Haruskah Sastra Berideologi di dalam

Haruskah Sastra Berideologi?
Oleh: Fajar S.Roekminto
“Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam? Kapan
pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa? Mungkinkah berharap” 1 Enam
belas kata yang dikutip di atas ternyata telah mampu membuat geram serta
murka seorang Wapres Republik Indonesia, Jusuf Kalla. Menariknya lagi,
kata-kata itu bukan kutipan berita di surat kabar, tulisan dalam artikel
majalah/koran atau kritikan seorang pakar politik pada acara talk show,
melainkan kutipan salah satu genre sastra, puisi. Puisi itu juga dibaca dengan
intonasi yang biasa-biasa saja, tidak meledak ledak dan tidak penuh dengan
kemarahan. Namun demikian dengan sangat reaktif dan cenderung
berlebihan, Jusuf Kalla mengomentari puisi itu dengan nada yang tinggi, amat
serius dan marah.
Reaksi seperti ini wajar terjadi karena perbedaan cara pandang dan latar
belakang kedua orang tersebut. Sebagai seorang saudagar yang kebetulan
menjadi birokrat, Jusuf Kalla mendengar puisi itu sebagai sebuah protes
“buruh” terhadap “perusahaan” yang dia pimpin. Sedangkan Prof. Surahman
terbiasa hidup dalam dunia akademik, sebuah dunia yang menempatkan
manusia setinggi tingginya dan memberi pengharagaan yang setinggitingginya pula terhadap karya manusia. Bagi Jusuf Kalla manusia adalah
“sumber daya” yang dengan mudah dikalkulasi, direstrukturisasi, dipindahkan,
dipecat dan ditumpuk seperti karton susu dan ditempatkan di gudang.

Padahal tidak ada tendensi apa-apa dari Prof. Surahman dengan puisi
yang ia baca, karena ia hanya ingin menyampaikan kegundahan dan
kegetiran hidup yang menimpa ribuan guru yang ada di Indonesia saat ini.
Puisi itu tidak memiliki pretensi apa-apa selain sebuah ekspresi kepedihan
melalui aliran kata ke kata serta bait ke bait. Sikap yang ditunjukan oleh sang
Wapres telah membuat banyak orang, khususnya kalangan akademisi
geleng-geleng kepala penuh tanda tanya sebagai bentuk ketidak-pahaman
mereka atas sikap orang ke-2 di Republik ini.
Terkait dengan keberadaan sastra, apa yang ditunjukan oleh Jusuf Kalla
sebenarnya hanya sebagian kecil dari kemurkaan serupa yang juga sering
terjadi dalam Pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu kemarahankemarahan para pejabat negara tersebut telah memaksa terjadinya
pelarangan dan penarikan sejumlah karya sastra yang sudah terlanjur
beredar. Terhadap banyak karya sastra, negara acapkali melarang secara
resmi buku-buku itu diterbitkan, diedarkan dan dibaca secara luas oleh
masyarakat hanya karena karena para pejabat pada masa itu tidak berkenan
terhadap pnulis karya tersebut. Tidak diberikan alasan yang jelas dan ilmiah
mengapa karya sastra tertentu dilarang dan lainnya tidak, untuk itu menjadi
satu hal yang sangat mustahil bagi orang awam untuk membaca dengan
bebas karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan para penulis „kiri‟ lain karena
karya-karya itu dianggap dapat merusak mental generasi muda. Karya-karya

sastra yang dilarang tersebut (menurut penguasa pada waktu itu) itu
ditengarai mengajarkan ideologi komunis dan marxisme (meski keduanya
berbeda satu sama lain). Semua kegiatan berkesusastraan yang dianggap
tidak sejalan dengan selera, sikap dan ideologi penguasa kemudian
“dipasifkan” secara sistematis dengan cara “dimarjinalkan, dilarang, dibredel,

dihantam, dilibas, dihancurkan, dipenjarakan, di-PKI-kan dan kalau perlu
dihabisi.”
Di banyak negara, khususnya Uni Sovyet pada masa pra-glasnot dan
beberapa negara komunis lainnya, pelarangan serupa juga terjadi pada
karya-karya sastra yang ditulis oleh mereka yang berseberangan dengan
pemerintah, baik itu mereka yang benar-benar memberikan kritik maupun
yang “hanya karena” tidak disukai oleh penguasa. Namun demikian pasca
kematian Stalin, yang juga disebut sebagai masa The Thaw, Uni Sovyet
melahirkan penulis yang dianugrahi Nobel pada tahun 1958, Boris Pasternak.
Pada awalnya karya Pasternak berjudul Doctor Zhivago dapat dengan leluasa
dibaca namun kemudian dilarang karena penulisnya memberikan kritik tajam
pada pemerintah. Pemerintahan Nikita Khrushchev memang sedikit bersikap
lunak terhadap para sastrawan dibandingkan dengan pendahulunya, Stalin.
Beberapa karya yang lahir pada masa itu diantaranya adalah Odin den‟ Ivana

Denisovicha (1962), A Day in the Life of Ivan Denisovich (1963) karya
Aleksandr Solzhenitsyn.
Kebebasan yang diberikan oleh Khrushchev memang tidak seluas yang
diberikan Pemerintah Rusia pada saat ini. Kapan dan berapa lama sebuah
karya sastra boleh beredar sepenuhnya tergantung keinginan pemerintah.
Sehingga seringkali terjadi sebuah karya sastra yang pada awalnya dapat
dinikmati masyarakat luas tapi selang beberapa waktu kemudian hilang dari
peredaran karena pemerintah berubah pikiran. Alasan itulah yang membuat
para sastrawan menerbitkan sendiri karya-karya mereka untuk kemudian
didistribusikan dikalangan terbatas baik di dalam maupun di dalam negeri.
Fenomena semacam ini disebut dengan samizdat (self-publishing)2. Model
penerbitan ini juga pernah dilakukan pada karya-karya Pramoedya Ananta
Toer dan sastrawan lain yang dimusuhi oleh Suharto pada masa itu. Dengan
sembunyi-sembunyi aktivis-aktivis mahasiswa dan gerakan pro demokrasi
mencetak karya-karya itu agar dapat disebarluaskan meski melalui distribusi
bawah tanah dan hanya pada kalangan terbatas.
Untuk kasus yang lebih mutakhir, kemurkaan karena kehadiran karya
sastra juga menjadi milik Ayatollah Ruhollah Khomeini. Kemurkaannya dipicu
oleh kehadiran The Satanic Verses3 karya Salman Rusdie. Khomeini tidak
sendirian karena jutaan umat Muslim di seluruh dunia bergerak bersamasama melawan kehadirannya. Sementara itu Gereja Katolik Roma, Protestan,

aliran-aliran dan sekte Kristen tradisional juga telah dibuat geram oleh ulah
Dan Brown dengan novelnya The Da Vinci Code4. Meskipun sikap pemimpin
gereja tidak seekstrim Khomeini terhadap Rusdie namun tetap saja The Da
Vinci Code dianggap telah menodai ajaran agama Kristen. Novel ini telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan mencapai penjualan 60,5 juta
eksemplar di seluruh dunia, yang kemudian menempatkan Dan Brown
menjadi seorang jutawan. Harus diakui bahwa karya-karya sastra tidak jarang
dianggap menghina golongan tertentu, agama dan pemerintah hingga
akhirnya penguasa memberikan karya-karya sastra itu stigma “meresahkan
masyarakat, menggoncang iman” dan “mengganggu stabilitas”.
Contoh-contoh yang disebutkan di atas menunjukan dengan jelas bahwa
karya sastra tidak berhenti pada teks yang mati tetapi mempunyai potensi luar
biasa besar untuk mempengaruhi cara berpikir dan bertindak manusia.
Apakah sastra itu dan bagaimana ia bekerja, sehingga hampir dalam semua
kebudayaan, sastra selalu menjadi bahan diskusi serius. Uniknya, jawaban

atas pertanyaan itu memunculkan pertanyaan baru lagi. Hal ini disebabkan
karena sampai detik ini sastra tidak pernah mampu mendefinisikan dirinya
sendiri dengan pemahaman yang dapat memuaskan setiap orang.
Setiap kali muncul definisi sastra, maka pada saat yang hampir

bersamaan pula lahir definisi lain yang menyanggah dan menyangsikan
definisi sastra yang lahir terdahulu. Keragaman dalam konstelasi kesejarahan
dan kompleksitas kebudayaan berdampak pula pada terbentuknya
keragaman pemahaman dan definisi sastra. Namun demikian sastra tetap
memiliki ciri-ciri umum yang “seolah-olah” sudah disepakati bersama bahwa
“karya sastra” bersifat fiktif dan memiliki genre yakni puisi, prosa dan drama.
Kesamaan konsep ini tidak bersifat kebetulan karena selain pada dasarnya
manusia memiliki kemiripan sudah sejak lama terjadi interaksi budaya antara
satu kebudayaan dengan kebudayan yang lain, salah satunya adalah Jalur
Sutera.5 Dimungkinkannya penerjemahan karya-karya sastra dari satu
bahasa ke bahasa yang lain merupakan salah satu contoh bentuk
kesepakatan dan kesamaan konsep sastra tersebut. Selain itu, kesamaan
konsep juga terjadi pada tiga hal mendasar wacana sastra.
Pertama, semesta (baik itu semesta pembaca maupun penulis) karena
sastra tidak pernah lahir dari kekosongan sehingga baik penulis dan pembaca
sama-sama memiliki semesta meskipun dengan latar belakang yang berbeda.
Kedua, karya sastra itu sendiri yang diekspresikan dalam bentuk bahasa dan
yang terakhir adalah kenyataan bahwa obyek sastra itu sendiri adalah
manusia yang harus berhadapan dengan dunia “realitas” sastra yang fiktif
dan dunia realitas kemanusiaannya, meskipun pandangan ini pun masih

belum sepenuhnya diterima karena dalam beberapa kebudayaan batas
antara fakta dan fiksi dalam sastra sangat subtil, saga bangsa Islandia
misalnya atau kesusastraan Inggris akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.
Dalam bahasa Indonesia, kata sastra sering kali diartikan secara luas,
yang mencakup baik itu tradisi oral maupun sastra tulis.6 Secara etimologis,
kata sastra7 berasal dari bahasa Sansekerta, dengan akar kata sás-, yang
berarti “mengarahkan”, “memberi petunjuk” atau “mengajar” serta akhiran –tra
yang berarti alat. Kata susastra, seperti yang sering diucapkan orang memiliki
awalan su-, berarti baik. Mengenai kompleksitas definisi sastra ini, Terry
Eagleton8 memberikan uraian secara hati-hati dan comprehensif, mulai dari
karya sastra sebagai tulisan yang bersifat imajinatif, perbedaan antara fakta
dan fiksi, pemahaman sastra pada abad ke-17 di Inggris sampai totalitas
sistem teks yang diusung oleh kaum Formalisme Rusia.
Sedangkan Ideologi9 secara kategorikal menjelajahi wilayah keyakinan,
nilai-nilai dan konsep ideal mengenai pemahaman cara kerja dunia serta
bagaimana manusia merespon orang lain dan lingkungannya, membedakan
mana yang baik dan benar serta merumuskan sesuatu yang ideal dalam
kehidupan. Dalam konteks disiplin ilmu, ideologi memang bukan istilah yang
dimiliki oleh sastra.10 Wacana ideologi terkait erat dengan disiplin ilmu sosial
dan politik serta diidentikan kekuasaan.

Pada saat ilmu sastra membukakan pintu lebar-lebar untuk dimasuki
disiplin ilmu lain,11 maka banyak istilah non-sastra yang diadopsi menjadi
bagian dari sastra, salah satunya adalah ideologi serta wacana yang berkutat
dengan persoalan itu, khususnya dalam kerangka teori dan kritik sastra.12
Persoalan yang sering timbul adalah apabila diskusi mengenai relasi sastra

dan ideologi tidak merujuk pada ilmu sastra maka sastra akan tereduksi
menjadi sekedar karya sastra saja dengan tiga genre-nya, puisi, drama.
Sering terjadi dalam diskusi sastra, mereka yang tidak memiliki
pengetahuan mengenai teori dan kritik sastra mengulas sebuah karya sastra
dengan memberikan analisis-analisis yang pada akhirnya bias. Apakah novel
1984 karya George Orwell merupakan sebuah alegori, sekedar ekspresi atau
ramalan George Orwell akan datangnya sebuah negara totaliter? Novel itu
sendiri ditulis pada saat Perang Dunia Ke-2 baru saja selesai yakni suatu
masa ketika di dunia ini dipenuhi oleh banyak pemimpin diktator yang memiliki
kemiripan untuk dijadikan representasi Big Brother seperti misalnya Adolf
Hitler, Mao Tse-tung, Francisco Franco dan Benito Mussolini. Mungkinkah
1984 merupakan gambaran negara yang dipimpin atas salah satu diktator
tersebut? Apakah Orwell membawa ideologi tertentu dalam 1984? Diskusi
yang tidak menyertakan teori dan kritik sastra dalam membahas novel

tersebut justru akan melenyapkan esensi karya sastra itu sendiri hingga pada
akhirnya Orwell tidak dilihat sebagai seorang pengarang melainkan politikus
padahal dalam kenyataannya tidak demikian.
Sastra harus dipahami secara terintegrasi yakni karya sastra itu sendiri
(termasuk didalamnya semesta pembaca dan penulis), sejarah sastra, teori
sastra dan kritik sastra.13 Dengan memiliki pemahaman ini maka jawaban
atas pertanyaan, “Haruskah sastra berideologi?”, menjadi lebih mudah untuk
dijawab, tidak dengan sebuah jawaban pendek “ya” atau “tidak” melainkan
kemudahan dalam memahami dan memetakan konfigurasi sastra yang
kompleks. Selain itu untuk tujuan apa kita berbicara mengenai ideologi dan
sastra.
Ideologi mengacu pada cara berpikir orang dan kelompok tertentu,
sehingga apabila seorang sastrawan yang mengekspresikan semestanya
dalam sebuah karya sastra, maka apa yang dia tuangkan dalam teks itu
adalah apa yang dia ingin katakan termasuk didalamnya ideologi yang dia
anut dan dengan sendirinya karya sastra itu sendiri sudah berideologi,
setidaknya ideologi pengarang. Namun demikian tidak berarti sastrawan
menulis karena tujuan propaganda ideologi yang dianutnya. Jika hal itu terjadi
maka pada saat itu juga esensi sastra itu hilang.14 Karya sastra adalah
sebuah ruang yang dibentangkan untuk meletakkan sebagian “realitas”

kemanusiaan penulis atas keberadaannya. Ruang bukanlah alat dan akan
berubah menjadi alat ketika terjadi pemaknaan sedangkan pemaknaan itu
sendiri tidak berada di tangan penulis melainkan pembaca, entah itu pembaca
secara individu, kelompok maupun penguasa. Sebagai sebuah wadag atas
gagasan-gagasan yang memang harus dikomunikasikan dan dibagikan pada
manusia yang lain, ideologi membutuhkan sebuah media dalam melakukan
proses komunikasi ini, sastra salah satunya dan dari sinilah kemudian ruang
berubah menjadi alat karena sastra dipahami sebagai praksis dan bukan
ontologis15.
Sedangkan dalam tradisi Marxis, ideologi berbicara mengenai
bagaimana kebudayaan tersusun hingga mampu membawa kelompok
tertentu memiliki kontrol yang maksimal dengan potensi konflik minimal.
Ideologi ini sendiri tidak bermaksud untuk menekan kelompok lain (meskipun
potensi itu ada) melainkan lebih kepada persoalan bagaimana institusi yang
dominan dalam masyarakat mampu bekerja melalui nilai-nilai, konsepsi dunia
dan sistem simbol dalam rangka melegitimasi kekuasaan. Dalam gagasan

Marx ideologi adalah superstructure sedangkan sistem sosioekonomi yang
berjalan pararel adalah base dan sastra merupakan bagian dari
superstructure.

Dalam konteks Kesusastraan Indonesia, ideologi dalam sastra
seyogyanya memiliki makna bagi kepentingan sastra Indonesia dengan tujuan
akhir menempatkan manusia Indonesia sebagai obyek sekaligus subyek
sastra dalam rangka memaknai jaman. Sebagai sebuah contoh, bagaimana
ideologi diajarkan dalam sastra dan bagaimana menghadapi beragam
pemikiran dalam dunia global yang bergerak dengan begitu cepat. Selain itu
ideologi juga berperan dalam kanonisasi sastra.16 Pengalaman dan
kesejarahan sosial, politik dan sastra bangsa Indonesia berbeda dengan
bangsa lain, sehingga pengajaran sastra juga harus berbeda termasuk
bagaimana relasi sastra dan ideologi. Pengalaman Amerika17 misalnya, tidak
bisa dijadikan acuan begitu saja karena banyak perbedaan mendasar yang
terjadi dalam kesejarahan sastra kedua bangsa. 18
Persoalan yang umum terjadi di Indonesia adalah seringkali ideologi
dicomot begitu saja dan dipakai untuk kepentingan pragmatis dengan
memperalat sastra, misalnya aliran realisme sosial ala Aleksei Maksimovich
yang bernama pena Maxim Gorky (kepahitan) yang sempat menghuni tubuh
Lekra dan menghantui lawan-lawan ideologinya. Demi kepentingan revolusi
hal ini sah-sah saja. Jagad sastra memang selalu menarik, meriah dan “edan”
apabila dikaitkan dengan ideologi hingga terjadi polemik terus menerus.
Dengan cara semacam ini sastra menjadi berkembang hanya saja warna dan

kualitas polemik itu tidak terlepas dari watak dan ideologi bangsa yang
membentuknya, dan memang begitulah realitas yang terjadi dalam sastra.
1
2
3

4
5

6

7

8
9

10

Kutipan puisi yang dibacakan oleh Prof Winarno Surahman pada Hari Guru Ke-60 Tahun 2005 di Solo.
Kenneth Lantz, “Russian Literature.” Microsoft® Student 2007 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2006.
Fiction made headlines with the ‘sentence of death’ passed in February by Iran's Ayatollah Khomeini on British
novelist Salman Rushdie…… the book blasphemed Islam. Encarta Yearbook 2007, Microsoft ® Encarta ® 2007.©
1993-2006 Microsoft Corporation.
“Da Vinci Code Dad Named in Multimillion-Dollar Gift”, The Exeter Initiatives, November 1, 2004.
Kutipan puisi Four Lyrics from Dunhuang (Lirik Ke-1:Eternal Longing: He was a traveler west of the river, with
wealth and eminence are in this world. All day long in vermilion towers ... dancing and singing songs. The cup filled
again and again, till he's drunk as mud; lightly, lightly trading golden goblets, wearing out the day tasting joys,
pursuing pleasures— Some people are rich and never go home). Dunhuang merupakan salah satu tempat di
provinsi Gansu (saat ini) yang merupakan kota utama Jalur Sutera selama berabad-abad. Tempat itu menjadi
pertemuan antara kebudayaan Cina dan Asia Tengah sekaligus pusat agama Budha dengan biara yang terkenal
bernama “Gua Seribu Budha” (The Caves of the Thousand Buddhas). Kira-kira pada abad ke-11 terjadi pencurian
terhadap 30.000 manuskrip. Puisi yang dikutip berjudul Eternal Longing, salah satu yang terdapat dalam
manuskrip yang hilang tersebut. (Victor H Mair., (Ed). Columbia Anthology of Traditional Chinese Literature. New
York: Columbia University Press, 1994 via Microsoft ® Encarta ® 2007. © 1993-2006 Microsoft Corporation).
Sastra Indonesia Modern (SIM) baru dimulai kira-kira 60 tahun yang lalu. (Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-prinsip
Kritik Sastra, Cet. Ke-2, UGM University Press, Jogyakarta, 1997, hal. 1). Lihat juga Jakob Sumardjo,
Kesusastraan Melayu Rendah, Masa Awal, Cet. Ke-1, Galang Press, Jogyakarta, 2004, hal. 1-38). Terjadinya
celah antara bahasa tulis dan ekspresi lisan sangat berpengaruh terhadap pemahaman sastra. Meskipun tidak
dalam jumlah yang besar celah itu terjadi pada masyarakat Indonesia (Amin Sweeney, A Full Hearing: Orality and
Literacy in Malay World, First Edition, University of California Press, Los Angeles, 1987, hal.101).
Sastra dalam bahasa Inggris, literature yang berasal dari bahasa Perancis, littérature, dan kata inipun berasal dari
bahasa Latin, litteratura. (Tom McArthur dan Feri Arthur (Ed), The Oxford Companion to the English Language,
Oxford University Press, New York, 1992, hal. 619-620).
Theory of Literature, An Introduction, Second Edition, Blackwell Publishing, Oxford UK, 1996, hal.1-14.
Istilah ideologi untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Destutt de Tracy (1755-1836), seorang filsof aristokrat
Perancis. Dalam bukunya Eléments d'idéologie (4.vols., Paris, 1801-15) pada prinsipnya dia mengatakan bahwa
ideologi adalah, “....a sience of ideas, their truth or error, working through a critical theory of the actual process of
the mind.” (Duncan Mitchell (Ed.) A Dictionary of Sociology, First Edition, Routledge & Kegan Paul, London, 1968,
hal. 94).
Dalam kamus A Glossary of Literary Term, Seventh Edition, Heinle & Heinle, Massachusetts, 1999, yang ditulis
oleh M.H Abram, tidak terdapat lema “ideologi” dan hanya menjadi bagian dari penjelasan mengenai lema Author
and Authorship (hal.16), Canon of Literature (hal.30), Culture Studies (hal.54), Dialogig Criticism (hal.63), Feminist
Criticism (hal.89), Formalism (hal.104), Marxist Theory (hal.148), Modernism and Postmodernism (hal.167), New

11

12

13

14

15
16

17

18

Criticsm (hal.180), Postcolonial Studies (hal.236), Poststructuralism (238) danText and Writing (Écriture) (hal.
316).
Dalam konteks studi kebudayaan, setidaknya terdapat lima hal yang signifikan dalam pembicaraan mengenai
ideologi yakni kesatuan sistematis gagasan yang diartikulasikan oleh sekelompok orang, distorsi gambaran
sebuah realitas, bentuk-bentuk ideologi, gagasan Marx, Althusser serta pemikiran Roland Barthes. (John Storey,
An Introduction to Cultural Theory and Popular Culture. Second Edition, Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf,
Herfordshire, 1993, hal. 4-6)
Dalam gagasan Marx dan Engels, “ideologi” tidak merujuk pada seperangkat keyakinan melainkan lebih sebagai
kriteria normatif. (Encyclopædia Britannica CD 99, Copyright 1994-1999)
Dalam buku Theory of Literature, Rene Wellek dan Austin Warren, Penguin Book Ltd: Hardmondsworth 1968,
hal.25. Beberapa pandangan tentang sastra ini sepertinya sangat dipengaruhi oleh eksistensi Wellek sebagai
seorang sejarawan kritik. Buku itu sendiri kemudian menjadi referensi standar dalam studi sastra di tingkat
pascasarjana di negara-negara Barat.
Sastra harus bersifal polivalen secara politik sehingga sastra tidak direduksi menjadi propaganda. (Adorno via
Raymond William, Marxism and Literature Oxford University Press: Oxford, 1977, hal. 202
Pandangan ini setidaknya mirip dengan studi sastra Marxisme.
Terdapat beberapa hal mendasar dalam pengajaran sastra di Indonesia. Lihat Kurikukulum Satuan Tingkat
Pendididikan (KSTP). Dalam kurikulum tersebut (pelajaran Bahasa Indonesia) terlihat bahwa sastra hanya
diajarkan sebagai bagian dari bahasa Indonesia serta tidak memiliki arah yang jelas. Sastra tidak diapresiasi tetapi
sekedar diketahui. Pengajaran sastra dalam kurikulum secara ideologis seharusnya memiliki arah yang jelas.
Sedangkan kanonisasi sastra juga menjadi persoalan yang pelik karena tidak ada otoritas yan g menjalankan
fungsi tersebut. Meski tidak bermaksud untuk menyeragamkan ideologi, “kesepakatan” dan “persamaan” persepsi
mengenai kanonisasi itu seharusnya secara umum berjalan pada satu ideologi yang sama antara penguasa dan
anggota masyarakat.
Tradisi sastra Amerika sangat kuat dengan gagasan Puritanism dan bahkan gagasan teolog Martin Luther (14831546) yang mempengaruhi secara permanen agama dan lembaga-lembaga masyarakat dalam demokrasi di
Amerika. (George Perkins dan Barbara Perkins (Eds.), Cet.Ke-8. The American Tradition in Literature,McGrawhill,
Inc.NewYork, 1994, hal. 5-11)
Kesusastraan Amerika tidak dimulai dari orang Amerika serta sastra itu sendiri melainkan oleh orang Eropa dan
Buku Harian. (Carl Bode, Highlight of American Literature, United States Information Agency, Washington, DC,
1988, hal.5)