Laporan Penelitian Makanan Tradisional K

LAPORAN PENELITIAN
MAKANAN TRADISIONAL
Kipo : Si "Ruas Jari" yang Manis Legit
Mata Kuliah : Antropologi

Disusun Oleh:
Nama : Dwi Milla Malida
NIM

:1508.1022

Kelas

: 21/A

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
2015
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur

penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat,

hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian tentang
Makanan Tradisional. Laporan penelitian ini disusun untuk memenuhi Ulangan Akhir
Semester (UAS) mata kuliah Antropologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
Dalam penyusunan laporan penelitian ini, penulis tidak lepas dari bantuan beberapa pihak,
untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan penelitian ini masih banyak kekurangan.
Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan
selanjutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca

Yogyakarta, 27 Januari 2016
Penulis,

Dwi Milla Malida
NIM. 15081022

2


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan, adat istiadat, bahasa daerah,
dan kuliner atau makanannya. Dari pulau Sabang sampai dengan pulau Merauke, setiap
daerah memiliki kuliner makanannya masing-masing, maka tak heran jika makanan
tradisional Indonesia sangatlah banyak dan beragam jenisnya. Keanekaragaman tersebut
terjadi karena beraneka ragamnya tradisi, ciri khas daerah dan juga bahan dasar yang
digunakan sesuai dengan daerah yang ada di negeri ini yaitu Indonesia. Makanan
tradisional merupakan komponen penting dalam pusaka kuliner Indonesia. Bukan saja
karena makanan tradisional tersebut enak rasanya atau unik warna dan penampilannya,
tetapi pada saat tertentu makanan tradisional juga sarat akan makna dan nilai yang
terkandung didalamnya, selain itu makanan tradisional juga merupakan warisan dari para
pendahulunya. Makanan tradisional biasanya diolah berdasarkan resep asli dari para
pendahulunya, yang sudah populer di masyarakat dengan menggunakan bahan baku lokal
tertentu dan memiliki selera yang unik yang cocok dengan masyarakat lokal tersebut.
Makanan tradisional sangat kaya akan manfaat untuk kesehatan manusia, karena makanan
tradisional memiliki karakteristik sensorik yang unik, tinggi nilai gizi dan beberapa dari
makanan tradisional khusus memiliki fungsi fisiologis, sehingga mereka disebut makanan
fungsional.

Yogyakarta terkenal sebagai budaya kota, karena di kota ini sampai sekarang
masih menggunakan aturan pemerintah dan tradisi bentuk zaman kuno masih tampak,
setelah oleh masyarakat melindungi dan menjadikan budaya yang ada dikota tersebut
sebagai warisan masyarakat. Ketersediaan beberapa makanan tradisional di Yogyakarta
memainkan peran penting untuk menarik perhatian para pariwisata. Gudeg1, geplak2 dan
yangko3 sudah terkenal sejak dulu, tetapi makanan tradisional lainnya yang tersedia dan
salah satunya adalah Kipo, yang sangat asing maupun jarang didengar oleh masyarakat
karena makanan ini sudah jarang dan langka karena hanya dibeberapa tempat saja.

1 Makanan khas Yogyakarta yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan dan memerlukan
waktu berjam-jam. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam
kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek
2 Makanan khas kota Bantul yang terbuat dari parutan kelapa dan gula pasir atau gula jawa, dan rasanya manis
3 Makanan khas kota Yogyakarta yang terbuat dari tepung ketan. Yangko berbentuk kotak dengan baluran
terigu, kenyal, dan rasanya manis

3

Kipo adalah makanan tradisional yang berasal dari wilayah Kotagede Yogyakarta.
Ini ada dari zaman Kerajaan Mataram Kuno4 sampai sekarang. Saat itu Kipo adalah

menjabat sebagai makanan ringan untuk raja dan keluarganya, sehingga Kipo adalah
makanan eksklusif dan bisa memprediksi tingkat keluarga yang mengkonsumsi. Kipo
sudah cukup dikenal sebagai manakan khas dengan rasa yang khas pula sebagai kudapan
yang selalu memanjakan lidah
Nama Kipo itu datang dari pertanyaan dalam kalimat bebahasa Jawa "Iki opo?"
atau yang dalam bahasa Indonesia "Ini apa?". Dari kalimat tanya “Iki opo,” kemudian
berkembang menjadi akronim Kipo. Memang dalam penulisan seharusnya nama kipo itu
dituliskan dengan “kipa” bukan Kipo. Kipo ini seperti kue semi-basah yang merupakan
perpaduan antara tepung beras ketan, kelapa dan gula aren atau gula jawa. Proses ini
sangat sederhana, yaitu: pencampuran, membentuk kue, memanggang dan mengemas.
Kipo merupakan sebuah kue yang memiliki bentuk agak pipih dan memanjang, dan
berwarna hijau, sementara ukurannya sebesar ibu jari hijau dan memiliki rasa legit serta
manis. Biasanya Kipo adalah dikemas dengan daun pisang sebagai primary kemasan dan
kertas sebagai kemasan sekunder.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kipo?
2. Bagaimana asal usul nama kipo?
3. Bagaimana proses pembuatan kipo?
4. Apakah makna yang terkandung dalam kipo?
C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui sejarah kipo?
2. Mengetahui asal usul nama kipo?
3. Mengetahui proses pembuatan kipo?
4. Mengatahui makna yang terkandung dalam kipo?
D. Manfaat Penelitian
1. Dapat mengetahui sejarah kipo?
2. Dapat mengetahui asal usul nama kipo?
3. Dapat mengetahui proses pembuatan kipo?
4. Dapat mengetahui makna yang terkandung dalam kipo?
4 Hal ini berkaitan karena Kotagede memiliki sejarah masa lampau sebagai Kotaraja, ibukota Keraton Mataram
Islam yang selanjutnya kerajaan itu terpecah menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta

4

HASIL ANALISIS
A. Sejarah Kipo

Sejarah makanan tradisional khas Kotagede ini cukup panjang. Pembuat pertama
kali makanan tradisional ini adalah Mbah Mangun Irono yang berasal dari Kotagede,
Yogyakarta. Saat itu, tangan terampilnya mengolah tepung beras ketan menjadi makanan

kecil. Bentuknya agak pipih dan memanjang, ukurannya kecil, berwarna hijau muda
karena memakai sari dari perasan daun pandan atau daun suji, dan agak kecoklatan karena
setelah proses digoreng dengan cara sangan5. Di Kotagede pula makanan ini pertama kali
dijajakan. Sejak tahun 1946, setelah Mbah Mangun Irono tutup usia, usaha ini diwariskan
anaknya Bu Paijem Djito Suhardjo. Pemberi nama makanan tradisional ini adalah Paijem
Djito Suhardjo atau yang sering disebut Bu Djito. Konon pada tahun 1946, Bu Djito
memulai usahanya ini dengan menjual makanan tersebut tetapi belum diberi nama. Waktu
itu Kotagede adalah pusat interaksi antara orang Jogja dan Solo. Mereka adalah pedagang
dan penjual di pasar. Satu persatu penjual datang dan bertanya nama makanan tersebut
dengan bahasa jawa yaitu “Iki opo? Iki opo?”, karena yang ditanya pun belum tahu
namanya, pertanyaan itu hanya dijawab sekenanya saja, Kipo. Maka dari itu kemudian Bu
Djito menamai makanan tersebut dengan Kipo yang merupakan kependekan dari “Iki
Opo?”. Pada generasi kedua inilah Kipo mulai memasyarakat terutama saat Dinas
Pariwisata dan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) pada tahun 1986
mengadakan pameran dan lomba makanan berbahan utamanya terbuat dari tepung beras
ketan dengan mengambil tempat di Ambarukma Palace Hotel. Dan dari masakan yang
resepnya diwarisi dari orangtuanya yakni Mbah Mangun Irono, pada saat itulah Kipo Bu
5 Menggoreng sesuatu tanpa minyak

5


Djito mendapatkan perhatian dari khalayak. Pasalnya, pada kesempatan itu Kipo Bu Djito
tersebut keluar sebagai Juara I. Sejak itu pula Kipo menjadi makanan yang banyak dicari
orang karena dianggap sebagai makanan yang lain dari pada yang lain, khas dan unik.
Selain itu Kipo memang tidak mudah ditemukan di sembarang tempat sekalipun
sesungguhnya makanan ini diproduksi setiap hari. Dulu sebelum tahun 1988 Kipo masih
dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Salah satu sebabnya adalah karena makanan
ini tidak dikemas dalam kemasan yang kelihatan mewah. Pendeknya, visualisasinya
kurang ngejreng6. Setelah itu, tahun 1988 dan 1990 undangan datang dari Jakarta untuk
mengikuti festival makanan tradisional. Bu Djito selanjutnya memberdayakan jenis
kuliner Kipo ini hingga tahun 1991 yaitu ketika ia meninggal, kemudian usahanya
kembali diwariskan ke puterinya Istri Rahayu. Ibu 3 orang putera buah perkawinannya
dengan Shodiqun ini lalu mengembangkan kios yang berada di jalan Mondorakan No. 27
Kotagede, Yogyakarta sebagai rumah produksi kipo. Sekalipun berasal dari warisan
keluarga, hasil karya Mbah Mangun Irono itu kini juga telah banyak diwarisi oleh
masyarakat Kotagede.
Sedangkan pada versi cerita lain, diceritakan juga bahwa makanan tradisional ini
sudah ada sejak jaman Kerajaan Mataram Islam dan disebutkan di dalam Prasasti Kuno
yang tertulis di dalam Serat Centhini7. Dituliskan di dalamnya ada sebuah makanan yang
bernama Kupo. Beberapa sejarah berkata bahwa Kupo itu adalah nama lama dari Kipo.

Dan juga dalam buku karangan De Graaf, disebutkan bahwa makanan khas tradisional
yang biasa disajikan bagi para tamu. Dari sejarah lisan dapat diketahui bahwa sejak abat
ke 16, konon Kipo ini merupakan makanan kegemaran dari Panembahan Senapati yang
sekarang sering dijadikan bancaan8 atau sesaji waktu ada orang Midhang atau tirakat9 di
sekitar Makam Panembahan Senapati.
B. Asal Usul Nama Kipo
Mengenai asal-usul nama Kipo, memiliki runutan cerita sejarah dan etimologi
yang panjang salah satunya bahwa pada masa lalu para bangsawan yang disuguhi Kipo

6 Sebutan untuk alat atau bahan yang mempunyai warna-warna yang terang
7 Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah
satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru
8 Ritual yang disertai dengan penyajian tumpeng dan gudangan.
9 Proses pembersihan jiwa yang juga menyeimbangkan antara tujuan hidup jasmani dan rahani dimana hal itu
harus dilakukan bagi yang ingin mencapai tingkatan tertentu dari ilmu yang dipelajari, atau mencari ketenangan
batin sehingga mampu mengerti arti sejatinya hidup ini

6

dan menyantapnya sering menanyakan mengenai jenis makanan langka namun rasanya

sangat enak ini.

Nama Kipo itu datang dari pertanyaan dalam kalimat bebahasa Jawa "Iki opo?"
atau yang dalam bahasa Indonesia "Ini apa?". Dari kalimat tanya “Iki opo,” kemudian
berkembang menjadi akronim Kipo. Memang dalam penulisan seharusnya nama Kipo itu
dituliskan dengan “kipa” bukan Kipo. Konon pada tahun 1946, Bu Djito memulai
usahanya ini dengan menjual makanan tersebut tetapi belum diberi nama. Waktu itu
Kotagede adalah pusat interaksi antara orang Jogja dan Solo. Mereka adalah pedagang
dan penjual di pasar. Satu persatu penjual datang dan bertanya nama makanan tersebut
dengan bahasa jawa yaitu “Iki opo? Iki opo?”, karena yang ditanya pun belum tahu
namanya, pertanyaan itu hanya dijawab sekenanya saja, Kipo. Maka dari itu kemudian Bu
Djito menamai makanan tersebut dengan Kipo yang merupakan kependekan dari “Iki
Opo?”. Dalam perkembangannya kini, makanan ini masih banyak ditemukan di kawasan
Kotagede, Yogyakarta

C. Proses Pembuatan Kipo
Ukuran Kipo yang tak terlalu besar ternyata justru malah membuat banyak orang
semakin ketagihan karena memiliki rasa yang lezat. Kelezatan rasa ini tak bisa lepas dari
bahan alami yang digunakan dalam pembuatan Kipo, diantaranya adalah perpaduan
antara kelapa parut dengan gula merah, dan dilapisi oleh kulit yang diolah dari tepung

ketan.
Proses pembuatan kipo ini terhitung sangat sederhana. Terlebih dulu siapkan
adonan tepung beras ketan yang dicampur dengan santan dan sedikit garam kemudian
7

diberi warna hijau yang berasal dari sari pipisan daun pandan atau daun suji dibentuk
sebagai kulit luarnya. Jika ingin hasil yang maksimal biasanya pembuatan tepung ketan
dibuat sendiri, tidak dibeli jadi. Untuk isinya parutan kelapa muda dicampur adonan gula
jawa yang biasa disebut dengan enten-enten. Adonan untuk kulit, ambil sebanyak biji
kelereng, lalu pipihkan, dan beri isian enten-enten. Setelah itu adonan tepung ketan dilipat
seperti bentuk pastel mini dan dipanggang diatas kreweng atau wajan besar yang terbuat
dari tanah liat yang dipanaskan dengan arang atau kompor hingga warna kulitnya sedikit
kecoklatan. Sebelum dipanggang, adonan yang sudah terbentuk diberi alas daun pisang
terlebih dulu agar tidak lengket. Perpaduan enten-enten dengan kulit Kipo yang terbuat
dari ketan yang diadoni dengan santan dan sedikit garam inilah setelah dipanggang akan
menghasilkan rasa yang manis-manis gurih. Untuk menghasilkan Kipo yang bagus dan
matang, Kipo harus dibolak-balik sampai matang. Aroma Kipo yang berasal dari perasan
daun suji, kelapa, gula, dan daun pisang itu benar-benar terasa khas harumnya. Oleh
karenanya selain memang dari aroma bahan bakunya, kesedapan rasa Kipo ini juga
bergantung dari proses pemanggangan yang dilakukan di atas kreweng atau wajan besar

yang terbuat dari tanah liat.

Kipo yang belum dipanggang biasanya diletakkan pada selembar daun pisang,
dimana pada setiap satu lembar daun pisang biasanya diisi dengan susunan berjajar
memanjang sebanyak 5 hingga 8 butir. Susunan Kipo mentah di atas daun itulah yang
selanjutnya dipanggang di atas wajan besar tanah liat berdurasi 2 hingga 3 menit. Setelah
itu Kipo diangkat bersama dan daun pisangnya digantikan dengan daun pisang segar
sebagai alas baru bagi Kipo yang telah matang. Ukuran Kipo biasanya mempunyai
panjang ± 4 cm dan memiliki ketebalan ± 1,5 – 2 cm.

8

Kudapan kecil yang berwarna hijau ini merupakan salah satu kue semi-basah
tradisional yang memasaknya dengan cara dipanggang. Paduan kelapa parut dengan gula
merah, dan dilapisi oleh kulit yang diolah dari tepung ketan, Kipo memiliki rasa yang
lezat. Ukurannya yang kecil justru membuat semakin ketagihan. Satu potong Kipo
besarnya tidak lebih besar dari jempol tangan orang dewasa. Namun sebagai oleh-oleh
khas, Kipo terbilang tak awet. Hanya bertahan selama 24 jam, lebih dari itu sudah tak
enak lagi tetapi jika isinya yang disebut enten-enten dibuat kering maka bisa bertahan
hingga 3 hari karena kipo ini tidak megandung bahan kimia dan pengawet sehingga tidak
bisa bertahan lama dan tidak di rekomendasikan sebagai oleh-oleh jika isiannya entenenten tersebut basah.
Kipo menjadi makanan unik yang direkomendasikan bagi yang gemar dengan
wisata kuliner Nusantara, karena harganya juga sangat terjangkau, yaitu Rp 1.800,- untuk
satu kemasan yang berisi 5 kipo.

D. Makna Kipo
Aroma Kipo yang berasal dari sari pipisan daun suji atau daun pandan, kelapa,
gula, dan daun pisang benar-benar menjadi aroma khas yang alami. Rasa legit dan gurih
yang berasal dari balutan adonan apabila dikunyah terasa kenyal, hal ini tentu saja
memberikan efek sensasional dari jenis kuliner bernama Kipo.
Dilihat dari warnanya Kipo mempunyai arti sendiri yaitu hijau yang
melambangkan atau menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan,
keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi,
pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan. Warna hijau
sendiri digunakan karena bisa untuk relaksasi, menetralisir mata, memenangkan pikiran,
9

merangsang kreatifitas. Warna hijau yang ada di Kipo merupakan salah satu dari ciri
khasnya apabila diganti dengan warna lain akan memberikan kesan yang berbeda
sehingga dari zaman awal pembuatan Kipo harus dan selalu menggunakan warna hijau.
Jika pun warna hijau yang digunakan menggunakan pewarna makanan akan mengurangi
ciri khas kue kipo itu sendiri dan juga akan mempunyai rasa yang tentunya berbeda
dengan yang menggunakan pewarna alami dari daun suji maupun daun pandan.

Kipo dibungkus menggunakan daun pisang diluarnya kemudian dilapisi dengan
kertas, didalamnya juga terdapat daun pisang yang dibungkus membentuk samir.
Bungkusan luarnya dibentuk seperti bungkusan tempelang tapi ujungnya dilipat dan di
sematkan dengan menggunakan stepless supaya isiannya tidak keluar. Bungkusan
tempelang sendiri biasanya digunakan untuk membungkus nasi uduk ataupun ketan urap.
Sedangkan didalam Kipo menggunakan alas dengan bentuk bungkusan samir, yaitu
lembaran daun pisang yang dibentuk lingkaran sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan.
Bungkusan samir ini biasanya digunakan untuk alas maupun penutup makanan yang
umumnya adalah nasi dan jajanan pasar.
Membungkus Kipo menggunakan daun pisang sudah menjadi tradisi sejak zaman
dulu sehingga jika menggilangkan ataupun mengganti pembukusan akan menghilangkan
nilai-nilai yang terkandung dalam penyajian makanan tersebut karena merupakan
penghormatan dan penghargaan bagi para leluhurnya. Maksud dari membungkus Kipo ini
dengan daun pisang, selain karena memang bungkusan dari daun pisang yang tersedia,
namun juga karena menurut pengalaman daun pisang tidak membahayakan kesehatan.
Aspek lainnya mengapa membungkus Kipo menggunakan daun pisang karena
untuk menunjukan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Fungsi yang lebih sakral
membungkus dengan daun pisang yaitu untuk menghormati budaya leluhur, yaitu hidup
10

sederhana, membuat peralatan seadanya dari benda-benda yang disediakan alam.
Makanan yang dibungkus dengan daun pisang akan membuat makanan tersebut lebih
awet karena sirkulasi udara tetap masuk dari celah-celahnya. Sedangkan makanan yang
dibungkus dengan plastic bisa membuat makanan tersebut cepat rusak atau basi.
Dalam membungkus makanan dengan daun pisang terkandung nilai spiritual.
Karena akan mengeluarkan dari keinginan jiwa untuk berbagi dan menyenangkan orang
yang menerimanya. Pembuatan bungkusan dengan sebaik mungkin, sepanjang yang
mampu dilakukan dengan kreatifitas sederhana semata agar makanan itu tersaji dengan
sopan. Nilai kesederhanaan karena daun pisang telah tersedia di lingkungan
perkampungan, tinggal memetik dan tidak harus keluar uang untuk berbelanja,
sebagaimana ketika akan mengemas makanan dengan plastic atau Styrofoam. Kemasan
daun pisang tidak memerlukan banyak pengolahan, cukup dengan hanya dijemur,
dipisahkan dari batangnya, maka daun pisang sudah siap digunakan. Kesederhanaan lain
juga terdapat pula pada warnanya, warna daun pisang terasa bersahaja dengan warna
hijau tuanya, satu corak warna yang dekat dengan kehidupan dan alam semesta dan tidak
melelahkan mata. Nilai kesehatan karena bungkusan daun pisang terbebas dari zat-zat
berbahaya. Nilai aromaterapi daun pisang mengandung klorofil 10 jika terkena panas akan
terjadi reaksi yang menimbulkan aroma khas dari klorofil itu, suatu aroma yang
mengundang selera makan. Nilai natural bungkusan daun pisang karena sampah daun
pisang bila dibuang ke tanah akan mudah terurai, tidak mencemari, bahkan sebaliknya
menambah kwalitas kesuburan tanah.
Dari segi alat pembuatannya yang masih menggunakan kreweng atau wajan besar
yang terbuat dari tanah liat mempunyai arti sendiri yaitu memunculkan nilai
kesederhanaan dari pembuatnya dan dengan memasak menggunakan kreweng tentunya
akan menciptakan aroma dan ciri khas tersendiri.

10 Klorofil atau zat hijau daun adalah pigmen yang dimiliki oleh berbagai organisme dan menjadi salah satu
molekul berperan utama dalam fotosintesis

11

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kipo adalah makanan tradisional yang berasal dari wilayah Kotagede
Yogyakarta. Pembuat pertama kali makanan tradisional ini adalah Mbah Mangun
Irono. Setelah Mbah Mangun Irono tutup usia, usaha ini diwariskan anaknya Bu
Paijem Djito Suhardjo yang juga pemberi nama Kipo. Bu Djito selanjutnya
memberdayakan jenis kuliner Kipo ini hingga tahun 1991 yaitu ketika ia meninggal,
kemudian usahanya kembali diwariskan ke puterinya Istri Rahayu di kios yang berada
di jalan Mondorakan No. 27 Kotagede, Yogyakarta sebagai rumah produksi kipo.
Asal usul nama Kipo itu datang dari pertanyaan dalam kalimat bebahasa Jawa
"Iki opo?" atau yang dalam bahasa Indonesia "Ini apa?". Dari kalimat tanya “Iki opo,”
kemudian berkembang menjadi akronim Kipo.
Proses pembuatan kipo, pertama siapkan adonan untuk kulit yaitu tepung
beras ketan yang dicampur dengan santan dan sedikit garam kemudian diberi warna.
Untuk isinya parutan kelapa muda dicampur adonan gula jawa. Adonan untuk kulit
ambil sebanyak biji kelereng, lalu pipihkan, dan beri isian enten-enten. Setelah itu
adonan tepung ketan dilipat seperti bentuk pastel mini dan dipanggang hingga warna
kulitnya sedikit kecoklatan. Sebelum dipanggang, adonan yang sudah terbentuk diberi
alas daun pisang terlebih dulu agar tidak lengket.
Kipo mempunyai makna dari segi warnanya yaitu hijau yang melambangkan
atau menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman
dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya
tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan. Dari segi bungkusnya dengan
menggunakan daun pisang mempunyai nilai tersendiri seperti nilai spiritual, nilai
kesederhanaan, nilai kesehatan dan nilai aromaterapi. Sedangkan dari segi alat
pembuatannya dengan menggunakan kreweng atau wajan besar yang terbuat dari
tanah liat memiliki nilai kesederhanaan dan juga nilai aromaterapi.
B. Saran
Kipo merupakan salah satu makanan tradisional khas Indonesia yang sekarang hampir
punah untuk menjaga agar kipo tetap ada kita harus melestarikan kipo supaya kipo
dikenal orang-orang bukan orang Yogyakarta saja sehingga kipo akan menyebar ke
seluruh pelosok daerah-daerah di indonesia bahkan di luar negeri.
12

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/
https://gudeg.net/direktori/1868/kipo.html (Diakses tanggal 14 Januari 2016)
ensiklo.com/2014/09/kue-kipo-adalah-jenis-kuliner-jajanan-khas-kotagede-yogyakartawarisan-kerajaan-mataram-islam/ (Diakses tanggal 14 Januari 2016)
http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.detail/2025/kue-kipo--iki-opo-.html (Diakses
tanggal 14 Januari 2016)
http://ramadan.tempo.co/read/news/2013/07/21/152498259/kipo-si-kecil-legit-dari-kotagedeuntuk-berbuka (Diaskses tanggal 14 Januari 2016)
http://www.jogjanyam.com/kipo-bu-djito/ (Diakses tanggal 16 Januari 2016)
http://sajiankulinerkhas.blogspot.co.id/2014/03/kue-kipo-jogja-resep-kue-kipo-kotagede.html
(Diakses tanggal 16 Januari 2016)

13