EFEKTIVITAS LATIHAN FISIK INTRA DIALISIS

EFEKTIVITAS LATIHAN FISIK INTRA DIALISIS TERHADAP KADAR KREATININ PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2016 SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH: LILIA FEBRITA 1414201082 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FORT DE KOCK BUKITTINGGI TAHUN 2016

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FORT DE KOCK BUKITTINGGI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN Skripsi , Mei 2016

Lilia Febrita

Efektivitas Latihan Fisik Intra Dialisis Terhadap Kadar Kreatinin Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016

viii + 65 halaman + 9 tabel + 1 skema + 8 gambar + 7 lampiran

ABSTRAK

Pada saat melakukan hemodialisis pasien gagal ginjal sering mengalami kram otot yang disebabkan kurangnya aktifitas sehingga dapat meningkatkan kadar kreatinin. Latihan fisik intra dialisis didefenisikan sebagai kegiatan yang terencana yang dilakukan pada saat dilakukan hemodialisa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas latihan fisik intra dialisis terhadap kadar kreatinin pada pasien yang menjalani hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016.

Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan rancangan two group pre test-post test . Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret 2016 terhadap seluruh pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa di Ruangan Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 71 orang per bulan dengan metode pengambilan sampel yaitu dengan cara accidental sampling . Data yang terkumpul diolah dengan uji T test.

Hasil penelitian didapatkan rata-rata kadar kreatinin yaitu sebelum (16,53) dan sesudah (2,86) menjalani HD dengan latihan fisik Intra Dialisis dan Rata-rata kadar kreatinin yaitu sebelum (16,63) dan sesudah (7,16) menjalani HD tanpa latihan fisik Intra Dialisis. Terdapat efektifitas latihan fisik sebelum pemeriksaan HD pada pasien yang menjalani hemodialisa dengan dengan p value = 0,000.

Disimpulkan bahwa Latihan fisik Intra Dialisis pada pasien yang menjalani hemodialisa lebih efektif dibanding tanpa latihan fisik Intra Dialisis Pada pada pasien yang menjalani hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016. Saran bagi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi agar meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dengan penyedian sarana prasarana yang diperlukan untuk dapat meningkatkan manfaat latihan fisik pada pasien yang menjalani hemodialisis.

Daftar Bacaan: 21 (2005 - 2015) Kata kunci : hemodialisis, kreatinin, latihan, fisik, intra dialysis

FORT DE KOCK HEALTH SCIENCES COLLAGE BUKITTINGGI NURSING of SCIENCES PROGRAM Research, May 2016

Lilia Febrita

Effectiveness Of Physical Exercises Intra Dialysis To the Level Of Creatinin In Patients Undergoing Hemodialisis At The RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi 2016

viii + 65 pages + 9 tables + 1 scheme + 8 pictures + 7 attachments

ABSTRACT

At the time of hemodialysis patients kidney failure often experience muscle cramps caused by lack of activity so that it can increase the levels of creatinin. The intra physical exercise was defined as the activity of dialysis proposed at hemodialisa done. This research aims to know the effectiveness of physical exercises intra dialysis to the levels of creatinin in patients undergoing hemodialisa at the RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi 2016.

Design research is quasi experiment with the design of two group pre test – post test. This research has been conducted in March 2016 to all chronic renal

failure patients undergoing hemodialisa in Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. The population in this study as many as 71 people per month with the sampling method by way of accidental sampling. The data collected is treated with test T test.

Research results didapatkanrRata average levels of creatinin (16.53) before and after (2,86) undergo physical exercises Intra HD with Dialysis and average levels of creatinin i.e. before (16,63) and after (7,16) undergo physical exercises Intra HD without Dialysis. There is the effectiveness of physical exercise before examination of HD in patients undergoing hemodialisa with p value = 0,000.

It was concluded that physical exercise Intra Dialysis in patients undergoing hemodialisa more effective than without Dialysis On the Intra physical exercise in patients undergoing hemodialisa at the RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi 2016. Suggestions for RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi in order to improve the quality of service of hospital with penyedian infrastructure that is required to be able to increase the benefits of physical exercise in patients undergoing hemodialysis.

Reading List: 21 (2005 - 2015) Keywords: hemodialysis, creatinin, exercise, physical, intra dialysis

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT karena telah memberikan nikmat kesehatan, kekuatan, pikiran yang jernih dan keterbukaan hati sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul

“Efektivitas Latihan Fisik Intra Dialisis Terhadap Kadar Kreatinin Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi Tahun 2016 ”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian penulisan Skripsi ini, sebagai berikut:

1. Ibu Dr. Hj. Evi Hasnita, SPd, Ns, M.Kes, Ketua STIKes Fort De Kock Bukittinggi.

2. Ibu Hj. Adriani, S.Kp, M. Kes selaku Ketua Prodi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Fort De Kock Bukittinggi

3. Ibu Direktur RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.

4. Ns. Lisavina Juwita, M. Kep, selaku pembimbing I dalam penyusunan Skripsi ini yang telah meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk, nasehat, bimbingan, serta arahan kepada penulis.

5. Ns. Yelmi Reni Putri, S. Kep, MAN, selaku pembimbing II dalam penyusunan Skripsi ini yang telah meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk, nasehat, bimbingan, serta arahan kepada penulis.

6. Bapak / Ibu Dosen beserta staf Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Fort De Kock Bukittinggi yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta nasehat selama menjalani pendidikan

7. Semua pihak yang telah membantu penulisan dan penyusunan Skripsi yang tidak bisa disebutkan satu persatu Dalam penyusunan Skripsi ini penulis sudah berusaha semaksimal mungkin namun penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Skripsi ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Bukittinggi, Juni 2016

Penulis

BAB VI PEMBAHASAN

49

A. Analisa Univariat ......................................................................

55

B. Analisa Bivariat ........................................................................

BAB VII PENUTUP

63

A. Kesimpulan ................................................................................

64

B. Saran ..........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Permohonan Menjadi Responden Lampiran 2 Informed Consent Lampiran 3 Lembar Observasi Lampiran 4

Surat Izin Penelitian Lampiran 5

Master Tabel Lampiran 6

Hasil Pengolahan Data Lampiran 7

Lembar Konsultasi

DAFTAR SKEMA

Skema Halaman

3.1 Kerangka Konsep .............................................................................. 34

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Gerakan Pereganggan Otot Leher ............................................ 27

2.2 Gerakan Pereganggan Otot Lengan............................................... 27

2.3 Gerakan Pereganggan Otot Lengan............................................... 28

2.4 Gerakan Pereganggan Otot Lengan............................................... 28

2.5 Gerakan Pereganggan Otot Kaki .................................................. 29

2.6 Gerakan Pereganggan Otot Kaki .................................................. 29

2.7 Gerakan Latihan Inti Ekstremitas Atas (Tangan) ........................ 30

31

2.8 Gerakan Latihan Inti Ekstremitas Bawah (Kaki) ........................

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Defenisi Operasional ........................................................ .... ... 34

5.1 Karakteristik Respoden ..............................................................

5.2 Rata-Rata Kadar Kreatinin Dengan Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sebelum Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 .............................. 44

5.3 Rata-Rata Kadar Kreatinin Dengan Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sesudah Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 .............................. 44

5.4 Rata-Rata Kadar Kreatinin Tanpa Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sebelum Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 .............................. 45

5.5 Rata-Rata Kadar Kreatinin Tanpa Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sesudah Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 .............................. 45

5.6 Perbedaan Rata-Rata Kadar Kreatinin Dengan Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sebelum Dan Sesudah Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 ..................................................................................... 46

5.7 Perbedaan Rata-Rata Kadar Kreatinin Tanpa Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sebelum Dan Sesudah Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 ..................................................................................... 47

5.8 Efektifitas Latihan Fisik Intra Dialisis Dengan Tanpa Latihan Fisik Intra Dialisis Terhadap Kadar Kreatinin Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 ................................................................. 48

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan irreversibel. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Smeltzer dan Bare 2015, p. 1448).

Angka kejadian gagal ginjal kronik ini meningkat setiap tahunnya. Pasien dengan GGK di seluruh dunia meningkat sejak tahun 1996. Pada tahun 1996 jumlah penderita gagal ginjal di dunia sebanyak 1 juta orang dan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2010 (Firman, 2010 dalam Retno 2011).

Terapi penggantian ginjal renal replacement therapy (RRT) merupakan salah satu terapi yang dipertimbangkan pada pasien dengan gagal ginjal kronik (GGK) tahap akhir. Terapi penggantian ginjal dapat berupa dialysis dan transplantasi ginjal. Salah satu tindakan dialysis adalah hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan dialysis jangka pendek atau pasien dengan GGK yang membutuhkan terapi jangka panjang (Smeltzer dan Bare 2015, p. 1457).

Hemodialisis pada penderita GGK akan mencegah kematian dan memperpanjang umur harapan hidup. Namun demikian hemodialisis tidak menyembuhkan dan memulihkan penyakit. Pasien tetap akan mengalami banyak permasalahan dan komplikasi serta adanya berbagai perubahan pada bentuk dan fungsi system dalam tubuh (Smeltzer dan Bare 2015, p. 1398).

Beberapa komplikasi yang sering dialami oleh pasien dengan hemodialisis diantaranya hipotensi, emboli udara, nyeri dada, pruritus, gangguan keseimbangan selama dialysis, mual dan muntah, kram otot yang nyeri, dan peningkatan kadar uremik dalam darah (Smeltzer dan Bare 2015, p. 1398).

Ginjal yang telah rusak tidak mampu mengeksresikan ureum sebagai sampah akhir metabolisme tubuh. Substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk didalam tubuh dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala uremik dapat ditandai dengan peningkatan ureum di dalam darah. Salah satu cara menurunkan kadar ureum dalam darah adalah dengan pengaturan diet rendah protein (Guyton & Hall 2005, p. 515).

Sementara itu, kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatinin disintesis oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot rangka, disana ia terikat secara reversibel kepada fosfat dalam bentuk fosfokreatin, yakni senyawa penyimpan energi. Akan tetapi sebagian kecil dari kreatinin itu secara irreversibel berubah menjadi kreatin yang tidak mempunyai fungsi sebagai zat berguna dan adanya dalam darah beredar hanyalah untuk diangkut ke ginjal. Kreatinin dalam darah meningkat apabila fungsi ginjal berkurang. Jika pengurangan fungsi ginjal terjadi secara lambat dan Sementara itu, kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatinin disintesis oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot rangka, disana ia terikat secara reversibel kepada fosfat dalam bentuk fosfokreatin, yakni senyawa penyimpan energi. Akan tetapi sebagian kecil dari kreatinin itu secara irreversibel berubah menjadi kreatin yang tidak mempunyai fungsi sebagai zat berguna dan adanya dalam darah beredar hanyalah untuk diangkut ke ginjal. Kreatinin dalam darah meningkat apabila fungsi ginjal berkurang. Jika pengurangan fungsi ginjal terjadi secara lambat dan

Kram otot pada pasien yang mengalami hemodialisis sebagai akibat dari cairan dan elektrolit yang dengan cepat meninggalkan ruangan ekstra sel. Selain itu pasein yang menjalani hemodialisis memiliki kekuatan otot yang lebih lemah dibandingkan orang normal. Kelemahan ini disebabkan oleh atrofi otot, kurang aktivitas, miopi dan neuropati otot atau kombinasi dari beberapa faktor tersebut sebagai efek dari peningkatan kadar kreatinin di dalam darah. Penguatan otot dapat dilakukan dengan melakukan kontrkasi pada otot sehingga akan menimbulkan injury pada serabut otot. Injury yang terjadi akan menyebabkan adanya respon tubuh untuk memperbaiki injury dan pada akhirnya akan meningkatkan kekuatan otot dan berefek kepada penurunan nilai kreatinin dalam darah (Smeltzer dan Bare 2015, p. 1398).

Penurunan kadar kreatinin darah dapat dilakukan dengan membatasi masukan sodium, mengurangi konsumsi protein, menghindari makanan yang mengandung fosfor ( labu, kerang, kacang-kacangan, kedelai dan susu rendah lemak), batasi menggunakan makanan yang mengandung potassium (pisang, bayam, dan kacang polong), dan latihan fisik. Latihan fisik intra dialisis didefenisikan sebagai kegiatan yang terencana yang dilakukan pada saat dilakukan hemodialisa. Latihan fisik penting dilakukan untuk meningkatkan kesehatan tubuh (Potter dan Perry 2006, p. 1636).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Ruangan Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2015 didapatkan data jumlah pasien yang menjalani hemodialisa sejak Januari sampai dengan Oktober

2015 sebanyak 857 orang. Dari data 15 orang pasien didapatkan rentang nilai ureum pasien sebelum dilaksanakan hemosialisis terendah 93 mg/dl dan tertinggi 225,3 mg/dl dan nilai kreatinin sebelum HD dengan rentang terendah 8,1mg/dl dan tertinggi 11,7 mg/dl. Menurut Anggraini (2010) nilai kreatinin pasien dengan gagal ginjal kronis setelah dilakukan hemodialisa berkisar 5 md/dl – 10 mg/dl. Dari wawancara yang dilakukan kepada perawat ruangan didapatkan data bahwa pada tahun 2014 pernah dilaksanakan latihan fisik intra dialisis kepada pasien yang bertujuan untuk menurunkan kadar kreatinin dalam darah. Namun kegiatan ini tidak rutin dilakukan karena keterbatasan jumlah perawat.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti “Efektivitas Latihan Fisik Intra Dialisis Terhadap Kadar Kreatinin

Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditentukan rumusan masalah penelitian bagaimanakah efektivitas latihan fisik intra dialisis terhadap kadar kreatinin pada pasien yang menjalani hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas latihan fisik intra dialisis terhadap kadar kreatinin pada pasien yang menjalani hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya Rata-rata Kadar Kreatinin Dengan Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sebelum Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016

b. Diketahuinya Rata-rata Kadar Kreatinin Dengan Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sesudah Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016

c. Diketahuinya Rata-Rata Kadar Kreatinin Tanpa Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sebelum Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016

d. Diketahuinya Rata-Rata Kadar Kreatinin Tanpa Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sesudah Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016

e. Diketahuinya Perbedaan Rata-Rata Kadar Kreatinin Dengan Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sebelum Dan Sesudah Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 e. Diketahuinya Perbedaan Rata-Rata Kadar Kreatinin Dengan Latihan Fisik Intra Dialisis Pada Pasien Sebelum Dan Sesudah Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016

g. Diketahuinya Efektifitas Latihan Fisik Intra Dialisis Dengan Tanpa Latihan Fisik Intra Dialisis Terhadap Kadar Kreatinin Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Agar hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai aplikasi ilmu yang telah didapat selama perkuliahan dan sebagai bahan masukan dalam menambah informasi, menambah ilmu dan wawasan ilmu pengetahuan.

2. Bagi Pasien yang menjalani Hemodialisis

Agar hasil penelitian ini dapat memberikan motivasi pasien yang menjalani hemodialisis untuk melakukan latihan fisik sehingga diperoleh hasil penurunan kadar kreatinin pada pasien gagal ginjal khususnya.

3. Bagi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

Agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi rumah sakit, sehingga ke depan ada perencanaan dan tindakan atau rancangan yang lebih baik dalam rangka untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dengan penyedian sarana prasaran yang Agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi rumah sakit, sehingga ke depan ada perencanaan dan tindakan atau rancangan yang lebih baik dalam rangka untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dengan penyedian sarana prasaran yang

4. Bagi Institusi pendidikan

Agar hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan bahan kepustakaan dalam pemberian Asuhan Keperawatan pada pasien hemodialisa.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini membahas efektivitas latihan fisik intra dialisis terhadap kadar kreatinin pada pasien yang menjalani hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016. Variabel independen dalam penelitian ini adalah latihan fisik intra dialisis dan variabel dependen dalam penelitian ini adalah penurunan kadar kreatinin. Penelitian ini merupakan jenis quasi eksperimen dengan teknik sampel accidental sampling. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan rancangan two group pre test- post test dengan kelompok intervensi dan kelompok control. Melihat perbandingan kadar kreatinin dalam darah pada kelompok yang diberikan

perlakuan dan kelompok kontrol digunakan t-test independen. Penelitian ini menggunakan lembar observasi sebagai alat ukur penelitian. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari 2016.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Fisiologi Ginjal

Ginjal terletak secara retroperitoneal pada bagian posterior dinding abdominal pada setiap sisi kolumnar vertebra diantara T12 - L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah sedikit berbanding ginjal kiri karena hati terletak di bagian kanan. Arteri renal bercabang dari aorta abdominal. Arteri renal kanan lebih panjang berbanding arteri renal kiri. Setiap arteri renal bercabang menjadi 5 arteri segmental sehingga memasuki hilus. Dari sinus renal, arteri segmental bercabang menjadi beberapa arteri lobar yang terdapat pada kolumnar renal. Arteri ini bercabang lagi menjadi arkuata dan areteri interlobular. Arteriol aferen yang bercabang daripada arteri interlobular akan membentuk glomerulus. Manakala vena interlobular akan bergabung membentuk vena arkuate dan seterusnya membentuk vena interlobar yang akan bergabung menjadi vena renal yang membawa darah ke jantung via vena kava (Potter & Perry 2006, p. 1679).

Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya dengan menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga dengan menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah.

Ginjal mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh, konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potassium, dan keseimbangan asam-basa dari tubuh. Ginjal menyaring produk-produk sisa Ginjal mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh, konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potassium, dan keseimbangan asam-basa dari tubuh. Ginjal menyaring produk-produk sisa

Ketika darah mengalir ke ginjal, sensor-sensor dalam ginjal memutuskan berapa banyak air dikeluarkan sebagai urin, bersama dengan konsentrasi apa dari elektrolit-elektrolit. Contohnya, jika seseorang mengalami dehidrasi dari latihan olahraga atau dari suatu penyakit, ginjal akan menahan sebanyak mungkin air dan urin menjadi sangat terkonsentrasi. Ketika kecukupan air dalam tubuh, urin adalah jauh lebih encer, dan urin menjadi bening. Sistem ini dikontrol oleh renin, suatu hormon yang diproduksi dalam ginjal yang merupakan sebagian daripada sistem regulasi cairan dan tekanan darah tubuh (Potter & Perry 2006. 1679).

B. Gagal Ginjal

1. Definisi

Gagal ginjal dapat terjadi dari suatu situasi akut atau dari persoalan- persoalan kronis. Gagal ginjal akut merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal secara mendadak dengan akibat terjadinya peningkatan hasil metabolit seperti ureum dan kreatinin (Guyton & Hall 2005, p. 512).

Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (Smeltzter & Bare 2015, p. 1448).

2. Epidemiologi

Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar kasus stadium terminal GGK. Apabila penyakit GGK seseorang telah mencapai stadium berat atau terminal maka terapi yang dapat meningkatkan harapan hidup penderita tersebut adalah dialisis dan yang paling baik dengan transplantasi ginjal. Penyakit gagal ginjal kronik ini merupakan penyakit yang diderita oleh satu dari sepuluh orang dewasa. Sekiranya tanpa pengendalian yang tepat dan cepat, pada tahun 2015 penyakit ginjal diperkirakan bisa menyebabkan kematian hingga 36 juta penduduk dunia (Guyton & Hall 200, p. 515).

Penyakit ginjal stadium terminal merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat. Hampir satu dari 10.000 orang per tahun mengalami penyakit ginjal stadium terminal. Pada tahun 1986 program penyakit ginjal stadium terminal dari Health Care

Financing Administration (HCFA) Medicare mencakup 114. 859 pasien dengan biaya hampir 3 milyar dollar per tahun. Pada 1984 dilakukan hampir 7000 tranplantasi ginjal, sedangkan pasien-pasien lainnya menjalani hemodialisis atau dialisis peritoneal. Penyakit ginjal stadium terminal merupakan program penyakit kronik yang terbesar di banyak negara. Menurut penelitian Feest dan kawan-kawan Devon dan Northwest, insiden penyakit ginjal stadium terminal berkisar 148 dari 1000.000 orang per tahun.

Di Indonesia, peningkatan jumlah penderita gagal ginjal bisa dilihat dari data kunjungan ke poliklinik ginjal dan banyaknya penderita yang menjalani cuci darah (hemodialisis). Dari data dari wilayah Jabar dan Banten dua tahun terakhir ini, bisa terlihat peningkatan jumlah pasien yang menjalani hemodialisis. Pada tahun 2007 tercatat hanya 2148 pasien dan meningkat menjadi 2260 pada tahun 2008. Dari jumlah itu, sekitar 30 persen pasien berusia produktif, yakni kurang dari 40 tahun. Hasil penelitian Khan dan kawan-kawan di Grampian, insiden penyakit ginjal stadium terminal berkisar 130 dari 1000.000 orang per tahun.

3. Etiologi

Pada gagal ginjal akut, fungsi ginjal hilang secara cepat. Daftar dari penyebab-penyebab seringkali dikategorikan berdasarkan di mana kerusakan telah terjadi (Guyton & Hall, p. 515).

a. Faktor prerenal Faktor ini adalah disebabkan oleh pengaliran darah ke ginjal yang berkurang. Contoh-contoh dari penyebab prerenal adalah hipovolemia yang disebabkan oleh kehilangan darah, dehidrasi dari kehilangan cairan tubuh akibat muntah, diare, berkeringat, dan demam, konsumsi cairan yang sedikit sekali, konsumsi obat seperti diuretik (water pills) yang mungkin menyebabkan kehilangan air yang berlebihan serta obstruksi pengaliran darah ke ginjal yang disebabkan oleh halangan dari arteri atau vena renal.

b. Faktor renal Faktor renal merupakan kerusakan secara langsung pada ginjal sendiri. Ini termasuk sepsis yang memicu kepada peradangan pada ginjal dimana fungsi ginjal menjadi tidak adekuat. Ini adalah disebabkan oleh pengambilan obat-obatan yang mengakibatakan keracunan pada ginjal. Antara obatnya adalah obat anti peradangan nonsteroid seperti ibuprofen dan naproxen serta yang lain-lain adalah

aminoglycosides [gentamisin(Garamycin),tobramycin], lithium (Eskalith, Lithobid), obat-obatan yang mengandung iodine seperti yang disuntikan untuk studi radiologi dengan dye (zat pewarna). Selain itu Rhabdomyolysis adalah salah satu faktor renal yang menyebabkan gagal ginjal akut. Ini adalah suatu situasi dimana terjadi penguraian otot yang disignifikasi dalam tubuh, dan produk-produk degenerasi dari serat otot menyumbat pada sistem penyaringan di ginjal.

antibiotiK

seperti

Ini sering terjadi karena trauma dan luka. Glomerulonefritis akut atau peradangan glomeruli ginjal merupakan satu faktor gagal ginjal. Antara penyakit dapat menyebabkan peradangan ini adalah sistemik lupus eritematosus, Wegener's granulomatosis , dan sindroma Goodpasture.

c. Faktor post renal Ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengaliran urin yaitu obstruksi dari kantung kemih atau ureter yang menyebabkan tekanan karena tidak ada tempat untuk pengaliran c. Faktor post renal Ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengaliran urin yaitu obstruksi dari kantung kemih atau ureter yang menyebabkan tekanan karena tidak ada tempat untuk pengaliran

Gagal ginjal kronis berkembang melalui waktu berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Penyebab-penyebab yang paling umum dari gagal ginjal kronis dihubungkan pada diabetes yang tidak terkontrol, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol serta glomerulonefritis kronik. Di antara penyebab-penyebab yang tidak umum adalah penyakit ginjal polikistik, refluks nefropati, batu di ginjal dan kanker prostat (Harsh Mohan).

4. Klasifikasi

The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mengklasifikasikan tahap penyakit gagal ginjal kronis kepada berikut:

a. Tahap 1: kerusakan ginjal dengan (LFG normal atau > 90 mL/min/1.73 m

b. Tahap 2: penurunan ringan pada (LFG: 60-89 mL/min/1.73 m

c. Tahap 3: penurunan sedang pada (LFG: 30-59 mL/min/1.73 m

d. Tahap 4: penurunan berat di (LFG: 15-29 mL/min/1.73 m

e. Tahap 5: gagal ginjal (LFG <15 mL/min/1.73 m 2 atau dialisis).

5. Patofisiologi

Gambaran umum perjalanan gagal ginjal dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan kecepatan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN) dengan rusaknya massa nefron secara progresif oleh penyakit ginjal kronik.

Perjalanan umum gagal ginjal dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN adalah normal dan penderita asimptomatik. Dalam stadium sedang berlaku insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Pada tahap ini, kadar BUN mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda karena tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi.

Pada stadium insufisiensi ginjal ini gejala-gejala nokturia dan poliuria mulai timbul. Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan

kadar BUN akan meningkat dengan mendadak sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Urin menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligouria (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialysis (Smeltzer & Bare 2015, p. 1448).

6. Gambaran Klinis dan Diagnosis

Manifestasi klinis pada pasien gagal ginjal banyak terdapat pada seluruh sistem organ tersebut. Hal ini disebabkan karena organ ginjal memegang peranan yang penting dalam tubuh yaitu sebagai organ yang mengekskresikan seluruh sisa-sisa hasil metabolisme. Secara umum pasien tersebut akan mengalami kelelahan dan kegagalan pertumbuhan. Pada inspeksi ditemukan kulit pucat, mudah lecet, dan rapuh. Sedangkan pada mata ditemukan gejala mata merah dan pada pemeriksaan funduskopi ditemukan fundus hipertensif.

Gejala sistemik yang dapat ditemukan antara lain hipertensi, penyakit vaskuler, hiperventilasi, asidosis, anemia, defisiensi imun, nokturia, poliuria, haus, proteinuria, dan gangguan berbagai organ lainnya. Bahkan pada penderita stadium lanjut terdapat gangguan fungsi seksual seperti penurunan libido, impoten, amenore, infertilitas, ginekomastia, galaktore. Tulang dan persendian juga dapat terjadi gangguan seperti adanya rakhitis akibat defisiensi vitamin D dan juga gout serta pseudogout. Letargi, tremor, malaise, mengantuk, anoreksia, myoklonus, kejang, dan koma merupakan manifestasi klinis pada sistem syaraf.

Diagnosis gagal ginjal dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya gejala-gejala sistemik seperti gangguan pada sistem gastrointestinal, kulit, hematologi, saraf dan otot, endokrin, dan sistem lainnya. Pada anamnesis diperlukan data tentang riwayat penyakit pasien, dan juga data yang menunjukkan penurunan faal ginjal yang bertahap.

Etiologi memegang peranan penting dalam memperkirakan perjalanan klinis gagal ginjal kronik dan terhadap penanggulangannya. Dalam anamnesis dan pemeriksaan penunjang perlu dicari faktor-faktor yang memperburuk keadaan gagal ginjal kronik yang dapat diperbaiki seperti infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, gangguan perfusi dan aliran darah ginjal, gangguan elektrolit, pemakaian obat nefrotoksik termasuk bahan kimia dan obat tradisional. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada gagal ginjal kronik antara lain Etiologi memegang peranan penting dalam memperkirakan perjalanan klinis gagal ginjal kronik dan terhadap penanggulangannya. Dalam anamnesis dan pemeriksaan penunjang perlu dicari faktor-faktor yang memperburuk keadaan gagal ginjal kronik yang dapat diperbaiki seperti infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, gangguan perfusi dan aliran darah ginjal, gangguan elektrolit, pemakaian obat nefrotoksik termasuk bahan kimia dan obat tradisional. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada gagal ginjal kronik antara lain

Pemeriksaan darah yang mengukur kadar kreatinin dan BUN dalam darah diperlukan untuk menegakkan diagnosa gagal ginjal dengan tepat. Peningkatan kadar kreatinin setiap hari secara progressif merupakan indikasi gagal ginjal akut. Kadar kreatinin juga merupakan indikator yang baik untuk menentukan keparahan kerusakan ginjal; semakin tinggi kadar kreatinin semakin parah kerusakan ginjal (Smeltzer & Bare 2015, p. 1449).

7. Pemeriksaan Penunjang Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Dalam rangka mendapatkan diagnosis yang tepat pada penyakit ginjal sudah tentu diperlukan kelengkapan data-data yang saling mendukung satu dengan lainnya. Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang yang tepat dan terarah sehingga diagnosis penyakit ginjal yang tepat dapat dipenuhi. Pada pelaksanaan sehari-hari ada lima bentuk pemeriksaan penunjang untuk menilai fungsi struktur ginjal, yaitu pemeriksaan serologi, pemeriksaan radiologi, biopsi ginjal, pemeriksaan dipstick terhadap urin, perhitungan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang ditentukan dengan memeriksa bersihan dari bahan-bahan yang diekskresikan oleh filtrasi glomerulus (Potter & Perry 1006, p. 1693).

Pada penyakit gagal ginjal kronik, pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit ini adalah Pada penyakit gagal ginjal kronik, pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit ini adalah

Estimate Creatinine Clearance in mL/minute = (140 − Age) × Weight × Constant

Serum creatinine

Constant untuk laki-laki : 1,23 manakala untuk perempuan : 1,04

a. Ureum Gugusan amino dicopot dari asam amino bila asam itu didaur ulang menjadi sebagian dari protein lain atau dirombak dan akhirnya dikeluarkan dari tubuh. Amino transferase ( transaminase ) yang ada diberbagai jaringan mengkatalis pertukaran gugusan amino antara senyawa-senyawa yang ikut serta dalam reaksireaksi sintesis. Selain itu, deaminasi oksidatif memisahkan gugusan amino dari molekul aslinya dan gugusan yang dilepaskan itu diubah menjadi amoniak. Amoniak dihantar ke hati dan disana ia berubah menjadi ureum melalui reaksi-reaksi bersambung. Ureum adalah satu molekul kecil yang mudah mendifusi ke dalam cairan ekstrasel, tetapi pada akhirnya ia dipekatkan dalam urin dan diekskresi. Jika keseimbangan nitrogen dalam keadaan mantap, ekskresi ureum kira-kira 25 gr setiap hari (Guyton & Hall 2005, p. 520).

Kadar ureum dalam serum mencerminkan keseimbangan antara produksi dan ekskresi. Metode penetapan adalah dengan mengukur Kadar ureum dalam serum mencerminkan keseimbangan antara produksi dan ekskresi. Metode penetapan adalah dengan mengukur

Penetapan ureum tidak banyak diganggu oleh artefak. Pada pria mempunyai kadar rata-rata ureum yang sedikit lebih tinggi dari wanita karena tubuh pria memiliki lean body mass yang lebih besar. Nilai BUN mungkin agak meningkat kalau seseorang secara berkepanjangan makan pangan yang mengandung banyak protein, tetapi pangan yang baru saja disantap tidak berpengaruh kepada nilai ureum pada saat manapun. Jarang sekali ada kondisi yang menyebabkan kadar BUN dibawah normal. Membesarnya volume plasma yang paling sering menjadi sebab.

Kerusakan hati harus berat sekali sebelum terjadi BUN karena sintesis melemah. Konsentrasi BUN juga dapat digunakan sebagai petunjuk LFG. Bila seseorang menderita penyakit ginjal kronik maka LFG menurun, kadar BUN dan kreatinin meningkat. Keadaan ini dikenal sebagai azotemia (zat nitrogen dalam darah). Kadar kreatinin merupakan indeks LFG yang lebih cermat dibandingkan BUN. Hal ini terutama karena BUN dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan katabolisme protein tubuh (LabTechnologist, 2010).

b. Kreatinin Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatinin disintesis oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot rangka; disana ia terikat secara reversibel kepada fosfat dalam bentuk fosfokreatin, yakni senyawa penyimpan energi. Reaksi keratin + fosfat ↔ fosfokreatin bersifat reversibel pada waktu energi dilepas atau diikat. Akan tetapi sebagian kecil dari kreatin itu secara irreversibel berubah menjadi kreatin yang tidak mempunyai fungsi sebagai zat berguna dan adanya dalam darah beredar hanyalah untuk diangkut ke ginjal. Nilai normal untuk pria adalah 0,5 – 1,2 mg/dl dan untuk wanita 0,5 – 1 mg/dl serum. Nilai kreatinin pada pria lebih tinggi karena jumlah massa otot pria lebih besar dibandingkan jumlah massa otot wanita.

Banyaknya kreatinin yang disusun selama sehari hampir tidak berubah kecuali kalau banyak jaringan otot sekaligus rusak oleh trauma atau oleh suatu penyakit. Ginjal dapat mengekskresi kreatinin tanpa kesulitan. Berkurang aliran darah dan urin tidak banyak mengubah ekskresi kreatinin, karena perubahan singkat dalam pengaliran darah dan fungsi glomerulus dapat diimbangi oleh meningkatnya ekskresi kreatinin oleh tubuli. Kadar kreatinin dalam darah dan ekskresi kreatinin melalui urin per 24 jam menunjukkan variasi amat kecil, pengukuran ekskresi kreatinin dalam urin 24 jam tidak jarang digunakan untuk menentukan apakah pengumpulan Banyaknya kreatinin yang disusun selama sehari hampir tidak berubah kecuali kalau banyak jaringan otot sekaligus rusak oleh trauma atau oleh suatu penyakit. Ginjal dapat mengekskresi kreatinin tanpa kesulitan. Berkurang aliran darah dan urin tidak banyak mengubah ekskresi kreatinin, karena perubahan singkat dalam pengaliran darah dan fungsi glomerulus dapat diimbangi oleh meningkatnya ekskresi kreatinin oleh tubuli. Kadar kreatinin dalam darah dan ekskresi kreatinin melalui urin per 24 jam menunjukkan variasi amat kecil, pengukuran ekskresi kreatinin dalam urin 24 jam tidak jarang digunakan untuk menentukan apakah pengumpulan

Kreatinin dalam darah meningkat apabila fungsi ginjal berkurang. Jika pengurangan fungsi ginjal terjadi secara lambat dan disamping itu massa otot juga menyusun secara perlahan, maka ada kemungkinan kadar kreatinin dalam serum tetap sama, meskipun ekskresi per 24 jam kurang dari normal. Ini bisa didapat pada pasien berusia lanjut kadar BUN yang meningkat berdampingan dengan kadar kreatinin yang normal biasanya menjadi petunjuk ke arah sebab ureumnya tidak normal. Ureum dalam darah cepat meninggi daripada kreatinin bila fungsi ginjal menurun; pada dialisis kadar ureum lebih dulu turun dari kreatinin. Jika kerusakan ginjal berat dan permanen, kadar ureum terus-menerus meningkat, sedangkan kadar kreatinin cenderung mendatar. Kalau kreatinin dalam darah sangat meningkat, terjadi ekskresi melalui saluran cerna (Guyton & Hall 2005, p. 520).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan plasma kreatinin, antara lain :

1) diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya kreatinin

2) menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton, anion organik (pada uremia), atau obat (simetidin, sulfa) Kreatinin darah meningkat jika fungsi ginjal menurun. Oleh

karena itu kreatinin dianggap lebih sensitif dan merupakan indikator khusus pada penyakit ginjal dibandingkan uji dengan kadar nitrogen karena itu kreatinin dianggap lebih sensitif dan merupakan indikator khusus pada penyakit ginjal dibandingkan uji dengan kadar nitrogen

Keadaan yang berhubungan dengan peningkatan kadar kreatinin adalah : gagal ginjal akut dan kronis, nekrosis tubular akut, glomerulonefritis, nefropati diabetik, pielonefritis, eklampsia, pre-eklampsia, hipertensi esensial, dehidrasi, penurunan aliran darah ke ginjal (syok berkepanjangan, gagal jantung kongestif), rhabdomiolisis, lupus nefritis, kanker (usus, kandung kemih, testis, uterus, prostat), leukemia, penyakit Hodgkin, diet tinggi protein.

Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar kreatinin adalah : Amfoterisin B, sefalosporin (sefazolin, sefalotin), aminoglikosid (gentamisin), kanamisin, metisilin, simetidin, asam askorbat, obat kemoterapi sisplatin, trimetoprim, barbiturat, litium karbonat, mitramisin, metildopa, triamteren. Penurunan kadar kreatinin dapat dijumpai pada : distrofi otot (tahap akhir), myasthenia gravis.

Untuk menilai fungsi ginjal, permintaan pemeriksaan kreatinin dan BUN hampir selalu disatukan (dengan darah yang sama). Kadar kreatinin dan BUN sering diperbandingkan. Rasio BUN/kreatinin biasanya berada pada kisaran 12-20. Jika kadar BUN meningkat dan kreatinin serum tetap normal, kemungkinan terjadi uremia non-renal (prarenal); dan jika keduanya meningkat, dicurigai terjadi kerusakan Untuk menilai fungsi ginjal, permintaan pemeriksaan kreatinin dan BUN hampir selalu disatukan (dengan darah yang sama). Kadar kreatinin dan BUN sering diperbandingkan. Rasio BUN/kreatinin biasanya berada pada kisaran 12-20. Jika kadar BUN meningkat dan kreatinin serum tetap normal, kemungkinan terjadi uremia non-renal (prarenal); dan jika keduanya meningkat, dicurigai terjadi kerusakan

Rasio BUN/kreatinin rendah (<12)>20) dengan kreatinin normal dijumpai pada uremia prarenal, diet tinggi protein, perdarahan saluran cerna, keadaan katabolik. Rasio BUN/kreatinin tinggi (>20) dengan kreatinin tinggi dijumpai pada azotemia prarenal dengan penyakit ginjal, gagal ginjal, azotemia pascarenal.

C. Hemodialisis

1. Pengertian Hemodialisis

Dialisis adalah proses pembuangan limbah metabolik dan kelebihan cairan dari tubuh. Ada 2 metode dialisa, yaitu hemodialisis dan dialisis. Hemodialisis berasal dari kata hemo = darah, dan dialisis = pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisis menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permeabel ( Smeltzer & Bare 2015, p. 1397).

Terapi hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi ( Smeltzer & Bare 2015, p. 1397).

2. Tujuan Hemodialisis

Hemodialisis mempunyai tujuan, antara tujuannya adalah untuk membuang produk metabolisme protein yaitu urea, kreatinin dan asam urat, membuang air yang berlebihan dalam tubuh, memperbaiki dan mempertahankan sistem buffer dan kadar elektrolit tubuh dan juga memperbaiki status kesehatan penderita (Johnson 2005, p. 335).

3. Alasan Melakukan Dialysis

Dialisis dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik), perikarditis (peradangan kantong jantung), asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan lainnya, gagal jantung serta hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah) ( Smeltzer & Bare 2015, p. 1398).

4. Proses Hemodialisis

Dalam kegiatan hemodialisis terjadi 3 proses utama, yaitu proses difusi, proses ultrafiltrasi dan proses osmosis. Dalam proses difusi, Dalam kegiatan hemodialisis terjadi 3 proses utama, yaitu proses difusi, proses ultrafiltrasi dan proses osmosis. Dalam proses difusi,

5. Frekuensi Hemodialisis

Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisis sebanyak 3 kali/minggu. Program dialysis dikatakan berhasil jika penderita kembali menjalani hidup normal, penderita kembali menjalani diet yang normal, jumlah sel darah merah dapat ditoleransi, tekanan darah normal dan tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif ( Smeltzer & Bare 2015, p. 1401).

Dialisis bisa digunakan sebagai terapi jangka panjang untuk gagal ginjal kronis atau sebagai terapi sementara sebelum penderita menjalani transplantasi ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisis dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal ( Smeltzer & Bare 2015, p. 1400).

6. Pengaruh Hemodialisis Pada Ureum Dan Kreatinin

Berdasarkan beberapa parameter yang sering digunakan sebagai patokan untuk dilakukan hemodialisis adalah kadar ureum ≥ 20 mg/dL, kadar kreati nin ≥ 8 mg/dL atau kalium ≥ 7 meq /dL. Kadar ureum dalam darah cepat meninggi daripada kreatinin bila fungsi ginjal menurun. Pada dialisis kadar ureum lebih dulu menurun berbanding kreatinin. Jika terjadi kerusakan ginjal berat dan permanen, kadar ureum akan terus meningkat sedangkan kadar kreatinin cenderung mendatar.

D. Panduan Latihan Fisik Intra Dialisis

Menurut panduan prosedur latihan fisik untuk pasien yang menjalani Hemodialisa (Susanti 2011, p. 3-9):

1. Pemanasan (10 menit)

a. Peregangan otot leher

1) Pandangan lurus ke depan kemudian dekatkan telinga kanan ke bahu, tahan selama 8 hitungan perlahan kembali ke posisi semula, lakukan pada posisi sebaliknya.

2) Fleksikan kepala sampai meraih dada selama 8 hitungan.

3) Ekstensikan kepala maksimal selama 8 hitungan.

Gambar 2.1 Gerakan Peregangan Otot Leher

b. Melakukan peregangan otot lengan

1) Duduk atau berdiri tegak, luruskan tangan ke depan setinggi bahu, regangkan seluruh jari lalu buat kepalan tangan dan lepaskan. Lakukan sebanyak 8 hitungan.

Gambar 2.2

Gerakan Peregangan Otot Lengan

2) Berdiri atau duduk tegak letakkan lengan di atas kepala lalu perlahan miring ke kanan atau kiri selama 8 hitungan.

Gambar 2.3 Gerakan Peregangan Otot Lengan

3) Berdiri atau duduk tegak letakkan tangan di bahu dengan siku diluar, buat lingkaran 8 kali pengulangan, lalu dekatkan siku ke dada kemudian buka kembali sebanyak 8 kali pengulangan.

Gambar 2.4 Gerakan Peregangan Otot Lengan Gambar 2.4 Gerakan Peregangan Otot Lengan

1) Duduk tegak, lekukkan badan, raih lutut dan tarik kearah dada, cobalah menyentuhkan dahi ke lutut, lakukan semampunya dan tahan selama 8 hitungan.

Gambar 2.5

Gerakan Peregangan Otot Kaki