Analisis Usaha dan Kelayakan Studi Sapi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Analisis Usaha dan stadi kelayakan proyek atau disebut juga feasibility study
adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat yang dapat diperoleh dalam
melaksanakan suatu kegiatan usaha. Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil keputusan, apakah menerima atau menolak dari
suatu gagasan usaha. Ada berbagai macam aspek yang mempengaruhi suatu usaha
dapat dikatakan layak atau tidak. Diantaranya aspek social, ekonomi, pasar, resiko,
dan keuangan. Di Kab. Enrekang ada berbagai macam usaha, salah satunya adalah
budidaya sapi potong.
Sapi potong merupakan salah satu ternak yang dapat diandalkan sebagai
penyedia daging. Hal ini tentunya merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi
peternak apabila bisa memanfaatkan peluang ini dengan baik. Selain itu, pemenuhan
protein hewani bisa meningkatkan kebutuhan gizi masyarakat untuk meningkatkan
kecerdasan. Upaya meningkatkan konsumsi protein hewani bagi masyarakat berarti
juga harus meningkatkan produksi bahan pangan asal ternak. Pada akhirnya, hal
tersebut berarti upaya peningkatan produksi ternak.
Pengembangan subsektor peternakan khususnya ternak sapi potong memiliki

arti yang sangat strategis dan berperan penting dalam struktur perekonomian daerah.
Ternak sapi dalam tatanan kehidupan rakyat Indonesia memiliki fungsi sosial dan

ekonomi, karena dapat digunakan sebagai tenaga kerja pengolah lahan pertanian,
sumber uang tunai, sumber pendapatan, upacara keagamaan, cendera mata, sumber
pupuk organik, tenaga kerja dan dapat menaikkan status sosial pada komunitas
tertentu, dapat diperjualbelikan pada saat dibutuhkan dan berfungsi sebagai tabungan
masa depan masyarakat petani peternak. Dalam menjalankan usaha budidaya
peternakan sapi potong membutuhkan analisis usaha yang tepat agar usaha tersebut
dapat dikatakan layak atau tidak. Hal inilah yang melatar belakangi dilakukannya
praktek lapang analis dan stadi kelayakan proyek.
1.2 Permasalahan
Adapun permasalahan dalam laporan praktek lapang Analisis dan Studi
Kelayakan Proyek adalah bagaimana analisis kelayakan usaha budidaya sapi potong
di Kab. Enrekang dan apakah usaha tersebut layak atau tidak untuk dijalankan, jika
dilihat dari aspek sosial, aspek ekonomi, aspek resiko, aspek teknis, aspek pasar dan
pemasaran serta aspek finansial.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tinjauan Umum Budidaya Sapi Potong

Pemilihan sapi potong bibit dan bakalan yang akan di pelihara, akan
tergantung pada selera petani ternak dan kemampuan modal yang dimiliki. Namun
secara umum yang menjadi pilihan petani peternak, adalah sapi potong yang pada
umumnya dipelihara di daerah atau lokasi peternakan, dan yang paling mudah
pemasarannya (Murtidjo,1990).
Di indonesia cukup banyak dikenal sapi potong lokal, jenis sapi potong impor,
maupun sapi peranakan atau hasil silangan yang dikembangkan lewat kawin suntik
(inseminasi buatan). Penilaian keadaan individual sapi potong yang akan dipilih
sebagai sapi potong bibit atau bakalan, pada prinsipnya berdasarkan pada umur,
bentuk luar tubuh, daya pertumbuhan dan temperamen Namun secara praktis yang
umumnya dipergunakan dalam penilaian individual, adalah mengamati bentuk luar,
yakni bentuk tubuh umum, ukuran vital dari bagian-bagian tubuh, normal tidaknya
pertumbuhan organ kelamin, dan dari sudut silislah tidak terlepas dari faktor genetis
sapi potong. (Murtidjo, 1990).
Usaha dan pengembangan peternakan saat ini menunjukan prospek yang
sangat cerah dan mempunyaiperanan yang sangat penting dalam pertumbuhan
ekonomi pertanian. Sebagian masrakat dunia mengakui bahwa produk-produk


peternakan memegang peranan sangat penting di masa yang akan dating (Susiloroni,
dkk, 2008).
Salah satu produk peternakan yang meningkat permintaannya yaitu daging
sapi. Namun, kebutuhan daging di Indonesia masih mengandalkan impor daging. Hal
ini disebabkan 90% usaha sapi potong dilaksanakan secara tradisional oleh peternak
rakyat dan selebihnya oleh perusahaan penggemukan (feedloter) sehingga kinerja
produksi dan produktifitas sapi potong masih belum dapat mencapai program
nasional swasembada daging sapi (Prastiti dkk, 2012).
Program swasembada daging sapi telah dicanangkan selama dua periode (5
tahunan) dan terakhir ditargetkan tercapai pada tahun 2010. Namun, upaya tersebut
belum berhasil sehingga pemerintah kembali membuat Program Swasembada Daging
Sapi dan Kerbau (PSDSK) yang diharapkan dicapai pada tahun 2014. Berbagai
kegiatan ditargetkan untuk meningkatkan populasi ternak sapi dan produksi daging
antara lain pelaksanaan kegiatan peningkatan usaha agribisnis sapi potong untuk
usaha penggemukan sekaligus mempercepat populasi ternak melalui Sarjana
Membangun Desa (SMD) (Sodiq, 2010).
Penilaian keadaan individual sapi potong yang akan dipilih sebagai sapi
potong bibit atau bakalan, pada prinsipnya berdasarkan pada umur, bentuk luar tubuh,
daya pertumvbuhan dan temperamen. Namun secara praktis yang umumnya

dipergunakan dalam penilaian individual, adalah mengamati bentuk luar, yakni
bentuk tubuh umum, ukuran vital dari bagian-bagian tubuh, normal tidaknya
pertumbuhan organ kelamin, dan dari sudut silislah tidsak terlepas dari faktor genetis
sapi potong. (Murtidjo, 1990).

2.2 Aspek Sosial Budidaya Sapi Potong
Aspek sosial dari suatu proyek atau investasi meliputi komponen demografi
(struktur penduduk, tingkat pendapatan penduduk, pertumbuhan penduduk, dan
tenaga kerja), komponen budaya (adat istiadat, nilai dan norma budaya, proses sosial,
warisan budaya, serta sikap dan persepsi masyarakat terhadap rencana usaha atau
kegiatan),

kesehatan

masyarakat

(parameter

lingkungan


masyarakat

yang

diperkirakan terkena dampak rencana pembangunan dan berpengaruh terhadap
kesehatan, proses dan potensi terjadinya pencemaran, potensi besarnya dampak
timbulnya penyakit, serta kondisi lingkungan yang dapat memperburuk proses
penyebaran penyakit). Dampak negatif dari aspek sosial adalah perubahan gaya
hidup, budaya, adat istiadat dan struktur sosial lainnya serta meningkatnya
kriminalitas (Romadaniati, 2013).
2.2.1

Penyerapan Tenaga Kerja
Berdasarkan hasil penelitian Sonbait (2011) diperoleh data bahwa tenaga

kerja yang digunakan dalam kegiatan usaha tani berasal dari dalam keluarga maupun
dari luar keluarga. Khusus untuk usaha gaduhan sapi potong, tenaga kerja masih
mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga.
Hermanto, (1995) dalam Sonbait (2011) menjelaskan bahwa ketersediaan
tenaga kerja keluarga dihitung berdasarkan hari kerja pria (HKP) dengan konversi: 1

orang pria dewasa = 1 HKP dapat bekerja selama 7 jam/hari, 1 orang wanita dewasa
= 0,7 HKP dan 1 orang anak (Umur 10-14 tahun) = 0,5 HKP.
2.2.2

Aspek lingkungan

Dampak positif pembangunan proyek pada masyarakat sekitar antara lain
adalah ikut menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan penduduk
sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung, peningkatan fasilitas
infrastruktur umum dan lain sebagainya. Dampak negatif yang ditimbulkan bisa
berupa pencemaran lingkungan karena limbah, hingga faktor keamanan yang tidak
nyaman untuk berinvesatasi (Anonim, 2012).
Usaha penggemukan sapi potong pasti akan menghasilkan limbah yang jika
tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan perubahan lingkungan. Misalnya, bau
kotoran yang tidak terurus bisa menimbulkan polusi bagi lingkungan sekitarnya, atau
pembuangan limbah kotoran ternak ke sungai akan menurunkan kualitas air.
Penanganan limbah perlu direncanakan dengan sebaik-baiknya, bahkan bisa
diupayakan untuk menghasilkan penghasilan tambahan, seperti mengolah kotoran
menjadi kompos. Penggunaan kompos untuk memupuk hijauan atau tanaman lain
akan meningkatkankualitas lingkungan. Limbah air yang digunakan untuk

membersihkan kindang dan memandikan sapi sebaiknya ditampung di dalam suatu
unit pengolah limbah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke saluran air. Sebuah kolam
yang berisi ikan bisa menjadi unit pengolahan limbah yang ekonomis (Abidin, 2002).
2.2.3

Penyusutan Amdal
Keberadaan usaha peternakan yang baru akan memberi pengaruh terhadap

lingkungan baik positif maupun negatif.

Pengaruh positif biasanya terjadi pada

lingkungan sosial-ekonomi karena adanya penyerapan tenaga kerja lokal,
pemanfaatan kotoran ternak menjadi kompos atau dimanfaatkan langsung akan

meningkatkan kesuburan tanah. Pengaruh negatif timbul akibat adanya limbah yang
dihasilkan oleh usaha tersebut. Limbah yang dihasilkan umumnya menjadi
sumber polutan bagi air dan udara di lingkungan sekitarnya (Firman,2011).
Dalam studi kelayakan kajian terhadap aspek lingkungan tidak mendetil, baru
sampai pada tahap pendugaan dampak usaha terhadap lingkungan. Kajian yang lebih

mendetil mengenai lingkungan dilakukan pada kajian lain yaitu upaya pemantauan
lingkungan (UPL) dan upaya pengelolaan lingkungan (UKL) yang diperlukan untuk
menentukan lokasi usaha sebelum feasibility study dan kegiatan usaha setelah
feasibility study, serta analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Kedua
kajian tersebut didasarkan atas hasil studi kelayakan (feasibility study) selesai.
Jadi UPL-UKL dan AMDAL dilakukan setelah studi kelayakan usahanya ada/ selesai
(Firman,2011).
2.2.4

Aspek Sosial Sapi Potong
Usaha penggemukan sapi potong akan memberikan dampak sosial budaya.

Misalnya dengan merangsang para petani di sekitar untuk melakukan usaha
penggemukan sapi potong secara intensif, karena usaha ini bisa menghasilkan
keuntungan yang tidak sedikit. Selain dampak positif, usaha ini juga menimbulkan
dampak negatif, misalnya mendorong sikap konsumtif masyarakat akibat peningkatan
penghasilan (Heri, 2010).
Analisis sosial berkenaan dengan implikasi sosial yang lebih luas dari
investasi yang diusulkan, dimana pertimbangan-pertimbangan sosial harus dipikirkan


secara cermat agar dapat menentukan apakah suatu proyek tanggap (responsive)
terhadap keadaan sosial (Gittinger 1986).
Usaha dan pengembangan peternakan saat ini menunjukan prospek yang
sangat cerah dan mempunyaiperanan yang sangat penting dalam pertumbuhan
ekonomi pertanian. Sebagian masrakat dunia mengakui bahwa produk-produk
peternakan memegang peranan sangat penting di masa yang akan dating (Susiloroni,
dkk, 2008).
2.3 Aspek Ekonomi Budidaya Sapi Potong
2.3.1 Investasi Proyek
Menurut Kariyasa dan Kasryno (2004), usaha ternak sapi akan efisien jika
manajemen pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber pakan bagi
ternak itu sendiri. Ternak sapi menghasilkan pupuk untuk meningkatkan produksi
tanaman, sedangkan tanaman dapat menyediakan pakan hijauan bagi ternak.
Usaha sapi potong mempunyai dampak positif bagi peternak, pengusaha
maupun masyarakat. Bagi peternak dampak ekonomis dari usaha ini adalah akan
meningkatkan pendapatan mereka. Usaha sapi potong merupakan usaha yang
menguntungkan karena mempunyai pembeli yang jelas, selalu dibutuhkan oleh
masyarakat dan harga cenderung meningkat terutama mendekati hari raya
keagamaan. Selain itu, melakukan budi daya sapi potong akan menyerap tenaga kerja
bagi masyarakat setempat sehingga akan membantu peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan mereka (Nasser, 2010).

Sumber daya pertanian, khususnya usaha peternakan sapi potong merupakan
salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi
untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Usaha sapi potong
potensi dikembangkan, dikarenakan: usaha ini relatif tidak tergantung pada
ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi; memiliki kelenturan
bisnis dan teknologi yang luas dan luwes; produk sapi potong memiliki nilai
elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi; dan dapat membuka lapangan
pekerjaan. Namun, modal yang dibutuhkan cukup besar. Usaha sapi potong menjurus
kepada usaha penggemukan untuk pemanfaatan dagingnya saja, dengan demikan
dapat dihasilkan produk daging sapi dengan berat optimal dan berkualitas (Fauzi,
2012).
Program pemberdayaan sektor riil serta pengembangan Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) sangat penting dilakukan karena dapat mengurangi angka
kemiskinan dan pengangguran. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
pemberdayaan pada sektor pertanian, karena pertanian merupakan salah satu sektor
yang banyak menyerap angkatan kerja. Salah satu komoditi pertanian yang
memberikan harapan adalah sub sektor pertanian/ peternakan sapi potong (Fauzi,
2012).

2.3.2

Peluang Pasar Makro
Ternak sapi potong Indonesia memiliki arti yang sangat strategis, terutama

dikaitkan dengan fungsinya sebagai penghasil daging, tenaga kerja, penghasil pupuk
kandang, tabungan, atau sumber rekreasi. Arti yang lebih utamanya adalah sebagai

komoditas sumber pangan hewani yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia,
memenuhi kebutuhan selera konsumen dalam rangka meningkatkan kualitas hidup,
dan mencerdaskan masyarakat (Santosa & Yogaswara, 2006).
Sapi potong merupakan komoditas subsektor peternakan yang sangat
potensial. Hal ini bisa dilihat dari tingginya permintaan akan daging sapi. Namun,
sejauh ini Indonesia belum mampu menyuplai semua kebutuhan daging tersebut.
Akibatnya, pemerintah terpaksa membuka kran inpor sapi hidup maupun daging sapi
dari negara lain, misalnya Australia dan Selandia Baru. Usaha peternakan sapi potong
pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar akan daging
sapi masih terus memperlihatkan adanya peningkatan. Selain dipasar domestik,
permintaan daging di pasar luar negeri juga cukup tinggi (Rianto & Purbowati, 2009).
2.3.3

Peningkatan PAD
Suharto (2000) dalam Mariyono dkk. (2010) menyatakan bahwa dengan

penerapan model low external input sustainable agricultural (LEISA) dapat diperoleh
beberapa keuntungan antara lain: (i) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal ; (ii)
Maksimalisasi daur ulang (zero waste); (iii) Minimalisasi kerusakan lingkungan
(ramah lingkungan) ; (iv) Diversifikasi usaha ; (v) Pencapaian tingkat produksi yang
stabil dan memadai dalam jangka panjang, serta (vi) Menciptakan semangat
kemandirian.
Indonesia dengan jumlah penduduk diatas 220 juta jiwa juga membutuhkan
pasokan daging sapi dalam jumlah yang besar. Sejauh ini, peternakan domestik belum
mampu memenuhi permintaan daging dalam negeri. Timpangnya antara pasokan dan

permintaan ternyata masih tinggi, tidak mengherankan jika lembaga yang memiliki
otoritas tertinggi dalam hal pertanian termasuk petenakan – Departemen Pertanian
(Deptan) mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada
suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya. Sementara laju
pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju
peningkatn populasi sapi potong. Pada gilirannya, kondisi seperti ini memaksa
Indonesia untuk selalu melakukan inpor, baik dalam bentuk sapi hidup maupun
daging dan jeroan sapi (Anonim, 2010).
2.4 Aspek Resiko Budidaya Sapi Potong
2.4.1 Kendala Permodalan
Keuntungan bersih yang diterima peternak dari hasil penggemukan digunakan
untuk konsumsi rumah tangga dan sebagiannya digunakan dalam upaya
pengembangan usaha. Oleh karena itu, para peternak mengalami kekurangan
permodalan untuk memulai usaha penggemukan sapi potong pada periode berikutnya
(Nasser, 2010)
2.4.2. Kendala pemeliharaan yang masih tradisional
Umumnya para peternak di dalam usaha pemeliharaan ternak masih
tradisional. Menyerahkan hasil pada alam, pengadaan bibit, pemberian makanan,
pemeliharaan atau lain sebagainya belum menggunakan teknologi modern.
Pemeliharaan sapi yang mereka lakukan hanyalah sebagai usaha sampingan saja dari

pertanian, dan kurang mengenal apa yang disebut breeding, feeding, management dan
keterbatasan modal (Nasser, 2010)
2.4.3 Kendala iklim
Indonesia yang beriklim tropis terkadang bisa menimbulkan kendala bagi
pengembangan ternak sapi potong yang produktif. Sebab suhu yang tinggi bisa
mengakibatkan gangguan metabolisme. Akibatnya penimbunan daging menjadi lebih
lambat, apalagi kalau bibit (bakalan) berasal dari daerah subtropis dan adaptasinya
belum baik. Demikian pula jika terjadi kemarau yang panjang akan mengganggu
kontinuitas penyediaan hijauan (Nasser, 2010).
Iklim yang sesuai untuk penggemukan sapi adalah iklim setengah basah, di
Indonesia yang memiliki iklim tersebut hanya ada di NTT dan NTB, dengan iklim
setengah basah tanaman yang banyak tumbuh berupa hamparan padang rumput luas
dan rumputnya tinggi yang dibutuhkan pakan ternak, sebaliknya pepohonan
tumbuhnya sedikit. Oleh karenanya, di daerah setengah basah ini populasi ternaknya
cukup besar dibandingkan dengan daerah lain atau daerah pertanian yang subur
(Nasser, 2010).
2.4.4 Kendala Hama dan Penyakit
Penggemukan sapi potong tidak terlepas dari hama dan penyakit ternaknya.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, peternak selalu berupaya menanggulangi hama dan
penyakit sejak masa penggemukan hingga waktu panen. Hama adalah organisme
yang keberadaannya tidak dikehendaki di lingkungan peternak karena bersifat

mengganggu binatang ternak. Cara pemberantasan hama dapat dikelompokkan
menjadi tiga jenis, yaitu secara mekanis, kimiawi, dan biologis. Penyakit adalah
segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ternak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Gangguan terhadap ternak dapat disebabkan oleh organisme
lain, pakan, maupun kondisi lingkungan yang menunjang kehidupan ternak (Nasser,
2010).
Penyakit meliputi penyakit infeksi dan bukan infeksi. Penyakit infeksi
meliputi penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, fungi, dan parasit. Penyakit
bukan infeksi pada ternak dapat berupa cacat genetis, cedera fisik, ketidak
seimbangan nutrisi, dan polusi. Beberapa jenis mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakut sapi, diantaranya bakteri, virus, protozoa, dan penyebab
lainnya. Beberapa jenis penyakit yang menyerang ternak sapi diantaranya adalah
tuberkolosis, antraks, radang paha (blakleg), brucellosis, kuku busuk (foot rot),
ngorok, penyakit mulut dan kuku, protozoa, cacing (cacing hati, cacing pita, cacing
perut, cacing paru – paru), kembung (bloat), dan kudis (Nasser, 2010).
Suplai

daging

untuk

masyarakat

Indonesia

masih

mengalami

kekurangan,sehingga aspek pemasaran bukanlah masalah yang berat.Hal yang perlu
diperhitungkan adalah kondisi harga bakalan dan harga jual sapi potong di
pasaran.Kesalahan dalam perhitungan bisa menyebabkan kerugian yang tidak
sedikit.Untuk menjaga agar harga tidak fluktuatif,perlu dilakukan penjajakan
penerapan harga kontak dengan penjual bakalan atau pembeli sapi potong.Langkah
ini bisa dilakukan untuk mencegah resiko harga bakalan membumbung tinggi,tetapi

anjlok pada waktu sapi potong dipasarkan. Di samping itu,perlu dipertimbangkan sapi
potong akan dijual hidup atau sudah dalam bentuk karkas (Abidin, 2002).
2.4.5 Kendala Lokasi
Kondisi lokasi berpengaruh terhadap usaha ternak sapi potong yang akan
dijalani. Sebab, bisa saja saat beternak sapi dalam jumlah sedikit di lokasi dekat
perumahan belum jadi masalah. Namun, setelah mengembangkan usaha menjadi
lebih besar, dapat menimbulkan masalah. Masalah yang berpotensi akan muncul saat
beternak sapi potong di antaranya sebagai berikut (Nasser, 2010) :
a. Kebutuhan tempat untuk beternak
Bila usaha yang dilakukan berskala besar, tempat usaha menjadi perhatian.
Kebutuhan tempat yang luas dan jauh dari pemukiman patut dipertimbangkan
sehingga lokasi yang dipilih benar – benar mendukung.
b. Potensi limbah ternak dan dampaknya
Pada sapi yang berjumlah tidak begitu banyak dan berada tidak jauh dari
lingkungan pemukiman, limbah cair dan padatnya masih bisa ditangani sehingga
tidak mengganggu warga. Bahkan bila dikelola denga baik dapat dimanfaatkan oleh
warga setempat, seperti biogas dan pupuk untuk pertanian. Namun, bau limbah tentu
sulit untuk diterima oleh warga yang bermukim dekat dengan peternakan.

c. Kondisi sosial ekonomi masyarakat
Masyarakat yang bermukim dekat dengan peternakan kemungkinan akan
merasa terganggu dengan aktivitas peternak. Bila limbah yang ada tidak ditangani
dengan baik, tentu akan mencemari lingkungan sehingga menimbulkan keresahan

masyarakat sekitarnya. Selain itu, berbagai aktivitas yang dilakukan di peternakan
dapat memicu kecemburuan sosial jika masyarakat di sekitarnya tidak dilibatkan.
2.5 Koefisien Teknis Budidaya Sapi Potong
Suastina dan Kayana, (2008) menyatakan bahwa Koefisien Teknis adalah angka

standar yang mematuhi kaidah yang sudah ditentukan yang dapat dipergunakan untuk
menghitung suatu besaran yang bersifat linear, luas bidang, volume, jumlah berat, dan
berbentuk persentase. Ukuran linear (m dan cm), ukuran berat (kg dan ton), ukuran
volume (l dan cc), ukuran luas (m² dan ha), ukuran waktu (jam, hari, minggu, bulan,
dan tahun), ratio antara sumber daya ”feed egg ratio” dan “Feed Ratio”).
Penyusun proyeksi kelahiran, penjualan, dan sisa ternak di akhir masa
proyeksi ternak bibit, memerlukan koefisien teknis sebagai berikut ini (Suastina dan
Kayana, 2008):

Umur awal induk dan jantan, untuk menentukan pada tahun berapa ternak
diafkir.
Umur pasar betina bibit dan jantan muda (bibit) untuk menentukan penjualan
setiap tahun.
“Sex Ratio”, yaitu jumlah anak jantan berbanding jumlah anak betina, untuk
menentukan jumlah jantan dan betina pada setiap kelahiran dan direncanakan.
“Net Calf Crop” yang ditentukan berdasarkan kondisi lingkungan pada lokasi
Pengkajian aspek teknis dalam studi kelayakan dimaksudkan untuk
memberikan batasan garis besar parameter-parameter teknis yang berkaitan dengan
perwujudan fisik proyek. Aspek teknis memiliki pengaruh besar terhadap perkiraan

biaya dan jadwal kegiatan yang dilakukan nantinya, karena akan memberikan
batasan-batasan lingkup proyek secara kuantitatif (Soeharto dan Iman, 1999).
Menurut Husnan dan Suwarsono, (2000) aspek teknis merupakan suatu aspek
yang berkenaan dengan proses pembangunan proyek secara teknis dan operasi setelah
proyek selesai dibangun.

Aspek teknis dilakukan untuk mendapatkan gambaran

mengenai lokasi proyek, besar skala operasi/luas produksi, kriteria pemilihan mesin
dan peralatan yang digunakan, proses produksi yang dilakukan dan jenis teknologi
yang digunakan.
Langkah awal yang perlu dilakukan dalam proses pemeliharaan sapi potong
adalah menyangkut keseragaman dan jumlah sapi yang akan digemukkan. Faktor
keseragaman

umumnya

menjadi

salah

satu

dasar

pertimbangan

dalam

mempersiapkan sapi bakalan. Sapi bakalan yang ideal adalah apabila sapi – sapi
memiliki keseragaman tipe, umur, dan ukuran tubuh. Kelompok sapi yang memiliki
keseragaman semacam ini akan menguntungkan peternak dalam berbagai hal,
diantaranya, sapi – sapi yang seragam akan mempermudah tata laksana dan mudah
dipasarkan bersama sehingga harga relatif baik. Jumlah sapi yang akan digemukkan
sebenarnya tidak ada batasan, akan tetapi tergantung dari peternak sendiri, berhubung
dengan fasilitas yang tersedia seperti lokasi lahan, bangunan kandang, kemudahan
memperoleh pakan serta kemampuan peternak dalam mengelola kelompok sapi
dalam jumlah tertentu (Nasser, 2010).

2.5.1 Penyiapan Lahan dan Lokasi Penggemukan
Lokasi lahan usaha baik untuk sapi impor maupun sapi lokal memerlukan
persyaratan sebagai berikut (Nasser, 2010) :
a) Memiliki prasarana yang memadai untuk usaha penggemukan sapi (lokasi,
lahan relatif datar, tersedia sumber air, kebutuhan air mencapai 70 liter/
ekor/hari)
b) Memiliki sarana yang mencukupi untuk melakukan usaha penggemukan sapi
(bangunan, peralatan, bakalan, pakan, obat hewan, tenaga kerja)
c) Memahami proses produksi (aspek pemilihan bakalan, aspek perkandangan,
aspek pakan, aspek kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, dan
aspek penanganan hasil);
d) Mudah di jangkau oleh truk (mobil angkutan)
e) Tenaga kerja cukup dan terampil
f) Memperhatikan pelestarian lingkungan.
Secara umum, Indonesia terletak pada jalur simpangan yang menguntungkan ,
yakni dua benua dan dua samudera, serta dilalui garis khatulistiwa. Karena itu,
Indonesia beriklim tropis dengan dua musim, sehingga perbedaan suhu, curah hujan,
kelembaban, dan arah mata angin tidak terlalu fluktuatif. Beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pemlihan lokasi (Abidin, 2002) :
1) Temperatur
Sapi termasuk hewan yang peka terhadap perubahan suhu lingkungan, terutama
perubahan yang dratis. Suhu tinggi bisa menyebabkan konsumsi pakan menurun dan

berakibat pada menurunnya laju pertumbuhan. Untuk hewan tertentu, suhu tinggi
juga berpengaruh terhadap kemampuan reproduksi menurun. Pemaksaan penggunaan
suhu lokasi yang tinggi temperaturnya fluktuaktif, kurang cocok bagi hewan, akan
menyebabkan menurunnya penampilan produksi.
2) Curah Hujan
Tinggi rendahnya curah hujan di suatu lokasi berhubungan erat dengan kondisi
temperatur di daerah tersebut.Temperatur pada musim hujan akan lebih rendah
dibandingkan dengan pada musim kemarau. Di samping itu, curah hujan yang tinggi
berkorelasi dengan ketersediaan pakan yang berupa hijauan. Umumnya, hijauan
melimpah pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau terbatas. Lokasi ideal
untuk penggemukan sapi potong adalah lokasi yang bercurah hujan 800 – 1500
mm/tahun. Curah hujan yang sangat tinggi bisa mengakibatkan gangguan kesehatan
pada sapi potong. Jika kebersihan kandang kurang terjaga, bisa timbul penyakit
Pneumonia.
3) Arah Angin
Angin merupakan salah satu faktor pembawa kuman penyakit, sehingga
penentuan arah angin yang dominan di suatu lokasi sangat penting sebagai petunjuk
bagi pembuatan kandang. Kandang sebaiknya dibangun berderet memanjang sesuai
dengan arah angin yang dominan. Hal ini dimaksudkan agar angin yang datang tidak
menerpa sapi-sapi secara frontal. Selain itu, perlu diperhatikan arah sinar matahari.
Sinar matahari pagi diusahakan masuk ke dalam kandang secara langsung atau tanpa
halangan.

4) Kelembapan
Tingkat kelembapan tinggi (basah) cenderung berhubungan dengan tingginya
peluang bagi tumbuh dan berkembangnya parasit dan jamur. Sebaiknya, kelembapan
rendah (kering) menyebabkan udara berdebu, yang merupakan pembawa penyakit
menular. Kelembapan ideal bagi sapi potong adalah 60–80 %.
5) Topografi
Topografi lokasi merupakan suatu gambaran tinggi rendah suatu lokasi yang
diukur dengan standar di atas permukaan laut. Keadaan topografi mempengaruhi
temperatur, curah hujan, dan kelembapan lingkungan. Dalam hal ini, lokasi berbukit
bisa menjadi pilihan karena bisa menghambat arah angin. Topografi juga berpengaruh
terhadap ketersediaan air di suatu lokasi dan kemudahan sarana transportasi. Jika
memungkinkan, lokasi sebaiknya dilalui oleh anak sungai agar ketersediaan air untuk
menjaga kebersihan kandang dan untuk memandikan sapi terjamin.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam hal kapasitas lingkungan
antara lain (Abidin, 2002) :
1) Ketersediaan Bahan Pakan
Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan sebagai pakan.
Namun, untuk sebuah usaha penggemukan yang berorientasi pada keuntungan
finansial, perlu dipertimbangkan penggunaan bahan pakan berupa konsentrat,
sehingga dicapai efisiensi waktu yang akan meningkatkan keuntungan. (Abidin,
2002).

2) Infrastruktur
Infrastruktur mencakup kemudahan akses sarana trasportasi, komunikasi, listrik
untuk penerangan, luas lahan, perkandangan, pergudangan, dan perkantoran di lokasi
penggemukan. Sarana transportasi meliputi prasarana jalan dan alat trasportasiyang
akan digunakan, baik untuk arus sirkulasi sapi potong, tenaga kerja, maupun pakan.
Perkandangan, pergudangan, dan perkantoran merupakan sarana penunjang
operasional yang perlu disediakan dengan mempertimbangkan biaya pembangunan
dan skala usaha. Luas lahan perlu dipertimbangkan untuk proyeksi perluasan usaha.
3) Ketersediaan Air
Air mutlak diperlukan dalam usaha penggemukan sapi potong karena
berpengaruh langsung pada kehidupan hewan ternak. Selain sebagai air minum, air
dipergunakan untuk memandikan sapi dan membersihkan kandang. Perlu
dipertimbangkan pula sumber air yang akan digunakan, misalnya air tanah, sungai
yang mengalir, atau mata air langsung. Hal ini sangat terkait dengan pembiyaan
usaha.
2.5.2 Kandang
Kandang yang dibangun harus bisa menunjang peternak, baik dari segi
ekonomis maupun segi kemudahan dalam pelayanan. Dengan demikian diharapkan
bahwa dengan adanya bangunan kandang ini sapi tidak berkeliaran di sembarang

tempat dan kotorannya pun bisa dimanfaatkan seefisien mungkin. Hal – hal yang
perlu diperhatikan dalam pembuatan kandang antara lain adalah (Nasser, 2010) :

a. Kontruksi
Kontruksi kandang harus dibangun sesuai dengan kondisi lingkungan
setempat. Kontruksi kandang harus kuat, mudah dibersihkan, bersirkulasi udara baik.
Selain itu sapi terlindung dari pengaruh lingkungan yang merugikan.
Hal – hal yang perlu dipertimbangkan dalam kontruksi kandang antara lain
adalah : 1). Sedapat mungkin bangunan kandang tunggal dibangun menghadap ke
timur dan jika kandang ganda membujur ke arah utara selatan, sehingga
memungkinkan sinar matahari pagi bisa masuk ke dalam ruangan atau lantai kandang
secara leluasa; 2). Pengaturan ventilasi diperlukan sebagai jalan keluar masuknya
udara di dalam kandang sehingga ruangan kandang terhindar dari udara yang panas,
pengab, kelembaban tinggi dan sebagainya; 3). Pembuatan atap (bagian atas) kandang
berfungsi untuk menghindarkan dari terik matahari dan hujan, menjaga kehangatan
ternak di waktu malam, serta menahan panas yang dihasilkan oleh tubuh hewan itu
sendiri. Tanpa atap, panas di dalam kandang sebagian akan hilang ke atas pada waktu
malam, sehingga suasana kandang pada saat itu akan menjadi sangat dingin; 4).
Dinding mutlak harus ada, karena diperlukan sebagai pembatas seluruh keliling atau
bagian tepi kandang berfungsi sebagai penahan angin langsung atau angin kencang,
penahan keluar masuknya udara panas dari dalam kandang yang dihasilkan tubuh
ternak, dan penahan percikan air dari atap masuk ke dalam ruangan kandang; 5).

Lantai kandang sebagai batas bangunan kandang bagian bawah, harus dibuat sesuai
persyaratan: rata, tidak licin, tidak mudah menjadi lembab, tahan injakan (awet).

b. Letak bangunan kandang
Perlu dipertimbangkan faktor – faktor penunjang yang mempengaruhi letak
bangunan kandang, antara lain : 1). Faktor ekonomis; terutama meliputi transportasi,
sumber air, dan harus dekat dengan peternak. Sebaiknya membangun kandang di
suatu tempat yang mudah transportasi dan komunikasinya tidak sulit. Transportasi
dan komunikasi yang mudah dan dekat sumber pakan, pasar, akan sangat
menguntungkan peternak sebab biaya pengangkutan pakan atau pun penjualan
produksi relatif lebih rendah.
Letak bangunan kandang yang baik adalah kandang terletak di suatu daerah
atau tempat yang dekat sumber air. Sebab usaha peternakan sapi potong cukup
banyak memerlukan air untuk memberi makan ternak, membersihkan kandang
beserta peralatan, dan keperluan memandikan sapi.
Untuk memberikan jaminan kesehatan ternak dan peternaknya, kita perlu
mempertimbangkan faktor – faktor kebersihan lingkungan, untuk keperluan itu,
bangunan kandang harus ditempatkan di suatu tempat tertentu yang kering, atau
tempat yang lebih tinggi dari linkungan sekitar dan mempunyai drainase yang baik,
di tempat terbuka agar mudah memperoleh cahaya matahari.
c. Alat perlengkapan kandang dan pembersih

Perlengkapan kandang ternak sapi potong yang harus disediakan terutama
tempat makan dan minum, sedangkan perlengkapan pembersihnya meliputi sekop,
sapu lidi, selang air, sikat, ember, dan kereta dorong.

2.5.3 Sapi Bakalan
Sapi yang digunakan untuk sapi potong hendaknya berukuran tubuh besar,
tidak bertanduk, kualitas daging bagus, laju pertumbuhan relatif cepat, dan efesiensi
konversi bahan pakan menjadi daging cukup tinggi. Sapi jantan lebih cocok dijadikan
sapi potong karena sapi jantan memiliki pertambahan berat daging harian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sapi betina. Selain itu, ada peraturan yang melarang
memotong ternak sapi betina yang masih produktif (Nasser, 2010).
Penentuan lokasi harus memperhatikan ketersediaan bakalan yang akan
digemukkan, terutama jika bakalan yang akan digemukkan adalah bakalan lokal.
Kapasitas pasar hewan dalam menyediakan bakalan dan letak pasar hewan dari lokasi
perlu diperhatikan. Hal ini akan terkait erat dengan perencanaan secara keseluruhan,
misalnya jenis sapi yang akan digemukkan dan kapasitas usaha. Di samping itu,
keseragaman berat badan sapi bakalan perlu diperhatikan untuk mempermudah
penanganan (Nasser, 2010).
Jenis sapi bakalan import biasanya didatangkan dari Australia dan Selandia
baru. Jenis sapi yang didatangkan biasanya berasal dari jenis brahman cross atau
australian commercial cross. Sapi ini memiliki berat dan umur yang seragam, serta
pertambahan berat badan cukup tinggi yaitu 0,8 – 1,2 kg/hari. Berat awal sapi bakalan

berkisar 250 – 350 kg dengan umur sapi 1 – 2 tahun. Sapi bakalan yang sehat ditandai
dengan penampilan fisik sebagai berikut (Nasser, 2010) :
-

Badan sehat, ditandai dengan bulu yang licin dan mengkilap, mata yang
bersinar cerah, serta tidak terdapat kerusakan atau luka di bagian tubuhnya;

-

Bentuk tubuh proporsional, ditandai dengan panjang tubuh minimum 170 cm,
tinggi pundak 135 cm, dan lingkar dada 133 cm;

-

Bereaksi baik terhadap pakan dan cepat bangkit jika ada gangguan dari
sekitarnya;

-

Hidung tidak kotor, basah, atau panas;

-

Bentuk kotoran normal ditandai dengan bentuk kotoran yang padat;

-

Tidak memiliki tanduk.

2.5.4 Pakan
Ransum atau pakan berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot tubuh sapi yang
digemukkan, sapi yang digemukan hanya dengan pemberian hijauan saja tidak akan
mampu

mencapai

pertambahan

bobot

tubuh

yang

maksimal

dan

waktu

penggemukannya relatif lama. Sebaliknya, pemberian ransum yang terdiri dari
hijauan dan sejumlah konsentrat akan dapat mencapai pertambahan bobot tubuh yang
tinggi dan waktu penggemukan relatif singkat. Komposisi pakan sapi terdiri dari
konsentrat dan hijauan dengan persentasi 85% dan 15%. Komposisi makanan sangat
penting karena di gunakan sebagai sumber energi dan pembentukan protein (Nasser,
2010).

Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan sebagai pakan.
Namun, untuk sebuah usaha penggemukan yang berorientasi pada keuntungan
finansial, perlu dipertimbangkan penggunaan bahan pakan berupa konsentrat,
sehingga dicapai efisiensi waktu yang akan meningkatkan keuntungan (Abidin,
2002).
Pemberian pakan perlu memperhatikan kebutuhan zat gizi sapi, pertambahan
bobot yang diinginkan, dan jenis pakan yang tersedia. Indonesia belum mempunyai
standart kebutuhan gizi sapi secara nasional. Di antara standart gizi ternak yang ada
berasal dari National Research Council (NRC) Amerika Serikat dan Agricultural
Research Council (ARC) di Inggris. Standar tersebut ditujukan untuk negara sedang
berkembang. Namun perlu dipahami bahwa kebutuhan gizi tersebut belum tentu
cocok dengan kondisi di Indonesia, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut
(Nasser, 2010).
Ketersediaan pakan perlu dijadikan pertimbangan penting agar biaya pakan
tidak membengkak. Sebaiknya gunakan bahan pakan lokal yang tersedia di sekitar
peternakan, karena bahan pakan yang diambil dari luar daerah menjadi relatif lebih
mahal karena memerlukan biaya transportasi, namun bisa dijadikan alternatif bila
harganya murah. Misalnya, bungkil kedelai, tepung ikan, tepung tulang, limbah nenas
(Nasser, 2010).
Limbah pertanian berpotensi dijadikan sumber pakan alternatif. Potensi
limbah pakan di Indonesia setiap tahun mencapai 1.546.297,3 ton. Mencakup jerami
padi (85,81%), jerami jagung (5,84%), jerami kacang tanah (2,84%), jerami kedelai
(2,54%), pucuk ubi kayu (2,29%), dan jerami ubi jalar (0,68%) (Nasser, 2010).

2.5.5

Kadar dan Tata Cara Pemeliharaan
Setiap hari, sapi memerlukan pakan sebanyak 10% (berat basah) atau 3%

(berat kering) dari berat tubuhnya. Dari jumlah pakan 10% tersebut, komposisi pakan
hijauan, konsentrat dan pakan tambahan diuraikan sebagai berikut (Nasser, 2010) :
- Hijauan sebanyak 5% (berat basah) atau 1,5% (berat kering) dari bobot sapi
- Konsentrat sebanyak 5% (berat basah) atau 1,5% (berat kering) dari bobot badan
sapi
- Sementara, pakan tambahan diberikan sekitar 1% dari total ransum
Pakan konsentrat (ransum) diberikan sebelum pemberian pakan hijauan. Selain
itu, diberikan juga mineral sebagai penguat berupa garam dapur dan kapur.
2.5.6

Pemeliharaan
Pemeliharaan sapi merupakan upaya pembesaran yang bertujuan memacu

pertumbuhan sapi untuk mencapai peningkatan bobot pada fase pertumbuhan yang
tepat. Pembesaran sapi potong merupakan tujuan dari usaha ternak untuk mencapai
bobot optimal sebelum sapi tersebut di jual. Sistem pembesaran yang tepat dengan
dipadukan pemberian pakan dan perawatan yang baik tentu akan menghasilkan sapi
potong berkualitas. Peternak dapat memilih sistim pengembalaan, dikandangkan (dry
lot fattening), atau paduan keduanya. Langkah – langkah penggemukan ini adalah
sebagai berikut (Nasser, 2010) :
a. Bakalan yang dipilih adalah sapi yang seragam ukurannya
b. Sapi yang dipelihara tinggal di dalam kandang terus menerus sepanjang hari, pakan
dan air minum disiapkan dalam kandang

c. Sumber pakan yang utama dari biji – bijian (konsentrat) dan sebagian berupa
hijauan yang terdiri dari jerami, rumput, tanaman jagung dan bisa ditambahkan
mollase (tetes tebu)
d. Mollase diberikan 0,5 kg/ekor/hari.
Frekuensi pemberian pakan dua kali sehari pada siang dan sore hari. Pada pagi
hari setelah kandang dibersihkan, sapi diberi pakan konsentrat, kemudian siang
menjelang sore diberi pakan hijauan yang disediakan untuk dimakan hingga pagi hari
(Nasser, 2010).
Sapi yang dibesarkan atau digemukkan dalam kandang dengan pemberian
pakan penuh menyebabkan kotorannya juga banyak. Dengan demikian, kebersihan
kandang harus benar – benar di jaga. Pembersihan kotoran sapi dilakukan dua kali
sehari, pagi dan sore hari (Nasser, 2010).
Membersihkan sapi dengan cara memandikan bertujuan untuk menghilangkan
kotoran yang menempel pada tubuh sapi. Kotoran yang menempel merupakan sumber
penyakit. Jika dalam perawatan ditemukan ada sapi yang terserang penyakit
sebaiknya segera dipisahkan. Pemisahan dimaksudkan agar penyakit tidak menular
pada sapi lain serta memudahkan dalam memberikan pakan khusus dan pengobatan
(Nasser, 2010).
2.5.7

Panen
Sapi potong dapat dipanen setelah 90 – 100 hari penggemukan. Penimbangan

berat akhir di lakukan di lokasi perusahaan mitra atau di lokasi peternak sesuai
perjanjian. Karena transportasi sapi bisa menganggu berat badan, maka apabila

ditimbang di lokasi mitra, lokasi peternakan harus tidak jauh dari lokasi perusahaan
mitra (sekitar 1 jam perjalanan kendaraan) (Nasser, 2010).

2.5.8 Perlengkapan
Semakin besar skala usaha penggemukan sapi potong, semakin tinggi
kebutuhan perlengkapan. Contoh, skala usaha dengan kapasitas 10 ekor per bulan
tidak perlu memiliki truk sebagai sarana angkutan karena efisiensinya rendah, tetapi
skala 500 ekor per minggu membutuhkan sarana angkutan karena jika menyewa
kendaraan tidak efisien. Beberapa perlengkapan yang dibutuhkan sebaiknya
disesuaikan dengan skala usaha (Nasser, 2010).
2.5.9 Tenaga Kerja
Dari segi kuantitas, tenaga kerja bukanlah suatu hal yang sulit. Namu untuk
mendapatkan tenaga kerja yang baik dan bertanggung jawab, diperlukan proses
seleksi yang cukup ketat dan diikuti proses pelatihan yang berlanjut, sehingga tenaga
kerja memiliki jalur tersendiri. Dalam proses seleksi tenaga kerja, perlu diperhatikan
beberapa faktor, seperti tingkat pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kondisi fisik,
dan jenis kelamin (Nasser, 2010).
2.6 Analisis Pasar dan Pemasaran Budidaya Sapi Potong
Hal yang perlu diperhitungkan adalah kondisi harga bakalan dan harga jual
sapi potong di pasaran. Kesalahan dalam perhitungan bisa menyebabkan kerugian
yang tidak sedikit. Untuk menjaga agar harga tidak fluktuatif, perlu dilakukan

penjajakan penrapan harga kontrak dengan pembeli sapi potong. Langkah ini bisa
dilakukan untuk mencegah resiko harga bakalan membumbung tinggi, tetapi anjlok
pada waktu sapi potong dipasaran. Disamping itu, perlu dipertimbangkan sapi potong
akan dijual hidup atau sudah dalam bentuk karkas (Abidin, 2002).
Evaluasi aspek pasar sangat penting dalam pelaksanaan studi kelayakan
proyek. Salah satu syarat agar pemasaran berhasil, proyek yang akan dilaksanakan
harus dapat memasarkan hasil produksinya secara kompetitif dan menguntungkan.
Analisis aspek pasar terdiri dari rencana perasarana output yang dihasilkan oleh
proyek dan rencana penyediaan input yang dibutuhkan untuk kelangsungan dan
pelaksanaan proyek (Gittinger, 1986).
Kriteria kelayakan pada aspek pasar dikatakan layak apabila usaha budidaya
sapi potong memiliki peluang pasar, artinya potensi permintaan lebih besar dari
penawaran. Keberhasilan dalam menjalankan usaha perlu adanya strategi pemasaran
dan pengkajian aspek pasar dengan cermat. Hal yang dapat dipelajari bentuk pasar
yang dimasuki, komposisi dan perkembangan permintaan dimasa lalu dan sekarang
(Anonim, 2012).
2.6.1 Arti Pemasaran
Pemasaran adalah suatu runtutan kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk
memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen (Ratya Anindita,
2004). Selanjutnya (Fanani, 2000) mengatakan bahwa pada prinsipnya pemasaran
adalah pengaliran barang dari produsen ke konsumen, aliran barang tersebut dapat

terjadi karena adanya lembaga pemasaran yang tergantung dari sistem yang berlaku
dan aliran barang yang dipasarkan.
Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha/
aktivitas dengan tujuan untuk menyampaikan produk barang dan atau jasa dari
produsen (penghasil) ke konsumen (pemakai) akhir dan segala upaya yang telah
dilakukan untuk memperlancar kegiatan arus barang dan jasa tersebut untuk
mewujudkan permintaan yang efektif (Kolter, 1996).
Pemasaran hasil pertanian sebagai suatu performance semua usaha yang
mencakup kegiatan arus barang dan jasa mulai dari titik usahatani sampai pada
konsumen akhir. Proses mengalirnya komoditi pertanian dari titik-titik usahatani
sampai konsumen akhir dilakukan melalui saluran-saluran. Sedangkan secara khusus
pemasaran adalah analisa terhadap aliran produk secara fisik dan ekonomis dari
produsen ke konsumen melalui pedagang perantara. Mengatakan bahwa pada
prinsipnya pemasaran adalah pengaliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran
barang tersebut dapat terjadi karena adanya lembaga pemasaran yang dalam hal ini
tergantung dari sistem yang berlaku dan aliran yang dipasarkan (Fanani, 2002).
2.6.2

Saluran Pemasaran
Sukartawi (1993) mengatakan bahwa saluran pemasaran adalah saluran atau

jalur yang digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
memudahkan pemilihan suatu produk itu bergerak dari produsen sampai berada di
tangan konsumen. Sedangkan Hanafiah dan Saefudin (1986) mengatakan bahwa
saluran pemasaran merupakan badan-badan atau lembaga yang menyelenggarakan

kegiatan atau fungsi pemasaran dengan cara menggerakkan aliran barang dagangan
tersebut atau hanya bertindak sebagai agen dari pemilik barang. Urutan dari badan ini
membentuk rangkaian yang disebut dengan rantai pemasaran.
Penetapan saluran pemasaran oleh produsen sangatlah penting sebab dapat
mempengaruhi kelancaran penjualan, tingkat keuntungan, model, resiko dan
sebagainya. Oleh karena itu setiap produsen atau perusahaan hendaknya dapat
menetapkan saluran pemasaran yang paling tepat (Abidin, 2002).
Sehubungan dengan hal tersebut Abubakar (1978) membagi saluran pemasaran
itu menjadi tiga yaitu sebagai berikut :
1) Saluran langsung, pada saluran ini tidak terdapat perantara, yaitu saluran barang
dari produsen ke konsumen tanpa melalui perantara, kalaupun ada pedagang
eceran pada saluran ini hanya merupakan milik produsen.
2) Saluran semi langsung, pada saluran ini terdapat pedagang eceran yang
merupakan bukan milik dari produsen yang menghasilkan barang tersebut dan
berdiri sendiri.
3) Saluran tidak langsung, pada saluran ini terdapat pedagang perantara seperti
pedagang besar dan pedangang pengecer yang berfungsi menyalurkan barang
dari produsen ke konsumen akhir.
Jalur pemasaran sapi potong sangat panjang, hal ini akan sangat berpengaruh
pada tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani. Kejadian tersebut berlanjut
karena peternak sapi potong tidak dapat menyampaikan produknya ke konsumen
(Fanani, 2000).

2.6.3

Lembaga Pemasaran
Menurut Sudiyono, (2002) lembaga pemasaran adalah badan usaha atau

individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari
produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha
atau individu lainya. Lembaga pemasaran ini timbul karena adanya keinginan
konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat dan bentuk
yang diinginkan oleh konsumen.
Fanani (2000) mengatakan bahwa di dalam pemasaran sapi potong terdapat
beberapa lembaga pemasaran yang ikut serta mengambil bagian, diantaranya:
pedagang perantara, pedagang pengumpul dan pedagang antar propinsi. Peranan
lembaga ini sangat mempengaruhi harga ternak yang akan dijual.
2.6.4

Pendekatan Margin Pemasaran
Tomek dan Robinson (1977) dalam Wedstra (1999) menyatakan dalam teori

harga diasumsikan bahwa penjual dan pembeli bertemu langsung, sehingga harga
ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan secara agregat. Dengan
demikian disimpulkan tidak ada perbedaan antara harga di tingkat peternak dengan di
tingkat konsumen akhir. Tetapi berdasarkan penelitian ternyata perbedaan harga itu
terjadi, perbedaan harga tersebut dengan margin pemasaran.
Tomek dan Robinson (1977) dalam Wedstra (1999) mendefinisikan bahwa
margin pemasaran sebagai perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen dengan
harga yang diterima oleh petani produsen. Dengan kata lain margin pemasaran

merupakan selisih antara harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga di tingkat
peternak produsen (Pf), dengan formula sebagai berikut :
MP = Pr – Pf
Dimana
Mp : Margin pemasaran
Pr : Harga pemasaran
Pf : Harga produsen
Lebih lanjut Tomek dan Robinson (1977) dalam Wedstra (1999) menyatakan
bahwa margin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan, sehingga
semakin besar biaya pemasaran, dan atau semakin besar keuntungan maka semakin
besar margin pemasarannya dan sistem pemasarannya menjadi tidak efisien. Margin
pemasaran tersebut hanya menunjukkan selsisih harga tanpa memperhatikan jumlah
yang diperdagangkan, sehingga nilai dari margin pemasaran adalah selisih harga tadi
dengan jumlah transaksi. Dengan demikian margin pemasaran dapat juga
diformulasikan sebagai berikut :
MP = BP + KP
Dimana
BP : Biaya Pemasaran
KP : Keuntungan Pemasaran
Dari kedua persamaan tersebut diperoleh persamaan baru :
Pr – Pf = BP + KP
Pf = Pr - BP – KP

Tomek dan Robinson (1977) dalam Wedstra (1999) menyatakan secara grafis,
margin pemasaran dapat digambarkan sebagai jarak vertical antara kurva permintaan
primer dengan turunan, atau antara kurva penawaran primer dengan kurva penawaran
turunan.
2.6.5 Margin Pemasaran
Abubakar (2002) mengatakan bahwa margin pemasaran dapat didefinisikan
dengan dua cara yaitu: 1) margin pemasaran merupakan perbedaan antara harga yang
dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima peternak, 2) margin pemasaran
merupakan biaya dari jasa-jasa pemasaran yang dibutuhkan sebagai akibat
permintaan dan penawaran dari jasa-jasa penawaran.
Sedangkan dalam margin pemasaran dikenal berbagai komponen yang terdiri
dari (Abubakar, 2002):
1) Biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan
fungsi-fungsi pemasaran yang disebut biaya pemasaran atau biaya fungsional.
2) Keuntungan (profil) lembaga pemasaran, lembaga-lembaga pemasaran ini
membentuk distribusi margin pemasaran.
Pada umumnya produk yang berbeda mempunyai jasa pemasaran yang berbeda.
Data

empiris

menunjukkan

bahwa

margin

pemasaran

yang

tinggi

tidak

mengindikasikan keuntungan yang tinggi, tergantung berapa besar biaya-biaya yang
harus dikeluarkan lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi
pemasaran (Abubakar, 2002).

2.6.6

Analisis pemasaran
Menurut Fanani (2000) Analisis Pemasaranmerupakan aktivitas pemasaran

sangat penting untuk menunjang kegiatan pemasaran dalam upaya mencapai
tujuannya, untuk itu sampai tingkat tertentu hal itu diimbangi pula dengan besarnya
biaya pemasaran yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Pengertian analisa
pemasaran dibedakan menjadi dua kategori yaitu :“Dalam arti sempit, analisa
pemasaran diartikan sebagai biaya penjualan, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk menjual produk ke pasar. Dalam arti luas biaya pemasaran meliputi semua
biaya yang terjadi sejak saat produk selesai diproduksi dan di simpan dalam gudang
sampai dengan produk tersebut diubah kembali dalam bentuk uang tunai”. (Mulyadi,
1992) Karena pertambahan jumlah dan proporsi biaya pemasaran terhadap total
biaya, maka sangat diperlukan strategi dan kebijakan pengendalian atas biaya
pemasaran yang tepat. Dalam strategi dan kebijakan pengendalian biaya pemasaran
diperlukan analisis biaya pemasaran yang memadai (Abubakar, 2002).
2.7 Aspek Keuangan
Menurut Umar, (2005) tujuan menganalisis aspek keuangan dari suatu studi
kelayakan proyek bisnis adalah untuk menentukan rencana investasi melalui
perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara
pengeluaran dan pendapatan seperti ketersediaan dana, modal, kemampuan proyek
untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan
menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus. Kritertia investasi yang

digunakan yaitu analsis laba rugi, break even point produksi (BEP Produksi), break
even poin harga (BEP harga), B/C rasio dan Return of investment (ROI).
Menurut Syarif K. (2011)bahwa,Konsep cost of capital (biaya-biaya untuk
menggunakan modal)dimaksudkan untuk menentukan berapa besar biaya riil dari
masing-masingsumber dana yang dipakai dalam investasi. Aspek finansial merupakan
suatugambaran yang bertujuan untuk menilai kelayakan suatu usaha untuk
dijalankanatau tidak dijalankan dengan melihat dari beberapa indikator yaitu
keuntungan,R/C Ratio, Break Event Point (BEP) dan Payback Period (PP) yang
dapatdiuraikan sebagai berikut :
1. Keuntungan suatu perusahaan didapatkan dari ha

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24