Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013

(1)

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO

TAHUN 2013

TESIS

Oleh

MARTALENA BR. S. KEMBAREN 117032002/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013


(2)

THE ANALYSIS OF THE RISK FACTOR OF THE INCIDENT OF PNEUMONIA IN CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD IN

KABANJAHE GENERAL HOSPITAL, KARO DISTRICT, IN 2013

THESIS

BY

MARTALENA BR. S. KEMBAREN 117032002/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

2013


(3)

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO

TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARTALENA BR. S. KEMBAREN 117032002/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013


(4)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Martalena Br. S.Kembaren Nomor Induk Mahasiswa : 117032002

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dekan

( Dr. Drs. Surya Utama, M.S )

Tanggal Lulus: 27 Agustus 2013 Telah Diuji

(dr. Mhd Makmur Sinaga, M.S) Anggota

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) Ketua


(5)

pada Tanggal : 27 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. dr. Mhd. Makmur Sinaga, M.S

2. dr. Arifin Siregar, M.S 3. Drs. Jemadi, M.Kes

PERNYATAAN


(6)

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO

TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

Martalena Br. S. Kembaren 117032002/IKM

ABSTRAK


(7)

Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun (Balita) di dunia. Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000 kelahiran hidup. Tujuan penelitian ini menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013.

Jenis Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode retrospective study

melalui pendekatan kasus kontrol yaitu penelitian analitik yang bersifat observasional. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang datang berobat ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo pada tahun 2013.. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dan dianalisis dengan regresi logistik

berganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh variabel status imunisasi DPT, berat badan lahir, riwayat asma, pekerjaan ibu, kebiasaan merokok dan penggunaan pelayanan kesehatan dengan kejadian pneumonia, dengan variabel paling dominan berpengaruh adalah kebiasaaan merokok.

Perlu dilakukan peningkatan kegiatan edukasi kepada orang tua yang mempunyai balita mengenai pentingnya pemberian imunisasi campak dan DPT yang lengkap, pemberian ASI Eksklusif, pemenuhan gizi optimal, bahaya merokok, serta dorongan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Kata kunci : Faktor Risiko, Pneumonia Balita

ABSTRACT i


(8)

Pneumonia is the number one killer for children under five years old (Balita) throughout the world. It constitutes the process of acute infection in lung tissue (alveoli), and it can be detected by referring to the clinical symptoms and to supporting examinations such as x-rays and laboratory. The mortality rate of children under five years old who suffer from pneumonia in Indonesia is estimated below four per 1,000 life births. The objective of the research was to analyze the risk factor of the incident of pneumonia in children under five years old in the Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.

The type of the research was a retrospective study with control case approach which was an observational analytic research. The population was children under five years old who visited Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.

The result of the research showed that there was the influence of the variables of DPT immunization status, the weight of the new born babies, the history of asthma, mothers’ occupation, smoking habit, and the use of health service on the incident of pneumonia. The variable which had the most dominant influence was smoking habit.

It is recommended that the education activity for parents who have children under five years old about the importance of giving measles immunization and complete DPT, giving exclusive ASI (breast milk), fulfilling optimal nutrition, warning toward the danger of smoking, and encouraging to using health service needs to be increased.

Keywords: Risk Factor, Pneumonia in Children under Five Years Old

KATA PENGANTAR ii


(9)

Pujian dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal melalui Yesus Kristus, atas segala berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul ”Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013” ini dengan baik.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dan seluruh dosen/ pegawai di FKM – USU

4. Bapak Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H selaku pembimbing 1 dan Bapak dr. Mhd. Makmur, M.S selaku pembimbing 2, yang telah bersedia meluangkan

iii


(10)

waktu dan pikiran dalam memberikan saran dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

5. Direktur Rumah Sakit Umum Kabanjahe, yang telah memberi kesempatan melaksanakan penelitian.

6. Tesis ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Alm. G. S. Kembaren dan Ibunda M. Br. Perangin-angin atas segala kasih dan sayang yang telah penulis terima, dan kepada suamiku Ramli Purba, S.Si terimakasih atas semua doa, dukungan baik materi dan moril, motivasi yang selalu mendorong penulis untuk selalu tekun dan semangat menjalani perkuliahan dan menyelesaikan penulisan tesis ini.

7. Keluarga Sapta Novianto Sembiring Kembaren, AMK dan keluarga Sri Intan Oktavina Br. Sembiring Kembaren, AMK. Teristimewa buat motivator-motivator muda (Mazmur Yudea, Aprian Vitaranta, Dwi Afnelia Rivana Okta, Vina Valentina, Vitalia Mastina, Fidelia Griselda), buat semangat dan doanya.

8. Rekan-rekan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi AKKm/E angkatan 2011

Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Segala kritik dan saran akan menjadi masukan yang berarti bagi penulis.

Syaloom...Tuhan Yesus Memberkati.

Medan, Oktober 2013

Martalena Br. S. Kembaren


(11)

117032002/IKM RIWAYAT HIDUP

Martalena Br. S. Kembaren, lahir pada tanggal 3 Maret 1985 di Kabanjahe, beragama Kristen Protestan, anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan ayahanda Alm. G. Sembiring Kembaren dan M Br. Perangin-angin. Menikah dengan Ramli Purba, S.Si, dan sekarang menetap di Jalan Bunga Raya, Komplek Griya Asam Kumbang Blok B No. 48 Medan Sunggal.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Taman Kanak-kanak GBKP Ora Et Labora pada tahun 1990 dan diselesaikan pada tahun 1991, Sekolah Dasar Negeri 5 No. 040447 Kabanjahe pada tahun 1991 dan diselesaikan pada tahun 1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Kabanjahe pada tahun 1997 dan diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kabanjahe pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003, Strata Satu (S1) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Epidemiologi pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2008, Strata Dua (S2) di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.

Pada tahun 2008 sampai saat ini menjadi Dosen tetap di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Deli Husada Delitua, Medan.

iv


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Umum ... 8

1.3.2 Tujuan Khusus. ... 9

1.4. Hipotesis ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Pengertian Pneumonia ... 11

2.2. Etiologi Pneumonia ... 12

2.2.1 Bakteri ... 13

2.2.2 Virus ... 16

2.2.3 Mikoplasma ... 17

2.2.4 Protozoa ... 17

2.3 Patogenesis dan Penularan Pneumonia ... 17

2.4. Faktor Risiko ... 18

2.4.1 Faktor Anak ... 20

2.4.2 Faktor Lingkungan ... 25

2.4.3 Faktor Perilaku ... 26

2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan... 26

2.5. Klasifikasi dan Diagnosa Pneumonia ... 27

2.5.1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi 27 2.5.2. Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia ... 28

2.5.3. Pola Tata Laksana Pneumonia Menurut Depkes RI ... 28

2.5.4. Klasifikasi Pneumonia Menurut Ditjen PP dan PL ... 29

2.5.5 Diagnosis Pneumonia ... 30

2.6. Penanggulangan Pneumonia ... 31


(13)

2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat ... 31

2.6.2 Upaya Pencegahan Pneumonia ... 32

2.7. Landasan Teori ... 33

2.7.1 Pendekatan Model Segitiga Epidemiologi ... 33

2.7.2 Konsep Hendrik L. Bloom ... 35

2.8. Kerangka Konsep ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 39

3.1. Jenis Penelitian ... 39

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2.1. Lokasi ... 39

3.2.2. Waktu ... 40

3.3. Populasi dan Sampel ... 40

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 42

3.4.1. Jenis Data ... 42

3.4.2. Pengumpulan Data ... 42

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 42

3.6. Metode Pengukuran ... 45

3.7. Metode Analisis Data ... 47

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50

4.1. Gambaran Umum RSU Kabanjahe Kabupaten Karo ... 50

4.2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia pada Balita ... 51

4.2.1. Gambaran Faktor Balita ... 51

4.2.2. Gambaran Faktor Lingkungan ... 53

4.2.3. Gambaran Faktor Perilaku ... 55

4.2.4. Gambaran Faktor Pelayanan Kesehatan ... 55

4.3. Analisis Pengaruh antara Faktor Balita terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 56

4.4. Analisis Pengaruh antara Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 58

4.5. Analisis Pengaruh antara Faktor Perilaku terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 59

4.6. Analisis Pengaruh antara Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 60

4.7. Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 61

4.8. Analisis Faktor yang Paling Dominan Berpengaruh terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 62

4.8.1. Seleksi Bivariat ... 62

4.8.2. Pemodelan Multivariat ... 62

vii


(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 69

5.1. Pengaruh antara Faktor Balita terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 69

5.1.1. Status Imunisasi Campak ... 69

5.1.2. Status Imunisasi DPT ... 70

5.1.3. Status Pemberian Vitamin A ... 71

5.1.4. Status Gizi Balita ... 72

5.1.5. ASI Eksklusif ... 74

5.1.6. Berat Badan Lahir ... 75

5.1.7. Riwayat Asma ... 76

5.2. Pengaruh antara Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 77

5.2.1. Pendidikan Ibu... 77

5.2.2. Pekerjaan Ibu ... 78

5.2.3. Sosial ekonomi ... 79

5.3. Pengaruh antara Faktor Perilaku terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 80

5.4. Pengaruh antara Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 81

5.5. Analisis Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 82

5.6. Faktor Risiko Paling Dominan Berpengaruh terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 83

5.7. Keterbatasan Penelitian ... 85

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

6.1. Kesimpulan ... 87

6.2. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

LAMPIRAN ... 93


(15)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

2.1. Kriteria WHO Terhadap Pengobatan Pada Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai Dengan

Klasifikasi Klinis Penderita ... 30

2.2. Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan Menurut Umur Anak. ... 30

3.1. Besar Sampel Berdasarkan Variabel Penelitian Sebelumnya ... 41

3.2 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 45

3.3. Dasar Perhitungan Studi Kasus Kontrol ... 48

4.1 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 51

4.2 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 53

4.3 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Perilaku di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 55

4.4 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Pelayanan Kesehatan di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 55

4.5 Pengaruh Faktor Balita terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 56

4.6 Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 58

4.7 Pengaruh Faktor Perilaku terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 59

4.8 Pengaruh Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 60

4.9 Hasil Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 61

ix


(16)

4.10 Analisis Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 62 4.11 Langkah Pertama Regresi Logistik Analisis Faktor Risiko Kejadian

Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 64 4.12 Hasil Uji Interaksi ... 65 4.13 Hasil Akhir Analisis Regresi Logistik Ganda Untuk Pemodelan

Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 65

x


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Tabel Halaman

2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi ... 33

2.2. Faktor yang Memengaruhi Status Kesehatan ... 35

2.4. Kerangka Konsep ... 36

3.1 Skema Penelitian ... 39

xi


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 94

2. Master Data Penelitian ... 98

3. Surat Penelitian ... 100

4. Hasil Output SPSS Penelitian ... 101

xii


(19)

Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun (Balita) di dunia. Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000 kelahiran hidup. Tujuan penelitian ini menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013.

Jenis Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode retrospective study

melalui pendekatan kasus kontrol yaitu penelitian analitik yang bersifat observasional. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang datang berobat ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo pada tahun 2013.. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dan dianalisis dengan regresi logistik

berganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh variabel status imunisasi DPT, berat badan lahir, riwayat asma, pekerjaan ibu, kebiasaan merokok dan penggunaan pelayanan kesehatan dengan kejadian pneumonia, dengan variabel paling dominan berpengaruh adalah kebiasaaan merokok.

Perlu dilakukan peningkatan kegiatan edukasi kepada orang tua yang mempunyai balita mengenai pentingnya pemberian imunisasi campak dan DPT yang lengkap, pemberian ASI Eksklusif, pemenuhan gizi optimal, bahaya merokok, serta dorongan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Kata kunci : Faktor Risiko, Pneumonia Balita

ABSTRACT i


(20)

Pneumonia is the number one killer for children under five years old (Balita) throughout the world. It constitutes the process of acute infection in lung tissue (alveoli), and it can be detected by referring to the clinical symptoms and to supporting examinations such as x-rays and laboratory. The mortality rate of children under five years old who suffer from pneumonia in Indonesia is estimated below four per 1,000 life births. The objective of the research was to analyze the risk factor of the incident of pneumonia in children under five years old in the Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.

The type of the research was a retrospective study with control case approach which was an observational analytic research. The population was children under five years old who visited Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.

The result of the research showed that there was the influence of the variables of DPT immunization status, the weight of the new born babies, the history of asthma, mothers’ occupation, smoking habit, and the use of health service on the incident of pneumonia. The variable which had the most dominant influence was smoking habit.

It is recommended that the education activity for parents who have children under five years old about the importance of giving measles immunization and complete DPT, giving exclusive ASI (breast milk), fulfilling optimal nutrition, warning toward the danger of smoking, and encouraging to using health service needs to be increased.

Keywords: Risk Factor, Pneumonia in Children under Five Years Old

KATA PENGANTAR ii


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium Development Goals (MDGs) yang sering disebut Tujuan Pembangunan Milenium berkomitmen mewujudkan tujuan MDGs tersebut, sebagai perwujudan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik. Secara nasional komitmen tersebut dituangkan dalam berbagai Dokumen Perencanaan Nasional, antara lain dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2004 – 2025, kemudian dipertegas pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2010–2014 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan (Bappenas, 2010).

Sampai tahun 2010, Indonesia telah mencapai berbagai sasaran dari Tujuan Pembangunan Milenium yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: (a) sasaran yang telah dicapai; (b) sasaran yang menunjukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on track); dan (c) sasaran yang masih memerlukan upaya keras untuk pencapaiannya (Bappenas, 2010). Salah satu sasaran dari Tujuan Pembangunan Milenium yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 adalah keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia untuk menurunkan angka kematian balita dari 97 per 1.000 kelahiran pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran pada tahun 2007 dan pada


(22)

tahun 2011 telah berhasil turun sampai 32 per 1.000 kelahiran. Sehingga pada tahun 2011 dari 41 negara bagian dari Asia-Pacific, Indonesia menduduki posisi ke-17 negara yang memiliki jumlah kematian anak usia dibawah 5 tahun (SDKI, 2007; UNICEF, 2012a).

Masa lima tahun pertama merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini sangat pendek serta tidak dapat diulangi lagi, maka masa balita disebut juga sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan” (window opportunity) dan “masa kritis” (critical period). Masa balita merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Depkes RI, 2006). Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan terhadap penyakit yang dapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan menjadi terganggu atau bahkan dapat menimbulkan kematian (WHO, 2008).

The United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyebutkan bahwa angka kematian balita adalah salah satu indikator penting untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat. Dari 6,9 juta kematian anak dibawah 5 tahun yang terjadi di tahun 2011 diseluruh dunia, hampir dua pertiga (64%) disebabkan karena penyakit menular dengan kondisi seperti pneumonia, diare, malaria, meningitis, tetanus, HIV dan campak (UNICEF, 2012b).


(23)

Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun (Balita) di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain (Depkes RI, 2002). Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pneumonia merupakan penyebab kematian kedua tertinggi setelah diare diantara balita. Proporsi pneumonia sebagai penyebab kematian sebesar 15,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian balita di Indonesia (Riskesdas, 2007).

Menurut Wilson (2006), pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Pneumonia juga didefenisikan sebagai proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi pada bronkus yang biasa disebut bronchopneumonia (Pusat Informasi Penyakit Infeksi, 2007).

Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa (Misnadiarly, 2008). Di Amerika Serikat misalnya pada tahun 2007 terdapat 1,2 juta orang dirawat di rumah sakit dengan pneumonia dan lebih dari 52.000 orang meninggal akibat penyakit ini, di dunia setiap 20 detik seorang anak meninggal akibat pneumonia (CDC, 2012). Daerah Eropa dan Amerika Utara kejadian pneumonia 34- 40 kasus per 1.000 anak, kebanyakan kasus


(24)

pneumonia pada anak usia prasekolah yaitu, empat bulan sampai lima tahun (Ostapchuk, dkk, 2004). Menurut UNICEF pada tahun 2010 dari hasil distribusi penyebab kematian 7,6 juta balita di dunia, kontribusi terbesar adalah disebabkan oleh pneumonia yaitu sebesar 18%, yang terjadi pada postneonatal sebesar 14% dan neonatal sebesar 4% (UNICEF, 2012b). Didalam Pedoman Pengendalian ISPA tahun 2011 menyebutkan bahwa di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik). Kematian akibat pneumonia sangat terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih dari 98% kematian balita akibat pneumonia dan diare terjadi dinegara berkembang.

Di kawasan Asia-Pasifik diperkirakan sebanyak 860.000 balita meninggal dunia setiap tahunnya atau sekitar 98 anak meninggal setiap jam. Pneumonia merupakan “predator” balita nomor satu di negara berkembang. Kematian umumnya adalah pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Depkes RI, 2007). WHO memperkirakan lebih dari 90% kematian anak disebabkan oleh penyakit infeksi pneumokokus yang terjadi di negara berkembang (PERSI, 2011). Dari 15 negara dengan jumlah tertinggi kasus baru pneumonia, Indonesia menempati posisi ke-enam dengan rincian, India (43 juta), China (21,1 juta), Pakistan (9,8 juta), Bangladesh (6,4 juta), Nigeria (6,1 juta) dan Indonesia (6,0 juta) (WHO, 2008).

Proporsi kematian balita akibat pneumonia di Indonesia mencapai 30 %. Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2002a). Menurut Survei Demografi Kesehatan


(25)

Indonesia, prevalensi Pneumonia Balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2 % pada tahun 2007.

Berdasarkan data profil Kesehatan Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2010 diperoleh jumlah kasus pneumonia yang meningkat secara bermakna. Untuk tahun 2007 jumlah kasus pneumonia pada balita sebanyak 477.420 kasus (21,52%), tahun 2008 sebanyak 392.923 kasus (18,81%), tahun 2009 sebanyak 390.319 kasus (22,18%), tahun 2010 sebanyak 499.259 kasus (23%), dan tahun 2011 sebanyak 480.033 kasus (20,59%). Case Fatality Rate (CFR) pneumonia paling tinggi di antara 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit yaitu tahun 2006 sebesar 2,92%, selanjutnya pada tahun 2007 sebesar 3,8%, pada tahun 2009 sebesar 6,63% dan pada tahun 2010 sebesar 7,60%. Insiden pneumonia balita tertinggi (>4%) pada tahun 2005 ada di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Bangka Belitung, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tengah (Bulletin Jendela Epidemiologi, 2010).

Pada tahun 2011 dari 33 provinsi di Indonesia, Sumatera Utara merupakan provinsi yang menduduki posisi ke-7 tertinggi dengan 16.688 jumlah kasus pneumonia pada balita. Dengan jumlah kematian balita akibat pneumonia sebanyak 56 kasus (CFR sebesar 3,35‰) (Profil Kesehatan RI, 2012).

Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari faktor Risiko pneumonia. Faktor Risiko yang teridentifikasi meliputi: status gizi, berat lahir rendah, kurangnya pemberian ASI Eksklusif, imunisasi campak dan kepadatan rumah (WHO-UNICEF, 2006). Berdasarkan hasil penelitian di beberapa Negara dan di Indonesia


(26)

dan berdasarkan publikasi ilmiah, dilaporkan bahwa faktor Risiko yang dapat meningkatkan insiden pneumonia balita yaitu umur kurang dari 2 bulan, jenis kelamin laki-laki, status gizi kurang, berat badan lahir rendah, pemberian ASI tidak memadai, membedung anak (menyelimuti anak) berlebihan, defisiensi vitamin A dan pemberian makanan terlalu dini (Alimul, A. H., 2008).

Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang bervariasi. Menurut Prayudhy (2007), faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita adalah sosial ekonomi, dimana besar Risiko balita dari keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah untuk terkena pneumonia adalah 1,75 kali lebih besar dibandingkan dari keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi. Faktor lingkungan yang terdiri dari kepadatan rumah, ventilasi rumah, dan letak dapur. Besarnya Risiko balita yang tinggal di rumah padat untuk terkena pneumonia 1,71 kali lebih besar dibandingkan yang tinggal di rumah tidak padat. Untuk ventilasi rumah yang buruk, balita akan beRisiko terkena pneumonia 1,78 kali lebih besar dibandingkan yang tinggal di rumah dengan ventilasi rumah baik. Sedangkan untuk letak dapur, dimana besarnya Risiko balita yang kamar tidurnya menyatu atau dekat dengan dapur untuk terkena pneumonia adalah 1,91 kali lebih besar dibandingkan yang jauh dari dapur. Sedangkan menurut Heda Melinda, Enny Harliany dan Nia Adriani (2010), faktor Risiko terjadinya morbiditas pneumonia berat pada balita adalah kurangnya sinar matahari yang masuk kedalam rumah dan balita tidak mendapat ASI secara Eksklusif. Pada tahun 2011, Evi Risa, Hammad dan Ferliansyah menyatakan bahwa pengetahuan ibu yang tidak baik tentang pencegahan terjadinya pneumonia pada


(27)

balita akan meningkatkan Risiko kejadian pneumonia pada anak. Susi Hartati (2011), menyatakan di Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta, faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita yaitu usia, riwayat pemberian ASI, status gizi, riwayat imunisasi campak dan imunisasi DPT. Sebuah penelitian Hospital-Based

yang dilakukan oleh Shah, et al (1996), dilakukan pada 400 anak dibawah usia 5 tahun untuk mengidentifikasi faktor Risiko pneumonia berat. Faktor Risiko yang muncul dan signifikan yaitu usia muda, imunisasi dan berbagi kamar tidur, pendidikan orang tua, pencemaran lingkungan, penghentian pemberian ASI pada bayi muda, kekurangan gizi, tidak berespon terhadap pengobatan dini dan pemanfaatan obat non-allophatic. Koreksi faktor-faktor ini mungkin dapat mengurangi kematian akibat ISPA. Penelitian yang dilakukan oleh Tiewsoh, et al. (2009) pada 200 anak usia 2-60 bulan yang dirawat dengan pneumonia berat sesuai criteria dari WHO di rumah sakit di India didapatkan faktor Risiko yang terkait dengan kegagalan pengobatan dan memerlukan perubahan antibiotik serta lamanya hari rawat di rumah sakit adalah kepadatan rumah dan tidak mendapatkan ASI Eksklusif.

Melihat banyaknya faktor Risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dan tingginya angka kematian akibat pneumonia pada balita, maka strategi penanggulangan pneumonia penting dilakukan oleh setiap Negara untuk mendukung tercapainya tujuan keempat dari MDGs tahun 2015 yaitu mengurangi kematian balita 2/3 dari angka kematian tahun 1990.

Survei pendahuluan yang dilakukan, pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu ditangani di Kabupaten Karo, khususnya pneumonia


(28)

yang terjadi pada balita. Dimana Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang digolongkan kedalam penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan menduduki posisi pertama yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Kabupaten Karo. Jumlah kasus pneumonia pada balita yang terjadi di Kabupaten Karo adalah 283 kasus yang menyebar di 17 kecamatan (Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, 2012). Dari jumlah seluruh kasus tersebut 96 kasus tercatat sebagai pasien rawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Melihat masih tingginya kasus pneumonia di Rumah Sakit Umum Kabanjahe, salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam upaya menurunkan kasus pneumonia adalah dengan melihat faktor Risiko terjadinya pneumonia. Dengan diketahuinya faktor Risiko tersebut diharapkan perencanaan pencegahan dan penanggulangan penyakit pneumonia pada balita dapat lebih efektif.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan kasus pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe yang masih tinggi, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis faktor Risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013


(29)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis pengaruh faktor balita (status imunisasi campak, imunisasi DPT, status pemberian vitamin A, status gizi balita, pemberian ASI eksklusif, berat badan lahir, riwayat Asma) terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

2. Menganalisis pengaruh faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi) terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

3. Menganalisis pengaruh faktor perilaku (kebiasaan merokok anggota keluarga) terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

4. Menganalisis pengaruh faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

5. Menganalisis faktor Risiko yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Ada pengaruh faktor balita (status imunisasi campak, imunisasi DPT, status


(30)

lahir, riwayat Asma), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

2. Ada pengaruh faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

3. Ada pengaruh faktor perilaku (kebiasaan merokok anggota keluarga), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

4. Ada pengaruh faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian menjadi acuan sebagai sumber informasi mengenai kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo sehingga memberikan masukan kepada Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Kabupaten Karo untuk dapat disusun langkah nyata menurunkan serta menanggulangi kasus pneumonia pada balita.

2. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pneumonia

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit pada anak usia < 2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun (Depkes RI, 2002b).

Definisi lainnya disebutkan pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan awal masa kanak-kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit primer atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009). Menurut Misnadiarly (2008), pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencim paru, dari broncheolus terminalis yang mencakup broncheolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. UNICEF/WHO (2006) menyatakan pneumonia merupakan sakit yang terbentuk dari infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara spesifik mempengaruhi paru-paru dan Depkes RI (2007) mendefenisikan pneumonia sebagai


(32)

salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang mengenai bagian paru (jaringan alveoli).

2.2 Etiologi Pneumonia

Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditegakkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen fungsi paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian (Depkes RI, 2002b).

Oleh karena alasan tersebut di atas maka penentuan etiologi pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa Streptococcus pneumoniae

dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi di negara berkembang. Jenis jenis bakteri ini ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak


(33)

umumnya disebabkan oleh virus (Fein, dkk, 2006). Berikut beberapa agent penyebab terjadinya pneumonia.

2.2.1 Bakteri

1. Streptococcus pneumonia

Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini, yang sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai, mempunyai simpai polisakarida yang mempermudah penentuan tipe dengan antiserum spesifik. Organisme ini adalah penghuni normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya. Pada orang dewasa, tipe 1-8 menyebabkan kira-kira 75% kasus pneumonia pneumokokus dan lebih dari setengah kasus bakteremia pneumokokus yang fatal; pada anak-anak, tipe 6, 14, 19, dan 23 merupakan penyebab yang paling sering. Pneumokokus menyebabkan penyakit melalui kemampuannya berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan toksin yang bermakna. Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya yang mencegah atau menghambat penghancuran sel yang bersimpai oleh fagosit. Serum yang mengandung antibodi terhadap polisakarida tipe spesifik akan melindungi terhadap infeksi. Bila serum ini diabsorbsi dengan polisakarida tipe spesifik, serum tersebut akan kehilangan daya pelindungnya. Hewan atau manusia yang diimunisasi dengan polisakarida pneumokokus tipe tertentu selanjutnya imun terhadap tipe pneumokokus itu dan mempunyai antibodi presipitasi dan opsonisasi untuk tipe polisakarida tersebut.


(34)

Pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa pneumokokus virulen, selaput mukosa pernapasan normal harus mempunyai imunitas alami yang kuat terhadap pneumokokus. Infeksi pneumokokus menyebabkan melimpahnya cairan edema fibrinosa ke dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan leukosit, yang mengakibatkan konsolidasi beberapa bagian paru-paru. Banyak pneumokokus ditemukan di seluruh eksudat, dan bakteri ini mencapai aliran darah melalui drainase getah bening paru-paru. Dinding alveoli tetap normal selama infeksi. Selanjutnya, sel-sel mononukleus secara aktif memfagositosis sisa-sisa, dan fase cair ini lambat-laun diabsorbsi kembali. Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan dicerna di dalam sel.

Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka kematian yang paling tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira merupakan 60-80% dari semua kasus pneumonia oleh bakteri. Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah pembawa bakteri yang tinggi. Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat memberikan perlindungan 90% terhadap bakteremia pneumonia (Brooks, G.F, dkk, 1996).

2. Hemophylus influenza

Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran napas bagian atas pada manusia. Bakteri ini merupakan penyebab meningitis yang penting pada anak-anak dan kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak dan orang dewasa. Hemophylus influenzae bersimpai dapat digolongkan dengan tes pembengkakan simpai menggunakan antiserum spesifik. Kebanyakan Hemophylus influenzae pada flora normal saluran napas bagian atas tidak bersimpai.


(35)

Pneumonitis akibat Hemophylus influenzae dapat terjadi setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas pada anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang yang lemah. Orang dewasa dapat menderita bronkitis atau pneumonia akibat influenzae. Hemophylus influenzae tidak menghasilkan eksotoksin. Organisme yang tidak bersimpai adalah anggota tetap flora normal saluran napas manusia. Simpai bersifat antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus. Bentuk Hemophylus influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi pernapasan supuratif (sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil, meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari 3-5 tahun mempunyai daya bakterisidal kuat terhadap Hemophylus influenzae, dan infeksi klinik lebih jarang terjadi. Hemophylus influenzae tipe b masuk melalui saluran pernapasan. Tipe lain jarang menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal yang mengenai sinus-sinus atau telinga tengah. Hemophylus influenzae tipe b dan pneumokokus merupakan dua bakteri penyebab paling sering pada otitis media bakterial dan sinusitis akut. Organisme ini dapat mencapai aliran darah dan dibawa ke selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-sendi dan menyebabkan artritis septik. Hemophylus influenzae sekarang merupakan penyebab tersering meningitis bakteri pada anak-anak berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS.

Bayi di bawah umur 3 bulan dapat mengandung antibodi dalam serum yang diperoleh dari ibunya. Selama masa ini infeksi Hemophylus influenzae jarang terjadi, tetapi kemudian antibodi ini akan hilang. Anak-anak senng mendapatkan infeksi


(36)

penyakit pernapasan atau meningitis (Hemophylus influenzae adalah penyebab paling sering dari meningitis bakterial pada anak-anak dari umur 5 bulan sampai 5 tahun). Angka kematian meningitis Hemophylus influenzae yang tidak diobati dapat mencapai 90%. Influenzae tipe b dapat dicegah dengan pemberian vaksin konjugat

Haemophilus b pada anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat diimunisasi dengan vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu dari dua pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran standard. Anak-anak berusia 15 bulan atau lebih dapat menerima vaksin konjugat

Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid difteri (yang tidak bersifat imunogenik pada anak-anak yang lebih muda). Vaksin tidak mencegah timbulnya pembawa untuk Hemophylus influenzae. Pemanfaatan vaksin Hemophylus influenzae

tipe b secara luas telah sangat menurunkan kejadian meningitis Hemophylus influenzae pada anak-anak. Kontak dengan pasien yang menderita infeksi klinik

Hemophylus influenzae memberi risiko kecil bagi orang dewasa, tetapi member risiko nyata bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak nonimun lain yang berusia di bawah 4 tahun yang berkontak erat (Brooks, G.F, dkk, 1996).

2.2.2 Virus

Setengah kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang sering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernafasan bagian atas pada balita, gangguan ini bias memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi


(37)

terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bias berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).

2.2.3 Mikoplasma

Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bias diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).

2.2.4 Protozoa

Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocysititis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau specimen yang berasal dari paru (Misnadiarly, 2008).

2.3 Patogenesis dan Penularan Pneumonia

Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran nafas bagian atas sama dengan di saluran nafas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian


(38)

ditemukan jenis mikroorganisme yang berbeda. Pneumonia terjadi jika mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Agen-agen mikroba yang menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi secret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol yang infeksius dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi (Perhimpunan Ahli Paru, 2003).

Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara. Virus dan bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui droplet udara lewat batuk atau bersin. Selain itu, radang paru-paru bias menyebar melalui darah, terutama selama dan segera setelah lahir.

2.4 Faktor Risiko

Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA 28%. Artinya bahwa dari 100 bayi yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA dan terutama 80% kasus kematian ISPA pada balita adalah akibat pneumonia. Angka kematian akibat pneumonia pada akhir tahun 2000 diperkirakan sekitar 4,9/1000 balita (Surkesnas, 2001).


(39)

Menurut Depkes RI (2002), pneumonia dapat menyerang semua orang, semua umur, jenis kelamin serta tingkat sosial ekonomi. Kejadian kematian pneumonia pada balita berdasarkan SKRT (2001) urutan penyakit menular penyebab kematian pada bayi adalah pneumonia, diare, tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara proporsi penyakit menular penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%), diare (19,2%), infeksi pernafasan akut (7,5%), malaria (7%) serta campak (5,2%).

Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi dan balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian balita kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian pada balita di Indonesia. Kematian akibat pneumonia sangat terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih 98% kematian balita akibat pneumonia dan diare terjadi di Negara berkembang (Riskesdes 2007).

Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita. Menurut Depkes (2004), dibagi menjadi faktor balita, faktor ibu dan faktor lingkungan dan sosioekonomis. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan insidens pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, membedong anak (menyelimuti berlebihan) dan defisiensi vitamin A.


(40)

Sedangkan faktor risiko meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, tingkat sosioekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat pendidikan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, dan menderita penyakit kronis. (Depkes RI, 2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi menjadi 3 faktor yaitu: faktor balita, faktor lingkungan dam faktor perilaku.

2.4.1 Faktor Anak a. Umur

Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari kelompok anak berumur anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun mendapatkan risiko pneumonia disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang saluran pernafasan yang relatif masih sempit. Menurut Daulaire (1991), risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.

b. Jenis kelamin

Dalam program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (P2 ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004). Menurut Sunyataningkamto (2004), hal ini disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan


(41)

tubuh antara anak laki-laki dan perempuan. Dari penelitian di Indramayu yang dilakukan selama 1,5 tahun didapatkan kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak menyerang balita berjenis kelamin laki-laki (52,9%) dibandingkan perempuan (Sutrisna, 1993).

c. Status Imunisasi Campak

Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada balita. Salah satu pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Sekitar 43,1% - 76,6% kematian akibat ISPA yang berkembang dapat dicegah dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis, dan Campak. Bila anak sudah dilengkapi dengan imunisasi DPT dan campak, dapat diharapkan perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam pemberantasan ISPA. Dengan imunisasi campak yang efektif, sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah. Dari hasil pengamatan selama 58 tahun periode penelitian di Amerika Serikat terhadap kematian karena pneumonia balita diamati sejak tahun 1939 sampai 1996 menunjukkan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia (Sjenileila, 2002).


(42)

d. Imunisasi DPT

Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua cara. Pertama, vaksinasi membantu mencegah anak dari infeksi yang berkembang langsung menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya, campak dan pertusis). Tiga vaksin yang memiliki potensi untuk mengurangi kematian anak dari pneumonia adalah vaksin campak, Hib, dan vaksin pneumokokus. Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi yang efektif untuk mengurangi faktor yang meningkatkan kematian akibat ISPA (UNICEF, WHO 2006). Menurut Susi (2011), balita yang tidak mendapatkan imunisasi DPT mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali disbanding balita yang mendapatkan imunisasi DPT dan hasil uji statistic menyatakan ada hubungan yang bermakna antara riwayat imunisasi DPT pada balita dengan kejadian pneumonia (p value = 0,049: α = 0,05).

e. Status Pemberian Vitamin A

Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Pemberian kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan. Pemberian vitamin A berperan sebagai protektif melawan infeksi dengan memelihara


(43)

integritas epitel/fungsi barier, kekebalan tubuh dan mengatur pengembangan dan fungsi paru (Klemm, 2008).

Menurut Sutrisna (1993), dikatakan bahwa ada hubungan antara pemberian vitamin A dengan risiko terjadinya ISPA. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anak dengan Xerophtalamin ringan memiliki risiko dua kali menderita ISPA, terutama anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun.

f. Status Gizi Balita

Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya pneumonia. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Sutrisna, 1993). Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto, 2004). Sjenileila Boer (2002) menjelaskan bahwa status gizi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia dengan nilai OR: 3,194 (95% CI: 1,585-6,433).

g. Pemberian ASI Eksklusif

Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi. ASI juga memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi patogen yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama pada bulan pertama kehidupan bayi dapat mengurangi insiden dan keparahan penyakit infeksi. Sehingga pemberian


(44)

ASI secara Eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Hasil penelitian Naim (2001) di Jawa Barat menjelaskan anak usia 4 bulan – 24 bulan yang tidak mendapat ASI Eksklusif menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko terjadinya pneumonia 4,76 kali disbanding anak umur 4 bulan-24 bulan yang diberi ASI eksklusif ditunjukkan dengan nilai statistic OR=4,76 (95% CI: 2,98-7,59).

h. Berat Badan Lahir

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Hal ini terutama terjadi pada bulan-bulan pertama kelahiran sebagai akibat dari pembentukan zat anti kekebalan yang kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi terutama pneumonia dan penyakit saluran pernafasan lainnya. Hasil penelitian Herman (2002) di Sumatera Selatan menjelaskan balita yang mempunyai riwayat berat badan lahir rendah memilki risiko 1,9 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mempunyai riwayat berat badan normal namun efek tersebut secara statistic tidak bermakna hal ini ditunjukkan dengan nilai OR= 1,9 (95% CI: 0,7-4,9) p=0,175.

i. Riwayat Asma

Dawood (2010) menjelaskan anak-anak dengan asma akan mengalami peningkatan risiko terkena radang paru-paru sebagai komplikasi dari influenza. Bayi dan anak-anak kurang dari lima tahun berisiko lebih tinggi mengalami pneumonia


(45)

sebagai komplikasi dari influenza saat dirawat di rumah sakit. Bayi usia 6 bulan-2 tahun dengan asma mempunyai risiko dua kali lebih tinggi menderita pneumonia. 2.4.2 Faktor Lingkungan

a. Pendidikan Ibu

Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan yaitu sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru. Pendidikan formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam membuat keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin mudah pula ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat pemahamannya terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit pada bayi dan anak balitanya. Hasil penelitian Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian pneumonia pada anak balita dimana ibu yang berpendidikan rendah mempunyai risiko 2 kali anak balitanya menderita pneumonia dibanding ibu yang berpendidikan tinggi (95%CI: 0,95-4,21).

b. Pekerjaan Ibu

Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu terbanyak yang terpakai setiap harinya. Hal ini memiliki kecenderungan menyita waktu dan perhatian ibu terhadap balita baik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga kondisi atau pekerjaan ibu akan berisiko terhadap kemungkinan risiko balita terkena pneumonia.

c. Sosial Ekonomi

Keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi, memiliki peluang lebih besar untuk mencukupi makanan untuk bayi dan balitanya sehingga anak akan


(46)

mempunyai daya tahan yang lebih baik untuk menangkal ISPA/pneumonia. Disamping itu, tingkat pendapatan yang tinggi juga akan memberikan peluang yang lebih besar untuk mempunyai perumahan yang lebih memenuhi syarat sehingga lebih memungkinkan terhindar dari serangan ISPA. Hasil penelitian yang dilakukan Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian pneumonia dengan nilai p=0,0005 dengan nilai OR 2,39 yang artinya anak balita yang berasal dari keluarga status ekonomi rendah mempunyai risiko 2,39 kali terkena pneumonia daripada balita dari status ekonomi tinggi.

2.4.3 Faktor Perilaku

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapat ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA balita yang orang tuanya merokok mempunyai risiko 4,63 kali lebih besar terkena penyakit ISPA dibandingkan dengan balita yang orang tuanya tidak merokok (Suhandayani, 2007). Sunyataningkamto (2004), menjelaskan bahwa asap rokok akan mengurangi fungsi silia, menghancurkan sel epitel bersilia yang akan diubah menjadi sel skuamosa dan menurunkan humoral/imunitas seluler baik local maupun sistemik. Kebiasaan merokok juga dapat menambah pengeluaran rumah tangga yang tidak memiliki pengaruh penting terhadap peningkatan status kesehatan keluarga.

2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut Hatta (2001), jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia balita. Dikatakan bahwa balita


(47)

yang dekat dengan sarana kesehatan mempunyai efek perlindungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang jauh dari sarana kesehatan.

2.5 Klasifikasi dan Diagnosis Pneumonia

2.5.1 Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi

Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi dapat dibedakan menjadi 3 kategori yaitu:

1. Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yaitu pneumonia yang terjadi infeksi diluar rumah sakit, seperti rumah jompo, home care (Schmidt, 2007).

2. Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial yaitu pneumonia yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat di rumah sakit baik di ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan ventilator. Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatan dan sepertiganya mungkin akan meninggal (Fein, dkk, 2006)

3. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu, pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilasi mekanik di ICU (Torres, S. Ewig, 2011).


(48)

2.5.2 Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia

Beberapa kuman penyebab terjadinya pneumonia dapat dibagi menjadi:

1. Pneumonia bacterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat terjadi pada semua usia. Beberapa kuman mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiela pada penderita alkoholik dan staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

2. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh mycoplasma, legionella dan Chlamydia

3. Pneumonia virus

4. Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering merupakan infeksi sekunder, terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised)

Kriteria yang digunakan dalam tata laksana penderita ISPA adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas.

2.5.3 Pola Tatalaksana Pneumonia Menurut Depkes RI (2000) Pola tata laksana ini dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu: 1. Pemeriksaan

2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya 3. Penentuan klasifikasi penyakit 4. Pengobatan


(49)

2.5.4. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Ditjen PP dan PL (2005)

Pada balita klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur < 2 bulan dan umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu sebagai berikut:

1. Untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: a. Pneumonia berat: ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi

pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke adalam (severe chest indrawing)

b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas cepat

2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

a. Pneumonia berat: bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat anak diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau meronta) b. Pneumonia: bila disertai nafas cepat

c. Bukan pneumonia: mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bawah ke dalam. WHO merekomendasikan klasifikasi klinis dan pengobatan yang diberikan pada balita usia 2 bulan sampai 5 tahun yang memiliki batuk atau kesukaran bernafas, dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut (Rizanda, 2006):


(50)

Tabel 2.1 Kriteria WHO terhadap Pengobatan pada Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai dengan

Klasifikasi Klinis Penderita

Kriteria Pneumonia Gejala Klinis dan Pengobatannya Bukan Pneumonia

Pneumonia

Pneumonia Berat

Tidak ada sesak nafas, tidak ada tarikan dinding dada. Tidak diberikan antibiotik.

Nafas cepat, tidak ada tarikan dinding dada. Pengobatan di rumah dengan pemberian antibiotic kotrimoxal atau amoksisilin.

Nafas cepat, tarikan dinding dada, tidak ada sianosis, masih mampu makan/minum. Dirujuk ke rumah sakit

Pneumonia sangat Berat Nafas cepat, tarikan dinding dada, ada sianosis, tidak mampu makan/minum, kejang, sukar dibangunkan, stidor sewaktu tenang, gizi buruk. Dirujuk ke rumah sakit

2.5.5 Diagnosis Pneumonia

Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai program P2 ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur).

Panduan WHO dalam menentukan seorang anak menderita nafas cepat dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut (Rizanda, 2006):

Tabel 2.2 Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan Menurut Umur Anak

Umur Anak Nafas Cepat Bila Frekuensi Nafas Lebih Dari Kurang dari 2 bulan

2 bulan sampai 12 bulan 12 bulan sampai 5 tahun

60 kali per menit 50 kali permenit 40 kali permenit

Menurut Misnadiarly (2008), tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain: batuk nonproduktif, ingus (nasal discharge), suara nafas lemah, pemanfaatan


(51)

otot bantu nafas, demam, cyanosis (kebiru-biruan), Thorax Photo menunjukkan infiltrasi melebar, sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak nafas, menggigil, berkeringat, lelah, terkadang kulit menjadi lembab, mual dan muntah.

Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit kepala.

2.6 Penanggulangan Pneumonia

2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat

Penyuluhan kesehatan masyarakat dianggap sebagai upaya yang paling penting dalam pengendalian pneumonia dan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan penatalaksanaan kasus dan perbaikan kesehatan lingkungan. Sasaran dari penyuluhan kesehatan adalah ibu dan pengasuh balita sebagai sasaran primer sedangkan sasaran sekunder adalah petugas kesehatan, kader posyandu, pengambil keputusan, perencana, pengelola program serta sektor lain yang terkait. Tujuan dari promosi kesehatan adalah mengupayakan agar masyarakat mengambil perilaku sehingga sesuai dengan syarat-syarat kesehatan.


(52)

2.6.2 Upaya Pencegahan Pneumonia

Menurut WHO (2010), WHO dan UNICEF pada tahun 2009 membuat rencana aksi global Global Action Plan For The Prevention (GAPP) untuk pencegahan dan pengendalian pneumonia. Tujuannya adalah untuk mempercepat kontrol pneumonia dengan kombinasi intervensi untuk melindungi, mencegah dan mengobati pneumonia pada anak dengan tindakan yang meliputi 1) melindungi anak dari pneumonia termasuk mempromosikan pemberian ASI Eksklusif dan mencuci tangan, mengurangi polusi udara didalam rumah, 2) mencegah pneumonia dengan pemberian vaksinasi, 3) mengobati pneumonia difokuskan pada upaya bahwa setiap anak sakit memiliki akses ke perawatan yang tepat baik dari petugas kesehatan berbasis masyarakat atau di fasilitas kesehatan jika penyakitnya bertambah berat dan mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka butuhkan untuk kesembuhan.

Upaya pencegahan yang ditujukan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia antara lain dengan:

1. Status imunisasi campak

Imunisasi campak untuk mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan oleh komplikasi penyakit campak. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa imunisasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia. 2. Perbaikan gizi keluarga untuk mengurangi malnutrisi sebagai salah satu faktor

risiko terjadinya pneumonia

3. Peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dengan berat rendah melalui upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak


(53)

4. Perbaikan kualitas lingkungan terutama mengurangi polusi udara dalam ruangan. 2.7 Landasan Teori

2.7.1 Pendekatan Model Segitiga Epidemiologi

Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Perubahan dari sektor lingkungan akan mempengaruhi host, sehingga akan timbul penyakit secara individu maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga dengan kejadian penyakit pneumonia yang berhubungan dengan penjamu, lingkungan dan agent. Pneumonia balita merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut, yaitu terjadi peradangan atau iritasi pada salah satu atau kedua paru, disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenza,

dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi pneumonia di negara berkembang. Pada prinsipnya kejadian penyakit yang digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan hubungan tiga komponen penyebab penyakit yaitu penjamu, agen dan lingkungan seperti gambar 2.3 dibawah ini:

Gambar 2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi Sumber: Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009)

AGENT

ENVIRONMENT HOST


(54)

Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen akan mengubah komponen lainnya, dengan akibat menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit.

Komponen untuk terjadinya penyakit Pneumonia adalah: 1. Host

Penjamu adalah manusia atau organisme yang rentan terhadap pengaruh agent. Dalam penelitian ini yang diteliti dari faktor penjamu adalah faktor balita (umur, jenis kelamin, status imunisasi campak, imunisasi DPT, status pemberian vitamin A, riwayat menderita campak, status gizi balita, pemberian ASI Eksklusif, berat badan lahir, riwayat asma).

2. Agent

Agent penyebab Pneumonia disebabkan infeksi Streptococcus pneumoniae

dan Hemophylus influenza, dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi pneumonia di negara berkembang

3. Environment

Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian agent maupun penjamu, tetapi mampu menginteraksikan agent penjamu. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi)


(55)

2.7.2 Konsep Model Hendrik L.Blum

Menurut teori Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (2007), status kesehatan dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi satu sama lain.

Keempat faktor tersebut adalah lingkungan, perilaku, keturunan dan pelayanan kesehatan.

Gambar. 2.2 Faktor yang mempengaruhi Status Kesehatan

Sumber: Hitchock, Schubert, Thomas (2001) dan Notoatmodjo (2007)

Keempat faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita adalah:

1. Keturunan

Faktor yang sulit untuk diintervensi karena bersifat bawaan dari orang tua. Penyakit yang dapat diturunkan orang tua dan dapat menjadi faktor risiko infeksi pneumonia adalah penyakit asma.

2. Pelayanan Kesehatan

Dari hasil penelitian Djaja (2001), menjelaskan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi akan lebih sadar membawa anaknya berobat ke fasilitas kesehatan, tetapi ibu

PELAYANAN KESEHATAN

PERILAKU

LINGKUNGAN KETURUNAN


(56)

dengan pendidikan rendah akan lebih memilih anaknya untuk berobat ke dukun dan mengobati sendiri.

3. Perilaku

Menurut Depkes RI (2001), semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh anggota keluarga semakin besar risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya jika merokok dilakukan oleh ibu bayi.

4. Lingkungan

Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi)


(57)

2.8 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam peneltian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3. berikut ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Sumber: Modifikasi Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009), Hitchock,

Schubert, Thomas (2001) dan Notoatmodjo (2007)

Dari gambar 2.3 di atas, dapat diketahui bahwa penyakit pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko yaitu faktor manusia dan perilakunya, faktor lingkungan dan faktor agen. Pada penelitian ini variabel dependen adalah kejadian Pneumonia Balita Faktor Balita:

a. Status imunisasi campak b. Status Imunisasi DPT c. Status pemberian vitamin A d. Status gizi balita

e. Pemberian ASI Eksklusif f. Berat badan lahir

g. Riwayat Asma

Faktor Lingkungan: a. Pendidikan Ibu

b. Pekerjaan Ibu c. Sosial ekonomi

Faktor Perilaku: Kebiasaan Merokok Faktor Pelayanan Kesehatan: Pemanfaatan pelayanan kesehatan


(58)

pneumonia balita sedangkan variabel independennya adalah berdasarkan faktor balita, faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan


(59)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode retrospective study

melalui pendekatan kasus kontrol yaitu penelitian analitik yang bersifat observasional, yang dilakukan dengan membandingkan antara sekelompok orang menderita penyakit (kasus) dengan sekelompok lainnya tidak menderita penyakit (kontrol), kemudian dicari faktor risiko timbulnya penyakit tersebut seperti gambar dibawah ini:

Gambar 3.1 Skema Penelitian

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo. Alasan pemilihan RSU Kabanjahe sebagai tempat penelitian dikarenakan di RSU ini ada tersedia data tentang pneumonia pada balita yang ingin diteliti dan belum pernah dilakukan penelitian mengenai faktor risiko terjadinya pneumonia pada balita.

Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (+)

39 Kasus Pneumonia


(60)

3.2.2. Waktu

Penelitian ini berlangsung selama 10 bulan terhitung mulai bulan November 2012 sampai Agustus 2013.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang datang berobat ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo pada tahun 2013.

Sampel penelitian terdiri dari:

a. Sampel kasus diambil secara consecutive sampling yaitu balita penderita pneumonia yang dijadikan sampel saat datang berobat ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe yang dinyatakan dengan surat keterangan oleh tenaga medis dan didukung hasil pemeriksaan laboratorium dan Rontgen yang tercatat di Rekam Medis RSU Kabanjahe Kabupaten Karo pada tahun 2013

b. Sampel kontrol adalah balita bukan penderita pneumonia yang merupakan pasien berobat ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe dengan pencocokan (matching) sama dengan kasus dalam hal umur, jenis kelamin pada tahun 2013.

Untuk menghitung besar sampel digunakan rumus:

Dimana, Keterangan:

n1= n2 = Besar sampel


(61)

zα = nilai deviasi normal α 5% = 1,96 zβ = nilai deviasi normal β 20% = 0,842 OR = Odds Rasio

p = proporsi faktor risiko q = 1-p

Besar sampel berdasarkan beberapa variabel dari penelitian terdahulu sesuai tabel berikut:

Tabel 3.1. Besar Sampel Berdasarkan Variabel Penelitian Terdahulu

Variabel OR p n1 = n2 Referensi

Umur 3,24 0,76 27 Susi (2011)

Status imunisasi 3,21 0,76 27 Susi (2011)

Status Pemberian Vit. A 3,80 0,79 21 Herman (2002) Status gizi balita 6,52 0,87 12 Susi (2011)

ASI Eksklusif 4,76 0,83 15 Naim (2001)

Berat badan lahir 2,08 0,68 58 Prayudhy (2007)

Pendidikan ibu 2,30 0,70 47 Hananto (2004)

Pekerjaan ibu 3,51 0,78 23 Lenni (2008)

Sosial ekonomi 10,01 0,91 9 Lenni (2008)

Kebiasaan merokok 4,63 0,82 17 Suhandayani (2007) Berdasarkan hasil perhitungan di atas didapat besar sampel minimal 58 balita penderita pneumonia. Sehingga jumlah sampel untuk kelompok kasus sebanyak 58 balita penderita pneumonia dan kelompok kontrol 58 orang balita bukan penderita pneumonia. Perbandingan kasus dengan kontrol adalah 1 : 1.


(1)

BBL(

1) -.328 .101 -.083 .073 1.000 .119 .047 .188 -.030 .222 .175 RIW

ASM A(1)

-.494 .338 -.175 .026 .119 1.000 .046 .169 -.040 .270 .212 PEN

DIB U2(1 )

-.538 -.044 .006 -.220 .047 .046 1.000 .218 .038 .084 .088 PEK

ERI BU2

(1)

-.364 -.015 -.216 .028 .188 .169 .218 1.000 -.002 .185 .220 SOS

EKO 2(1)

-.111 -.186 -.080 .037 -.030 -.040 .038 -.002 1.000 -.130 .017 MER

OKO K(1)

-.618 .367 -.159 -.096 .222 .270 .084 .185 -.130 1.000 .193 YAN

KES (1)

-.514 .182 -.218 .189 .175 .212 .088 .220 .017 .193 1.000

Cons tant

CAMP

AK(1) DPT(1) VITAM INA(1) STATG IZI(1) ASIE KS(1) BBL( 1) RIWA SMA( 1) PEN DIBU 2(1) PEKE RIBU2 (1) SOSE KO2(1 ) MERO KOK(1 ) YANK ES(1) Step 4 Con stan t 1.00

0 -.384 .147 -.146 -.335 -.507 -.536 -.366 -.645 -.516

DPT(

1) -.384 1.000 -.392 .027 .098 .336 -.032 -.006 .351 .194

VITA MIN A(1)

.147 -.392 1.000 -.259 -.083 -.173 .009 -.222 -.169 -.221 ASI

EKS (1)

-.146 .027 -.259 1.000 .073 .030 -.225 .026 -.088 .189

BBL(

1) -.335 .098 -.083 .073 1.000 .112 .055 .190 .217 .178

RIW ASM A(1)

-.507 .336 -.173 .030 .112 1.000 .051 .173 .272 .215

PEN DIB U2(1 )

-.536 -.032 .009 -.225 .055 .051 1.000 .214 .094 .082

PEK ERI BU2


(2)

(1) MER OKO K(1)

-.645 .351 -.169 -.088 .217 .272 .094 .188 1.000 .200

YAN KES (1)

-.516 .194 -.221 .189 .178 .215 .082 .224 .200 1.000

Step 5 Con stan t 1.00

0 -.465 .159 -.340 -.354 -.568 -.280 -.703 -.555

DPT(

1) -.465 1.000 -.390 .042 .092 .340 .022 .332 .195

VITA MIN A(1)

.159 -.390 1.000 -.267 -.076 -.161 -.243 -.150 -.208

ASI EKS (1)

-.340 .042 -.267 1.000 .089 .039 .048 -.063 .224

BBL(

1) -.354 .092 -.076 .089 1.000 .103 .167 .213 .159

RIW ASM A(1)

-.568 .340 -.161 .039 .103 1.000 .163 .279 .198

PEK ERI BU2

(1)

-.280 .022 -.243 .048 .167 .163 1.000 .152 .208

MER OKO K(1)

-.703 .332 -.150 -.063 .213 .279 .152 1.000 .188

YAN KES (1)

-.555 .195 -.208 .224 .159 .198 .208 .188 1.000

Step 6 Con stan t 1.00

0 -.417 -.344 -.328 -.547 -.218 -.693 -.537

DPT(

1) -.417 1.000 -.059 .065 .296 -.084 .270 .110

ASI EKS (1)

-.344 -.059 1.000 .072 .013 -.031 -.068 .187

BBL(

1) -.328 .065 .072 1.000 .077 .126 .191 .128

RIW ASM A(1)

-.547 .296 .013 .077 1.000 .125 .232 .175

PEK ERI BU2

(1)

-.218 -.084 -.031 .126 .125 1.000 .082 .147

MER OKO K(1)

-.693 .270 -.068 .191 .232 .082 1.000 .155

YAN KES (1)

-.537 .110 .187 .128 .175 .147 .155 1.000

Step 7 Con stan t 1.00

0 -.499 -.335 -.600 -.275 -.763 -.515

DPT(

1) -.499 1.000 .060 .326 -.059 .282 .148


(3)

1) RIW ASM A(1)

-.600 .326 .065 1.000 .142 .259 .186

PEK ERI BU2

(1)

-.275 -.059 .134 .142 1.000 .108 .180

MER OKO K(1)

-.763 .282 .236 .259 .108 1.000 .178

YAN KES (1)


(4)

Model if Term Removed

Variable

Model Log Likelihood

Change in -2 Log

Likelihood df

Sig. of the Change

Step 1 CAMPAK -43.475 .087 1 .768

DPT -46.321 5.779 1 .016

VITAMINA -43.973 1.082 1 .298

STATGIZI -43.431 .000 1 .996

ASIEKS -44.364 1.864 1 .172

BBL -46.408 5.953 1 .015

RIWASMA -51.376 15.889 1 .000

PENDIBU2 -43.840 .817 1 .366

PEKERIBU2 -46.058 5.252 1 .022

SOSEKO2 -43.482 .101 1 .751

MEROKOK -49.521 12.180 1 .000

YANKES -48.895 10.927 1 .001

Step 2 CAMPAK -43.475 .087 1 .768

DPT -46.322 5.781 1 .016

VITAMINA -43.992 1.121 1 .290

ASIEKS -44.374 1.886 1 .170

BBL -46.433 6.003 1 .014

RIWASMA -51.413 15.963 1 .000

PENDIBU2 -43.848 .834 1 .361

PEKERIBU2 -46.058 5.253 1 .022

SOSEKO2 -43.482 .102 1 .750

MEROKOK -49.571 12.279 1 .000

YANKES -48.897 10.931 1 .001

Step 3 DPT -46.405 5.860 1 .015

VITAMINA -43.992 1.035 1 .309

ASIEKS -44.618 2.286 1 .131

BBL -46.443 5.937 1 .015

RIWASMA -51.423 15.897 1 .000

PENDIBU2 -43.930 .911 1 .340

PEKERIBU2 -46.079 5.208 1 .022

SOSEKO2 -43.533 .117 1 .732

MEROKOK -49.711 12.472 1 .000

YANKES -49.044 11.138 1 .001

Step 4 DPT -46.783 6.499 1 .011

VITAMINA -44.027 .987 1 .320

ASIEKS -44.662 2.258 1 .133

BBL -46.563 6.059 1 .014

RIWASMA -51.614 16.162 1 .000


(5)

PEKERIBU2 -46.166 5.264 1 .022

MEROKOK -50.230 13.393 1 .000

YANKES -49.099 11.132 1 .001

Variable

Model Log Likelihood

Change in -2 Log

Likelihood df

Sig. of the Change

Step 5 DPT -47.496 7.029 1 .008

VITAMINA -44.526 1.088 1 .297

ASIEKS -45.560 3.158 1 .076

BBL -46.997 6.032 1 .014

RIWASMA -52.189 16.415 1 .000

PEKERIBU2 -46.343 4.723 1 .030

MEROKOK -50.754 13.544 1 .000

YANKES -49.577 11.191 1 .001

Step 6 DPT -47.496 5.941 1 .015

ASIEKS -45.780 2.509 1 .113

BBL -47.493 5.934 1 .015

RIWASMA -52.428 15.804 1 .000

PEKERIBU2 -46.492 3.933 1 .047

MEROKOK -51.093 13.135 1 .000

YANKES -49.753 10.456 1 .001

Step 7 DPT -49.511 7.463 1 .006

BBL -48.813 6.067 1 .014

RIWASMA -54.287 17.014 1 .000

PEKERIBU2 -48.149 4.739 1 .029

MEROKOK -53.797 16.035 1 .000


(6)

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 2(a) Variables STATGIZI(1) .000 1 .996

Overall Statistics .000 1 .996

Step 3(b) Variables CAMPAK(1) .087 1 .768

STATGIZI(1) .000 1 .985

Overall Statistics

.087 2 .957

Step 4(c) Variables CAMPAK(1) .102 1 .749

STATGIZI(1) .003 1 .954

SOSEKO2(1) .117 1 .732

Overall Statistics .205 3 .977

Step 5(d) Variables CAMPAK(1) .179 1 .672

STATGIZI(1) .041 1 .839

PENDIBU2(1) .884 1 .347

SOSEKO2(1) .102 1 .749

Overall Statistics 1.077 4 .898

Step 6(e) Variables CAMPAK(1) .008 1 .927

VITAMINA(1) 1.061 1 .303

STATGIZI(1) .147 1 .701

PENDIBU2(1) .983 1 .322

SOSEKO2(1) .055 1 .815

Overall Statistics 2.073 5 .839

Step 7(f) Variables CAMPAK(1) .375 1 .540

VITAMINA(1) .434 1 .510

STATGIZI(1) .344 1 .557

ASIEKS(1) 2.517 1 .113

PENDIBU2(1) 1.761 1 .185

SOSEKO2(1) .049 1 .824

Overall Statistics 4.616 6 .594

a Variable(s) removed on step 2: STATGIZI. b Variable(s) removed on step 3: CAMPAK. c Variable(s) removed on step 4: SOSEKO2. d Variable(s) removed on step 5: PENDIBU2. e Variable(s) removed on step 6: VITAMINA. f Variable(s) removed on step 7: ASIEKS.