SEJARAH DOGMA TENTANG DOSA DAN KESELAMAT

MAKALAH

SEJARAH DOGMA TENTANG DOSA DAN
KESELAMATAN PADA GEREJA LAMA (ISTIMEWA
AUGUSTINUS DAN PELAGIUS)

OLEH

:

RAMLI SN HARAHAP

NIM

:

242106

DOSEN

:


Pdt.Dr.JAN SIHAR ARITONANG,Ph.D

TUGAS MAKALAH PADA AREA KONSENTRASI STUDI I

PROGRAM STUDI PASCASARJANA
MAGISTER THEOLOGIAE
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA
(STT JAKARTA)
JL.PROKLAMASI No.27 JAKARTA, 10320
Jakarta, 12 Desember 2007

(i)

SEJARAH DOGMA TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN
PADA GEREJA LAMA
(ISTIMEWA AUGUSTINUS DAN PELAGIUS)

1. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai sejarah dogma tentang dosa dan keselamatan pada Gereja

Lama, maka pasti akan berbicara mengenai paham-paham tentang dosa yang
dianut oleh para tokoh Kristen pada masa Gereja Lama tersebut. Jika mengulas
semua paham yang dianut oleh para Bapa Gereja, maka akan ditemukan
perdebatan-perdebatan mereka tentang ajaran dosa dan keselamatan. Sebut saja
dari mereka yang berdebat adalah Augustinus dan Pelagius. Dua tokoh ini sangat
banyak mempengaruhi perkembangan iman Kekristenan pada abad-abad
berikutnya.

2. PENGERTIAN UMUM
2.1 TENTANG DOSA
Alkitab menggunakan beraneka macam istilah untuk dosa. Istilah paling lazim
dalam Perjanjian Lama (PL) adalah ‘khatta’ [pelanggaran] (Keluaran 32:30). Kata
ini muncul ratusan kali dalam Perjanjian Lama dan mengungkapkan pikiran yang
memilih jalan sesat. Istilah lain yang dipakai adalah pesya (pemberontakan) yaitu
memberontak terhadap kekuasaan yang sah (1 Raja 12:9; 2 Raja 8:20) atau
pemberontakan terhadap hukum-hukum Tuhan (Hos. 8:1), dan awon [perbuatan
tidak senonoh] ( 1 Raja-Raja 17:18 ). 1 Awon mengacu pada rasa bersalah yang
dihasilkan dosa. Secara umum dalam PL, dosa itu dimengerti sebagai
“ketidaktaatan” umat Allah kepada Allah.


1

Lihat Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1991), hlm.101; bnd. Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990),
hlm.235.

(i)

Lebih dalam lagi dosa dalam PL sering diartikan sebagai kehilangan (Kel. 20:20 ;
Ams. 8:36). Artinya manusia kehilangan tujuannya atau tidak mencapai tujuannya,
sebab ia tidak memperhatikan peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Selanjutnya,
dosa disebut juga sebagai "bengkok, keliru, menyimpang dari jalan“. Artinya ada
kesengajaan melakukan dosa dan pelanggaran tersebut.2
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pengertian dosa dalam PL dikategorikan
menjadi empat kelas yaitu: (1) penyimpangan dari jalan yang benar; (2) perubahan
penyebaran status (berdosa); (3) pemberontakan melawan yang lebih baik atau
ketidakpercayaan pada perjanjian; (4) beberapa karakterisasi kualitas tindakan itu
sendiri.3
Di dalam Perjanjian Baru (PB) kata utama untuk dosa adalah ‘hamartia’ (Matius
1:21). Kata ini mempunyai makna tidak kena sasaran dan meliputi gagasan

kegagalan, salah dan perbuatan jahat. ‘Adikia’ (1 Korintus 6:8) berarti
ketidakjujuran

atau

ketidakadilan.

‘Parabasis’

(Roma

4:15)

mengenai

pelanggaran hukum. ‘Asebeia’ (Titus 2:12) mengandung arti kuat mengenai tidak
mengenal Allah, sedangkan ptaisee lebih berarti tergelincir secara moral (Yakobus
2:10). Dosa itu juga disebut sebagai pelanggaran hukum Allah (1 Yoh. 3:4), atau
menurut aslinya: anomia, yaitu perbuatan yang tanpa kasih (1 Yoh. 4:8) atau
kejahatan (1 Yoh. 5:17). Ungkapan-ungkapan yang lain ialah: ketidaktaatan,

ketidaksetiaan, tidak percaya, dan lain sebagainya. Semua ungkapan itu
menunjukkan, bahwa ada sesuatu yang hilang karena dosa.4
Aspek yang paling khas dari dosa adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah
(bandingkan dengan Mazmur 51:6; Roma 8:7; Yakobus 4:4). Setiap usaha untuk
mengurangi ini, misalnya dengan mengartikan dosa sebagai sifat mementingkan
diri, sangat meremehkan kegawatannya. Ungkapan dosa yang paling jelas ialah
saran Iblis bahwa manusia dapat merampas tempat Penciptanya, "kamu akan
menjadi seperti Allah..." (Kejadian 3:5). Dalam peristiwa kejatuhan, manusia
2

Harun Hadiwijono, Iman Kristen ..., hlm.235.
H.Wheeler Robinson, “Old Testament Terminology for Sin”, dalam Millard J.Erickson (ed.), Reading
in Christian Theology: Man’s Need and God’s Gift, (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House,
1976), volume 2, hlm.103-105.
4
Harun Hadiwijono, Iman Kristen ..., hlm.235.
3

(i)


berusaha

meraih

persamaan

dengan Allah

(bnd.

Flp.

2:6),

mencoba

memberlakukan kemerdekaan dari Allah serta mempertanyakan integritas Sang
Pencipta dan pemeliharaan-Nya yang penuh kasih. Ia memberi penghormatan
kepada musuh Allah dan juga memperhatikan ambisi-ambisinya sendiri.
2.2 TENTANG KESELAMATAN

Dalam teologi Kristen ajaran tentang keselamatan ini beraneka ragam. Bagi
kalangan Skolastik, keselamatan itu dipahami sebagai “rahmat” saja, sedangkan
para Reformator melihat keselamatan itu bukan hanya berfokus pada rahmat saja
namun melihat keselamatan itu lebih dalam dan luas dengan mengambil perspektif
“pembenaran”.
PL sering menggambarkan keadaan manusia yang selamat atau dirahmati itu
dengan keadaan “damai sejahtera” (syalom). Kata Ibrani syalom tersebut belum
menjadi istilah teknis-teologis. Kata ini bernada positif, mengungkapkan sesuatu
yang baik. Istilah syalom begitu kaya akan arti sehingga hampir tidak dapat
diterjemahkan dalam bahasa lain. Dalam arti absolut, syalom mencakup segala
sesuatu yang berupa kebahagiaan manusia seluruhnya dan seutuhnya, baik rohani
maupun jasmani, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai persekutuan
(Kel. 18:23; Hak. 8:9); 11:31), khususnya umat Israel (1 Raja 5:4) serta pusatnya
Yerusalem/Sion (Mzm. 76; 122; 125), bahkan seluruh alam di sekitarnya ikut dan
termasuk dalam keadaan bahagia itu (Hos. 2:20; Yes. 11:6-9). 5 Syalom itu
merupakan sesuatu yang kongret, yang dapat diraba dan dilihat. Syalom juga
diartikan dengan kesehatan (Kej. 29:6), keadaan yang menguntungkan (2 Sam.
11:7 = syalom perang: keadaan perang yang menguntungkan), kesuburan (Za.
8:12: syalom dalam benih: yaitu benih tumbuh dengan baik, subur).6
Dalam kitab-kitab Nabi, syalom itu mengandung perspektif masa depan yang

besar. Yahweh akan memberikan syalom kepada Israel setelah penghukuman (Yer.
29:11; Yes. 54:10,13, 57:19). Yehezkiel menyebutkan syalom sebagai unsur dari
“Kerajaan Selamat” di mana binatang buas tidak lagi merupakan hal yang
5

Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), jilid
2, hlm.129.
6
TB.Simatupang, dkk, Keselamatan Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm.11.

(i)

menakutkan manusia. Yesaya menghubungkan syalom dengan “Raja Selamat”
(Yes. 9:5).7
Sama seperti dalam PL, demikian juga dalam PB, istilah keselamatan belum
mempunyai sebuah istilah teknis-teologis. Kata yang paling sering dipakai
sehubungan dengan apa yang dimaksud dengan “keselamatan” ialah soteria
(penyelamatan). Kata soteria mempunyai konotasi negatif (penyelamatan dari
sesuatu yang buruk) dan pertama-tama menunjuk kepada tindakan yang
menyelamatkan dari yang buruk itu. Konsep keselamatanan yakni keadaan

selamat dan damai sejahtera (soteria dan eirene) yang dianugerahkan Allah
kepada manusia dihubungkan secara tegas dengan diri Yesus Kristus dan dengan
karya Roh Kudus.8 Artinya sifat keselamatan itu mendapat arti lebih dalam
dibandingkan dalam PL. Konsep keselamatan dalam PL digenapi dalam PB di
dalam diri Yesus Kristus. Keyakinan ini sudah nyata dalam cara Simeon
menyalami bayi Yesus, yakni sebagai “keselamatan (soteria) yang dari Allah”,
sehingga dia merasa damai sejahtera (eirene) untuk mati (Luk.2:29-32).9
Keselamatan (damai-sejahtera) tidak hanya mencakup hubungan antar manusia
secara perorangan, tetapi juga antara kelompok-kelompok manusia. Artinya:
keselamatan mempunyai dimensi politis. Keselarasan antara kelompok-kelompok
dan golongan itu pada dasarnya merupakan hasil karya Kristus. Keselamatan itu
malah mencakup alam semesta, sehingga mempunyai ciri kosmis. Keselamatan itu
juga menyangkut hubungan timbal-balik antara Allah dan manusia.

2.3 SEKILAS TENTANG AUGUSTINUS10
7

TB.Simatupang, dkk, Keselamatan Masa Kini ..., hlm.12; bnd. C.Groenen, Soteriologi Alkitabiah:
Keselamatan Yang Diberitakan Alkitab, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.45-55.
8

Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika ..., hlm. 141.
9
Ibid., hlm.134.
10
F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993), hlm. 30-33; Mgr.P.van Diepen, Augustinus Tahanan Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius,
2000), hlm. 21-41; A.Kenneth Curtis dkk, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), hlm. 26-27; H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung

(i)

Augustinus anak tertua dari Monika lahir pada 13 November 354 di provinsi
Numidia (sekarang meliputi kawasan Aljazair dan Tunisia) di kota kecil yang
bernama Tagaste (sekarang Souk Ahras di Aljazair Timur), sebuah kota di Algeria
Afrika Utara yang merupakan wilayah Romawi saat itu. Ia dibesarkan dan dididik
di Karthago, dan dibaptiskan di Italia. Ibunya seorang Katolik yang saleh,
ayahnya,

Patricius seorang kafir, namun Augustinus mengikuti agama


Manikhean11. Ada beberapa hal yang membuat Augustinus tertarik pada ajaran
Manikheisme yaitu: Pertama, Manikheisme merupakan aliran agama dualistis
yang bertitik tolak dari dua kerajaan yang sama kuat kekuasaannya. Kedua, dalam
Manikheisme ada unsur gnostis yang menyatakan bahwa penyelamatan manusia
dikarenakan pengetahuan yang khusus.
Pada masa mudanya, Augustinus hidup dengan gaya hedonistik. Di Karthago ia
menjalin hubungan dengan seorang perempuan muda yang selama lebih dari
sepuluh tahun dijadikannya sebagai istri gelapnya, yang kemudian melahirkan
seorang anak laki-laki baginya. Pendidikan dan karier awalnya ditempuhnya
dalam filsafat dan retorika, seni persuasi dan bicara di depan publik. Ia mengajar
di Tagaste dan Karthago, namun ia ingin pergi ke Roma karena yakin bahwa di
sanalah para ahli retorika yang terbaik dan paling cerdas berlatih. Namun
demikian Augustinus kemudian kecewa dengan sekolah-sekolah di Roma, yang
dirasakannya menyedihkan. Sahabat-sahabatnya yang beragama Manikheanis
memperkenalkannya kepada kepala kota Roma, Simakhus, yang telah diminta
untuk menyediakan seorang dosen retorika untuk istana kerajaan di Milano.
Pemuda dari desa ini mendapatkan pekerjaan itu dan berangkat ke utara untuk
menerima jabatan itu pada akhir tahun 384. Pada usia 30 tahun, Augustinus
mendapatkan kedudukan akademik yang paling menonjol di dunia Latin, pada saat
ketika kedudukan demikian memberikan akses ke jabatan-jabatan politik. Namun
demikian, Augustinus merasakan ketegangan dalam kehidupan di istana kerajaan.
Suatu hari ia mengeluh ketika sedang duduk di keretanya untuk menyampaikan
sebuah pidato penting di hadapan kaisar, bahwa seorang pengemis mabuk yang
Mulia, 1992), hlm. 62-71; Richard Price, Agustinus, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm, 15-30; Tony
Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm, 39-45; Cornelius Van Til, „Original Sin,
Imputation, and Inability“, dalam Marshall D.Johnson, The Evolution of Christianity: Twelve Crises
That Shaped The Church, (New York: Continuum, 2005), hlm.59-67.
11
Sekte Manikheisme namanya diambil dari seorang guru “kebatinan”, Mani dari Persia.

(i)

dilewatinya di jalan ternyata hidupnya tidak begitu diliputi kecemasan
dibandingkan dirinya.
Pengaruh uskup Milano, Ambrosius, sangat banyak mempengaruhi hidupnya.
Ambrosius adalah seorang jagoan retorika seperti Augustinus sendiri, namun lebih
tua dan lebih berpengalaman. Pengaruh khotbah-khotbah Ambrosius, dan studistudinya yang lain, membuat Augustinus beralih dari Manikheanisme. Namun
bukannya menjadi Katolik, tetapi ia malah mengambil pendekatan Neoplatonis
kafir terhadap kebenaran, dan mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia
merasakan bahwa ia benar-benar mengalami kemajuan di dalam pencariannya,
meskipun pada akhirnya ia justru menjadi seorang skeptik.
Pada musim panas tahun 386, setelah membaca riwayat hidup St. Antonius dari
Padang Pasir yang sangat memukaunya, Augustinus mengalami suatu krisis
pribadi yang mendalam dan memutuskan untuk menjadi seorang Kristen. Ia
meninggalkan kariernya dalam retorika, melepaskan jabatannya sebagai seorang
profesor di Milano, dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk melayani Allah
dan praktik imamat, termasuk selibat.
Sebuah pengalaman penting yang mempengaruhi pertobatannya ini adalah suara
dari seorang gadis kecil yang didengarnya pada suatu hari menyampaikan pesan
kepadanya melalui sebuah nyanyian kecil untuk "Ambillah dan bacalah" (tolle,
lege) Alkitab. Pada saat itu ia membuka Alkitab dengan sembarangan dan
menemukan sebuah ayat dari Paulus. Ia menceritakan perjalanan rohaninya dalam
bukunya yang terkenal Pengakuan-pengakuan Augustinus (Confessiones) yang
kemudian menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Kristen maupun sastra dunia.
Ambrosius membaptiskan Augustinus pada hari Paskah pada 387, dan tak lama
sesudah itu pada 388 ia kembali ke Afrika. Dalam perjalanan ke Afrika ibunya
meninggal, dan tak lama kemudian anak laki-lakinya, sehingga ia praktis sendirian
di dunia tanpa keluarga.
Setelah kembali ke Afrika Utara, ia membangun sebuah biara di Tagaste untuk
dirinya sendiri dan sekelompok temannya. Pada 391 ia ditahbiskan menjadi
seorang imam di Hippo Regius, (kini Annaba, di Aljazair). Ia menjadi seorang
pengkhotbah terkenal (lebih dari 350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini
(i)

otentik), dan dicatat karena melawan ajaran sesat Manikheanisme, yang pernah
dianutnya.
Pada 396 ia diangkat menjadi pendamping uskup di Hippo dan tetap sebagai
uskup di Hippo hingga kematiannya pada 430. Ia meninggalkan biaranya, namun
tetap menjalani kehidupan biara di kediaman resminya sebagai uskup. Ia
meninggalkan sebuah Buku Aturan (bahasa Latin Regula) untuk biaranya yang
membuat ia digelari sebagai "santo pelindung dari rohaniwan biasa," artinya,
imam praja yang hidup dengan aturan-aturan biara.
Sepanjang hidupnya Augustinus banyak menulis. Tulisannya yang berjudul
Confessiones ditulisnya sebelum tahun 400. Di dalamnya diceritakan riwayat
hidup sampai pertobatannya. Karya besarnya yang lain adalah De Civitate Dei
(Kota Allah) dan De Trinitate (Trinitas). De Civitate Dei terdiri dari 22 buku.
Sepuluh buku pertama menguraikan tentang iman Kristen. Dua belas buku
berikutnya menguraikan tentang perjuangan kota Allah (Civitas Dei) dengan kota
dunia (Civitas Terrena). Kota Allah akan mengalahkan kota dunia. Kota Dunia
adalah kerajaan-kerajaan dunia ini, khususnya kekaisaran Roma. Proses
mengalahkan kerajaan dunia menjadi kerajaan Allah disebut dengan masa
pengembaraan (Civitas Penegerire). Yang ada sekarang harus ditinggalkan bukan
diperbaharui. Artinya Civitas Dei bukan turun ke dunia. Dengan demikian
pemikiran Augustinus sangat Platonis. De Trinitate terdiri dari lima belas buku.
Sebagian besar merupakan kumpulan surat-surat, khotbah-khotbah, dan suatu
kumpulan dialog filosofis. Tidak lama sebelum kematiannya ia menerbitkan
bukunya yang berjudul Retractations, di mana ia meninjau kembali karya
literernya.
Bagi Agustinus gereja terdiri dari dua bagian yaitu: (1) Gereja yang kelihatan
(Visible Church) – gereja yang tidak sempurna – yang penuh cacat dan cela; dan
(2) Gereja yang tidak kelihatan (Invisible Church) – gereja yang sempurna atau
ideal. Gereja yang kelihatan adalah bayang-bayang dari gereja yang tidak
kelihatan.12

12

Bnd. Empat nota eklesia bagi gereja yang tidak kelihatan yaitu: Esa, Kudus, Am, dan Rasuli (Unam,
Santam, Catolicam, Apostolikam).

(i)

Augustinus meninggal dan dikebumikan pada 28 Agustus 430 di Hippo akibat
kekejaman bangsa Vandal. Jenazahnya kemudian dibawa ke Pavia di Italia Utara.
Lengan kanannya yang seumur hidupnya menulis dan memberkati, disimpan dan
dihormati di katedral Hippo.
2.4 SEKILAS TENTANG PELAGIUS13
Pelagius dilahirkan sekitar 354. Pada umumnya disepakati bahwa ia dilahirkan di
Britania, namun di luar itu, tempat kelahirannya yang pasti tidak diketahui. Ia
disebut sebagai "biarawan" oleh orang-orang sezamannya, meskipun tidak ada
bukti bahwa ia terkait dengan ordo monastik manapun (gagasan tentang
komunitas biara masih agak baru pada zamannya, orang lebih lazim
mempraktikkan asketisisme sendiri) atau bahwa ia ditahbiskan menjadi imam. Ia
menjadi lebih terkenal sekitar tahun 400 ketika ia pindah ke Roma untuk menulis
dan mengajar tentang praktik asketisismenya. Di sana ia menulis sejumlah karya
penting — "De fide Trinitatis libri III," "Eclogarum ex divinis Scripturis liber
primus," dan "Commentarii in epistolas S. Pauli," sebuah tafsiran atas surat-surat
Paulus. Malangnya, kebanyakan dari karya-karyanya bertahan hanya dalam
kutipan-kutipan oleh lawan-lawannya. Di Roma, Pelagius merasa prihatin tentang
kehidupan moral masyarakat yang kendur. Ia mempersalahkan hal ini pada teologi
anugerah ilahi yang diajarkan, antara lain, oleh Augustinus.
Sekitar tahun 405, konon Pelagius mendengar sebuah kutipan dari karya
Augustinus, Pengakuan-pengakuan, 'Berikan kepadaku apa yang Engkau
perintahkan, dan perintahkan kepadaku apa yang Engkau inginkan.' Kutipan ini
membuat Pelagius prihatin karena tampaknya di sini Augustinus mengajarkan
doktrin yang bertentangan dengan pemahaman-pemahaman Kristen tentang
anugerah dan kehendak bebas, dan mengubah manusia menjadi robot saja.
Ketika Alarik bersama suku bangsa Goth Timur mengepung kota Roma pada
tahun 410, Pelagius dan pengikutnya yang terdekat Coelestinus melarikan diri ke
Karthago. Di sana Pelagius menyebarkan ajaran-ajarannya serta mendapat banyak
pengikut. Bahkan Coelestinus sempat ditahbiskan menjadi presbiter di Karthago.
13

F.D. Wellem, Riwayat Hidup …, hlm. 211-212; Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm.135-140.

(i)

dan di sana ia melanjutkan karyanya dan berjumpa dengan Augustinus secara
pribadi.
Pelagius meninggal dunia barangkali tahun 419. Namun ajarannya hidup terus di
bawah pimpinan Julianus dari Eclanum, seorang uskup yang cakap sekali. Ia
merumuskan ajaran-ajaran Pelagius dengan sangat sistematis.

3. SEJARAH DOGMA TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN PADA
GEREJA LAMA
Ketika perdebatan Kristologi masih merisaukan Gereja Timur, maka permasalahan
lain yang muncul di Gereja Barat adalah perdebatan tentang dosa dan anugerah,
kehendak bebas dan predestinasi. Hal paling penting diperhatikan adalah praktek
Kekristenan. Perilaku mereka atas pekerjaan penebusan lebih diutamakan daripada
permasalahan Kristologi itu sendiri. Perhatian utama pada Bapak Gereja
sebenarnya adalah mengenai Teologi dan Kristologi. Namun mereka juga
menghadapi dualisme pandangan tentang dosa dan anugerah yang membawa
kebingungan lebih besar, dengan munculnya ajaran Pelagius dan Augustinus.14
Pandangan mereka atas dosa sangat dipengaruhi oleh perlawanan mereka terhadap
Gnostisisme yang mengganggap bahwa kejahatan melekat pada materi dan
penolakan atas kehendak bebas. Gnostisisme menekankan bahwa penciptaan
Adam sebagai gambar Allah tidak melingkupi kesempurnaan etisnya tetapi hanya
kesempurnaan moral di dalam kodratnya. Artinya pertemuan antara jiwa manusia
dan materi segera dianggap sebagai dosa. Pengertian seperti ini akan
menyingkirkan dosa dari karakter etisnya. Kejahatan tubuh (materi) semakin
bertambah di dalam manusia, tetapi ini bukanlah dosa itu sendiri dan juga bukan
termasuk dosa seluruh umat manusia. Mereka juga memahami bahwa tidak ada
dosa asli. Irenaeus berpendapat bahwa manusia adalah anak-anak, pengertiannya
belumlah sempurna; karena itu pula ia mudah disesatkan oleh pendusta. Dengan
diciptakan menurut citra Allah, manusia belum sempurna seperti Allah. Irenaeus
14

L.Berkhof, The History of Christian Doctrines, (Grand Rapids, Michigan: Wm.B.Eerdmans
Publishing Company, 1953), hlm.131.

(i)

berpendapat bahwa tujuan umum dari ciptaan dan peran sang penebus adalah
membawa

semua

makluk

ciptaan

yang

tidak

sempurna

ini

pada

kesempurnaannya.15 Origenes berusaha menjelaskan pengertiannya dengan
menggunakan teori pra-eksistensinya. Menurut Origenes jiwa-jiwa manusia sudah
berdosa dalam masa pra-eksistensi dan ketika jiwa itu masuk ke dalam dunia,
maka jiwa itu sudah berdosa. Gagasan Origenes tentang pra-eksistensi jiwa ditolak
Gereja tetapi penekanannya atas kejatuhan sebagai sumber ketidaksempurnaan
manusia diterima. Bagi Origenes kejatuhan pra-historis itu bukan hanya
menerangkan keterbatasan kefanaan manusia, melainkan juga realitas keberdosaan
manusia: “Semua manusia menurut hakikatnya sangat jelas cenderung berdosa”. 16
Origenes yang terpengaruh filsafat Yunani tidak melihat adanya hubungan antara
dosa Adam dan dosa keturunannya. Pendapat Athanasius yang ditulisnya dalam
The Incarnation of the Word of God, memandang kisah kejatuhan dalam Kejadian
sebagai suatu peristiwa historis, bukan suatu peristiwa pra-historis. Oleh karena
dosa Adam dan Hawa, keturunan mereka “tidak lagi hidup di dalam Firdaus, tetapi
mengalami kesengsaraan hidup di luar Firdaus, selanjutnya mati dan hancur.17
Tertullianus mengajarkan bahwa keadaan kita yang berdosa adalah akibat dari
kejatuhan Adam. Akan tetapi doktrin tentang dosa Adam yang mengakibatkan
dosa seluruh keturunannya sama sekali belum pernah mereka sebutkan.
Tertullianus menyatukan ajaran Tradusianisme dengan teori realisme. Dalam
peribahasanya yang terkenal, Tradux animae, tradux peccati,

artinya

perkembangan jiwa meliputi penyebaran dosa. Artinya keseluruhan umat manusia
secara potensial dan numerik ada dalam diri Adam, karena itu seluruh manusia
berdosa ketika Adam berdosa dan menjadi tercemar karena Adam tercemar.
Kodrat manusia secara keseluruhan berdosa di dalam Adam, dan karena itu setiap
individualisasi dari kodrat itu juga berdosa.18
Tentang ajaran anugerah dan keselamatan sebenarnya para Bapa Gereja masih
banyak dipengaruhi oleh konsepsi dosa. Mereka lebih menekankan kehendak
15

Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2003), hlm.176177.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
L.Berkhof, The History of …, hlm.133.

(i)

bebas daripada anugerah itu sendiri. Kehendak bebas manusia melakukan inisiatif
untuk mendapatkan keselamatan, namun pekerjaan manusia itu sendiri tidak
sempurna tanpa bantuan anugerah. Kekuatan Allah bekerjasama dengan kehendak
manusia dan memampukan manusia menjauhi setan dan melakukan kehendak
Allah.19
4. AJARAN AUGUSTINUS
4.1 TENTANG DOSA
Augustinus tidak memandang dosa sebagai sesuatu yang positif, tetapi merupakan
sesuatu penyangkalan atau keadaan yang serba kurang. Manusia diciptakan untuk
kekal, bukan berarti dia tidak dapat mati tetapi dia memiliki kesanggupan untuk
hidup yang kekal. Menurutnya, keadaan manusia dari posse non peccare et mori
(mampu untuk tidak berdosa dan mati) dia akan melewati keadaan non posse
peccare et mori (tidakmampu untuk berdosa dan mati). Tetapi dia berdosa dan
konsekuensinya memasuki keadaan non posse non peccare et mori (tidakmampu
untuk tidak berdosa dan mati).20
Augustinus menggambarkan dosa sebagai yang hakiki melekat pada keberadaan
manusia. Dosa merupakan suatu aspek yang integral, bukan opsional, dari
keberadaan kita. Manusia dengan cara dan kemampuannya sendiri tidak pernah
dapat masuk ke dalam suatu hubungan dengan Allah. Tak satu pun perbuatan
manusia yang dapat mematahkan belenggu dosa. Karenanya Allah turut campur
dalam dilema manusia.21 Augustinus mengajarkan bahwa manusia setelah Adam
jatuh ke dalam dosa telah menjadi “kaum kebinasaan”, artinya: ia sudah menjadi
budak dosa dan tidak dapat berbuat baik lagi. Oleh karena itu kutuk Allah ada
padanya dan hidupnya menuju kepada maut yang kekal. Manusia telah berada di
dalam lumpur kebinasaan. Akan tetapi Tuhan Allah, karena kasih karunia-Nya
semata-mata, telah memilih sejumlah manusia tertentu untuk diselamatkan,
sedang sisanya dibiarkan dalam kebinasaannya atau dalam lumpur kebinasaan
19

Ibid.
Ibid., hlm.138.
21
Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm.93.
20

(i)

itu.22 Pemilihan Allah atas sejumlah manusia untuk diselamatkan inilah yang
disebut predestinasi (dari pre = sebelumnya, dan destinatio = ketentuan,
keputusan atau juga tujuan). Jadi nasib kekal manusia telah ditentukan sebelum ia
dilahirkan. Tiada seorangpun yang dapat menentang/menggagalkan pilihan Allah
ini. Siapa saja yang dipilih tentu selamat, sekalipun ia mungkin melakukan dosa
yang besar. Sebab bagaimanapun orang yang dipilih akhirnya akan bertobat. Jadi
di dalam predestinasi ini kasih Allah terhadap para orang yang dipilih tampak
bersinar-sinar. Di dalam ajaran Augustinus ini semua manusia dipandang sebagai
telah dalam alam kebinasaan. Dan Allah menyatakan kasih-Nya kepada beberapa
jumlah manusia dari antara mereka itu semuanya.
4.2 TENTANG KESELAMATAN
Buku Confessiones membahas banyak hal tentang keterbatasan kebebasan
manusia dan perlunya rahmat ilahi. “Lakukanlah apa yang engkau perintahkan,
dan perintahkan apa yang engkau inginkan”, adalah tema pokok dari Kitab
Kesepuluh yang sudah mengimplikasikan bahwa hukum itu sendiri adalah tidak
memadai untuk mengubah hati. Augustinus dalam proses pertobatannya sendiri
menyatakan kelemahan kehendak, yang hanya mendapat kebebasan manakala
dibebaskan oleh rahmat ilahi:
Tetapi Kau, ya Tuhan, Engkau baik dan penuh kemurahan, Kauduga dengan
tangan-Mu dan Kaulihat kedalaman kematianku dan dari dasar hatiku
Kaukosongkan jurang kerusakan. Yang diperlukan ialah supaya aku tidak
menghendaki apa yang kuhendaki dan supaya kuhendaki apa yang
dikehendaki oleh-Mu. Namun, di mana kemauanku yang bebas itu selama
sekian tahun dan dari dasar tempat perasingan dalam yang manakah
kemauanku itu dipanggil dalam sekejap …? (Co.9:1.1)23
Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya dapat dipahami kalau
mengingat pandangannya mengenai dosa, yakni sebagai suatu kuasa yang
mengurung, membelenggu dan memperbudak manusia. Kuasa dosalah yang
disebut “dosa asal”. Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam lingkaran
setan yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang secara konkret diperbuat oleh
manusia, hanya mengukuhkan saja perbudakannya terhadap dosa, biarpun
22

L.Berkhof, The History of …, hlm.139.
Richard Price, Agustinus, hlm, 69; Lih. Augustinus, Pengakuan-Pengakuan, (Jakarta & Yogyakarta:
BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1997), hlm.243-244.
23

(i)

perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas dan atas tanggung jawab sendiri.
Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran ini. Secara harafiah
manusia berada dalam kuasa setan. Yang dapat menyelamatkan manusia dari
kuasa dosa itu hanyalah Allah. Dan, Allah memang membebaskan manusia dari
“lingkaran setan” itu. Tindakan Allah itulah yang oleh Augustinus disebut
“rahmat”. Istilah rahmat dipakainya karena tindakan Allah itu bukan karena jasa
atau hak manusia, melainkan semata-mata karena anugerah bebas dari Allah yang
diberikan-Nya dengna cuma-cuma. Dari dalam kebebasan cinta kasih-Nya Allah
masuk ke dalam hati manusia dan mengubahnya secara radikal.24
Dengan demikian, Augustinus melihat rahmat sebagai pengaruh langsung dari
Allah dalam hati dan jiwa manusia yang dikuasai dosa. Hal itu bukanlah sesuatu
yang dapat kita raih dengan usaha kita sendiri, melainkan merupakan sesuatu yang
harus diperbuat untuk kita. Augustinus menekankan bahwa sumber keselamatan
itu terletak di luar manusia, di dalam Allah sendiri. Allah yang empunya inisiatif
untuk melakukan proses penyelamatan itu, bukan manusia.25
5. AJARAN PELAGIUS
5.1 TENTANG DOSA
Pelagius mengajarkan, bahwa setelah Adam jatuh ke dalam dosa tabiat manusia
masih tetap baik. Tiada dosa turunan misalnya: tidak ada dosa yang diwariskan
dari generasi dari keturunan pertama kepada keturunan generasi mendatang
sehingga mereka mendapatkan hukuman.26 Manusia dilahirkan seperti kertas putih
yang masih belum ditulis. Dosa bukan terletak pada tabiat manusia, tetapi pada
kehendaknya. Bahwa manusia dalam kenyataannya berdosa, hal itu disebabkan
karena contoh-contoh yang tidak baik dari dunia sekitarnya. Oleh karena itu
manusia dengan amal-amal dan kebajikannya tentu dapat mendapatkan
keselamatan. Kasih karunia Allah kepada manusia terdiri dari hal ini, bahwa Ia

24

Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika..., hlm.155-156; bnd. L.Berkhof, The History of …, hlm.135.
Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran ..., hlm.94.
26
Gustave F.Wiggers, “The Pelagian View of Original Sin”, dalam Millard J.Erickson (ed.), Reading in
Christian …, hlm.153.
25

(i)

memberikan kehendak yang bebas kepada manusia, dan memberikan pengajaran
PL serta ajaran dan teladan Tuhan Yesus Kristus.27
Pandangan Pelagius tentang dosa sangat berbeda sekali dengan konsep Alkitab
dan juga pandangan Augustinus. Pelagius memulai dari kemampuan alamiah
manusia. Pernyataan dasarnya adalah: Allah telah memerintahkan manusia
melakukan apa yang baik; karena itu manusia harus memiliki kemampuan untuk
melaksanakannya. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam
arti kata yang mutlak, sehinga ia mungkin memutuskan untuk melakukan sesuai
atau bertentangan dengan apa yang baik dan juga melakukan apa yang baik, atau
yang jahat. Keputusan ini tidak tergantung pada karakter moral manusia, sebab
kehendak sama sekali tidak menentukan. Apakah manusia akan melakukan apa
yang baik atau jahat tergantung pada apapun. Dari sini tentu saja kemudian
muncul bahwa perkembagan moral individual itu sebenarnya tidak ada. Baik dan
jahat ditempatkan pada tindakan manusia yang terpisah. Tidak ada kodrat manusia
yang berdosa, juga tidak ada karakter dosa. Dosa selalu merupakan pilihan berbuat
jahat kehendak yang sepenuhnya bebas dan kehendak ini juga bisa memilih untuk
melakukan kebaikan. Akan tetapi jika memang demikian, maka kesimpulannya
adalah bahwa Adam tidak diciptakan dalam keadaan kesucian yang sempurna,
tetapi dalam keadaan moral yang seimbang. Keadaan Adam adalah keadaan moral
yang netral. Ia tidak baik, juga tidak jahat, dan karena itu tidak memiliki karakter
moral; akan tetapi ia lebih memilih kejahatan dan karena itu ia berdosa. Sejauh
dosa hanya terkait pada tindakan yang terpisah dari kehendak manusia, gagasan
tentang perkembangan dosa melalui kelahiran adalah absurd. Jika memang kodrat
manusia yang berdosa memang ada, mungkin saja diturunkan kepada
keturunannya. Tidak ada dosa asal. Anak-anak dilahirkan dalam keadaan netral,
dimulai sejak Adam, kecuali bahwa mereka dihalangi oleh contoh buruk yang
mereka lihat di sekitar mereka. Masa depan mereka harus ditentukan oleh pilihan
bebas mereka. Universalitas dosa diakui, sebab semua pengalaman mengakui akan
hal itu. Tetapi dosa dilihat sebagai peniruan dan menjadi kebiasaan berdosa.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari sudut Pelagius sebenarnya tidak ada
orang berdosa, tetapi hanyalah tindakan-tindakan dosa yang terpisah-pisah.28
27

Harun Hadiwijono, Iman Kristen ..., hlm.289; bnd. Carl F.H.Henry (Ed.), Basic Christian Doctrines,
(Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1983), hlm, 113.
28
Louis Berkhof, Teologi Sistematika …, hlm.118-119.

(i)

5.2 TENTANG KESELAMATAN
Menurut Pelagius, manusia sendiri bertabiat yang sehat. Anugerah berarti bahwa
Allah memberikan kepadanya kemampuan untuk hidup baik, ditambah dengan
teladan Yesus. Kehendak manusia itu bebas untuk memutus tentang percaya atau
menolak, tentang keselamatan atau kebinasaan. Keselamatan manusia berdasarkan
keputusannya sendiri. Dari belakang Allah memilih orang yang sudah memutus
untuk percaya. Sebenarnya manusia tidak perlu binasa, sebab Allah berkehendak
bahwa semua orang diselamatkan (1 Tim. 2 :4 ; 1 Yoh. 1 :10). Tidak ada
pembuangan sebagai keputusan kekal. Allah bergantung kepada kehendak dan
keputusan manusia, biar Allah mengetahui keputusan manusia sebelumnya. 29 Jadi
manusia sendirilah yang memutuskan tentang kepercayaan dan keselamatannya
(free will)! Keputusan Allah tergantung kepada keputusan manusia. Si manusia
harus dapat kesempatan memilih secara bebas lebih dahulu: menerima atau
menolak keselamatan.
Lebih dalam Pelagius berpendapat bahwa anugerah Allah berarti bahwa Allah
hanya membuka kemungkinan keselamatan bagi manusia. Lalu manusia bebas
untuk memutuskan apakah mau percaya atau tidak. Kehidupan rohani manusia
melebihi kuasa Allah. Asal manusia diajak dan didorong dengan cukup kuat, maka
ia akan percaya. Semua orang bisa menjadi percaya.
6. PERTIKAIAN AUGUSTINUS DAN PELAGIUS TENTANG DOSA DAN
KESELAMATAN
6.1 PERTIKAIAN TENTANG DOSA
Ketika Augustinus dan Pelagius tiba di Roma pada dasawarsa 380-an, mereka
mempunyai banyak kesamaan. Keduanya dari Provinsi, Augustinus dari Thagaste
di Afrika Utara, Pelagius dari Inggris. Sama seperti Augustinus, Pelagius
kemungkinan besar datang ke sana untuk mengejar karier duniawi. Namun, dua29

CJ.Haak, Pemilihan: Ajaran Alkitab menurut Pengakuan-pengakuan Iman Reformasi, (Tanpa
Penerbit, 1988), hlm. 38.

(i)

duanya kemudian menjadi pemimpin religius dengan kekuatan rohani yang amat
besar.
Di atas semuanya, mereka hidup pada kurun sejarah yang sama. Anehnya,
meskipun Gereja pada akhir abad keempat berkembang pesat dari agama
minoritas yang dianiaya menjadi agama negara, namun tradisi pertobatan radikal
kepada kehidupan Kristen yang sejati dalam pengabdian dan kesempurnaan, tetap
saja kuat. Augustinus bertobat kepada kehidupan Kristen sejati itu. Ketegangan
perpisahan radikal dengan masa lampau dapat dilihat dalam buku kedelapan
Confessiones.30
Dalam pengalaman hidupnya, Augustinus membuka matanya terhadap kebenaran
Injili, yaitu bahwa iman bukanlah suatu perbuatan atau jasa dari manusia sendiri,
melainkan dikaruniakan semata-mata oleh rahmat Tuhan saja. Inilah ajaran Paulus
yang hampir tak diingat lagi pada masa itu. Di antara segala Bapa Gereja barulah
Augustinus yang membangun teologinya atas dasar ajaran Paulus itu.
Lebih dalam Augustinus berpendapat bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan
dengan sempurna. Adam diberi kehendak yang bebas, sehingga ia dapat memilih
sendiri jalan yang mana yang akan diturutinya: taat dan patuh kepada Tuhan atau
menuruti kesukaan hati dan kehendaknya sendiri. Tuhan mengajak dia berbuat
yang baik saja, serta mengaruniakan kepadanya pertolongan rahmat-Nya. Itulah
sebabnya Adam dapat tidak berdosa. Akan tetapi Adam tidak mempergunakan
kemungkinan ini. Ia jatuh ke dalam dosa oleh salahnya sendiri, karena ia tidak
suka menuruti kehendaknya sendiri. Akibatnya sangat mengerikan. Sekarang ia
dikuasai oleh dosa; persekutuannya dengan Tuhan terputus; pertolongan rahmat
telah hilang; ia menjadi hamba keinginan badannya dan harus mati. Tak dapat ia
berbuat baik lagi, malahan mulai saat itu ia tidak dapat tida berdosa, atau harus
berdosa saja.
Di dalam Adam segala keturunannya berdosa juga (Rm. 5:12). Tubuh dan jiwa
tiap-tiap manusia telah diracuni oleh dosa turunan, yang turun-temurun dari orang
tua kepada anak-anaknya. Segenap umat manusia tak lain daripada suatu “kaum
30

Roger Haight, Teologi Rahmat Dari Masa Ke Masa, (Flores: Nusa Indah, 1999), hlm, 38.

(i)

kebinasaan”, yang tak sanggup berbuat baik, sehingga dikutuki oleh Tuhan dan
menuju kepada maut yang kekal. Tetapi syukur bagi Allah! Tuhan sayang kepada
makhluk-Nya. Sejumlah manusia yang tertentu dipilih oleh Tuhan untuk mendapat
rahmat-Nya supaya diselamatkan kelak. Inilah ajaran “predestinasi” (artinya:
tujuan hidup atau nasib kekal manusia sudah ditentukan atau ditakdirkan oleh
Tuhan sebelum manusia lahir). Kaum pilihan itu tak dapat melawan pekerjaan
rahmat Tuhan dalam batinnya; meskipun mereka mau menolak kasih Tuhan itu,
akhirnya mereka dialahkan juga oleh kuasa rahmat. Pun mereka itu akan sampai
akhirnya; kendati pun mereka digodai oleh iblis dan banyak kali jatuh lagi dalam
dosa, tetapi akhirnya; mereka akan mencapai tujuan yang telah ditentukan
baginya. Kalau begitu, bagaimanakah pandangan Augustinus tentang segala
manusia yang tak terpilih lagi? Adakalanya ia mengaku bahwa mereka itu
dipredestinasikan untuk kebinasaan. Tetapi hal itu biasanya tidak dititikberatkannya. Apalagi, dalam hal ini, kata Augustinus, manusia belum mengetahui,
apakah ia terpilih untuk keselamatan atau kebinasaan. Hendaknya tiap-tiap orang
Kristen berjuang untuk membuktikan dengan kebajikan dan amalannya bahwa ia
sudah terpilih untuk keselamatan. 31
Lawan Augustinus yang paling besar, Pelagius, menyangkal adanya hubungan
antara dosa Adam dan dosa keturunannya. Pelagius melihat bahwa penyebaran
dosa dari satu generasi ke generasi berikutnya didasarkan di dalam teori
Tradusianisme tentang asal mula jiwa. Ia menganggapnya sebagai kesalahan para
bidat; dan menyebarnya dosa Adam pada setiap orang kecuali Adam akan
bertentangan dengan kejujuran ilahi.32
Pelagius sangat berkeberatan terhadap ucapan Augustinus dalam “Confessiones”.
'Berikan kepadaku apa yang Engkau perintahkan, dan perintahkan kepadaku apa
yang Engkau inginkan.' Teologinya adalah seperti berikut: Adam sebagai ciptaan
Allah tidak memberikan kekudusan positif. Kondisi aslinya adalah netral, bisa
dalam keadaan kudus maupun berdosa, tetapi memiliki kapasitas untuk memilih
yang baik dan yang jahat. Dia memiliki kebebasan yang tidak dapat ditentukan
untuk memilih yang baik maupun yang jahat.33 Dosa Adam tidak menghilangkan
31

H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah …, hlm. 68.
Louis Berkhof, Teologi Sistematika …, hlm.125-127.
33
L.Berkhof, The History of …, hlm.136.
32

(i)

kehendak bebas manusia. Tiap-tiap manusia lahir dengan dengan tidak bercacat,
sama seperti Adam di Firdaus. Jadi dosa turunan tidak diakuinya. Duduknya dosa
bukannya di dalam tabiat manusia, melainkan dalam kehendaknya. Tiap kali kalau
kehendak manusia bermaksud berbuat jahat, ketika itulah manusia berdosa. Dan
tidak diwariskan turun-temurun, tetapi teladan Adam yang jahat itu ditiru oleh
anak-anaknya. Dengan demikian tiap-tiap manusia mulai berdosa, sebab ia
melihat dan meniru contoh yang kurang baik dari orang sekelilingnya: ibu, bapa,
saudaranya dan sebagainya. Jadi secara teori mungkin juga seorang manusia sama
sekali tidak berdosa seumur hidupnya. Kematian bukanlah akibat dosa atau
hukuman dari Tuhan, tetapi termasuk hukum alam. Keselamatan yang kekal itu
diperoleh manusia selaku pahala karena amal dan kebajikannya yang dilakukan
manusia menurut kehendaknya yang bebas itu. Rahmat Tuhan hanya terdiri dari
pemberian kehendak yang bebas itu, pengajaran PL dan pengajaran dan teladan
Tuhan Yesus. Jadi rahmat tidak dianggapnya sebagai suatu kuasa rohani dari sorga
yang bekerja dalam hati manusia.
Menurut Louis Berkhof, ada banyak yang tidak setuju terhadap pandangan
Pelagius tentang dosa ini, dan dari sekian ketidaksetujuan itu, beberapa di
antaranya adalah:
a. Keadaan mendasar di mana manusia harus bertanggung jawab kepada Tuhan
hanya atas apa yang mampu ia lakukan, jelas bertentangan dengan pengakuan
hati nurani dan Firman Tuhan. Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal
adalah bahwa semakin manusia berdosa, maka kemampuannya melakukan
kebaikan akan makin kecil. Manusia itu akan makin menjadi budak dosa.
Menurut teori yang sedang kita bicarakan ini maka ketidakmampuan berbuat
baik juga akan makin memperkecil tanggung jawab itu. Tetapi dengan
demikian bisa pula dikatakan bahwa dosa itu makin lama makin membebaskan
korbannya dengan cara membebaskan mereka dari tanggung jawab yang
dituntut daripadanya. Hati nurani segera meneriakkan rasa tidak setujunya
terhadap pandangan seperti ini. Paulus tidak berkata bahwa ia mengeraskan
orang berdosa sebagaimana yang ditulisnya dalam Roma 1:18-32 jelas tanpa
tanggung jawab, tetapi Paulus melihat bahwa mereka layak mengalami maut.
Tuhan Yesus mengatakan tentang orang Yahudi yang memuliakan kebebasan
mereka, tetapi menunjukkan kejahatan mereka yang luar biasa dengan usaha
(i)

untuk membunuh Dia, dan mereka adalah budak dosa, tidak tahu apa yang Ia
katakan, sebab mereka tidak dapat mendengar Firman-Nya, dan akan mati
dalam dosa-dosa mereka (Yoh. 8:21,22,34,43).34
b. Teori Pelagius tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan tentang
universalitas dosa. Contoh buruk dari orang tua tidak dapat memberikan
penjelasan yang memuaskan. Kemungkinan yang hanya abstrak saja tentang
dosa manusia kendatipun jika diperkuat oleh contoh yang jahat, tetap tidak
menjelaskan bagaimana dapat terjadi manusia sesungguhnya berdosa.
Bagaimana mungkin dikatakan bahwa kehendak manusia akan kemudian
membelok ke arah dosa dan tidak pernah meuju ke arah yang lain ? Jauh lebih
wajar jika kita memikirkan tentang sifat dari dosa itu sendiri.35
Ajaran Pelagius ini ditolak oleh Gereja, pertama kalinya di Carthago pada tahun
418 dan akhirnya oleh konsili di Efesus (431).36
6.2 PERTIKAIAN TENTANG KESELAMATAN
Berkaitan dengan keselamatan, Roger Haight melihat Augustinus dan Pelagius
sama-sama mengakui adanya keselamatan atau rahmat. Namun demikian
pemahaman rahmat di antara mereka berdua saling berbeda satu sama lain. Bagi
Pelagius, rahmat pertama-tama merupakan kebebasan manusiawi kita sendiri;
kemampuan yang kita terima dari Allah untuk memilih antara baik dan buruk.
Bagi Augustinus, meskipun pilihan bebas tetap ada, namun hasrat dan perasaan
umat manusia terjerat dosa. Adat-istiadat serta kebiasaan dosa pribadi
memenjarakan pilihan bebas di dalam tembok-tembok sempit pencarian
kepentingan diri. Pelagius melihat rahmat Allah dalam hukum-Nya. Dalam agama
Kristen, orang secara lebih khusus memiliki rahmat ajaran Kristus serta teladanNya. Rahmat eksternal ini menantang kebebasan manusia dan orang tidak dapat
ikut, jika ia tidak ingin ikut. Belenggu eksternal dosa, baik dosa masa lampau
pribadi seseorang maupun dosa lingkungan yang lebih luas, dapat dilepaskan, jika
orang Kristen memiliki keberanian untuk mengikuti teladan Yesus. Bagi
Augustinus, rahmat harus pertama-tama merupakan kekuatan internal, sebab dosa
34

Louis Berkhof, Teologi …, hlm.119-120
Ibid., hlm.121
36
Lih. Kurt Aland, A History Of Christianity, Philadelphia: Fortress Press, Vol.I, 1985, hlm.204-212
35

(i)

membelenggu seseorang dari dalam. Kehendak seseorang merupakan penjara
untuk dirinya sendiri. Inilah pusat pandangan Augustinus tentang rahmat dan
justru merupakan titik perbedaan antara dia dengan Pelagius. Rahmat bagi
Augustinus merupakan kegemaran akan kebaikan, sebuah bentuk baru kebebasan
yang menuntut pembaharuan internal kehendak manusia. Tak seorang pun
sebelum Augustinus sungguh-sungguh menyatakan apapun juga yang agak mirip
dengan kebutuhan akan campur tangan Allah ini di dalam kebebasan. Biarpun
ajaran Kristus sudah tentu merupakan juga rahmat eksternal maupun publik,
namun hanya orang-orang yang dipanggil dan diberikan kekuatan internal untuk
menjawab dapat diselamatkan.37
Lebih dalam Haight mengatakan bahwa mengupas ajaran-ajaran Augustinianisme
dan Pelagianisme mengandung bahaya, sebab hal ini memisahkan pandanganpandangan yang jelas dan tegas dari pengalaman serta pandangan hidup para
penganutnya. Ajaran-ajaran yang bertentangan ini masing-masing sesungguhnya
mewakili suatu aspek dari jawaban utuh terhadap dunia dari dalam iman Kristen.
Satu cara menyelami ajaran-ajaran ini ialah mencari nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya dan yang menjadi dasarnya.38
Haight melihat perbedaan di antara Augustinus dengan Pelagius dari sudut nilainilai. Nilai utama yang mendasari pandangan Pelagius adalah kebebasan suatu
pribadi, kekuatan untuk menentukan diri sendiri. Bagi Pelagius, orang Kristen
dewasa seharusnya menjadi “anak Allah”, yaitu seorang ahli waris yang
dibebaskan dan kini bertanggung jawab. Sebaliknya, nilai utama yang mendasari
ajaran Augustinus adalah pengalamannya akan kemutlakan Allah serta
ketergantungan total manusia pada-Nya. Nilai kedua yang mendasari ajaran
Pelagius ialah soal kemungkinan universal bagi keselamatan. Pandangan Pelagius
jauh lebih luas dan global daripada pandangan Augustinus. Pelagius tidak dapat
menerima massa damnata (umat manusia terhukum). Dan akal sehat mengajarkan
dia, bahwa penghukuman abadi bagi bayi-bayi yang tidak dibaptis merupakan
penghinaan bukan saja bagi umat manusia, tetapi juga bagi Allah. Dosa sudah
barang pasti tersebar, akan tetapi dosa mempengaruhi orang-orang terutama
37
38

Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 41-42.
Ibid., hlm, 42.

(i)

melalui mekanisme eksternal pengaruh-pengaruh sosial, yang tidak mengganggu
kodrat batin dan inti kebebasan seorang pribadi. Seorang dapat menjawab
panggilan Allah kapan saja. Allah tidak pilih kasih, memilih sebagian dan bukan
yang lain. Sebaliknya, Augustinus jadi sadar bahwa rahmat Allah sama sekali
cuma-cuma dan ini dituangkan ke dalam ajaran tentang pemilihan dan
predestinasi. Dosa mencengkeram hidup manusia dari dalam dan di dalam. Jika
orang-orang terbuka kepada Yang Baik, kepada yang lebih tinggi dan yang rohani,
ini terjadi sebagai suatu gerakan sekonyong-konyong dan spontan yang tidak
dikendalikan oleh orang-orang itu.39
Haight juga melihat hal-hal ekstrem yang berbahaya dalam pandangan Augustinus
dan Pelagius ini. Penekanan Pelagius atas kebebasan manusia untuk taat,
kelihatannya menjadikan Allah seorang tiran. Pelagianisme dipertalikan dengan
tradisi Stoisisme. Peranan utama hukum dan penekanan berlebihan atas hukum
dapat dengan gampang merosot menjadi legalisme yang hendak diatasi oleh Injil.
Pelagius menginginkan seluruh Gereja menjalani kehidupan asketis ala biarawan.
Akhirnya, tekanan Pelagius pada kebebasan dan otonomi manusia terlalu besar.
Agama Kristen tidak lagi membebaskan. Sebaliknya ia menjadi sesuatu yang
mengerikan. Namun bahaya-bahaya padangan Augustinus menurut Haight lebih
halus tetapi sama riilnya. Ajarannya mengenai takdir tidak boleh tidak membuat
orang berkecil hati. Ajaran itu pada akhirnya tidak saja menyakiti perasaan
manusia tetapi juga merusakkan pandangan Kristen tetang Allah. Dalam jangka
panjang, otonomi manusia sesungguhnya dibahayakan. Otonomi yang menurut
keyakinan orang Kristen dikukuhkan oleh Allah dan dijamin oleh rahmat-Nya.40
Namun Haight juga melihat adanya tema-tema yang lebih besar dalam pandangan
Augustinus dan Pelagius ini. Masing-masing pandangan mempunyai akibatakibatnya baik dulu maupun sekarang. Tema pertama adalah Idealisme Pelagius
jangan kita tafsirkan sebagai naturalisme. Pelagius percaya akan rahmat Allah.
Orang yang baru bertobat dan dibaptis, dibarui karena rahmat Allah. Kehidupan
Kristen dilihat sebagai kesaksian dan tanda tentang Allah serta rahmat-Nya kepada
kekaisaran kafir dunia ini. Pelagianisme dapat saja dipandang sebagai asketisme
39
40

Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 42-43.
Roger Haight, Teologi Rahmat …, hlm, 44.

(i)

yang ketat atau perfeksionisme. Sebaliknya, keputusan-keputusan Augustinus
sepertinya mendukung toleransi terhadap cara hidup Kristen yang lali. Orang
Kristen pada hakikatnya adalah “orang yang baru sembuh dari sakit”. Hidupnya
diselamatkan, tetapi ia tetap “sakit”. Pandangan Augustinus memperbolehkan di
dalam Gereja semua kesalahan manusia yang kita temukan di luar Gereja. Dan
akibatnya ialah penyamaran seluruh kesaksian Kristen dengan standar umum
orang biasa. Hal ini membenarkan standar ganda: Kekristenan nominal bagi
orang-orang biasa dan Kekristenan “riil” yang mendorong orang-orang melarikan
diri ke biara-biara.
Tema kedua berkaitan dengan soal antropologi Kristen dan Gereja. Penekanan
Pelagius pada kebebasan hendaknya jangan disamakan dengan individualisme. Di
belakang pembaruan Pelagius terletak pemahaman tentang Gereja. Pelagius tidak
menginginkan seorang individu menjadi seorang asketis di luar Gereja. Dia
menginginkan Gereja menjadi asketis. Biarpun hal ini sama sekali tidak riil dalam
konteks Gereja massa, Gereja “masyarakat Kristen”, namun tidak demikian dalam
Gereja minoritas, Gereja segelintir orang yang penuh pengabdian. Pelagius puas
dengan kelompok kecil macam ini.

Pandangan Augustinus membayangkan

Gereja sebagai agama mayoritas, Gereja negara dan Gereja massa. Kekristenan
merangkul dan mencaplok seluruh kekaisaran dan mulai menciptakan masyarakat
Kristen abad Pertengahan. Akan tetapi kesadaran akan Kekristenan runtuh.
Dan tema ketiga bersangkutan dengan penilaian Kristen tentang sejarah manusia
yang berkembang di luar batas pewahyuan Kristen yang eksplisit. Optimisme
Pelagius dapat dituangkan ke dalam pandangan positif tentang sejarah tersebut.
Sekalipun Pelagius menganjurkan asketisme yang ketat atau keras, ia memandang
kebebasan kodrat manusia untuk membuat yang baik sebagai tetap utuh. Jika
diperluas, interpretasi macam ini mendorong seseorang menerima kemungkinan
sejarah manusia yang dapat bergerak menuju Allah, tanpa bantuan Kekristenan
eksplisit. Namun Augustinus kurang optimis dengan dunia ini beserta sejarahnya.
“Baginya tugas-tugas duniawi tidak dapat memiliki makna definitif. Sebab tidak
gampang dimengerti bagaimana pembangunan kota duniawi dapat membuat
banyak perbedaan bagi hasil akhir sejarah”. Bagi Augustinus, rahmat sama sekali
gratis, “sebab rahmat datang kepada manusia yang secara radikal berdosa, dan
(i)

sama sekali tidak pantas bagi prakarsa yang diambil Allah untuk mengubah
kehendak buruknya menjadi kehendak baik”. Bagi Augustinus, perbuatanperbuatan baik orang kafir, kendati kelihatan mempunyai nilai, pada akhirnya
semu. Sebab perbuatan-perbuatan baik itu tidak membawa orang-orang kafir lebih
dekat kepada persekutuan dengan Allah.41
Pendapat lain yang menentang pandangan Pelagius dikemukanan oleh CJ.Haak.
Menurutnya pandangan Pelagius yang mengatakan bahwa anugerah Allah berarti
bahwa Allah hanya membuka kemungkinan keselamatan bagi manusia, lalu
manusia bebas memilih apakah percaya atau tidak, tidak sesuai sama sekali
dengan Alkitab (Roma 3:6-8; Ef. 2:1). Alkitab mengatakan bahwa anugerah itu
bukan kemungkinan, melainkan keselamatan sendiri yang diberikan Tuhan.
Apabila Tuhan datang dengan Injil-Nya dan seseorang mau bertobat, maka orang
itu ditangkap dan tidak bisa melawan lagi (bnd. Paulus dalam Kis.9). Ajaran
Pelagius rupanya manis dan menekankan bahwa Allah mengasihi hanya secara
umum. Ajaran Pelagius ini mematikan orang lemah, memadamkan harapan orang
yang letih lesu dan menolak orang yang ingin lari kepada Tuhan denga