Sejarah Asal Usul Aliran Teologi Islam

Sejarah Asal Usul Aliran Teologi Islam
Ditulis oleh Mujtahid
LAHIRNYA aliran teologi Islam adalah reaksi dari skisme (perpecahan) politik umat Islam.
Tragedi skisme itu terabadikan dalam sebuah ungkapan "al-fitnah al-kubra". Proses skisme itu
berawal dari terbunuhnya Usman Ibn Affan, yang pada akhirnya berimplikasi serupa terhadap
khalifah keempat yakni Ali ibn Abi Thalib. Ketika kedua khalifah tersebut terbunuh, wacana
kemelut politik lalu berkembang menjadi wacana agama (teologi).
Dalam tradisi Islam, penggunaan istilah "teologi" agaknya kurang mengakar, bahkan sebagian
kalangan memandang kurang tepat, dibandingkan dengan istilah kalam. Secara etimologis,
kalam berasal dari bahasa Arab, yang berarti kata-kata. Artinya, kalam adalah sabda Tuhan, yang
pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras dikalangan umat Islam abad IX-X masehi,
yang mendorong timbulnya pertikaian sesama umat Muslim. Istilah kalam juga bermakna ‘katakata manusia'. Karena dengan kalam (kata-kata), manusia bisa bersilat lidah dalam
mempertahankan argumen-argumennya. Meski demikian, kata "teologi" akhirnya dapat diterima
dalam bidang kajian Islam.
Ada sebuah buku terkenal yang menjadi rujukan utama para pemikir intelektual muslim, yaitu alMilal wa al-Nihal. Karya tersebut ditulis al-Syahrastani yang berbicara tentang sejarah teologi
secara komprehensif dan sejumlah aliran-aliran teologi Islam, mulai dari pertumbuhan,
perkembangan dan titik kulminasi kemajuannya. Aliran-aliran yang terungkap, tidak saja terbatas
pada aliran yang masih eksis (hidup), tetapi juga non-eksis (telah meninggal). Tak kurang dari
enam aliran, serta cabang-cabangnya terkupas tuntas oleh al-Syahrastani dalam kitab tersebut.
Pembicaraan tentang teologi adalah pembicaraan yang mendasar. Berbeda dengan fiqh, teologi
merupakan bahasan seputar aspek ushul (pokok atau pondasi agama). Sementara fiqh,

tinjauannya cenderung masalah furu' (cabang atau ranting). Sudah barang tentu kajian teologi
adalah menyangkut pembahasan soal ke-Tuhanan, soal iman-kafir, siapa yang sebenarnya
Muslim dan masih tetap dalam Islam, dan siapa yang sebenarnya kafir dan telah keluar dari
Islam. Selain itu, pembahasan juga diarahkan mengenai posisi orang Muslim yang mengerjakan
hal-hal yang haram dan mengenai orang kafir yang mengerjakan hal-hal yang baik.
Karakteristik masalah di atas pada akhirnya melahirkan sebuah perdebatan teologis. Aliran
Khawarij misalnya,-kelompok yang memisahkan diri (seceders) dari barisan Ali ibn Abi Thalib,
- menuding bahwa Ali ibn Abi Thalib dan Mu'awiyah beserta pengikut-pengikutnya, adalah
kafir, sebab telah berbuat salah dan dosa besar. Alasannya, karena mereka tidak memutuskan
perkara (persekutuan, peperangan) dengan hukum Allah.
Tak lama kemudian, lahirlah aliran Murji'ah. Sebuah aliran "moderat" yang berusaha

memandang bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin, karena penentuan dosa
besar atau tidak, hanyalah hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian, soal telah kafir atau tetap
mukmin adalah urusan Tuhan, bukan urusan manusia. Sesuai dengan akar katanya ‘raja-yarju',
artinya menunda atau menangguhkan. Yaitu menangguhkan keputusan tersebut sampai hari
akhir, dan Tuhan sebagai hakim di kemudian hari kelak yang akan menentukan perkara tersebut .
Masih mengenai persoalan di atas, akhirnya muncul lagi aliran ketiga yakni Mu'tazilah. Sebuah
aliran ‘rasionalis' yang berpandangan bahwa orang yang berbuat dosa besar ditempatkan pada
posisi "netral" yaitu posisi antara kafir dan mukmin atau tidak kafir tapi juga tidak mukmin.

Dalam ajaran Mu'tazilah posisi netral itu disebut al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara
dua posisi). Seseorang tidak boleh menganggap bahwa keburukan dan ketidakadilan, tidak
beriman atau dosa itu berasal dari Tuhan, sebab sekiranya Dia (Tuhan) menciptakan
ketidakadilan, maka Dia menjadi tidak adil.
Mu'tazilah juga punya paham al-wa'd wa al-wa'id (janji dan ancaman), bahwa Tuhan pasti akan
memenuhi janji dan ancamannya di hari akhir. Selain itu, ada paham al-Adl (keadilan), al-Tauhid
(ke-Maha Esaan Tuhan), dan al-‘Amr bi al-Ma'ruf wa Nahy ‘an Munkar (perintah melakukan
kebajikan dan larangan menjauhi kejelekan).
Namun, paham yang dikemukakan Mu'tazilah, akhirnya ditentang oleh pengikut aliran Asy'ariah.
Aliran Asy'ariah berpaham bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan, paham ini
disebut al-kasb. Dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada dalam diri
manusia tidak punya pengaruh atau efek. Asy'ariyah juga menolak paham Mu'atazilah tentang alwa'd wa al-wa'id (janji dan ancaman), keadilan Tuhan (al-‘Adl). Lebih-lebih terhadap paham
Mu'tazilah tentang ‘posisi netral' (al-manzilah bain al-manzilatain).
Tak pelak lagi, lahirlah dua aliran "raksasa" yang termashur sampai saat ini menjadi pisau
analisis, yaitu Qadariah dan Jabariah. Dua aliran yang masing-masing pandangannya selalu
bertolak belakang secara diametral. Qadariyah memandang bahwa manusia pada hakikatnya
adalah makhluq yang punya kemerdekaan dalam kehendak (free will) dan perbuatannya (free
act). Sebaliknya, Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kehendak, dan segala
tingkah lakunya merupakan paksaan dari Tuhan, sehingga pahamnya dikenal predestination atau
fatalism.

Pada bagian akhir dari ulasan buku tersebut di atas, ditutup dengan menghadirkan aliran Syi'ah.
Aliran ini adalah pengikut setia Ali ibn Abi Thalib. Paham-paham doktrinnya banyak berbicara
mengenai masalah politik. Soal Khilafah dan Imamah misalnya, bahwa seorang pemimpin itu
harus terbebas atau terjaga dari perbuatan dosa (ma'shum), dan harus memiliki garis keturunan
Ali.

Secara garis besarnya, aliran Syi'ah dapat dipetakan menjadi lima golongan, yaitu Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat, dan Ismailiyah. Dari kelima golongan tersebut, sebagian berpaham
Mu'tazilah, sebagian lagi berpaham ortodoks, yang sebagian yang lain berpaham
antropomorfisme (tasybiyah).
Sebagai khazanah pemikiran Islam, apa yang diterangkan al-Syahrastani memang sangat penting
sebagai bahan diskusi dan perbincangan secara mendalam, khususnya bagi peminat pemikiran
teologi Islam. Dan sampai saat ini, studi tentang teologi Islam hampir semuanya merujuk pada
pendapat-pendapatnya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

MURJI’AH
A. Pengertian aliran Murji’ah
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau
menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah.

Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya AlMilal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat)
bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian
persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke
hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang
siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai
tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa
orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasulNya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di
akhirat baru ditentukan hukuman baginya.
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan
dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah,
manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan
dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan
kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari
pembalasan tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan seseorang.
Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang
mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan
merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan.
Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau

perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu

kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas,
dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman
bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).

B. Latar belakang munculnya aliran Murji’ah
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah
(kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam
dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula
kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan
yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok
lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu
membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya.
Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya
milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia
dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi
saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang
menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah
yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.

Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari
persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum
orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak
dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan
Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum
Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama
adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin,
bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah
kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.

C. Ajaran aliran Murji’ah
Dalam perjalanan sejarah, aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
moderat dan kelompok ekstrem. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad
bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits.
Kelompok moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murji’ah diatas. Kelompok ekstrem
terbagi lagi ke dalam beberapa kelompok, seperti Al-Jahamiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah,
Al-Ubaidiyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah.
Al-Jahamiyah di pelopori oleh Jahm bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah
mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT.

Sebaliknya, kafir yaitu tidak mempercayai hal-hal tersebut diatas. Apaila seseorang sudah
mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT,
berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan
dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum-minuman keras.
Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya
bagi Allah SWT semata.
As-Shalihiyah diambil dari nama tokohnya, Abu Hasan As-Shalihi. Sama dengan
pendapat Al-Jahamiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata hanya
ma’rifat kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya. Iman dan kufur itu tidak
bertambah dan tidak berkurang.
Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus bin An-Namiri. Menurut golongan ini, iman
adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedang
kufur kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan,
melainkan karena ketakaburannya. Mereka pun meyakini bahwa perbuatan jahat dan maksiat
sama sekali tidak merusak iman.
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka
sama dengan sekte Al-Yunusiyah. Pendapatnya yang lain adalah jika seseorang meninggal dalam
keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat,

banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak

akan memperbaiki posisi orang kafir.
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah
ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepadaNya.
As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama
dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah
mengetahui
dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui
adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping
meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya,
juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan,
maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat
bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin
dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan.
Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati
lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada
sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai
pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati
oleh umat Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Sumber ; ENSIKLOPEDIA of ISLAM.1994.

AL-KHAWARIJ (‫)الخوارج‬
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh
kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib
r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim
(arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin
(37H/657). Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka
menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual
(mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. AlBaqarah (2):207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti
Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena
seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum
selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islarn sebagaimana
yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa,
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian hadits-hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits-hadits
yang berkaitan dengan Khawarij scdang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang

lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya
tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di
samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob),
secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di
mana-mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat
pentingnya apalagi buku-buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi
Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati-hati terhadap firqah ini.
Fakta munculnya Khawarij bukanlah pada masa Ali r.a. sebagaimana sebagian para ahli sejarah
menyebutkan, tapi sudah muncul pada masa Utsman r.a. baik secara ajaran maupun dalam
bentuk aksi nyata. Buku sejarah banyak menyebutkan ini seperti buku sejarahnya Imam
At-Thabari dan Ibnu Katsir. Dalam buku tersebut orang yang memberontak kepada Utsman r.a.
disebut Khawarij. Hal ini dikuatkan oleh fakta sejarah berikutnya dimana mereka berhasil
membunuh Utsman r.a. Kemudian umat Islam membai’at Ali r.a. termasuk sebagian besar
orang-orang yang telah membunuh Utsman r.a. Sementara itu Zubair bin Awwam, Abdurrahman
bin Auf, Aisyah, dan sahabat yang lain keluar dan menuntut pembelaan terhadap Utsman r.a. Ali
r.a. berkata, “Saya setuju dengan pendapat Anda, tapi mereka sangat banyak dan bercampur
dalam pasukan kami.” Ali r.a. menghendak masalah Khalifah diselesaikan dahulu baru
menyelesaikan orang-orang yang membunuh Utsman. Kemudian antara pihak Ali r.a. dan
Aisyah r.a. sudah terjadi kesepakatan bahwa mereka tidak akan berperang kecuali untuk
menuntut pembunuh Utsman, tapi orang-orang yang membunuh Utsman membuat fitnah lagi

dalam Perang Jamal. Mereka memisahkan diri jadi dua, sebagian bersama Ali dan sebagian
bersama Aisyah; dan mereka berdua saling melempar lembing, dan satu sama lain mengatakan

bahwa Ali telah berkhianat dan Aisyah telah berkhianat, maka terjadilah apa yang terjadi dalam
Perang Jamal.
Pada waktu terjadi peperangan antara Ali r.a. dengan Muawiyah r.a., mereka juga bersama Ali
dalam suatu peperangan yang terkenal dalam sejarah disebut Perang Shiffin. Dalam buku-buku
tarikh Syi’ah juga ditulis dalam buku-buku tarikh Sunnah, disebutkan ada pihak ketiga yang
netral di antaranya Abdullah bin Umar, Abu Musa Al-Asyari, Zaid bin Tsabit, dan yang lainnya
yang mencoba mengadakan ishlah pada keduanya dan mempertemukan keduanya. Terjadilah
suatu dialog antara utusan Ali r.a. dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.
“Apakah Anda memerangi Ali karena Anda ingin menjadi khalifah?” Muawiyah berkata, “Saya
tahu diri saya. Saya tahu diri saya jauh di bawah Ali, dan tidak ada dalam benak saya keinginan
untuk menjadi khalifah. Saya keluar berperang untuk menuntut darah Utsman.” “Apa betul Anda
tidak ingin menjadi khalifah?” Berkata Muawiyah, “Andaikata Ali menyerahkan siapa
pembunuh Utsman niscaya saya orang yang pertama berbai’at.” Akantetapi suasana dikacaukan
oleh orang-orang tadi yang akhirnya terjadi Perang Shifiin.
Ketika pihak Muawiyah hampir kalah, atas usulan Amru bin Al-Ash untuk meletakkan mushaf di
pucuk pedang sebagai tanda ingin berunding. Ali r.a. tahu bahwa ini tipu daya tetapi orang-orang
Khawarij meminta Ali untuk menerimanya bahkan memaksa dan mengancam:

Mu’tazilah.
BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran
Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan
penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok
lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang
menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan
akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus
masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari
agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu
bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin
sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak
benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya
bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya
agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang
pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh
para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan
persatuannya.

Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah dengan nama-nama yang yang cukup
menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan
Aqlaniyah... Modernisasi pemikiran. Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang
mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu
dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini.
Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan
penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok
pembahasan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang munculnya aliran Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut
muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha'
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal
kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya
golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami
buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah
manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh Manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri,
yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada
dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini
tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum
Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji
dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl
(Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu
datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak

(masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah:
205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka
kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila
Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi
(mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl
atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah
bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa
besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya,
dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan
Wa’idiyyah.
Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan
murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama
"kaum rasionalis Islam".
Aliran mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah
memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin
mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah
Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu'tazilah, bukan oleh
mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak),
pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan
bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari
segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.
2. Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
Tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran
sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga
masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi
menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Aliran Mu’tazilah
Basrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertamatama mendirikan aliran Mu’tazilah.
Perbedaan antara kedua aliran Mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi
geografis dan kulturil. Kota Basrah lebih dahulu didirikan daripada kota Baghdad, dan lebih
dahulu mengenal perpaduan aneka ragam kebudayaan dan agama. Dalam pada itu, meskipun
Baghdad kota terbelakang didirikan, namun menjadi ibukota khilafat Abbasiyah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi bahwa pengaruh filsafat Yunani
pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku
filsafat di Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi
tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain. Aliran Basrah lebih
banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad sebaliknya, lebih
menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan
khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil soal-soal yang telah dibahas aliran Basrah,
kemudian diperluas pembahasannya.[27]
Tokoh-tokoh aliran Basrah: al Washil bin ‘Atho, al ‘Allaf, An Nazzham dan Jubba’i. Tohohtokoh aliran Baghdad antara lain : Bisyr bin al Mu’tamir, al Khayyat. Kemudian pada masa-masa

berikutnya lagi ialah Qadhi Abdul Jabar dan az Zamakhsyari. Uraian berikut ini didasarkan atas
urut-urutan geografis dan kronologis.[28]
1. Washil bin ‘Atha (699-748 M)
Nama lengkapnya Washil bin ‘ Atha al Ghazzal, ia terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah
yang pertama dan peletak lima besar ajaran Mu’tazilah
2. Abu Huzail al ‘Allaf (226 H/841 M)
Abu Huzzail al ‘Allaf adalah pendiri yang sebenarnya bagi aliran Mu’tazilah. Ia
mengembangkan pandangan-pandangan Mu’tazilah dan meramunya dengan informasi-informasi
baru. Atas prakarsanya, tidak sedikit lahir tokoh besar Mu’tazilah. Ia dilahirkan di Basrah dan
lama berdomisili di kota ini. Al ‘Allaf pernah diundang ke Baghdad untuk beberapa waktu, ia
diberi umur panjang, hidup sekitar 100 tahun lamanya. Hidup sezaman dengan gerakan
penerjemahan Islam yang terbesar. Berhubungan dengan kebudayaan asing. Kelebihan al ‘Allaf
ialah karena punya pengetahuan luas, pemikiran mendalam, lisan fasih, argumentasi yang kuat,
dan Pendebat aliran dualisme dan rafidah. Seringkali dalam perdebatan al ‘Allaf berhasil
membungkam lawannya. Ia begitu terampil dalam diskusi-diskusinya hingga mampu
mematahkan (argumentasi) lawan, bahkan berhasil menarik kaum penentang untuk memeluk
Islam. Al ‘Allaf menulis dan mengarang banyak buku, sayangnya kira-kira itu tidak
diselamatkan dan musnah dimakan zaman, yang dalam masalah ini ia sampai pada sejumlah
pandangan yang keras dan aneh, sehingga menjadi topik kritik pro dan kontra. Al ‘Allaf
merupakan orang pertama dari kalangan kaum muslimim yang serius terjun menggeluti
problematika ketuhanan, yang dibalut dengan label filosofis.[29]

3. Al Nazzam (231 H/ 845 M)
Al Nazzam adalah filosof pertama dari kalangan Mu’tazilah yang paling mendalam pikirannya.
Paling berani, paling banyak berfikir merdeka di samping orisinil pendapatnya di antara mereka.
Al Nazzam adalah anak saudara perempuan Al ‘Allaf dan muridnya sekaligus. Belajar
kepadanya kemudian memberontak dan berfikir merdeka. Al Nazzam sejalan dengan al ‘Allaf
dalam hal keluasan cakrawala, kefasihan lisan dan kekuatan berargumentasi. Ia dilahirkan dan
dibesarkan di Basrah, kemudian mengembara di pusat-pusat peradaban Islam kemudian ia
berdomisili di Baghdad. Ia tidak diberi umur panjang seperti gurunya al ‘Allaf . Di antara
pendapat yang kuat mengatakan bahwa ia meninggal pada usia 60-70 tahun. Berkat
kecerdasannya ia mampu menguasai dan mengkritik teori-teori yang berkembang di sekitarnya,
dan membawa kesimpulan baru.[30]
4. Abu Hasyim al Jubba’i (321 H/ 932 M)
Al Jubba’i adalah tokoh besar terakhir dari kalangan Mu’tazilah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di
Basrah. Ia belajar kepada ayahnya, kemudian memisahkan diri darinya, berbeda pendapat
dengannya lalu mendirikan kelompok khusus. Ia hidup sezaman dengan al Farabi dan sebagian
kaum paripatetik Arab dan terpengaruh mereka . Teorinya tentang al Ahwal (kondisi-konsisi),
merupakan saksi terbaik yang membuktikan anggapan itu. Al Jubba’i berusaha untuk menolak
sebagian teori kosmologi yang dikemukan oleh Aristoteles.[31]

5. Bisyr bin Al Mu’tamir (226 H/ 840 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Baghdad. Pandangan-pandangannya mengenai
kesusasteraan, sebagaimana yang banyak dikutip oleh al Jahiz dalam bukunya “al Bayan wa al
Tabyin”, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama-tama mengadakan ilmu
Balaghah.[32]
Beberapa pendapatnya tentang paham Mu’tazilah hanya sedikit saja yang sampai kepada kita. Ia
adalah orang-orang yang pertama mengemukakan soal tawallud (reproduction) yang boleh
dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggung jawab manusia atas perbuatannya.
6. Al Khayyat (303 H/ 925 M)
Ia adalah Abu Husein al Khayyat, termasuk tokoh Mu’tazilah Baghdad dan pengarang buku ‘al
Intisar’ yang dimaksudkan untuk membela aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu al Rawandi. Ia
hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
7. Al Qadhi Abdul Jabbar (1024 M di Ray)
Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi
al qudhat) oleh Ibnu ‘Abad.[33] Di antara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokokpokok ajaran aliran Mu’tazilah terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as Syarif al
Murtadha. Buku tersebut sedang dalam penerbitan di Kairo dengan nama “al Mughni”.
8. Az Zamakhsyari (467-538 H/ 1075-1144 M)
Namanya Jaar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar, kelahiran Zamakhsyar, sebuah dusun di
negeri Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Sebutan Jaarullah yang berarti
tetangga Tuhan, dipakainya karena ia lama tinggal di Mekah dan bertempat di sebuah rumah
dekat Ka’bah. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan, dari negeri kelahirannya
menuju Baghdad, kemudian ke Mekkah untuk bertempat di sana beberapa tahun lamanya dan
akhirnya ke Jurjan (Persi-Iran) dan di sana ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan.[34]
Pada diri al Zamakhsyari sekumpulan karya alran Mu’tazilah selama kurang lebih empat abad. Ia
menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (grammatika) dan paramasastera (lexicology) seperti
yang dapat kita lihat dalam tafsirnya ‘al Kassyaf’ dan kitab-kitab lainnya, seperti “al Fa-iq,
Assaul Balaghahdan al Mufassal”.
Ia dengan terang-terangan menonjolkan paham ke-Mu’tazilahannya dengan dituliskan dalam
buku-bukunya, serta dikemukakannya dalam pertemuan-pertemuan keilmuan. Dalam tafsirnya
‘al Kassyaf’, ia telah berusaha sekuatnya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan
ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama lima prinsip, yaitu Tauhid, Keadilan, Janji dan Ancaman,
Tempat di antara dua tempat dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

BAB III
PENUTUP

Demikian makalah yang kami buat, makalah ini hanyalah sedikit gambaran tentang latar
belakang dan tokoh-tokoh aliran mu’tazilah dalam islam.
Dan kami mohon maaf sebesar-besarnya atas banyaknya kekurangan yang ada dalam makalah
kami.
Semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat menambahkan pengetahuan kita tentang latar
belakang dan tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah. Sekian dari kami, wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.anakciremai.com/2009/04/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html
http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2010/04/silabi-ilmu-kalam-aliran-mutazilah.html
Husein, Ahmad. Gerakan Ingkarusunnah Dan Jawabanya, Jakarta, Media Da’wah, 1990.
Raji Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-Ciri Ajarannya,
Jakarta, Pustaka Al-Riyadl, 2006.
Abdullah Mu’in, M. Thalib. Aliran Islam Pada Masa Khalifah, Yogyakarta, Widjaya, 1978.
A. Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Tauhid, Rajawali, Jakarta, 1991.
Al Qardhawy, Yusuf. Fiqhul Ikhtilaf, Jakarta, Robani Press, 1990.