Apakah Sejarah Pemikiran ekonomi aliran

©MTZ-II/4A/ rev. 2015

HANDOUT (1)

APAKAH SEJARAH PEMIKIRAN ?
Mestika Zed
Universitas Negeri Padang

[You are free to share this piece or send it electronically to others. If you wish toquote or
to publish it in a printed medium or on another web site, you must mention the author of
this material.]
MTZ

1. Pelbagai Istilah dan Pengertian
Sejarah pemikiran merupakan suatu istilah yang digunakan secara berbeda-beda untuk
mengacu pada penyelidikan tentang artikulasi (pertalian) ide-ide atau gagasan di masa silam.
Pada intinya ia berkenaan dengan kajian tentang ekspresi pemikiran yang tertulis (dalam
bentuk buku, esei atau pamphlet), khususnya tingkat pemikiran canggih dan reflektif dari
para ahli (a fairly sophisticated or reflective level). Belakangan juga diperluas dengan

memasukkan pemikiran yang tidak tertulis seperti yang dapat digali dalam wacana

‘kearifan lokal’ atau local knowledge (Stefan Collini, 1985).
Pelbagai istilah sejarah pemikiran dalam kepustakaan Barat.
 American Historical Association, yaitu suatu organisasi profesi sejarawan Amerika,
misalnya, menggunakan istilah “sejarah kebudayaan” (cultural history) atau “sejarah Ideide sosial” (The history of social ideas). Keduanya merupakan sinonim dari “sejarah
pemikiran” sebagaimana yang akan dibentang di bawah nanti.
 Para sejarawan Eropa menyebut istilah yang berbeda-beda:
― di Jerman disebut “sejarah Ide-ide” (ideen-geschichte atau Geistesgeschichte )
― di Belanda dengan “sejarah peradaban” (Beschavingsgeschiedenis)
― di Perancis sering disamakan dengan pemikiran filsafat (philosophe): de l'Histoire de la
pensée en général et de la pensée « ...les idées, justes ou fausses, des philosophes de
l’économie et de la politique ont plus d’importance qu’on ne le pense en général.
― di Indonesia umumnya sejarah pemikiran sebagai salah satu cabang studi sejarah yang
relatif baru di perguruan tinggi kita. Ia seringkali juga sinonim dengan Sejarah
Intelektual (Intellectual History). Namun sejarah pemikiran di bidang ekonomi dan
agama tampaknya sudah lama dipelajari dan relatif lebih maju ketimbang bidang lain.

1

Walaupun istilah sejarah pemikiran mempunyai penekanan arti yang berbeda-beda menurut
tradisi akademik di masing-masing negara, namun para ahli umumnya sepakat dalam satu hal,

bahwa sejarah pemikiran atau sejarah intelektual selalu mengacu pada data sejarah yang
berkenaan dengan kegiatan ide atau fikiran manusia sebagai salah satu kekuatan penggerak
sejarah.
Sekedar pegangan sementara baiklah kita ikuti saja definisi Barnes (1963 : 295) berikut ini:
“A review of the transformations of ideas, beliefs, and opinions held by intellectual classes to
primitive times to our own…”
(Suatu tinjauan tentang transformasi – perubahan gagasan, kepercayaan, dan pemikiran yang dihasilkan
oleh kelas intelektual dari masa lampau sampai ke masa kita sekarang…).

Lebih jauh Ankersmit (1987) lebih jauh merinci sejarah pemikiran lebih luas, mencakup telaahan
tentang
(a). Fenomena sejarah pemikiran manusia yang dihasilkan oleh tokoh pemikir dalam berbagai
bidang tertentu, baik karya filsuf, seniman, sastrawan, politisi, maupun ilmuwan, yang
mewariskan karya intelektual mereka dalam berbagai bidang baik ilmu teoritis, maupun
praktis;
(b). Telaahan tentang pengaruh pelbagai bidang hasil pemikiran mereka terhadap kehidupan
ummat manusia pada masanya atau periode kemudian seperti ideologi (Marxisme), teori
ilmu (Adam Smith, Newton dan lainlian).
(c). Telaahan tentang bagaimana penyebaran dan pengaruh pemikiran dalam sejarah dan
dampaknya terhadap faktor-faktor non-intelektual, atau hal-hal yang bersifat kondisional.

Misalnya dampak Iptek terhadap pengangguran, atau mengubah gaya hidup manusia;
dampak revolusi hijau terhadap pola pertanian tradisional.
Sebuah Contoh Kasus.
Ambillah misalnya pemikiran Karl Marx (118-1883) sebagai contoh. Gagasan pemikiran tokoh
ini muncul pada saat Eropa dilanda revousi industri yang menjalar dari Inggris sekitar
pergantian abad ke 18/19. Pemikiran Karl Marx atau Marxisme telah sangat mempengaruhi
terjadinya perubahan-perubahan besar dalam sejarah umat manusia kemudian, setidaknya
dalam batas waktu tertentu, baik pemikiran teoretis-ilmiah, maupun sebagai gerakan
pemikiran untuk perubahan sosial-politik lewat partai atau program.
Revolusi inustri membawa kemajuan tetapi pada saat yang sama juga menimbulkan dampak
terjadinya urbanisasi, pengangguran dan kuasa kaum pemodal atau kapitalis yang kian kuat.
Marxisme lalu melakukan pemberontakan pemikiran terhadap gejala yang sedang terjadi
pada waktu dengan menyalahkan kapitalisme. Marx lalu menawarkan gagasan pemikiran
alternatif (perjuangan kelas) untuk memecahkan masalah-masalah sosial, khususnya
pembelaannya terhadap kaum tertindas (proletar) dengan menggunakan metode perjuangan
mereka (class struggle) melalui gerkan-gerakan politik dan idiologis (komunis) dan perubhanperubahan radikal melalui cara-cara revolusi.
Marxisme dengan cepat tersebar ke hampir seluruh penjuru dunia dan selanjutnya ikut
menciptakan polarisasi dunia kedalam dua kutup idiologis: blok timur yang beraliran
komunisme dan blok barat yang beraliran kapitalisme. (Ingat dewasa ini berakhirnya perang


2

dingin antara blok kapitalis dan nlok komunis antara Barat dan Timur menandai kejatuhan
Marxisme).
Ada banyak contoh pemikir dan pemikiran yang mempengaruhi dunia dalam berbagai bidang
(ilmu pengetahuan – paling elit mialnya adalah karya pemegang nobel – ekonomi, agama,
sastra, gerakan soisal, politik dan gerakan akar rumput dll.) Semuanya dapat digunakan untuk
pembahasan hasil-hasil pemikiran besar lainnya baik pemikiran klasik yang muncul sebelum
abad ke-19 ataupun pemikiran modern periode abad ke-20 kemudian, yang bukan yang bukan
hanya melulu terbatas pada sejarah dunia Barat (Oksidental) melainkan juga didunia Timur
(Oriental).
Bentuk-bentuk pemikiran yang lain, apakah itu berupa penemuan ilmu dan teknologi, ataupun
gagasan social yang merubah dunia, biasanya akan menjadi perhatian sejarah pemikiran
dengan secukupnya. Tentu saja perlu diperingatkan, bahwa bidang garapan sejarah pemikiran,
sebagaimana yang akan dibahas pada fasal tersendiri di belakang nanti ternyata jauh lebih luas
dari pada sekedar membahas hasil pemikiran idiologis, tetapi juga tidak hanya berkenaan
dengan “sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi” (Iptek) dan gagasan social “baru” seperti
emansipasi wanita dan seterusnya.
Gandi dari India misalnya, bukanlah seorang ilmuwan; ia juga bukan seorang politikus, tetapi
gagasannya tentang perjuangan melawan kolonialisme Inggris melalui gerakan non-violence

(Perjuangan Tanpa Kekerasan) di India atau juga dikenal dengan Gandiisme ternyata
berpengaruh besar di dunia. Demikian juga dengan gerakan “Emansipasi Wanita”, meskipun
bukan formula keilmuan, dan juga bukan gerakan politik, tetapi hanya pembaruan sosal,
seperti yang dikenal lewat sejarah perjuangan tokoh-tokoh perempuan Indonesia seperti
Rohana Kudus, Encik Rahmad El Yunisiyah Padang Panjang, Kartini dan Marsinah dalam sejarah
Indonesia kontemporer. Tulisan Azyumard Azra tentang “jaringan ulama”, misalnya adalah
kajian sejarah intelektual, kendati ia tidak menyebutnya demikian. Gerakan wanita dlm
perlabagai bidang sesungguhnya dapat dimasukkan ke dalam bidang garapan sejarah
pemikiran. Untuk lebih jelasnya marilah kita mencoba merumuskan bidang garapan (subject
mater) sejarah pemikiran.
2. Ruang Ligkup
Untuk mengenali ruang lingkup sejarah pemikiran secara lebih khusus, marilah kita ajukan
pertanyaan umum berikut ini; Apakah persamaa dan perbedaan antara kajian sejarah pemikiran
dengan kajian sejarah yang lain? Seperti halnya dengan bidang-bidang studi sejarah yang lain,
apakah itu sejarah politik, sejarah social dan ekonomi, sejarah pendidikan dan seterusnya, maka
sejarah pamikiranjuga sama-sama tertarik kepada realitas kehidupan manusia di masa lampau.
Bedanya yang utama, seperti yang telah disinggung diatas adalah, bahwa sejarah pemikiran atau
sejarah pemikiran lebih terpumpun (terfokus) kepada data pemikiran manusia itu sendiri. Lebih
jauh perbedaan sejarah pemikiran dengan bidang-bidang studi sejarah yang lain itu, kiranya
dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, jika sejarah pemikiran lebih menekankan dimensi hasil pemikiran individual atau
kelompok, dan bukan pembahasan peristiwa-peristiwa dan/atau kegiatan manusia di masa
lampau. Kedua, Sejarah pemikiran cenderung berkaitan dengan gejala pemikiran atau kegiatan
dan/atau hasil pemikiran tokoh pemikir secara individual dan akibatnya terhadap orang banyak
atau dampak yang menimbulkan perubahan sejarah dalam arti luas. Bidang-bidang sejarah yang

3

lain sebaliknya tidak terbatas kepada fakta-fakta peristiwa fisik atau tindakan individual atau
kolekitf, tetapi seringkali berbicara ide di balik persitiwa itu dalam perkembangan sezaman.
Ketiga, sejarah pemikiran sebenarnya mencakup dimensi pemikiran dari bidang-bidang sejarah
apapun juga (termasuk pemikiran dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dalam
arti luas). Dengan begitu, maka pokok pembahasan sejarah pemikiran sesungguhnya jauh lebih
luas dari pada bidang sejarah yang lain, yang hanya terbatas pada salah satu aspek sejarah
sezaman. Sejarah berbagai macam aliran pemikiran atau isme-isme besar yang dikenal luas di
dunia, hanyalah merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian dari sejarah pemikiran,
demikian juga dengan sejarah iptek juga merupakan suatu bagian saja dari pembahasan sejarah
pemikiran.
3. Beberapa Contoh Model Kerangka Pembahasan.
Dilihat dari tingkat pemikirannya dan ciri-ciri khas dari isi sejarah pemikiran dalam tahap

tertentu, para ahli telah membuatkan system klasifikasi yang berbeda-beda berdasarkan
kategori-kategori tertentu. Berikut ini akan dikemukakan tiga kategori umum yang pernah
berkembang dalam sejarah pemikiran.
1. Model Comte (Hukum Tiga Zaman a la Comte)
Model Comte, yaitu pemikiran filsuf Prancis August Comte (1798-1853). Meskipun lebih
dikenal sebagai “Bapak Sosiologi”, Comte, seperti juga para sosiolog abad ke-19 umumnya
sangat dekat dengan studi sejarah. Berdasarkan kajian sejarah totalitas (atau sejarah global),
hukum tiga tahap yang dibahas Comte sesungguh adalah “grand theory” sejarah intelektual.
Comte mengajukan tiga tahap evolusi pemikiran (intelektual) manusia sebagaimana tercemin
dalam skema berikut ini:
Skema Komte
Tahap Sejarah
Pemikiran

Corak Pemikiran

Wujud
Ekspersinya
(material form)


Basic Social
Unit

Basic Moral Sentiment

1. Zaman Kuno

Theological

Military

Family

Attachment (kasih sayang)

2. Zaman Tengah

Methaphisical

Legalistic


State

Veneration (rasa hormat)

3. Zaman Modern

Positivistic

Industrial

Humanity

Benovalence(Kebajikan).

Keterangan
 Tahap pertama (zaman kuno) adalah suatu tahap di mana pemikiran manusia dikuasai oleh ide
tentang dewa-dewa seperti yang terdapat dalm ajaran politeisme pada kebudayaan Yunani
kuno, atau zaman abad pertengahan, ketika Eropa dkuasai oleh gereja atau ajaran Nasrani.
Tidak mengherankan, bahwa dalam semua lapangan kehidupan Yunani ada dewanya, dewa

hujan, dewa cinta, dewa seks, hujan, dan seterusnya. Demikian juga dengan abad
pertengahan, kekuasaan gereja atau pendeta tidak hanya berkaitan dengan urusan
keagamaan, tetapi juga politik, kebudayaan dan sebagainya. Pada tahap ini, segala sesuatu
harus dikembalikan kepada “tafsiran agama” terhadap setiap masalah hidup dan kehidupan
manusia.

4

 Tahap Kedua (Abad Tengah) bersifat metafisis (harfiah “meta”= di luar, “pisis” = pisik, atau
alam bendawi), jadi di luar alam nyata, mirip dengan tahap pertama, tetapi pada tahap ini
otoritas pikiran manusia sudah mendapat tempat yang lebih maju. Hanya saja pemikiran
manusia pada tingkat ini masih dikuasai oleh pemikiran spekulatif, artinya ide-ide besar
tentang dunia dan “kemajuan” berdasarkan kekuatan renungan pemikiran semata dan sulit
diuji dengan kenyataan empiric. Bila aspek materil pada tahap teologis mengandalkan
kekuatan militer atau keunggulan fisik seperti gaya Sparta dan Romawi kuno. Pada tahap
metafisik fungsi hukum sudah mendapat tempat yang semakin luas. Contoh-contoh pemikiran
spekulatif ini juga tumbuh subur dalam kisah dewa-dewa Yunani, tetapi kecendrungan ini
semakin berkembang dalam bentuk kekuatan penalaran seperti yang tampak dalam
perkembangan sebelum abad ke-19. Gejala ini biasanya menjadi bidang perhatian filsafat
sejarah spekulatif.

 Tahap Ketiga (zaman modern) ialah pemikiran positivistic, yaitu suatu tahap dimana corak
pemikiran manusia sudah memasuki dunia “modern”. Pemikiran modern bagi Comte adalah
pemikiran intelektual yang diidentikkan dengan ilmu alam, atau matematis (Comte sendiri
aslinya adalah seorang matematikus). Karena itu pada zamannya, Comte dikenal sebagai salah
seorang pembela pandanan pemikiran “ilmiah”, yang yang menurutnya harus didasarkan pada
metode ilmu-ilmu alam. Segala sesuatu yang tidak dapat diterangkan berdasarkan ilmu alam
bukan ilmiah. Karena itu, untuk mengangkat “harkat” sosiologi sebagai suatu disiplin yang
ilmiah, Comte lalu memperjuangkan agar disiplin itu beda dengan disiplin sejarah, misalnya,
mengikuti kaedah-kaedah ilmu alam. Apakah Comte nantinya berhasil atau tidak, sejarah
perkembangan abad ke-19 menunjukkan bahw nyatanya selalu saja terdapat perdebatan pro
dan kontra terhadap pemikiran positivistic a la Comte, dan pengaruhnya bahkan masih
dirasakan sampai saat ini. Yang jelas, cirri lain kemoderenan menurut kategori Comte ditandai
oleh kemajuan industri, perhatian terhadap kemajuan dan kebajikan umat manusia berkat
penemuan-penemuan iptek.
Skema Comte di atas, tentu saja sangat bersifat Eropasentrisme, karena kalau dihubungkan
dengan sejarah belahan dunia lain, fase perkembangan itu tidak lagi dapat dicocokkan begitu
saja. Sebabnya antara lain adalah, bahwa setiap bangsa dan kebudayaan di dunia mengalami
zaman dan bentuk yan berbeda-beda. Seirng dengan penlaran ini, maka setiap bangsa memiliki
perkembangan sejarahnya sendiri-sendiri. Namun untuk sekedar memperlihatkan kapan
sebetulnya fase-fase tersebut realitas sejarahnya pernah berkembang, marilah kita lihat
kategori pembabakan waktu atau periodesasi sejarah Eropa sebagaimana diajukan oleh
sejarawan Arnold Toynbee. Agaknya kita bisa menyebutnya kategori Toynbee sebagaimana
yang ayan dijelaskan berikut ini.
2. Model Toynbee (Jatuh-Bangun Kebudayaan Besar).
Model Toynbee dikembangkan atas dasar klasifikasi perkembangan kebudayaan yang pernah
berkembang di dunia. Selama Enam Ribu Tahun pernah berkenbang sekitar 21 kebudayaan,
sebagaian sudah punah dan sebagian masih bertahan dan diataranya yang paling unggul ialah
kebudayaan barat yang bercirikan unsure Latin-Kristen. Dalam sejarah Eropa, orang biasanya
mengenal formula “triple periodesasi” sejarah sebagai berikut; Kuno (yaitu kebudayaan
Helenik)+Abad Pertengahan (Medieval)+Modern. Tetapi menurut Toynbee periode seperti itu
bisa menyesatkan, karena system kategorinya tidak seragam. Atas dasar itu ia lalu
memperkenalkan formula berikut; “Kuno” + Barat (Abad Pertengahan dan Modern).

5

Kebudayaan Yunani Kuno (Helenik) sudah mati sejak tahun 675, dan kemudian digantikan oleh
kebudayaan Barat (Western) yang bercirikan Latin-Kristen (Toynbee, 1957: 39). Inilah klasifikasi
yang diajukannya :
Barat I
“Abad Gelap”
675 – 1075
Barat II
“Abad Pertengahan” 1075 – 1475
Barat III
“Zaman Modern”
1475 – 1875
Barat IV
“Pasca Modern”
1875 - ?
3. Model Arthur Lovejoy (Kartografi Ide Ide atau Gagasan)
Sebagai bagian dari sejarah “intelektual” tetapi dengan sedikit perbedaan dengannya (lihat
catatan kaki no. 1), sejarah ide-ide menaruh perhatian kepada genesis ide-ide atau gagasan
“dari dalam dan bukan “dari luar”, seperti yang ditekankan dalam sejarah intelektual. Karena
itu bukan pengaruhnya terhadap yang lain, melainkan bagaimana suatu ide tertentu
berkembang dari abad ke abad, bagaimana ia menyesuaikan diri dan memperoleh bentuk
dalam berbagai keadaan sejarah tanpa kehilangan identitasnya yang asli sehingga kita dapat
mengenalnya kembali baik secara etomologis maupun semantic.
Yang dimaksud dengan ide di sini ialah semacam “konsep” (pengertian kata tertentu) dalam
kehidupan sehari-hari atau dalam dunia ilmu pengetahuan, seperti konsep Tuhan, alam,
negara dan seterusnya. Sebagai konsep, gagasan biasanya merupakan pernyataanpernyataan singkat yang bertalian dengan pengertian tertentu. Contoh terkenal mengenai
telahaan sejarah ide-ide dikemukakan oleh Arthur Lovejoy dalam bukunya, The Great Chain
of Being (1936). Ide yang diteliti oleh Lovejoy ialah konsep atau pemikiran berdasarkan
klasifikasi rangkaian ide-de (cluster of idea). Disini kita berhadapan dengan apa yang
dinamakan kartografi ide-ide, di mana dalam kenyataan, suatu ide bisa dianalisis menurut
unsur-unsurnya yang logis dan teratur, lalu dilacak melalui pemikiran-pemikiran tokoh atau
kebudayaan tertentu. Lovejoy dalam hal ini memberikan contoh yang baik mengenai metode
ini dengan mencoba merangkai ide-ide yang kompleks dan sangat umum pada masa
tertentu. Tugas utamanya dalam hal ini ialah menganalisis unsur-unsur gagasan yang
kemudian terangkai ke dalam rangkaian gagasan yang dimengerti seperti ide-ide tentang
“alam”, “akal” (reason) dan “romantik” sebagaimana yang dicobakannya melalui telahaan
pikiran Plato, Nicolas dari Kusa (?), Giordano Bruno, Spinoza Leibniz. Ternyata hasil
temuannya mengenai rangkaian gagasan itu memainkan peranan yang tak terduga dalam
sejarah alam pemikiran Barat (Smit, 1987:304).
Contoh lain yang dapat dijumpai dalam karya Frederick Meinecke, Die Idee der Staatrason
(1924). Dalam bukunya ini, Meinecke melukiskan secara amat mengesankan dan kadangkadang mengharukan sekali tentang konflik kekuasaan dan etika dalam pandangan
Mechiavelli sampai abad ke-19. Di Indonesia contoh serupa tentang ide-ide ini mungkin bisa
ditemukan dalam karya R. B. O Anderson berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture”,
dalam Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia(1972). Atau karya Van Heine Goldren
tentang konsep alam kosmos dalam system kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara (1981) dan
mirip dengan ini ialah tulisan Sumarsaid Martono tentang model “kerajaan tradisional” di
Jawa. Juga masih sangat mungkin untuk melacak konsep “merantau” dalam kebudayaan
minangkabau, seperti halnya tentang gagasan tentang perubahan nama-nama anak zaman
kini, gagasan tanah, hutan, ekologi, dan seterusnya.

6

Konsep Modern dan Tradisional Dilihat dari Perspektif Sejarah Pemikiran
Konsep “modern” dan “tradisional” dalam berbagai konteks adalah istilah yang netral. Kata
“moderen” itu sendiri — menurut kamus Oxford Dictionary — berarti yang mutakhir, sesuatu
yag baru, yang berlangsung “sekarang ini” (atau kontemporrer). Dalam bahasa Inggris kata itu -sebagaimana dapat dikutip dari kamus Webster New American Dictionary (1947: 626)
didefinisikan sebagai “pertaining to recent or present time” (bagian atau berkenaan dengan
masa sekarang atau masa kini). Kata “moderen” seringkali dipertentangkan dengan kata “kuno”
(ancient) atau “tradisional”. Namun manusia pada dasarnya selamanya hidup dalam masa
sekarang. Oleh karena setiap “masa lampau”, saam artinya dengan sesuatu yang telah berlalu.
Bisa satu jam berselang atau satu milenium lalu. Maka secara etimologis istilah “moderen”
sesungguhnya bersifat relative. Sesuatu yang moderen bisa menjadi usang, atau yang kuno bisa
tetap bertahan dan terpantul dalam kehidupan “modern”. Secara akademik orang membangun
karakteristik atau ciri-cirinya.
Dengan kata lain, konsep moderen adalah konsep waktu, dan karena itu ia bukanlah wujud yang
tetap. Sebab pada prinsipnya manusia senantiasa hidup dalam zaman “moderen”, meskipun
mereka tak menyadarinya (Brinton, 1981:23). Sifat relatif dari “kemoderenan” tercermin dari
perkembangan kebudayaan manusia yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan suatu tempat
ke tempat lain. Yang lama digantikan oleh yang baru, tetapi segala sesuatu yang “moderen”
tidaklah selamanya mutlak “lebih maju” atau “lebih baik”. Memang orang umumnya bisa
sepakat, bahwa setiap yang “moderen” selalu mengacu kepada suatu ciri utamanya ialah suatu
cara hidup yang berlainan dengan cara hidup generasi nenek moyang sebelumnya, dan mungkin
sekali juga merupakan cara hidup yang lebih baik dari yang newenk moyang kita. Namun itu
tidak berarti, bahwa sesuatu yang “moderen” mutlak “lebih maju”. Untuk lebih tuntasnya
marilah kita persoalkan kedua konsep “tradisional” dan “moderen” itu.
Konsep Tradisional.
Cukup banyak orang yang berpendapat, bahwa konsep “tradisional”, misalnya “kebudayaan
tradisional”, adalah lawan dari hal yang “tak tradisional” atau “moderen”. Karena itu muncul
pendirian, bahwa semua aspek dari masa lampau (atau sejarah) dianggap “tradisional”;
adakalanya patut dipertahankan atau sebaliknya harus ditinggalkan. Misalnya, banyak sekali
kebudayaan – di Indonesia atau di mana saja – dulu adalah kebudayaan/ masyarakat yang
didasarkan kepada ekonomi feudal dan malahan bersifat menindas seperti perbudakan. Kalau
begitu pantaslah feodalisme dihormati atau dipertahankan karena feodalisme adalah bagian
dari kebudayaan “tradisional” ?. Jelas tidak. Sebab sekarang sudah ada nilai-nilai baru seperti
kemanusiaan dan prinsip demokratis yang menolong kita untuk menimbang-nimbang kembali
struktur social warisan masa lampau itu. Contoh lain yang lebih mengerikan misalnya banyak
orang atau anggota masyarakat dahulu membunuh atas dasar nilai sosial seperti; siri pada suku
Bugis, Sulawesi Selatan, atau atas dasar kepercayaan agama seperti yang berlaku dalam
kebanyakan suku di Irian Jaya. Jelas praktek tersebut sekarang dianggap kurang “beradab”
sudah ditiadakan.
Contoh-contoh lain bisa dimunculkan dalam deretan panjang, tetapi contoh di atas kiranya bisa
menyadarkan kita bahwa istilah “tradisional” kecuali kurang tepat, juga bisa mengacaukan dan
sama sekali tidak menolong. Boleh jadi penggunaan istilah “tradisional” *tanpa tanda petik]
dapat disalahgunakan untuk merasionalisasikan semua tindakan yang mau mempertahankan
atau sebaliknya dimusnahkan untuk kepentingan seseorang otau kelompok. Umpamanya bila
seorang Ibu rumah tangga yang melayani suami atau urusan keluarga dirumah misalnya adalah

7

bagian dari kebudayaan “tradisional” yang harus dihormati dan patut dipertahankan, bahkan
perlu diwariskan agar anak wanita mereka melakukan hal yang sama setelah berumah tangga
nanti. Akibatnya banyak kaum pria, bahkan juga kaum wanita sendiri, yang menganggap bahwa
“tugas” wanita semacam itu adalah suatu hal “pokok” sesuai dengan norma kebiasaan “yang
tradisional”. Dengan begitu kaum pria memiliki jaminan kedudukan yang lebih tinggi dalam
tatanan masyarakat tersebut.
Sudah pasti, bahwa semua masyarakat selalu dalam perubahan terus menerus dan sejalan
dengan itu, maka kebudayaan akan terus bergeser, mengalami pembaharuan; artinya
“pemodrenan”. Yang “tradisional” sekarang ini, dahulunya adalah juga pernah mutakhir,
“moderen”, dan yang “moderen” sekarang atak using. Istilah “tradisional” seperti yang lazim
dipahami selama ini tampaknya kurang menolong dalam menjelaskan realitas kehidupan. Ini
juga merupakan sebuah pembelajaran daam sejarah pemikiran.
Konsep Moderen.
Sebaliknya kerancuan dalam pengertian istilah “moderen” dapat membawa implikasi yang sama
seperti penggunaan istilah “tradisional”. Bila semua yang berbau “tradisional” harus dicap
“kuno” dan karena itu patut ditinggalkan atau dimusnahkan sehingga memperoleh cap baru,
“moderen”. Dalam kehidupan kita dewasa ini, istilah “moderen” seringkali diidentikkan dengan
pengaruh “Barat”, dan ia dipakai untuk merasionalkan perkembangan system kapitalisme dalam
semua aspek kehidupan masyarakat. Contoh yang paling gambling dalam hal ini ialah lewat
iklan: lebih “moderen” minum Coca Cola ketimbang air jeruk yang dibikin sendiri. Di kampungkampung di daerah kita sejak satu dasawarsa terakhir ini, tidak lagi aneh kalau orang
menyaksikan tetamu dihari lebaran, disuguhkan dengan minuman limon, sirup atau Coca Cola
sebagai citra “moderen” suatu keluarga. Belakangan “air mineral’ adalah dipesan untuk paar
petani yang bekerja di sawah. Orang merasa lebih modern dan mungkin karena lebih praktis
mengonsumsi air mineral dalam hampir setiap kesempatan.
Orang merasa lebih “moderen” kalau para eksekutif pakai dasi; para salesman pakai dasi untuk
menciptakan kesan lebih “modern. Lebih “moderen” menghuni rumah yang dibangun dengan
semen dan ber-A.C daripada menempati rumah kayu atau yang dibuat dengan bahan alami
dengan arsitektur lama yang disejukan dengan angin alami dan naungan pepohon atau bunga
alami, dan bukan platik dan seterusnya.
Contoh serupa juga bisa dideretkan lebih panjang lagi, tetapi kiranya dapat disimpulkan, bahwwa
“lebih moderen” dalam semua contoh kasus di atas mengandung arti, bahwa kini orang sedang
digiring ke ekonomi uang, semakin bergantung kepada transaksi jual-beli barang dan jasa. Latar
belakang ini, sebagaimana disinggung di atas, diwarnai oleh nafas ideologis, bahwa negri-negri
barat atau kapitalis adalah paling “maju” dalam segala hal dan di seluruh dunia. Negara Dunia
Ketiga, termasuk Indonesia, dipaksa meniru semua aspek kehidupan negara “maju” kalau mereka
mau dianggap “moderen”. Maka tidaklah heran, bahwa sebatang tubuh kita, dari rambut sampai
ke ujung kaki, yang diperlengkapi dengan produksi negara maju dan semakin mahal harganya
semakin bergengsi, walaupun belum tentu kualitas dalam arti sesunggungnya baik atau teruji.
Akhirnya marilah saya ringkaskan tentang apa yang hendak dicapai dari uraian dikotomi
“tradisional” dan “moderen”. Ada dua kelompok dalam masyarakat di mana yang satu lebih
gandrung dari yang lain untuk mempertahankan atau menghancurkan setiap yang “tradisional”.
Jadi yang pertama, mereka yang ingin mempertahankan seluruh aspek kehidupan mas lalu
dengan anggapan bahwa yang “tradisional” adalah “baik”. Kedua, merupakan kelompok yang

8

sangat menggandrungi sikap “moderen” karena jalur berpikir ini begitu meyakinkan mereka untuk
memberi jalan ke suatu masa depan yang sangat “maju”.
Lalu bagaimana sebaiknya cara penyelesaian kedua sikap dihotomis ini? Kesulitan untuk
membedakan yang “tradisional” dan yang “tidak tradisional” agaknya dapat diatasi, antara lain
dengan membedakan unsur-unsur yang seharusnya dianggap “utama” atau “pokok” dari warisan
masa lampau. Lebih bermanfaat kiranya memikirkan kembali latar belakang situasi yang dimaksud
dengan istilah tersebut. Uraian di atas sudah berusaha menjelaskan konsep, kategori dan ruang
lingkup persoalan yang bertalian dengan penggunaan kedua istilah itu dan secara lebih khusus
dalam hubungannya dengan sejarah pemikiran. Dengan kata lain, orang tidak mungkin berpikir
hitam-putih begitu saja, karena dalam setiap hal yang “tradisional” dan yang “moderen”
senantiasa terdapat segi-segi yang jelek dan yang bermanfaat, negative dan positif. Jadi dalam
kekacauan pemakaian istilah itu “tradisional” dan “moderen” diperlukan patokan konsep sebagai
acuan yang mampu menjadi jalan keluarnya.
4. Mengapa Belajar SPM?
Terlepas dari tujuan kurikuler, atau keharusan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah ini,
manfaat apa yang bisa diharapkan dari materi kuliah SPM? Setidaknya mencakup beberapa
aspek berikut ini.
1. Alasan pertama sedrahan. Asumsi dasarnya ialah bahwa realitas hari ini adalah
perpanjangan dari pengalaman sejarah sebelumnya. Maka tidak ada jalan lain untuk
pemahaman yang lebih baik dan akurat tentang persoalan-persoalan masa kini, kecuali
lewat pengalaman yang empiric telah terjadi, yaitu studi sejarah. Disadari atau tidak,
realitas hidup kita dewasa ini (apa pun bidangnya) berakar pada kekuatan-kekuatan dan
sekaligus kelemahan-kelemahan yang sudah terbentuk sebelumnya. Kalau begitu tak
seorang pun dari kita yang terlepas dari realitas masa lalunya, yaitu realitas sejarah yang
berproses sebelumnya, baik pilihan-pilihan yang dilakukannya, maupun prilaku dan pola
pikir atau cara pandang kita dalam melihat dunia sekitarnya.
2. Alasan kedua, struktur-struktur dalam alam pikiran manusia sering kali bertahan lebih
lama dari pada sekedar kegiatan atau kejadian-kejadian dalam struktur-struktur politik
dan social ekonomi dan sebagainya. Dengan kata lain, eksistensi kekuatan pemikiran lebih
“abadi” ketimbang perbuatan-perbuatan dan bangunan-bangunan pisik. Inilah alas an
pertama. Sekedar contoh misalnya sejarah VOC, yaitu serikat dagang Belanda yang pernah
besar di Indonesia selama tiga abad itu (abad ke-16 s.d. abad ke-18) masih bisa dilihat
dampaknya. Pengurus VOC, kapal-kapal VOC dan gudang-gudangnya telah hancur
dimakan zaman sejalan dengan perputaran waktu, tetapi bahwa ide “monopoli” yang
ditelorkan oleh sejarah VOC ternyata tetap saja berlanjut, bahkan sampai pada masa
sekarang. Dalam hubungan ini, tegasnya dalam hubungan dengan sejarah pemikiran,
pertanyaan terpenting ialah apakah pengertian monopoli, bagaimana itu dilakukan, siapa
yang diuntungkan atau sebaliknya siapa yang dirugikan?. Apa pengaruhnya?, dst. Sudah
barang tentu terdapat bentuk-bentuk variable tetap dan yang berubah; artinya masalah
yang masih tetap berlanjuat (kontinuitas) dan yang mengalami perubahan
(diskontinuitas). Hal yang sama juga berlaku untuk setiap gagasan-gagasan ideologis, atau
isme-isme yang lain, yang ternyata amat besar pengaruhnya dalam sejarah umat manusia,
baik yang diciptakan oleh seorang tokoh, seperti Karl Marx dengan Marxismenya, atau
sejarah bersama seperti nasionalisme, kapitalisme dst.

9

3. Erat kaitannya dengan butir dua di atas ialah, bahwa kekuatan pemikiran itu ternyata
secara langsung atau tidak langsung mampu memengaruhi perbuatan manusia daripada
struktur-struktur kelembagaan yang bersifat pisik. Dalam hal ini misalnya, meskipun di
Indonesia kita sudah memiliki banyak lembaga universitas, tetapi cara berpikir dan sikap
masyarakat kampus masih berada dalam “sawah” meminjam istilah Fakhri Ali. Artinya
prilaku dan sikap kita belum lagi sesuai dengan ide atau gagasan tentang apa itu
universitas sebagaimana dimaksudkan dalam proses penciptaan sejarahnya masa lalu.
Mungkin berlebihan, tetapi kiranya cukup beralasan, bahwa tanpa sejarah pemikiran,
setiap hari kita agaknya akan terancam “bahaya”, diperdaya oleh orang-orang yang tak
pernah mengenal sejarah, khususnya sejarah pemikiran, yang tidak jarang memuji atau
mengemukakan sesuatu sebagai hal yang “baru” terhadap apa yang sudah diketahui atau
berlaku dalam sejarah masa lampau. Sekedar contoh nyata misalnya, seorang pejabat
penting di sebuah instansi transmigrasi dan tenaga kerja Sumatera Barat baru-baru ini
pernah mengusulkan agar program transmigrasi hendaknya mempertimbangkan masalah
kemiskinan (Singgalang, 15 Oktober 1993). Ia mungkin buta sejarah atau mungkin tolol
karena tak mengerti ide dasar program transmigrasi. Sebab program transmigrasi yang
mulai dikembangkan pemerintah kolonial sejak awal abad ini, justru bertolak dari ide
tentang kemiskinan masyarakat Jawa dan dalam kerangka upaya pemecahannya melalui
pemindahan penduduk pulau itu ke Sumatera.
4. Akhirnya alasan ketiga ialah bahwa semua kita hendaknya menyadari betul yang berikut
ini. Bahwa kita mempelajari pemikiran di masa lampau dengan harapan agar pemahaman
sejarah yang benar semestinya ada gunanya bagi orientasi masa kini dan yang akan
datang. Meskipun setiap orang yang mempelajari sejarah biasanya menaruh harapan
demikian, tetapi yang paling banyak memenuhi harapan itu ialah telaahan sejarah
pemikiran, khususnya sejarah pemikiran moderen. Kinipun Machiaveli, Hobbes, Locke,
Rousseau dan sejumlah pemikiran dari Dunia Timur (seperti Ibn Khaldun, Ghandi, dan/
atau pemikiran Cina, bahkan juga sejarah pemikiran Indonesia) masih tetap dibaca, tidak
hanya sekedar hasrat orang ingin mengetahui kembali pandangan-pandangan pemikiran
mereka itu dengan seteliti mungkin, melainkan juga karena jawaban-jawaban yang
mereka berikan terhadap permasalahan zaman mereka masih tetap ada harganya untuk
dipertimbangkan, bahkan masih tetap relevan untuk saat sekarang. Sebab dalam systemsistem pemikiran mereka itu sering terdapat sebuah unsure universal sehingga walaupun
sudah ratusan tahun sejak ia diciptakan, system pemikiran mereka masih merupakan titik
pangkal yang berguna, malahan mutlak perlu untuk diperhatikan dalam diskusi-diskusi
mengenai realitas hari ini dan masa depan. Di Indonesia misalnya, gagasan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 serta wawasan Nusantara adalah contoh nyata yang
membuktikan betapa gagasan pemikiran nenek moyang sebelumnya masih tetap menjadi
acuan kita di masa sekarang. ***

Bahan Rujukan

10

Ankersmits, Refleksi Tentang Sejarah [terjemahan dari bhs. Belanda oleh Dick Hartoko]
(Jakarta: LP3ES, 1987).
Arnold J. Toynbee, The Study of History, [abridgement 6 Volume by D. C. Somervell] (Oxford
University Press, 1957).
Arthur Lovejoy, The Great Chain of being (1936).
Crene Brinton, Pembentukan Pemikiran Moderen, Edisi Terjemahan (Jakarta: Mutiara,
1981).
E.E.G. Vermeulen, Waarden en Geschiedenis (Assen: van Gorcum, 1978).
Foucault, Michele, Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason
(1988)
_______ The Archaeology of Knowledge: Menggugat Sejarah Ide (Terjemahan). Yogyakarta
Penerbit: IRCiSoD, 2002.
Harry E. Barnes, AnIntellectual and Cultural History of the Western World (New York:
Reynald & Hitchock, 1937).
Isaac Deutscher, Ironie van de Geschiedenis (Haarlem: B. V. Bussum, 1979).
Jose Ortega Y Gasset, History as A System (New York: W.W.Norton an Co. Inc., 1961).
Donald Kelley, The Descent of Ideas: the History of Intellectual History (Aldershot, 2002).
Louis Cottschalk (ed.), The Foundation of the Modern World, Vol-1 (London: Unwin Brothers
Ltd.,1969).
Michel Foucault, The Archeology of Knowledge [translated from the French by A.M.
Sheridan Smith] (London: Tavistock Publication, 1974).
R.B.O. Anderson berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Clare Holt (ed.),
Culture andPolitics in Indonesia (1972).
Stefan Collini, “Intellectual history”, dalam History Today, Vol. 35 Issue (October 1985).
Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo (eds), Ilmu Sejarah dan Historiografi.
Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia, 1985.

Mestika Zed
Pengasuh m.k. Sejarah Pemikiran
Jurusan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Padang.

11