Analisis Profil Alumni Desain Produk Dal

Program Studi Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung 2014

LEMBAR PENGESAHAN

Analisis Profil Alumni Desain Produk Dalam Relasinya Dengan Pendidikan dan Keprofesian Desain Produk di Indonesia

Studi Kasus ITB Angkatan 2001 – 2008

Oleh: Aulia Ardista Wiradarmo 17510034

Laporan ini telah diperiksa dan disetujui sebagai bagian dari Tugas Mata Kuliah DP 4094 Semester II – 2013/2014

Mengetahui,

Pembimbing Skripsi Koordinator Tugas Akhir

Dr. Yasraf Amir Piliang, MA Dr. Deddy Wahjudi, M. Eng.

Ketua Program Studi Desain Produk

Dr. Adhi Nugraha

ABSTRAK

Saat ini usia desain produk di Indonesia sudah mencapai 42 tahun. Desain Produk ITB sebagai institusi pendidikan desain produk pertama di Indonesia berperan besar dalam membentuk desainer produk Indonesia. Namun belum pernah dilakukan studi khusus mengenai profil alumni Desain Produk ITB. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana efektivitas sistem yang selama ini berjalan dan mengetahui timbal balik dari alumni yang sudah bekerja. Lebih jauh lagi dapat ditarik kaitannya dengan perkembangan institusi pendidikan desain produk yang mulai marak dan juga keprofesian desain produk yang masih belum banyak dipahami masyarakat umum.

Kata kunci: desain, desainer, produk, alumni, profil, klasifikasi, pendidikan, keprofesian, Indonesia

ABSTRACT

Nowadays the age of Product Design in Indonesia is reaching 42 years. Product Design ITB as the first product design educational institution in Indonesia has a big impact of creating Indonesia’s product designer. But there is still no specific study about the profile of Product Design ITB’s alumnus. The aim is to understand how far is the effectivity of the on going system and to understand the feedback from the alumnus who have worked. Furthermore the relations between the vivid development of product design educational institutes and product design’s professionalism which is not yet understood by common people can be drawn.

Keywords: design, designer, product, alumni, profile, classification, education, professionalism, Indonesia

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas izinnya laporan skripsi penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini dimulai dari sebuah rasa penasaran akan kabar alumni-alumni Desain Produk ITB. Apakah mereka benar-benar menjadi desainer? Apakah perkuliahan sudah cukup sebagai bekal bekerja? Apakah mereka memiliki feedback akan apa yang sudah membentuknya selama minimal 4 tahun tersebut? Kecenderungan seperti apakah yang timbul dari luasnya bidang desain produk?

Dalam penelitian penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr. Yasraf Amir Piliang, MA, selaku pembimbing yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian serta penulisan skripsi secara baik dan benar;

2. seluruh responden yang terlibat dalam pengisian survei, khususnya Mufti Alem, Prita Arianti, Christine Oktaviani, Hilman Nugraha, Anastasia Sulemantoro, dan Anugrah Nurrewa yang telah meluangkan waktunya dalam proses wawancara dan memberikan banyak masukan kepada penulis;

3. segenap dosen-dosen Desain Produk ITB, yang telah bersedia memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

4. teman-teman Desain Produk 2010 dan FSRD 2010, atas dukungan moralnya selama penulis melaksanakan mata kuliah ini.

Harapan penulis skripsi dapat memberikan pandangan baru mengenai dunia desain produk di Indonesia sehingga para mahasiswa desain atau desainer dapat menyusun langkah yang harus diambil ke depan. Sedangkan untuk kalangan dari luar desain saya berharap buku ini dapat menyampaikan bahwa desain bukan keilmuan yang ekslusif, namun dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran terkait penelitian ini untuk perbaikan di kemudian hari.

Bandung, Juni 2014 Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awalnya desain disebut sebagai salah satu turunan dari keilmuan seni murni (fine art ), yaitu seni terapan (applied art). Pada saat itu batasan-batasan antara seni, desain, kriya, dan perekayasaan masih rancu. Ketika pengetahuan manusia semakin berkembang secara mendalam, terjadi fragmentasi dan spesialisasi sehingga bidang keilmuan desain harus berdiri sendiri. Kata desain mulai sering digunakan saat dibentuknya Bauhaus School of Design pada tahun 1919 di Weimar, Jerman. Meskipun begitu, masih banyak pendapat berbeda perihal pemaknaan kata desain.

Secara etimologis kata desain berasal dari bahasa Italia, yaitu designo, yang artinya menggambar. Dari satu kata ini tentu saja dapat ditarik definisi yang sangat luas. Definisi yang dapat mencakup sekaligus mendekati praktek desain secara harafiah adalah definisi Victor Papanek (1971) dalam bukunya, Design for the Real World; Human Ecology and Social Change . Menurutnya desain adalah segala aktivitas pemecahan masalah. Objek kajiannya dapat berupa peralatan, lingkungan, dan terutama manusia. Melalui definisi ini Victor Papanek ingin mengemukakan bahwa desain bukanlah bidang keilmuan yang ekslusif dan rumit, melainkan dapat dilakukan oleh siapa saja.

Desain merupakan keilmuan yang terbuka dan dinamis karena selalu mengikuti perkembangan zaman. Menurut Ralph Caplan (2005) fungsi utama desain adalah making things right . Tentu saja penilaian baik (right) tersebut dapat berubah-ubah sesuai konteksnya. Apabila tidak dilakukan secara bijaksana desain dapat memberikan dampak negatif, misalnya saja konsumerisme.

Desain yang dilakukan di masa lalu telah membentuk masyarakat kita saat ini. Begitu juga desain yang dilakukan saat ini akan membentuk masyarakat di masa depan. Seluruh proses yang terjadi selalu berkesinambungan. Untuk itu desainer harus dapat melihat selangkah lebih maju dan mempertanggungjawabkan hasil desainnya.

Gambar 1.1 Desain Sebagai Proses Berkelanjutan di Setiap Generasi (Sumber: The Characteristics of Design and Its Implications on Design Education)

Mengingat pentingnya desain dalam membentuk sebuah generasi atau peradaban maka harus dilakukan kajian dan penelitian yang mendalam, bukan hanya sekedar mendesain saja. Jika fokus keilmuan desain hanya pada kegiatan mendesain, akan muncul banyak desainer yang dapat mendesain tanpa mampu menjelaskan secara mendalam apa yang mereka desain. Praktiknya sangat banya k desainer yang tidak mampu menjelaskan “Apa itu desain?” walaupun mereka telah melakukannya berulang kali dalam keseharian.

Penelitian sangat berkaitan dengan hakikat manusia yang selalu mencari tahu mengenai kebenaran. Hal tersebut merupakan bagian dari karunia manusia, yaitu akal. Jakob Soemardja (2000) mengatakan bahwa ada empat buah lembaga kebenaran dalam sejarah umat manusia, yaitu: agama, filsafat, ilmu, dan seni. Desain menjadi bahasan yang menarik karena menggabungkan dua lembaga kebenaran yaitu ilmu dan seni.

Namun kebenaran yang dicari manusia bersifat relatif. Nilai kebenaran akan turun atau bahkan hilang apabila ditemukan kebenaran baru yang dianggap lebih valid. Maka dari itu manusia harus terus berjalan mencari kebenaran yang relevan pada masanya. Bayangkan saja apabila Galileo tidak memiliki rasa penasaran dan cukup puas dengan pernyataan bahwa bumi itu datar. Lalu siapa yang mengira Pluto akan disingkirkan dari daftar planet yang sudah kita hafal sejak kecil? Tanpa penelitian dan eksperimen tentunya pengetahuan manusia tidak akan berkembang.

Berkembangnya seni dan desain tentu saja tidak terlepas dari lembaga pendidikan terkait. Setiap tahunnya lembaga pendidikan mencetak lulusan-lulusan yang diharapkan Berkembangnya seni dan desain tentu saja tidak terlepas dari lembaga pendidikan terkait. Setiap tahunnya lembaga pendidikan mencetak lulusan-lulusan yang diharapkan

Keilmuan Desain Produk merupakan bidang keilmuan yang paling dekat dengan masyarakat, mengingat objek yang dikaji keilmuan ini hubungan resiprositas antara produk dan manusia. Terjadi partisipasi aktif antara pengguna dan produk. Dengan penelitian yang berkaitan dengan masyarakat, desainer dapat belajar untuk tidak hanya menciptakan produk namun juga membuat produk yang manusiawi.

1.2 Masalah Penelitian

Cakupan desain produk sangat luas sehingga perlu dilakukan pengklasifikasian mengenai bagian-bagian apa saja yang termasuk dalam bidang desain produk. Pilihan profesi dari keilmuan desain produk pun tidak hanya sebagai desainer produk saja. Sampai saat ini masih belum dilakukan studi terkait alumni mengenai profil dan kaitannya dengan pendidikan atau keprofesian desain produk.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, tidak diperkenankan mengambil hipotesis terlebih dahulu. Hipotesis tersebut diganti oleh pertanyaan penelitian sebagai berikut.

 Apa saja profesi, studi lanjutan, dan kecenderungan berkarya alumni Desain Produk ITB?  Bagaimana profil alumni Desain Produk ITB?

 Bagaimana relasinya dengan pendidikan dan keprofesian desain produk?

1.4 Tujuan Penelitian

 Mengklasifikasikan profesi, studi lanjutan, dan kecenderungan berkarya alumni Desain Produk ITB.  Mengetahui profil alumni Desain Produk ITB.

 Mengetahui relasinya dengan pendidikan dan keprofesian desain produk.

1.5 Pendekatan Penelitian

Penulis menggunakan pendekatan fenomenologis dalam penelitian. Fenomenologis merupakan salah satu cabang dari keilmuan filsafat yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl pada tahun 1900 lewat buku Logische Untersuchungen. Fenomenologis merupakan ilmu mengenai ada dan berada (wissenchaft des seins). Dalam praktiknya, penelitian berfungsi sebagai sarana memaparkan fenomena (penampakan) sebagaimana adanya melalui pengalaman kehidupan sehari-hari (lebenswelt). Tidak diperkenankan menyampaikan asumsi dan presuposisi sebelum memiliki data yang mendukung berupa pengalaman konkret.

1.6 Metode Penelitian

Tedapat dua jenis metode penelitian yaitu kuantitatif dan kualitatif. Berikut adalah perbedaan kedua metode penelitian tersebut.

Penelitian Kualitatif Masalah

Aspek

Penelitian Kuantitatif

Menekankan

beberapa Menekankan pada banyak aspek dari variabel

pada

satu variabel, jika mungkin dijadikan permasalahan yang lebih mendalam

Tujuan

Menguji teori dan menegakkan Mengembangkan kepekaan konsep dan fakta-fakta

penggambaran realitas yang tidak tunggal (jamak)

Pola pikir

Ada mas alah → berteori → Ke lapangan → menemukan data → berhipotesis → ke lapangan data dicocokkan dengan teori → teori mencari data → menguji hipotesis bersifat bottom up → teori bersifat top down

Responden

Banyak diambil secara random Jumlah kecil diambil secara purposive

Objek

Perilaku manusia dan fenomena Perilaku manusia dan proses kerja alam

Desain

Survei, studi kasus, eksperimen

Studi kasus

penelitian Sampel

Besar, memiliki kelompok kontrol Kecil, tidak representatif dengan tujuan Besar, memiliki kelompok kontrol Kecil, tidak representatif dengan tujuan

Metode

Angket, wawancara, observasi, Observasi, wawancara

pengumpulan

check list

data Bentuk data

Berupa angka atau data kualitatif Kata-kata, kalimat, gambar, perilaku, yang diangkakan

replika, manuskrip

Sifat

Deskriptif, komparatif, asosiatif

Deskriptif

Analisis

Menjawab masalah dan menguji Tidak menguji hipotesis tetapi hipotesis

menjawab masalah

Hasil

Generalisasi Lebih menekankan pada makna

Realitas bersifat statis Realitas bersifat dinamis

Tabel 1.1 Perbandingan Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Sumber: Metode Penelitian Ilmu Sosial)

Berdasarkan tabel di atas, metode penelitian yang lebih cocok untuk penelitian penulis adalah metode kualitatif. Alasannya adalah masalah yang dikemukakan bersifat bottom up , yaitu dimulai dari observasi pengalaman sehari-hari penulis sebagai mahasiswa Desain Produk ITB dan berkakhir dengan penjabaran fenomena mengenai karakter desainer produk lulusan ITB. Selain itu pemilihan subjek tidak bisa dilakukan secara acak.

Penelitian kualitatif dilakukan dengan tiga metode pengumpulan data, yaitu: observasi, survey, dan wawancara. Sebagian besar pertanyaan yang diajukan dalam survei maupun wawancara bersifat subjektif.

1.7 Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil berdasarkan data lulusan Desain Produk ITB tahun 2001 sampai 2008 secara purposive (dengan maksud tertentu). Dari keseluruhan mahasiswa setiap tahunnya, ternyata tidak semua mahasiswa terdata lulus. Mahasiswa tersebut bisa saja pindah program studi (masih dalam satu fakultas), pindah universitas, dropout, atau murni pada kesalahan pengarsipan Desain Produk ITB.

Lulusan 20

No Data 15 10

Diagram 1.1 Mahasiswa Desain Produk ITB Angkatan 2001 - 2008 (Sumber: dokumen Desain Produk ITB)

Mengingat banyaknya lulusan Desain Produk ITB, objek penelitian dibatasi sampai 8 tahun terakhir yaitu periode 2001-2008. Meskipun lulusan terakhir pada Semester II Tahun Ajaran 2013/2014, usia kelulusan yang cukup singkat dikhawatirkan menyebabkan belum tepatnya keputusan dalam memilih profesi atau malah masih belum bekerja.

Penelitian juga dibatasi untuk alumni yang masih memiliki keterkaitan profesi dengan desain produk, baik sebagai profesi utama maupun profesi sampingan. Dengan ini diharapkan penelitian akan lebih fokus sesuai dengan tujuan utamanya.

1.8 Kerangka Penelitian

Objek Metode

Teori

Sumber Data

 Desain Produk  Desainer Produk  Permasalahan Desain

 Buku Studi

 Jurnal Kajian Teori Literatur

 Metode dan Pola Pikir Desain

 Era Ekonomi Kreatif

 Essay

 Generasi Milenial

 Artikel

 Munculnya Pendidikan Desain  Taksonomi

Objek Metode

Data

Sumber Data

 Pendidikan Desain Produk di

 Kebijakan Pemerintah Terkait Desain

pendidikan

 Kementerian Studi

 Asosiasi dan Himpunan Terkait

Parekraf Lapangan

Observasi

Desain Produk

 Klasifikasi Produk

 Dirjen HAKI

 Publikasi Desain Produk

 USPTO

 Kompetisi Desain Produk

 Majalah  Website

Data Studi

Objek Metode

Teori

Persepsi Survei

 Hasil Survei Studi

Penelusuran Wawanca

Wawancara  Hasil Wawancara ra

Data Jenis

Objek Metode

Teori

Analisis

 Studi Persepsi kelamin

 Taksonomi

Umum

Domisii

 Studi Penelusuran Studi

 Taksonomi

 Klasifikasi Produk

 Permasalahan Desain

gan berkarya

 Metode dan Pola Pikir Desain

Objek Metode

Teori

Data  Wawancara

 Jenis Kelamin

 Domisili Profil

 Desainer Produk

 Era Ekonomi Kreatif

 Kecenderungan

 Generasi Milenial

berkarya  Profesi  Keluaran  Wawancara  Studi lanjutan

Pendidikan Analisis

 Pendidikan Desain Khusus

 Munculnya Pendidikan Desain

Produk di Indonesia

 Wawancara  Kebijakan

Pemerintah Terkait Desain

Keprofesian

 Desain Produk

 Publikasi Desain Produk

 Kompetisi Desain Produk

Tabel 1.2 Kerangka Penelitian (Sumber: dokumen pribadi)

1.9 Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi, penulis membuat sistematika sebagai berikut.

 BAB I Pendahuluan Menjabarkan mengenai latar belakang masalah yang diangkat dan pengantar

penelitian berupa masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, pendekatan penelitian, metode penelitian, subjek penelitian, dan kerangka penelitian.

 BAB II Desain Produk, Desainer Produk, dan Pembentuk Desain Saat Ini Kajian teori yang berkaitan dengan penelitian mengenai desain produk, desainer

produk, permasalahan desain, metode dan pola pikir desain, era ekonomi kreatif, generasi milenial, munculnya pendidikan desain, dan taksonomi untuk membantu pengklasifikasian.

 BAB III Observasi dan Survei Pengolahan dan pemaparan data mentah dari data lapangan berupa observasi dan

survei yang telah dilakukan oleh penulis. Bab ini memuat seluruh data mengenai subjek penelitian data-data yang dibutuhkan saat analisis.

 BAB IV Analisis Profil Dalam Kaitannya dengan Pendidikan dan Keprofesian Desain Produk Indonesia Penyajian data utama dalam bentuk paragraf, tabel, atau diagram beserta analisisnya.

Analisis dibagi menjadi analisis umum (taksonomi) dan analisis khusus (deskriptif) yang dikaitkan dengan kajian teori.

 BAB V Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dan saran mengenai penelitian tugas akhir. Kesimpulan merupakan

gambaran umum hasil penelitian sedangkan saran konstruktif dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut.

BAB II DESAIN PRODUK, DESAINER PRODUK, DAN PEMBENTUK DESAIN SAAT INI

Era kontemporer tentu menghadirkan beberapa perubahan dalam perkembangan tren desain produk, profil desainer produk, dan kebijakan dalam pendidikan desain. Perbedaan ini turut dipengaruhi oleh transformasi budaya (sosial, ekonomi, politik) secara keseluruhan.

2.1 Desain Produk

The Industrial Design Society of America (IDSA) mendefinisikan desain produk sebagai proses kreasi dan pembentukan konsep serta spesifikasi yang dapat mengoptimalisasi fungsi, nilai, dan penampilan produk maupun sistem untuk keuntungan bersama baik untuk pengguna maupun manufaktur/industri.

Tren desain produk selalu berubah sesuai dengan tuntutan pada zamannya. Desain produk pada era kontemporer memiliki beberapa isu sentral yang sering dijadikan landasan mendesain setiap desainer. Isu sentral dipilih berdasarkan kata-kata atau istilah desain populer yang sering digunakan dalam berbagai konsep karya produk maupun wacana terkait desain. Istilah populer tersebut adalah value (nilai), engagement (keterlibatan), culture (kultur), dan sustainable (berkelanjutan).

Gambar 2.1. Istilah Desain Populer (Sumber: ilustrasi pribadi)

Menurut Philip Kotler (2010), saat ini marketing memerlukan engagement antara produk dengan penggunanya. Keterlibatan pengguna tidak hanya sebagai subjek penelitian, namun juga melibatkan partisipasi aktif berupa kolaborasi dalam proses desain. Tidak Menurut Philip Kotler (2010), saat ini marketing memerlukan engagement antara produk dengan penggunanya. Keterlibatan pengguna tidak hanya sebagai subjek penelitian, namun juga melibatkan partisipasi aktif berupa kolaborasi dalam proses desain. Tidak

Kemudian muncul pula istilah slow design yang mengusung produk-produk buatan tangan. Meskipun produk dibuat dengan waktu yang lebih lama (slow) namun pengguna dapat melihat atau bahkan merasakan secara langsung proses pembuatannya sehingga lebih menghargai nilai produk tersebut dibanding produk buatan mesin. Desainer yang mengusung produk-produk buatan sendiri ini sering disebut sebagai designer-maker. Produk seorang designer-maker tidak diproduksi secara massal melainkan dalam edisi terbatas (limited edition) atau malah one of a kind, yang lagi-lagi menjadi nilai tambah.

Gambar 2.2 Engagement dan Value Sebagai Kunci Marketing Saat Ini (Sumber: Marketing 3.0)

Cukup sering terjadi perdebatan antara value dan cost. Value merupakan nilai tambah berupa konsep atau ide yang diusung suatu produk sedangkan cost merupakan harga asli yang digunakan dalam proses produksi, distribusi, atau promosi pada suatu produk dan dapat diuangkan. Nilai tambah ini tentunya dapat pula menaikkan nominal harga produk terkait. Daniel Pink (2005) dalam buku A Whole New Mind menyebutkan bahwa saat ini adalah era konseptual dimana ide-ide kreatif sangat dihargai. Maka pada era ini sebuah produk dianggap lebih berarti apabila memiliki cerita di dalamnya (behind the scenes story ).

Tabel 2.1.Perbedaan Pendekatan User Value (Sumber: User Value; Competing Theories and Models)

Isu yang dapat mendukung kedua isu sebelumnya adalah culture. Menurut Baxter (1999) dalam Deep Design, manusia bukan hanya makhluk fisik dan biologis saja, melainkan juga merupakan makhluk sosiokultural. Saat ini masyarakat Indonesia mulai sadar akan pentingnya identitas kultural dan menghargai produk-produk buatan lokal. Nilai-nilai kultural atau budaya sering ditambahkan dalam produk desain untuk mengangkat identitas ke-Indonesia-an, yang juga diminati oleh pasar. Seperti apakah desain khas Indonesia? Desain yang mengusung nilai-nilai kultur lokal seringkali dianggap sebagai jawabannya.

Gambar 2.3 Culture-orientated Design Model (Sumber: Culture-orientated Product Design)

Kemudian berbeda dari isu go green yang marak beberapa tahun sebelumnya, saat ini bergulir isu mengenai sustainable design atau desain berkelanjutan. Bertindak hijau saja dianggap tidak cukup dan seringkali malah memiliki dampak negatif. Misalnya saja penggunaan minyak kelapa sawit yang dianggap ramah lingkungan namun dibaliknya telah menghilangkan hutan asli di Kalimantan karena petani lebih tertarik untuk menanam kelapa sawit yang menguntungkan secara finansial. Desain yang berkelanjutan mempertimbangkan aspek-aspek yang saling berkaitan dalam proses desain dan siklus produk (product life cycle) agar dampak positif dapat dirasakan secara menyeluruh.

Gambar 2.4 Konsep Desain Berkelanjutan (Sumber: www.sdingenieria.com)

2.2 Desainer Produk

Manusia telah mulai membuat produk-produk sejak jaman purba untuk bertahan hidup. Menurut Bryan Lawson (2007) dalam How Designers Think, proses tersebut dilakukan secara vernakular, yaitu proses yang berlangsung lama dan berulang-ulang. Seiring dengan berkembanganya pengetahuan manusia yang menuntut adanya spesialisasi pada keilmuan, pada saat ini desain dipelajari secara lebih mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya: analisis, sintesis, dan evaluasi.

Gambar 2.5 Ilustrasi Proses Desain (Sumber: How Designers Think)

Keputusan desain tidak dapat diambil oleh desainer saja. Desain terkait erat dengan pengguna, klien, dan lembaga pemerintahan (design constrain) sebagai pengambil keputusan utama. Misalnya di Indonesia terdapat Kementerian Perindustrian atau Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Desainer memang tidak dapat menentukan produk apa yang akan dibuat dalam masyarakat karena keputusan tersebut Keputusan desain tidak dapat diambil oleh desainer saja. Desain terkait erat dengan pengguna, klien, dan lembaga pemerintahan (design constrain) sebagai pengambil keputusan utama. Misalnya di Indonesia terdapat Kementerian Perindustrian atau Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Desainer memang tidak dapat menentukan produk apa yang akan dibuat dalam masyarakat karena keputusan tersebut

Gambar 2.6 Keputusan Desain (Sumber: How Designers Think)

Desainer produk memiliki peran penting di masyarakat, di luar dari peran utamanya dalam mendesain. Design Council mengemukakan beberapa peran dominan desainer produk saat ini. Peran-peran tersebut adalah sebagai berikut.

Co-creator Co-designing with people rather than for them Using communication devices to enable communities to have

Communicator

conversations around issues Devising plans of creative action to engage communities in

Strategist

tackling issues Building design-led skills among people to address challenge

Capability builder

themselves Creating powerful ideas to improve people’s live and spreading

Entrepreneur

them society-wide Using design research to bring people-centred perspectives to

Researcher

product and service development Bringing together communities using design-led tools to act upon

Facilitator

issues

Tabel 2.2 Peran Dominan Desainer Produk (Sumber: Design Council)

Pada tahun 2001 dalam kongres tahunan International Council of Industrial Design (ICSID) di Seoul dilahirkan sebuah deklarasi mengenai profesi desainer produk.

Deklarasi ini sangat penting untuk diketahui desainer produk Indonesia untuk menyamakan persepsi secara global dengan desainer produk atau desainer industri dari negara-negara lainnya. Terdapat lima poin penting dari perjanjian tersebut, yaitu: beretika, berskala global, memberi pencerahan, humanis, dan bertanggungjawab.

Gambar 2. 7 Industrial Designers’ Declaration (Sumber: Design: The History, Theory, and Practice of Product Design)

Fenomena yang marak beberapa dekade terakhir adalah munculnya desainer-desainer avant-garde atau high design yang diistilahkan Peter Domer (1990) sebagai designer star . Menurut Asmudjo Jono Irianto (2012) dalam sebuah pameran bertajuk Design/Art designer star ada dalam posisi above the line, yaitu desainer yang tampil ke permukaan dan dikenal publik. Berbeda dengan posisi below the line para desainer yang bekerja di bidang industri atau teknologi dan hanya produk-produknya yang sampai ke publik.

Pada fenomena ini posisi desainer hampir sama seperti seniman yang lebih dikenal karena nama besarnya, bukan lagi karya-karya yang dihasilkan. Setiap karya yang dihasilkan seorang designer star pun cenderung akan lebih mudah diterima pasar. Beberapa contoh designer star adalah Karim Rashid (New York), Marcel Wanders (Belanda), Philippe Starck (Perancis), dan Patricia Urquiola (Spanyol).

Gambar 2.8 Karim Rashid (Sumber: www.core77.com)

Sedangkan nama-nama desainer Indonesia dari alumni Desain Produk ITB yang cukup sering mendapat publikasi adalah Singgih Susilo Kartono, Adhi Nugraha, Fauzy Prasetya, Fitorio Bowo Leksono, Abie Abdillah, Zanun Nurangga, Gilang Mandiri, Handhyanto Hardian, Anastasia Sulemantoro, Denny Rasyid Priyatna, Diaz Adisastomo, dan House The House (Meizan Natadiningrat, Prananda Luffiansyah, Raditya Ardianto).

2.3 Permasalahan Desain

Masalah desain bersifat multidisiplin dan interaktif. Persoalan biasanya datang bukan dari desainer tersebut, tetapi dari klien atau target pengguna. Solusi yang dihasilkan pun dinamis dan dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman. Apalagi saat ini zaman terus berubah dengan cepat. Boleh dikatakan bahwa masalah desain yang ada saat ini pun merupakan kelanjutan dari desain yang telah dilakukan sebelumnya. Maka sebenarnya tidak ada solusi optimal untuk sebuah masalah desain, tetapi satu lingkup solusi yang dapat diterima pada masanya. Desain merupakan proses tanpa akhir yang akan selalu membutuhkan penyempurnaan karena tidak ada yang bebas kesalahan.

Bruce M. Tharp dan Stephanie M. Tharp (2009) dalam website core77 membagi permasalahan desain ke dalam empat tipologi sebagai berikut.

 Experimental Design

Gambar 2.9 Animal Project Karya Front Design (Sumber: www.core77.com)

Desain yang menekankan pada proses, bukan hasil. Dorongan utamanya adalah rasa penasaran seorang desainer, bukan berupa tujuan akhir spesifik. Proses yang dilakukan meliputi eksplorasi, eksperimen, dan penemuan.

 Commercial Design

Gambar 2.10 Louis Ghost Chair Karya Philippe Starck Untuk Kartell (Sumber: www.core77.com)

Desain yang paling banyak ditemui saat ini yaitu desain dengan orientasi pasar. Biasanya merupakan produk yang dibuat secara massal. Skala kesuksesannya pun diukur melalui skala ekonomi. Tujuan utama desain komersil adalah mendapatkan keuntungan berupa uang melalui kepuasan konsumen.

 Responsible Design

Gambar 2.11 XO Laptop Untuk One Laptop Per Child (Sumber: www.core77.com)

Desain yang sangat bertolak belakang dengan desain komersial. Target yang dipilih untuk dilayani justru adalah target yang banyak ditinggalkan oleh pasar. Contohnya adalah kaum cacat atau korban bencana alam yang sangat membutuhkan tetapi tidak menguntungkan apabila dilihat secara ekonomi. Responsible design sangat erat kaitannya dengan humanisme dan pengabdian masyarakat.

 Discursive Design

Gambar 2.12 Indigestive Plates Karya Rafael Morgan (Sumber: www.core77.com)

Istilah lain yang sering digunakan untuk discursive design adalah design-art. Desain ini merupakan yang paling konseptual diantara yang lainnya. Tujuannya adalah untuk mengkomunikasikan sebuah gagasan atau membangun kesadaran akan sebuah isu. Sisi ekspresif dari seorang desainer terlihat sangat kuat disini, maka dari itu sering dikatakan dekat dengan seni.

2.4 Metode dan Pola Pikir Desain

Proses desain berkaitan erat dengan metode desain. Meskipun mungkin saja metode desain setiap desainer berbeda-beda, dapat dicari benang merah persamaan di antara metode-metode desain tersebut. Hugh Dubberly (2008) dalam buku How Do You Design telah merangkum konsep metode desain berbagai desainer. Berikut adalah beberapa metode desain yang terbilang populer.

 Bryan Lawson (1980) First insight → Preparation → Incubation → Illumination → Verification

 Gerhard Pahl & Wolfgang Beitz (1984) Clarification of the task → Conceptual design → Embodiment design → Detail design

→ Solution

 Richard Buchannan (1997) Discover ideas → Identification & selection → Invention & judgment → Disposition & evaluation → Presentation

 Nigel Cross (2000) Exploration → Generation → Evaluation → Communication

 Clement Mok & Keith Yamashita (2003) Defining the problem → Innovating → Generating value

 IDEO (2004) Observation → Brainstorming → Rapid prototyping → Refining → Implementation. IDEO juga mempertimbangkan banyak aspek mulai dari manusia (disukai), bisnis (kelangsungan), dan teknis (kemungkinan dikerjakan).

Gambar 2.13 Pendekatan Desain IDEO (Sumber: IDEO Fact Sheet)

Dalam praktiknya metode desain tidak hanya dapat digunakan untuk mendesain produk, namun juga menyelesaikan permasalahan secara kreatif. Tahap-tahap dari metode desain sangat aplikatif untuk diterapkan dalam berbagai aspek. Kini masyarakat awam pun sudah mengenal pola pikir desain atau lebih sering disebut design thinking.

Salah satu pendiri IDEO, Tim Brown (2008) mengatakan bahwa design thinking adalah sebuah metodologi untuk menciptakan ide-ide baru (generate new idea). Design thinking berkonsentrasi pada inovasi dan penyesuaian dengan kebutuhan manusia (human-centered). Tujuannya adalah membuat ide-ide yang memang sesuai dengan kebutuhan, bukan ide yang dipaksa untuk disesuaikan. Secara singkat proses design thinking terdiri dari inspiration, ideation, dan implementation.

Gambar 2.14 Metode Design Thinking (Sumber: Harvard Business Review)

Kevin Clark (2008), direktur program IBM Corporate Marking & Communications, menyatakan bahwa sudah seharusnya desain bergerak melampaui batasan tradisionalnya untuk terus berkembang. Desain seharusnya berperan sebagai school of thought yang dapat menyelesaikan masalah-masalah terberat dunia. Design thinking dapat membantu profesi apapun untuk memecahkan masalah secara inovatif.

2.5 Era Ekonomi Kreatif

Kreativitas berarti kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru (make something from nothing ). Wacana mengenai kreativitas turut mempengaruhi perekonomian dunia. Di abad ke-20 ini, Ekonomi Kreatif adalah sektor yang berkembang dan banyak meningkatkan perekonomian suatu negara secara keseluruhan. Ekonomi kreatif dapat bertahan walaupun krisis sedang berlangsung dimana-mana. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan John Howkins (2001) ditemukan bahwa ekspor karya hak cipta Amerika

Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Hal ini sekaligus menandai dimulainya era ekonomi kreatif.

Gambar 2.15 Ilustrasi Perkembangan Pekerjaan Manusia (Sumber: A Whole New Mind)

Ekonomi kreatif tidak muncul tiba-tiba. Sebelumnya ada beberapa era dalam peradaban manusia yang telah dilewati sebagian masyarakat di seluruh dunia. Ketika satu era sudah tidak mendukung lagi, lahir era baru sebagai alternatif. Era ini dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang dilakukan manusianya. Menurut Alvin Toffler (1984) dalam buku The Third Wave , beberapa era tersebut adalah:  ekonomi pertanian, dimana kesadaran akan pemanfaatan sumber daya alam mulai

muncul  ekonomi industri, ditemukan pola kerja dan distribusi sehingga proses produksi menjadi lebih cepat dan massal  ekonomi informasi, munculnya teknologi informasi mempermudah koneksi semakin global dan produktif  ekonomi kreatif, fokus pada intensivitas dan kreativitas masyarakat serta menekankan bahwa ide adalah aset yang sebenarnya.

Gambar 2.16 Perjalanan Era Perekonomian Dunia (Sumber: The Third Wave)

Meskipun tidak berwujud (intangible), keorisinalitasan ide yang menghasilkan hal-hal baru dan beda menjadi sangat penting pada era ekonomi kreatif. Saat ini tulang punggung perekonomian negara-negara maju ada pada masyarakat kreatif. Karena itu pada era ini muncul peraturan terkait hak kekayaan intelektual untuk melindungi pemilik ide. Perkembangan ekonomi kreatif turut diikuti dengan perkembangan industri kreatif.

2.6 Generasi Milenial

Ahli sejarah dan ahli budaya seringkali membagi waktu ke dalam beberapa periode atau generasi. Periodisasi dapat mempermudah proses identifikasi permasalahan, karakter, maupun tren di setiap generasinya. Berikut adalah generation timeframe yang dibuat berdasarkan artikel William J. Schroer (2004) dalam website socialmarketing.org.

Gambar 2.17 Generation Timeframe (Sumber: www.socialmarketing.org)

Fokus penelitian adalah pada generasi Y (disebut juga generasi milenial), yaitu generasi dimana lulusan Desain Produk ITB angkatan 2001 – 2008 tumbuh. Generasi milenial adalah generasi yang lahir dalam kurun waktu akhir tahun 70-an sampai awal tahun 90- an. Populasinya terhitung sangat besar dan sedang ada dalam usia produktif (20 – 30 tahun). Generasi ini adalah tonggak masyarakat dalam beberapa tahun ke depan.

Sangat jarang peneliti desain yang mengaitkan karakter atau budaya generasi ke dalam penelitiannya. Padahal secara tidak langsung fenomena yang dihasilkan akan sejalan dengan perkembangan generasi. Apalagi desain adalah sebuah proses pemecahan masalah, sehingga sudah seharusnya tren desain berkesinambungan dengan permasalahan yang dihadapi setiap generasi.

Gambar 2.18 Perbedaan Generasi Pada Saat Ini (Sumber: www.visual.ly)

Generasi milenial lahir di era yang nyaman. Tidak ada lagi perang atau kekacauan politik. Bisa dibilang generasi ini adalah generasi posemosional. Sifat yang dominan adalah optimisme akan kemungkinan tanpa batas yang melahirkan kata kunci dari generasi milenial, yaitu renjana atau yang lebih dikenal dengan passion. Generasi ini percaya bahwa mereka harus memperjuangkan apa yang mereka sukai untuk mencapai kebahagiaan optimal. Maka generasi ini menjadi lebih ambisius terkait pencapaian dan cita-cita. Mereka tidak hanya mengejar karir yang aman (dari segi finansial), tapi juga nyaman.

Gambar 2.19 Passion Campaign (Sumber: www.munroe.com)

Sisi negatif yang kemudian timbul adalah sifat delusional. Meskipun pendidikan generasi ini tergolong baik, seringkali mereka merasa over-qualified dalam suatu pekerjaan. Mereka ingin langsung mendapatkan posisi di atas karena merasa mampu atau lebih baik dari rekannya dan menolak berjuang dari bawah. Jika harus pun sebagian besar lebih memilih untuk mencari tempat kerja lain yang memberikan mereka kesempatan lebih besar. Seringkali generasi milenial memiliki ekspektasi berlebih dan tidak mampu menerima kritik.

Melihat dari keadaan lingkungannya, generasi milenial adalah generasi yang terpapar kemudahan teknologi informasi dan komunikasi. William Deresiewics (2011) menyebut generasi milenial sebagai generation sell. Tentunya ini turut dipengaruhi berbagai kemudahan tersebut. Bahkan cultural hero dari generasi ini adalah entrepreneur, sebut saja Steve Jobs atau Mark Zuckenberg. Selain menjual dalam arti sebenarnya (produk atau jasa), generasi ini juga menjual diri sendiri lewat citra.

2.7 Taksonomi

Profesor Bruce Archer (1981) dari Departement of Design Research Royal College of Art membagi penelitian desain berdasarkan sepuluh area cakupannya sebagai berikut.

Design Research

Design history The study of what is the case and how things came to the way they are in the design area.

Design Design taxonomy The study of the classification of phenomena in the Phenomenology

design area.

Design technology The study of the principles underlying the operations of the things and systems comprising designs.

Design praxiology The study of the nature of design activity, its organisation, and its apparatus.

Design modelling The study of the human capacity for the cognitive Design modelling, externalisation, and communication of Praxiology

design ideas.

Design metrology The study of measurement in relation to design phenomena, with special emphasis on the handling Design metrology The study of measurement in relation to design phenomena, with special emphasis on the handling

Design axiology The study of worth in the design area, with special regard to the relations between technical, economic, moral, social, and aesthetic values.

Design philosophy The study of the logic of discourse on matters of Design

concern in the design area.

Philosophy Design epistemology

The study of the nature and validity of ways of knowing, believing, and feeling in the design area.

Design pedagogy The study of the principles and practice of education in the matter of concern to the design area.

Tabel 2.3 Area Penelitian Desain (Sumber: Design, Science, Method)

Dalam tabel di atas dijelaskan bahwa taksonomi desain termasuk ke dalam bidang ilmu fenomenologi desain. Taksonomi desain merupakan kajian mengenai klasifikasi fenomena dalam bidang desain.

Istilah taksonomi seringkali ditemukan dalam ilmu biologi. Publikasi pertama mengenai taksonomi adalah dalam buku Species Plantarum pada tahun 1753 oleh Carl Linnaeus, seorang botanis dan zoologis asal Swedia. Taksonomi digunakan untuk membantu pengklasifikasian organisme mulai dari kingdom sampai species. Linnaeus mengklasifikasikan organisme berdasarkan persamaan dan perbedaan karakteristiknya. Sistem taksonomi menjadi terobosan baru, bersamaan dengan munculnya nomenclature yaitu sistem penamaan hewan dalam bahasa latin yang terdiri dari genus dan species.

Gambar 2.20 Taksonomi Linnaeus (Sumber: www.cthatche.wordpress.com)

Taksonomi berasal dari bahasa latin yaitu taxis yang berarti pengaturan dan nomos yang berarti hukum. Maka pada perkembangannya, taksonomi tidak hanya diaplikasikan dalam ilmu biologi saja. Misalnya Bloom’s Taxonomy yang populer di ranah psikologi edukasi. Bloom’s Taxonomy merupakan teori mengenai perkembangan pola berpikir

manusia mulai dari remembering sampai tahap yang paling tinggi yaitu creating.

Gambar 2.21 Taksonomi Bloom (Sumber: www.wrightstuffmusic.com)

Segala proses klasifikasi dapat dibuat bagan atau hierarki taksonominya, termasuk desain. Pada penelitian ini taksonomi digunakan untuk membantu proses pengolahan Segala proses klasifikasi dapat dibuat bagan atau hierarki taksonominya, termasuk desain. Pada penelitian ini taksonomi digunakan untuk membantu proses pengolahan

2.8 Munculnya Pendidikan Desain

Institusi pendidikan seni dan desain pertama adalah Government School of Design yang berdiri pada tahun 1837 di London, Inggris. Sampai saat ini institusi tersebut masih berjalan, namun dengan nama yang berbeda yaitu Royal College of Art yang diresmikan pada tahun 1967. Menurut daftar yang dilansir businessinsider.com, Royal College of Art berada di posisi ke-7 sekolah desain terbaik dunia di tahun 2012.

Namun perkembangan pesat desain baru dimulai pada akhir abad ke-18, yaitu pada periode revolusi industri. Penyempurnaan mesin uap oleh James Watts pada tahun 1796 sangat mempengaruhi perkembangan teknologi mesin pada masa tersebut. Ongkos produksi yang semakin murah karena tidak perlu membayar upah menjadi sisi unggul mesin. Dampaknya tenaga kerja manusia mulai tergantikan tenaga kerja mesin.

Pameran industri dan teknologi yang pertama adalah Great Exhibiton di Crystal Palace, London, Inggris pada tahun 1851. Meskipun tidak seluruh lapisan masyarakat menyambut positif kemajuan teknologi, nyatanya semakin banyak mesin-mesin bermunculan menghasilkan produk massal.

Gambar 2.22 Ilustrasi Suasana Great Exhibition (Sumber: www.bl.uk)

Sebagai respons atas industrialisasi, John Ruskin dan William Morris membuat gerakan Arts & Crafts Movement pada tahun 1888 untuk kembali mempopulerkan produk- produk buatan tangan. Tujuannya adalah menghimpun para pengrajin dan pekerja seni. Selanjutnya muncul gerakan Art Nouveau (seni baru) dengan ciri khas elemen dekoratif. Elemen-elemen ini dibuat sangat detail sehingga produk hanya dapat dibuat jika memiliki keterampilan tangan yang tinggi. Beberapa tokohnya adalah Charles Rennie Mackintosh (Inggris), Henry Van de Velde (Austria), dan Antoni Gaudi (Spanyol).

Kedua gerakan ini sangat mempengaruhi berdirinya Glasgow School pada tahun 1894 di Skotlandia. Sekolah ini didirikan oleh Charles Rennie Mackintosh, Margaret MacDonald, Frances MacDonald, dan George Walton.

Selanjutnya banyak bermunculan kelompok-kelompok desain di berbagai negara. Pada tahun 1907 di Munich, Jerman berdiri kelompok German Werkbund. Kelompok ini terdiri dari seniman, pengrajin, desainer, dan jurnalis untuk meningkatkan edukasi dan publikasi kepada masyarakat. Negara-negara lain pun membuat kelompok sejenis seperti Austrian Werkbund (1910), Swiss Werkbund (1913), Swedish Sl ὂjdforenigen (1910), English Design and Industries Association (1915), dan De Stijl Netherlands (1917).

Melihat tingginya animo masyarakat akan bidang desain, Walter Gropius mendirikan Staatliches Bauhaus Weimar di Jerman pada tahun 1919. Bauhaus merupakan merger dari dua sekolah yaitu School of Arts and Crafts dan Academy of Arts. Dalam sejarah

desain, Bauhaus memiliki peranan yang sangat penting. Sekolah ini mencoba memadukan antara seni dan teknologi menjadi sebuah kesatuan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan masyarakat sebelumnya yang menganggap machine-made dan hand-made tidak bisa bersatu.

Gambar 2.23 Bauhaus (Sumber: www.momo-momo.com)

Sistem pendidikan Bauhaus banyak menekankan pada praktik. Bauhaus memiliki beberapa workshop spesialis, yaitu: printing, pottery, metalwork, mural, painting, stained glass , carpentry, stagecraft, weaving, bookbinding, dan woodcarving. Setiap workshop terdiri dari seniman dan pengrajin master sebagai pendidik. Menurut Bauhaus fungsi adalah kombinasi dari kondisi manufaktur dan kondisi sosial. Sayangnya Bauhaus harus ditutup oleh Nazi pada tahun 1933. Baru pada tahun 1947 dibuka kembali New Bauhaus di Amerika Serikat.

Sekolah lain yang berpengaruh dalam desain adalah Das Hochschule f ṻr Gestaltung d’Ulm (The Private School of Applied Arts) yang berdiri di Jerman pada tahun 1947.

Ulm didirikan oleh alumni Bauhaus, Max Mill. Ulm memasukkan pendekatan sains selain pendekatan seni dan teknologi. Kurikulumnya pun dibuat seimbang antara teori dan praktik. Beberapa departemen yang terdapat pada sekolah ini adalah: foundation course , arsitektur, film, media informasi, desain produk, dan desain komunikasi visual.

BAB III OBSERVASI DAN SURVEI

Bab ini memaparkan data-data mengenai subjek penelitian, yaitu Alumni Desain Produk ITB Angkatan 2001-2008 dan data-data terkait desain produk. Data dibagi menjadi data observasi berupa informasi dan gambar dari sumber ketiga dan data survei (studi persepsi, studi penelusuran).

3.1 Data Observasi

3.1.1 Pendidikan Desain Produk di Indonesia

Pendidikan mengenai seni dan desain pertama kali didirikan pada tahun 1947 dengan nama Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar (Universitaire Leergang voor de Opleiding van Tekehenlaren ) di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia, yang saat itu masih berlokasi di Bandung. Nama guru gambar digunakan sebelum akhirnya diubah menjadi guru seni rupa. Pengajar merupakan lulusan dari institusi pendidikan di luar negeri yang kemudian membawa pengetahuan tersebut ke Indonesia, seperti Jakob Soemardja dan Ries Muelder.

Selanjutnya Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung diresmikan pada tahun 1984 dengan lima program studi, yaitu: Seni Rupa, Kriya, Desain Komunikasi Visual, Desain Interior, dan Desain Produk.

Desain Produk Institut Teknologi Bandung berdiri pada tahun 1972. Jurusan Desain Produk mulai diminati pada tahun 2000an melihat berkembang pesatnya jumlah mahasiswa mulai dari tahun tersebut. Pada tahun 2004 Desain Produk ITB mendapat akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Terhitung sampai Juli 2013 Desain Produk ITB telah menghasilkan 563 lulusan.

Pendidikan seni rupa dan desain di ITB menjadi pionir dari menjamurnya pendidikan desain saat ini. Tujuannya tetap sama, yaitu meningkatkan kualitas masyarakat lewat desain. Setiap tahunnya lahir lulusan-lulusan baru yang diharapkan dapat membantu Pendidikan seni rupa dan desain di ITB menjadi pionir dari menjamurnya pendidikan desain saat ini. Tujuannya tetap sama, yaitu meningkatkan kualitas masyarakat lewat desain. Setiap tahunnya lahir lulusan-lulusan baru yang diharapkan dapat membantu

Gambar 3.1 Institusi Pendidikan Desain Produk di Indonesia (Sumber: website masing-masing institusi pendidikan)

Sampai tahun 2014 terhitung ada 15 institusi pendidikan desain produk di Indonesia yang tersebar di kota Bandung, Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, dan Surabaya. Sebanyak 4 diantaranya tergolong sangat baru jika dilihat dari tahun berdirinya yaitu dalam kurun waktu 4 tahun terakhir seperti dapat dilihat pada gambar. Melihat pesatnya pertumbuhan program studi desain produk terutama di Jakarta, tidak menutup kemungkinan institusi pendidikan desain produk di Indonesia akan terus bertambah.

Terdapat beberapa perbedaan dari 15 institusi pendidikan tersebut. Yang pertama adalah penamaan. Universitas Paramadina memberi nama desain produk industri kepada program studinya, sedangkan Universitas Surabaya dengan nama desain dan manajemen produk. Institusi pendidikan lainnya sepakat untuk memberi nama program studinya desain produk tanpa penambahan kata apapun.

Gambar 3.2 Perbedaan Fakultas (Sumber: website masing-masing institusi pendidikan)

Perbedaan yang kedua adalah penghimpunan dengan keilmuan serumpun dalam sebuah fakultas. Sebagian besar institusi pendidikan menghimpun desain produk dalam Fakultas Seni Rupa dan Desain. Universitas Pelita Harapan dengan School of Design memfokuskan diri pada pendidikan mengenai desain saja. Pendekatan sosial dan manajemen terlihat pada institusi pendidikan yang menempatkan desain produk di bawah fakultas industri kreatif. Selain itu cukup banyak yang melakukan pendekatan teknik kepada keilmuan desain produk, yaitu: Fakultas Arsitektur dan Desain Universitas Kristen Duta Wacana, Fakultas Teknik Perencanaan dan Desain Universitas Mercu Buana, Fakultas Teknologi dan Desain Universitas Pembangunan Jaya, dan Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya. Sisanya tidak memiliki fakultas tertentu dan menjadikan desain produk sebagai salah satu program studi pilihan yang berdiri sendiri.

Perbedaan pendekatan tentu menghasilkan pola pengajaran atau kurikulum yang berbeda pula. Kurikulum Desain Produk Institut Teknologi Bandung membagi beberapa topik berbeda pada mata kuliah studio. Misalnya Desain Produk IV mengenai komunitas dan Desain Produk V mengenai teknologi. Mahasiswa dibebaskan membuat produk sesuai minatnya masing-masing sesuai permasalahan yang diusung.

Berbeda dengan Desain Produk Universitas Pembangunan Jaya yang membagi mahasiswanya ke dalam 5 bidang spesialisasi, yaitu: fashion & lifestyle, interior & arsitektur, mainan, transportasi, dan teknologi informasi & komunikasi. Harapannya tentu saja agar mahasiswa bisa lebih fokus mendalami produk yang jadi peminatannya.

Sistem peminatan ini juga dilakukan oleh Desain Produk Universitas Esa Unggul yang memiliki 2 bidang spesialisasi, yaitu: transportasi dan industri. Namun sampai saat ini belum dilakukan penelitian mengenai kurikulum mana yang lebih efektif.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63