selasa, 8 September 2009

Pernikahan ala betawi bagi kampung kukusan, kampung sawah,
kampung cipedak masih sering ditemukan walau dibeberapa kegiatan sudah
banyak yang diabaikan. Untuk itu mari para abang none yang tergabung dalam
Forkabi, Forkot, Betawi Rembug, Perbekut dan anggota komunitas muda
betawi lainnya untuk bersama menyimak saduran dari swaberita.com agar
budaya adat nikah ala betawi kembali ke hitahnya, semoga sekecil apapun yang
kita lakukan menjadi catatan tersendiri bagi penerus nanti.
24-04-08 : 12.53
Masyarakat Betawi memiliki sejarah panjang sebagaimana terbentuknya kota Jakarta sebagai
tempat domisili asalnya. Sebagai sebuah kota dagang yang ramai, Sunda Kelapa, nama Jakarta
tempo dulu, disinggahi oleh berbagai suku bangsa.

Penggalan budaya Arab, India, Cina, Sunda, Jawa, Eropa, Melayu dan
sebagainya seakan berbaur menjadi bagian dari karakteristik kebudayaan
Betawi yang kita kenal kini. Singkat kata, tradisi budaya Betawi laksana

‘campursari’ dari beragam budaya dan elemen etnik masa silam yang secara
utuh menjadi budaya Betawi kini.
Suku Betawi sangat mencintai kesenian, salah satu ciri khas kesenian mereka yaitu Tanjidor yang
dilatar belakangi dari budaya belanda, selain itu betawi memiliki kesenian keroncong tugu yang
dilatar belakangi dari budaya Portugis-Arab, kesenian gambang kromong yang dilatar belakangi
dari budaya cina. Selain kesenian yang selalu ditampilkan dengan penuh kemeriahan, tata cara
pernikahan budaya betawi juga sangat meriah.

Untuk adat prosesi pernikahan betawi, ada banyak serangkaian prosesi.
Didahului masa perkenalan melalui “Mak Comblang”. Dilanjutkan lamaran,
pingitan, upacara siraman. Prosesi potong cuntung atau ngerik bulu kalong
dengan uang logam yang diapit lalu digunting. Kemudian dilanjutkan dengan
malam pacar, malam dimana mempelai wanita memerahkan kuku kaki dan
tangannya dengan pacar. Puncak adat betawi adalah Akad nikah.

Tradisi Meriah
Meriah dan penuh warna-warni, demikian gambaran dari tradisi pernikahan adat Betawi. Diiringi
suara petasan, rombongan keluarga mempelai pria berjalan memasuki depan rumah kediaman
mempelai wanita sambil diiringi oleh ondel-ondel, tanjidor serta marawis (rombongan pemain
rebana menggunakan bahasa arab). Mempelai pria berjalan sambil menuntun kambing yang

merupakan ciri khas keluarga betawi dari Tanah Abang.
Sesampainya didepan rumah terlebih dulu diadakan prosesi “Buka Palang Pintu”, berupa
berbalas pantun dan Adu Silat antara wakil dari keluarga pria dan wakil dari keluarga wanita.
Prosesi tersebut dimaksudkan sebagai ujian bagi mempelai pria sebelum diterima sebagai calon
suami yang akan menjadi pelindung bagi mempelai wanita sang pujaan hati. Uniknya, dalam
setiap petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin
pria.

Prosesi Akad Nikah
Pada saat akad nikah, rombongan mempelai pria memberikan hantaran berupa :
1.

Sirih, gambir, pala, kapur dan pinang artinya segala pahit, getir, dan manisnya kehidupan rumah
tangga harus dijalani bersama antara suami dan istri.

2.

Maket Mesjid, maksudnya adalah agar mempelai wanita tidak lupa akan kewajibannya kepada
agama dan harus menjalani shalat serta mengaji.


3.

Kekudung, berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan
sebagainya.

4.

Mahar atau mas kawin dari pihak pria untuk diberikan kepada mempelai wanita.

5.

Pesalinan berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, kosmetik, sepasang roti buaya.
Buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan bersamasama.

6.

Petise yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misal : wortel, kentang, bihun,
buncis dan sebagainya.

Acara berlanjut dengan pelaksanaan akad nikah. Yang kemudian dilanjutkan dengan

penjemputan pengantin wanita. Selanjutnya, kedua pengantin dinaikkan ke dalam sebuah delman

yang sudah dihias dengan masing-masing seorang pengiring. Delman tersebut ditutupi dengan
kain pelekat hitam sehingga tidak kelihatan dari luar. Akan tetapi, dengan kain pelekat hitam
yang ditempelkan pada delman, maka orang-orang mengetahui bahwa ada pengantin yang akan
pergi ke penghulu.

Pernikahan
Pada hari pesta pernikahan, baik pengantin pria maupun pengantin wanita, mengenakan pakaian
kebesaran pengantin dan dihias. Dari gaya pakaian pengantin Betawi, ada dua budaya asing yang
melekat dalam prosesi pernikahan. Pengantin pria dipengaruhi budaya Arab. Sedangkan busana
pengantin wanita dipengaruhi adat Tionghoa. Demikian pula dengan musik yang meramaikan
pesta pernikahan.

Adat Mayat Berjalan di Tanah Toraja, Makassar – Sulawesi
Selatan
Bagi temen-temen yang belum tau, Tanah Toraja (Tator) merupakan salah satu objek wisata
andalan propinsi Sulawesi Selatan. Toraja mempunyai adat istiadat terkenal yaitu UPACARA
KEMATIAN. Nah... yang akan saya bahas pada postingan kali ini yaitu tradisi mayat berjalan di
Toraja. Tujuan saya memposting artikel ini yaitu untuk menyampaikan informasi yang benar

mengenai tradisi mayat berjalan di Toraja karena saya sering mendengar cerita yang keliru
tentang tradisi tersebut, dan tujuan lain saya tidak lain untuk memperkenalkan budaya Tanah
Toraja kepada teman-teman yang belum tau sama sekali mengenai adat istiadat Toraja terutama
teman-teman saya di prodi Bisnis Pariwisata-Universitas Brawijaya Malang.
Sejarah Mayat Berjalan :
Berikut merupakan artikel jadul yang di tulis berdasarkan pengalaman seseorang, dibuat pada
19 Februari 1972 yang di posting oleh torajacybernews.blogspot.com. Namun saya hanya
mengambil beberapa paragraf dari artikel tersebut, bunyinya :
Konon menurut Tampubolon, sang majat berdjalan kaku dan agak tersentak-sentak. Dan dalam
perdjalanan itu ia tidak bisa sendirian, harus ditemani oleh satu orang hidup jang mengawalnja,
sampai ketudjuan achir jaitu rumahnja sendiri. Mengapa harus demikian?
Tjeritanja begini. Orang-orang Toradja biasa mendjeladjah daerahnja jang bergunung-gunung
dan banjak tjeruk itu hanja dengan berdjalan kaki. Dari zaman purba sampai sekarang tetap
begitu. Mereka tidak mengenal pedati, delman, gerobak atau jang sematjamnja. Nah dalam
perdjalanan jang berat itu kemungkinan djatuh sakit dan mati selalu ada. Supaja majat tidak
sampai ditinggal didaerah jang tidak dikenal (orang Toradja menghormati roh setiap orang jang
meninggal) dan djug supaja ia tidak menjusahkan manusia lainnja (akan sangat tidak mungkin

menggotong terus-menerus djenazah sepandjang perdjalanan jang makan waktu berhari-hari),
maka dengan satu ilmu gaib, mungkin sedjenis hipnotisme menurut istilah saman sekarang,

majat diharuskan pulang berdjalan kaki dan baru berhenti bila ia sudah meletakkan badannja
didalam rumahnja sendiri. Dan bajangkan sadja, majat itu tahu arah djalan, dan tahu jang mana
rumahnja! Kendati demikian masih ada satu pantangan: majat jang berdjalan itu tidak boleh
disentuh. Mungkin kalau disentuh mukdjizat jang menjunglapnja dengan serta merta hilang.
Wallahu'alam.
Dari potongan artikel di atas dapat di ketahui bahwa mayat di beri semacam mantra atau hipnotis
agar dapat pulang ke rumahnya tanpa menyusahkan orang lain. Dari desas desus yang beredar,
masih ada masyarakat asli Toraja yang mempunyai kemampuan tersebut yang mampu
menghipnotis mayat agar dapat berjalan namun kemampuan tersebut di gunakan pada hewan
yang sudah meninggal seperti ayam, kerbau, dll.
Sampai sekarang tradisi ini masih ada dan bertahan, namun ritualnya berbeda. Setiap tiga tahun
sekali kuburan leluhur mereka sengaja digali dan dikeluarkan dari peti, untuk didandani dan
diarak keliling kampung. Uniknya, jasad mayat ini masih tetap utuh walaupun tidak diberi
balsam atau jenis pengawet lainnya. Menurut kepercayaan setempat, arwah para leluhur masih
tersimpan dalam tubuh mayat tersebut. Mereka masih ‘’hidup” dan mengawasi keturunannya
dari ‘tempat’ yang lain. Perhatikan gambar di bawah ini :

Dalam ritual tersebut, mayat yang telah dikeluarkan dari peti akan diberi bedak dan dipakaikan
gaun layaknya pergi ke sebuah pesta meriah. Selanjutnya, mayat ini diarak keliling kampung
oleh beberapa anggota keluarganya. Kabarnya, mayat tersebut masih bisa berdiri tegak di atas

kakinya sendiri, seakan ada kekuatan gaib yang menopangnya.

Petik Laut Muncar, Kabupaten Banyuwangi
Posted on 10 Januari 2013 by Pusaka Jawatimuran
Upacara Tradisional Petik Laut Muncar.
Yang dimaksud dengan Petik Laut dapat dijelaskan menurut arti harfiah sebagai berikut “Petik”
berarti ambil pungut atau peroleh. “Petik Laut” berarti memetik, mengambil, memungut atau
memperoleh hasil laut berupa ikan yang mampu menghidupi nelayan Muncar dan sekitarnya.
Maksud dan Tujuan.
Penyelenggaraan upacara Petik Laut Muncar dikandung maksud sebagai pengungkapan dari
perasaan syukur, usaha dan mencoba kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dilakukan secara
berkelompok khususnya bagi masyarakat nelayan di Muncar dan sekitarnya.
Pengungkapan perasaan tersebut diwujudkan dalam bentuk kegiatan tasyakuran sampai dengan
tradisi masyarakat secara beramai-ramai melakukan upacara di tengan laut, sesuai dengan tradisi
yang masih hidup dilingkungan masyarakat nelayan Muncar sebagai usaha mewarisi tradisi para
leluhur yang sudah berlangsung sejak dalam kurun waktu yang lama.
Tujuan diselenggarakannya kegiatan Petik Laut Muncar ini antara lain dapat diungkapkan
sebagai berikut :
Mensyukuri atas Rahmad Tuhan Yang Maha Esa yang telah dilimpahkan berupa hasil
penangkapan ikan yang tidak kunjung henti-hentinya sepanjang massa.

Sebagai salah satu media permohonan kehadapan Tuhan Yang Esa, agar selalu memperoleh perlindungan dan dijauhkan dari segala marabahaya, dianugerahi keselamatan dan hasil yang lebih
melimpah lagi.
Sebagai salah satu upaya menanamkan perasaan cinta bahari bagi masyarakat nelayan Muncar,
sehingga kehidupan laut yang telah mendatangkan manfaat bagi kehidupan laut dapat terpelihara
secara lestari.
Awal Pelaksanaan Petik Laut Muncar.
Salah seorang sesepuh masyarakat nelayan Muncar menceritakan bahwa pada tahun 1901 telah
bermukim di Muncar. Pada saat itu telah diselenggarakan Upacara Petik Laut, yang cara meracik
sesajinya telah mengikuti cara yang di pergunakan oleh masyarakat nelayan sebelumnya.
Berdasarkan informasi tersebut di sisi lain mengandung arti bahwa kegiatan Petik Laut Muncar
merupakan tradisi masyarakat Muncar yang berlangsung sejak waktu yang cukup lama dan
sampai sekarang masih terpelihara dengan baik di hati masyarakat.

Peserta dan Kelengkapan Upacara.
Pelaksanaan upacara Petik Laut Muncar diikuti oleh seluruh masyarakat nelayan Muncar, para
pejabat dan undangan serta hadirin para pengunjung dari masyarakat disekitar Muncar ikut
memeriahkan kegiatan Petik Laut Muncar tersebut.
Kelengkapan upacara yang dianggap penting adalah berbentuk sesaji berupa kue, masakan dan
makanan yang berasal dari palawija yang bergantung dan bentuk lainnya, yang menonjol
berupa :

Kepala Kambing “Kendit”
Kue-kue sebanyak 44 macam
Buah-buahan
Pancing emas
Candu
Pisang saba mentah Pisang raja
Nasi tumpeng, nasi gurih, nasi lawuh
Ayam jantan hidup 2 ekor
Kinangan dan lain-lain.
Semua kelengkapan sesaji tersebut disusun sedemikian rupa dimasukkan ke dalam sebuah
perahu kecil yang dihiasi berwarna-warni dan biasanya disebut “Gitik”, dan kemudian dilabuh
atau dilarung di laut. Dan dalam pelarungan tersebut selalu diiringi dengan tarian Gandrung.
Rangkaian Pelaksanaan Upacara.
Malam Tasakuran.
Malam menjelang pelaksanaan upacara Petik Laut, hampir seluruh masyarakat nelayan di Muncar melakukan tirakatan sampai pagi dengan satu harapan semoga Tuhan Yang Maha Esa
memberkahi dan senantiasa dalam pelaksanaan Petik Laut Muncar pada siang harinya selamat
tidak ada halangan apapun.
Ider Bumi.
Pagi hari ± 06.00 WIB, sesaji yang telah siap di dalam “Gitik” dan ditempatkan di rumah
Pawang, diangkut menuju ke tempat upacara sambil terlebih dahulu diarak keliling dilingkungan

perkampungan nelayan, diiringi oleh perangkat kesenian pengiring berupa Terbangan, Gandrung,
bersama-sama dengan kegiatan kelompok masyarakat nelayan menuju ke tempat upacara
pelepasan sesaji.

Upacara Pelepasan Sesaji.
Di tempat yang telah ditentukan biasanya mengambil tempat di TPI pada tanggal 15 Muharram,
biasanya, dimulai pada pukul 09.00 WIB. Perahu yang membawa Gitik yang brisi sesaji ditempatkan paling depan dan kemudian diikuti oleh iring-iringan perahu nelayan yang membawa
ke tengah laut untuk dilarung.
Sebagai kelanjutan dari upacara tersebut kemudian rombongan berziarah ke Makam Sayid Yusuf.
Upacara-upacara petik Laut di tempat Lain diantaranya adalah di Grajagan, Blimbingsari,
Lampon dan sebagainya.
Posted on 29 Oktober 2012 by Pusaka Jawatimuran

Rate This

Ini acara ritual tahunan. Namanya larung sesaji,
dan Minggu siang itu (12/12/2011) digelar di Pantai Pasir Putih Malikan (Papuma). Ada
keriuhan, ditingkahi wangi asap dupa, kemenyan. Sepotong kepala kambing dil- etakkan di atas
miniatur kapal dan diarak bersama-sama menuju samudera. Para pengaraknya memakai pakaian
adat Jawa, dengan iringan reog Singo Budoyo. Mereka memasuki pekarangan vihara, dan

berhenti di salah satu ceruk tempat sesaji.
Ini Vihara Dewi Sri Wulan. Warnya didominasi merah, dengan menara bundar berkisi-kisi emas
menjulang tinggi. Dalam ceruk, seekor singa dan bangau berdiri. Vihara ini konon dulu hanya
sebuah gubuk kecil. Seorang dermawan yang tak ingin dikenal membantu mempermegah vihara
itu.
Lebih dari 30 orang bekerjasa- ma membangun vihara tersebut selama setahun. Vihara itu
disebut-sebut sebagai Vihara Dewi Kwan Im terbesar dan satu- satunya yang menghadap laut
selatan. Tak ada vihara lain yang memiliki keunikan ini. Satu-satunya di Asia Tenggara. Banyak
orang yang datang dan beribadah di sini dan memberikan pemasukan yang besar. Bahkan ada

pula turis manca negara seperti Jerman, Iran, Israel dan Cina yang datang ke sini.

Di ceruk vihara itu, doa dilantunkan untuk sesaji, sebelum dibawa ke pantai. Di tengah pantai
Papuma, sejumlah sesepuh dan pemimpin vihara mendorong ‘kapal’ sesaji itu ke tengah laut.
Sesaji itu adalah perwujudan rasa syukur masyarakat nelayan di selatan Jember, atas
melimpahnya panen ikan tahun ini. Mereka berharap, panen ikan terjadi sepanjang tahun.
Selamanya.
Larung sesaji juga lukisan harmoni masyarakat Jember selatan. Seniman, jag- awana, polisi,
tokoh adat, tokoh agama, dan penjaga vihara, tumplek blek. Tahun lalu, barongsai menjadi seni
tradisi yang dimainkan. Tahun ini, reog menjadi pilihan. Malam sebelumnya, wayang kulit sudah
digelar, mendahului acara larung di siang itu.
Bagi sebagian kalangan, larung sesaji adalah perpaduan atau sinkretisme sejumlah elemen
agama: Islam, kejawen, Konghucu. Acara ini sudah lima kali digelar selama lima tahun terakhir.
Dalam perkembangannya semakin banyak masyarakat dan wisatawan yang tertarik pada upacara
ini. Tentu saja, ini aset wisata budaya yang unik dan menarik. Tak hanya mempromosikan
keindahan, tapi juga makna kedamaian sebuah perbedaan dalam masyarakat yang beragam. (*)

Salah satu bagian terpenting dari kehidupan manusia dalah PERKAWINAN,
karena perkawinan merupakan Sunnah Rasulullah Nabi Besar Muhammad
SAW. Perkawinan sesungguhnya merupakan suatu peristiwa yang
melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, yaitu tanggung

jawab Orang Tua, keluarga, kerabat, bahkan kesaksian dari anggota
masyarakat di mana mereka berada, maka selayaknyalah jika upacara
tersebut diadakan secara khusus dan meriah sesuai dengan tingkat
kemampuan atau strata sosial dalam masyarakat. Upacara perkawinan
banyak dipengaruhi oleh acara-acara sakral dengan tujuan agar perkawinan
berjalan dengan lancar dan kedua mempelai didoakan ke hadirat Allah SWT,
sukses dalam segala usaha dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah
tangga yang langgeng menuju keluarga Sakinah, Mawaddah, Warohmah.

Tata cara upacara adat Bugis-Makassar dalam acara perkawinan sejatinya
memiliki beberapa proses atau tahapan upacara adat, antara lain:
1. A’jangang-jangang (Ma’manu’-manu’).
2. A’suro (Massuro) atau melamar.
3. A’pa’nassar (Patenre ada’) atau menentukan hari.
4. A’panai Leko’ Lompo (erang-erang) atau sirih pinang.
5. A’barumbung (Mappesau) atau mandi uap, dilakukan selama 3 (tiga)
hari.
6. Appassili bunting (Cemme mappepaccing) atau siraman dan A’bubbu’
( mencukur rambut halus dari calon mempelai.
7. Akkorontigi (Mappacci) atau malam pacar.
8. Assimorong atau akad nikah.
9. Allekka’ bunting (Marolla) atau mundu mantu.
10.

Appa’bajikang bunting atau menyatukan kedua mempelai.

Upacara tradisional tersebut di atas masih memiliki uraian-uraian yang
lebih detail dari masing-masing tahapan atau proses. Pada kesempatan ini
akan diuraikan tentang tata cara upacara adat:
1. Appassili bunting (Cemme mappepaccing) dan A’bubbu’.
2. A’korontigi (Mappacci).
3. Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong
(Akad Nikah)
1. Appassili bunting (Cemme mappepaccing), A’bubbu’ dan
Appakanre Bunting

Kegiatan dalam tata cara atau prosesi upacara adat ini terdiri dari:
Appassili bunting.
Persiapan sebelum acara ini adalah calon mempelai dibuatkan tempat
khusus berupa gubuk siraman yang telah ditata sedemikian rupa di depan
rumah atau pada tempat yang telah disepakati bersama oleh anggota
keluarga.

Gambar 1: Perangkat adat prosesi Siraman.
Acara dilakukan sekitar pukul 09.00 – 10.00 waktu setempat. Pelaksanaan
acara pada jam tersebut memiliki niat atau maksud. Calon mempelai
memakai busana yang baru/baik dan ditata sedemikian rupa.
Appassili atau Cemme Mappepaccing mengandung arti membersihkan
dengan maksud agar calon mempelai senantiasa diberi perlindungan dan
dijauhkan dari mara bahaya oleh Allah SWT.
Alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi adat ini adalah:


Pammaja besar/Gentong.



Gayung/tatakan pammaja.



Air, sebagai media yang suci dan mensucikan.



Bunga tujuh rupanna (tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.



Ja’jakkang, terdiri dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam
sebuah bakul.



Kanjoli’ (lilin), berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau
sembilan batang.



Kelapa tunas.



Gula merah.



Pa’dupang.



Leko’ passili.

Prosesi
Acara
Appassili:
Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu
kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan.
Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah
naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4
(empat) orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang lakilaki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi
dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan
oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta)
yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.

Gambar 2: Calon mempelai wanita memohon doa restu pada kedua orang tua

Gambar 3. Calon mempelai wanita menuju tempat siraman di bawah
naunga Payung Lellu.
Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja/gentong yang telah
dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan
kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai
dengan doa dari masing-masing figure yang diberi mandat untuk
memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman
diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air
wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali.
Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

Gambar 4. Prosesi acara Appassili (siraman)
A’bubbu’ (Macceko).
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan
pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin) atau lipa’
sabbe, serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bubbu (macceko) dimulai
dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubunubun atau alis.

Gambar 5: Prosesi acara A’bubbu’ (Macceko)
Appakanre
bunting.
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa
kue-kue
khas
tradisional bugis makassar, seperti Bayao nibalu, Cucuru’ bayao, Sirikaya,
Onde-onde/Umba-umba, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan

ditempatkan
dalam suatu wadah besar yang disebut bosara lompo.

Gambar 6: Prosesi Acara Appakanre bunting
2. Akkorontigi (Mappacci).
Rumah calon mempelai telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan
dekorasi khas daerah bugis makassar, yang terdiri dari:
a. Pelaminan (Lamming)
b. Lila-lila
c. Meja Oshin lengkap dengan bosara.
d. Perlengkapan Korontigi/Mappacci.

Gambar 7: Situasi ruangan tempat prosesi Akkorontigi/Mappacci
Acara Akkorontigi/Mappacci merupakan suatu rangkaian acara yang sakral
yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.
Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan
arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon
mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari
pernikahannya.
Perlengkapannya:


Pelaminan (Lamming).



Bantal.



Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas
bantal.



Bombong Unti (Pucuk daun pisang).



Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk
daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar.



Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam
tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus.



Benno’ (Bente), adalah butiran beras
menggunakan minyak hingga mekar.



Unti Te’ne (Pisang Raja).



Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan).



Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).

yang

daun

tumbuh-

digoreng

tanpa

Prosesi
acara
Akkorontigi/Mappacci:
Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan
yang telah dimandatkan untuk meletakkan pacci telah tiba, acara dimulai
dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji
berdiri, maka prosesi peletakan pacci dimulai oleh Anrong bunting yang
kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi
tugas untuk meletakkan pacci. Satu persatu para handai taulan dan
undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang
menjemput
mereka
dan
memandu
menuju
pelaminan.
Acara
Akkorontigi/Mappacci ini diakhiri dengan peletakan pacci oleh kedua orang
tua tercinta dan ditutup dengan doa.

Gambar 9. Prosesi Acara Akkorontigi/Mappacci

3. Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan
Assimorong
(Akad Nikah)
Kegiatan ini dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah
telah ditata dengan indahnya karena akan menerima tamu-tamu
kehormatan dan melaksanakan prosesi acara yang sangat bersejarah yaitu
pernikahan kedua calon mempelai.
Beberapa persiapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga:
Keluarga Calon Mempelai Wanita (CPW).
1. Dua pasang sesepuh untuk menjemput CPP dan memegang Lola
menuntun CPP memasuki rumah CPW.
2. Seorang ibu yang bertugas menaburkan Bente (benno) ke CPP saat
memasuki gerbang kediaman CPW.
3. Penerima erang-erang atau seserahan.
4. Penerima tamu.
Keluarga Calon Mempelai Pria (CPP).
- Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:


Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara
atau keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan
assesories CPW.



Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan
1 tandan kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah
labu kuning besar, 1 buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya,
buah nenas seperlunya, dan lain-lain.

- Perangkat adat, yang terdiri dari:


Seorang laki-laki pembawa tombak.



Anak-anak kecil pembawa ceret 3 orang.



Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar).



Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat).



Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.

- Calon mempelai Pria
- Rombongan orang tua
- Rombangan saudara kandung
- Rombongan sanak keluarga
- Rombongan undangan.
Prosesi acara Assimorong:
Setelah CPP beserta rombongan tiba di sekitar kediaman CPP, seluruh
rombongan diatur sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan. Ketika
CPP telah siap di bawa Lellu sesepuh dari pihak CPW datang menjemput
dengan mengapit CPP dan menggunakan Lola menuntun CPP menuju
gerbang kediaman CPW. Saat tiba di gerbang halaman, CPP disiram dengan
Bente/Benno oleh salah seorang sesepuh dari keluarga CPW. Kemudian
dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan
seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah itu CPP beserta rombongan
memasuki kediaman CPW untuk dinikahkan. Kemudian dilakukan
pemeriksaan berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin CPW kepada
kedua orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan
prosesi Ijab dan Qobul.
Setelah acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar
mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang
dilanjutkan dengan appadongko nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar
atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Setelah itu
kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi
Appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak
keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan
cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa.

Gambar 10. Prosesi acara Mappasikarawa/A'padongko Nikkah

Gambar 11. Prosesi acara penyerahan mahar atau mas kawin