Pendidikan bekerjasama dengan asosiasi pendidikan (1)

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang
ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.
Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak.
[1]
Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan
dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah
dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang.
Sebuah hak atas pendidikan telah diakui oleh beberapa pemerintah. Pada tingkat global, Pasal 13
PBB 1966 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengakui hak setiap
orang atas pendidikan.[2] Meskipun pendidikan adalah wajib di sebagian besar tempat sampai usia
tertentu, bentuk pendidikan dengan hadir di sekolah sering tidak dilakukan, dan sebagian kecil orang
tua memilih untuk pendidikan home-schooling, e-learning atau yang serupa untuk anak-anak mereka.

Peran Pendidikan dalam Pembangunan

Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan.
Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman.
Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah
terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok
pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara

penanggulangannya.
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di
bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral
bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap
orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa
ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu
prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim.
Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas
siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan
aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita
kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata
alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan
kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah,
tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita
tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika

kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah
penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi
kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang
tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib

belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus
sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi
tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar
dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era
global.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal
hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal
tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap
orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika
mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si
miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan
merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi
dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf
pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi

dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolahsekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala
sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul
pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat
memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT)
membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur
pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai

keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS
pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap
permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu
pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi
Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan
MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri
berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak
lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor

pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar
seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen
(Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan
dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id).
Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,
seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat
dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam
pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan
dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti
Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti
Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung
jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu
saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan
mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan

berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status
sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi
pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua
satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib
mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD
hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan
bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman,
Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah
atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan
dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan
tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal

keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***

PERMASALAHAN PENDIDIKAN MASA KINI
Oleh: Fitwi Luthfiyah

1.
Pendahuluan
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau
tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu
komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontribusinya pendidikan.
Shane (1984: 39), misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi
pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU
No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”.
Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani
sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini
berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung

jawab atas konsekuensi dari setiap perbautan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak
lain, manusia dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan
prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi
mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001:
198-199).
Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran
bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan
itulah mengaharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef,
2001: 198). Visi ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid.
Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan. Namun hal
ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan selalu ada dimanapun dan
kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya
menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya
untuk kemudian dicari solusinya.
Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan
kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi
dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Perlu pula dikemukakan
bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan
pendidikan formal.

1.
Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini
Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini
dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensidimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga
dimensi global.

Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini
hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan
perubahan sosial.
Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang
sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan.
Sedangakan permasalah perubahan social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia
selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati. Kedua
permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika
pendidikan ingin berhasil mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika
masa depan.
1.
Permasalahan Globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam
bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam

ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi
pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh,
globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun
gejala kearah itu sudah mulai Nampak.
Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu
(Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen
sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat
ISO.
Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan.
Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan. Seperti
diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu
Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif
(competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam,
sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi
situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global.
Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat
cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri
sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara

kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat
perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.
Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial
(gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan
hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar
internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama
disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi

output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal
ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.
Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia
juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada
prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan
menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.
1.
Permasalahan perubahan sosial
Ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya berubah;
satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan
peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang berjalan lambat dan ada
pula yang berjalan cepat.
Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasiinovasi sosial, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan
sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks.
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan
teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan
upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai
konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial
secara akurat (Karim, 1991: 28). Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar
pendidikan dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan
Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi
industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan
mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan
keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting
dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.
1.
Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini
Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa kini
adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal
pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran,
peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah
permasalahan lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana
dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan
internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di
pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan
strategi pembelajaran.
1.
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai
adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme
atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari

pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan
ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap sebagai
permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang,
melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok
manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang
berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi.
Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim
wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut
merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu,
Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu
gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini.
1.
Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik
atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk
meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat
tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.
Menurut Suyanto (2006: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang
anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun
fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”.
Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki
profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih jauh Suyanto (2006: 28) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki kualifikasi
dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan
pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi
dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran
profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi, (h)
adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi.
Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak
bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya
pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moonlighter. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang
tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui
system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan
sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus
menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.
1.
Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2006: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan
global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke

paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat
pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa
pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran
dalam “gaya bank” (banking concept). Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh
Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam
bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan
menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang
kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran
“hadap masalah” (problem posing).
Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan
pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya
menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari
pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya
professionalisme guru.
1.
Kesimpulan dan Saran
Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks. Makalah ini
dengan segala keterbatasannya, hanya sempat menyoroti beberapa diantaranya yang dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan internal. Dalam permasalahan eksternal di
bahas masalah globalisasi dan masalah perubahan social sebagai lingkungan pendidikan.
Sedangkan menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme
dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman terhadap sejumlah
permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai permasalahan pendidikan yang
komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah saling terkait.
Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan
tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan pendekatan terpadu. Bagaimanapun,
permasalahan-permasalahan di atas yang belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan
penuh tanggung jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap
pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi dewasa ini.
Sebagai insan yang berpendidikan, kita tentu masih terus berharap akan datangnya perubahan
fundamental terhadap sistem pendidikan kita. rasa optimis menatap masa depan wajib terbersit di
lubuk hati kita semua, meskipun banyak sekali problem yang belum terentaskan. Rasa optimis
menjadi “kata kunci” (key word) bagi semua idealisme perubahan itu. Seperti Paulo freire yang telah
berhasil memerdekakan rakyat Brazil dari buta huruf, keterbelakangan, dan kemiskinan. Kita tidak
bisa membayangkan, betapa besar rasa optimis seorang Freire sewaktu berjuang dengan sekuat
tenaga dan pikirannya untuk membebaskan rakyat Brazil dari buta huruf, keterbelakangan, dan
kemiskinan itu.
Meskipun banyak problem yang dihadapi oleh pendidikan nasional, namun itu semua tidak boleh
menyurutkan semangat kita. Bagaimanapun juga, pendidikan nasional merupakan investasi bagi
masa depan bangsa. Sebab, melalui pendidikan nasional, masa depan bangsa sedang dirancang
sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang tidak kalah kualitasnya

dengan negara-negara lain. Kita perlu mengingat kembali kata Cicero, “Pekerjaan apakah yang lebih
mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar generasi yang sedang tumbuh?”.
Dengan demikian, sebagai seorang yang berada di dunia pendidikan kita tidak perlulah merasa putus
asa. Ini seperti yang dikatakan oleh Suyanto (2006: ), Sitem pendidikan nasional sedang beranjak
menuju perubahan. Akan tetapi, perubahan itu jelas tidak bisa dalam sekali waktu yang langsung
memperlihatkan hasil secara maksimal. Sebab, mengelola sistem pendidikan nasional ibarat
menanam modal (investasi) untuk jangka panjang. Tetapi wujud keberhasilannya tidak seketika. Jika
investasi dalam bentuk bisnis jelas akan menghasilkan untung-rugi secara riil, karena dapat diukur
dengan besarnya nominal rupiah. Namun investasi pendidikan adalah berbentuk kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) yang riil bagi generasi bangsa. Karena tujuan nasional pendidikan kita adalah
untuk membangun mentalitas yang berkarakter.
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press dan
Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta:
LP3ES.
Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto ( ed ). Masyarakat
Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
Karim, M. Rusli. 1991, “Pendidikan Islam sebai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslih Usa
(ed.).Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai
Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan.
Maarif, Ahmad Syafii, 1987. “Masalah Pembaharuan Pendidikan Islam”, dalam Ahmad Busyairi dan
Azharudin Sahil ( ed .). Tantangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: LPM UII.
Maarif. Ahmad Syafii, 1996. “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”. Jurnal Pendidikan
Islam, No. 2 Th.I/Oktober 1996.
Othman, Ali Issa, 1981. Manusia Menurut al-Ghazali, alih bahasa Johan Smit dkk. Bandung: Pustaka.
Shane, Harlod G., 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.
Soedjatmoko, 1991. “Nasionalisme sebagai Prospek Belajar”, Prisma, No. 2 Th. XX, Februari.
Suyanto, 2006. Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percanturan Dunia Global). Jakarta: PSAP
Muhammadiyah

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau
kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin)
adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para
peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai
pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran
yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang
sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan

bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya
menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek.
Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire
mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah
yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang
dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang
demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya
bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari
dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi,
menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia).
Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung
dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategipendidikan di Indonesia harus
terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah
satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik
internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru
hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi
dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana
interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta
keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan
tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Secara garis besar ada dua solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, yaitu:
1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang
ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme),
yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
denganpendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru
dan prestasi siswa.

Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping
diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan
sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat
bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang
berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya
sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan
guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan
kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar
dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang
menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah
manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis
terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat
untuk mengatasi segala permasalahanpendidikan di Indonesia.
Tags:

http://edukasi.kompasiana.com/2013/12/10/masalah-pendidikan-di-indonesia-dan-solusinya615212.html

Hal tersebut di karenakan adanya masalah pendidikan di Indonesia yang belum dapat ditangani
dengan tuntas. Adapaun masalah pendidikan di Indonesia ialah :
1. Rendahnya sarana dan
prasarana
Telah kita ketahui sebelumnya dari berita-berita baik di media massa cetak atau pun elektronik,
bahwa sudah banyak berita tentang sekolah-sekolah yang roboh, atau sekolah yang telah rusak
karena bangunanya sudah usang, lapuk dan keropos yang sudah tidak layak namun tidak
memperoleh bantuan dari pemerintah setempat. Ini merupakan salah satu bukti bahwa betapa
rendahnya sarana dan prasarana yang di miliki oleh Indonesia.

2. Kurangnya pemerataan pendidikan di Indonesia
Bagi sebagian orang khususnya orang-orang yang tinggal di kota besar, pendidikan merupakan
hal yang biasa saja, namun jika kita tengok ke daerah-daerah terpencil dan tempat-tempat
kumuh, pendidikan merupakan suatu hal yang mewah dan sangat di dambakan. Hal tersebut di
karenakan Negara lebih memfokuskan pendidikan di wilayah-wilayah pokok yang lebih potensial.
Hal tersesebutlah yang membuat pemerataan pendidikan yang ada di Indonesia menjadi kurang.
3. Mahalnya biaya pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi adalah masalah
yang paling utama dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Hal inilah yang membuat banyak
anak-anak yang putus sekolah di kalangan masyarakat Indonesia yang kurang mampu.

http://seputarpendidikan003.blogspot.com/2013/06/masalah-pendidikan-di-indonesia.html

Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas
wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan,
kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik
kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia
(Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang
dan waktu. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik,
ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah
faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi
berkembang pesat dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh
dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat dihindari kehadirannya, terutama dalam bidang
pendidikan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus
globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Banyak sekolah di
indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem
pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan
billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa
Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari
sekolah menengah hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program
kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan
tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga
kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan
bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di
Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri
sendiri.
`
Persaingan untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi,
sehingga dapat masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan

kombinasi antara kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang
tinggi. Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan
budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan hendaknya
selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih
banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk
dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya yang
cukup besar. Tentu saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum
dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program
kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air diperlukan dana lebih dari 50 juta.
Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain
yang maju semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan
tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam
jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah
di saat masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar
menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan
yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai
akan sia-sia jika gejolak sosial dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan
ketidakadilan tidak diredam dari sekarang.
1.2 Rumusan Masalah
Secara umum, rumusan masalah pada makalah “Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan”
ini dapat dirumuskan seperti pada pertanyaan berikut.
a.
Apa dampak dari globalisasi untuk dunia pendidikan?
b.
Penyebab buruknya pendidikan di era globalisasi?
c.
Cara penyesuan pendidikan di Indonesia pada era globalisasi?
1.3 Tujuan
1.
Bagi Penulis
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah
pengantar pendidikan. Selain itu, bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa
digunakan untuk menambah pengetahuan yang lebih bagi mahasiswa, baik dalam lingkup
universitas negeri malang maupun di civitas akademika yang lain.
2. Bagi Pembaca
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dan
menambah ilmu pengetahuan mengenai globalisasi. Para pembaca yang dominan dari kaula
mahasiswa bisa digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang lebih luas, sehingga
kedepannya tercipta sdm-sdm yang unggul.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat bisa lebih memahami tentang arti penting globalisasi sehingga
dampak negatif yang berimbas bisa leih diperkecil. Dan juga diharapkan agar realisasi kegiatan
positif terhadap adanya pendidikan semakin lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengaruh Globalisasi terhadap dunia Pendidikan
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
perkembangan globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era
pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka
peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk
menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu
pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan
agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan.
Ketidaksiapan bangsa kita dalam mencetak SDM yang berkualitas dan bermoral yang
dipersiapkan untuk terlibat dan berkiprah dalam kancah globalisasi, menimbulkan

Dampak positif dan negatif dari dari pengaruh globalisasi dalam pendidikan dijelaskan dalam
poin-poin berikut:
1.

Dampak Positif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia

Pengajaran Interaktif Multimedia
Kemajuan teknologi akibat pesatnya arus globalisasi, merubah pola pengajaran pada
dunia pendidikan. Pengajaran yang bersifat klasikal berubah menjadi pengajaran yang berbasis
teknologi baru seperti internet dan computer. Apabila dulu, guru menulis dengan sebatang kapur,
sesekali membuat gambar sederhana atau menggunakan suara-suara dan sarana sederhana
lainnya untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan informasi. Sekarang sudah ada computer.
Sehingga tulisan, film, suara, music, gambar hidup, dapat digabungkan menjadi suatu proses
komunikasi.
Dalam fenomena balon atau pegas, dapat terlihat bahwa daya itu dapat mengubah
bentuk sebuah objek. Dulu, ketika seorang guru berbicara tentang bagaimana daya dapat
mengubah bentuk sebuah objek tanpa bantuan multimedia, para siswa mungkin tidak langsung
menangkapnya. Sang guru tentu akan menjelaskan dengan contoh-contoh, tetapi mendengar tak
seefektif melihat. Levie dan Levie (1975) dalam Arsyad (2005) yang membaca kembali hasil-hasil
penelitian tentang belajar melalui stimulus kata, visual dan verbal menyimpulkan bahwa stimulus
visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat,
mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dengan konsep.
Perubahan Corak Pendidikan
Mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk
berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat
dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya
UUD 1945 yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma pendidikan dari
corak sentralistis menjadi desentralistis. Sekolah-sekolah atau satuan pendidikan berhak
mengatur kurikulumnya sendiri yang dianggap sesuai dengan karakteristik sekolahnya.
Kemudahan Dalam Mengakses Informasi Dalam dunia pendidikan, teknologi hasil dari
melambungnya globalisasi seperti internet dapat membantu siswa untuk mengakses berbagai
informasi dan ilmu pengetahuan serta sharing riset antarsiswa terutama dengan mereka yang
berjuauhan tempat tinggalnya.
Pembelajaran Berorientasikan Kepada Siswa Dulu, kurikulum terutama didasarkan
pada tingkat kemajuan sang guru. Tetapi sekarang, kurikulum didasarkan pada tingkat kemajuan
siswa. KBK yang dicanangkan pemerintah tahun 2004 merupakan langkah awal pemerintah
dalam mengikutsertakan secara aktif siswa terhadap pelajaran di kelas yang kemudian disusul
dengan KTSP yang didasarkan pada tingkat satuan pendidikan. Di dalam kelas, siswa dituntut
untuk aktif dalam proses belajar-mengajar. Dulu, hanya guru yang memegang otoritas kelas.
Berpidato di depan kelas. Sedangkan siswa hanya mendngarkan dan mencatat. Tetapi sekarang
siswa berhak mengungkapkan ide-idenya melalui presentasi. Disamping itu, siswa tidak hanya
bisa menghafal tetapi juga mampu menemukan konsep-konsep, dan fakta sendiri.
2. Dampak Negatif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia
Komersialisasi Pendidikan
Era globalisasi mengancam kemurnian dalam pendidikan. Banyak didirikan sekolahsekolah dengan tujuan utama sebagai media bisnis. John Micklethwait menggambarkan sebuah
kisah tentang pesaingan bisnis yang mulai merambah dunia pendidikan dalam bukunya “Masa
Depan Sempurna” bahwa tibanya perusahaan pendidikan menandai pendekatan kembali ke
masa depan. Salah satu ciri utamanya ialah semangat menguji murid ala Victoria yang bisa
menyenangkan Mr. Gradgrind dalam karya Dickens. Perusahaan-perusahaan ini harus
membuktikan bahwa mereka memberikan hasil, bukan hanya bagi murid, tapi juga pemegang
saham.(John Micklethwait, 2007:166). .
Bahaya Dunia Maya
Dunia maya selain sebagai sarana untuk mengakses informasi dengan mudah juga dapat
memberikan dampak negative bagi siswa. Terdapat pula, Aneka macam materi yang

berpengaruh negative bertebaran di internet. Misalnya: pornografi, kebencian, rasisme,
kejahatan, kekerasan, dan sejenisnya. Berita yang bersifat pelecehan seperti pedafolia, dan
pelecehan seksual pun mudah diakses oleh siapa pun, termasuk siswa. Barang-barang seperti
viagra, alkhol, narkoba banyak ditawarkan melalui internet. Contohnya, 6 Oktober 2009 lalu
diberitakan salah seorang siswi SMA di Jawa Timur pergi meninggalkan sekolah demi menemui
seorang lelaki yang dia kenal melalui situs pertemanan “facebook”. Hal ini sangat berbahaya
pada proses belajar mengajar.
Ketergantungan
Mesin-mesin penggerak globalisasi seperti computer dan internet dapat menyebabkan
kecanduan pada diri siswa ataupun guru. Sehingga guru ataupun siswa terkesan tak
bersemangat dalam proses belajar mengajar tanpa bantuan alat-alat tersebut.
2.2 Keadaan Buruk Pendidikan di Indonesia
2.2.1 Paradigma Pendidikan Nasional yang Sekular-Materialistik
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem
pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15
yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
advokasi, kagamaan, dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu
pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti
telah gagal melahirkan manusia yang sholeh yang berkepribadian sekaligus mampu menjawab
tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan,
sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan
pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah
dasar, sekolah menengah, kejurusan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu
kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan
agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan
justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar salah satu aspek yang
perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh aspek.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai
sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu
terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan ilmu agama. Banyak
lulusan pendidikan umum yang ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka
yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai ilmu agama dan
kepribadiannya pun bagus, tetapi buta dari segi sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor
modern diisi orang-orang awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri,
karena tidak mampu terjun ke sektor modern.
2.2.2 Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal, itulah kalimat yang sering terlontar di kalangan
masyarakat. Mereka menganggap begitu mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan yang
bermutu. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi
membuat masyarakat miskin memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Makin mahalnya biaya
pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah), dimana di Indonesia dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan disodorkan kepada wali murid
sesuai keputusan komite sekolah. Namun dalam penggunaan dana, tidak transparan. Karena
komite sekolah adalah orang-orang dekat kepada sekolah.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan
(RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsek