BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Refluks Laringofaring - Korelasi Antara Reflux Symptom Index (RSI) Dan Reflux Finding Score (RFS) Pada Penderita Dengan Gejala Refluks Laringofaring Di Poliklinik THT- KL RSUP. H. Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Refluks Laringofaring

  Refluks laringofaring adalah aliran balik cairan lambung ke laring, faring, trakea dan bronkus. Refluks asam yang mengenai laring pertama kali dipublikasikan oleh majalah Otolaryngology pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang dikutip oleh Alberto (2008), mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan granulasi pada laring akibat adanya paparan cairan asam lambung. Istilah refluks laringofaring sendiri dicetuskan oleh Koufman pada tahun 1991 (Alberto 2008). Refluks laringofaring disebut juga extraesophageal reflux, supraesophageal reflux,

  

gastroesophagopharyngeal reflux, reflux laryngitis, silent reflux, atypical reflux

disease (Belafsky & Rees 2007). Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan positif

  intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun laringofaring. Refluks fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena adanya Transient Lower

  

Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR). TLESR dirangsang oleh distensi

  lambung, terutama pada masa postprandial dan diaktivasi oleh stretch receptor pada dinding lambung. Lengkung refleks terdiri dari impuls yang dimediasi oleh nervus vagus ke nukleus traktus solitarius pada batang otak, eferen vagal ke sfingter bawah esofagus dan non cholinergic, non nitergic inhibitory interneuron yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk membebaskan udara yang tertelan dengan sendawa. Hal ini terjadi secara independen dari proses menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah kontraksi dari sfingter bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi pada postprandial dan posisi upright (Andersson 2009).

  2.1.1 Kekerapan

Dari population based study tentang GERD yang dikutip oleh Qadeer et

al. (2005) ditemukan prevalensi dari gejala yang berhubungan dengan refluks

laringofaring antara 15% sampai 20%. Dan diperkirakan hampir 15% dari

  

pasien yang mengunjungi dokter spesialis THT karena manifestasi dari

refluks laringofaring.

Dari penelitian Belafsky et al. (2001) didapatkan rata-rata umur dari pasien

dengan refluks laringofaring 50 tahun, dimana 73% adalah wanita, nilai rata-

rata RFS 11,5±5,2 dan nilai rata-rata RSI 19,3 ±8,9. Carrau et al. (2004)

mendapatkan rata-rata umur pasien dengan refluks laringofaring 48 tahun

dimana 66,7% adalah wanita. Belafsky et al. (2002) mendapatkan rata-rata

umur penderita refluks laringofaring 57 tahun, dimana 56% adalah pria, rata- rata nilai RSI 20,9 ± 9,6.

  2.1.2 Komponen refluks

Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di

daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin dengan

asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya yang

berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada percobaan

pada hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif dan

menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6 ( Andersson 2009).

Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan.

Mayoritas dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan

sama pada orang normal dan pasien laringitis. Refleks yang berbentuk

campuran gas dan cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan

penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita penyakit refluks

laringofaring (Andersson 2009).

2.1.3 Mekanisme proteksi.

  Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter bawah esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik dan esofagus dan gaya gravitasi, resistensi mukosa esofagus, sfingter atas esofagus (Ford 2005).

  Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan baik antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu memasukkan bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi serta mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan, sfingter bawah esofagus mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari sistem saraf pusat. Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot polos, saraf dan hormon. Kemampuan sfingter bawah esofagus untuk menutup secara primer disebabkan karena adanya aktifitas otot polos intrinsik. Inervasi otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain dapat membuktikan adanya neurotransmiter

  α adrenergic dan β blocker dalam

  meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan blokade

  α adrenergic

  dan stimulasi β adrenergic akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya berperan dalam menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus (Kahrilas 2003).

  Peranan hormon dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi perdebatan yang menarik. Gastrin diduga berperan dalam menyebabkan kontraksi sfingter bawah esofagus, sedangkan antiserum gastrin menyebabkan penurunan sebesar 80% pada tekanan sfingter basal. Tekanan sfingter basal dapat dipengaruhi oleh bahan makanan yang masuk. Pengasaman lambung dan makanan yang mengandung protein akan meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan makanan berlemak akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus (Kahrilas 2003).

  

Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation disingkat TLESR merupakan

  mekanisme primer yang menyebabkan terjadinya refluks. TLESR terjadi akibat adanya penurunan mendadak tekanan sfingter bawah esofagus yang tidak berhubungan dengan proses menelan atau peristaltik. Pada saat terjadi penambahan tekanan intra abdomen yang normal, frekuensi episode refluks meningkat karena insufisiensi tonus sfingter bawah esofagus oleh mekanisme frekuensi relaksasi yang abnormal (Andersson 2009; Vardouniotis et al. 2009).

  Refleks vasovagal disusun oleh mekanoreseptor aferen dibagian proksimal lambung dengan pusat pengaturan dibatang otak dan eferen di sfingter bawah esofagus yang mengatur TLESR. Distensi abdomen (post prandial atau karena pengosongan lambung yang abnormal atau pada saat menelan udara) merupakan stimulus TLESR. Posisi yang menyebabkan letak gastrooesophageal junction di bawah permukaan batas air dan udara di lambung juga diduga menyebabkan terjadinya refluks. Faktor lain yang mempengaruhi dinamika tekanan dan volume lambung adalah gerakan, ketegangan, obesitas, volume yang berlebihan atau makanan yang hiperosmolar dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun

  wheezing (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006; Andersson 2009)

  Menurut Lipan, Reidenberg & Laitman (2006), episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter bawah esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang rendah, (2) relaksasi sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan dan (3) peningkatan sementara tekanan intraabdomen di lambung atau kombinasi antara (1) dan (2). Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized yang terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan germinativum. Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks asam adalah pembersihan zat asam intraluminal dan resistensi jaringan. Resistensi jaringan esofagus sebagai fungsi pertahanan mempunyai 3 bagian yang terdiri dari pre epitel, epitel dan post epitel. Pre epitel berfungsi sebagai pertahanan di permukaan berupa mukus dan lapisan cairan yang terdiri dari ion bikarbonat yang berfungsi membuat suasana menjadi basa. Lapisan pertahanan pre epitel esofagus relatif lebih lemah dibandingkan pada lambung maupun duodenum (Orlando 2006) Lapisan epitel berada di apical dari membran dan complex junction. Berfungsi untuk mendistribusikan ion hidrogen dari lumen ke interseluler space. Pada keadaan esofagitis, complex junction akan mengalami kerusakan, saat itulah terjadi

  • peningkatan ion H sehingga menyebabkan dilatasi dari interseluller space. Pertahanan pada post epitel berupa asam yang berfungsi sebagai buffer terhadap
    • efek HCO

  3 didalam sel dan interselular space. Suplai darah berfungsi mengangkut

  ion HCO

  3 . Ion Na yang berikatan dengan Cl atau ion HCO 3 akan bertukar tempat

  di basolateral dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar ke sel cytosol. Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan diperbaiki melalui 2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu oleh hormon epidermal

  growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit setelah terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam (Orlando 2006).

  Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa karbonik anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan ekstrasel esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka karbonik anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator isoenzym yang berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jaringan serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus. Ekspresi dari karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada keadaan refluks laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang signifikan di epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis dan komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks asam lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada komisura posterior yang akan meningkat untuk menghindari kerusakan epitel (Koufman et al. 2006; Ford 2005) Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian kecil serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan pertahanan utama terhadap terjadinya refluks laringofaring (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006). Tekanan sfingter atas esofagus ini meningkat bila terjadi stimulasi faring, distensi esofagus dan intraesofageal infusion melalui jalur vagal eferen. Keadaan lain yang dapat meningkatkan tekanan sfingter atas esofagus yaitu saat melakukan inspirasi,

  

glossopharyngeal breathing dan saat melakukan valsava (Lipan, Reidenberg &

Laitman 2006).

  Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat terjadinya hambatan pada lower

  motor neuron di batang otak yang mempersarafi sfingter atas esofagus yang dibantu oleh posisi elevasi laring kearah anterosuperior (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).

  2.1.4 Patofisiologi Patofisiologi refluks laringofaring terjadi karena rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan asam lambung ke dalam saluran pernafasan atas yaitu sfingter bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa esofagus dan sfingter atas esofagus (Ford 2005) Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung dapat memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal. Yang pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan jaringan sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem (chronic throat

  clearing) dan batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal

  ini mungkin saling berhubungan. Gejala yang timbul karena trauma mukosa langsung atau kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan berdehem (chronic throat clearing) dan batuk ( Andersson 2009). Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling berbahaya. Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi pada cut off limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, refluks asam lemah ini mungkin melewati esofagus tanpa gejala dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa laring yang sensitif. Epitel respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih sensitif terhadap asam, pepsin yang teraktivasi dan garam empedu dari pada mukosa esofagus (Andersson 2009).

  Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit refluks laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al. (2002) menyatakan satu kali refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal ini berdasarkan penelitian pada hewan dimana 3 kali refluks asam dan pepsin selama 1 minggu sudah dapat menyebabkan kerusakan mukosa laring.

  2.1.5 Diagnosis penyakit refluks laringofaring

  a. Anamnesis Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip oleh Ford (2005) keluhan yang tersering yang didapat dari hasil anamnesis penderita refluks laringofaring adalah throat clearing (98%), batuk yang terus mengganggu (97%), perasaan mengganjal di tenggorok (95%) dan suara parau (95%).

  b. Gejala Klinis Untuk penilaian atas gejala pasien dengan penyakit refluks laringofaring, Belafsky, seperti yang dikutip oleh Tamin (2008) membuat sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan indeks gejala refluks ( Reflux Symptom Index = RSI). RSI mudah dilaksanakan , mempunyai reabilitas dan validitas yang baik, serta dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap komponen bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5 (keluhan berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13 dicurigai sebagai penyakit refluks laringofaring (Tamin 2008).

Tabel 2.1. Reflux Symptom Index (RSI)

  3

  4

  5

  6 Kesukaran bernafas / chocking

  1

  2

  3

  4

  5

  7 Batuk yang mengganggu

  1

  2

  4

  2

  5

  8 Rasa mengganjal di tenggorok

  1

  2

  3

  4

  5

  9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan, regurgitasi asam

  1

  2

  3

  4

  3

  1

  Reflux Symptom Index (RSI)

  4

  Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita 0 = tidak, 5 = sangat berat

  1 Suara serak/ problem suara

  1

  2

  3

  4

  5

  2 Clearing your throat (sering mengeluarkan lender tenggorok/ mendehem)

  1

  2

  3

  5

  5 Batuk setelah makan / berbaring

  3 Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip)

  1

  2

  3

  4

  5

  4 Kesukaran menelan

  1

  2

  3

  4

  5

  5 Sumber : Belafsky et al ( 2002) Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding posterior dari glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara, contact ulcer, stenosis subglottis (Andersson 2009). Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks laringofaring, Belafsky juga memperkenalkan skor refluks seperti yang dikutip oleh Tamin (2008), yaitu Reflux Finding Score (RFS). RFS merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya gambaran kelainan laring yang dilihat dari pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur ( Tamin 2008).

Tabel 2.2. Reflux Finding Score (RFS)

  Reflux Finding Score (RFS)

  Edema Subglotik / pseudosulcus vokalis 0 = tidak ada 2 = ada Ventrikular obliterasi 2 = parsial 4 = komplit Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid 4 = difus Edema pita suara 1 = ringan 2 = moderat

  3 = berat Edema laring difus 1 = ringan 2 = moderat

  3 = berat 4 = obstructing Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan 2 = moderat

  3 = berat 4 = obstructing Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada

  2 = ada Mukus kental endolaring 0 = tidak ada 2 = ada

  Sumber : Belafsky et al ( 2001)

  Skala ini bervariasi dari nilai 0 (tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 ( nilai yang terburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and

  intraobserver reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen bersifat subyektif

  tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian yang dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi anti refluks (Tamin 2008). Keadaan patologis laring tersering yang dijumpai adalah hipertrofi laring posterior sebesar 85%. Koufman yang dikutip oleh Belafsky et al (2001) pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan pseudosulcus vokalis dimana edema subglotis tersebut menyebar hingga ke daerah komisura posterior laring seperti tampak pada gambar.

Gambar 2.1 Pseudosulcus vokalis (Pham 2009)Gambar 2.2 Ventrikular obliterasi (Pham 2009) Keadaan ini harus dibedakan dengan epitel sekunder pita suara yang terjadi akibat tidak terbentuknya lapisan superficial pada lamina propria. Keadaan lain seperti ventrikular obliterasi ditemukan sebanyak 80% akibat terjadinya edema dan hiperemis dipita suara dan plika ventrikularis seperti tampak pada gambar (Belafsky etal. 2002).

Gambar 2.3 Eritemia/ hiperemia (Pham 2009)

  Gambar 2.4: Edema pita suara (Pham 2009)

Gambar 2.5 Edema laring (Pham 2009) Obliterasi parsial mempunyai nilai skor 2, sedangkan obliterasi komplit nilai skor 4, demikian pula pada eritema atau hiperemia laring, bila hanya mengenai aritenoid mempunyai skor 2, sedangkan merata hingga laring skor 4. Edema ringan atau

  slight swelling pita suara skor 1, bila edema tampak jelas skor 2, berat skor 3, dan

  bentuk pita suara sudah tidak halus atau polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4 (Belafsky et al. 2002)

Gambar 2.6 Hipertrofi komisura posterior (Pham 2009)Gambar 2.7 Granuloma (Pham 2009)Gambar 2.8 Mukus kental endolaring (Pham 2009) Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura posterior yang ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang jelas dengan sekelilingnya skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 3 dan bila hipertrofi telah menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4. Penilaian terakhir berupa ada tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila ditemukan maka skor 2 (Belafsky et al. 2002).

  c. Pemeriksaan pH Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling dapat dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas sfingter atas esofagus dengan bantuan manometri. (Andersson 2009; Merati et al. 2005) Walaupun dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari tes yang ideal dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari tes ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien THT tidak dapat bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi diet dapat menimbulkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas ( Knight 2005).

  d. Tes PPI Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek terapi. Tes PPI (+) jika terdapat perbaikan nilai RSI. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan pemeriksaan pH metri 24 jam ( Tamin 2008)

  2.1.6 Penatalaksanaan Penderita dengan sangkaan refluks laringofaring di tegakkan dengan menggunakan instrumen RSI lebih dari 13 dan RFS lebih dari 7, penderita segera diberi tes terapi empiris dengan proton pump inhibitor (PPI) disertai perubahan pola hidup dan diit, kemudian dilakukan observasi selama kurang lebih 3 bulan. Bila keadaan umum penderita membaik, maka pemberian PPI dapat dikurangi secara perlahan-lahan atau bila keadaan umum penderita mengalami perubahan sedikit lebih baik, maka dosis pemberian terapi dapat ditingkatkan dan penderita dievaluasi selama kurang lebih 6 bulan, namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka pemeriksaan multichannel impedance dan pH monitoring, pemeriksaan

  transnasal esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan foto dengan menggunakan kontras barium dapat segera dilakukan (Ford 2005).

  

Penilaian Awal

Pasien dengan refluks laringofaring

Reflux Symptom Index (Riwayat Gejala) > 13 dan

Reflux Finding Score (Laringoskopi) > 7

  

Uji Terapeutik Empiris

Pola Hidup

Diet

Penilaian selama 3 bulan

  Gejala Teratasi Gejala Membaik Gejala Tetap atau Memburuk

Peningkatan dosis PPI

Terapi PPI Titrat

  

Lanjutkan Modifikasi Pola

Hidup dan Diet

Penilaian selama 6 bulan

Gejala Gejala Tidak

  Teratasi Teratasi Terapi PPI Penilaian Definitif Titrat Monitoring pH (Penilaian Reflux) TNE atau EGD (Dokumentasi Patologis)

  Manometry (Penilaian Etiologi) Barium Swallow

Gambar 2.9 Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring berdasarkan American Medical Association (Ford, 2005)

2.2 Kerangka Teori

  2. Throat clearing

  Perubahan pola hidup Diet Terapi PPI

   pH metry  Tes PPI (+) Penyakit Refluks laringofaring

  9. Heartburn, rasa nyeri didada, gangguan pencernaan, regurgitasi asam

  8. Rasa mengganjal di tenggorok

  7. Batuk yang mengganggu

  6. Kesukaran bernafas/ chocking

  5. Batuk setelah makan/ berbaring

  4. Kesukaran menelan

  3. Mucus berlebih / post nasal drip

Gambar 2.10 Kerangka teori

  Cairan Lambung

  8. Mukus kental endolaring Gejala Klinis (RSI):

  7. Granuloma/ jaringan granulasi

  6. Hipertrofi komisura posterior

  5. Edema laring difus

  4. Edema pita suara

  3. Eritemia / hyperemia

  2. Ventricular obliterasi

  1. Edema subglotik/ pseusdosulcus vocalis

  Refluks laringofaring Tanda patologis laring (RFS) :

  Sfingter atas dan bawah esofagus Resistensi mukosa esofagus Fungsi motorik mukosa esofagus

  1. Suara serak

  2. 2 Kerangka Konsep RSI RFS -Umur -Jenis kelamin -Keluhan utama

Gambar 2.11 Kerangka konsep

2.3 Hipotesa Penelitian

  Terdapat korelasi antara nilai RSI dan nilai RFS pada penderita refluks laringofaring.

Dokumen yang terkait

Korelasi Antara Reflux Symptom Index (RSI) Dan Reflux Finding Score (RFS) Pada Penderita Dengan Gejala Refluks Laringofaring Di Poliklinik THT- KL RSUP. H. Adam Malik Medan

7 86 110

Perbedaan Kualitas Hidup Pada Penderita Refluks Laringofaring Sebelum Dan Sesudah Pemberian Omeprazole Di RSUP H. Adam Malik Medan

4 45 127

Hubungan Antara Lama Timbulnya Gejala Klinis Awal Hingga Tindakan Operasi Dengan Lama Rawatan Pada Penderita Invaginasi Yang Dirawat Di RSUP. H. Adam Malik Medan

4 47 41

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi - Profil Penderita Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) Tipe Bahaya Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2010

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. - Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Dengan Peritumoral Edema Index (PTEI) Pada Penderita Meningioma Intrakranial Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. - Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring - Korelasi Ekspresi Cyclooxygenase-2 Dengan Microvessel Density Pada Karsinoma Nasofaring Di RSUP H. Adam Malik Medan

1 1 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Karakteristik Pasien Penderita Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012-2013

0 2 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan 2.1.1 Pengertian Pendapatan - Analisa Pengakuan Pendapat Dan Beban Pada RSUP. H. Adam Malik

0 2 20

1. Peneliti Utama - Korelasi Antara Reflux Symptom Index (RSI) Dan Reflux Finding Score (RFS) Pada Penderita Dengan Gejala Refluks Laringofaring Di Poliklinik THT- KL RSUP. H. Adam Malik Medan

0 1 38