BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek-Aspek Hukum Internasional Tentang Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, tentu membuat modus

  kejahatan dan pelarian dalam dunia kejahatan semakin beragam. Bentuk-bentuk kejahatan mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Banyak jenis kejahatan yang semula sukar untuk dilakukan, dengan kemajuan teknologi informasi menjadi hal yang mudah dilakukan oleh siapa saja.

  Pada saat ini para pelaku kejahatan dapat melakukan kejahatan dan pelarian dari suatu negara menuju ke negara lainnya dengan sangat mudah.

  Kondisi yang mengkhawatirkan sebagai dampak dari perkembangan teknologi infomasi adalah lingkup kejahatan tidak hanya terbatas pada lingkup lokal atau nasional saja, tetapi telah menjangkau lingkup internasional. Kejahatan yang menjangkau lingkup internasional inilah yang disebut dengan kejahatan transnasional. Dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional pada dasarnya amat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional memerlukan kerjasama antar negara yang terlibat dalam kasus kejahatan transnasional yang bersangkutan.

  Kerjasama antar negara tersebut dapat berupa perjanjian. Kerjasama antar negara dalam bentuk perjanjian disebut perjanjian internasional. Dalam hal ini perjanjian internasional yang dipergunakan dalam proses penegakan hukum

  

1 kejahatan transnasional antara lain adalah perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi merupakan dasar dari permintaan dan penyerahan seorang tersangka kejahatan transnasional oleh negara yang mengajukan permohonan ekstradisi. Ekstradisi sendiri adalah penyerahan seorang tertuduh atau seorang terhukum oleh suatu negara di wilayah mana ia suatu waktu berada kepada negara tempat ia disangka melakukan

   atau telah dihukum karena berbuat kejahatan.

  Selain itu ekstradisi bertujuan untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan dan pemidanaan karena seringkali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya (aut punier aut dedere). Kecuali dari itu negara yang wilayahnya merupakan tempat dilakukannya kejahatan adalah yang termampu mengadili penjahat karena di tempat tersebut bukti-bukti dapat diperoleh dengan lebih bebas, dan negara tersebut mempunyai kepentingan terbesar dalam memidana penjahat tersebut serta mempunyai fasilitas terbesar untuk

  

  mencapai kebenaran. Pada umumnya, ekstradisi sebagai tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi 1 Fika Habbina, Urgensi Pembentukan Konvensi Ekstradisi ASEAN Sebagai Upaya Preventif dan

  

Represif Kejahatan Transnasional di Asia Tenggara, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012, Hal. 4. 2 th

J. G. Starke, An Introduction to International Law, (London,Butterwordhs & Co (Publisher), 4 Edition)) 1958, Hal. 261. dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana negara pemohon ekstradisi tersebut dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang

   penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan.

  Secara umum terdapat dua alasan bagi suatu negara untuk melakukan ekstradisi, pertama goodwill dan keprihatinan internasional. Suatu perjanjian ekstradisi yang terjadi antara negara yang tidak mempunyai perjanjian hanya terjadi karena komitmen internasional, kedua, komitmen dimungkinkan karena adanya

  

  perjanjian antar negara. Dalam ekstradisi, penyerahan seorang tersangka kejahatan transnasional hanya dapat terjadi apabila telah ada pengajuan permohonan untuk menyerahkan oleh negara pemohon kepada negara yang dimohonkan. Penyerahan dan permohonan itu haruslah berdasarkan pada perjanjian ekstradisi antara masing- masing pihak, karena menurut hukum internasional jika tidak ada perjanjian,maka

   negara tidak mempunyai kewajiban untuk mengekstradisi pelaku kejahatan .

  Penyerahan ini merupakan intervensi yang cukup besar terhadap kebebasan dari orang yang bersangkutan tapi merupakan satu hal yang dibenarkan atas dasar

  3 Rakmad Saddam, Lembaga Ekstradisi sebagai Suatu Sarana dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Kejahatan Korupsi Ditinjau dari Hukum internasional , Skripsi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, 2012, Hal. 9. 4 Shaufy Rahmi, Tinjauan Yuridis terhadap Persetujuan antara Republik Indonesia dan Hongkong

  Special Administrative Region di Bidang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana ,Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010, Hal. 22. 5 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Pidana Internasional (Ekstradisi), PT TataNusa, Jakarta, 2010, Hal. 4.

  kepentingan umum setiap negara dalam memerangi kejahatan dan menghapuskan

   perlindungan terhadap buronan.

  Selain itu, Menurut Cherif Bassiouni,

   Sifat dari ekstradisi merupakan proses hukum yang dilakukan oleh dan

  antara dua atau lebih negara berdasarkan hukum internasional, dan hukum nasional dari setiap negara yang terlibat. Hal tersebut hanya merupakan bagian dari proses politik antar pemerintah. Implikasi dari konsepsi itu adalah bahwa individu hanya merupakan objek dan bukan subjek dari proses hukum. Sebagai konsekuensi dari konsepsi ini, individu yang menjadi subjek dari proses tersebut tidak akan memiliki hak untuk mengklaim terhadap negara masing-masing (negara-peminta dan negara yang diminta) kecuali masing-masing negara yang bersangkutan akan mengakui pandangan modern, bagaimanapun juga, bahwa individu adalah subjek hukum yang berhak untuk mengklaim dan menegaskan hak-hak yang diberlakukan untuk keuntungan mereka dari hukum internasional, perjanjian yang berlaku, termasuk

   perjanjian ekstradisi, dan huku m nasional termasuk hak konstitusional.

  Oleh karena itu dapat diakui bahwa ekstradisi adalah merupakan suatu lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas suatu tindak kejahatan.

  Hal ini hanya dapat diwujudkan jika adanya hubungan yang baik antara negara- negara di dunia, sehingga dapat lebih memudahkan di dalam pelaksanaan kerjasama antar negara dan dapat mempercepat penyerahan penjahat pelarian dari suatu negara ke negara lain. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara si pelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan, sehingga akan sangat sulit untuk melakukan suatu perjanjian dan

   penyerahan penjahat yang melarikan diri ke negara tersebut. 6 Robert Cryer, An Introduction to International Criminal Law and Procedure, Cambridge University Press, New York, 2007. Hal. 79. 7 M.Cherif Bassiouni, International Criminal Law, Volume II: Procedure, Transnational Publisher, New York, 1986. Hal 406. 8 Rakhmad Saddam, Op. Cit. Hal. 8. Perjanjian ekstradisi sendiri tidak hanya dikenal dalam bentuk hubungan bilateral antara dua negara saja. Ada juga perjanjian ekstradisi yang bersifat regional meliputi suatu kawasan yang terdiri dari beberapa negara atau sering juga disebut multi-regional. Beberapa negara di dunia sudah menerapkan konvensi ekstradisi untuk kawasannya. European Union telah menerapkan European Convention on

  

Extradition , 1957. Amerika juga menerapkan melalui Inter-American Convention on

9 Extradition , 1981.

  Namun apabila penyerahan pelaku kejahatan transnasional yang bersangkutan tidak dapat dilakukan oleh karena tidak adanya perjanjian ekstradisi yang dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan proses penyerahan tersebut maka proses penyerahan tersebut dapat didasarkan pada asas timbal balik yang telah disepakati.

  Asas timbal balik yang telah disepakati tersebut disebut Mutual Legal Assistance.

  Mutual Legal Assistance atau Perjanjian Saling Bantuan Hukum adalah

  perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana. Bantuan ini dapat berlangsung berupa memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer custody, dan memberikan bantuan dengan immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal. Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk politik atau alasan keamanan, atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak

9 Fika Habbina, Loc. Cit.

  dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan

   dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain.

  Mutual Legal Assistance pada dasarnya merupakan suatu bentuk perjanjian

  timbal balik dalam masalah pidana. Pembentukan Mutual Legal Assistance dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat adanya perbedaan sistem hukum pidana diantara beberapa negara mengakibatkan timbulnya kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Seringkali masing-masing negara menginginkan penggunaan sistem hukumnya sendiri secara mutlak dalam penanganan kejahatan, hal yang sama terjadi pula pada negara lain sehingga

   penahanan kejahatan menjadi lambat dan berbelit-belit.

  Objek Mutual Legal Assistance antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil aset hasil kejahatan, serta mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara-peminta Mutual Legal Assistance. Terdapat tiga alasan bagi suatu negara untuk melaksanakan Mutual Legal Assistance yaitu dua diantaranya sama dengan ekstradisi, dan yang ketiga adalah adanya persetujuan

10 Mekar Sinurat, “Perbandingan Ekstradisi dan MLA”, http://mekar-sinurat.blogspot.com

  /2009/10/perbandingan-ekstradisi-dan-mla.html , diakses pada 18 April 2014 11 Elisatris Gultom, “Mutual Legal Assistance dalam Kejahatan Transnasional Terorganisasi”, sebagaimana dimuat dalam http://elisatris.wordpress.com/mutual-legal-assistance-dalam-kejahatan- transnasional-terorganisasi/ , diakses pada 18 April 2014

   internasional dengan interpol yang dilakukan oleh pihak kepolisian suatu negara.

  Dalam prakteknya, pelaksanaan Mutual Legal Assistance di antara negara-negara didasari pada beberapa prinsip penting, antara lain: prinsip kerjasama, prinsip

  

reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik, instrumen hukum Mutual Legal

13 Assistance .

  Mutual Legal Assistance muncul sebagai salah satu upaya dalam mengatasi

  dan memberantas berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas (transnasional). Hal ini sangat wajar terjadi, mengingat terhadap kejahatan yang dimensinya nasional, dalam pengertian dampak dari kejahatan tersebut sifatnya nasional, dan pelaku kejahatan hanya warga negara setempat, cukup ditangani secara nasional tanpa perlu

  

  melibatkan negara lain. Mutual Legal Assistance ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan konvensi PBB misalnya, dalam United Nation

  

Convention Against Corruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk

  memiliki kerjasama internasional antara lain dalam bentuk Mutual Legal Assistance

   guna memberantas korupsi.

  Mutual Legal Assistance pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau

  multilateral, Mutual Legal Assistance bilateral ini didasarkan pada perjanjian Mutual

  12 13 Mekar Sinurat, Loc. Cit.

  Nathania Dea Myrilla, “Penggunaan Mutual Legal Assistance dalam Upaya Ekstradisi”, sebagaimana dimuat dala diakses pada 22 April 2014 14 15 Shaufy Rahmi, Op. Cit. Hal. 23.

  Yunus Husein, “Mutual Legal Assistance : Suatu Keharusan dalam Penegakan Hukum”,

sebagaimana dimuat dalam http://yunushusein.files.wordpress.com/, diakses pada 18 April 2014,

Hal 1.

  Legal Assistance atau dasar hubungan timbal balik dua negara.

   Frasa timbal balik

  mengindikasikan bahwa bantuan hukum tersebut diberikan dengan harapan bahwa akan adanya timbal balik bantuan dalam suatu kondisi tertentu meskipun tidak selalu timbal balik tersebut menjadi prasyarat untuk pemberian bantuan. Supaya bantuan hukum timbal balik itu berjalan efektif dalam hal pelacakan, pembekuan, penyitaan, konfiskasi dan pengembalian aset seyogyanya hal tersebut didasarkan konvensi atau perjanjian internasional yang memungkinkan terjadinya bantuan hukum timbal balik.

  Untuk maksud ini, dorongan pada negara agar mengikatkan diri pada suatu perjanjian dan/atau melakukan perjanjian regional atau bilateral.

   “ States Parties shall afford one another the widest measure of Mutual Legal Assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences covered by this Convention. Mutual Legal Assistance shall be afforded to the fullest extent possible under relevant laws, treaties, agreements and arrangements of the requested State Party with respect to

  Instrumen hukum terkait dengan bantuan timbal balik yang akan dielaborasi lebih lanjut adalah sebagai berikut :

  1. United Nation Convention Against Transnational Organized crime (TOC)

  2. United Nation Convention Against Corruption 2003

  3. Article 46

16 Yunus Husein, Loc. Cit.

  17 Nina N. Utami, “Tahukah Anda Perbedaan antara Perjanjian Ekstradisi dan MLA”, sebagaimana dimuat dala , diakses pada 22 April 2014

  investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences for which a legal person maybe held liable in accordance with article 26 of this Convention in therequesting State Party.”

  4. Treaty on Mutual Legal Assistance

  5. International Convention for The Suppression of The Financing of The Terrorism.

  Mutual Legal Assistance merupakan salah satu bentuk perjanjian yang

  dibentuk di antara negara-negara dalam upaya mengatasi maraknya kejahatan transnasional terorganisasi, seperti kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang (money laundering), dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap kejahatan memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance, hanya kejahatan yang berdimensi internasional serta kejahatan yang memenuhi asas

  

  kejahatan ganda (double criminality) saja yang memerlukan penanganan melalui

  

Mutual Legal Assistance . Mutual Legal Assistance memiliki cakupan/ruang lingkup

  yang sangat luas mulai dari proses pencarian bukti-bukti atau keterangan-keterangan berkaitan dengan kejahatan yang sedang diperiksa hingga pelaksanaan putusan, sehingga hal ini akan memudahkan dalam pengungkapan berbagai bentuk . kejahatan 18 Asas kejahatan ganda (double criminality) adalah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk

  

meminta penyerahan (ekstradisi) adalah merupakan kejahatan atau peristiwa pidana menurut sistem

hukum kedua pihak (negara yang meminta dan negara yang diminta), sebagaimana dimuat dalam I

Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 29. 19 Elisatris Gultom, Loc. Cit.

  Dalam pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur Central

  

Authority . Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur

diplomatik, seperti Malaysia.

  B. Rumusan Masalah

  Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi?

  2. Bagaimana pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional?

  3. Bagaimana penyelesaian ekstradisi Alberto Fujimori menurut hukum internasional?

  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi.

  2. Untuk mengetahui pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional.

  3. Untuk mengetahui penyelesaian ekstradisi Alberto Fujimori menurut hukum internasional.

  Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

  a. Manfaat teoritis

  1. Untuk memberikan informasi mengenai aspek hukum internasional dalam penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori.

  2. Untuk menambah bahan pustaka bagi penelitian di bidang yang sama yakni pengaturan hukum internasional tentang pelaksanaan ekstradisi, khususnya dalam masalah penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori.

  b. Manfaat praktis Untuk menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam memahami upaya penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional serta menjadi upaya preventif bagi masyarakat untuk tidak meniru Alberto Fujimori sebagai pelaku kejahatan transnasional

D. Keaslian Penulisan

  Skripsi yang berjudul “Aspek-Aspek Hukum Internasional Tentang Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru)”.

  Penulisan skripsi tentang ekstradisi telah beberapa kali dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul yang bervariasi, salah satumya adalah Aspek-Aspek Hukum Internasional tentang Ekstradisi Augusto Pinochet (Mantan Presiden Chili). Persamaan dengan penulisan ini adalah bahwa objek penulisan sama-sama mengenai aspek-aspek hukum internasionnal tentang seseorang. Perbedaannya adalah pada orang yang dijadikan subjek penulisan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penulisan ini berbeda dengan penulisan sebelumnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

  Kejahatan Transnasional (Transnational Crime) adalah tindakan yang memiliki dampak lebih dari satu negara, melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara,sarana dan prasarana serta metode yang digunakan melampaui batas territorial suatu negara. Jenis kejahatan yang bersifat lintas batas negara berkembang mulai dari kejahatan internasional (international

  

crimes ), kejahatan transnasional (transnational crimes), sampai kejahatan lintas batas

yang terorganisir (transnational organized crimes).

  Kejahatan Internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi-konvensi multilateral dan diakui oleh sejumlah negara-negara peserta, sekalipun didalamnya terkandung salah satu.

  Transnational Organized Crimes adalah kejahatan terorganisir yang

  dilakukan lintas batas negara dimana kejahatan tersebut dilakukan lebih dari satu negara; dilakukan di satu negara namun bagian penting seperti persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengendalian dilakukan melibatkan kelompok kriminal dari negara lain di lebih dari satu negara atau dilaksanakan di satu negara tetapi berdampak pada negara lain.

  Oleh karena setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya berdasarkan prinsip sovereignty, maka dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional diperlukan kerja sama antar negara untuk menanggulanginya. Kerja sama ini diperlukan karena setiap negara tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan tersangka pelaku kejahatan kepada negara asing. Kerjasama antar negara ini disebut perjanjian internasional.

  Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

  Salah satu jenis perjanjian internasional yang dapat dipergunakan untuk menanggulangi kejahatan transnasional adalah perjanjian mengenai ekstradisi. .

  Menurut I Wayan Parthiana SH: ”Ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik atas, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang telah dilakukannya (terhukum,terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut,dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumnya.”

  

20 I Wayan Pharthiana, Ekstradisi Dalam Hukum internasional dan Hukum Nasional, Mandar Jaya, Bandung, 1993, Hal. 12.

  Sedangkan menurut L.Oppenheim :

   Ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah

  mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.

   “Mutual Legal Assistance adalah Perjanjian yang bertumpu pada pada

  permintaan bantuan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan lain-lain, dari negara-diminta dengan negara-peminta.” Secara sederhana, ekstradisi merupakan bentuk kerja sama antar negara berkaitan dengan pemberantasan kejahatan lintas batas negara (transnasional) dengan cara pengembalian tersangka, terdakwa, terpidana kepada negara yang memiliki yurisdiksi terhadap tersangka, terdakwa maupun terpidana tersebut. Hal ini merupakan bentuk dari aspek formal prosedural dari hukum internasional. Tujuan utama dari lembaga ekstradisi adalah mempelajari perilaku masyarakat internasional, yaitu perilaku para aktor (negara maupun non-negara) di dalam area transaksi internasional.

  Selain ekstradisi, Mutual Legal Assistance juga dapat dipergunakan untuk menanggulangi kejahatan transnasional. Mutual Legal Assistance merupakan perjanjian saling bantuan hukum antar negara dalam masalah pidana dimana negara- negara dapat bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana.

  Menurut Siswanto Sunarso:

  

  21 L.Oppenheim, International Law,a Treatise, 8 Edition, Volume one-peace, 1960, Hal. 696. 22 Siswanto Sunarso, “Ekstradisi dan Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana:Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional”, Jakarta, Rineka Cipta, 2009, Hal. 133.

  Dalam Chapter VIII International Legal Cooperation-United Nations of

  

Drugs and Crime (UNODC) Toolkit, Mutual Legal Assistance diartikan sebagai

  proses kerjasama internasional dimana negara-negara meminta dan menyediakan bantuan dalam mengumpulkan bukti yang akan digunakan dalam penyelidikan dan pengadilan kasus pidana, dan dalam melacak, membekukan, menyita dan akhirnya menyita kekayaan yang berasal dari perbuatan pidana.

  Dalam prakteknya pelaksanaan Mutual Legal Assistance diantara negara- negara didasari beberapa prinsip penting antara lain prinsip kerjasama dan prinsip

  

reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik. Prinsip kerjasama atau kerjasama

  internasional dalam kasus-kasus khusus merujuk pada kerjasama hukum atau kerjasama peradilan. Prinsip kerjasama biasanya diatur oleh perjanjian atau instrumen hukum legal diantara beberapa negara, atau pengaturan khusus diantara dua negara. Kerjasama yang diatur dalam perjanjian berbeda-beda, terkadang hanya menetapkan hal-hal umum, namun juga berkemungkinan untuk mengatur masalah pidana khusus seperti narkotika, korupsi sesuai kesepakatan negara-negara.

  Prinsip reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik pada umumnya didasarkan pada hukum acara pidana, perjanjian yang dibuat antar negara, konvensi serta kebiasaan internasional. Namun, kesepakatan serta kerjasama negara-negara dalam memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana tidak selalu dituang dalam sebuah perjanjian formal, hubungan baik antara negara-negara sering kali dijadikan dasar diberikannnya bantuan timbal balik, walaupun sebelumnya belum ada perjanjian yang mengatur hal tersebut.

  Dalam melaksanakan bantuan timbal balik dalam masalah pidana, terdapat aspek-aspek penting yang mendasari dilakukan kerjasama negara-negara, yakni: sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang mendukung proses penegakan hukum, sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang lahir dari hubungan antar negara yang menekankan pada prinsip kerjasama, hubungan antara kewenangan penegak hukum yang lebih sistematik dan upaya untuk menerapkan sistem bantuan timbal balik sebagai upaya pemberantasan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sistem bantuan timbal balik yang menekankan pelaksanaannya pada perjanjian dan

   resiprositas sebagai perwujudan good governance.

F. Metode Penelitian

  Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman-pedoman, cara seseorang mempelajari dan memahami lingkungan- lingkungan yang dihadapi sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk mendapatkan data yang valid dan relevan dengan judul dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan data-data yang valid dan relevan sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut: 23 Akbar Kurnia, “Mutual Legal Assistance in Criminal Matters”, sebagaimana dimuat dalam

  

diakses pada 6 Mei

2014

  1. Jenis Penelitian

  Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui metode penelitian hukum yuridis normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research) yang berhubungan dengan penulisan ini. Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian hukum dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan ekstradisi Alberto Fujimori. Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan kebenarannya dan kesimpulan itu ditujukkan untuk sesuatu yang sifatnya khusus). Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu peneltian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, dalam hal ini adalah kasus ekstradisi Alberto Fujimori.

  2. Sumber Data

  Data yang diperlukan adalah data sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian dan tulisan para ahli hukum, buku-buku, pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini. Materi skripsi ini diambil dari data-data sekunder yang dimaksud yaitu: a. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan dasar, dan yurisprudensi tentang ekstradisi.

  b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku tentang ekstradisi dan peraturannya, jurnal-jurnal, majalah dan surat kabar serta media internet yang memuat artikel tentang ekstradisi Alberto Fujimori.

  c. Bahan Huku m Tertier Yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Analisis Data

  Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data secara kualitatif, yakni data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat, tidak ada unsur angka tetapi tidak mengurangi validitas data tersebut.

G. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud adalah mengemukakan garis-garis besar dari uraian skripsi. Pembahasan skripsi ini, secara garis besar akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah yang menjadi objek penelitian dan saling berhubungan secara sistematis antara satu bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan kebutuhan penulisan skripsi ini. Maka akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Sistematika penulisan skripsi ini, yakni:

  BAB I : Bab pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang pemilihan judul skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

  BAB II : Menguraikan tentang sejarah ekstradisi, asas-asas ekstradisi, dan pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi. BAB III : Menjelaskan mengenai jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi, syarat-syarat pelaksanaan ekstradisi, dan pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional.

  BAB IV : Membahas tentang latar belakang kasus Alberto Fujimori, penolakan ekstradisi Alberto Fujimori oleh Jepang ditinjau dari hukum internasional, dan penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori ditinjau dari hukum internasional.

  Bab V : Berisi kesimpulan dari uraian jawaban rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini dan berisi saran dari penulis terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.