BAB II PENGATURAN HAK CIPTA DI INDONESIA A. Konsep Dasar Hak Cipta - Pembatasan Pengalihan Hak Ekonomi Dalam Bentuk Jual-Putus Melalui Perlindungan Hak Cipta Di Indonesia

BAB II PENGATURAN HAK CIPTA DI INDONESIA A. Konsep Dasar Hak Cipta Suatu bentuk yang nyata dan berwujud (expression) dan sesuatu yang

  berwujud itu adalah asli (original) atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta. Konsep dasar lahirnya hak cipta akan memberikan perlindungan terhadap suatu karya cipta yang memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan

   seseorang atas dasar kemampuan dan kreatifitasnya yang bersifat pribadi.

  Justifikasi yang paling mendasar untuk HKI adalah bahwa seseorang yang telah mengeluarkan usaha ke dalam penciptaan memiliki sebuah hak alami untuk memiliki dan mengontrol apa yang telah mereka ciptakan. Pendekatan ini menekankan pada kejujuran dan keadilan. Dilihat sebagai perbuatan yang tidak jujur dan tidak adil jika mencuri usaha seseorang tanpa mendapatkan terlebih dahulu persetujuannya. Ciptaan yang mendapatkan hak cipta setidaknya harus memperhatikan beberapa prinsip-prinsip dasar hak cipta, yakni: 1.

  Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli.

  Salah satu prinsip yang paling fundamental dari perlindungan hak cipta adalah konsep bahwa hak cipta hanya berkenan dengan bentuk perwujudan dari suatu

17 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 63.

  ciptaan, misalnya buku, sehingga tidak berkenaan atau tidak berurusan dengan

  

  substansinya. Dari prinsip dasar ini telah melahirkan dua subprinsip, yaitu: a.

  Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinil) untuk dapat menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang keaslian, sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan.

  b.

  Suatu ciptaan, mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tertulis atau bentuk material yang lain. Ini berarti bahwa suatu ide atau suatu pikiran atau suatu gagasan atau cita- cita belum merupakan suatu ciptaan.

  2. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis) Suatu hak cipta eksis pada saat seseorang pencipta mewujudkan idenya dalam suatu bentuk yang berwujud yang berupa buku. Dengan adanya wujud dari suatu ide, suatu ciptaan lahir. Ciptaan yang dilahirkan dapat diumumkan (to

  make public/ openbaarmaken) dan dapat diumumkan. Suatu ciptaan yang tidak diumumkan, hak ciptanya tetap ada pada pencipta.

  3. Suatu ciptaan tidak perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta Suatu ciptaan yang diumumkan maupun yang tidak diumumkan (published/ unpublished work) kedua-duanya dapat memperoleh hak cipta.

  4. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui umum (legal right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan. 18 Edy Damian, Hukum Hak Cipta (Bandung : Alumni, 2002) hlm. 99-106 sebagaimana

  

dikutip oleh Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya

5. Hak cipta bukan hak mutlak (absolut)

  Hak cipta bukan suatu monopoli mutlak melainkan hanya suatu limited

  monopoly. Hal ini dapat terjadi karena hak cipta secara konseptual tidak

  mengenal konsep monopoli penuh, sehingga mungkin saja seorang pencipta menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta lebih dahulu.

  Konsep hak cipta dimerupakan terjemahan dari konsep

  

copyright dalam(secara harafiah artinya “hak salin”). Copyright

  ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesi proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungaterhadap karya cetak yang dapat disalin.

  Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahundi Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung.

  Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi

  Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia seDunia juga menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusasteraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta.

  Hukum bertindak menjamin pencipta untuk menguasai dan menikmati secara eksklusif hasil karyanya itu dalam hubungan kepemilikan terhadap hak cipta dan jika perlu dengan bantuan negara untuk penegakan hukumnya. Jaminan ini tercermin dalam sistem HKI yang berkembang dengan menyeimbangkan antar dua kepentingan yaitu pemilik hak cipta dan kebutuhan masyarakat umum. Ada 4 prinsip dalam sistem HKI untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan

  

  kepentingan masyarakat, sebagai berikut: 1.

  Prinsip keadilan (the principle of natural justice) Pencipta yang menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan baik berupa materi maupun bukan materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi, dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya yang disebut hak. Alasan melekatnya hak pada HKI adalah penciptaan berdasarkan kemampuan intelektualnya. Perlindungan ini pun tidak terbatas di dalam negeri pencipta sendiri, melainkan dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya.

  2. Prinsip ekonomi (the economic argument)

  19 Tim Lindsey, (ed.), Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar (Bandung : PT. HKI yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia.

  Adanya nilai ekonomi pada HKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Pencipta mendapatkan keuntungan dan kepemilikan terhadap karyanya, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptaannya.

  3. Prinsip kebudayaan (the cultural argument) Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu, akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa, maupun negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, cipta manusia yang dilakukan dalam sistem HKI diharapkan mampu membangkitkan semangat, dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.

  4. Prinsip sosial (the social argument) Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai individu yang berdiri sendiri terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia dalam hubungannya dengan manusia lain sama-sama terikat dalam ikatan satu kemasyarakatan. Sistem HKI dalam memberikan perlindungan kepada pencipta, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan individu dan persekutuan atau kesatuan itu saja, melainkan berdasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat.

  Pengaturan hak cipta tidak terlepas dari adanya perjanjian internasional. Tujuan diadakannya perjanjian internasional melindungi atau memberikan kepastian hak atas suatu hak yang ditimbulkan dari suatu perjanjian tersebut kepada setiap peserta negara anggota. Maka jika dikaitkan dengan hak cipta, maka akan diperoleh suatu tujuan yaitu untuk melindungi hak cipta secara internasional. Secara internasional dalam hal ini berarti setiap negara peserta.

  Perlindungan hak cipta secara internasional saat ini mengikuti beberapa konvensi internasional antara lain persetujuan TRIPs, Bern Convention, Universal Copy Rights Convention, Rome Convention. Trade Related Aspects of

  

Intellectual Property Right yang selanjutnya disebut TRIPs awalnya muncul atas

  antisipasi Amerika dan beberapa negara Eropa yang menilai bahwa World

  

Intellectual Property Organizatio) yang selanjutnya disebut WIPO yang bernaung

  dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak mampu melindungi HKI mereka di pasar internasional, yang akan mengakibatkan neraca perdagangan mereka menjadi negatif.

  TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, peralihan, serta penyebaran teknologi, dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta keseimbangan antara hak dan kewajiban (Pasal 7 TRIPs). Secara singkat, ada beberapa hal penting di dalam Persetujuan TRIPs ini yang menyangkut bidang

  

  hak cipta bila dikaitkan dengan Undang-Undang Hak Cipta Nasional, yaitu :

  20

  1. Di dalam persetujuan ini perlindungan hak cipta atas program kompuer lamanya harus tidak kurang dari lima puluh tahun (pasal 12 TRIPs), sementara dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional juga telah disesuaikan menjadi lima puluh tahun (pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997).

  2. Di dalam persetujuan ini dikenal adanya hak penyewaan (rental rights) bagi pemegang hak cipta karya film (video) dan program komputer (pasal 11 TRIPs), yaitu hak yang diberikan kepada pencipta atas kegiatan penyewaan yang bersifat komersial. Pengaturan mengenai hal ini sudah ada dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional.

  3. Dalam persetujuan ini terdapat pengaturan yang tegas terhadap pelaku pertunjukan, produsr rekaman musik dan badan penyiaran, hal mana dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional sudah diatur.

  TRIPs berlaku dengan disetujuinya Putaran Uruguay (GATT) pada tanggal

  15 Desember 1993 yang kemudian diratifikasi pada bulan April di Marokko oleh 117 negara. Sejak saat itu TRIPs yang merupakan bagian dari GATT berlaku bagi negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia.

  Hadirnya Persetujuan TRIPs ini mengakibatkan Indonesia secara tidak langsung diharuskan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan berbagai konvensi internasional. Khususnya dalam hak cipta Indonesia telah melakukan penyempurnaan dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997, yang merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya.

  Penyesuaian dan penyempurnaan tersebut memang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta yang saat ini sudah tidak berlaku lagi sebab telah mengalami beberapa kali perubahan, namun hal ini tetap dapat dilihat sebagai suatu sejarah dan dasar adanya kesesuaian antara konvensi Internasional dengan Undang-Undang Hak Cipta Nasional.

  Konvensi Roma 1961 mulai berlaku terhadap negara-negara anggota Persetujuan TRIPs. Konvensi ini berisikan pengaturan tentang perlindungan bagi pelaku pertunjukan, produser rekaman suara dan organisasi penyiaran. Yang menjadi permasalahan pokok yang dituangkan dalam ketentuan konvensi ini adalah mengenai perlindungan bagi pelaku pertunjukan produser rekaman dan organisasi penyiaran.

  Hak cipta juga diatur dalam Konvensi Bern yang ditandatangani di Bern pada tanggal 9 September 1886. Adapun konvensi ini telah beberapa kali

  

  mengalami revisi serta penyempurnaan, yaitu: 1.

  Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1986; 2. Revisi kedua di Berlin pada tanggal 13 November 1908; 3. Revisi ketiga di Bern pada tanggal 24 Maret 1914; 4. Revisi keempat di Roma tanggal 2 Juli 1928; 5. Revisi kelima di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948; 6. Revisi keenam di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967; 7. Revisi terakhir di Paris pada tanggal 24 Juli 1971.

  21

  Konvensi Bern berpendapat bahwa objek perlindungan hak cipta terdiri dari karya sastra, ilmu, dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmu, dan seni dengan cara atau bentuk pengungkapan apapun. Di samping karya asli dari pencipta pertama, dilindungi juga karya-karya turunan (salinan) seperti terjemahan, saduran, aransemen music, karya fotografis. Perlindungan juga diberikan kepada para pencipta atau pemegang hak. Para Pencipta memperoleh perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini. Artinya, pencipta merupakan warga negara dari salah satu negara yang terikat pada konvensi memperoleh

   perlindungan di negara-negara yang bergabung dalam Uni ini.

  Hal ini diatur dalam Pasal 5 (setelah direvisi di Paris tahun 1971), yang sekaligus merupakan pasal yang terpenting. Menurut pasal ini pencipta akan menikmati perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini.

  Mengenai revisi dan penyempurnaan terhadap Konvensi Bern ini, hal yang terpenting adalah penyempurnaan yang memuat protokol (tambahan dari perjanjian utama) yang memperhatikan kepentingan-kepentingan negara berkembang dan ini diterima pada revisi di Stockholm tanggal 14 Juli 1967.

  Kemudian protokol ini diberi tempat dalam appendix (tambahan/lampiran) tersendiri dalam konvensi ini.

  Kemunculan Protokol Stockholm ini mengakibatkan negara-negara berkembang yang telah meratifikasi protokol tersebut memperoleh pengecualian 22 atau reserve yang berkenan dengan perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Bern. Pengecualian itu dapat dilakukan mengenai hal yang berkenaan dengan hak melakukan penerjemahan, jangka waktu perlindungan, tentang hak untuk mengutip dari artikel-artikel dari berita-berita pers, hak untuk melakukan siaran radio dan perlindungan daripada karya-karya sastra dan seni semata-mata untuk

   tujuan pendidikan, ilmiah atau sekolah.

  Konvensi selanjutnya adalah Konvensi Jeneva yang ditandatangani pada tanggal 6 September 1952 yang mengatur tentang hak cipta universal dan dikenal sebagai Universal Copyright Convention. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk memberikan perlindungan hak cipta secara universal.

  Salah satu ketentuan konvensi universal hak cipta adalah ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap hak cipta yang ingin dilindungi mencantumkan tanda (c) dalam lingkaran disertai nama pencipta, dan tahun karya cipta tersebut mulai dipublikasikan. Simbol tersebut menunjukkan bahwa hak cipta telah dilindungi di negara asalnya, dan telah terdaftar di bawah perlindungan

   hak cipta.

  Setelah mengalami revisi pada tanggal 24 Juli 1971 di Paris, konvensi ini terdiri dari 21 pasal dan dilengkapi dengan 3 protokol. Protokol I mengenai perlindungan karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang- orang pelarian, ataupun para pengungsi. Secara internasional hak cipta mereka itu perlu dilindungi. Protokol II mengenai berlakunya konvensi ini atas karya-karya 23 24 OK. Saidin.,Op. Cit. hlm. 216.

  daripada organisasi-organisasi internasional tertentu. protokol III berkenaan dengan cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini dengan cara bersyarat.

  Konvensi Bern jika dibandingkan dengan Konvensi Jeneva maka di situ terdapat perbedaan mengenai dasar falsafah yang dianut. Konvensi Bern menganut dasar falsafah Eropa yang menganggap hak cipta sebagai hak alamiah pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang menimbulkan hak monopoli. Sedangkan Konvensi Jeneva di samping kepentingan individu juga memperhatikan kepentingan umum. Konvensi Jeneva mencoba untuk mempertemukan antara falsafah Eropa dan falsafah Amerika yang memandang hak monopoli yang diberikan kepada pencipta diupayakan pula agar

   memperhatikan kepentingan umum.

  Universal Copyrights Convention berpendapat bahwa hak cipta itu

  ditimbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada pencipta. Oleh sebab itu jika dilihat dalam UUHC 1982 yang diperbaharui dengan UUHC 1987 dan UUHC 1997 menganut sistem yang terakhir ini, dimana hak cipta itu dilahirkan oleh undang-undang.

  Konvensi-konvensi internasional ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula

  

Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs

(“Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual”). 25

  Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk undang-undang Nomor 7 tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World

  

Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (“Perjanjian Hak Cipta

WIPO”) melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

  B.

  

Pengaturan Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

tentang Hak Cipta

  Pengaturan hak cipta sudah lama dikenal dan dimiliki di Indonesia sebagai hukum positif sejak zaman Hindia Belanda dengan berlakunya Auteurswet 1912.

  Pada tahun 1982 ini kemudian disahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagai pengganti Auteurswet 1912. Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 yang selanjutnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini berlaku sampai tahun 2014, yang kemudian digantikan oleh undang-undang hak cipta terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 yang berlaku hingga saat ini.

  Pengaturan yang berlaku bagi perlindungan hak cipta di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang- undang ini disebutkan lebih memberi perlindungan bagi para pencipta di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal di dalamnya yang lebih memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak dalam hak cipta, terutama pencipta.

  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebelumnya mengatur hak cipta dalam 78 Pasal, namun dalam UUHC 2014 telah dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap pasal-pasal dalam hak cipta, serta penambahan pasal sehingga UUHC 2014 mengatur mengenai hak cipta dalam 126 pasal.

  Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ini mengatur lebih banyak mengenai defenisi, seperti adanya defenisi atas “fiksasi”, “fonogram”, “penggandaan”, “royalti”, “Lembaga Manajemen Kolektif”, “pembajakan”, “penggunaan secara komersial”, “ganti rugi”, dan sebagainya.

  UUHC 2014 membahas lebih detail isu yang sebelumnya telah dicantumkan dalam undang-undang lama. Sebagai contoh, pembahasan hak ekonomi, hak cipta, dan hak terkait diberi porsi 17 pasal. Termasuk di dalamnya adalah ketentuan mengenai kepemilikan hak ekonomi pencipta yang telah dijual putus (sold flat) kepada pihak lain akan beralih kembali kepada pencipta setelah 25 tahun (Pasal 18 UUHC 2014) dan ketentuan yang sama untuk performer lagu

   dan/atau musik yang telah dijual hak ekonominya (Pasal 30 UUHC 2014).

  Penjelasan Umum UUHC 2014 ini menunjukkan bahwa secara garis besar UUHC 2014 memiliki perbedaan dengan undang-undang sebelumnya. Undang-

  

  undang ini mengatur antara lain tentang: 1.

  Perlindungan hak cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang; 26 Selvie Sinaga, “Catatan Terhadap UU Hak Cipta Baru”, Kompas,

  

(diakses tanggal 26

Februari 2015). 27 Letezia Tobing, S.H., “Ini Hal Baru yang Diatur di UU Hak Cipta Pengganti UU No 19 Tahun 2002”, hukumonline.com

  2. Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau pemilik hak terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat); 3. Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase, atau pengadilan sera penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana;

  4. Pengelola tempat perdagangan bertanggungjawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di pusat tempat perbelanjaan nyang dikelolanya; 5. Hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia;

  6. Menteri diberi kewenangan untuk menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila ciptaan tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan;

7. Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga

  Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan atau royalti; 8. Pencipta dan/atau pemilik hak terkait mendapat imbalan royalti untuk ciptaan atau produk hak terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial; 9. Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri;

10. Penggunaan hak cipta dan hak terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

  Selain itu dalam UUHC 2014 Pasal 16 ayat (1) diatur juga tentang pengalihan hak cipta dengan wakaf, dan dalam ayat (3) dikatakan bahwa hak cipta adalah benda bergerak tidak berwujud yang dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia. Mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta yang lebih panjang, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa jangka waktu perlindungan hak cipta adalah selama hidup pencipta dan berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, dan dalam UUHC 2014, masa berlaku hak cipta diperpanjang menjadi seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah meninggal.

  Hak cipta dalam UUHC 2014 terbagi atas dua jenis hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak moral pencipta tanpa batas waktu seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 57 ayat (1) UUHC 2014 adalah hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; menggunakan nama aslinya atau nama samarannya; mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya, berlaku tanpa batas waktu. Sedangkan hak moral pencipta yang berjangka waktu sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (2) adalah hak untuk mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; dan mengubah judul dan anak judul ciptaan, berlaku selama berlangsungnya jangka waktu hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan.

  Undang-undang ini juga mengatur dalam Pasal 58 bahwa untuk hak ekonomi atas ciptaan, perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai 1 Januari tahun berikutnya. Jika dimiliki oleh badan hukum, maka berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman.

  Pasal 58 ayat (1) UUHC 2014 diatur juga bahwa perlindungan dalam pasal

  

  tersebut hanya berlaku bagi ciptaan berupa: a.

  Buku, pamphlet, dan semua hasil karya tulis lainnnya; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lain; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d.

  Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime; f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; g.

  Karya arsitektur; h. Peta; dan i. Karya seni batik atau seni motif lain.

  Namun dalam Pasal 59 ayat (1) UUHC 2014 diatur bahwa ciptaan

  

  berupa: a.

  Karya fotografi; b. 28 Potret; 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Bab IX, Pasal 58.

  c.

  Karya sinematografi; d. Permainan video; e. Program komputer; f. Perwajahan karya tulis; g.

  Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi, dan karya lain dari hasil transformasi; h.

  Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; i.

  Kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer atau media lainnya; dan j.

  Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Ciptaan berupa karya seni terapan, perlindungan hak cipta berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali diumumkan. Hal lain yang diatur dalam undang- undang ini adalah adanya larangan bagi pengelola tempat perdagangan untuk membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Menurut Pasal 114 UUHC 2014 pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 10 UUHC 2014 tersebut dijatuhi pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

  Pengelolaan hak ekonomi dalam hak cipta diatur dalam undang-undang ini yaitu dalam Pasal 1 angka 22 UUHC 2014 yang menyebutkan adanya Lembaga Manajemen Kolektif yang merupakan suatu institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

  Perbaikan dan penyempurnaan dalam UUHC 2014 ini bertujuan untuk memberi perlindungan yang lebih baik terhadap pencipta dan kepada pihak-pihak lainnya, seperti adanya kepastian hukum sebagai jaminan terhadap hak-hak masing-masing pihak dalam hak cipta. Tujuan ini tentu akan tercapai jika dilaksanakan secara benar dan tepat oleh seluruh pihak dengan adanya kesadaran dari setiap pihak akan keberadaan undang-undang ini sebagai payung hukum bagi perlindungan hak cipta di Indonesia.

  C.

  

Implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

dalam Memberi Perlindungan Hukum bagi Pencipta

  Hukum berfungsi sebagai alat perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia itu terlindungi, sehingga hukum harus dilaksanakan.

  Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini, hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu

   menjadi kenyataan.

  Perlindungan hukum terhadap hak cipta sesungguhnya merupakan pengakuan terhadap hak eksklusif, yaitu hak untuk menikmati sendiri manfaat ekonomi pada ciptaan, dengan mengecualikan orang lain yang tanpa 30 Otto Hasibuan, Hak Cipta Di Indonesia, Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, persetujuannya untuk turut menikmatinya. Hukum melindungi monopoli serupa itu dan mencegah orang lain mengambil manfaat dari ciptaannya secara tidak adil.

  Pencipta dapat menikmati sendiri hasil jerih payahnya tanpa gangguan apapun yang dapat merugikan kepentingannya dengan monopoli. Kekuatan proteksi monopoli itu yang diharapkan menjadi insentif untuk memacu kreativitas dan berkembangnya daya inovasi masyarakat, sehingga dapat melahirkan ciptaan- ciptaan baru yang lebih banyak dan beragam.

  Setidaknya ada beberapa alasan mengapa begitu pentingnya bagi seluruh pihak di Indonesia untuk memberi perhatian serius terhadap hak cipta, yaitu:

   1.

  Hak cipta mengandung budaya berpikir rasional, budaya berpikir kreatif, budaya bekerja dan berkarya, dan budaya menghormati karya atau jerih payah orang lain. Macam-macam budaya itu sangat diperlukan jika ingin membangun masyarakat atau negara maju.

2. Perkembangan dunia telah memasuki babak baru bahwa barang-barang ber-

  HKI umumnya dan ber-hak cipta khususnya sudah menjadi komoditi yang bernilai tinggi secara ekonomi. Semakin banyak negara menghasilkan barang ber-hak cipta semakin besar peluang meningkatkan devisa negara. Pada masa sekarang maupun yang akan datang, Indonesia tidak dapat lagi hanya mengandalkan komoditi ekspor yang bersumber dari (hasil) alam. Sumber daya alam itu terbatas dan suatu saat akan habis.

  3. Lahirnya WTO yang diikuti dengan TRIPs merupakan genderang persaingan bebas, bahkan pertarungan satu lawan satu antarnegara, dan secara riil adalah 31 persaingan antarmanusia. Kecerdasan, kreativitas, dan kecepatan bertindak manusia adalah kunci memenangkan persaingan . Apabila bangsa kita tetap tidak concern dengan budaya hak cipta, selamanya budaya mencipta (yang membutuhkan kecerdasan, kreativitas, dan kecepatan bertindak) tidak akan berkembang di Indonesia. Jika budaya mencipta tidak berkembang, seterusnya bangsa kita hanya menjadi pembeli atau konsumen produk-produk asing (Eropa, Amerika, Jepang, Korea, dan lain-lain) seperti selama ini.

  Munculnya UUHC 2014 merupakan suatu penyempurnaan yang dilakukan terhadap undang-undang sebelumnya. Tujuan dari penyempurnaan ini tentunya diarahkan pada perlindungan yang lebih baik yang diberikan terhadap pencipta dan ciptaannya.

  Perkembangan yang semakin pesat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra menimbulkan kebutuhan akan adanya peningkatan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang hak cipta, dan juga pemilik hak terkait. Turut sertanya Indonesia dalam berbagai perjanjian internasional di bidang hak cipta dan hak terkait juga mendorong Indonesia untuk mengaplikasikannya secara lebih lanjut dalam sistem hukum nasional, agar para pencipta dan kreator nasional mampu berkompetisi dalam jangkauan internasional.

  Hal ini juga termasuk dalam beberapa latar belakang lahirnya UUHC 2014 menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa tujuan dari lahirnya undang-undang tersebut secara nyata adalah untuk memberi perlindungan yang lebih baik terhadap pencipta. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal dalam undang-undang tersebut yang menunjukkan keseriusan perlindungan yang diberikan terhadap pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait.

  Implementasi dari UUHC 2014 belum banyak yang dapat dilihat secara nyata dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini disebabkan undang-undang ini masih baru diberlakukan sejak akhir tahun 2014. Namun secara teori dapat dilihat gambaran dari pemberlakuan undang-undang ini dalam melindungi hak- hak para pihak dalam hak cipta di Indonesia.

  Terdapat beberapa perubahan dalam UUHC 2014 antara lain adanya perlindungan hak ekonomi dan hukum pencipta serta industri teknologi informasi dan komunikasi, dimana pada undang-undang terdahulu masalah hak ekonomi diletakan pada bagian umum penjelasan. Sedang dalam UUHC 2014 ini, hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta diatur dalam pasal khusus yakni Pasal 8-11 UUHC 2014, hak ekonomi atas potret dalam Pasal 12-15 UUHC 2014 yang pengalihannya diatur dalam Pasal 16-19 UUHC 2014.

  Demikian dalam jangka perlindungan, juga mengalami perubahan yang signifikan dimana dalam UUHC 2014 diberikan seumur hidup dan 70 tahun sesudah meninggal, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta hanya diberikan tambahan selama 50 tahun setelah

  

  meninggal. Implementasi dari pasal ini tentunya akan memberikan dampak positif bagi pencipta, dimana pencipta lebih dihargai dengan adanya perpanjangan

  32 “UU Hak Cipta Baru”, TRENDMARK Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, waktu perlindungan. Sehingga baik pencipta maupun keturunannya nanti masih dapat menikmati hak-hak atas ciptaannya.

  Pendaftaran ciptaan yang dulunya diatur dalam Undang-Undang Nomor

  19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta kini diatur dalam UUHC 2014 dengan istilah pencatatan. Dalam hal ini setiap ciptaan sudah dilindungi secara otomatis, namun penting bagi para pencipta atau pemegang hak cipta untuk mencatatkan ciptaannya, agar memiliki bukti yang sah jika dikemudian hari terjadi permasalahan atau sengketa menyangkut hak cipta tersebut. Tata cara pencatatan hak cipta diatur dalam Pasal 66 sampai Pasal 73 UUHC 2014.

  Selain mengenai pencatatan diatur juga mengenai hapusnya kekuatan hukum pencatatan dalam UUHC 2014. Dalam Pasal 74 UUHC 2014 disebutkan sebab-sebab terjadinya penghapusan kekuatan hukum pencatatan ciptaan dan hak

  

  terkait, yaitu: 1. permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait;

  2. lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 61;

  3. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembatalan pencatatan ciptaan atau produk hak terkait; atau

  4. melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, atau peraturan per undang-undangan yang penghapusannya dilakukan oleh menteri. 33

  Undang-undang hak cipta ini juga melindungi pencipta dalam hal terjadi jual putus (sold flat) yaitu dalam Pasal 18 UUHC 2014. Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun. Hal tersebut juga berlaku bagi karya pelaku pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, hak ekonomi tersebut beralih kembali kepada pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 tahun, yang diatur dalam Pasal 30. Pemberlakuan dari pasal ini memberi jaminan perlindungan bagi pencipta yang menjual ciptaannya untuk memperoleh kembali hak ciptanya secara otomatis setelah 25 tahun.

  Bentuk perlindungan lainnya dapat dilihat dalam hal penyelesaian sengketa hak cipta. Dalam BAB XIV tentang Penyelesaian Sengketa, Pasal 95 (ayat) 1 UUHC 2014 disebutkan bahwa: "Penyelesaian sengketa hak cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan".

  Berdasarkan pada Pasal 95 (ayat) 1 UUHC 2014 tersebut, bahwa upaya penyelesaian sengketa hak cipta bisa dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa dan arbritase sebelum ke pengadilan. Pasal ini merupakan terobosan baru didalam UUHC 2014. Selain itu juga bahwa untuk penyelesaian hak cipta yang salah satu pihaknya berada di luar negeri, diakomodir ketentuan penyelesainnya didalam Pasal 95 (ayat) 4 UUHC 2014, yang berbunyi: "Selain pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait dalam bentuk pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara

  Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana".

  Selain itu, setiap pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait bisa juga mengajukan gugatan ganti rugi melalui Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak cipta atau produk terkait. Ketentuan tentang ganti rugi ini disebutkan didalam Pasal 99 (ayat) 1 UUHC 2014. Menurut ketentuan Pasal 99 (ayat) 2 UUHC 2014 disebutkan bahwa: "Gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa permintaan untuk menyerahkan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta atau produk hak terkait". Selain itu juga pencipta, pemilik hak cipta dan pemegang hak terkait juga bisa bisa mengajukan putusan sela kepada pengadilan . niaga

  Penjabaran tersebut menunjukkan kembali bahwa perubahan dan penyempurnaan yang dilakukan terhadap UUHC di Indonesia telah menciptakan suatu perlindungan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi pencipta Indonesia. Hal ini dapat semakin baik jika diterapkan secara benar dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam bidang hak cipta. Sebab untuk menjamin terciptanya suatu suasana hukum yang baik, tidak hanya dibutuhkan undang-undang yang mengaturnya saja, tetapi juga kerjasama antara pemerintah, penegak hukum dan masyarakat dalam mewujudkannya. 34 News Detail, “Ketentuan Pidana Dan Penyelesaian Sengketa Hak Cipta Menurut Uu

  Hak Cipta No. 28 Tahun 2014”, Acemark Intellectual Property,

  Masyarakat Indonesia sendiri pun masih sangat rendah pemahamannya terhadap hak cipta khususnya dan HKI umumnya, terbukti bahwa kebanyakan orang tidak merasa bersalah menjual maupun membeli produk hasil bajakan. Penjual buku bajakan, kaset atau CD bajakan mungkin banyak yang sadar bahwa perbuatannya dilarang hukum. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan para pembeli karena memang undang-undang tidak spesifik melarang orang membeli barang bajakan. Hanya saja, langsung atau tidak langsung, banyaknya peminat barang bajakan itulah yang membuat maraknya produksi dan penjualan barang bajakan. Kalau saja masyarakat sadar nilai sebuah ciptaan sehingga merasa bersalah jika membeli barang bajakan, hal itu sangat efektif menekan bahkan mungkin menghentikan eksploitasi ciptaan orang lain oleh orang-orang yang

   hanya mementingkan diri sendiri.

  Masyarakat seringkali mengalaskan kurangnya kemampuan ekonomi yang mengharuskan mereka menjual dan membeli barang bajakan. Hal ini dikarenakan harga barang bajakan jauh berada dibawah harga barang asli. Bahwa perbaikan ekonomi rakyat harus dilakukan oleh pemerintah dan perekonomian rakyat yang sulit mempengaruhi meningkatnya tingkat kejahatan, itu benar. Pemimpin- pemimpin pemerintahan memang perlu menyadari bahwa dengan himbauan saja supaya rakyat menaati hukum, sementara kepedulian mereka terhadap kehidupan ekonomi rakyat yang sangat rendah, tidak ada artinya. Penegakan hukum yang

  35 konsisten haruslah sejalan dengan pembangunan seluruh aspek kehidupan

   masyarakat.

  Hal yang juga menjadi persoalan pokok menyangkut pelaksanaan hukum hak cipta adalah kultur dan paradigma masyarakat. Dalam pandangan kultur atau budaya, dalam pandangan tradisional yang sampai sekarang belum sepenuhnya pupus adalah bahwa suatu ciptaan oleh masyarakat dianggap sebagai milik bersama dan kalaupun ada pengakuan individu terhadap ciptaan, tetapi bentuknya lebih menonjolkan segi moral hak cipta daripada nilai ekonomisnya. Selain itu ada juga realitas yang menunjukkan dimana masyarakat kita umumnya tidak memandang kejahatan hak cipta sebagai kejahatan, atau dianggap tidak terlalu jahat. Sangat berbeda misalnya dalam pandangan masyarakat tentang kejahatan pencurian jika dibandingkan dengan kejahatan hak cipta.

  Penegakan hukum dalam perlindungan hak cipta ini sangat diperlukan. Oleh sebab itu, agar hukum ditegakkan sebagaimana mestinya, sosialisasi yang mendasar dan sistematis harus dilakukan dalam dua tahap:

  1. Pengetahuan hak cipta perlu masuk dalam kurikulum sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi;

  2. Sosialisasi hak cipta kepada segenap aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat perlu dilakukan secara intensif. Kalau pemerintah memiliki kemauan politik yang kuat untuk menegakkan hukum hak cipta, langkah-langkah pembaharuan tidak dapat sekadar mengutak-atik rumusan undang-undang atau melakukan razia secara insidentil. Yang lebih penting 36 adalah, melakukan upaya sistematis untuk mengubah budaya dan paradigma

   berpikir masyarakat dan penegak hukum.

  Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ini sudah memberi perlindungan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi pencipta.

  Namun, diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat dalam menerapkannya di dalam praktek hukum di Indonesia.

  Implementasi yang benar dari undang-undang tersebut yang dilakukan oleh seluruh pihak akan mempermudah tercapainya tujuan pembuatan undang- undang ini. Sehingga pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait semakin terjamin kepastian hukumnya. Hal ini juga diharapkan akan memberi pengaruh yang baik pula, dimana para pencipta akan semakin giat berkarya dan menghasilkan ciptaan-ciptaan yang lebih baik lagi tanpa takut akan kehilangan hak-haknya di kemudian hari.

  37