BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional Menurut Hukum Internasional Yang Melintasi Antar Negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dunia ini hampir tidak ada negara yang tidak melibatkan diri dalam

  usaha memanfaatkan ruang udara melalui penerbangan sipil, baik nasional maupun internasional. Hal ini disebabkan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai, khususnya dibidang penerbangan yang mampu menciptakan berbagai jenis alat penerbangan guns meningkatkan taraf kehidupan manusia.

  Kemampuan manusia menjelajahi ruang udara dipermukaan bumi ini dengan menggunakan berbagai jenis pesawat udara telah menampakkan dimulainya abad modern di bidang penerbangan disertai dengan segenap kompleksitas permasalahan yang dihadapinya.

  Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut. Di mana penyelenggaraan penerbangan sipil tersebut diatur dalam berbagai konvensi-konvensi internasional.

  Di dalam Konvensi Paris 1919 pada Pasal 1 memberikan suatu negara kedaulatan yang lengkap dan eksklusif di atas wilayahnya (termasuk dengan wilayah perairannya). Dan kedaulatan negara juga mencakup pula terhadap ruang udara yang berada di atas wilayah kedaulatannya.

  Pengaturan tentang kedaulatan negara di ruang udara di dalam Konvensi Paris 1919 belum mampu menentukan mengenai batas dan ketinggian wilayah udara suatu negara. Namun, yang ditetapkan di dalam konvensi ini adalah mengenai kedaulatan masing-masing negara atas wilayah udaranya

  Adanya dalil Hukum Romawi yang berbunyi, “Cuius est solom, eius usgue

  

ad coelum et ad inferos ” melandasi dibentuknya Konvensi Paris 1919. Dalil itu

  berarti: “Barangsiapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan

   segala apa yang berada di dalam tanah tersebut”.

  Dengan berakhirnya Perang Dunia I maka banyak negara-negara semakin mengembangkan teknologi ruang udara, yakni berupa usaha pengembangan teknologi penerbangan jarak jauh yang cepat, serta berusaha mencapai jarak ketinggian yang maksimal di ruang udara.

  Pesawat udara yang pada awalnya hanya dimiliki negara dan hanya dipakai untuk kepentingan militer saja, kemudian mulai menjadi suatu sarana perhubungan komersial yang umum. Dan pemilikannya bukan lagi sebatas oleh negara saja, melainkan telah pula dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta.

  Hal ini terjadi ketika pada tahun 1919 perusahaan penerbangan pertama memulai pengoperasian penerbangan berjadwal (scheduled) pertama antara kota London dan Paris. Protokol Paris 1939 adalah kelanjutan dari hasil-hasil Konvensi Paris 1919, dan mengangkat permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam

1 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Cambridge; Harvard University Press, 1949, hal. 213-214.

  kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi akibat aktifitas-aktifitas yang dilakukan di ruang udara.

  Ketentuan dasar yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian dalam Hukum Udara kemudian dimuat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang sebelumnya belum disepakati dalam Protokol Paris 1929 ini. Perjanjian-perjanjian internasional itu kemudian mengalami berbagai perkembangan, yang secara kronologis dapat diuraikan sebagai berikut: Convention for the Unification of

  

Certain Rules Relating to International Carriage by Air (sering disebut dengan

Konvensi Warsawa 1929).

  Pada tahun 1955 konvensi ini telah ditambah dengan The Hague Protocol, dan kemudian oleh Guadalajara Convention (1961), Guatemala Protocol (1971) dan Montreal Protocol (1975), sebagai tambahan: Montreal Protocol (1966) dan

  

Malta Agreement (1976). Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to

Third Parties on The Surface (sering disebut dengan Konvensi Roma (1952), yang

  menggantikan Konvensi Roma (1933) mengenai pokok masalah yang sama), dan protokol yang ditambahkan kepada Konvensi Roma (1952), yaitu Montreal

  Protocol (1978).

  Permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi telah dikenal sejak tahun 1927. Beberapa studi mengenai persoalan itu telah dilakukan, yang pada akhirnya berpuncak dalam Konvensi Roma (1933) dan Protokol Brussels (1938).

  Akan tetapi tidak pernah ada usaha yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, ketentuan-ketentuan Konvensi Roma (1933) juga segera menjadi ketinggalan di belakang perkembangan-perkembangan yang pesat di bidang penerbangan, dan konvensi itu hanya berhasil menarik sejumlah kecil persetujuan bagi ratifikasi oleh beberapa negara saja.

  Berdasarkan uraian di atas maka penulis memilih judul “Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional menurut Hukum Internasional yang Melintasi Antar Negara”

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang permasalahan maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana open sky policy sebagai instrumen hukum udara? 2.

  Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang kedaulatan negara atas ruang angkasa di wilayahnya?

  3. Bagaimana pengaturan penerbangan sipil internasional menurut hukum internasional yang melintasi antar negara?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan perumusan masalah maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah a.

  Untuk mengetahui open sky policy sebagai instrumen hukum udara.

  b.

  Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional tentang kedaulatan negara atas ruang angkasa di wilayahnya . c.

  Untuk mengetahui pengaturan penerbangan sipil internasional menurut hukum internasional yang melintasi antar Negara.

2. Manfaat Penelitian

  Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis berikut ini.

  a.

  Secara teoretis Diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada gilirannya dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum internasional khususnya dalam bidang Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional Menurut Hukum Internasional yang Melintasi Antar Negara.

  b.

  Secara praktis Diharapkan agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembuat kebijakan maupun pihak legislatif guna melengkapi peraturan perundang- undangan yang masih diperlukan terkait dengan pengaturan penerbangan sipil internasional menurut hukum internasional yang melintasi antar Negara.

D. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan penelusuran penulis terhadap judul skripsi yang ada di Perpustakaan, belum ada tulisan skripsi yang mengangkat judul tentang pengaturan penerbangan sipil internasional menurut hukum internasional yang melintasi antar negara. Oleh karena itu tulisan ini bukan merupakan hasil penggandaan dari karya tulis orang lain dan keaslian penelitian ini terjamin adanya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah :

  Novita Kartika 070200264 (2010) dengan judul Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi Internasional, dengan permasalahan sebagai berikut Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi Tokyo 1963 dan Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi The Hague 1970 serta Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi Montreal 1991.

  Syahreza (050200068) dengan judul Kedudukan, Pengaturan dan Pemanfaatan Wilayah Udara Dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dengan permasalahan sebagai berikut Perkembangan Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Kedudukan dan Pengaturan Hukum di Wilayah Udara dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia Terhadap Berbagai Aktifitas dan Pemanfaatan Wilayah Udara dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia Dalam Berbagai Aktifitas Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara GSO (Negara Kolong).

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional

  Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil

  

(civil aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara

  pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft) diatur dalam Konvensi Paris 1919, Konvensi Havana 1928, Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1958, dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang UNCLOS. Di berbagai hukum nasional seperti di Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris, dan Indonesia juga membuat perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft).

  Pasal 30 Konvensi Paris 1919 pesawat udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan oleh militer yang semata-mata untuk pelayanan publik (public services) seperti pesawat udara polisi dan bea cukai, sedangkan yang dimaksudkan dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara negara (state aircraft). Selanjutnya, menurut Pasal 32 Konvensi Paris 1919 pesawat udara negara (state aircraft) tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan di atas wilayah negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil (civil aircraft) di waktu damai dapat melakukan penerbangan lintas damai (innocent passage) di atas wilayah negara anggota lainnya.

  Dalam Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 juga diatur mengenai pesawat udara negara dan pesawat udara sipil. Pesawat udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai, sedangkan yang dimaksudkan dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara negara (state aircraft). Pesawat udara negara tidak mempunyai hak melakukan penerbangan di atas negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan di atas negara anggota lainya. Pesawat udara negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan

  

(nationality and registration mark), walaupun pesawat udara negara tersebut

terdiri dari pesawat terbang (aeroplane) dan helicopter.

  Perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara

  

(state aircraft) juga dapat ditemui dalam Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi

  Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang UNCLOS. Hanya istilahnya sedikit berbeda dengan istilah yang digunakan dalam Konvensi Paris 1919, Konvensi Madrid 1926, Konvensi Havana 1928, dan Konvensi Chicago 1944. Di dalam Konvensi Jenewa 1958 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCLOS menggunakan istilah pesawat udara swasta (private aircraft) dan pesawat udara dinas pemerintahan

  (government services).

  Menurut Pasal 21 Konvensi Jenewa 1958, pesawat udara swasta (private

  

aircraft) tidak mempunyai kewenangan penegak hukum seperti dimiliki oleh

  pesawat udara dinas pemerintah (public services) misalnya kewenangan pengejaran seketika (hot pursuit) terhadap pesawat udara atau kapal asing yang dicurigai melanggar hukum nasional negara pantai (coastal state) maupun negara tidak berpantai (land lock state). Demikian pula dalam Pasal 111 ayat (5)

   Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCLOS.

  Perbedaan antara pesawat udara negara (state aircraft) dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) juga dapat. ditemui dalam Konvensi Jenewa 1958 dan

   Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCLOS 1982. Menurut Konvensi

  Perserikatan Bangsa-Bangsa-UNCLOS 1982, private aircraft tidak mempunyai hak untuk menguasai atau menyita pesawat udara yang melakukan pelanggaran hukum, karena private aircraft tidak mempunyai kewenangan penegak hukum, kewenangan penegak hukum tersebut hanya dimiliki oIeh pesawat udara militer, pesawat udara dinas pemerintah (government services) sebagaimana diatur dalam

  Pasal 21 Konvensi Jenewa 1958. Demikian pula private aircraft juga tidak mempunyai hak untuk melakukan pengejaran seketika (hot pursuit) terhadap kapal atau pesawat udara asing yang dicurigai melanggar peraturan nasional negara pantai (coastal state) di laut teritorial atau perairan nasional karena private

  aircraft tidak mempunyai kewenangan penegakan hukum.

  Menurut Konvensi Jenewa 1958 istilah yang digunakan bukan pesawat udara sipil dan pesawat udara negara, melainkan pesawat udara militer atau pesawat udara dinas pemerintah (government services) di satu pihak dengan

2 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut International, Badan Pembinaan Hukum Nasionai (BPHN), Jakarta, 1978, hal. 221.

  3 Undang-Undang R.I. No.17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang

Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Seas), Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 76 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319..

  private aircraft di lain pihak kapal atau pesawat udara asing adalah hanya pesawat

   udara hanya pesawat militer atau udara dinas pemerintah (government service).

  Perbedaan pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara Negara (state aircraft) dan sisi kewenangan penegak hukum dapat pula ditemukan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCLOS 1982. Pasal 107 Konvensi PBB UNCLOS 1982 juga mengatur pesawat udara yang mempunyai hak untuk menguasai atau menyita pesawat udara asing atau kapal asing yang dicurigai melakukan pelanggaran hukum. Pesawat udara yang berhak menyita hanyalah pesawat udara militer atau pesawat udara yang dengan jelas ditandai dan dapat dikenali atau diketahui dinas pemerintah dan berwenang untuk maksud tersebut. Dengan demikian, pesawat udara tersebut harus secara tegas dan jelas digunakan dalam dinas pemerintah. Di samping itu, pesawat udara militer atau yang ditandai dengan jelas dinas pemerintah tersebut menurut Pasal 111 ayat (5) juga mempunyai hak pengejaran seketika terhadap kapal laut atau pesawat udara asing yang dicurigai melakukan pelanggaran hukum. Menurut Pasal 111 ayat (5) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCLOS 1982, pesawat udara instansi yang mempunyai wewenang penegak hukum ditandai dengan jelas dan mudah dikenali oleh pesawat udara yang melakukan dinas pemerintah dan dikuasakan untuk itu.

  Berdasarkan uraian Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCLOS 1982 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun tidak ada pasal secara khusus yang membedakan antara pesawat udara 4 K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 273-374. negara (state aircraft) dengan pesawat udara sipil (civil aircraft), bukan berarti bahwa tidak ada perbedaan antara pesawat udara negara (state aircraft) dengan pesawat udara sipil (civil aircraft). Karena perbedaan tersebut dapat disimpulkan dalam Pasal 21 yuncto Pasal 23 Ayat (4) Konvensi Jenewa 1958 dan Pasal 107 yuncto Pasal 111 Ayat (5) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCLOS 1982. Perbedaan kedua jenis pesawat udara tersebut berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh hukum internasional sebagaimana diatur dalam kedua Konvensi

   tersebut.

  Perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) di satu pihak dengan pesawat udara negara (state aircraft) di lain pihak tersebut didasarkan kewenangan masing-masing jenis pesawat udara yang digunakan oleh masing- masing instansi. Perbedaan demikian penting karena menurut hukum internasional perlakuan terhadap pesawat udara sipil (civil aircraft) berbeda dengan perlakuan terhadap pesawat udara negara (state aircraft). Pesawat udara negara mempunyai hak-hak kekebalan tertentu yang tidak dimiliki oleh pesawat udara sipil. Perlakuan demikian sejalan dengan Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1958, dan Konvensi PBB UNCLOS 1982 yang telah diuraikan di atas.

  Dengan demikian dari uraian di atas pengertian penerbangan sipil internasional adalah penerbangan yang dilakukan pesawat udara sipil yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan pada waktu damai dapat melintasi wilayah negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional lainnya. 5 Ibid., hal 274-275

2. Pengertian Hukum Udara (Air Law)

  Hukum udara (Air law, Aerounatical law, lucht Recth, Droit d’Arien) mencangkup kumpulan peraturan yang mengatur penggunaan ruang udara beserta

   seluruh manfaatnya begi penerbangan, masyarakat dan negara-negara di dunia.

  Dengan kata lain hukum udara mencangkup segala macam undang-undang, peraturan dan kebiasaan mengenai penerbangan serta segala hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, yang disusun secara perjanjian, kebiasaan dan hukum yang

  

  berlaku antara negara-negara. Tentang sifat dan luas wilayah berlakunya hukum udara, telah diketahui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif (full dan exclusive sovereignty) dalam ruang udara yang berada diatas wilayah darat dan lautannya.

  Hukum udara mengalami beberapa perkembangan diantaranya beberapa fase sebelum tahun 1910 dengan perkembangan Maxim yang menurutnya, hukum udara adalah hanya sebatas / terbatas pada ruang udara dengan ketinggian tertentu, selebihnya adalah bebas. Prinsip tersebut digunakan untuk suatu negara, bahwa negara memiliki ruang atau udara di atas wilayahnya tampa batas. Akan tetapi permasalahannya adalah tidak jelasnya penentuan batas tersebut. Kemudian fase yang kedua sesudah tahun 1919 dimana cikal bakal hukum udara adalah konvensi Paris, dimana menurut konvensi ini setiap negara diakui memiliki kedaulatan

  

  terhadap ruang udaranya atau terhadap ruang udara diatas wilayahnyaAkan tetapi Konvensi Paris 1919 ini tidak dapat diterima oleh banyak negara 6 7 Diederiks Verschoor, An Introduction to Air Law, (Kluwer : 1982), hal. 1.

  Priyatna Abdurrasyid, kedaulatan negara di ruang negara, disertasi, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 1972, hal. 25. 8 T. May Rudy., Hukum Udara dan Angkasa: Hukum Internasional II (Bandung: Refika Aditama, 2002), hal 25-32 menyebabkan tidak terpenuhinya jumlah peserta yang diisyaratkan untuk berlakunya konvensi. Oleh karena itu, konvensi ini tidak pernah berlaku. Namun demikian, ada beberapa negara yang telah memasukan ketentuan dari konvensi ini

   ke dalam perundang-undangan nasionalnya. Air Navigation Act.

3. Sumber Hukum Udara Internasional

  Sumber hukum udara (air law sources) dapat bersumber pada hukum internasional maupun hukum nasional. Sesuai dengan Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional mengatakan “international custom, as evidence of a

  

general practices accepted as law.” Sumber hukum udara internasional dapat

berupa multilateral maupun bilateral sebagai berikut.

  a.

  Multilateral dan Bilateral Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah berupa konvensi-konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat bilateral. Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 (enam puluh tujuh) negara yang dapat digunakan sebagai sumber hukum udara nasional dan internasional.

  b.

  Hukum Kebiasaan Internasional

  Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum kebiasaan internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional. Di dalam hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan 9 Groenewege, Air Freight To Greater Profit, sebagaimana dikutip Magdalenant, Air

  Cargo, Regulation and Claims , (Butterworths : 1983), hal.6 internasional. Namun demikian, peran hukum kebiasaan internasional tersebut semakin berkurang dengan adanya konvensi internasional, mengingat hukum kebiasaan internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 merupakan salah satu hukum kebiasaan internasional dalam hukum udara internasional. Namun demikian, pasal tersebut diakomodasi di dalam Konvensi Havana 1928 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam perkembangan teknologi, tindakan suatu negara dapat merupakan hukum kebiasaan internasional tanpa adanya kurun waktu tertentu. Hal ini telah dilakukan oleh Amerika Serikat dengan menetapkan Air Defence Identification Zone

  

(ADIZ). Tindakan Amerika Serikat tersebut diikuti oleh Kanada dengan

  menentukan Canadian Air Defence Identification Zone (CADIZ) yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Di dalam hukum laut internasional juga dikenal adanya hukum kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum.

  c.

   Prinsip-prinsip Hukum Umum (General Principles of Law)

  Selain hukum kebiasaan internasional dan konvensi internasional sebagaimana dijelaskan di atas, asas umum hukum (general principles recognized

  

by civilized nations) juga dapat digunakan sebagai sumber hukum udara. Salah

  satu ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional adalah “general principles or law recognized by civilized nations” sebagai asas-asas yang telah diterima oleh masyarakat dunia dewasa ini, baik hukum udara perdata maupun hukum udara publik. Asas-asas tersebut antara lain:

  (a) Prinsip bonafide (iktikad baik atau good faith), artinya segala perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik;

  (b) Pacta sun servanda, artinya apa yang diperjanjikan dalam perjanjjan harus dipatuhi, ditaati karena perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuat;

  (c) Abus de drojt atau misbrujk van rectht, maksudnya suatu hak tidak boleh disalahgunakan;

  (d) Nebis in idem, artinya perkara yang sama tidak boleh diajukan ke pengadilan lebih dari sekali;

  (e) Equality rights, maksudnya kesederajatan yang diakui oleh negara-negara di dunia; (tidak boleh saling intervensi kecuali atas persetujuan yang bersangkutan;

  (f) Non lequit, artinya hakim tidak dapat menolak dengan alasan tidak ada peraturan atau tidak ada hukum karena hakim mempunyai hak untuk

   menciptakan hukum (yurisprudensi).

  Ajaran hukum (doctrine) di dalam hukum internasional juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Di dalam Common Law

  

System, atau Anglo Saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai

  pemindahan risiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh korban. Tanggung jawab tersebut Asas-asas hukum umum tersebut di atas sebagian besar berasal dari Romawi yang telah diterima sebagai kaidah hukum oleh masyarakat dunia pada umumnya dan merupakan dasar lembaga-lembaga hukum dari negara-negara maju civilized 10 Ibid., hal. 6-7.

  

nations). Asas-asas tersebut telah diterima sebagai sumber hukum dalam hukum

  internasional yang dapat juga berlaku terhadap hukum udara nasional maupun internasional. Asas-asas tersebut bersifat universal yang berarti juga berlaku terhadap hukum udara perdata internasional maupun hukum udara publik internasional.

  d.

  Ajaran hukum (Doctrine) Ajaran hukum (doctrine) di dalam hukum internasional juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Di dalam Common Law

  

System, atau Anglo Saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai

  pemindahan risiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku (actor). Demikian pula ajaran hukum (doctrine) mengenai bela diri. Menurut ajaran hukum (doctrine) bela diri, suatu tindakan disebut sebagai bela diri bila tindakan tersebut seimbang dengan ancaman yang dihadapi. Oleh karena itu, pesawat udara sipil yang tidak dilengkapi dengan senjata, tidak boleh ditembak karena pesawat udara sipil tidak ada ancaman yang membahayakan. Di samping itu, penembakan pesawat udara sipil juga tidak sesuai dengan semangat Konvensi Chicago 1944 yang mengutamakan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut. e. Yurisprudensi

  Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, yurisprudensi juga merupakan salah satu sumber hukum. Ketentuan demikian juga berlaku terhadap hukum udara, baik nasional maupun internasional. Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak terdapat dua macam yurisprudensi yang menyangkut hukum udara perdata, masing-masing gugatan Ny. Oswald terhadap Garuda Indonesian Airways dalam tahun 1961 dan gugatan penduduk Cengkareng terhadap Japan Airlines (JAL) dalam tahun 2000.

  Dalam kasus penduduk Cengkareng vs Japan Airlines mengenai tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, sedangkan kasus Ny. Oswald vs Garuda

  

Indonesian Airways mengenai ganti rugi nonfisik. Pada prinsipnya, keputusan

  pengadilan tersebut hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti yurisprudensi yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya

  (The decision of the court has no binding force except between the parties and in

respect if that particular cases, artinya Keputusan Mahkamah Internasional tidak

  mempunyai kekuatan mengikat kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutkan tertentu itu.

F. Metode Penelitian 1.

  Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

  

  undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional menurut Hukum Internasional yang Melintasi Antar Negara.

  Penelitian hukum normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto. Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma- norma hukum in abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah

  

  konklusi, yaitu hukum in concreto, yang dimaksud. Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis, yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.

2. Pengumpulan data

  Pengumpulan data dilakukan secara studi kepustakaan, maka pembahasan dilakukan berdasarkan data sekunder, berupa: a.

  Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: peraturan perundangan nasional maupun terkait penerbangan sipil internasional yang melintasi antar negara.

  11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004, hal 14.

  12 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006, hal 91-92 b.

  Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil- hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.

  c.

  Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

   seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

3. Analisis Data

  Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif.

  Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

13 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 31-32.

G. Sistematika Penulisan

  Dalam skripsi yang berjudul “Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional Menurut Hukum Internasional Yang Melintasi Antar Negara”, sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Berisikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan dan metode penelitian serta Sistematika Penulisan

  BAB II OPEN SKY POLICY SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM UDARA Pada bab ini beriisikan mengenai Hukum Udara Internasional sub babnya diantaranya Sifat,Tujuan dan Jenis Hukum Udara Internasional dan Pelaksanaan Hukum Udara Internasional Open Sky Policy (Kebijakan Udara Terbuka) sub babnya berisikan antara lain Pengertian

  Open Sky Policy (OSP), Tujuan Open Sky Policy (OSP), Pemberlakuan Open Sky Policy dalam Hukum Penerbangan Internasional

  BAB III PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG ANGKASA DIWILAYAHNYA. Pada bab ini akan membahas tentang teori dasar tentang kedaulatan, Kedaulatan Negara dalam Lingkungan Internasional dan Pembajakan Pesawat Udara dan Tanggung jawab Pengangkut serta Pengaturan Tentang Kedaulatan Negara Menurut Hukum Udara Internsional

  BAB IV PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL YANG MELINTASI ANTAR NEGARA Pada bab ini akan membahas Batasan Pesawat Udara dan Status Hukum Pesawat Udara serta Hukum Indonesia tentang Registrasi dan Nasionalisasi Pesawat Udara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan membahas mengenai kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca dan penulis sendiri