PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS TERHADAP HITUNG SEL MAST INTESTINAL PADA TIKUS PUTIH

PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS TERHADAP HITUNG SEL MAST INTESTINAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MODEL ASMA ALERGI

SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Okky Dita Rachmadian G0008035

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Januari 2012

Okky Dita Rachmadian G.0008035

ABSTRAK

Okky Dita Rachmadian, G.0008035, 2012. Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Hitung Sel Mast Intestinal pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Asma Alergi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol propolis

terhadap hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi.

Metode Penelitian: Eksperimental laboratorik dengan the post test only control group design menggunakan 35 ekor tikus putih jantan, dibagi dalam 5 kelompok yaitu kontrol (K1), asma alergi (ovalbumin) (K2), ovalbumin (OVA) dan antihistamin generasi III dosis 2 mg/tikus/hari (K3), OVA dan ekstrak propolis dosis 100 mg/kg BB/hari (K4), sedangkan OVA dan ekstrak propolis dosis 200 mg/kg BB/hari (K5). Sensitisasi pada hari ke-1 dan ke-14 dengan 2,5 cc OVA/ tikus/ i.p, dilanjutkan pemaparan OVA aerosol menggunakan nebulizer kecepatan

6 L/ menit selama 20 menit pada hari ke-21, 23, 25, dan 28. Antihistamin dan ekstrak propolis diberikan per oral selama 28 hari berturut-turut. Hari ke-29, tikus dikorbankan kemudian intestinal diambil untuk dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pengecatan Toluidine Blue. Preparat diamati di mikroskop dan sel mast dihitung dalam tiga lapang pandang per preparat. Hasil penelitian dianalisis dengan uji Kruskal Wallis dengan menggunakan program SPSS Windows Release

17.0. Tingkat kemaknaan digunakan p < 0,005.

Hasil Penelitian: Hitung sel mast (median (min-maks)) sel/lapang pandang masing-masing kelompok K1 1(1-5), K2 3(1-5), K3 3(1-5), K4 2(2-3), dan K5 2(2-3). Hasil uji Kruskal Wallis tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada kelima kelompok.

Simpulan Penelitian: Pemberian ekstrak propolis dosis 100 dan 200 mg/kg BB/hari dapat menurunkan hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi namun penurunannya tidak bermakna.

Kata kunci: propolis, sel mast intestinal, asma alergi.

Okky Dita Rachmadian, G.0008035, 2012. The Effect of Propolis Ethanol Extract on Intestines Mast Cell Count in White Mouse (Rattus norvegicus) Allergic Asthma Model. Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective: To find out the effect of propolis ethanol extract on intestines mast cell count in white mouse (Rattus norvegicus) allergic asthma model.

Methods: This was laboratory experimental research with the post test only control group design that used 35 male white mice, divided to 5 groups, they were control (K1), allergic asthma (ovalbumin) (K2), ovalbumin (OVA) and antihistamin generation III dosage 2 mg/mouse/day (K3), OVA and propolis extract dosage 100 mg/kg BB/day (K4), whereas OVA and propolis extarct 200 mg/kg BB/day (K5). Sensitization on day 1 and 14 dosage 2,5 cc OVA/ tikus/ i.p, then OVA aerosol with nebulizer for 20 minutes on day 21, 23, 25, and 28. Antihistamin and propolis extract was given per oral for 28 day by day. On day

29, mice were sacrificed to get intestines tissue, mast cell was accounted with Toluidine Blue . Data was analyzed with Kruskal Wallis method on SPSS Windows Release 17.0 program. Statistically significant p < 0,005.

Results: Mast cell count (median (min-max)) cell/ view K1 group were 1(1-5), K2 3(1-5), K3 3(1-5), K4 2(2-3), dan K5 2(2-3) respectively. There is no significant difference between five groups from Kruskal Wallis test result.

Conclusion: Propolis extract dosage 100 and 200 mg/kg BB/day can decrease intestines mast cell count in white mouse (Rattus norvegicus) allergic asthma model but it was not significant.

Key words: propolis, intestines mast cell, allergic asthma.

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala karunia dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Ekstrak

Etanol Propolis terhadap Hitung Sel Mast Intestinal pada Tikus Putih

(Rattus norvegicus) Model Asma Alergi”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program studi pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.

Penyusunan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM. selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNS Surakarta;

2. R. P. Andri Putranto, dr., M.Si. selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi bagi penulis;

3. Martini, Dra., M.Si. selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi bagi penulis.

4. Diding Heri Prasetyo, dr., M.Si. selaku Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini;

5. Sarsono, Drs., M.Si. selaku Anggota Penguji yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini;

6. Seluruh Dosen dan Staf bagian Biokimia FK UNS;

7. Muthmainah, dr., M.Kes. selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran UNS Surakarta beserta staf yang telah memberi pengarahan;

8. Semua pihak lainnya yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan penulis maupun peningkatan karya ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Surakarta, Januari 2012 Penulis

A. Hitung Sel Mast ................................................................................. 38

B. Analisis Hasil ..................................................................................... 39

BAB V PEMBAHASAN ................................................................................... 43 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ............................................................................................ 46

B. Saran .................................................................................................. 46

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 47 LAMPIRAN

Tabel 1. Kandungan Kimia Propolis Tabel 2. Nama-nama Beberapa Flavonoid dan Aktivitas Biologisnya Tabel 3. Hitung Sel Mast (Jumlah Sel/Lapang Pandang) Masing-Masing

Kelompok Perlakuan

Gambar 1. Struktur Molekul Chrysin (diambil dari Harris et al., 2006) Gambar 2. Struktur Molekul Kuersetin (diambil dari Santos, et al., 2008) Gambar 3. Sel Mast dengan Pengecatan Methylene Blue (Nivaldo, 2009) Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian Gambar 5. Rancangan Penelitian Gambar 6. Histogram Hitung Sel Mast Intestinal Tikus Masing-Masing

Kelompok Perlakuan Gambar 7. Sel Mast pada Kelompok Kontrol dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x Gambar 8. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x Gambar 9. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi + Antihistamin Generasi III dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x Gambar 10. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi + Ekstrak Propolis Dosis 100 mg/kg BB dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x Gambar 11. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi Ekstrak Propolis Dosis 200

mg/kg BB dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

Lampiran 1. Jadwal Penelitian

Lampiran 2. Prosedur Pembuatan Ekstrak Etanol Propolis Lampiran 3. Tabel Konversi Dosis Manusia ke Hewan Lampiran 4. Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji yang Dapat

Diberikan pada Berbagai Hewan

Lampiran 5. Data Primer Penelitian Lampiran 6. Hasil Uji Statistik Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat (Tanjung & Yunihastuti, 2006). Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas diinduksi oleh pajanan antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi berbahaya pada pajanan berikutnya (Dorland, 2002). Salah satu manifestasinya adalah asma alergi.

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur, status atopi, faktor keturunan, serta lingkungan (Sundaru & Sukamto, 2007). Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi baik di negara berkembang maupun di negara maju. Dampak asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian (Muchid dkk, 2007).

Sel imun yang berperan penting dalam respon inflamasi alergi antara lain limfosit T-helper, sel plasma, sel mast, dan eosinofil (Hohlfeld, 2001). Infiltrasi sel mast pada otot polos saluran nafas merupakan ciri khas asma dan bertanggung jawab terhadap kerusakan fungsi saluran nafas (Jeffery et al., 2006). Sel mast adalah mediator inflamasi pada reaksi hipersensitivitas dan alergi.

khususnya di dermis dan mukosa sistem pernafasan serta pencernaan. Sel mast terdiri atas granul yang mengandung bermacam-macam molekul mediator termasuk histamin. Di permukaannya terdapat high- affinity Fcε reseptors (Fc εRI) yang memungkinkannya untuk berikatan dengan Imunoglobulin E (IgE) (Janeway et al., 2004). IgE akan berikatan kuat dengan reseptor di permukaan sel mast (Platts-Mill, 2001). Adanya cross- linking antara antigen dengan IgE di permukaan sel mast akan menginduksi pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas (Abbas dan Lichtman, 2003). Mediator tersebut diantaranya amine biogenic, mediator lipid dan sitokin (Robbins et al., 2007). Pada penelitian ini, sel mast yang diambil adalah sel mast yang berada pada jaringan intestinal karena sel mast jaringan ikat memiliki granul yang banyak mengandung heparin dan histamin.

Asma merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara total. Pengobatan profilaksis memerlukan waktu lebih lama, sering menjadi problem tersendiri (Medlinux, 2008).

Salah satu pengobatan asma yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan obat herbal. Masih banyak obat-obat tradisional nusantara yang belum dikaji secara ilmiah khasiatnya (Handayani, 2001). Oleh karena itu, pembuktian manfaat obat tradisional melalui uji klinik yang didukung dengan penelitian imunologis, baik melalui penilaian kualitatif maupun kuantitatif perlu digalakkan (Djauzi, 2003).

alergi. Senyawa terpenting dalam propolis adalah flavonoid. Salah satu flavonoid yang terkandung dalam propolis adalah cafeic-acid dan kuersetin (Kosalec et al., 2004). Cafeic-acid merupakan Ca-antagonist, sehingga mampu mencegah degranulasi sel mast yang akan melepaskan mediator- mediator inflamasi setelah sel mast terjadi Ca influks (Kuby, 1997). Sedangkan kuersetin sebagai mast cell stabilizer (Duke, 2009) akan menguatkan efek penghambatan degranulasi sel mast. Dengan dihambatnya degranulasi sel mast, maka sekresi vasoaktif amin seperti histamin, mediator lipid, serta sitokin yang berperan dalam proses inflamasi pada reaksi alergi akan berkurang.

Berdasarkan temuan ilmiah di atas, penulis merasa perlu melakukan penelitian mengenai efek propolis terhadap jumlah sel mast intestinal pada tikus putih model asma alergi.

B. Rumusan Masalah

Adakah pengaruh pemberian ekstrak etanol propolis terhadap hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol propolis terhadap hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi.

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh propolis terhadap hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi.

2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian lebih lanjut dalam upaya memanfaatkan propolis sebagai obat anti asma alergi, serta sebagai bahan pertimbangan pemanfaatan propolis dalam pelayanan kesehatan formal.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Propolis

a. Pengertian Umum

Lebah menghasilkan beberapa produk seperti madu, royal jeli, polen dan propolis. Propolis sebagai kompleks resin yang dikumpulkan lebah madu dari berbagai sumber tanaman untuk kemudian dicampur dengan air liurnya, sehingga menghasilkan produk lebah yang bermanfaat (Marcucci et al., 2001; Salatino et al., 2005). Secara penampakan fisik (warna), aroma dan komposisi kimiawi propolis terlihat bervariasi tergantung dari berbagai faktor. Warnanya mungkin putih kekuningan ( krem), kuning, hijau, coklat terang atau gelap. Beberapa sampel memiliki tekstur, rapuh keras, sedangkan sampel lainnya mungkin elastis dan kenyal. Propolis berasal dari bahasa Yunani, pro yang berarti pertahanan dan polis berarti kota. Dengan demikian menyiratkan bahwa propolis sebagai produk yang terlibat dalam pembelaan terhadap masyarakat lebah (Salatino et al., 2005), yang digunakan oleh lebah dalam pembuatan, pemeliharaan, perlindungan dan mensterilkan sarang lebah (Marcucci et al ., 2001).

mempengaruhi jumlah dan kualitas produksi propolis (Pereira et al., 2009). Beberapa penelitian melaporkan bahwa komposisi propolis dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sumber bunga (jenis tanaman) untuk madu, musim dan faktor-faktor lingkungan (seperti jenis tanah dan iklim, faktor genetik, dan metode pengolahan). Dengan kata lain, kemungkinan efek-efek yang berhubungan dengan kesehatan sangat tergantung asal-usulnya (Baltrusaityte et al., 2007).

Komposisi propolis sangat kompleks. Unsur utamanya adalah lilin lebah, resin dan senyawa volatil. Lebah mensekresikan lilin lebah, sedangkan resin dan senyawa volatil berasal dari tanaman. Aktivitas biologis propolis ditentukan oleh zat tanaman ini berasal. Oleh karena itu, meskipun propolis jelas merupakan produk binatang, proporsi yang cukup besar dari komponen-komponennya yang berperan dalam menentukan aktivitas biologis berasal dari tanaman.

Resin merupakan kandungan yang kebanyakan ditemukan dalam ekstrak alkohol dikonsumsi oleh orang dari berbagai negara sebagai makanan pelengkap atau obat alternatif (Salatino et al., 2005). Beberapa senyawa telah diidentifikasi dalam propolis, terutama resin (50%), lilin (30%), minyak esensial (10%), serbuk sari (5%), dan senyawa organik lainnya (5%) (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005; G’omez-Caravaca et al., 2006; Viuda-Martos et al., 2008).

Propolis mempunyai kandungan kimia yang sangat kompleks, antara lain resin, lilin dan asam lemak, minyak esensial, protein, serta

senyawa organik lain dan mineral. Selengkapnya disajikan pada tabel berikut : Tabel 1. Kandungan Kimia Propolis

Kelas komponen

Jumlah

Group Komponen

Resin

45-55 %

Flavonoid, asam fenolat dan esternya

Lilin dan asam lemak 25-53% Sebagian besar dari lilin lebah dan beberapa dari tanaman Minyak esensial 10% Senyawa volatile Protein

5%

Protein kemungkinan berasal dari polen dan amino bebas

Senyawa organik lain 5%

14 macam mineral yang dan mineral

Paling terkenal adalah Fe dan Zn, sisanya seperti Au, Ag, Cs, Hg, La dan Sb. Senyawa lain seperti keton, laktan, kuinon, asam benzoate dan esternya, gula,

vitamin B3.

(Sivasubramaniam & Seshadri, 2005). Senyawa yang terkandung dalam propolis, secara garis besar dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu (i) flavonoid (flavonol, flavon, flavanon, dan hidroflavonol), (ii) turunan cinnamic acid, dan (iii) terpenoid. Flavonol (kaempferide, kaempferol, galangin, isorhamnetin, rhamnetin, myricetin, fisetin dan rutin ), flavon (apigenin, acacetin, baicalein, chrysin, luteolin dan tectochrysin), flavanon (pinocembrin, sakuranetin dan isosakura-netin), turunan cinnamic acid (ferulic acid, p-coumaric acid dan caffeic acid) dan

Senyawa-senyawa tersebut memiliki peran penting dalam aktivitas biologis propolis, antara lain sebagai imunomodulator, antimikrobial, antioksidan, antiinflamasi, antifungal, antiprotozoa, antiparasit dan antiproliferatif (Banskota et al., 2001; Koo et al., 2002; Ahn et al., 2004; Lotfy, 2006; El-Bussuony & Abouzid, 2010). Sehingga banyak digunakan sebagai ”obat” secara umum pada sistem kardiovaskuler dan darah (anemia), alat pernapasan (untuk berbagai infeksi), perawatan gigi, dermatologi (regenerasi jaringan, ulkus, eksim, penyembuhan luka-terutama luka bakar, mikosis, infeksi selaput lendir dan lesi), pengobatan kanker, perbaikan dan penunjang sistem imunitas, saluran pencernaan (ulkus dan infeksi), hepatoprotektor dan lain sebagainya (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005).

c. Flavonoid

Flavonoid banyak terdapat dalam buah-buahan, sayuran dan minuman yang berasal dari tanaman, dan dalam sejumlah makanan suplemen maupun obat-obatan herbal (Moon et al., 2006). Flavonoid juga dikenal sebagai bioflavonoid memiliki kelas beragam, secara alami disusun dari polifenol tanaman yang memiliki berbagai aktivitas biologis penting dalam terapi. Secara kimiawi dikenal ada 12 klas flavonoid yaitu flavon, isoflavon, flavan, flavanon, flavanol flavanolol, anthosianidin, katekhin, leuko-anthrosianidin, khalkon, Flavonoid banyak terdapat dalam buah-buahan, sayuran dan minuman yang berasal dari tanaman, dan dalam sejumlah makanan suplemen maupun obat-obatan herbal (Moon et al., 2006). Flavonoid juga dikenal sebagai bioflavonoid memiliki kelas beragam, secara alami disusun dari polifenol tanaman yang memiliki berbagai aktivitas biologis penting dalam terapi. Secara kimiawi dikenal ada 12 klas flavonoid yaitu flavon, isoflavon, flavan, flavanon, flavanol flavanolol, anthosianidin, katekhin, leuko-anthrosianidin, khalkon,

Jenis flavanoid

Aktivitas biologis Anthosianidin

Efek menguntungkan pada Sirkulasi dan penglihatan, dan antibakteri

Hesperidin Mencegah kerapuhan kapiler Myrecetin Anti-oksidan, mencegah Kerusakan sel-sel syaraf dari Radikal bebas

Nobitelin Anti-inflamasi dan membantu detoksifikasi

Proanthosianidin (juga dikenal Efek anti-oksidan, 20 kali sebagai pycnogenols)

lebih besar dibandingkan vitamin E

Kuersetin Mencegah pembentukan katarak. Membantu permasalahan

yang berhubungan dengan alergi, seperti hay fever, asma dan eczema.

Kuersetin strukturnya seperti obat anti- alergi

yaitu disodium chromoglycate Rutin

Membantu dalam pengobatan hipertensi,

memar dan perdarahan bawah kulit, termasuk kemerahan akibat radiasi.

(Lazarides, 2010) Flavonoid banyak digunakan sebagai makanan suplemen untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit, karena sangat aman dan toksisitasnya rendah (Moon et al., 2006). Ribuan flavonoid

bioflavonoid dalam manusia ditunjukkan pada konsumsi 1 gram/hari. Secara umum dianggap bersifat non-toksik (Heo et al., 2001). Flavonoid dilaporkan memperlihatkan aktivitas biologis yang luas, termasuk antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergik dan vasodilatasi. Flavonoid juga menunjukkan antioksidan, agregasi trombosit, fragilitas dan permeabilitas kapiler, dan menghambat aktivitas sistem enzim termasuk siklooksigenase dan lipoksigenase (Viuda-Martos et al., 2008). Selain itu flavonoid berpotensi untuk pencegahan atau pengobatan arthritis, kardiovaskuler, dan beberapa kanker, termasuk kanker payudara (Murray et al., 2006).

1) Caffeic Acid Phenethyl Ester

Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) merupakan antioksidan fenolik, yang memperlihatkan sejumlah efek farmakologik dan biologik termasuk aktivitas anti-inflamasi (Jung et al., 2008),

antiviral dan anti-tumor (Orsolic et al., 2005). CAPE merupakan penghambat yang poten dan spesifik terhadap aktivasi NF- κB (Fitzpatrick et al., 2001).

Peningkatan reactive oxygen species (ROS) maupun aktivitas NF- κB pada pemberian OVA inhalasi, maupun diminimalkan dengan pemberian CAPE. Hal ini mengindikasikan stres oksidatif memiliki fungsi penting dalam patogenesis asma bronchial dan Peningkatan reactive oxygen species (ROS) maupun aktivitas NF- κB pada pemberian OVA inhalasi, maupun diminimalkan dengan pemberian CAPE. Hal ini mengindikasikan stres oksidatif memiliki fungsi penting dalam patogenesis asma bronchial dan

2) Chrysin

Chrysin (5,7-dihydroxyflavone) adalah senyawa flavon alami yang ditemukan pada tanaman. Beberapa penelitian terkini

menunjukkan chrysin memiliki banyak aktivitas biologic, seperti anti-inflamasi, anti-kanker, dan anti-oksidan (Cho et al., 2004; Harris et al., 2006; Fu et al., 2007). Aktivitas anti-inflamasi chrysin melalui mekanisme penekanan aktivitas promoter enzim- enzim pro-inflamasi, cyclooxygenase-2 (COX-2) dan inducible nitric oxide synthase (iNOS) (Cho et al., 2004). Chrysin berpotesi untuk menghambat angiogenesis dan tumorigenesis, melalui penghambatan hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1) yang merupakan faktor transkripsi heterodimer. HIF-1 diekspresikan secara berlebih pada sejumlah kanker pada manusia dan kadarnya akan meningkat pada angiogenesis dan tumorigenesis (Fu et al., 2007).

Gambar 1. Struktur Molekul Chrysin (diambil dari Harris et al.,

2006)

Galangin (3,5,7-trihydroxyflavone) termasuk salah satu kelas flavonoid yang dikenal sebagai flavonol. Galangin adalah komponen utama propolis lebah madu yang memiliki aktivitas anti-inflamasi (Borrelli et al., 2002). Aktivitas biologis galangin yang lain adalah menghalangi induksi mRNA iNOS selama respon inflamasi (Blonska et al., 2004), menurunkan transkripsi COX-2 (O’Leary et al., 2004), menghambat replikasi virus secara In Vitro (Amoros et al., 1992), menekan pertumbuhan sel bakteri (Basio et al., 2000), dan menghambat proliferasi sel kanker payudara melalui penurunan regulasi siklin D3, E, dan A. Galangin menghambat aktivitas aryl hydrocarbon receptor (AhR), suatu faktor transkripsi yang terlibat dalam memprakarsai dan pertumbuhan tumor payudara (Murray et al., 2006).

4) Kuersetin

Kuersetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxyflavone), merupakan flavonoid yang banyak ditemukan pada tanaman ataupun buah- buahan termasuk bawang, brokoli, apel, teh, coklat, dan anggur merah. Kuersetin adalah flavonoid utama yang banyak ditemukan pada makanan yang dikonsumsi manusia, di USA diperkirakan asupan kuersetin berkisar 25 mg/hari (Nanua et al., 2006).

Gambar 2. Struktur Molekul Kuersetin (diambil dari Santos, et

al ., 2008)

Oleh karena itu, kuersetin memiliki aktivitas biologis yang beragam. Aktivitas biologis yang ditunjukkan antara lain adalah efek pro-apopotosis dan anti-proliferatif untuk sejumlah sel kanker ataupun pre-neoplastik, anti-inflamasi, proteksi terhadap stress oksidatif.

Pemanfaatan kuersetin untuk kesehatan, antara lain :

a) Manfaat kuersetin pada penyakit saluran nafas Manfaat potensi kuersetin dalam pengobatan penyakit saluran nafas, karena beberapa penelitian telah menunjukkan efek penghambatan pada produksi sitokin atau kemokin dalam kultur sel. Kuersetin dapat mengurangi produksi Nitric Oxide (NO) yang diinduksi lipopolisakarida, ekspresi inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS), dan pelepasan TNF-

α dan IL-6. Kuersetin sangat mengurangi aktivasi Mitogen- Activated Protein Kinases (MAPK) dan NF- κB, suatu

juga memiliki efek penghambatan terhadap aktivasi sel mast dan pelepasan histamin, TNF- α, IL-6, dan IL-8 (Kimata et al., 2005). Kuersetin menghambat induksi IL-8 dan Monocyte Chemotractant Protein (MCP)-1 oleh TNF- α pada kultur sel sinovial manusia. EM-X, suatu campuran mengandung kuersetin berasal dari fermentasi beras yang tidak dipoles, papaya, dan rumput laut, memperlihatkan penghambatan ekspresi IL-8 yang diinduksi TNF- α pada kultur sel epitel alveolar manusia (Deiana et al., 2002). Hasil-hasil penelitian tersebut konsisten pada suatu gagasan yang memperlihatkan bahwa kuersetin dapat mengurangi inflamasi saluran nafas pada pasien asma.

b) Manfaat kuersetin pada sistem kardiovaskuler Flavonoid dapat memperbaiki fungsi endotel dan akhirnya

menyebabkan efek kardiovaskuler yang menguntungkan. Kuersetin dapat meningkatkan status NO dan mengurangi konsentrasi endotelin-1 dan dengan demikian dapat memperbaiki fungsi endotel (Loke et al., 2008). Konsumsi makanan yang kaya akan

kuersetin akan menurunkan risiko trombosis dan penyakit kardiovaskuler (Hubbard et al., 2006).

Sehubungan dengan aktivitas anti-oksidan, anti-tumor dan anti-inflamasi, kuersetin banyak diteliti pada sejumlah model kanker sebagai agen kemoprotektif. Kuersetin memperlihatkan penghambatan berbagai macam kanker, seperti kanker prostat, serviks, paru, payudara dan kolon. Penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa kuersetin menghambat proliferasi sel dengan menyebabkan apoptosis dan/atau menahan siklus sel (Lee et al., 2006). Kuersetin merupakan antioksidan yang kuat, sebab dapat mengikat logam-logam, menangkap radikal bebas, dan menghambat xanthine oxidase dan li;id peroxidation secara In Vitro (Vulcain et al., 2005).

2. Asma Alergi

Alergi adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh reaksi imunologik spesifik yang ditimbulkan oleh alergen. Pada umumnya berupa

pertahanan selular dan humoral organisme terhadap benda asing (Zukesti, 2003). Degranulasi sel mast merupakan komponen sentral pada penyakit alergi, sedangkan manifestasi klinis dan patologis bergantung pada letak dan kronisitasnya (Abbas & Lichtman, 2003).

Asma alergi diawali dengan inhalasi alergen (Busse dan Lemanske, 2001). Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan didegradasi oleh Asma alergi diawali dengan inhalasi alergen (Busse dan Lemanske, 2001). Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan didegradasi oleh

CD4 + Th 1 dan sel CD4 + Th 2 (Baratawidjaja, 2004). Aktivasi sel CD4 + Th 2 terlihat berperan utama dalam mengawali dan memelihara terjadinya inflamasi alergi (Temann, 2002; Blease et al., 2000; Laouini et al., 2003). Hal ini terlihat pada penderita asma dimana

jumlah sel CD4 + Th 2 lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kontrol, sebaliknya jumlah sel CD4 + Th 1 tidak berbeda (Laouini et al., 2003). Sel CD4 + Th 2 akan memproduksi mediator-mediator inflamasi seperti histamin dan leukotriene yang dapat menarik sel-sel inflamasi (netrofil, monosit, eosinofil, dll); sitokin-sitokin termasuk IL-4, IL-5(Busse & Lemanske, 2001), IL-10, dan IL-13 (Abbas & Lichtman, 2003). Histamin

meningkatkan sekresi sitokin sel CD4 + Th 2 seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13 serta menghambat produksi sitokin sel CD4 + Th 1 , di antaranya IL-2, IL-12 dan IFN- ฀. Melalui sitokin yang dihasilkannya, sel CD4+ Th2 juga berperan dalam hipersekresi mukus dan hiperplasi sel mast ( Blease et al., 2000; Temann, 2002; Abbas & Lichtman, 2003).

Interleukin-4 yang dihasilkan oleh sel CD4 + Th 2 akan merangsang perkembangan sel CD4 + Th 2 sendiri dari sel Th 0 dan merupakan stimulus utama produksi IgE (Baratawidjaja, 2004). IL-4 bersama IL-3 dan IL-10 berperan dalam merangsang pertumbuhan sel mast. IL-5 berfungsi merangsang pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil serta sekresi berbagai Interleukin-4 yang dihasilkan oleh sel CD4 + Th 2 akan merangsang perkembangan sel CD4 + Th 2 sendiri dari sel Th 0 dan merupakan stimulus utama produksi IgE (Baratawidjaja, 2004). IL-4 bersama IL-3 dan IL-10 berperan dalam merangsang pertumbuhan sel mast. IL-5 berfungsi merangsang pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil serta sekresi berbagai

Imunoglobulin E sangat berperan dalam terjadinya reaksi alergi. IgE yang dihasilkan sel plasma tersebut akan berikatan dengan sel mast pada reseptor FceRI. Proses perlekatan IgE pada sel mast disebut sensitisasi (Janeway, 2004; Abbas & Lichtman, 2003).

Setelah tersensitisasi, sel mast mempengaruhi reaksi inflamasi. Pada paparan berikutnya dengan alergen yang sama, alergen akan berikatan dengan IgE pada sel mast atau basofil yang tersensitisasi dan terjadi proses degranulasi pada sel tersebut, kemudian mediator akan dilepaskan dari granula sel mast dan berefek pada jaringan sekitar (Kuby, 1997; Abbas & Lichtman, 2003).

Dalam peristiwa degranulasi, sel mast melepaskan sejumlah mediator antara lain histamin, enzim siklooksigenase (COX) dan lipoxygenase (Laprise et al., 2004; Blease et al., 2000), Prostagalandin D2 (PGD2), leukotriene- C4, leukotriene-D4, leukotriene-E4, dan platelet-activating factor (Abbas & Lichtman, 2003).

Histamin memainkan peran yang sangat penting pada patogenesis asma atopi melalui pengaturan diferensiasi limfosit sel CD4 + Th 0 (Blease Histamin memainkan peran yang sangat penting pada patogenesis asma atopi melalui pengaturan diferensiasi limfosit sel CD4 + Th 0 (Blease

Siklooksigenase melalui mediator utamanya PGD2 menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, bronkokontriksi, dan kemotaksis neutrofil. Sedangkan lipoxygenase melalui mediator utamanya leukotriene menyebabkan bronkokontriksi, sekresi mukus dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Selain mediator-mediator di atas, sel mast juga mengeluarkan sitokin berupa TNF- α, IL-4, IL-5, IL-6 (Abbas & Lichtman, 2003; Kuby, 1997).

3. Sel Mast

Semua sel mast merupakan derivat dari progenitor di sumsum tulang. Awalnya sel mast membelah secara heteroplastik, lalu dilanjutkan secara mitosis homoplastik (Arvy, 1956). Normalnya, sel mast matur tidak terdapat di sirkulasi. Progenitor bermigrasi ke jaringan perifer sebagai sel mast imatur dan berdeferensiasi in situ (Abbas & Lichtman, 2003).

Pada mencit terdapat dua tipe sel mast yaitu sel mast mukosa dan sel mast jaringan ikat.

a. Sel mast mukosa mempunyai granul yang banyak mengandung kondroitin sulfat dan sedikit histamin. Sel mast jenis ini predominan terdapat di alveoli paru-paru dan mukosa intestinal.

mengandung heparin dan histamin. Predominan terdapat di submukosa intestinal dan kulit (Abbas & Lichtman, 2003).

Di intestinal, sel mast terutama terdapat di vili, sekitar glandula duodenal Lieberkuhn, dan juga tersebar di mukosa usus kecil serta caecum (Sansonow, 1909). Sedangkan pada bronkus, sel mast dapat ditemukan di sekitar glandula submukosa, otot polos bronkus, dan bagian lain dari bronkus (Martin et al., 1991).

Salah satu cara untuk melihat sel mast di jaringan yaitu dengan melakukan pewarnaan preparat menggunakan methylene blue. Dengan pewarnaan ini, granula sitoplasma sel mast akan terlihat sebagai gambaran metakromasi (Martin et al., 1991).

Sebenarnya, organ normal hanya mengandung sedikit jaringan pengikat dan sel mast. Sebaliknya, sel mast terlihat banyak pada jaringan yang mengalami inflamasi baik pada inflamasi kronik (Prakken dan Woedermann, 1952) maupun inflamasi akut (Bensley, 1950). Pada keadaan tersebut terjadi peningkatan jumlah sel mast secara progresif di sekitar area inflamasi. Selama fase proliferasi sel mast masih terjadi, populasinya akan terus meningkat (Bensley, 1950). Kemudian melalui pemeriksaan secara histologi diketahui bahwa peningkatan destruksi sel mast mengakibatkan reaksi inflamasi yang besar pada jaringan di sekitarnya (Riley, 1959).

Gambar 3. Sel Mast dengan Pengecatan Methylene Blue (Nivaldo,

Pada reaksi inflamasi, aktivasi sel mast didahului dengan masuknya alergen (Utomo & Sutijanto, 2005) yang dapat menimbulkan respon biologi berupa sekresi isi granul, sintesis dan sekresi mediator lipid, serta sintesis dan sekresi sitokin. Proses sintesis mediator lipid di antaranya yaitu pembentukan prostaglandin dan leukotriene. Proses ini memerlukan enzim cytosolic Phospholipase A2 (PLA2). Sedangkan dalam proses pelepasan granul sel mast dibutuhkan PLC , PKC, dan influks Ca2+ sel (Abbas & Lichtman, 2003).

4. Sensitisasi Hewan Coba

Terdapat beberapa spesies binatang yang digunakan sebagai binatang model asma, di antaranya adalah tikus putih, tikus, marmut, musang,

anjing, kambing, monyet, dan kuda. Dari spesies-spesies tersebut, yang paling banyak digunakan adalah tikus putih karena memiliki keuntungan yang paling besar dibanding spesies lain, di antaranya adalah karena IgE anjing, kambing, monyet, dan kuda. Dari spesies-spesies tersebut, yang paling banyak digunakan adalah tikus putih karena memiliki keuntungan yang paling besar dibanding spesies lain, di antaranya adalah karena IgE

Ovalbumin (OVA) digunakan sebagai sensitisasi, komponen OVA utamanya adalah putih telur, secara struktural adalah serpin (sejenis protein). OVA merupakan fosfoglikoprotein monomer dengan berat molekul

43 hingga 45 kD dan bersifat asam pada titik isoelektrik (Huntington & Stein, 2001). OVA memiliki peran dalam peningkatan IgE secara spesifik. Mayoritas model yang sekarang digunakan adalah tikus putih yang disensitisasi dengan ovalbumin secara intraperitoneal, yang dalam penggunaannya sering bersama-sama dengan adjuvant sel

Th 2 , seperti alumunium hidroksida (Kips et al., 2003; Diding dkk., 2007). Alumunium hidroksida(Al(OH) 3 ), merupakan alumunium yang paling stabil dalam kondisi normal. Al(OH) 3 dimasukkan sebagai adjuvant pada beberapa vaksin karena perannya dalam menginduksi

respon Th 2 (Petrovsky & Aguilar, 2004). Dalam penelitian untuk mensensitisasi hewan coba menggunakan tikus putih diimunisasi dengan suntikan ovalbumin (OVA; 8µg) intraperitoneal (i.p) yang diencerkan dengan jel alumunium hidroksida (1 mg) dalam 0,5 ml PBS, dan diulangi pada hari ke-14. Sedangkan

dan IgG. Penelitian lain untuk membuat asma alergi, maka tikus putih disensitisasi dengan menginjeksikan secara i.p. 10 µg OVA yang dilarutkan ke dalam 2.25 mg alumunium hidroksida dalam 100 µl saline pada hari ke-0 dan 14. Pada hari ke-35, 39, dan 42, tikus putih dipapar dengan inhalasi OVA aerosol selama 20 menit. Aerosol menggunakan nebulizer cairan OVA (10mg/ml) dalam saline menggunakan Pari LC Star nebulizer (Pari Respiratory Equipment, Richmond, VA) yang digerakkan kompresor udara dengan flow rate 6L/min. Untuk protokol penelitian pemaparan antigen akut (kurang lebih 1 bulan) maupun kronik (lebih dari 2 bulan), tikus putih diimunisasi secara s.c. pada hari ke-0, 7,

14, dan 21 dengan 25 µg OVA (grade V; Sigma-Aldrich, St. Louis, MO) yang dilarutkan pada 1 mg alumunium hidroksida (Sigma-Aldrich) dalam 200 µl PBS (Phosphat Buffer Saline).

a. Tikus Putih Model Asma Alergi Akut

Sifat dari model inflamasi akut dipengaruhi oleh pilihan strain, alergen, dan protokol sensitisasi dan paparan. Alergen yang umumnya dipakai adalah ovalbumin (OVA), yang merupakan derivat dari telur ayam. OVA relatif tidak mahal, tidak berbahaya, dapat dimurnikan, dan memiliki epitop yang mendominasi respon imun (Shin et al., 2009).

Protokol sensitisasi pada model inflamasi akut biasanya membutuhkan pemberian alergen secara sistemik yang multiple Protokol sensitisasi pada model inflamasi akut biasanya membutuhkan pemberian alergen secara sistemik yang multiple

hidroksida

[Al(OH) 3 ]

diketahui menginduksi perkembangan fenotip Th 2 oleh sistem imun ketika dipapar antigen (Nials & Uddin, 2008; Shin et al., 2009). Protokol tanpa adjuvant juga dapat dilakukan, tetapi membutuhkan alergen dalam jumlah yang lebih banyak. Setelah sensitisasi (14-21 hari), jalan nafas tikus putih dipapar dengan alergen, biasanya selama beberapa hari. Alergen dapat diinhalasi menggunakan formulasi nebulizer (aerosol), atau dengan intratrakeal (i.t) atau intranasal (i.n) (Nials & Uddin, 2008). Paparan pada model inflamasi akut ini disebut dengan paparan alergen primer (Shin et al., 2009).

Protokol untuk yang akut adalah pemaparan OVA secara intranasal (20 µg dalam 50 µl PBS) diberikan pada hari ke-26, 28, 30, dan 35, dan tikus putih dikorbankan pada hari ke-36 (Hopfenspriger et al., 2002).

Paparan primer pada model inflamasi akut memperlihatkan perubahan seperti asma di klinik seperti peningkatan kadar IgE, inflamasi jalan napas, hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, AHR yang spesifik stimulus, dan -pada beberapa model- bronkokonstriksi fase cepat dan fase lambat. Namun, karena paparan ini bersifat paparan singkat, maka tidak dijumpai beberapa lesi yang ada pada asma kronik pada manusia, seperti inflamasi kronik pada dinding jalan napas dan remodelling jalan nafas. Terlebih lagi, beberapa proses

AHR berkurang setelah beberapa minggu dari paparan alergen terakhir. Oleh karena itu, model paparan akut lebih cocok digunakan untuk meneliti proses yang mendasari inflamasi jalan napas akut dan AHR (Nials & Uddin, 2008).

b. Tikus Putih Model Asma Alergi Kronik

Tujuan pembuatan model inflamasi kronik adalah untuk memperlihatkan perubahan yang terjadi seperti pada asma di klinik, seperti AHR yang persisten dan remodelling jalan nafas, dan juga memungkinkan evaluasi obat baru sebagai rancangan terapi daripada sebagai rancangan profilaksis (Nials & Uddin, 2008). Selain itu, keuntungan dari protokol ini adalah kemampuannya untuk memonitor perubahan parameter inflamasi (Shin et al., 2009). Paparan kronik alergen dilakukan dengan memaparkan secara berulang jalan nafas dengan alergen kadar rendah sampai selama 12 minggu (Nials & Uddin, 2008). Sedangkan Shin et al. (2009) menuliskan paparan untuk model asma kronik (paparan sekunder) diberikan 2-6 minggu setelah paparan primer ketika eosinofilia jalan nafas dan AHR menurun sampai baseline level. Pemaparan kronik alergen memperlihatkan perubahan-perubahan seperti asma pada manusia,

termasuk alergen dependent sensitisasi, Th 2 dependent inflamasi alergi dengan karakteristik influks eosinofil pada mukosa jalan nafas, AHR,

dan fibrosis subepitelial atau peribronkiolar (Nials & Uddin, 2008). Sedangkan protokol untuk yang kronik, tikus putih yang telah mendapatkan pemaparan OVA intranasal pada hari ke-26, 28, 30 seperti pada protokol akut dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian pemaparan OVA intranasal dua minggu sekali. Untuk melakukan pemberian intranasal, tikus putih diberikan anestesi dengan isoflurane (Isosol TM; Abbott Laboratories, North Chicago, IL) (Ikeda R.K., 2003). Sedangkan pada penelitian Cho et al., 2004, tikus putih diimunisasi i.p. pada hari ke-0 dan 12 dengan 50 µg OVA (grade V; Sigma-Aldrich, St. Louis, Missouri, USA) dilarutkan pada 1 mg alum (Sigma-Aldrich) dalam 200 µl normal saline. Pemaparan OVA intranasal (20 µg/ 50 µl dalam PBS) diberikan pada hari ke-26, 29, dan 31 di bawah, anestesi dengan isoflurane (Vedco lnc., St. Joseph, Missouri, USA) dan kemudian diulangi dua minggu sekali selama 3 bulan. Tikus putih dikorbankan 24 jam setelah akhir pemaparan OVA terakhir (Cho J. Y., 2004).

1. Kerangka Konsep

Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: merangsang : menghambat

Ovalbumin sebagai alergen masuk ke tubuh, ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APCs) . Kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel T

CD4 + atau sel Th 0 . Sel Th 0 akan berdiferensiasi menjadi sel CD4 + Th 1 dan sel CD4 + Th 2 . Kerja dua sel tersebut bersinergi, dimana sel CD4 + Th 2 berperan sebagai respon imun humoral yang akan mensekresikan antibodi (IgE). Sedangkan sel CD4 + Th 1 berperan dalam respon imun seluler, yang akan menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL- 1β, IL-2, IL-6, dan TNF- α. TNF-α bersifat proteolitik, sehingga akan melisiskan sejumlah sel-sel termasuk sel saluran nafas. Debris lisis sel ini akan menimbulkan stres oksidatif (Reactive Oxygen Species/ROS), yang akan menambah beratnya reaksi asma alergi.

Ovalbumin melalui sel CD4 + Th 2 memicu produksi sel mast, paparan ovalbumin berikutnya akan menimbulkan degranulasi sel mast yang akan memproduksi lipid mediator (termasuk histamin) sehingga timbul alergi inflamasi pada saluran nafas yang akan bermanifestasi sebagai asma alergi.

Propolis mengandung CAPE yang memiliki aktivitas biologis sebagai Ca-antagonis yang akan menghambat degranulasi sel mast. Kuersetin yang terkandung dalam propolis memiliki aktivitas biologis yang akan memperkuat membran sel mast sehingga membran sel mast tidak mudah terdegranulasi. Selain itu CAPE memiliki aktivitas biologis sebagai anti Propolis mengandung CAPE yang memiliki aktivitas biologis sebagai Ca-antagonis yang akan menghambat degranulasi sel mast. Kuersetin yang terkandung dalam propolis memiliki aktivitas biologis yang akan memperkuat membran sel mast sehingga membran sel mast tidak mudah terdegranulasi. Selain itu CAPE memiliki aktivitas biologis sebagai anti

C. Hipotesis

Ekstrak etanol propolis menurunkan hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan rancangan penelitian the post test only control group design.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Pada bulan Mei sampai dengan September 2011.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian berupa tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dengan berat badan ± 150 - 200 gram, dan berumur 4 - 6 minggu. Tikus putih diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Coba Universitas Setia Budi Surakarta.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara incidental sampling. Dimana jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus Federer (Purawisastra, 2001), yaitu :

(k-1) (n-1) > 15 (k-1) (n-1) > 15

Dalam penelitian ini, subjek dibagi menjadi 5 kelompok. Berdasarkan rumus Federer di atas, didapatkan jumlah subjek masing-masing kelompok sebagai berikut:

( k-1) (n-1) ≥ 15

(5-1) (n-1) ≥ 15

Jadi tiap kelompok minimal terdiri dari 5 ekor tikus putih. Pada penelitian kali ini kami menggunakan 7 ekor tikus putih.

E. Penentuan Dosis Perlakuan

1. Pemberian anti histamin generasi III Antihistamin generasi III yang digunakan dalam penelitian ini adalah Telfast ® 120 mg yang mengandung Fexofenadine. Faktor konversi manusia (dengan berat badan ±70 kg) ke tikus putih (dengan berat badan ± 200 gr) adalah 0,018 (Suhardjono, 1995). Sehingga dosis yang diberikan kepada tikus putih :

120 x 0,018 = 2,16 mg ≈ 2 mg

Dalam penelitian ini dosis anti histamin yang diberikan ialah 1 ml/tikus putih/hari, sehingga pelarut yang diperlukan :

120/2 x 1 = 60 ml

Dosis propolis yang diberikan pada tikus putih adalah 100 mg/kg BB/hari/oral (Lotfy, 2006). Oleh karena tikus putih yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai berat badan ±200 mg, maka didapatkan perhitungan sebagai berikut :

Untuk mengetahui berapa banyak dosis per oral yang diberikan untuk tiap tikus, maka dapat dihitung sebagai berikut :

v = 0,5 ml Sehingga untuk dosis 100 mg/kg BB/hari setiap tikus mendapatkan dosis per oral 0,5 ml. Sedangkan untuk dosis 200 mg/kg BB/hari setiap tikus mendapatkan dosis per oral 1 ml.

Gambar 5. Rancangan Penelitian

Keterangan : S

: Jumlah tikus putih yang digunakan

K1

: Kelompok kontrol

K2

: Kelompok asma alergi

K3 : Kelompok asma alergi + antihistamin 2 mg/tikus putih/hari per oral

K4 : Kelompok asma alergi + ekstrak propolis dengan dosis 100mg/kg BB/tikus putih/oral

K5 : Kelompok asma alergi + ekstrak propolis dengan dosis 200mg/kg BB/tikus putih/oral

E1 : Hitung sel mast K1 E2 : Hitung sel mast K2 E3 : Hitung sel mast K3 E4 : Hitung sel mast K4 E5 : Hitung sel mast K5

G. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

: ekstrak etanol propolis

2. Variabel Terikat

: hitung sel mast

3. Variabel Luar

a. dapat dikendalikan : gizi, makanan dan minuman, galur, umur, dan jenis kelamin hewan coba.

b. tidak dapat dikendalikan : kondisi psikologis, sistem kekebalan tubuh hewan coba, genetik, dan keadaan awal tikus putih.

Uji ANOVA dilanjutkan dengan Post Hoc Test antar

kelompok

K1

K2

K3

K5

K4

E5

E4

E3

E2

E1

1. Ekstrak etanol propolis : skala nominal

2. Hitung sel mast : skala rasio

I. Definisi Operasional Variabel

1. Ekstrak etanol propolis

Propolis lebah pada penelitian ini diperoleh dari peternak lebah di daerah Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Ekstraksi dilakukan dengan metode perkolasi, dengan cairan penyari etanol 80%. Sekitar 1 gram (akurasi penimbangan sampai 0,0001 gram) bubuk propolis mentah diekstraksi dengan 10 mL etanol 80% di shaker dengan kecepatan 200 rpm pada suhu kamar selama 24 jam. Setelah penyaringan melalui kertas saring, filtrat dibuat hingga 25 mL dengan 80% etanol dan disimpan dalam botol sampai analisis (Fu et al., 2005).

Ekstrak Etanol Propolis (EEP) menunjukkan aktivias anti-inflamasi baik akut ataupun kronik. EEP dosis 50 mg/kg BB/hari/oral dan 100 mg/kg BB/hari/oral menunjukkan aktivitas anti-inflamasi kronik, sedangkan dosis 200 mg/kg BB/hari/oral menunjukkan aktivitas anti-inflamasi akut pada hewan coba model.

2. Hitung Sel Mast

Tikus putih dikorbankan dengan pentobarbital-Na 100mg/kg BB/i.p.

24 jam setelah akhir pemaparan OVA untuk diambil jaringan intestinal, kemudian direndam dalam larutan formalin buffer 10% selama 10 jam, 24 jam setelah akhir pemaparan OVA untuk diambil jaringan intestinal, kemudian direndam dalam larutan formalin buffer 10% selama 10 jam,

3. Sensitisasi Hewan Coba

Tikus putih diadaptasikan selama satu minggu. Kemudian dilakukan penimbangan untuk menentukan dosis dan dilakukan perlakuan. Untuk membuat model tikus putih asma alergi maka tikus disensitisasi pada hari ke-1 dengan 2,5 cc ovalbumin (OVA)/tikus putih/i.p dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 7,75 ml Alumunium hidroksida. Hari ke-14 disensitisasi ulang menggunakan 2,5 cc OVA/tikus putih/i.p dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 10 ml PBS. Pemaparan OVA aerosol dalam PBS (10:1) selama 20 menit dengan nebulizer kecepatan 6 L/menit diberikan pada hari ke-21, 23, 25 dan 27. Hari ke-28 tikus putih dikorbankan, jaringan intestinal dan serum dikoleksi .

J. Instrumentasi Penelitian

1. Alat penelitian

a. Kandang hewan percobaan (20 cm x 30 cm x 15 cm)

b. Timbangan digital

c. Spuit injeksi 0,1 ml

d. Sonde tikus putih 0,1 ml d. Sonde tikus putih 0,1 ml

g. Minor set

h. Deck glass

i. Nebulizer j. Mikroskop

2. Bahan penelitian

a. Ekstrak propolis

b. Intestinal hewan coba

c. Aquades

d. Pakan tikus putih BR I

e. OVA

f. Antihistamin generasi III

g. Formalin buffer 10%

h. Al(OH) 3

i. Blok paraffin j. Pewarna Toluidine Blue

K. Cara Kerja

1. Sebelum perlakuan

a. Hewan uji diadaptasi dengan kondisi laboratorium tempat penelitian selama kurang lebih 1 minggu.

kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus putih.

2. Pemberian Perlakuan

a. Sejak hari ke-1 sampai hari ke-7 kelompok K1, K2, K3, K4 dan K5 diberi diet standar. Masing-masing diberi perlakuan yang berbeda.

b. Antihistamin untuk kelompok 3 dan ekstrak propolis untuk kelompok 4 dan 5 diberikan setiap hari.

c. Sensitisasi OVA dalam Al (OH) 3 /tikus putih dari 2,5 mg ovalbumin yang dilarutkan pada 7,75 ml Al (OH) 3 . intraperitoneal (i.p.) dilakukan

pada hari ke-0 dan 14 dengan dosis 0,15 ml/tikus putih.

d. Hari ke-21, ke-23, ke-25 dan ke-27 tikus putih dipapar dengan ovalbumin aerosol dari 50 mg ovalbumin dalam 5 ml PBS dengan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit selama 20 menit.

Dokumen yang terkait

ESTIMASI PARAMETER REGRESI ROBUST DENGAN METODE ESTIMASI-S PADA PENJUALAN ENERGI LISTRIK DI JAWA TENGAH TAHUN 2009

1 2 41

ANALISIS PERMINTAAN BERAS PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI KECAMATAN BAYAT KABUPATEN KLATEN SKRIPSI

0 1 83

DETEKSI HIV PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA MENGGUNAKAN DETERMINE HIV-12 DAN NESTED PCR HIV GAG SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 45

PENGARUH PEMBERIAN SERBUK BIJI JINTEN HITAM (Nigella sativa L.) TERHADAP EMBRIOGENESIS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 63

2011 KAJIAN KETAKTERJEMAHAN PADA SUBTITLE BAHASA INDONESIA DVD FILM THE SIMPSONS MOVIE

1 2 182

HUBUNGAN OBESITAS DAN SINDROM PRA MENSTRUASI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMAN 2 NGAWI TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Kesehatan Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan

0 1 83

ANALISIS TEKNIK, METODE, DAN IDEOLOGI PENERJEMAHAN SUBTITLE FILM BECKHAM UNWRAPPED DAN DAMPAKNYA PADA KUALITAS TERJEMAHAN TESIS

1 12 157

PENGEMBANGAN TES PILIHAN GANDA MELALUI E-LEARNING PADA FISIKA MATERI SUHU DAN KALOR UNTUK SMA Skripsi

1 3 107

METODE PENCUCIAN PRODUCER GAS PADA GASIFIKASI SEKAM PADI DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK OKSIDASI TERBATAS

0 0 40

DETEKSI VIRUS HEPATITIS C (HCV) PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA BERBASIS NESTED PCR PADA REGIO E1-E2 SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 36