Perbedaan Kualitas Hidup Pada Penderita Refluks Laringofaring Sebelum Dan Sesudah Pemberian Omeprazole Di RSUP H. Adam Malik Medan
PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA REFLUKS LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN
OMEPRAZOLE DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Tesis
Oleh:
dr. RIKA FEBRIYANTI NIM : 080144002
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA REFLUKS LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN
OMEPRAZOLE DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher
Oleh:
dr. RIKA FEBRIYANTI
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
(4)
KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Salawat beserta salam atas junjungan kita nabi besar Muhammad S.A.W, keluarga dan sahabatnya. Hanya dengan segala rahmat dan karunia Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sehingga tesis ini dapat saya selesaikan.
Tesis dengan judul PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA REFLUKS LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN OMEPRAZOLE DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN ini diselesaikan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan ilmu bagi kita semua. Untuk itu perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
Ketua Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Dr. dr. Abd. Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, pengarahan dan nasehat baik sebagai Ketua Departemen, guru bahkan orang tua selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-KL atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.
(5)
Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp. THT-KL(K) sebagai ketua pembimbing tesis saya yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga saya dapat menyelesaikan tesis spesialis ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.
dr. Aliandri, Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis saya, yang telah meluangkan banyak waktunya memberikan petunjuk, bimbingan serta motivasi dengan penuh kesabaran sehingga tesis ini dapat selesai. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.
dr. Devira Zahara, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis saya yang telah banyak memberi bimbingan, motivasi sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.
dr. Taufik Ashar, MKM yg telah banyak memberi bimbingan dan memberi bantuan dibidang statistik penelitian di tengah kesibukannya. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.
Pada kesempatan ini perkenankanlah saya juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas
(6)
kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.
Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai selesai.
Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-Sp.THT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, almh dr. Hafni,Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati Harahap, SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, KL, dr. Rizalina A. Asnir, KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Farhat, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M. Ked (ORL-HNS), KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-Sp.THT-KL, serta para supervisor di rumah sakit jejaring. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.
(7)
Sembah sujud dan ucapan terima kasih saya kepada orang tua saya tercinta Ayahanda Ramlan dan Ibunda Hj Rosfanidar, S.Sos yang selalu berdoa, memberi semangat dan telah memberikan tuntunan kepada saya untuk mengisi kehidupan ini dengan penuh ikhlas. Terima kasih telah mengasuh, membesarkan, mendidik, mengajar, dan membimbing saya sejak kecil dengan penuh kasih sayang dan kesabaran yang begitu tulus. Doa ananda semoga Allah SWT menghapuskan segala dosa dan melipatgandakan segala amal kebaikan ayahanda dan ibunda.
Kepada kedua mertua saya Rahimar Sikumbang dan Jasmaniar Chaniago, yang selalu mendorong saya untuk tetap bersemangat dalam menyelesaikan pendidikan ini. Atas segala pengertian dari Ayahanda dan Ibunda semoga Allah SWT memberi balasan, kebaikan berlipat ganda, dan diampunkan segala dosa.
Dengan rasa cinta, penuh hormat dan tulus, saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada suami tercinta Erin Chaniago, ST, M.Sc, tempat segala kesulitan, hambatan dan keluh kesah dapat terbagi. Terima kasih atas segala pengertian, dukungan, kesabaran, dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. Semoga Allah terus menerus mempererat hubungan batin kita dan memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat kepada kita. Juga untuk buah hatiku tercinta Faiza Hanif, yang telah menjadi semangat dalam menjalani pendidikan, semoga Faiza menjadi anak berguna bagi keluarga, agama dan masyarakat. Amin
Kepada saudara-saudara saya tercinta, Adinda M. Hirdansyah, Amd, Denny Prasutyo, S.Kom, M. Indra Syahputra, SP, M. Arif Munandar dan M. Afif Munandar, penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
(8)
Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.
Medan, April 2014
Penulis
(9)
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit refluks laringofaring sangat penting untuk dikenali dimana jika tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup dan menjadi penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang dapat mengancam nyawa.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole
Metode: Penelitian ini menggunakan pre and post test design dari Mei 2013 hingga Maret 2014, terdapat 36 subjek penelitian yang dinilai skor kualitas hidup, RSI dan RFS pada 5 kali pengamatan. Setiap subjek diberikan omeprazole 20 mg dua kali sehari sebelum makan selama 12 minggu.
Hasil: Dari 36 subjek penelitian ditemukan wanita sebanyak 24 subjek (66,7%) dan pria 12 subjek (33,3%). Kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 45-64 tahun (50%) serta lebih banyak penderita dengan pendidikan tinggi (52,5%). Penderita dengan gejala refluks laringofaring pada penelitian ini kebanyakan dengan berat badan normal sebesar 55,6%, dengan rerata BMI 26,1±4,6. Keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah rasa menganjal ditenggorokan sebesar 50%. Mendehem atau throat clearing merupakan gejala yang paling banyak ditemukan sebesar 97,2%. Ventikular obliterasi dan hipertrofi komisura posterior merupakan tanda patologis laring yang paling sering ditemukan yaitu 97,2%. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RSI sebelum terapi 18,47±4,35 dan rerata RSI sesudah terapi selama 3 bulan yaitu 2,75±2,36 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata yang signifikan juga dijumpai pada skor RSI setiap pengamatan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RFS sebelum terapi 10,81±2,73 menjadi 3,31±1,31 setelah pengobatan selama 3 bulan (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata skor RFS yang signifikan juga ditemui pada setiap pengamatan. Terdapat perbaikan kualitas hidup setelah pengobatan dengan omeprazole selama 3 bulan dimana terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai kualitas hidup sebelum terapi 47,57±8,93 menjadi 83,17±6,16 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan kualitas hidup yang signifikan ini juga terlihat pada setiap pengamatan kualitas hidup.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup penderita refluks laringofaring dengan peningkatan nilai kualitas hidup pasien setelah pemberian omeprazole.
Kata kunci: Reflux Symptom Index, Reflux Finding Score, penyakit refluks laringofaring, kualitas hidup, omeprazole
(10)
ABSTRACT
Background: Laryngopharyngeal reflux disease has a negative impact on quality of life. The treatment of laryngopharyngeal reflux disease with PPIs may take up to 6 months. Omeprazole is one of the most commonly used PPIs.
Objective: To find out the differences in quality of life of patients with laryngopharyngeal reflux before and after the administration of omeprazole.
Methods: This study used a pre- and post-test design from May 2013 until March 2014 in which 36 samples were assessed for quality of life scores, RFI and RFS at 5 times of observations. Each subject was given omeprazole 20 mg twice daily before meals for 12 weeks.
Results: 24 women (66.7%) and 12 men (33.3%) were obtained from 36 samples. The largest age groups were between 45-64 years old (50%) and most of them possessed higher education (52.5%). Patients with laryngopharyngeal reflux symptoms in this study mostly had normal weight (55.6%) with mean BMI = 26.1 ± 4.6. The most main complaint found was the sensation of mountainous lump within the throat (50%). The most common symptom was throat clearing (97.5 %). Ventricular obliteration and posterior commissure hypertrophy were the most common pathological signs of the larynx found (97.2%). There were significant differences between the mean RSI scores before treatment = 18.47 ± 4.35 and 3 months after treatment = 2.75 ± 2.36 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the mean RSI scores were also obtained in each observation. There were significant differences between the mean RFS scores before treatment = 10.81 ± 2.73 and 3 months after treatment = 3.31 ± 1.31 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the mean RFS scores were also obtained in each observation. The improvement of quality of life after treatment with omeprazole for 3 months were obtained as there were significant differences between the values of quality of life before treatment = 47.57 ± 8.93 and 3 months after treatment = 83.17 ± 6.16 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the quality of life were also obtained in each observation.
Conclusion : There were significant differences in the quality of life of patients with laryngopharyngeal reflux regarding the increased values of quality of life of patients after the administration of omeprazole.
Keywords : Reflux Symptom Index, Reflux Finding Score, laryngopharyngeal reflux disease, quality of life, omeprazole
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ……… vi
ABSTRACT ………. vii
DAFTAR ISI ………. viii
DAFTAR TABEL ………. x
DAFTAR GAMBAR ……… xi
DAFTAR SINGKATAN……… xii
BAB 1. Pendahuluan ……….. 1
1.1 Latar Belakang ……… 1
1.2 Perumusan Masalah………. 4
1.3 Tujuan Penelitian………. 4
1.4 Manfaat Penelitian………... 6
BAB 2. Tinjauan Pustaka……… 7
2.1 Penyakit Refluks Laringofaring……… 7
2.1.1 Komponen refluks………. 7
2.1.2 Mekanisme proteksi………. 8
2.1.3 Kekerapan………. 12
2.1.4 Patofisiologi……….. 12
2.1.5 Diagnosis ……….. ………. 13
2.1.6 Penatalaksanaan……….. 19
2.2 Kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring…….. 22
2.3 Kerangka Teori……… 26
2.4 Kerangka Konsep……… 27
2.5 Hipotesis Penelitian……… 27
BAB 3. Metodologi Penelitian……… 28
3.1 Jenis Penelitian………. 28
3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian……… 28
3.3 Populasi, Subjek Penelitian Dan Besar Subjek Penelitian………. 28
(12)
3.3.1 Populasi……… 28
3.3.2 Subjek penelitian………. 28
3.3.3 Besar subjek penelitian……… 29
3.3.4Teknik pengambilan subjek penelitian……… 30
3.4 Variabel Penelitian………. 30
3.5 Definisi Operasional……….. 30
3.6 Alat dan Bahan Penelitian……… 32
3.7 Cara Kerja……… 33
3.8 Teknik Pengumpulan Data……… 34
3.9 Analisis Data……… 34
3.10 Kerangka Kerja……… 35
BAB 4. Hasil Penelitian……….. 36
BAB 5. Pembahasan……… 45
BAB 6 Kesimpulan dan Saran………. 57
6.1 6.2 Kesimpulan………... Saran ……… 57 58 DAFTAR PUSTAKA……….. 59
PERSONALIA PENELITIAN………. 64
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Indeks Gejala Refluks (RSI)………... 14
Tabel 2.2 Skor Refluks (RFS) ………. 15
Tabel 2.3 Profil farmakokinetik proton pump inhibitor………. 21
Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian ………. 37
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI)……… 37 Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks laringoaring berdasrkan keluhan utama ………. 38
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala refluks laringofaring berdasarkan keluhan yang dirasakan……… 38
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala refluks laringofaring berdasarkan tanda patologis laring yang didapat.. 39
Tabel 4.6 Perbedaan rerata RSI penderita penyakit refluks laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima………... 40 Tabel 4.7 Perbedaan rerata RFS penderita penyakit refluks laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima………... 41 Tabel 4.8 Perbedaan rerata skor kualitas hidup penderita penyakit refluks
laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima………
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pseudosulcus vokalis………. 16
Gambar 2.2 Ventrikular obliterasi……… 16
Gambar 2.3 Eritemia/ hyperemia……… 16
Gambar 2.4 Edema pita suara……… 17
Gambar 2.5 Edema laring……… 17
Gambar 2.6 Hipertrofi komisura posterior………. 17
Gambar 2.7 Granuloma……… 18
Gambar 2.8 Mukus kental endolaring……… 18
Gambar 2.9 Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring berdasarkan American Medical Assosciation……….. 22
Gambar 2.10 Kerangka Teori……… 26
Gambar 2.11 Kerangka Konsep……… 27
Gambar 3.1 Kerangka Kerja……… 35 Gambar 4.1 Grafik garis RSI dari pengamatan pertama sampai
kelima………
41
Gambar 4.2 Grafik garis RFS dari pengamatan pertama sampai kelima……….
42
Gambar 4.3 Grafik garis peningkatan skor kualitas hidup dari pengamatan pertama sampai kelima………..
(15)
DAFTAR SINGKATAN BMI : Body Mass Index
GERD : Gastroesophageal Reflux Disease HRQOL : Health Related Quality Of Life LES : Lower Esophageal Sphincter PND : Post Nasal Drip
PPI : Proton Pump Inhibitor RFS : Reflux Finding Score RQS : Reflux Qual Short RSI : Reflux Symptom Index
TLESR : Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation UES : Upper Esophageal Sphincter
(16)
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit refluks laringofaring sangat penting untuk dikenali dimana jika tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup dan menjadi penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang dapat mengancam nyawa.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole
Metode: Penelitian ini menggunakan pre and post test design dari Mei 2013 hingga Maret 2014, terdapat 36 subjek penelitian yang dinilai skor kualitas hidup, RSI dan RFS pada 5 kali pengamatan. Setiap subjek diberikan omeprazole 20 mg dua kali sehari sebelum makan selama 12 minggu.
Hasil: Dari 36 subjek penelitian ditemukan wanita sebanyak 24 subjek (66,7%) dan pria 12 subjek (33,3%). Kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 45-64 tahun (50%) serta lebih banyak penderita dengan pendidikan tinggi (52,5%). Penderita dengan gejala refluks laringofaring pada penelitian ini kebanyakan dengan berat badan normal sebesar 55,6%, dengan rerata BMI 26,1±4,6. Keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah rasa menganjal ditenggorokan sebesar 50%. Mendehem atau throat clearing merupakan gejala yang paling banyak ditemukan sebesar 97,2%. Ventikular obliterasi dan hipertrofi komisura posterior merupakan tanda patologis laring yang paling sering ditemukan yaitu 97,2%. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RSI sebelum terapi 18,47±4,35 dan rerata RSI sesudah terapi selama 3 bulan yaitu 2,75±2,36 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata yang signifikan juga dijumpai pada skor RSI setiap pengamatan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RFS sebelum terapi 10,81±2,73 menjadi 3,31±1,31 setelah pengobatan selama 3 bulan (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata skor RFS yang signifikan juga ditemui pada setiap pengamatan. Terdapat perbaikan kualitas hidup setelah pengobatan dengan omeprazole selama 3 bulan dimana terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai kualitas hidup sebelum terapi 47,57±8,93 menjadi 83,17±6,16 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan kualitas hidup yang signifikan ini juga terlihat pada setiap pengamatan kualitas hidup.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup penderita refluks laringofaring dengan peningkatan nilai kualitas hidup pasien setelah pemberian omeprazole.
Kata kunci: Reflux Symptom Index, Reflux Finding Score, penyakit refluks laringofaring, kualitas hidup, omeprazole
(17)
ABSTRACT
Background: Laryngopharyngeal reflux disease has a negative impact on quality of life. The treatment of laryngopharyngeal reflux disease with PPIs may take up to 6 months. Omeprazole is one of the most commonly used PPIs.
Objective: To find out the differences in quality of life of patients with laryngopharyngeal reflux before and after the administration of omeprazole.
Methods: This study used a pre- and post-test design from May 2013 until March 2014 in which 36 samples were assessed for quality of life scores, RFI and RFS at 5 times of observations. Each subject was given omeprazole 20 mg twice daily before meals for 12 weeks.
Results: 24 women (66.7%) and 12 men (33.3%) were obtained from 36 samples. The largest age groups were between 45-64 years old (50%) and most of them possessed higher education (52.5%). Patients with laryngopharyngeal reflux symptoms in this study mostly had normal weight (55.6%) with mean BMI = 26.1 ± 4.6. The most main complaint found was the sensation of mountainous lump within the throat (50%). The most common symptom was throat clearing (97.5 %). Ventricular obliteration and posterior commissure hypertrophy were the most common pathological signs of the larynx found (97.2%). There were significant differences between the mean RSI scores before treatment = 18.47 ± 4.35 and 3 months after treatment = 2.75 ± 2.36 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the mean RSI scores were also obtained in each observation. There were significant differences between the mean RFS scores before treatment = 10.81 ± 2.73 and 3 months after treatment = 3.31 ± 1.31 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the mean RFS scores were also obtained in each observation. The improvement of quality of life after treatment with omeprazole for 3 months were obtained as there were significant differences between the values of quality of life before treatment = 47.57 ± 8.93 and 3 months after treatment = 83.17 ± 6.16 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the quality of life were also obtained in each observation.
Conclusion : There were significant differences in the quality of life of patients with laryngopharyngeal reflux regarding the increased values of quality of life of patients after the administration of omeprazole.
Keywords : Reflux Symptom Index, Reflux Finding Score, laryngopharyngeal reflux disease, quality of life, omeprazole
(18)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit refluks laringofaring merupakan varian ekstraesofageal dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) yang sedang meningkat pada 4 dekade terakhir (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006). Refluks laringofaring merupakan aliran balik dari cairan lambung ke daerah laringofaring yang menyebabkan keluhan seperti suara serak, batuk, sensasi globus, throat clearing ataupun post nasal drip (Cheung et al. 2009).
Refluks laringofaring berhubungan dengan banyak gejala dan diagnosis kelainan di kepala dan leher. Sangat penting untuk dapat mengenali penyakit refluks laringofaring dimana jika tidak terdiagnosa dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien dan menjadi penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang dapat mengancam nyawa (Cohen et al. 2002; Ford 2005). Beberapa studi menunjukkan bahwa refluks asam terdapat pada 50-80% pasien asma, 10-20% pasien dengan batuk kronis, 80% pasien dengan suara serak, dan 20-50% pasien dengan sensasi globus (Carrau et al. 2005).
Refluks laringofaring terjadi karena rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan asam lambung ke daerah laringofaring yaitu sfingter bawah esofagus, fungsi motorik esofagus, resistensi mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus (Ford 2005). Tingkat keasaman serta frekuensi paparan asam juga berpengaruh terhadap terjadinya penyakit refluks laringofaring, dimana PH 0-4 dianggap yang paling berbahaya, serta 3 kali refluks ke daerah laringofaring dalam 1 minggu dapat menyebabkan kerusakan mukosa laring yang berat, dibandingkan dengan 50 kali refluks di daerah esofagus
(19)
per hari yang masih dianggap normal. Hal ini disebabkan karena epitel laring lebih sensitif daripada mukosa esofagus (Koufman 2002; Vardar et al. 2012).
Penilaian gejala klinis penyakit refluks laringofaring menggunakan RSI (Reflux Symptom Index), terdiri dari 9 komponen gejala yang dikenalkan oleh Belafsky (2002), dimana RSI > 13 diduga penyakit refluks laringofaring. Pemeriksaan gambaran kelainan laring dengan menggunakan RFS (Reflux Finding Score) yang juga diperkenalkan oleh Belafsky (2001), dimana RFS > 7 menunjukkan dugaan penyakit refluks laringofaring.
Lenderking et al. (2003), melakukan penelitian penyakit refluks laringofaring terhadap kualitas hidup pasien dibandingkan dengan pasien GERD (Gastroesophageal Reflux Disease ) berdasarkan systematic literature review dan memperoleh hasil bahwa penyakit refluks laringofaring memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup terutama fungsi fisik dan emosi. Sedangkan Carrau et al. (2004) mendapatkan hasil penderita penyakit refluks laringofaring mempunyai dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien pada semua fungsi yang menggambarkan kualitas hidup. Siupsienskiene, Adamonis & Tohill (2007) menyimpukan bahwa penurunan kualitas hidup pada penderita refluks laringofaring lebih berhubungan dengan gejala yang dirasakan dibandingkan dengan tanda patologis laring yang ditemukan.
Keluhan utama yang mempengaruhi pasien dengan penyakit refluks laringofaring adalah problem suara, batuk kronik berulang dan sering mengeluarkan lendir tenggorok serta sensasi globus yang sering menimbulkan masalah di lingkungan sosial dan pekerjaan berupa problem psikologi, emosi dan sosial (Lenderking et al. 2003).
(20)
Penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring dapat berupa modifikasi diet dan perubahan gaya hidup serta dengan intervensi farmakologik. Terdapat 4 kategori obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring yaitu Proton Pump Inhibitor (PPI) yaitu omeprazole, esomeprazole, rabeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole, antagonis reseptor H2
PPI merupakan obat anti refluks paling efektif yang berfungsi menekan produksi asam lambung dibandingkan dengan antagonis reseptor H
seperti ranitidin, cimetidin, nizatidine, famotidine yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung, agen prokinetik seperti cisapride, metoclopramide yang berfungsi mempercepat pembersihan esofagus serta meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus serta mucosal cytoprotectan seperti sucralfate yang berfungsi melindungi mukosa dari asam dan pepsin (Ford 2005).
2 dengan cara menghalangi kerja H+/K +
Tamin (2008) melakukan penelitian di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan peningkatan kualitas hidup penderita refluks laringofaring setelah terapi 6 bulan dengan PPI ( lansoprazole 30mg dua kali sehari), dan juga terdapat peningkatan kualitas hidup yang signifikan setiap pasien datang untuk follow up. Siupsinskiene, Adamonis & Tohill ( 2007) pada penelitiannya mendapatkan peningkatan skor kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring setelah pemberian terapi omeprazole 20 mg dua kali sehari selama 3 bulan.
ATP ase di jalur akhir produksi asam dari sel parietal lambung (Amin et al. 2001). Omeprazole bersifat lipofilik dan basa lemah yang berarti dapat dengan mudah penetrasi ke membran sel serta terkonsentrasi dalam keadaan asam, mempunyai waktu paruh yang relatif pendek (kira-kira 1-2 jam) dan mempunyai masa durasi yang panjang (Olbe et al. 2003). Sekitar 85,7% kasus penyakit refluks laringofaring sensitif terhadap pengobatan PPI (Siupsinskiene et al. 2008).
(21)
Ford (2005) menyatakan berdasarkan survey American Bronchoesophageal Association pengobatan penyakit refluks laringofaring dengan PPI 2 kali sehari dalam jangka waktu 3-6 bulan. Dengan jangka pengobatan yang lama tersebut akan berdampak terhadap besarnya biaya yang akan di keluarkan oleh pasien. Omeprazole merupakan PPI yang paling murah diantara obat PPI lain yang beredar di Indonesia berdasarkan KEPMENKES RI No. 92 Tahun 2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik tahun 2012.
Berdasarkan latar belakang di atas, dengan adanya dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien penderita penyakit refluks laringofaring serta peran omeprazole yang dapat mengurangi gejala pada penderita refluks laringofaring dan perannya pada kualitas hidup sehingga peneliti tertarik ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan kualitas hidup pada penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di RSUP. H. Adam Malik Medan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu apakah terdapat perbedaan kualitas hidup pasien penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di RSUP.H.Adam Malik Medan.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di RSUP.H. Adam Malik Medan.
(22)
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan jenis kelamin di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
b. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan umur di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
c. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan tingkat pendidikan di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
d. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan keluhan utama di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
e. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI) di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
f. Mengetahui distribusi frekuensi keluhan yang ditemukan pada penderita penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
g. Mengetahui distribusi frekuensi tanda patologis laring yang ditemukan pada penderita penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
h. Mengetahui perbedaan rerata skor kualitas hidup pada penderita penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan pada setiap pengamatan.
i. Mengetahui perbedaan rerata skor RSI pada penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
(23)
j. Mengetahui perbedaan rerata skor RSI pada penderita penyakit refluks laringofaring pada setiap pengamatan di poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan
k. Mengetahui perbedaan rerata skor RFS pada penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
l. Mengetahui perbedaan rerata skor RFS pada penderita penyakit refluks laringofaring pada setiap pengamatan di poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat antara lain :
a. Dengan diketahui perbedaan kualitas hidup sebelum dan sesudah pemberian omeprazole sehingga omeprazole dapat dijadikan terapi standar penyakit refluks laringofaring untuk perbaikan kualitas hidup pasien.
b. Dengan diketahuinya dampak penyakit refluks laringofaring terhadap kualitas hidup pasien pada penelitian ini diharapkan peningkatan kewaspadaan dokter dan pasien terhadap penyakit refluks laringofaring.
c. Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan penyakit refluks laringofaring.
(24)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Refluks Laringofaring
Refluks laringofaring adalah aliran balik cairan lambung ke laring, faring, trakea dan bronkus (Pribuisine et al. 2002). Istilah refluks laringofaring pertama kali dipublikasikan oleh majalah Otolaryngology pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang dikutip oleh Alberto (2008), mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan granulasi pada laring akibat adanya paparan cairan asam lambung.
Refluks laringofaring disebut juga extraesophageal reflux, supraesophageal reflux, gastroesophagopharyngeal reflux, reflux laryngitis, silent reflux, atypical reflux disease (Belafsky et al. 2007).
Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan positif intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun laringofaring. Refluks fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena adanya Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR). TLESR dirangsang oleh distensi lambung, terutama pada masa postprandial dan diaktivasi oleh stretch reseptor pada dinding lambung. Lengkung refleks terdiri dari impuls yang dimediasi oleh nervus vagus ke nukleus traktus solitarius pada batang otak, eferen vagal ke sfingter bawah esofagus dan non cholinergic, non nitergic inhibitory interneuron yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk membebaskan udara yang tertelan dengan sendawa. Hal ini terjadi secara independen dari proses menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah kontraksi dari sfingter bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi pada postprandial dan posisi upright (Andersson 2009).
(25)
Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin dengan asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya yang berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada percobaan pada hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif dan menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6. (Andersson 2009)
Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan. Mayoritas dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan sama pada orang normal dan pasien laringitis. Refluks yang berbentuk campuran gas dan cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita penyakit refluks laringofaring (Andersson 2009).
2.1.2 Mekanisme proteksi.
Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter bawah esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik esofagus dan gaya gravitasi, resistensi mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus (Ford 2005).
Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan baik antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu memasukkan bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi serta mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan, sfingter bawah esofagus mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari sistem saraf pusat. Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot polos, saraf dan hormon. Kemampuan sfingter bawah esofagus untuk menutup secara primer disebabkan karena adanya aktifitas otot polos intrinsik (Kahrilas 2003).
Persyarafan otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain
(26)
dapat membuktikan adanya neurotransmiter alfa adrenergik dan beta bloker dalam meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan blokade alfa adrenergik dan stimulasi beta adrenergik akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya berperan dalam menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus. Peranan hormon dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi perdebatan yang menarik. Gastrin diduga berperan dalam menyebabkan kontraksi sfingter bawah esofagus, sedangkan antiserum gastrin menyebabkan penurunan sebesar 80% pada tekanan sfingter basal. Tekanan sfingter basal dapat dipengaruhi oleh bahan makanan yang masuk. Pengasaman lambung dan makanan yang mengandung protein akan meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan makanan berlemak akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus (Kahrilas 2003).
Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation disingkat TLESR merupakan mekanisme primer yang menyebabkan terjadinya refluks. TLESR terjadi akibat adanya penurunan mendadak tekanan sfingter esofagus bagian bawah yang tidak berhubungan dengan proses menelan atau peristaltik. Pada saat terjadi penambahan tekanan intra abdomen yang normal, frekuensi episode refluks meningkat karena insufisiensi tonus sfingter bawah esofagus oleh mekanisme frekuensi relaksasi yang abnormal. Refleks vasovagal disusun oleh mekanoreseptor aferen dibagian proksimal lambung dengan pusat pengaturan dibatang otak dan eferen di sfingter bawah esofagus yang mengatur TLESR. Distensi abdomen (post prandial atau karena pengosongan lambung yang abnormal atau pada saat menelan udara) merupakan stimulus TLESR. Posisi yang menyebabkan letak gastrooesophageal junction di bawah permukaan batas air dan udara di lambung juga diduga menyebabkan terjadinya refluks. Faktor lain yang mempengaruhi dinamika tekanan dan volume lambung adalah gerakan, ketegangan, obesitas, volume yang
(27)
berlebihan atau makanan yang hiperosmolar dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun wheezing ( Lipan, Reidenberg & Laitmann 2006; Andersson 2009).
Episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter bawah esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang rendah, (2) relaksasi sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan dan (3) peningkatan sementara tekanan intraabdomen di lambung atau kombinasi antara (1) dan (2) (Lipan, Reidenberg & Laitmann 2006).
Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized yang terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan germinativum. Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks asam adalah pembersihan zat asam intraluminal dan resistensi jaringan. Resistensi jaringan esofagus sebagai fungsi pertahanan mempunyai 3 bagian yang terdiri dari pre epitel, epitel dan post epitel. Pre epitel berfungsi sebagai pertahanan di permukaan berupa mukus dan lapisan cairan yang terdiri dari ion bikarbonat yang berfungsi membuat suasana menjadi basa. Lapisan pertahanan pre epitel esofagus relatif lebih lemah dibandingkan pada lambung maupun duodenum. Lapisan epitel berada di apical dari membran dan kompleks junction. Berfungsi untuk mendistribusikan ion hidrogen dari lumen ke intercelluler space. Pada keadaan esofagitis, kompleks junction akan mengalami kerusakan, saat itulah terjadi peningkatan ion H+ sehingga menyebabkan dilatasi dari intercelluler space. Pertahanan pada post epitel berupa asam yang berfungsi sebagai buffer terhadap efek HCO3 - didalam sel dan intercelluler space. Suplai darah berfungsi mengangkut ion HCO3-. Ion Na+ yang berikatan dengan Cl- atau ion HCO3- akan bertukar tempat di basolateral dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar ke sel cytosol. Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan diperbaiki melalui 2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu
(28)
oleh hormon epidermal growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit setelah terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam (Orlando 2006).
Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa carbonic anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan ekstrasel esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka karbonik anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator isoenzym yang berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jarigan serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus. Ekspresi dari karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada keadaan refluks laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang signifikan di epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis dan komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks asam lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada komisura posterior yang akan meningkat untuk menghindari kerusakan epitel (Koufman et al. 2006; Ford 2005).
Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian kecil serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan pertahanan utama terhadap terjadinya refluks laringofaring (Lipan, Reidenberg & Laitman, 2006).
(29)
Tekanan sfingter atas esofagus ini meningkat bila terjadi stimulasi faring, distensi esofagus dan intraesophageal infusion melalui jalur vagal eferen. Keadaan lain yang dapat meningkatkan tekanan sfingter atas esofagus yaitu saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal breathing dan saat melakukan valsava ( Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).
Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat deglutisi, ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat terjadinya hambatan pada lower motor neuron di batang otak yang mempersarafi sfingter atas esofagus yang dibantu oleh posisi elevasi laring kearah anterosuperior (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).
2.1.3 Kekerapan
Dari population based study tentang GERD yang dikutip oleh Qadeer et al. ditemukan prevalensi dari gejala yang berhubungan dengan refluks laringofaring antar 15% sampai 20%. Dan diperkirakan hampir 15% dari pasien yang mengunjungi dokter spesialis THT karena manifestasi dari refluks laringofaring ( Qadeer et al. 2005).
Dari penelitian Belafsky et al. (2001) didapatkan rata-rata umur dari pasien dengan refluks laringofaring 50 tahun, dimana 73% adalah wanita, nilai rata-rata RFS 11,5±5,2 dan nilai rata-rata RSI 19,3±8,9. Carrau et al. (2004) mendapatkan rata-rata umur pasien dengan refluks laringofaring 48 tahun dimana 66,7% adalah wanita. Belafsky et al. (2002) mendapatkan rata-rata umur penderita refluks laringofaring 57 tahun, dimana 56% adalah pria, rata-rata nilai RSI 20,9 ± 9,6.
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi refluks gastro-esofago-laringofaring terjadi karena rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan asam lambung ke dalam saluran pernafasan atas yaitu sfingter
(30)
bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa esofagus dan sfingter atas esofagus (Ford 2005).
Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung dapat memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal. Yang pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan jaringan sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem (chronic throat clearing) dan batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal ini mungkin saling berhubungan. Gejala timbul karena trauma mukosa langsung atau kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan berdehem (chronic throat clearing) dan batuk ( Andersson 2009).
Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling berbahaya. Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi pada cut off limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, mungkin melewati esofagus tanpa gejala dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa laring yang sensitif. Epitel respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih sensitif terhadap asam, pepsin yang teraktivasi dan garam empedu dari pada mukosa esofagus (Andersson 2009).
Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit refluks laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al (2002) menyatakan satu kali refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal ini berdasarkan penelitian pada hewan dimana 3 kali refluks asam dan pepsin selama 1 minggu sudah dapat menyebabkan kerusakan mukosa laring.
(31)
2.1.5 Diagnosis a. Anamnesis
Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip oleh Ford (2005) keluhan yang tersering yang didapat dari hasil anamnesis penderita refluks laringofaring adalah throat clearing (98%), batuk yang terus mengganggu (97%), perasaan mengganjal di tenggorok (95%) dan suara parau (95%).
b.Gejala Klinis
Untuk penilaian atas gejala pasien dengan penyakit refluks laringofaring, Belafsky, seperti yang dikutip oleh Tamin (2008) membuat sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan indeks gejala refluks ( Reflux Symptom Index = RSI). RSI mudah dilaksanakan , mempunyai reabilitas dan validitas yang baik, serta dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap komponen bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5 (keluhan berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13 dicurigai penyakit refluks laringofaring (Belafsky et al. 2002; Tamin 2008).
(32)
Tabel 2.1. Indeks Gejala Refluks (RSI)
Reflux Symptom Index (RSI)
Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita 0 = tidak, 5 = sangat berat
1 Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5
2 Clearing your throat (sering mengeluarkan lender tenggorok/ mendehem)
0 1 2 3 4 5
3 Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip) 0 1 2 3 4 5
4 Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5
5 Batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5
6 Kesukaran bernafas / chocking 0 1 2 3 4 5
7 Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
8 Rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5
9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan, regurgitasi asam
0 1 2 3 4 5
Sumber : Belafsky et al. ( 2002)
Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding posterior dari glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara, contact ulcer, stenosis subglottis (Andersson 2009).
Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks laringofaring. Belafsky juga memperkenalkan skor refluks seperti yang dikutip oleh Tamin (2008), yaitu Reflux Finding Score (RFS) yang merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya gambaran kelainan laring yang dilihat dari pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur. Skala ini bervariasi dari nilai 0 (tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 ( nilai yang
(33)
terburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and intraobserver reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian yang dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi anti refluks (Belafsky et al. 2001; Tamin 2008).
Tabel 2.2. Skor Refluks (RFS)
Reflux Finding Score (RFS) Edema Subglotik / pseudosulcus vokalis 0 = tidak ada
2 = ada Ventrikular obliterasi 2 = parsial
4 = komplit
Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid 4 = difus
Edema pita suara 1 = ringan
2 = moderat 3 = berat
Edema laring difus 1 = ringan
2 = moderat 3 = berat 4 = obstructing Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan
2 = moderat 3 = berat 4 = obstructing Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada
2 = ada Mukus kental endolaring 0 = tidak ada
2 = ada Sumber : Belafsky et al. ( 2001)
(34)
Keadaan patologis laring tersering yang dijumpai adalah hipertrofi laring posterior sebesar 85%. Koufman yang dikutip oleh Belafsky et al (2001) pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan pseudosulkus vokalis dimana edema subglotis tersebut menyebar hingga ke daerah komisura posterior laring seperti tampak pada gambar 2.1.
Keadaan ini harus dibedakan dengan epitel sekunder pita suara yang terjadi akibat tidak terbentuknya lapisan superficial pada lamina propria. Keadaan lain seperti ventricular obliterasi ditemukan sebanyak 80% akibat terjadinya edema dan hiperemis dipita suara dan plika ventrikularis seperti tampak pada gambar.
(35)
Gambar 2.3 : Eritemia/ hiperemia (Pham 2009).
Gambar 2.5 : Edema laring (Pham 2009). Gambar 2.4: Edema pita suara (Pham 2009).
(36)
Obliterasi parsial mempunyai nilai skor 2, sedangkan obliterasi komplit nilai skor 4, demikian pula pada eritema atau hiperemia laring, bila hanya mengenai aritenoid mempunyai skor 2, sedangkan merata hingga laring skor 4. Edema ringan atau slight swelling pita suara skor 1, bila edema tampak jelas skor 2, berat skor 3, dan bentuk pita suara sudah tidak halus atau polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4.
Gambar 2.6 : Hipertrofi komisura posterior (Pham 2009).
(37)
Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura posterior yang ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang jelas dengan sekelilingnya skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 3 dan bila hipertrofi telah menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4. Penilaian terakhir berupa ada tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila ditemukan maka skor 2 (Belafsky et al. 2002).
c. Pemeriksaan pH
Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling dapat dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas sfingter atas esophagus (Merati et al. 2005; Andersson 2009).
Walaupun dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari tes yang ideal dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari tes ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien THT tidak dapat bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi diet dapat menimbulkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas (Knight 2005).
d. Tes PPI
(38)
Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek terapi. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan pemeriksaan pH metri 24 jam (Tamin 2008).
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanan penyakit refluks laringofaring dapat berupa: a. Perubahan Pola Hidup
Ketika anamnesis dan pemeriksaan klinis ditegakkan untuk mendiagnosis keadaan refluks laringofaring, maka penderita segera disarankan untuk mengubah pola hidup dan pola makan, diantaranya adalah menghentikan kebiasaan merokok dan minum-minuman beralkohol, mengurangi berat badan yang berlebih, membatasi konsumsi makanan yang mengandung coklat, lemak, citrus, minum minuman bersoda, anggur merah, kafein, atau waktu makan malam yang berdekatan dengan waktu tidur (Ford 2005).
b. Medikamentosa
Terapi farmakologi yang dianjurkan berupa PPI seperti omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan rabeprazole. Obat lain yang sering digunakan dalam pengobatan refluks laringofaring adalah antagonis H2 receptor seperti cimetidine, ranitidine, nizatidine, famotidine yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung. Prokinetik agen seperti cisapride, metoclopramide yang berfungsi mempercepat pembersihan esofagus serta meningkatkan tekanan sfingter bawah
(39)
esofagus. Mucosal cytoprotectan seperti sucralfate yang berfungsi melindungi mukosa dari asam dan pepsin. Antasida juga dapat diberikan seperti alumunium hidroksida, magnesium hidroksida atau sodium bikarbonat yang dapat berfungsi mengurangi gejala refluks (Ford 2005).
Proton pump inhibitor merupakan obat anti refluks paling efektif yang berfungsi menekan produksi asam lambung dibandingkan dengan antagonis reseptor H2, dengan cara menghalangi kerja H+/ K+ ATP ase dijalur akhir produksi asam dari sel parietal. Rangsangan pada sel parietal akan mengeluarkan enzim dari tubule vesicles cytoplasmatic ke membran kanalis sekretorius. Proses ini sangat erat hubungannya dengan transport K+/ Cl
Omeprazole bersifat lipofilik dan basa lemah yang berarti dapat dengan mudah penetrasi ke membran sel serta terkonsentrasi dalam keadaan asam, mempunyai waktu paruh yang relatif pendek(kira-kira 1- 2 jam) dan mempunyai masa durasi yang panjang (Olbe et al. 2003).
terhadap pergerakan ion potassium ke permukaan luminal dari enzim. Perpindahan asam dari kanalikulus ke dalam lumen kelenjar dimulai pada mukosa lambung. Proses pengasaman ini dibentuk diantara sel sitoplasma parietal dan kanalikulus. Tingginya kadar pH terjadi pada proses diantara sel parietal dan kanalikulus, sehingga kerja PPI pada daerah ini dapat mengurangi tingginya kadar pH lambung (Olbe et al. 2003; Ford 2005).
(40)
Tabel 2.3. Profil farmakokinetik proton pump inhibitor (Vanderhoff & Tahboub 2002)
Profil farmakokinetik PPI Omeprazol
e
Lansoprazol
e Rabeprazole
Pantoprazol e
Bioavaibility (%) 30-40 80-85 52 77
Waktu konsentrasi puncak plasma
(jam)
0,5-3,5 1,7 1,0-2,0 1,1-3,1
Waktu paruh eliminasi plasma
(jam)
0,5-1,0 1,3-1,7 1,0-2,0 1,0-1,9
Protein binding
(%) 95 97 96 98
Ekskresi urin (%) 77 14-23 30-35 71-80
c. Pembedahan
Intervensi pembedahan perlu segera dipertimbangkan bila dalam pemberian terapi tidak memberikan respon yang signifikan. Pendekatan yang biasa digunakan seperti partial atau complete fundoplication (Ford 2005).
Menurut survey American Bronchoesophageal Association, penderita dengan sangkaan refluks laringofaring di tegakkan dengan menggunakan instrumen RSI lebih dari 13 dan RFS lebih dari 7, segera penderita diberi tes terapi empiris dengan proton pump inhibitor (PPI) disertai perubahan
(41)
pola hidup dan diit, kemudian dilakukan observasi selama kurang lebih 3 bulan. Bila keadaan umum penderita membaik, maka pemberian PPI dapat dikurangi secara perlahan-lahan atau bila keadaan umum penderita mengalami perubahan sedikit lebih baik, maka dosis pemberian terapi dapat ditingkatkan dan penderita dievaluasi selama kurang lebih 6 bulan, namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka pemeriksaan multichannel impedance dan pH monitoring, pemeriksaan transnasal esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan foto dengan menggunakan kontras barium dapat segera dilakukan (Ford, 2005).
Penilaian Awal Pasien dengan LPR
Reflux Symptom Index (Riwayat Gejala) > 13 dan
Reflux Finding Score (Laringoskopi) > 7
Uji Terapeutik Empiris Pola Hidup
Diet
Penilaian selama 3 bulan
Gejala Membaik
Peningkatan dosis PPI Lanjutkan Modifikasi Pola
Hidup dan Diet
Gejala Tetap atau Memburuk Gejala Teratasi
Terapi PPI Titrat
Penilaian selama 6 bulan
Gejala Teratasi
Gejala Tidak Teratasi
Terapi PPI Titrat
Penilaian Definitif
Monitoring pH (Penilaian Reflux) TNE atau EGD (Dokumentasi Patologis) Manometry (Penilaian Etiologi)
(42)
Gambar 2.9. Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring berdasarkan American Medical Association(Ford, 2005).
2.2 Kualitas Hidup Pasien Penyakit Refluks Laringofaring
Evaluasi kualitas hidup sangat penting pada penilaian keberhasilan terapi medis. Kualitas hidup digunakan untuk mendeskripsikan kemampuan menjalani kehidupan yang produktif secara ekonomi dan sosial, tidak semata-mata menyangkut masalah kesehatan saja. Kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan (Health related quality of life) mengacu kepada berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas hidup, bersifat individual dan dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, harapan serta persepsi seseorang (Shaw & Crawley 2003).
Penilaian mengenai kualitas hidup banyak dilakukan dengan menggunakan penilaian yang sudah menjadi standar Health Related Quality of Life (HRQL) seperti kuesioner kualitas hidup secara umum berupa The Short Form Nottingham Health Profile (SF 36). SF 36 berisikan 8 domain, antara lain fungsi fisik (physical function), keterbatasan fisik (role limitation, physical), rasa nyeri (bodily pain), persepsi kesehatan secara umum (general health perception), vitalitas (vitality), fungsi sosial (social function), keterbatasan mental (mental health) yang dapat menggambarkan kesehatan penderita secara keseluruhan (Tamin, 2008). Pengukuran kualitas hidup dengan SF 36 pada penderita penyakit refluks laringofaring hanya menggambarkan kesehatan penderita secara keseluruhan, yang merupakan kelemahan SF 36 (Tamin, 2008).
Keluhan utama yang mempengaruhi pasien dengan penyakit refluks laringofaring adalah problem suara, batuk kronik berulang, dan sering mengeluarkan lendir tenggorok serta sensasi globus yang sering menimbulkan masalah di lingkungan sosial dan pekerjaan berupa problem
(43)
psikologi, emosi dan sosial (Lenderking et al. 2003). Amouretti membuat suatu instrument penilaian kualitas hidup spesifik terhadap GERD yang disebut RQS (Reflux Qual Short Form) dan merupakan cara penilaian kualitas hidup yang singkat, dipercaya, mempunyai nilai validitas dan reabilitas yang baik serta sensitif terhadap perbedaan intra dan ,inter subyek (Amouretti 2005). Reflux Qual Short Form menilai kualitas hidup di 5 domain yaitu kehidupan sehari hari (daily life), kenyamanan (well being) , gangguan psikologis (psychological impact), tidur (sleep) dan makan (eating). Skor RQS di hitung dengan rata-rata jumlah skor dari 8 item dikalikan dengan 25. Hasilnya dari 0 yang berarti kualitas hidup yang paling rendah sampai 100 yang merupakan kualitas hidup yang paling tinggi (Amouretti, 2005).
LEMBAR PENILAIAN KUALITAS HIDUP REFLUX QUAL SHORT (RQS) FORM
1. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terganggu dengan keluhan anda ketika sedang bekerja atau mengerjakan tugas sehari-hari?
o 4 Tidak sama sekali o 3 sedikit
o 2 kadang
o 1 cukup terganggu o 0 sangat terganggu
2. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda mengurangi atau membatasi pekerjaan karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah o 3 jarang
o 2 kadang o 1 sering
(44)
3. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa nyaman dengan kehidupan anda walaupun anda mengalami keluhan ini?
o 0 Tidak sama sekali o 1 sedikit
o 2 kadang o 3 cukup nyaman o 4 sangat nyaman
4. Dalam 1 bulan terakhir, dengan keluhan anda ini apakah anda dapat menikmati makanan anda?
o 0 Tidak pernah o 1 jarang
o 2 kadang o 3 sering
o 4 setiap waktu
5. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa cemas karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah o 3 jarang
o 2 kadang o 1 sering
o 0 setiap waktu
6. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menjadi mudah marah karena keluhan anda?
(45)
o 3 jarang o 2 kadang o 1 sering
o 0 setiap waktu
7. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terbangun pada malam hari karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah o 3 jarang
o 2 kadang o 1 sering
o 0 setiap waktu
8. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menghindari makanan tertentu karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah o 3 jarang
o 2 kadang o 1 sering
(46)
2.3 Kerangka Teori
Gambar 2.10 Kerangka Teori
Sfingter atas dan bawah esofagus Resistensi mukosa esofagus Fungsi motorik mukosa esofagus
Gejala Klinis (RSI): Suara serak Throat clearing
Mucus berlebihan / post nasal drip Kesukaran menelan
Batuk setelah makan/ berbaring Kesukaran bernafas/ chocking Batuk yang mengganggu Rasa mengganjal di tenggorok
Heartburn, rasa nyeri didada, gangguan pencernaan, i i
Tanda patologis laring (RFS)
Edema subglotik/ pseudosulcus vocalis Ventricular obliterasi
Eritemia / hyperemia Edema pita suara Edema laring difus
Hipertrofi komisura posterior Granuloma/ jaringan granulasi Mukus kental endolaring
Kualitas Hidup
Penyakit Refluks laringofaring Cairan Lambung
Refluks laringofaring
• pH metri • Tes PPI (+)
-umur
-jenis kelamin - BMI
Pola Hidup
Perubahan pola hidup Diet
(47)
2.4 Kerangka Konsep
Gambar 2.11. Kerangka Konsep
2.5 Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan kualitas hidup pada penderita refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan
RSI > 13
Kualitas Hidup II RSI
RFS PPI
-Umur
-Jenis kelamin -Keluhan utama -Tingkat
Pendidikan - BMI
LPR
RFS > 7
(48)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan menggunakan pre-post test design.
3.2 Waktu dan Tempat penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2013 sampai Februari 2014 di Poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
3.3 Populasi,Subjek Penelitian dan Besar Subjek Penelitian 3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh penderita dengan penyakit refluks laringofaring dengan RSI>13 dan RFS >7 yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan sejak Mei 2013 sampai dengan Februari 2014.
3.3.2 Subjek penelitian
Subjek penelitian pada penelitian ini adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.
a. Kriteria inklusi
• Usia ≥ 18 tahun.
• Bersedia ikut dalam seluruh proses penelitian dan memberikan persetujuan secara tertulis setelah mendapat penjelasan ( informed consent).
(49)
b. Kriteria eksklusi
• Subjek dengan diagnosis kelainan paru kronis seperti penyakit asma, tuberkulosis paru, penyakit paru obstruktif kronis
• Subjek perokok dan peminum alkohol
• Subjek yang mengalami disfagia dengan kelainan neurologi
• Subjek yang didiagnosa dengan penyakit psikiatri. • Subjek dengan penyakit laring seperti polip, nodul,
paralisa pita suara, karsinoma.
• Subjek yang pernah mendapat radioterapi atau operasi di daerah leher.
• Subjek yang sedang mendapat pengobatan dengan PPI.
3.3.3 Besar subjek penelitian
Penentuan jumlah besar sampel dengan menggunakan rumus: n = �(��+��)�
��−�� �
�
Keterangan :
n = jumlah minimal sampel
α = kesalahan tipe I ditetapkan 5%, maka Zα = 1, 96 β = kesalahan tipe II ditetapkan 20%, maka Zβ = 0,842
S = standar deviasi kualitas hidup sebelum dan sesudah terapi berdasarkan kepustakaan ( Friedman et al.2007) = 34,8
x1-x2
terapi berdasarkan kepustakaan ( Friedman et al.
= selisih rerata minimal kualitas hidup sebelum dan sesudah
(50)
Dengan rumus diatas di dapat jumlah minimal subjek penelitian sebanyak 36 orang.
3.3.4 Teknik pengambilan subjek penelitian
Pengambilan subjek penelitian diambil secara non probability consecutive sampling dimana setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi di masukkan dalam penelitian sehingga jumlah sampel minimal yang di perlukan terpenuhi.
3.4 Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini adalah RSI, RFS, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keluhan utama, BMI, kualitas hidup.
3.5 Definisi Operasional
1. Reflux Symptom Index (RSI) adalah penilaian tingkat gejala klinis refluks laringofaring dengan cara memberikan skor 0-5 terhadap gejala klinis yang dialami oleh penderita.
Alat ukur : kuesioner dan penilaian reflux symptom index. Skala ukur : nominal
Hasil ukur : LPR (+) jika RSI > 13 LPR (-) jika RSI ≤ 13
2. Reflux Finding Score (RFS) adalah skor penilaian keadaan patologis di laring yang dinilai melalui pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur. Penilaian meliputi 8 keadaan patologis laring. Skor penilaian berkisar antara 0 (tidak didapatkan keadaan abnormal) hingga 26 ( nilai maksimum pada keadaan yang sangat parah).
Alat ukur : pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur
Skala ukur : nominal
Hasil ukur : Tanda refluks laringofaring (+) jika RFS > 7. Tanda refluks laringofaring (-) jika RFS ≤ 7.
(51)
3. Jenis kelamin
Definisi : sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis Alat ukur : kuesioner
Skala ukur : nominal Hasil Ukur :
a. Laki-laki. b. Perempuan.
4. Keluhan utama
Definisi : keluhan yang paling mengganggu pasien sehingga datang berobat ke poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.
Alat ukur :kuesioner Skala ukur : nominal
Hasil Ukur : ya = dijumpai keluhan
5. Umur
Definisi : usia yang dihitung dalam tahun dan dihitung pada saat pemeriksaan menurut tanggal lahir yang tercatat pada rekam medis, apabila > 6 bulan di bulatkan ke atas, dan apabila kurang dari 6 bulan dibulatkan ke bawah.
Alat ukur : kuesioner Skala ukur : ordinal Hasil ukur :
a. 18 - 45 tahun b. 45 - 64 tahun c. > 64 tahun
(52)
Definisi : jenjang pendidikan terakhir pasien. Alat ukur : kuesioner
Skala ukur : ordinal
Hasil ukur : Rendah : jenjang pendidikan terakhir SD/ SMP Menengah : jenjang pendidikan terakhir SMU
Tinggi: jenjang pendidikan terakhir akademi/ universitas 7. Body Mass Index (BMI)
Definisi : indeks massa tubuh ber
sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter) .
Alat ukur : kuesioner Skala ukur : ordinal
Hasil ukur : BMI < 18,5 = Underweight BMI 18,5–24,9= Normoweight BMI 25,0–29,9 = Overweight BMI ≥ 30.0 = Obesitas
8. Kualitas hidup
Definisi : penilaian kualitas hidup dengan menggunakan Reflux Qual Short form (RQS)
Alat ukur : Reflux Qual Short form (RQS) dengan skor RQS = nilai mean dari 8 item x 25
Skala ukur : nominal
Hasil ukur : 0 ( kualitas hidup paling rendah ) s/d 100 ( kualitas hidup tertinggi)
3.6 Alat dan Bahan Penelitian
Alat penelitian adalah sebagai berikut : a. Catatan medis penderita
b. Formulir persetujuan ikut penelitian
c. Alat-alat diagnostik THT, seperti lampu kepala, spatel lidah, spekulum hidung, kaca laring
(53)
d. Nasofaringolaringoskop optik serat lentur merek Olympus evis Exera II CV-180. Olympus PSD -30.
e. Light source merk Olympus evis exera II CLV – 180
f. Nasofaringolaringoskop optik serat lentur merek Karl Storz REF 11101VP Serial No. 110000166.
g. TELEPACK PAL 20043020 Karl Storz h. Xylocain jelly
i. Status penelitian
3.7 Cara Kerja
Cara kerja penelitian adalah sebagai berikut:
- Kepada penderita dengan gejala refluks laringofaring ditanyakan identitas, kemudian dilakukan anamnesis dan penilaian gejala klinis berdasarkan RSI dan dicatat dalam status penelitian.
- Pemeriksaan fisik THT.
- Jika RSI > 13 , maka pasien akan dilanjutkan dengan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur di kamar bedah poli THT untuk menilai apakah RFS >7 oleh dokter spesialis THT yang ahli dibidangnya.
- Pasien dengan RSI > 13 dan RFS > 7 akan diberikan pengobatan dengan omeprazole 20 mg dua kali sehari selama 3 bulan.
- Pemberian omeprazole diberikan secara bertahap selama 3 bulan, pemberian pertama selama 2 minggu, pemberian kedua selama 2 minggu, pemberian ke tiga selama 4 minggu dan pemberian ke empat selama 4 minggu.
- Penilaian kualitas hidup, RSI dan RFS dilakukan sebanyak 5 kali pengamatan. Pengamatan pertama dilakukan pada saat pertama kali pasien didiagnosa penyakit refluks laringofaring. Sebelum diberikan pengobatan dengan omeprazole. Pengamatan kedua dilakukan setelah 2 minggu pengobatan dengan omeprazole. Pengamatan ketiga dilakukan setelah 4 minggu (1 bulan)
(54)
pengobatan dengan omeprazole. Pengamatan keempat dilakukan setelah 8 minggu (2 bulan) pengobatan dengan omeprazole dan pengamatan kelima dilakukan setelah pengobatan selama 12 minggu (3 bulan).
- Pemberian penjelasan kepada pasien dan pengisian informed consent.
3.8 Teknik Pengumpulan Data
- Data skor RSI didapatkan dari anamnesis terhadap pasien berdasarkan RSI yang kemudian dicatat di status penelitian.
- Data skor RFS didapatkan dari hasil pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur.
- Data skor penilaian kualitas hidup di dapatkan dari pengisian kuesioner kualitas hidup yang dicatat di status penelitian.`
3.9 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mencakup
1. Analisis univariat, yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal setiap variabel dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi.
2. Untuk menilai perbedaan rerata skor kualitas hidup sebelum dan sesudah terapi dari pengamatan pertama sampai pengamatan kelima di gunakan uji Friedman.
3. Untuk menilai perbedaan rerata skor kualitas hidup setiap pengamatan digunakan uji Wilcoxon.
4. Untuk menilai perbedaan rerata skor RSI dan RFS sebelum dan sesudah terapi dari pengamatan pertama sampai pengamatankelima digunakan uji Friedman.
5. Untuk menilai perbedaan rerata skor RSI dan RFS setiap pengamatan digunakan uji Wilcoxon.
(55)
3.10 Kerangka Kerja
Gambar 3.1. Kerangka kerja
Anamnesa dan pemeriksaan THT rutin serta pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur (RSI>13. RSI>7)
Penderita dengan keluhan yang diduga refluks laringofaring
Penilaian kualitas hidup, RSI, RFS ( pengamatan pertama)
Penilaian Kualitas Hidup, RSI, RFS ( Pengamatan ketiga)
Penilaian Kualitas Hidup, RSI, RFS ( Pengamatan keempat) Penilaian kualitas hidup, RSI, RFS ( Pengamatan kedua)
Penilaian Kualitas Hidup, RSI, RFS ( Pengamatan kelima)
Pemberian Omeprazole selama 2 minggu
Pemberian Omeprazole selama 4 minggu
Pemberian Omeprazole selama 4 minggu Pemberian Omeprazole selama 2 minggu
(56)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pre-post test design yaitu untuk menilai perbedaan kualitas hidup pada penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di RSUP. H. Adam Malik Medan. Subjek penelitian pada penelitian ini adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.
Pada saat dimulai, penelitian diikuti oleh 44 subjek penelitian yang bersedia untuk mengikuti penelitian dengan terapi omeprazole 20 mg dua kali sehari sebelum makan. Setelah follow up terdapat 8 subjek penelitian yang drop out, 1 subjek tidak bersedia melanjutkan pengobatan karena tidak toleran dengan omeprazole, 5 subjek tidak dapat melanjutkan follow up karena tempat tinggal yang jauh dari tempat penelitian dan 2 subjek tidak melanjutkan follow up dengan alasan yang tidak jelas. Terdapat 36 subjek penelitian yang menyelesaikan penelitian sesuai dengan jumlah minimal subjek penelitian.
Penilaian kualitas hidup, skor RSI dan skor RFS dilakukan sebanyak lima kali pengamatan. Pengamatan pertama dilakukan pada awal pasien datang sebelum diterapi dengan omeprazole 20 mg dua kali sehari sebelum makan. Pengamatan kedua dilakukan setelah 2 minggu terapi dengan omeprazole. Pengamatan ketiga dilakukan setelah 4 minggu (1 bulan) terapi dengan omeprazole. Pengamatan keempat dilakukan setelah 8 minggu (2 bulan) terapi dengan omeprazole. Pengamatan kelima dilakukan setelah 12 minggu (3 bulan) terapi dengan omeprazole.
(57)
Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik N %
Jenis Kelamin
Laki-Laki 12 33,3
Perempuan 24 66,7
Umur
18 - 45 tahun 13 36,1
45-64 tahun 18 50,0
>64 tahun 5 13,9
Tingkat Pendidikan
Rendah 9 25
Menengah 8 22,2
Tinggi 19 52,8
Total 36 100
Dari tabel 4.1 terlihat dari 36 subjek penelitian terdapat 24 (66,7%) wanita dan 12 (33,3%) pria. Dijumpai lebih banyak subjek penelitian yang berumur 45-64 tahun yaitu sebanyak 18 (50%). Kelompok umur 18-45 tahun sebanyak 13 subjek (36,1%) dan kelompok umur > 64 tahun sebanyak 5 subjek (13,9%). Dilihat dari tingkat pendidikan, yang terbanyak adalah subjek penelitian berpendidikan tinggi (akademi dan universitas) sebanyak 19 subjek penelitian (52,8%) diikuti dengan tingkat pendidikan rendah ( SD dan SMP) sebanyak 9 subjek (25%) dan tingkat pendidikan menengah sebanyak 8 subjek (22,2%).
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit reluks laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI)
Karakteristik BMI Jumlah Presentase
18,5 - 24,9 (normoweight) 20 55,6
(58)
> 30 (obesitas) 8 22,2 Rerata Body Mass Index (BMI)± (SB) 26,1±4,6
Terlihat dari tabel 4.2 bahwa subjek penelitian lebih banyak dengan berat badan normal (BMI 18,5-24,9) sebanyak 20 subjek penelitian(55,6%), diikuti dengan overweight (BMI 25,0 -29,9) sebanyak 8 subjek penelitian (22,2%) serta obesitas sebanyak 8 subjek penelitian (22,2%). Rerata BMI pada penelitian ini adalah 26,1±4,51.
Tabel 4.3 . Distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan keluhan utama
Karateristik Keluhan Utama Jumlah Presentase
Banyak dahak di tenggorokan (PND) 9 25,0 Rasa mengganjal di tenggorokan 18 50,0 Sering mengeluarkan lendir tenggorok 3 8,3
Suara serak 1 2,8
Sukar menelan 5 13,9
TOTAL 36 100
Penilaian keluhan utama adalah keluhan yang paling mengganggu pasien sehingga mencari pengobatan. Dari tabel 4.3 terlihat keluhan utama terbanyak yang dirasakan adalah rasa mengganjal di tenggorokan sebanyak 18 (50%) subjek penelitian. Diikuti dengan keluhan banyak dahak di tenggorokan (PND) sebanyak 9 subjek penelitian (25%). Sering mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing/ mendehem dan sukar menelan sebanyak 8,3% , sukar menelan sebanyak 2,8% serta suara serak sebanyak 2,5%.
(59)
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penderita penyakit refluks larigofaring berdasarkan keluhan yang dirasakan (n=36)
Karakteristik keluhan Jumlah (%)
Mendehem (throat clearing) 35 (97,2)
Rasa mengganjal 34 (94,4)
Batuk yang menganggu 29 (80,6)
PND/ mukus berlebih 29 (80,6)
Heartburn 26 (72,2)
Suara serak 26 (72,2)
Sukar menelan 21 (58,3)
Batuk setelah makan/berbaring 19 (52,8)
Sukar nafas/ chocking 17 (47,2)
Dari tabel 4.4 dapat dilihat keluhan yang paling sering ditemukan pada penderita dengan gejala refluks laringofaring pada penelitian ini adalah sering mendehem/ throat clearing, terdapat pada 35 subjek penelitian (97,2%), diikuti dengan rasa yang mengganjal ditenggorokan terdapat pada 34 subjek (94,4%), batuk yang mengganggu dan post nasal drip (PND) di temukan 29 subjek penelitian (80,6%), heartburn dan suara serak pada 26 subjek penelitian (72,2%). Sukar menelan ditemukan pada 21 subjek penelitian (58,3%). Batuk setelah makan atau berbaring terdapat pada 19 subjek penelitian (52,8%) dan keluhan yang paling jarang adalah sukar bernafas/ chocking, yaitu terdapat pada 17 subjek penelitian(47,2%).
(60)
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan tanda patologis laring yang didapat (n=36)
Karakteristik tanda patologis laring Jumlah (%)
Ventrikular obliterasi 35 (97,2)
Hipertrofi komisura posterior 35(97,2)
Edema difus 28(77,8)
Eritema 26(72,2)
Mukus kental endolaring 25(69,4)
Edema glotis 25(69,4)
Edema subglotik/ pseudosulkus vokalis 21(58,3)
Granuloma 0(0)
Pada tabel 4.5 terlihat tanda patologis laring yang paling sering ditemukan adalah ventrikular obliterasi dan hipertrofi komisura posterior terdapat pada 35 subjek penelitian (97,2%). Edema difus dijumpai pada 28 subjek (77,8%). Eritema ditemukan pada 26 (72,2%). Mukus kental endolaring ditemukan pada 25 subjek (69,4%). Edema glotis ditemukan pada 24 subjek (66,7%). Tanda patologis laring granuloma tidak dijumpai pada penelitian ini.
Tabel 4.6 Perbedaan Rerata RSI Penderita Penyakit Refluks Laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima
Waktu Pengamatan
RSI
Rerata ± SB p value p value
Pertama 18,47 ± 4,35 0,0001a 0,0001b
Kedua 10,94 ± 3,90 0,0001c
Ketiga 7,47 ± 3,01 0,001d
Keempat 4,75 ± 2,83 0,0001e
Kelima 2,75 ± 2,36
a= p value antara pengamatan pertama ( sebelum terapi) sampai pengamatan ke lima(setelah terapi 12 minggu)
(61)
b
c = p value antara pengamatan kedua dan ketiga = p value antara pengamatan pertama dan kedua
d = p value antara pengamatan ketiga dan keempat e = p value antara pengamatan keempat dan kelima
Dari tabel 4.6, dengan menggunakan uji friedman diperoleh perbedaan yang signifikan rerata RSI setelah pemberian omeprazole antara pengamatan pertama (sebelum terapi) sampai pengamatan kelima (setelah terapi 12 minggu) dengan p=0,0001, p<0,05.
Dengan menggunakan uji paired t test diperoleh perbedaan yang signifikan rerata RSI antara pengamatan pertama dan pengamatan kedua (p=0,0001, p<0,05). Terdapat perbedaan yang signifikan rerata RSI antara pengamatan kedua dan pengamatan ketiga (p=0,0001, p<0,05). Antara pengamatan ketiga dan keempat juga terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,001, p<0,05). Perbedaan yang signifikan rerata RSI juga didapat antara pengamatan keempat dan pengamatan kelima (p=0,0001, p<0,05).
Gambar 4.1 Grafik garis RSI dari pengamatan pertama sampai kelima
Berdasarkan hasil analisis dan gambar 4.1 terlihat adanya tren penurunan RSI dari pengamatan pertama sampai kelima dimana RSI
0 5 10 15 20
Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima
RSI
Waktu Pengamatan
(62)
tertinggi terlihat pada pengamatan pertama yaitu 18,47±4,35 dan RSI terendah pada pengamatan kelima yaitu 2,75 ±2,36.
Tabel 4.7 Perbedaan Rerata RFS Penderita Penyakit Refluks Laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima
Waktu Pengamatan
RFS
Rerata ±SB P value
P value
Pertama 10,81 ±2,73 0,0001a 0,0001b
Kedua 9,25 ±2,62 0,0001
Ketiga
c
6,25 ±2,18 0,001
Keempat
d
4,92 ±1,73 0,0001
Kelima
e
3,31 ±1,31
a = p value antara pengamatan pertama ( sebelum terapi) sampai pengamatan ke lima(setelah terapi 12 minggu)
b
c= p value antara pengamatan kedua dan ketiga = p value antara pengamatan pertama dan kedua
d= p value antara pengamatan ketiga dan keempat e= p value antara pengamatan keempat dan kelima
Dari tabel 4.7 terlihat dengan menggunakan uji friedman diperoleh perbedaan yang signifikan rerata skor RFS setelah pemberian omeprazole antara pengamatan pertama sampai pengamatan kelima (p=0,0001, p<0,05).
Dengan menggunakan uji paired t test diperoleh perbedaan yang signifikan rerata RFS antara pengamatan pertama dan pengamatan kedua (p=0,0001, p<0,05). Diperoleh perbedaan yang signifikan rerata RFS antara pengamatan kedua dan pengamatan ketiga (p=0,0001, p<0,05). Pengamatan ketiga dan keempat juga diperoleh perbedaan yang signifikan rerata RFS (p=0,001, p<0,05). Diperoleh perbedaan yang
(63)
signifikan rerata RFS antara pengamatan keempat dan pengamatan kelima (p=0,0001, p<0,05).
Gambar 4.2. Grafik garis RFS dari pengamatan pertama sampai kelima
Berdasarkan hasil analisis dan gambar 4.2 terlihat adanya tren penurunan RFS dari pengamatan pertama sampai kelima dimana RFS tertinggi terlihat pada pengamatan pertama yaitu 10,81±2,73 dan RFS terendah pada pengamtan kelima yaitu 3,31±1,31.
Tabel 4.8 Perbedaan rerata skor kualitas hidup penderita penyakit refluks laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima
Waktu Pengamatan
Skor Kualitas
Hidup Rerata ±SB
P value
P value
Pertama 47,57 ±8,93 0,0001a 0,0001b
Kedua 57,8 ±10,88 0,0001c
Ketiga 70,08 ±7,67 0,0001d
Keempat 78,07 ±6,03 0,0001e
Kelima 83,17 ±6,16
a= p value antara pengamatan pertama ( sebelum terapi) sampai pengamatan ke lima(setelah terapi 12 minggu)
0 2 4 6 8 10 12
Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima
RF
S
Waktu Pengamatan
(64)
b
c = p value antara pengamatan kedua dan ketiga = p value antara pengamatan pertama dan kedua
d = p value antara pengamatan ketiga dan keempat e = p value antara pengamatan keempat dan kelima
Dari tabel 4.8 terlihat dengan menggunakan uji repeated anova diperoleh perbedaan yang signifikan rerata skor kualitas hidup setelah pemberian omeprazole antara pengamatan pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima (p=0,0001, p<0,05).
Dengan menggunakan uji paired t test diperoleh perbedaan yang signifikan rerata skor kualitas hidup antara pengamatan pertama dan pengamatan kedua (p=0,0001, p<0,05). Diperoleh perbedaan yang signifikan rerata skor kualitas hidup antara pengamatan kedua dan pengamatan ketiga (p=0,0001, p<0,05). Terdapat perbedaan yang signifikan rerata skor kualitas hidup antara pengamatan ketiga dan pengamatan keempat (p=0,0001, p<0,05). Dengan menggunakan uji paired t test diperoleh perbedaan yang signifikan rerata skor kualitas hidup antara pengamatan keempat dan pengamatan kelima (p=0,0001, p<0,05).
Gambar 4.3. Grafik garis peningkatan skor kualitas hidup dari pengamatan pertama sampai kelima
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima
Rer a ta Sk o r K u a li ta sH id u p Waktu Pengamatan
Rerata Skor Kualitas Hidup
(65)
Berdasarkan hasil analisis dan gambar 4.3 terhadap perbedaan rerata skor kualitas hidup maka terlihat adanya tren peningkatan kualitas hidup sejak pengamatan pertama sampai kelima, dimana rerata skor terendah pada pengamatan pertama adalah 47,57±8,93 dan skor tertinggi pada pengamatan kelima yaitu sebesar 83,17±6,16.
(1)
NPar Tests
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks RFS Pengamatan Ke 2 - RFS
Pengamatan Ke 1
Negative Ranks 25a 13.98 349.50 Positive Ranks 2b 14.25 28.50
Ties 9c
Total 36
a. RFS Pengamatan Ke 2 < RFS Pengamatan Ke 1 b. RFS Pengamatan Ke 2 > RFS Pengamatan Ke 1 c. RFS Pengamatan Ke 2 = RFS Pengamatan Ke 1
Test Statisticsb
RFS Pengamatan Ke 2 - RFS Pengamatan Ke 1
Z -3.897a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks RFS Pengamatan Ke 3 -
RFS Pengamatan Ke 2
Negative Ranks 31a 16.00 496.00 Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 5c
Total 36
(2)
b. RFS Pengamatan Ke 3 > RFS Pengamatan Ke 2 c. RFS Pengamatan Ke 3 = RFS Pengamatan Ke 2
Test Statisticsb
RFS Pengamatan Ke
3 - RFS Pengamatan Ke
2
Z -4.898a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks RFS Pengamatan Ke 4 -
RFS Pengamatan Ke 3
Negative Ranks 20a 11.60 232.00 Positive Ranks 2b 10.50 21.00
Ties 14c
Total 36
a. RFS Pengamatan Ke 4 < RFS Pengamatan Ke 3 b. RFS Pengamatan Ke 4 > RFS Pengamatan Ke 3 c. RFS Pengamatan Ke 4 = RFS Pengamatan Ke 3
Test Statisticsb
RFS Pengamatan Ke
4 - RFS Pengamatan Ke
3
Z -3.456a
Asymp. Sig. (2-tailed) .001 a. Based on positive ranks.
(3)
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks RFS Pengamatan Ke 5 -
RFS Pengamatan Ke 4
Negative Ranks 23a 13.83 318.00 Positive Ranks 2b 3.50 7.00
Ties 11c
Total 36
a. RFS Pengamatan Ke 5 < RFS Pengamatan Ke 4 b. RFS Pengamatan Ke 5 > RFS Pengamatan Ke 4 c. RFS Pengamatan Ke 5 = RFS Pengamatan Ke 4
Test Statisticsb
RFS Pengamatan Ke
5 - RFS Pengamatan Ke
4
Z -4.221a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 a. Based on positive ranks.
(4)
LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 1. Pasien JP, skor RSI 20, skor RFS 15 ( Pengamatan I) Ventrikular obliterasi skor 4
Eritema skor 4 Edema difus skor 2
Hipertrofi komisura posterior skor 3 Mukus kental endolaring skor 2
Gambar 2. Pasien JP, skor RSI 9, skor RFS 12 ( Pengamatan II) Ventrikular obliterasi skor 4
Eritema skor 2 Edema difus skor 1
Hipertrofi komisura posterior skor 3 Mukus kental endolaring skor 2
(5)
Gambar 3. Pasien JP, skor RSI 7, skor RFS 7 ( Pengamatan III) Ventrikular obliterasi skor 2
Eritema skor 2
Hipertrofi komisura posterior skor 3
Gambar 4. Pasien JP, skor RSI 3, skor RFS 5 ( Pengamatan IV) Ventrikular obliterasi skor 2
Hipertrofi komisura posterior skor 3
Gambar 5. Pasien JP, skor RSI 3, skor RFS 2 (Pengamatan V) Hipertrofi komisura posterior skor 2.
(6)
CURICULUM VITAE
I. IDENTITAS
1. Nama : dr. Rika Febriyanti
2. Tempat/ Tanggal lahir : Binjai / 06 Februari 1982
3. Alamat : Jl. Bambuan no 15 Stabat
4. No Telp/ HP : 061-8910219/081264510880
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. 1987 - 1993 : SD No. 058904 Stabat
2. 1993 - 1996 : SMP N 1 Binjai
3. 1996 - 1999 : SMUN 1 Stabat
4. 1999 - 2004 : Fakultas Kedokteran USU Medan
5. 2009 - Sekarang : PPDS I. Kes THT-KL FK USU Medan
III. KEANGGOTAAN PROFESI
1. 2004 - 2009 : Anggota IDI Cabang Langkat,
Sumatera Utara
2. 2009 - sekarang : Anggota Muda PERHATI-KL
Cabang SUMUT