BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pneumonia - Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pneumonia

  Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit pada anak usia < 2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun (Depkes RI, 2002b).

  Definisi lainnya disebutkan pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan awal masa kanak-kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit primer atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009). Menurut Misnadiarly (2008), pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencim paru, dari broncheolus terminalis yang mencakup broncheolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. UNICEF/WHO (2006) menyatakan pneumonia merupakan sakit yang terbentuk dari infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara spesifik mempengaruhi paru-paru dan Depkes RI (2007) mendefenisikan pneumonia sebagai salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang mengenai bagian paru (jaringan alveoli).

2.2 Etiologi Pneumonia

  Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditegakkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen fungsi paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian (Depkes RI, 2002b).

  Oleh karena alasan tersebut di atas maka penentuan etiologi pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi di negara berkembang. Jenis jenis bakteri ini ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus (Fein, dkk, 2006). Berikut beberapa agent penyebab terjadinya pneumonia.

   Bakteri 1. Streptococcus pneumonia Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini, yang

  sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai, mempunyai simpai polisakarida yang mempermudah penentuan tipe dengan antiserum spesifik.

  Organisme ini adalah penghuni normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya. Pada orang dewasa, tipe 1-8 menyebabkan kira-kira 75% kasus pneumonia pneumokokus dan lebih dari setengah kasus bakteremia pneumokokus yang fatal; pada anak-anak, tipe 6, 14, 19, dan 23 merupakan penyebab yang paling sering. Pneumokokus menyebabkan penyakit melalui kemampuannya berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan toksin yang bermakna. Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya yang mencegah atau menghambat penghancuran sel yang bersimpai oleh fagosit. Serum yang mengandung antibodi terhadap polisakarida tipe spesifik akan melindungi terhadap infeksi. Bila serum ini diabsorbsi dengan polisakarida tipe spesifik, serum tersebut akan kehilangan daya pelindungnya. Hewan atau manusia yang diimunisasi dengan polisakarida pneumokokus tipe tertentu selanjutnya imun terhadap tipe pneumokokus itu dan mempunyai antibodi presipitasi dan opsonisasi untuk tipe

  Pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa pneumokokus virulen, selaput mukosa pernapasan normal harus mempunyai imunitas alami yang cairan edema fibrinosa ke dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan leukosit, yang mengakibatkan konsolidasi beberapa bagian paru-paru. Banyak pneumokokus ditemukan di seluruh eksudat, dan bakteri ini mencapai aliran darah melalui drainase getah bening paru-paru. Dinding alveoli tetap normal selama infeksi. Selanjutnya, sel- sel mononukleus secara aktif memfagositosis sisa-sisa, dan fase cair ini lambat-laun diabsorbsi kembali. Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan dicerna di dalam sel.

  Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka kematian yang paling tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira merupakan 60-80% dari semua kasus pneumonia oleh bakteri. Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah pembawa bakteri yang tinggi. Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat memberikan perlindungan 90% terhadap bakteremia pneumonia (Brooks, G.F, dkk, 1996).

2. Hemophylus influenza

  Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran napas bagian

  atas pada manusia. Bakteri ini merupakan penyebab meningitis yang penting pada anak-anak dan kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak dan orang dewasa. Hemophylus influenzae bersimpai dapat digolongkan dengan tes pembengkakan simpai menggunakan antiserum spesifik. Kebanyakan Hemophylus

  Pneumonitis akibat Hemophylus influenzae dapat terjadi setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas pada anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang influenzae. Hemophylus influenzae tidak menghasilkan eksotoksin. Organisme yang tidak bersimpai adalah anggota tetap flora normal saluran napas manusia. Simpai bersifat antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus. Bentuk Hemophylus

  

influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi pernapasan

  supuratif (sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil, meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari 3-5 tahun mempunyai daya bakterisidal kuat terhadap Hemophylus influenzae, dan infeksi klinik lebih jarang terjadi. Hemophylus influenzae tipe b masuk melalui saluran pernapasan. Tipe lain jarang menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal yang mengenai sinus-sinus atau telinga tengah. Hemophylus influenzae tipe b dan pneumokokus merupakan dua bakteri penyebab paling sering pada otitis media bakterial dan sinusitis akut. Organisme ini dapat mencapai aliran darah dan dibawa ke selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-sendi dan menyebabkan artritis septik. Hemophylus influenzae sekarang merupakan penyebab tersering meningitis bakteri pada anak-anak berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS.

  Bayi di bawah umur 3 bulan dapat mengandung antibodi dalam serum yang diperoleh dari ibunya. Selama masa ini infeksi Hemophylus influenzae jarang terjadi, tetapi kemudian antibodi ini akan hilang. Anak-anak senng mendapatkan infeksi penyakit pernapasan atau meningitis (Hemophylus influenzae adalah penyebab paling sering dari meningitis bakterial pada anak-anak dari umur 5 bulan sampai 5 tahun). mencapai 90%. Influenzae tipe b dapat dicegah dengan pemberian vaksin konjugat

  

Haemophilus b pada anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat

  diimunisasi dengan vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu dari dua pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran standard. Anak- anak berusia 15 bulan atau lebih dapat menerima vaksin konjugat

  Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid difteri (yang tidak bersifat

  imunogenik pada anak-anak yang lebih muda). Vaksin tidak mencegah timbulnya pembawa untuk Hemophylus influenzae. Pemanfaatan vaksin Hemophylus influenzae tipe b secara luas telah sangat menurunkan kejadian meningitis Hemophylus

  

influenzae pada anak-anak. Kontak dengan pasien yang menderita infeksi klinik

Hemophylus influenzae memberi risiko kecil bagi orang dewasa, tetapi member risiko

  nyata bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak nonimun lain yang berusia di bawah 4 tahun yang berkontak erat (Brooks, G.F, dkk, 1996).

2.2.2 Virus

  Setengah kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang sering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernafasan bagian atas pada balita, gangguan ini bias memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bias berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).

   Mikoplasma

  Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bias diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).

2.2.4 Protozoa

  Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocysititis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau specimen yang berasal dari paru (Misnadiarly, 2008).

2.3 Patogenesis dan Penularan Pneumonia

  Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran nafas bagian atas sama dengan di saluran nafas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian ditemukan jenis mikroorganisme yang berbeda. Pneumonia terjadi jika mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi secret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol yang infeksius dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi (Perhimpunan Ahli Paru, 2003).

  Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara. Virus dan bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui droplet udara lewat batuk atau bersin. Selain itu, radang paru-paru bias menyebar melalui darah, terutama selama dan segera setelah lahir.

2.4 Faktor Risiko

  Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA 28%. Artinya bahwa dari 100 bayi yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA dan terutama 80% kasus kematian

  ISPA pada balita adalah akibat pneumonia. Angka kematian akibat pneumonia pada akhir tahun 2000 diperkirakan sekitar 4,9/1000 balita (Surkesnas, 2001).

  Menurut Depkes RI (2002), pneumonia dapat menyerang semua orang, semua umur, jenis kelamin serta tingkat sosial ekonomi. Kejadian kematian pneumonia pada bayi adalah pneumonia, diare, tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara proporsi penyakit menular penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%), diare (19,2%), infeksi pernafasan akut (7,5%), malaria (7%) serta campak (5,2%).

  Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi dan balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian balita kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian pada balita di Indonesia. Kematian akibat pneumonia sangat terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih 98% kematian balita akibat pneumonia dan diare terjadi di Negara berkembang (Riskesdes 2007).

  Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita. Menurut Depkes (2004), dibagi menjadi faktor balita, faktor ibu dan faktor lingkungan dan sosioekonomis. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan insidens pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, membedong anak (menyelimuti berlebihan) dan defisiensi vitamin A.

  Sedangkan faktor risiko meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, tingkat sosioekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, dan menderita penyakit kronis. (Depkes RI, 2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi menjadi 3 faktor yaitu: faktor balita, faktor lingkungan dam faktor perilaku.

2.4.1 Faktor Anak a.

  Umur Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari kelompok anak berumur anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun mendapatkan risiko pneumonia disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang saluran pernafasan yang relatif masih sempit. Menurut Daulaire (1991), risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.

  b.

  Jenis kelamin Dalam program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (P2

  ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004). Menurut Sunyataningkamto (2004), hal ini disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil tubuh antara anak laki-laki dan perempuan. Dari penelitian di Indramayu yang dilakukan selama 1,5 tahun didapatkan kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak (Sutrisna, 1993).

  c.

  Status Imunisasi Campak Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit.

  Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada balita. Salah satu pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Sekitar 43,1% - 76,6% kematian akibat ISPA yang berkembang dapat dicegah dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis, dan Campak. Bila anak sudah dilengkapi dengan imunisasi DPT dan campak, dapat diharapkan perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat. Sebagian besar kematian

  ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam pemberantasan ISPA. Dengan imunisasi campak yang efektif, sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah. Dari hasil pengamatan selama 58 tahun periode penelitian di Amerika Serikat terhadap kematian karena pneumonia balita diamati sejak tahun 1939 sampai 1996 menunjukkan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat d.

  Imunisasi DPT Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua langsung menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenza tipe b (Hib).

  Kedua, imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya, campak dan pertusis). Tiga vaksin yang memiliki potensi untuk mengurangi kematian anak dari pneumonia adalah vaksin campak, Hib, dan vaksin pneumokokus. Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi yang efektif untuk mengurangi faktor yang meningkatkan kematian akibat

  ISPA (UNICEF, WHO 2006). Menurut Susi (2011), balita yang tidak mendapatkan imunisasi DPT mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali disbanding balita yang mendapatkan imunisasi DPT dan hasil uji statistic menyatakan ada hubungan yang bermakna antara riwayat imunisasi DPT pada balita dengan kejadian pneumonia (p value = 0,049: α = 0,05).

  e.

  Status Pemberian Vitamin A Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Pemberian kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6- 11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan. Pemberian vitamin A berperan sebagai protektif melawan infeksi dengan memelihara integritas epitel/fungsi barier, kekebalan tubuh dan mengatur pengembangan dan fungsi paru (Klemm, 2008). vitamin A dengan risiko terjadinya ISPA. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anak dengan Xerophtalamin ringan memiliki risiko dua kali menderita ISPA, terutama anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun.

  f.

  Status Gizi Balita Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya pneumonia.

  Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Sutrisna, 1993). Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto, 2004). Sjenileila Boer (2002) menjelaskan bahwa status gizi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia dengan nilai OR: 3,194 (95% CI: 1,585- 6,433).

  g.

  Pemberian ASI Eksklusif Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi. ASI juga memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi patogen yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama pada bulan pertama kehidupan ASI secara Eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Hasil penelitian Naim (2001) di Jawa Barat menjelaskan anak usia 4 bulan – 24 terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko terjadinya pneumonia 4,76 kali disbanding anak umur 4 bulan-24 bulan yang diberi ASI eksklusif ditunjukkan dengan nilai statistic OR=4,76 (95% CI: 2,98-7,59).

  h.

  Berat Badan Lahir Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Hal ini terutama terjadi pada bulan-bulan pertama kelahiran sebagai akibat dari pembentukan zat anti kekebalan yang kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi terutama pneumonia dan penyakit saluran pernafasan lainnya. Hasil penelitian Herman (2002) di Sumatera Selatan menjelaskan balita yang mempunyai riwayat berat badan lahir rendah memilki risiko 1,9 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mempunyai riwayat berat badan normal namun efek tersebut secara statistic tidak bermakna hal ini ditunjukkan dengan nilai OR= 1,9 (95% CI: 0,7-4,9) p=0,175. i.

  Riwayat Asma Dawood (2010) menjelaskan anak-anak dengan asma akan mengalami peningkatan risiko terkena radang paru-paru sebagai komplikasi dari influenza. Bayi dan anak-anak kurang dari lima tahun berisiko lebih tinggi mengalami pneumonia sebagai komplikasi dari influenza saat dirawat di rumah sakit. Bayi usia 6 bulan-2 tahun dengan asma mempunyai risiko dua kali lebih tinggi menderita pneumonia.

   Faktor Lingkungan a.

  Pendidikan Ibu Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan yaitu sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru.

  Pendidikan formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam membuat keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin mudah pula ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat pemahamannya terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit pada bayi dan anak balitanya. Hasil penelitian Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian pneumonia pada anak balita dimana ibu yang berpendidikan rendah mempunyai risiko 2 kali anak balitanya menderita pneumonia dibanding ibu yang berpendidikan tinggi (95%CI: 0,95-4,21).

  b.

  Pekerjaan Ibu Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu terbanyak yang terpakai setiap harinya. Hal ini memiliki kecenderungan menyita waktu dan perhatian ibu terhadap balita baik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga kondisi atau pekerjaan ibu akan berisiko terhadap kemungkinan risiko balita terkena pneumonia.

  c.

  Sosial Ekonomi Keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi, memiliki peluang lebih mempunyai daya tahan yang lebih baik untuk menangkal ISPA/pneumonia. Disamping itu, tingkat pendapatan yang tinggi juga akan memberikan peluang yang memungkinkan terhindar dari serangan ISPA. Hasil penelitian yang dilakukan Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian pneumonia dengan nilai p=0,0005 dengan nilai OR 2,39 yang artinya anak balita yang berasal dari keluarga status ekonomi rendah mempunyai risiko 2,39 kali terkena pneumonia daripada balita dari status ekonomi tinggi.

  2.4.3 Faktor Perilaku

  Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapat ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA balita yang orang tuanya merokok mempunyai risiko 4,63 kali lebih besar terkena penyakit ISPA dibandingkan dengan balita yang orang tuanya tidak merokok (Suhandayani, 2007).

  Sunyataningkamto (2004), menjelaskan bahwa asap rokok akan mengurangi fungsi silia, menghancurkan sel epitel bersilia yang akan diubah menjadi sel skuamosa dan menurunkan humoral/imunitas seluler baik local maupun sistemik. Kebiasaan merokok juga dapat menambah pengeluaran rumah tangga yang tidak memiliki pengaruh penting terhadap peningkatan status kesehatan keluarga.

  2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

  Menurut Hatta (2001), jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia balita. Dikatakan bahwa balita yang dekat dengan sarana kesehatan mempunyai efek perlindungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang jauh dari sarana kesehatan.

2.5 Klasifikasi dan Diagnosis Pneumonia

2.5.1 Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi

  Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi dapat dibedakan menjadi 3 kategori yaitu:

  1. Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yaitu pneumonia yang terjadi infeksi diluar rumah sakit, seperti rumah jompo, home care (Schmidt, 2007).

  2. Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial yaitu pneumonia yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat di rumah sakit baik di ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan ventilator. Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatan dan sepertiganya mungkin akan meninggal (Fein, dkk, 2006)

  3. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu, pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilasi mekanik di

  ICU (Torres, S. Ewig, 2011).

2.5.2 Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia

  Beberapa kuman penyebab terjadinya pneumonia dapat dibagi menjadi: Pneumonia bacterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat terjadi pada semua usia. Beberapa kuman mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiela pada penderita alkoholik dan staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

  2. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh mycoplasma, legionella dan Chlamydia

3. Pneumonia virus 4.

  Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering merupakan infeksi sekunder, terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised) Kriteria yang digunakan dalam tata laksana penderita ISPA adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas.

2.5.3 Pola Tatalaksana Pneumonia Menurut Depkes RI (2000)

   Pola tata laksana ini dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu: 1.

  Pemeriksaan 2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya 3. Penentuan klasifikasi penyakit 4. Pengobatan

2.5.4. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Ditjen PP dan PL (2005)

  Pada balita klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur < 1.

  Untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: a.

  Pneumonia berat: ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke adalam (severe chest

  indrawing) b.

  Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas cepat

  2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: a.

  Pneumonia berat: bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat anak diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau meronta) b. Pneumonia: bila disertai nafas cepat c. Bukan pneumonia: mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bawah ke dalam. WHO merekomendasikan klasifikasi klinis dan pengobatan yang diberikan pada balita usia 2 bulan sampai 5 tahun yang memiliki batuk atau kesukaran bernafas,

Tabel 2.1 Kriteria WHO terhadap Pengobatan pada Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai dengan

  

Klasifikasi Klinis Penderita

Kriteria Pneumonia Gejala Klinis dan Pengobatannya

Bukan Pneumonia Tidak ada sesak nafas, tidak ada tarikan dinding dada. Tidak diberikan antibiotik.

  Nafas cepat, tidak ada tarikan dinding dada.

  Pneumonia

  Pengobatan di rumah dengan pemberian antibiotic kotrimoxal atau amoksisilin.

  Pneumonia Berat Nafas cepat, tarikan dinding dada, tidak ada

  sianosis, masih mampu makan/minum. Dirujuk ke rumah sakit

  Pneumonia sangat Berat Nafas cepat, tarikan dinding dada, ada sianosis,

  tidak mampu makan/minum, kejang, sukar dibangunkan, stidor sewaktu tenang, gizi buruk. Dirujuk ke rumah sakit

2.5.5 Diagnosis Pneumonia

  Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai program P2 ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur).

  Panduan WHO dalam menentukan seorang anak menderita nafas cepat dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut (Rizanda, 2006):

Tabel 2.2 Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan Menurut Umur Anak

   Umur Anak Nafas Cepat Bila Frekuensi Nafas Lebih Dari

  Kurang dari 2 bulan 60 kali per menit 2 bulan sampai 12 bulan 50 kali permenit 12 bulan sampai 5 tahun 40 kali permenit

  Menurut Misnadiarly (2008), tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain: batuk nonproduktif, ingus (nasal discharge), suara nafas lemah, pemanfaatan otot bantu nafas, demam, cyanosis (kebiru-biruan), Thorax Photo menunjukkan infiltrasi melebar, sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak nafas, menggigil, Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit kepala.

2.6 Penanggulangan Pneumonia

2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat

  Penyuluhan kesehatan masyarakat dianggap sebagai upaya yang paling penting dalam pengendalian pneumonia dan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan penatalaksanaan kasus dan perbaikan kesehatan lingkungan. Sasaran dari penyuluhan kesehatan adalah ibu dan pengasuh balita sebagai sasaran primer sedangkan sasaran sekunder adalah petugas kesehatan, kader posyandu, pengambil keputusan, perencana, pengelola program serta sektor lain yang terkait. Tujuan dari promosi kesehatan adalah mengupayakan agar masyarakat mengambil perilaku sehingga sesuai dengan syarat-syarat kesehatan.

2.6.2 Upaya Pencegahan Pneumonia

  Menurut WHO (2010), WHO dan UNICEF pada tahun 2009 membuat pencegahan dan pengendalian pneumonia. Tujuannya adalah untuk mempercepat kontrol pneumonia dengan kombinasi intervensi untuk melindungi, mencegah dan mengobati pneumonia pada anak dengan tindakan yang meliputi 1) melindungi anak dari pneumonia termasuk mempromosikan pemberian ASI Eksklusif dan mencuci tangan, mengurangi polusi udara didalam rumah, 2) mencegah pneumonia dengan pemberian vaksinasi, 3) mengobati pneumonia difokuskan pada upaya bahwa setiap anak sakit memiliki akses ke perawatan yang tepat baik dari petugas kesehatan berbasis masyarakat atau di fasilitas kesehatan jika penyakitnya bertambah berat dan mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka butuhkan untuk kesembuhan.

  Upaya pencegahan yang ditujukan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia antara lain dengan:

  1. Status imunisasi campak Imunisasi campak untuk mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan oleh komplikasi penyakit campak. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa imunisasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia.

  2. Perbaikan gizi keluarga untuk mengurangi malnutrisi sebagai salah satu faktor risiko terjadinya pneumonia

  3. Peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dengan berat rendah melalui upaya

4. Perbaikan kualitas lingkungan terutama mengurangi polusi udara dalam ruangan.

2.7 Landasan Teori

2.7.1 Pendekatan Model Segitiga Epidemiologi

  Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Perubahan dari sektor lingkungan akan mempengaruhi host, sehingga akan timbul penyakit secara individu maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga dengan kejadian penyakit pneumonia yang berhubungan dengan penjamu, lingkungan dan agent. Pneumonia balita merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut, yaitu terjadi peradangan atau iritasi pada salah satu atau kedua paru, disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenza, dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi pneumonia di negara berkembang. Pada prinsipnya kejadian penyakit yang digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan hubungan tiga komponen penyebab penyakit yaitu penjamu, agen dan lingkungan seperti gambar 2.3

  AGENT

  dibawah ini:

  HOST ENVIRONMENT

Gambar 2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi

  Sumber: Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009)

  Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen akan mengubah komponen lainnya, dengan akibat menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit.

  Komponen untuk terjadinya penyakit Pneumonia adalah: 1.

  Host Penjamu adalah manusia atau organisme yang rentan terhadap pengaruh agent. Dalam penelitian ini yang diteliti dari faktor penjamu adalah faktor balita

  (umur, jenis kelamin, status imunisasi campak, imunisasi DPT, status pemberian vitamin A, riwayat menderita campak, status gizi balita, pemberian ASI Eksklusif, berat badan lahir, riwayat asma).

2. Agent

  Agent penyebab Pneumonia disebabkan infeksi Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenza, dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi pneumonia di negara berkembang 3.

  Environment Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian agent maupun penjamu, tetapi mampu menginteraksikan agent penjamu. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi)

2.7.2 Konsep Model Hendrik L.Blum

  Menurut teori Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (2007), status kesehatan sama lain.

  Keempat faktor tersebut adalah lingkungan, perilaku, keturunan dan pelayanan kesehatan.

  KETURUNAN PELAYANAN KESEHATAN STATUS KESEHATAN LINGKUNGAN PERILAKU

Gambar. 2.2 Faktor yang mempengaruhi Status Kesehatan

  Sumber: Hitchock, Schubert, Thomas (2001) dan Notoatmodjo (2007)

  Keempat faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita adalah:

  1. Keturunan Faktor yang sulit untuk diintervensi karena bersifat bawaan dari orang tua.

  Penyakit yang dapat diturunkan orang tua dan dapat menjadi faktor risiko infeksi pneumonia adalah penyakit asma.

  2. Pelayanan Kesehatan Dari hasil penelitian Djaja (2001), menjelaskan bahwa ibu dengan pendidikan dengan pendidikan rendah akan lebih memilih anaknya untuk berobat ke dukun dan mengobati sendiri.

  Perilaku Menurut Depkes RI (2001), semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh anggota keluarga semakin besar risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya jika merokok dilakukan oleh ibu bayi.

4. Lingkungan

  Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi)

2.8 Kerangka Konsep

  Kerangka konsep dalam peneltian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3. berikut

  Variabel Independen Variabel Dependen Faktor Balita: a.

  Status imunisasi campak b.

  Status Imunisasi DPT c. Status pemberian vitamin A d.

  Status gizi balita e. Pemberian ASI Eksklusif f. Berat badan lahir g.

  Riwayat Asma

  Faktor Lingkungan: a.

  Pneumonia Balita

  Pendidikan Ibu b.

  Pekerjaan Ibu c. Sosial ekonomi

  Faktor Perilaku:

  Kebiasaan Merokok

  Faktor Pelayanan Kesehatan:

  Pemanfaatan pelayanan kesehatan

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

  

Sumber: Modifikasi Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009), Hitchock,

  Schubert, Thomas (2001) dan Notoatmodjo (2007) Dari gambar 2.3 di atas, dapat diketahui bahwa penyakit pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko yaitu faktor manusia dan perilakunya, faktor lingkungan dan faktor agen. Pada penelitian ini variabel dependen adalah kejadian pneumonia balita sedangkan variabel independennya adalah berdasarkan faktor balita, faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan