BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Gizi Lebih - Faktor Risiko Penyebab Kejadian Gizi Lebih pada Mahasiswa Akademi Kebidanan Agatha Yayasan Vala Agatha Pematangsiantar Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gizi Lebih

  Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih banyak lagi.

  Gizi lebih merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Gizi lebih tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh.Distribusi lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam penyakit degeneratif (WHO, 2000).

  Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan gizi lebih. Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1-27,0 kg/m2, sedangkan gizi lebih adalah

  ≥ 27,0 kg/m2. Kegemukan ( gizi lebih) dapat terjadi mulai dari masa bayi, anak-anak,sampai pada usia dewasa. gizi lebih pada masa bayi terjadi karena adanya penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita gizi lebih maka ketika menjadi dewasa akan mengalami gizi lebih pula. pada masa

  9 anak-anak terjadi sejak anak tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap akan terus mengalami gizi lebih sampai usia dewasa. Gizi lebih pada usia dewasa terjadi karena seseorang telah mengalami gizi lebih dari masa anak-anak (Suyono, 2006).

2.2. Pengukuran dan Klasifikasi Gizi Lebih

  Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks pengukuran sederhana untuk kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan gizi lebih dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan kuadrat. Cut off point dalam pengklasifikasian gizi lebih adalah IMT _ 30.00.Cut off point gizi lebih di Asia Pasifik memiliki kriteria lebih rendah daripada kriteria WHO pada umumnya. Cut off

  point gizi lebih pada penduduk Asia Pasifik adalah IMT ≥ 25.00.

  Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih pada remaja dan dewasa. IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih pada orang dewasa. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter

  2

  kuadrat (m ). Saat ini IMT merupakan indikator yang paling bermanfaat untuk menentukan berat badan lebih.

  Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang. Akhirnya diambil kesimpulan ambang batas IMT untuk Indonesia adalah seperti Tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia Kategori

  IMT

  Gizi Kurang <18,5

  Normal 18,5-24,99

  Gizi Lebih 25,0 – 27,0

  Sumber: WHO 2006

2.3. Penyebab Gizi Lebih

  Gizi lebih terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar dan merupakan akumulasi simpanan energi yang berubah menjadi lemak (Pritasari, 2006). Dengan meningkatnya usia kecepatan metabolisme juga mulai menurun mulai usia 30 tahun, bila aktivitas fisik juga berkurang maka timbunan lemak menjadi kegemukan. Penyebab lain gizi lebih menurut Syarif (2002) adalah multifaktorial, genetik dan lingkungan yang berinteraksi terus menerus:

2.3.1. Faktor Genetik

  Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila kedua orangtua gizi lebih, 80% anaknya menjadi gizi lebih, bila salah satu orangtua gizi lebih, kejadian gizi lebih menjadi 40% dan bila kedua orangtua tidak gizi lebih, kejadian gizi lebih 14%.

2.3.2. Faktor Lingkungan

  a. Faktor Nutrisi Peranan nutrisi dimulai sejak dalam kandungan yaitu jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh berat badan ibu. Sedangkan kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh: waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energy tinggi seperti makanan siap saji dan camilan.

  b. Aktifitas Fisik Aktifitas fisik anak saat ini cenderung menurun karena lebih banyak bermain di dalam rumah dibandingkan di luar rumah.

  c. Sosial Ekonomi Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.

  Misnadiarly (2007) melaporkan bahwa terjadinya gizi lebih dapat dipengaruhi oleh faktor umur dan jenis kelamin. Meskipun sering terjadi pada semua umur, gizi lebih sering dianggap kelainan pada umur pertengahan. Gizi lebih yang muncul pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan perkembangan angka yang cepat. Anak yang gizi lebih cenderung menjadi gizi lebih pada saat remaja dan dewasa.

  Jenis kelamin tampaknya ikut berperan dalam timbulnya gizi lebih. Meskipun dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi gizi lebih lebih umum dijumpai pada wanita terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause. Mungkin juga gizi lebih pada wanita disebabkan karena pengaruh faktor endokrin, karena kondisi ini muncul pada saat adanya perubahan hormonal tersebut di atas (Misnadiarly, 2007).

  Agoes dan Maria (2003) menyatakan bahwa bila remaja mengkonsumsi makanan dengan kandungan energi sesuai yang dibutuhkan tubuhnya maka tidak ada energi yang disimpan. Sebaliknya remaja dalam mengkonsumsi energi melebihi kebutuhan tubuh maka kelebihan enegi akan disimpan sebagai cadangan energi.

  Cadangan energi secara berkesinambungan ditimbun setiap hari yang akhirnya menimbulkan gizi lebih.

  Kondisi psikologis dan keyakinan seseorang berpengaruh terhadap asupan makanan. Faktor stabilitas emosi berkaitan dengan gizi lebih. Keadaan gizi lebih merupakan dampak dari pemecahan masalah emosi yang dalam, dan ini merupakan suatu pelindung bagi yang bersangkutan. Dalam keadaan semacam ini menghilangkan gizi lebih tanpa menyediakan pemecahan masalah yang tepat, justru akan memperberat masalah (Misnadiarly, 2007).

2.4. Konsekuensi Gizi Lebih terhadap Kesehatan

  Konsekuensi gizi lebih terhadap kesehatan sangat bervariasi mulai dari kematian premature sampai kualitas hidup yang rendah. Umumnya gizi lebih dikaitkan dengan “ Non Communicable Diseases” seperti CVD, kanker, dan berbagai gangguan psikososial. Untuk memberi gambaran yang jelas dikelompokkan sebagai berikut (Soegih, 2009).

Tabel 2.2. Resiko Relative (RR) terjadinya Masalah Kesehatan yang Berhubungan dengan Gizi Lebih Risiko Relatif Risiko Relatif Risiko Relatif Meningkat Tajam Meningkat Sedang Meningkat Ringan RR RR 2-3 RR >1-<2 ≥ 3

  Diabetes mellitus PJK Kanker Resistensi insulin Osteoartritis Abnormal hormone reproduksi Hipertensi Hiperurisemia Dislipidemia Gout Sindrom polikistik ovarium Sleep apnoe Gangguan fertilitas Kandung empedu Low back pain Defek pada bayi dari ibu yang obes

  Sumber : Khaodar dan Blackburn, 2005 dengan Modifikasi

  Wiramihardja (2007)menyatakan, bahwa orang dewasa yang gzi lebih berisiko untuk mengendap beberapa penyakit kronis non infeksi tertentu. Beresiko artinya bila dibandingkan dengan orang berbadan normal, penderita gizi lebih lebih berpeluang untuk mengindap penyakit non infeksi tersebut. Penyakit kronis non infeksi yang menjadi resiko kegemukan atau disebut penyakit penyerta gizi lebih terbagi dalam golongan yang tidak membahayakan tetapi tidak mengganggu, dan golongan yang membahayakan. Golongan penyakit penyerta gizi lebih yang tidak membahayakan tetapi menggangu adalah gangguan pernafasan, nyeri tulang, gangguan kulit, dan ketidaksuburan. Sedangkan golongan penyakit penyerta gizi lebih yang membahayakan adalah : a. Gangguan jantung dan pembuluh darah (hipertensi, stroke, PJK)

  b. Resisten terhadap hormone insulin (DM Tipe 2)

  c. Kanker usus dan beberapa kanker yang berkaitan dengan hormone

  d. Penyakit hati dan kantung empedu

2.5. Pencegahan Gizi Lebih

  Prinsip pencegahan gizi lebih adalah menurunkan berat badan dengan cara menciptakan defisit energi dengan mengurangi konsumsi energi atau menambah penggunaan energi melalui olahraga yang teratur (Wiramihardja, 2007).

  Aktif berolah raga adalah salah satu cara menurunkan berat badan di samping berdiit mengurangi makanan berlemak dan gula. Tetapi remaja gemuk merasa malu ikut olah raga, dan sikap yang demikian akan membuat badan tetap atau malah bertambah gemuk. Cara lain menurunkan berat badan adalah dengan cara berdiit, tetapi diit yang ketat juga berbahaya terhadap kesehatan karena selain mengurangi konsumsi energi juga mengurangi konsumsi zat-zat gizi lainnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan program diit, maka ahli gizi atau dokter perlu dimintakan nasehatnya (Depkes RI, 2000).

  Barasi (2010) menambahkan bahwa pencegahan gizi lebih dapat dilakukan dengan melalui pendekatan diet dan gaya hidup dengan mengintegrasikan : perubahan perilaku, pengaturan diet dan peningkatan aktivitas fisik. Pencegahan dapat dilakukan pada tingkat individu dan tingkat komunitas. Adapun pencegahan gizi lebih pada tingkat individu antara lain :

  a. Mengubah pemilihan makanan menjadi lebih sehat, dan berimbang

  b. Menurunkan asupan energi total sehingga sebanding dengan pengeluaran energi melalui pengurangan ukuran porsi makan c. Mengatur pemilihan kudapan yang lebih sehat d. Melakukan lebih banyak aktivitas fisik.

  Sedangkan pencegahangizi lebih pada tingkat komunitas berupa kebijakan yang mendukung upaya pencegahan tingkat individu, diantaranya adalah : a. Kebijakan tentang pencantuman label makanan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan makanan sehat b. Industri makanan memperkecil ukuran hidangan

  c. Membatasi iklan promosi makanan yang kurang menyehatkan

  d. Mendorong aktivitas berjalan, bersepeda dan olahraga lain dengan memperhatikan keamanan/keselamatan di jalan raya dan lingkungan perkotaan.

2.6. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi

  Konsumsi zat gizi sehari-hari dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan dalam keluarga. Ketersediaan bahan makanan dalam rumah tangga tergantung dari pendidikan, kemampuan untuk membeli dan ketersediaan bahan makanan di pasaran dan produksi (Tabor, et al, 2000). Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi yang optimal apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang dapat digunakan secara efisien (Almatsier, 2003).

  Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktivitas fisik. Seseorang yang kurang aktif dapat menjadi kelebihan berat badan ataugizi lebih walaupun asupan energi lebih rendah dari kebutuhan energi yang direkomendasikan. Hasil penelitian di Barat menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi orang gemuk sama atau sedikit lebih kecil dari konsumsi energi rata-rata penduduk yang berbadan normal. Tetapi penggunaan energinya lebih rendah daripada rata-rata orang yang berbadan normal. Mereka lebih tidak aktif sehingga keseimbangan energinya tetap surplus (Wiramihardja, 2007).

  Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi (Hardinsyah dan Tampubolon 2004).

  Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi.

  Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Hardinsyah dan Tampubolon 2004). Angka kecukupan energi dan zat gizi untuk usia mahasiswa yang digunakan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Angka Kecukupan Energi dan Protein untuk Mahasiswa Energi Protein

  Usia(thn) (kkal/hr) (g/hr)

  Laki-Laki 16-18 2600

  65 19-29 2550

  60 Wanita 16-18 2200

  50 19-29 1900

  50 Sumber: WNPG VIII, 2004 Untuk menilai kecukupan konsumsi pangan maka didekati dengan menghitung tingkat kecukupan gizinya atau besarnya persentase angka kecukupan gizi. Pada penelitian ini tingkat kecukupan konsumsi zat gizi dinyatakan sebagai tingkat kecukupan energi, protein, karbohidrat, lemak dan serat. Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui.

  Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari defisiensi ataupun kelebihan asupan zat gizi (IOM 2002 dalam Muhilal &amp; Hardinsyah 2004). Tingkat kecukupan energi dinyatakan sebagai hasilperbandingan antara konsumsi energi aktual (Susenas) dengan kecukupan energi yang direkomendasikan oleh WNPG tahun 2004, dan dinyatakan dalam persen. Demikian pula untuk menghitung tingkat kecukupan protein, dinyatakan sebagai perbandingan antara konsumsi protein aktual dengan kecukupan protein yang direkomendasikan WNPG. Perhitungan tingkat kecukupan gizi dirumuskan sebagai berikut : a. Tingkat kecukupan energi

  TKE = [(Konsumsi energi aktual)/(Angka kecukupan energi)] x 100%

  b. Tingkat kecukupan protein TKP : [(Konsumsi protein aktual)/(Angka kecukupan protein)] x 100%

  Selanjutnya dari perhitungan tersebut tingkat kecukupan energi dan protein diklasifikasikan menurut Departemen Kesehatan sebagaimana dikutip oleh Badan Ketahanan Pangan (2006) yaitu: (1) TKE: &lt; 70% adalah defisit berat, (2) TKE: 70 - 79% adalah defisit sedang, (3) TKE: 80 – 89% adalah defisit ringan, (4) TKE: 90 - 119% adalah normal, dan (5) TKE &gt; 120% adalah kelebihan.

  Karbohidrat merupakan zat gizi utama sumber energi bagi tubuh. Dalam1gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori (almatsier, 2003). Terpenuhinya kebutuhan tubuh akan karbohidrat menentukan jumlah energi yang tersedia bagi tubuh setiap hari. Menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) kecukupan karbohidrat yang baik adalah setengah dari kebutuhan energi (50-60%). Jika lebih dari itu, kemungkinan zat-zat lain akan sulit terpenuhi kebutuhannya (Depkes, 2002).

  Lemak terdiri dari fosfolipid, sterol, dan trigliserida. Sebagian besar lemak (99%) terdiri dari trigliserid yang terdiri dari asam lemak dan gliserol (Hardinsyah &amp;Tambunan 2004). Fungsi lemak dan minyak dalam makanan adalah membantu penyerapan vitamin A, D, E, K, menambah energi dan melezatkan makanan. Lemak dikelompokkan menjadi 3 menurut tingkat pencernaanya asam lemak jenuh yang sulit dicerna, asam lemak tidak jenuh tunggal yang mudah dicerna, dan asam lemak tidak jenuh ganda yang paling mudah dicerna (Depkes, 2002).

  Lemak merupakan penyumbang energi terbesar dibandingkan zat gizi lainnya. 1 gram lemak mengandung 9 kkal, dibandingkan karbohidrat dan protein yang menghasilkan 4 kkal per gramnya. Anjuran konsumsi lemak tidak melebihi 30% dari total energi yang dianjurkan (Soedjiningsih, 2004).

  Penilaian jumlah dan jenis makanan yang di konsumsi individu menurut Hadi (2003) dan Gibson (1990), dapat dikelompokkan menjadi :

  a. Mengingat makanan (food recall) yang dimakan oleh individu selama 24 jam sebelum dilakukan wawancara. Contoh makanan (food model) dapat dipakai sebagai alat bantu. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi diperkirakan atau dihitung dengan ukuran rumah tangga yang kemudian dikonversikan ke dalam ukuran berat. Pemakaian metode food recall ini digunakan untuk mengukur rata- rata konsumsi makanan dan zat gizi kelompok masyarakat yang jumlahnya besar.

  b. Pencatatan makanan yang dimakan (food records) oleh individu dalam jangka waktu tertentu, jumlahnya ditimbang dan diperkirakan dengan ukuran rumah tangga.

  c. Frekuensi konsumsi makanan (food frequency questionaire) adalah recall makanan yang dimakan pada waktu lalu. Kuesioner terdiri dari daftar bahan makanan dan frekuensi makan. Cara ini merekam keterangan tentang berapa kali konsumsi bahan makanan dalam sehari, seminggu, sebulan, tiga bulan atau jangka waktu tertentu.

  4. Riwayat makan (dietary history) yaitu mencatat apa saja yang dimakan dalam waktu lama. Cara ini memerlukan petugas wawancara yang terlatih. Periode yang diukur biasanya adalah selama 6 bulan atau 1 tahun yang lalu. Metode wawancara ini merupakan modifikasi dari cara recall 24 jam untuk dapat memperoleh informasi tentang makanan yang dikonsumsi, frekuensi dan kebiasaan makan.

2.7. Serat Makanan (Dietary Fiber)

   Secara fisiologis serat makanan didefinisikan sebagai karbohidrat yang

  resisten terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan manusia (karena itu tidak dapat dicerna) dan lignin. Termasuk didalamnya adalah selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, gum, β-glukan, fruktan dan resistant starch. Para ahli mengelompokkan serat makanan sebagai salah satu jenis polisakarida yang lebih lazim disebut karbohidrat kompleks. Karbohidrat ini terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia panjang. Akibatnya, rantai kimia tersebut sangat sukar dicerna oleh enzim pencernaan (Arisman, 2004).

  Serat makanan sering juga disebut sebagai ”unavailable carbohydrate”, sedangkan yang tergolong sebagai ”available carbohydrate” adalah gula, pati dan dekstrin, karena zat-zat tersebut dapat dihidrolisa dan diabsorpsi manusia, yang kemudian di dalam tubuh diubah menjadi glukosa dan akhirnya menjadi energi atau disimpan dalam bentuk lemak (Muchtadi, 2005).

  Berdasarkan kelarutannya dalam air, serat dapat diklasifikasikan menjadi serat larut (hemiselulosa, pektin, gum, psillium, β-glukan, dan musilages) dan serat tidak larut (selulosa, hemiselulosa, dan lignin). Sifat kelarutan ini sangat menentukan pengaruh fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme zat-zat gizi (Arisman, 2004).

  Serat makanan (fiber) terdapat di dalam bahan makanan nabati, seperti sayuran dan buah-buahan, merupakan bagian tumbuhan (dinding sel, daun, kulit buah, selaput biji-bijian, dan lain-lain) yang memiliki struktur berupa karbohidrat kompleks. Serat makanan dapat diperoleh dari berbagai sumber makanan, seperti: a. Serealia

  Serealia adalah bahan pangan dari tanaman yang termasuk famili rumput- rumputan (Gramineae), diantaranya padi (Oryza sativa L.), gandum(Triticum sp.), jagung (Zea mays), dan sorgum (Sorghum vulgare L.). Serealia memiliki dua jenis serat, yakni serat larut air dan serat tidak larut air. Kandungan serat tidak larut air, yakni selulosa dan hemiselulosa terdapat pada kulit luar biji dan endospermanya. Sedangkan serat larut air, yakni musilages dan gum terdapat pada endospermanya. Serealia yang mengandung serat, yakni oat, gandum, jagung, beras, dan beras merah (Sediaoetama, 2008).

  b. Kacang-kacangan Bahan nabati dari golongan kacang-kacangan yang biasa dikonsumsi meliputi kacang kedelai, kacang tanah, kacang merah, kacang tolo, serta kacang hijau

  (Sulistijani, 2001).

  c. Sayuran Sayuran merupakan bagian tanaman yang dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah maupun matang. Bahan nabati ini sangat dibutuhkan dan harus dikonsumsi setiap hari sesuai dengan jumlah dan komposisi yang seimbang. Selain itu, sayuran bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena kaya akan kandungan vitamin, mineral dan serat. Beberapa contoh sayuran, antara lain bayam, kangkung, daun pepaya, brokoli, tomat, paprika, bawang putih, bawang merah, asparagus dan jamur (Sulistijani, 2001).

  d. Buah-buahan Buah-buahan sangat dianjurkan untuk dikonsumsi setiap hari. Selain dikonsumsi dalam bentuk segar, buah-buahan juga dapat diolah dalam bentuk jus atau dihidangkan bersama dengan sayuran. Buah-buahan sebaiknya dikonsumsi pada saat perut sedang kosong. Tujuannya adalah agar penyerapan zat-zat tersebut tidak terhambat oleh kehadiran makanan lain, juga untuk menghindari fermentasi di dalam kolon. Beberapa contoh buah-buahan yang mengandung serat, antara lain apel, pir, jeruk, lemon, strawberi, mangga, anggur, pepaya, dan pisang (Sediaoetama, 2008).

  Konsumsi serat makanan adalah jumlah asupan dan jenis bahan pangan sumber serat yang dikonsumsi per hari (Sulistijani, 2001). Walaupun konsumsi serat makanan berpengaruh positif bagi tubuh dan sangat dianjurkan, namun harus memperhatikan nilai kecukupannya bagi tubuh. Sebab, mengkonsumsi serat makanan secara berlebihan akan berdampak negatif bagi tubuh. Tubuh akan mengalami defisiensi mineral dan perut menjadi kembung. Kondisi ini terjadi akibat menumpuknya serat di dalam kolon sehingga menyebabkan fermentasi serat di dalam kolon. Fermentasi ini lalu memicu timbulnya gas, seperti gas metan, hidrogen, dan karbondioksida di dalam sekum dan kolon yang terbentuk dari kerja enzim-enzim bakteri yang memetabolisme serat. Jumlah gas yang dihasilkan tergantung dari serat makanan yang dikonsumsi dan flora bakterial (Isselbacher, 2000). Kelebihan volume serat juga dapat mengurangi absorpsi mineral, seng, besi dan kalsium. Meskipun ada bakteri di dalam usus besar yang berangsur-angsur akan beradaptasi dengan adanya asupan serat makanan. Namun, asupan serat yang terlalu tinggi tetap tidak dapat menghilangkan rasa kembung di dalam perut. Lebih jauh Wirakusumah (2001), menambahkan bahwa konsumsi serat makanan yang terlalu banyak dapat menghalangi absorpsi vitamin B12, A, D, E, dan K, oleh karena adanya pektin. Terhalangnya absorpsi vitamin sering dijumpai pada para vegetarian. Asam fitat di dalam lambung para vegetarian ini mampu mengikat serat. Defisiensi vitamin- vitamin itu sendiri bermula dari serat makanan yang larut air mengikat dan menyingkirkan asam empedu yang berfungsi mencerna lemak di dalam tubuh (Sulistijani, 2001).

  Rekomendasi untuk Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang pasti untuk konsumsi serat makanan belum ada. Namun, untuk diet 2000 kalori pada orang dewasa, paling sedikit 1000 sampai 2000 kalori harus berasal dari karbohidrat kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 25 sampai 30 gram per hari untuk orang dewasa dan 10 sampai 15 gram untuk anak-anak cukup untuk pemeliharaan tanpa efek negatif terhadap kesehatan (Baliwati et al, 2004).

Tabel 2.4. Angka Kebutuhan Serat yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari) Golongan Umur Serat (gram)

  Laki-laki 14-18 tahun

  38 gram 19-21 tahun

  38 gram Perempuan 14-18 tahun

  25 gram 19-21 tahun

  25 gram

  Sumber : National Academy Sciences (2007)

2.8. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh.

  Oleh karena itu berkurangnya aktivitas akibat dari kehidupan tang semakin modern dengan kemajuan teknologi yang mutakhir akan menimbulkan kegemukan.

  Menurut Caspersen dkk, (1985) dalam PAGAC Report (2008), olahraga merupakan subkategori dari aktivitas fisik yang dirancang, berstruktur, dan diulangi serta bertujuan untuk memperbaiki satu atau lebih komponen fitness fisik. Olahraga dan latihannya sering juga dikenal sebagai aktivitas fisik waktu lapang dengan tujuan primer untuk menjaga fitness fisik, tingkat prestasi fisik atau kesehatan.

  Aktivitas fisik dilaporkan merupakan 20-40% total pengeluaran energi. Energi yang digunakan untuk aktivitas fisik sangat ditentukan oleh jenis aktivitas dan lama waktu melakukan aktivitas tersebut. Aktivitas yang melibatkan kerja otot dan dilakukan lebih lama akan memerlukan energi lebih besar (Dwiriani, 2008).

  Gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik diperlukan untuk membakar energi dalam tubuh. Bila pemasukan energi berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang seimbang akan memudahkan seseorang untuk menjadi gemuk (Wirakusumah, 2001).

  Aktifitas fisik remaja diukur sebagai pengeluaran kalori (caloric cost), tetapi tidak selalu sesuai karena keuntungan dan efek kesehatan aktivitas fisik melalui pengeluaran energi sebagai contoh lari dengan suatu intensitas tertentu, sedangkan pengeluaran energi rendah contohnya latihan peregangan tidak berhubungan dengan besarnya penegeluaran kalori (Subardja, 2004).

  Aktivitas fisik remaja atau usia sekolah pada umumnya memiliki tingkatan aktivitas fisik sedang, sebab kegiatan yang sering dilakukan adalah belajar di sekolah.

  Kegiatan belajar yang mereka lakukan mulai pukul 07.00- 13.00 WIB. Tingkat aktivitas remaja laki-laki dan remaja perempuan sangat berbeda, untuk remaja laki- laki tingkat aktivitasnya lebih tinggi dari pada perempuan. Remaja laki-laki aktivitas fisiknya lebih berat, sebab pada usia tersebut sedang memprioritaskan olah raga seperti hiking, sepak bola, tenis, dan berenang. Sedangkan untuk remaja perempuan aktivitasnya lebih ringan dari remaja laki-laki seperti megerjakan pekerjaan rumah, merawat tanaman, berdandan dan sebagainya (Subardja, 2004).

  Peningkatan rata-rata pemakaian energi sebanyak 418,4 kJ (100 kkal) per hari oleh satu populasi akan dicapai hanya dengan meningkatkan aktivitas fisik mereka (Azwar, 2004). Aktivitas fisik tingkat sedang seperti berjalan kaki selama tiga jam seminggu, didapati sangat mengurangi insidens dan risiko terjadinya pelbagai penyakit kronik, terutama diabetes mellitus tipe 2, obesitas, hipertensi, penyakit kardivaskuler, depresi, kegelisahan dan banyak jenis kankeret al, 2002).

2.9. Riwayat Keluarga

  Menurut penelitian Muktiharti dkk (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar responden (55%) mempunyai riwayat Keluarga yang kurang mendukung kejadian Gizi Lebih. Hal ini dikarenakan responden tidak mempunyai orang tua atau anggota keluarga yang mempunyai riwayat keluarga gizi lebih.Hasil Penelitian ini terdapat hubungan antara faktor riwayat keluarga dengan kejadian gizi lebih dengan p value sebesar 0,002.

2.10. Pengaruh Konsumsi Energi dan Lemak terhadap Gizi Lebih

  Gizi lebih disebabkan oleh konsumsi energi yang melebihi kebutuhan sehari- hari untuk memelihara dan memulihkan kesehatan, proses tumbuh kembang dan melakukan aktifitas jasmani, yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama. Faktor makanan ini merupakan faktor yang terpenting untuk terjadinya kegemukan. Banyaknya pilihan jenis makanan, tersedianya makanan sepanjang hari dan metode pengawetan makanan yang semakin canggih berpengaruh terhadap tingginya asupan energy (Barasi, 2007).

  Apabila konsumsi energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah.

  Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide –Y(NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan.

  Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari konsumsi energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita gizi lebih terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Harrison, 2003).

  Penelitian Croezen (2007) menunjukkan, pola makan yang tidak teratur pada remaja seperti tidak sarapan pagi, asupan alkohol, dan rendahnya aktivitas fisik menyebabkan gizi lebih pada masa remaja (Indeks Massa Tubuh/IMT meningkat). Penelitian desain potong lintang tersebut mengikut sertakan 25.000 remaja laki-laki dan perempuan menemukan bahwa faktor yang paling berhubungan dengan gizi lebih adalah tidak sarapan pagi. Toshcke (2007) menyatakan, adanya peningkatan berat badan pada masa pertumbuhan dan pubertas merupakan faktor risiko terjadinya gizi lebih dewasa. Penelitan kohor tersebut mengikut sertakan 505 anak laki-laki dan perempuan, menemukan gizi lebih usia 7 dan 11 tahun berkaitan erat dengan terjadinya gizi lebih setelah 23 tahun kemudian.

  Almatsier (2003) menyatakan, bahwa keseimbangan energi dicapai bila energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan.

  Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal/normal. Kelebihan energi terjadi apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan.

  Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya, terjadi berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan dalam hal jenis karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang gerak.

  Perubahan budaya makan ternyata dapat menyokong kecendrungan terjadinya kegemukan khususnya di negara maju dan pada sebagian masyarakat perkotaan di negara berkembang. Kebiasaan makan keluarga suka ditiru olek anak anak, misalnya makan berlebihan, frekuensi makan sering, kelebihan snack dan makan di luar waktu makan (Wirakusumah, 2001).

2.11. Pengaruh Konsumsi Serat terhadap Gizi Lebih

  Individu dengan intake tinggi serat beresiko lebih rendah secara signifikan untuk mengembangkan penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi, diabetes, gizi lebih, dan penyakit pencernaan tertentu. Meningkatnyaasupan serat menurunkan tekanan darah dan kadar kolesterolserum. Peningkatan asupan serat larut meningkatkan glikemiadan sensitivitas insulin pada individu non-diabetes dan diabetes. Serat suplementasi pada orang gizi lebih secara signifikan meningkatkan penurunan berat badan (Anderson JW, et al 2009).

  Peningkatan asupan serat makanan bermanfaat untuk pengobatan gizi lebih dan diabetes melitus. Makanan kaya serat biasanya mengenyangkan tanpa kandungan kalori yang banyak. Diet normal yang disuplementasikan dengan serat berbentuk gel, seperti guar gum meningkatkan rasa kenyang karena memperlambat waktu pengosongan lambung. Studi-studi panjang sebelumnya telah menjelaskan kegunaan. Studi jangka panjang belakangan telah mengkonfirmasi manfaatdari serat kental sebagai tambahan untuk pengobatan diet reguler gizi lebih. Terlepas dari efek yang bermanfaat selama pembatasan kalori, serat makanan dapat meningkatkan beberapa penyimpangan metabolisme yang terlihat pada gizi lebih. Gel pembentuk serat sangat efektif dalam mengurangi peningkatan kolesterol LDL tanpa mengubah fraksi HDL. Efek ini mungkin berhubungan dengan bahan pembentuk gel dari serat yang mengarah kepeningkatan viskositas dari lapisan unstirred sehingga menunda proses penyerapan (Anderson JW, et al 2009).

2.12. Pengaruh Aktivitas Fisik dengan Gizi Lebih

  Apabila melakukan aktivitas fisik, hormon dan hasil metabolisme akan meningkat di darah dan jaringan tubuh serta aktivitas otot menghasilkan panas dan peningkatan suhu inti yang juga dikenal sebagai hiperthermia akibat olahraga (exercise induced hyperthermia, EIH). Menurut Radomski (1998), banyak faktor yang mempengaruhi regulasi pelepasan hormon sewaktu berolahraga, seperti intensitas dan durasi olahraga, fitness fisik subjek, kekurangan oksigen dan ketersediaannya sewaktu olahraga, serta perubahan asidosis dan hasil metabolisme yang bersirkulasi. Namun, satu faktor yang sering kurang diperhatikan adalah EIH. Peningkatan metabolisme membakar lemak di tubuh dan membebaskan panas.

  Hemmingsson (2006), dalam penelitiannya melaporkan adanya hubungan antara aktivitas fisik dan IMT bervariasi bergantung kepada status gizi lebih responden. Aktivitas fisik memberi efek yang baik terhadap IMT kelompok responden yang gizi lebih berbanding kelompok responden yang bukan gizi lebih.

  Dimana tingkat aktivitas yang berat lebih memberi efek terhadap IMT responden yang obese dibanding tingkat aktivitas yang rendah dengan gizi lebih. Sedangkan menurut Petersen, L (2004), melaporkan bahwa thermogenesis dari aktivitas fisik yang ringan dan sedang memberi rintangan dalam peningkatan berat badan. Apabila seseorang itu memang sudah tergolong sebagai underweight, aktivitas fisik yang terlalu banyakakan mengurangi penyimpanan energi pada badannya dan menyebabbkan underweight.

  Satu studi yang dilakukan pada tikus yang gizi lebih akibat diet, menunjukkan bahwa olahraga memberi efek pada jaras sentral yang meregulasi homeostasis energi.

  Pada tikus yang gizi lebih akibat diet ini, aktivitas berlari roda mengurangi penumpukan lemak di adiposit secara selektif tanpa meningkatkan kebutuhan energi.

  Efek ini mungkin diakibatkan sinyal yang dihasilkan oleh aktivitas olahraga seperti interleukin-6, asam lemak dan panas yang memberi efek umpan balik ke otak untuk regulasi sistem neuropeptida sentral yang berperan dalam regulasi homeostasis energi (Patterson &amp; Levin, 2007).

  Penggunaan energi setiap hari pada setiap individu bervariasi berdasarkan aktivitas yang dilakukannya. Misalnya, seorang yang duduk menggunakan energi basal yang sangat rendah, dapat meningkatkan kebutuhan kalori harian sebanyak 500 kalori dengan berenang selama satu jam. Apabila pengambilan energi harian melebihi permintaan jumlah energi, kelebihan energi itu akan disimpan sebagai trigliserida di jaringan adiposa. Apabila penggunaan kalori melebihi kalori yang disediakan melalui diet, cadangan energi akan di ubah dan ini akan menyebabkan penurunan berat badan. Hal ini berpengaruh dalam arti penghitungan kalori dalam program pengaturan berat badan melalui olahraga. Pada seorang yang underweight, penggunaan kalori yang meningkat akibat aktivitas fisik yang terlalu tinggi akan mula membakar otot-ototnya sebagai pengganti lemak dan akan memperparah lagi keadaannya (Martini, 2006).

2.13. Landasan Teori

  Faktor penyebab terjadinya gizi lebih adalah faktor genetik, faktor hormonal, penyakit tertentu, faktor lingkungan, psikologi, gaya hidup, sosial ekonomi dan aktivitas fisik.

  Menurut Syarif (2003) gizi lebih terjadi karena ketidakseimbangan asupan energi dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Asupan energi yang berlebihan disebabkan oleh konsumsi yang melebihi kebutuhan. Pengeluaran energi yang rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis makanan.

  Perubahan pola makan yaitu kecenderungan mengkonsumsi makanan dengan kalori berlebihan disertai kurangnya aktivitas fisik menyebabkan kejadian gizi lebih cenderung meningkat (Malfeis et al., 2001).

  Gizi lebih terjadi pada individu yang mempunyai kebiasaan makan lebih banyak terutama makanan yang berlemak dan mempunyai pengeluaran energi yang lebih rendah dibandingkan pada individu yang mempunyai berat badan normal. Lemak sering dianggap sebagai faktor yang berperan besar dalam terjadinya gizi lebih. Lemak merupakan makronutrien paling padat energi. Jika asupan lemak tidak diatur maka akan terjadi konsumsi energi berlebihan. Asupan energi dan lemak yang berlebihan menjadi salah satu penyebab gizi lebih (Wahlqvist, 1997). Mekanisme yang menjelaskan terjadinya gizi lebih disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Mekanisme terjadinya Gizi Lebih (Wahlqvist, 1997)

  Tingkat Pendidikan Sosial Ekonomi

  Asupan Energi Tinggi Gaya Hidup Faktor Lingkungan Psikologi

  Asupan lemak Tinggi Hormonal

  Gizi Lebih

  Aktivitas Fisik Riwayat Keluarg a Penyakit tertentu

2.14. Kerangka Konsep

  • Asupan energi

  Kejadian Gizi Lebih

  Riwayat Keluarga Asupan pangan

  Berdasarkan landasan teori di atas, kerangka konsep penelitian disajikan pada Gambar 2.2.

  Variabel Independen Variabel Dependen

  • Asupan protein
  • Asupan karbohidrat
  • Asupan lemak
  • Asupan serat Aktivitas Fisik

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Penjadwalan Produksi Dengan Metode Algoritma Genetika Di Pt. Agri First Indonesia

0 1 16

2.1 Penelitian Sebelumnya - Perbandingan Karakter Tokoh Pada Teater Tradisional Cina Jing Ju Dengan Teater Tradisional Indonesia Makyong

0 1 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Permintaan 2.1.1 Teori dan Hukum Permintaan - Analisis Kepuasan Nasabah Terhadap Pelayanan PT. Bank Sumut : Studi Kasus Nasabah Pengguna Fasilitas Safe Deposit Box

0 1 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permukiman - Pengaruh Sungai Sebagai Pembentuk Permukiman Masyarakat di Pinggiran Sungai Siak (Studi Kasus : Permukiman di Kelurahan Kampung Dalam Kecamatan Siak Kabupaten Siak, Riau)

5 30 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Sungai Sebagai Pembentuk Permukiman Masyarakat di Pinggiran Sungai Siak (Studi Kasus : Permukiman di Kelurahan Kampung Dalam Kecamatan Siak Kabupaten Siak, Riau)

0 0 8

II. DATA KHUSUS A. Perilaku Pengetahuan. - Hubungan Karakteristik dan Perilaku Mengenai Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa Tahun 2013

0 0 46

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Definisi - Hubungan Karakteristik dan Perilaku Mengenai Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa Tahun 2013

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Karakteristik dan Perilaku Mengenai Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa Tahun 2013

0 1 7

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN PERILAKU MASYARAKAT MENGENAI LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LAGUBOTI KECAMATAN LAGUBOTI KABUPATEN TOBASA TAHUN 2013 SKRIPSI

0 0 14

Faktor Risiko Penyebab Kejadian Gizi Lebih pada Mahasiswa Akademi Kebidanan Agatha Yayasan Vala Agatha Pematangsiantar Tahun 2013

0 1 8