Vol 13 No 1 | AlQisthu 453 1 10 20180106

DEMOKRASI DAN ETNISITAS:
Studi Politisasi Kelompok Etnik pada Pemilihan Walikoto/ Wakil
Walikota Jambi Tahun 2013
Jafar Ahmad
Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta
[email protected]
Abstrak
Sistem politik Indonesia yang telah mengalami pelbagai perubahan sejak
runtuhnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto menunjukkan terjadi pergeseran
kekuasaan dari pemerintah pusat ke masing-masing daerah. Pergeseran ini membuka
peluang bagi kelompok etnik untuk memainkan peran dalam merebut kekuasaan
tersebut. Beberapa peristiwa perebutan kekuasaan yang mengandalkan sentimen etnik
terjadi di banyak tempat. Pertanyaan pentingnya apakah pergeseran kekuasaan dengan
mengandalkan sentimen etnis juga terjadi di Kota Jambi?
Penelitian ini memberi catatan bahwa tidak selalu sentiment primordial bisa
diandalkan untuk memperoleh dukungan politik seperti yang dijelaskan dalam teori
Jame S Scout seperti terlihat di bawah. Sentimen primordial bekerja di daerah tertentu,
tapi tidak bekerja di daerah yang lain. Struktur masyarakat Kota Jambi yang sangat
heterogen memberi peluang hilangnya sekat-sekat sosiologis yang membuat satu etnis
berjarak dengan etnis yang lain. Di Jambi, persoalan asimilasi etnisisitas sudah
berjalan cukup Panjang, bahkan sepanjang sejarah berdirinya Jambi seperti yang

terungkap dalam BAB II.
Hasil penelitian ini juga memberikan penjelasan bahwa demokrasi yang tidak
menjadikan sentimen primordial berdasarkan etnis sebagai sumber dukungan, bisa
menunjukkan kualitas demokrasi yang lebih terbuka dan aman. Hampir tidak ada
konflik berarti yang menimbulkan keributan besar yang mengiringi hajatan pemilihan
Walikota Jambi tahun 2013 lalu.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sejak tahun 1998 di mana runtuhnya kekuasaan Soeharto yang telah berkuasa
selama 32 tahun, menandakan dimulainya demokrasi yang relative terbuka.1
Keterbukaan yang terjadi pada awal era reformasi membangkitkan kembali nilai-niai
lokal pada arena terbuka, misalnya menguatnya keinginan untuk membentuk
federalisme. Gagasan federalisme pada awal zaman reformasi sempat muncul menjadi
wacana politik Indonesia kala itu, namun seiring dengan perkembangannya, upaya itu
tidak berlanjut.Hal itu disebabkan oleh respon pemerintah dengan memberikan
otonomi daerah yang dikuatkan dengan Undang-undang no. 22 tahun 1999, yang
kemudian diubah menjadi Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.Undang-undang ini memungkinkan dan malah menguatkan keinginan
masyarakat lokal untuk memiliki pimpinan daerah yang berasal dari kalangan mereka
sendiri, tidak seperti pada era Orde Baru, yang terkadang kepemimpinan kepala daerah
dikirim dari Jakarta.Masyarakat lokal hanya bisa menerima dan mengikuti keinginan
dari Jakarta.
Perubahan yang mendasar ini terjadi pada banyak daerah.Bahkan, daerahdaerah tertentu, seperti Aceh, Papua, dan Yogyakarta diberikan status otonomi
khusus.Kewenangan khusus dalam kontek otonomi khusus pada beberapa daerah juga
berarti berhak secara khusus mengelola hal-hal yang berhubungan dengan
politik.Misalkan adanya partai lokal di Aceh atau Gubernur Yogyakarta adalah Sultan
Yogyakarta sendiri.Meskipun di daerah lain tidak diberikan otonomi khusus,
perubahan signifikan juga terjadi dalam banyak hal, salah satunya adalah penguatan
nilai-nilai etnik dalam pelbagai bidang, termasuk politik.
Garry Van Klinken menyebutkan dalam salah satu artikelnya yang diberi
judul Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik Lokal,
bahwa telah terjadi peningkatan keterlibatan etnik lokal untuk kembali muncul sebagai

1

Khusus untuk ikatan etnik menguat, beberapa contoh peneiltian tentang politik lokal menampakkan itu.
Lihat Henk Sculte Nordholt dan Gerry van Klinken (editor), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014

2

simbol etnik yang pernah berkuasa di wilayahnya dulu. Maka bermuncullah keturunan
para raja/ sulthan, mulai dari Sumatera sampai Maluku dalam pentas politik baru, dan
berusaha mengambil peran politik yang mulai tersedia cukup luas di masing-masing
wilayah.Daerah mendapat hak untuk lebih leluasa dalam mengambil kebijakan
dibandingkan dengan era Orde Baru.Upaya kembalinya elit lokal untuk menguasai
wilayahnya bisa ditemukan di Sulawesi Tengah, Sumba Barat, Kalimantan Tengah,
Banten, Sumatera Barat, dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia.2
Di Jambi, hal ini juga terlihat dengan jelas. Kelompok-kelompok etnik seperti
Melayu Jambi, Jawa, Minang, Sunda, Bugis, dan sebagainya membentuk
perkumpulan, yang beberapa di antaranya terbentuk karena ada kepentingan politik,
seperti momen pemilihan kepala daerah, meskipun beberapa yang lain terbentuk hanya
karena ada kebutuhan untuk merekatkan hubungan etnis yang selama ini tidak
berlangsung dengan lebih terbuka.
Beberapa pertanyaan bisa diajukan untuk mengarahakan penelitian di antaranya:
Upaya-upaya dalam bentuk apa saja yang dilakukan oleh pasangan calon WalikotaWakil Walikota Jambi dalam Pemilukada Kota Jambi tahun 2013 untuk mempolitisasi
elite dan anggota etnik dalam rangka memenangkan mereka?Dan, mengapa elit atau

enggota etnik bisa mencapai persekapatan atas upaya-upaya yang dilakukan oleh
pasangan calon dalam hal memberi dukungan terhadap pemenangan pasangan calon
Walikota-Wakil walikota Jambi pada Pemilukada Kota Jambi tahun 2013?; Untuk
melihat apa saja yang dilakukan oleh elit dan anggota etnik setelah mobilisasi politik
berhasil dilakukan, bagaimana wujud politisasi yang terjadi setelah elit atau kelompok
etnik menjadi tim pemenangan pasangan calon? Karena masing-masing etnik memiliki
karakter yang berbeda-beda, bagaimana interaksi internal kelompok-kelompok elit ini
dalam memberi dukungan kepada pasangan calon?; Bagaimana bentuk interaksi antar
satu elit dan anggota etnik dengan elit dan anggota etnik lainnya setelah mobilisasi
berlangsung? Karena mobilisasi yang berlangsung pasti berhubungan dengan
kepentingan, bagaimana interksi tersebut terjadi saat kepentingan-kepentingan itu
2

Beberapa artikel hasil penelitian yang digabungkan dalam Henk Sculte Nordholt menunjukkan bahwa
upaya kelompok etnik pada masing-masing daerah untuk berkuasa ditunjukkan dengan nyata dan
terbuka, tanpa rasa khawatir seperti pada Era Orde Baru.

3

bertemu dalam ruangan yang sama tapi dengan aktor elit dan etnik yang berbeda? Dan

mengapa interaksi kelompok etnik dengan kepentingannya masing-masing tersebut
tidak menimbulkan konflik terbuka?; Bagaimana proses interaksi elit dan anggota
etnik yang sudah termobilisasi tersebut berpengaruh terhadap iklim demokrasi dalam
Pemilukada Kota Jambi tahun 2013? Apakah interaksi itu yang memberi nilai terhadap
demokrasi atau sebaliknya demokrasi yang memengaruhi proses interaksinya dan atau
terjadi tumpang tindih antara keduanya?; Bagaimana iklim politik bisa terbangun
dengan aman sehingga interaksi antar etnis dalam memperjuangkan kepentingan
politik

mereka

masing-masing

bisa

sesuai

dengan

nilai-nilai


yang

bisa

mempromosikan demokrasi, bukan justeru merusak atau menjadi sesuatu yang
berbahaya bagi demokrasi?
ETNISITAS DALAM PROSES PILKADA KOTA JAMBI
Berdasarkan penjelasan pada bagian pengantar, pada bagian ini akan fokus
menjelaskan tentang iklim demokrasi3 yang melingkupi Pemilukada Kota Jambi tahun
2013. Iklim demokrasi ini telah berkembang ke arah yang lebih baik pasca mundurnya
Soeharto tahun 1998. Prof. Dr. Kacung Marijan (2012) mengemukakan bahwa pasca
jatuhnya Soeharto, telah membawa perubahan-perubahan berarti dalam sistem politik
Indonesia. Di tingkat makro perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem
politik Indonesia, dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih
demokratis.Paling tidak pintu menuju demokrasi terbuka lebih lebar dan partisipasi
politik warga negara terbuka juga dengan luas.4 Iklim yang relatif terbuka ini
memungkinkan bangkitnya kelompok-kelompok kepentingan yang pada masa
3


Secara sederhanan Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat.Dalam banyak negara dan
sistem pemerintahan “demokrasi” mengambil berbagai bentuk. Menurut Support for East European
Democracy (SEED), sebagaimana dikutip A. Rahman Zaunuddin, dalam Robert A. Dahl, Demokrasi
dan Para Pengritiknya Jilid II (terjemahan), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992, hal. xxiv-xxv, ada
beberapa ciri yang menjadi penanda bahwa sebuah sistem atau negara itu demokratis atau tidak, yakni:
(1) didirikan sistem politik yang sepenuhnya demokratis dan representatif, berdasarkan pemilihan
umum yang bebas dan adil; (b) diakui secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan
kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan berbicara, beragama, dan berkumpul; (c) dihilangkannya
semua perundang-undangan dan peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan
terbentuknya partai-partai politik; (d) diciptakan suatu badan kehakiman yang bebas; dan (e) berdirinya
kekuatan-kekuatan militer, keamanan dan kepolisian yang tidak memihak.
4
Prof. Dr. Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,
Jakarta: Kencana, 2012, hal. 1

4

sebelumnya tidak berani berekspresi lebih terbuka lantaran ada kekhwatiran dicap
sebagai kelompok yang mendukung gerakan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan
(SARA) yang dilarang waktu itu. Kelompok baru ini mengambil berbagai bentuk,

misal komunitas profesi, organisasi non pemerintah, dan kelompok etnik.
Praktik demokrasi yang berlangsung di Kota Jambi dalam kontek Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Jambi tahun 2013 berjalan sesuai dengan
amanat Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Proses
pelaksanaannya berlangsung secara demokratis. Dari penyelenggara ada Komisi
Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwslu) Kota Jambi. Peserta
pemilihan Walikota-Wakil Walikota Jambi tahun 2013 adalah calon Walikota-WakilWalikota yang telah ditunjuk oleh partai politik pengusung.5Peserta yang mengikuti
pemilihan mendaftar melalui partai pengusung.6

5

Calon Walikota-Wakil Walikota Jambi tahun 2013 terdiri dari empat pasang calon, yakni: pertama
adalah pasangan M Sum Indra dan dr Maulana. Kandidat ini diusung oleh Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Karya Peduli Bangsa
(PKPB), dan Partai Demokrasi Kebangsaan. M Sum Indra saat itu menjabat sebagai Wakil Walikota
Jambi dan mendaftar sebagai calon walikota bersawa calon wakil walikota, dr. Maulana. "Maulana ini
pemilik Rumah Sakit Annisa Jambi,", Selasa 19 Maret 2013. Kandidat kedua yang mendaftar adalah
Efendi Hatta dan Asnawi AB pada Sabtu 16 Maret 2013.Ketua DPRD Provinsi Jambi dan Kepala
Kantor Satpol PP Provinsi Jambi ini diusung Partai Demokrat dan Partai Hanura.Kedua pasangan ini
sama-sama pernah maju di Pilwako Jambi tahun 2009.Waktu itu tidak berpasangan.Kandidat ketiga

yang mendaftar Sy Fasha dan Abdullah Sani pada Minggu 17 Maret 2013. Mereka adalah Pengusaha
dan akademisi diusung Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Demokrasi Pembaruan
(PDP), Barisan Nasional, dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Pasangan ini mendapatkan dukungan
partai parlemen paling banyak.Terakhir, calon petahana ikut mendaftar di detik-detik terakhir masa
pendaftaran, Senin 18 Maret 2013. Bambang Priyanto, Walikota Jambi saat itu bersama Yeri Muthalib
sebagai calon wakil walikota, anggota DPRD Provinsi Jambi. Bambang-Yeri diusung Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Pemuda Indonesia (PPI).Pasangan ini
sama-sama tidak diusung partainya. Bambang Priyanto merupakan kader Partai Demokrat, sedangkan
Yeri Muthalib kader Partai Hanura..Semua pasangan calon diusung oleh Partai Politik, tidak ada
pasangan calon yang mendaftar perseorang. Diakses dari
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/398538-empat-kandidat-calon-walikota-daftar-ke-kpu-kotajambi atau bisa melalui alamat website
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Wali_Kota_Jambi_2013diakses tanggal 04 Juni 2014,

6

Pada masa pendaftaran sebenarnya ada calon perseorangan atau calon independen yang mendaftar,
yakni dr. Meidrin Joni, tapi karena jumlah dukungan tidak memenuhi syarat, maka dia dan calon
pasangannya harus menerima konsekwensi tidak bisa mengikuti proses pemilihan Walikota-Wakil
Walikota Jambi sebagai calon. dr. meidrin Joni adalah anggota etnik Kerinci. Jadi pada masa pemilihan
ini, etnik Kerinci tidak memiliki calon yang yang maju dalam proses pemilihan.


5

Selama proses pemilihan sampai pemungutan suara yang dilanjutkan dengan
pengumuman hasil perolehan suara, tidak ada konflik berarti yang terjadi. Singkatnya
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Jambi tahun 2013 berjalan relatif
lancar dalam lingkungan politik yang demokratis, yakni semua yang memiliki hak
memilih dalam proses pemilihan langsung tersebut tidak memperoleh hambatan dalam
melakukan pilihan. Begitupun dengan para calon dan penyelenggara tidak
memperoleh intimidasi oleh pihak tertentu dalam proses-proses tersebut. Media massa
bebas memberitakan atau tidak memberitakan. Masyarakat tidak dibatasi untuk
mengakses informasi yang ada di media Massa. Dalam pandangan Robert A. Dahl,
tujuh lembaga poliarki yang mendukung berjalannya demokrasi, secara sekilas,
kelihatannya telah berfungsi dengan baik dalam keseluruhan proses penyelenggaran
Pemilukada Kota Jambi tahun 2013.7
Perlu juga dijelaskan, kondisi lain yang mewarnai pelaksanaan Pemilukada ini.
Etnik mayoritas, yakni Melayu Jambi yang terdiri dari berbagai subetnik tidak
mengambil peran dominan dan memaksa kehendak dalam proses pemenangan salah
satu calon. Dalam pemilukada Kota Jambi tahun 2013, etnik Melayu Jambi tampil
sebagai etnik yang memiliki sumber daya pemilih mayoritas, yakni 36 persen dari

jumlah penduduk, yang berarti pula, jika dirata-ratakan, juga memiliki jumlah pemilih
sebanding dengan persentase jumlah penduduk tersebut. Namun, karena Melayu Jambi
tidak menunjukkan soliditas etnik yang tinggi dan tidak mendominasi kegiatan
Pemilukada Kota Jambi dengan memaksa kelompoknya untuk mendapat dukungan
tunggal, etnik lain yang berdomisili di Kota Jambi, terlihat leluasa memainkan peran
politik dalam pelaksanaan Pilwako Jambi tahun 2013 yang lalu.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pengurus adat Melayu Jambi,
Junaidi T Noor dan wawancara dengan Pahmi Sy, salah seorang penulis Budaya
Jambi, menjelaskan bahwa dalam hal politik, sebenarnya warga Melayu Jambi
memiliki hasrat yang sangat tinggi. Misalkan keikutsertaan dalam politik praktis,
menjadi tim sukses pasangan calon Walikota/ wakil walikota. Hanya saja, dalam
7

Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid II (terjemahan oleh A. Rahman
Zainuddin),Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 199,. hal. 18

6

melakukan kegiatan politik praktis seperti ini, para anggota Etnik Melayu kadangkadang merasa tidak terikat dengan unsur etnisitasnya, meskipun ada sebagian yang
lain tetap menyadari identitas etnisnya dan menempatkannya di atas identitas yang
lainnya. Dalam beberapa kesempatan lainnya, para Etnik Melayu Jambi kadang
mengidentifikasikan dirinya dengan warga Kabupaten.8Jika ditanya mereka hanya
memberi jawaban, bahwa mereka orang Jambi saja, atau orang dari Kabupaten tertentu
saja, tanpa peduli identitas ke-Melayuannya.9
Beberapa studi menyebutkan bahwa dalam proses pemilihan yang berlangsung
secara demokratis dan para pemilihnya terdiri dari unsur-unsur etnik yang beragam,
maka pemilihan akan cenderung mengalami kecurangan dan memicu konflik terbuka
ketika kelompok-kelompok etnik saling bersaing merebut dominasi politik. Hussin
Muthalib, menegaskan bahwa realitas dan kekuatan kelompok-kelompok etnis dalam
proses politik saling berkaitan dengan dipertahankannya secara terus menerus ikatanikatan primordial di kalangan komunitas-komunitas etnis, dan juga politisasi etnisitas
dalam masalah-masalah kenegaraan, terutama melalui proses penekanan, ideologisasi,
pemerkuatan, dan modifikasi warisan-warisan budaya kelompok-kelompok etnis yang
khas dan unik.10 Dalam kondisi seperti ini memang memungkinkan terjadi gesekan
yang akan menimbulkan konflik antar etnik yang telah terpolitisasi oleh para calon
walikota sebagai kelompok pendukung untuk mengalahkan para calon lain yang
menjadi lawan pasangan calon yang mereka dukung.
Jika dikategorikan elit dan anggota etnik dalam merespon Pemilukada Kota Jambi
tahun 2013 mengambil beberapa bentuk atau model: pertama, kelompok etnik yang
anggota etniknya adalah calon dalam satu pasangan saja; kedua, kelompok etnik yang
anggota etniknya berada dalam dua atau lebih pasangan calon; ketiga, kelompok etnik
yang tidak memiliki calon sama sekali. Sikap yang ditunjukkan oleh kelompok etnik
berdasarkan kategori ini juga tidak sama. Pasangan dari etnik tertentu yang mampu

8

Dalam keadaan ini, warga kabupaten ini menjadi subetnik Melayu Jambi.Mereka adalah Melayu Jambi
yang dalam keadaan tertentu mengidentifikasi diri dengan asal daerah/ kabupaten mereka berasal.
9
Wawancara dengan Pahmi Sy, 16 Februari 2014 dan dengan Junaidi T Noor pada tanggal 17 Februari
2014
10
Hussin Muthalib, op.cit. hal 40

7

memobilisir kelompok etniknya langsung dengan efektif berbeda dengan pasangan
yang mencoba memobilisir kelompok etnik yang tidak satu etnik dengannya.
Merunut pendapat Horowitz di atas, bahwa memang terjadi ekspresi identitas
melalui simbol etnisitas, namun seperti yang diamati sementara di Kota Jambi,
kecenderungan mengarah pada proses merosotnya demokrasi tidak berlangsung
dengan serius.Demokrasi, dalam pengertian persamaan hak dalam menentukan pilihan
politik, berjalan dengan relatif baik.Dalam wawancara yang dilakukan dengan anggota
KPU Kota Jambi sebagai penyelenggara dan tim sukses masing-masing pasangan
calon, dan pengamatan penulis sendiri yang berada di Kota Jambi dalam rangkaian
proses Pemilukada itu berlangsung, tidak terlihat upaya yang serius pada beberapa
aktor etnik tersebut untuk mengganggu perjalanan Pemulikada tersebut.
Mobilisasi kelompok etnik sebagai pendulang suara dalam Pemilukada Kota
Jambi tahun 2013 memang terjadi. Proses ini telah menggeser fungsi kelompok etnik,
yang pada awalnya merupakan kelompok primordial yang tidak berafilisasi dengan
politik, menjadi kelompok yang menjalankan fungsi politik, yaitu menjadi bagian dari
pendulang suara pasangan calon yang mereka dukung. Namun berbeda dengan yang
dikatakan oleh Letitia di atas, dalam praktik yang diamati di Kota Jambi, bahwa
mobilisasi etnis yang terjadi membentuk berbagai pola. Bisa saja terjadi silang
dukungan etnik.Dukungan etnik tidak selalu berbanding lurus antara etnik pemilih
dengan etnik pasangan calon Walikota-WakilWalikotanya.Etnik Jawa bisa saja
memilih Pasangan calon Etnik Melayu, atau Etnik Melayu bisa memilih Etnik Jawa
sebagai pasangan calon yang mereka dukung.
Dinamika dukungan ini tergambar dari bagaimana upaya-upaya yang dilakukan
oleh para calon Walikota-Wakil Walikota dalam mendekati elit Etnik untuk
memperoleh dukungan. Upaya ini biasanya berbentuk ajakan dengan berbagai
keuntungan yang dijanjikan atau ditawarkan kepada elit etnik tertentu agar menjadi
pendukung.
Pasangan calon Efendi Hatta dan Asnawi AB (perpaduan Etnik Minang dan
subetnik Melayu Kota Jambi) memperoleh dukungan dari Etnik Batak subetnik

8

Panjaitan.11Pasangan calon Sayyid Pasya dan Abdullah Sani (Warga asal Palembang
dan Jawa) didukung oleh etnik Melayu Jambi asal Batanghari.12Sum Indra dan dr.
Maulana sebagai warga subetnik Melayu Kota Jambi didukung oleh masyarakat
Sumatera Selatan yang satu etnik dengan Sayyid Fasha. Hal ini terbukti dengan
banyaknya warga dari berbagai lapisan masyarakat, himpunan, kerukunan dan suku
pada deklarasi pasangan SIMPATIK (Sum Indra – Maulana Pemimpin Amanah,
Tabligh, Intelektual & Karismatik) sabtu tanggal 23 Maret 2013. Himpunan
Masyarakat Jambi Asal Sumatera Selatan (HIMJASS) melalui Ketua Pengurus
HIMJASS Provinsi Jambi Ir. Sayuti, Imron TB, Ir. Yudimargestian dan Helmi SH
serta Ketua dan Pengurus HIMJASS Kota Jambi, Jauwari, Rizal SH dan pengurus
lainya mengadakan pertemuan guna menyatakan dukungan kepada pasangan calon
yang tidak berasal dari satu daerah yang sama dengan mereka ini. 13Itupun terjadi pada
calon pasangan walikota-wakil walikota yang lainnya.Pergeseran pemilihan tidak
langsung ke sistem pemilihan langsung kepada masyarakat memang menunjukkan
gejala ‘liar’nya dukungan, karena masing-masing individu memiliki hak memilihnya
masing-masing.
Pemilukada Kota Jambi 2013 yang berlangsung dalam suasana demokratis yang
diisi oleh politisasi etnik dengan mobilisir kelompok etnik dan elit sekaligus sebagai
pemberi suara dalam pemilihan, menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran
kepentingan antar etnik ini. Sesuai dengan konsep Dealder (1974) dan Lijphart (1968),
etnisitas dapat berperan konstruktif dalam mempromosikan akomodasi antar
kelompok. Para pendukung aliran integrasi (concociational school) sejak lama
berpendapat bahwa mempromosikan kemunculan partai-partai etnis dan kemudian
mempresentasikannya secara luas akan memfasilitasi integrasi subkultur sebanyak
mungkin ke dalam permainan politik, sehingga menciptakan kondisi-kondisi yang

11

Akses webisite http://www.jambiekspres.co.id/berita-5615-benhard--effendi-hatta-sosokpemersatu.html 03 Juni 2014
12
Ketua tim sukses pasangan Sayyid Pasya dan Abdullah Sani adalah Chalid Saleh, mantan Sekda
Provinsi Jambi, berasal dari subetnik Melayu Batanghari
13
Akses website http://radiomjnfm.blogspot.com/2013/03/himjass-siap-menangkan-sum-indramaulana.html pada tanggal 03 Juni 2014

9

mendukung kerjasama antar etnis.14Sehingga dalam jangka panjang kerjasama seperti
ini, alih-alih merusak demokrasi, justeru menjadi pendukung demokrasi. Interaksi
demokrasi dan politisasi etnik dalam Pemilukada Kota Jambi tahun 2013, sejauh ini
nampak seperti pandangan Dealder dan Lijphart di atas.
KESIMPULAN
Demokrasi yang merupakan salah satu sistem yang dibangun untuk memberi
kesempatan kepada rakyat banyak menentkan pilihan mereka telah berjalan cukup
baik ketika Era Reformasi tiba. Era ini ditandai dengan runtuhnya Rezim Soeharto
yang mempromsikan kemanan dan kenayaman pembangunan, sehingga satu proses
penting dalam demokrasi harus dikorbankan, yakni kebebasan berpendapat. Era
Reformasi membuka kesempatan warga untuk berpendapat lebih berani dalam
menyuarakan kepentingan mereka masing-masing.
Pada Orde Baru pula terjadi praktik monopoli kekuasaan, sampai tingkat yang
paling kecil. Semua yang berhubungan dengan pemerintah, termasuk pegawai negeri
sipil, diwajibkan masuk ke dalam satu golongan (baca: partai) Golkar yang telah
dirancang sedemikian rupa untuk selalu memenangkan Pemilihan dalam bentuk
apapun. Pada Era Orde Baru, banyak orang tidak memiliki pilihan dalam berpolitik,
kecuali bergabung dan menjadi pendukung Golkar. Mekanisme ini memungkinkan
terjadinya sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan, yakni Soeharti seorang. Secara
logika, tentu Soeharto tidak memiliki kemampuan untuk mengelola sendiri Republik
yang sangat besar ini. Tentu, Soeharto sangat membutuhan para pembantu yang
bertugas menjalan programnya di daerah. Karena Soeharto berasal dari Jawa, tentu
orang dekat dan orang kepercayaan banyak yang berasal dari kelompok ini. Karena di
samping sebagai orang Jawa, Soeharto juga adalah tantara, maka orang dekat Seharto
juga pasti kebanyakan dari kalangan tantara. Sehingga, pada masa Orde Baru banyak
sekali kepala daerah, mulai dari Gubernur dan Bupati/ Walikota berasal dari kalangan
tantara yang beretnis Jawa. Logika politik memberi pembenaran kepada Soeharto
untuk mengambil langkah tersebut.
14

Ibid. hal. 370

10

Runtuhnya era sentralisasi seperi tergambar pada alenia sebelumnya, itu juga
berarti meruntuhkan struktur birokrasi pemerintahannya. Banyak tuntutan warga yang
dilayangkan kepada Pemerintah untuk mengkomodir kepala daerah berasal dari putra
daerah atau warga asli setempat. Kasus seperti ini terjadi di banyak tempat. Di Jambi
juga terjadi upaya-upaya seperti ini. Peristiwa yang menunjukkan terjadinya
pembangkangan warga terhadap calon kepala daerah yang bukan berasal dari daerah
setempat terdapat d Provinsi Jambi, tepatnya Kabupaten Kerinci.
Sebelum berhenti menjadi Presiden RI, melalui mekanisme pemilihan kepala
daerah, sudah ada calon bupati yang dikirim ke Kabupaten Kerinci, namana Imam
Santoso, seorang tantara yang bertugas di Sumatera Selatan dan berasal dari etnis
Jawa. Dalam prosesnya Imam Santoso mendapat protes dan penolakan dari warga
Kerinci. Hampir semua masyarakat Kerinci menolak. Hal ini terlihat dari kelompok
gerakan yang melalukan penolakan berasal dari berbagai kalangan. Penolakan ini
dimulai dari kelompok mahasiswa, kelompok Himpunan Keluarga Kerinci (HKK),
baik yang berada di Kerinci maupun yang berada di luar daerah.
Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kota Jambi dalam Era
Reformasi yang sudah berjalan sekitar 15 tahun pada 2013, tidak terlihat ada upaya
yang sangat besar untuk menolak etnis lain yang berasal dari luar etnis Melayu Jambi
untuk menjadi kepala daerah. Bahkan, sejak dimulainya Pemilihan Walikota secara
langsung sejak tahun 2008, belum pernah etnis Melayu yang memenangkan Pilkada.
Hasil Pilkada seperi tergambar di atas menunjukkan bahwa senitimen primordial
berdasarkan asal etnis tidak cukup berpenaruh dalam mendapatkan dukungan dalam
Pilkada Jambi. Asnawi AB pada tahun 2008, kalah dari dr. Bambang yang berasal dari
Jawa. Sum Indra pada 2013 kalah dari Sy Fasha yang berasal dari etnis Palembang
Hasil ini memberi catatan bahwa tidak selalu sentiment primordial bisa
diandalkan untuk memperoleh dukungan politik seperti yang dijelaskan dalam teori
Jame S Scout di atas. Sentimen primordial bekerja di daerah tertentu, tapi tidak
bekerja di daerah yang lain. Struktur masyarakat Kota Jambi yang sangat heterogen

11

seperti yang telah dijelaskan dalam tabel persentase jumlah etnik pada BAB I,
memberi peluang hilangnya sekat-sekat sosiologis yang membuat satu etnis berjarak
dengan etnis yang lain. Di Jambi, persoalan asimilasi etnisisitas sudah berjalan cukup
Panjang, bahkan sepanjang sejarah berdirinya Jambi seperti yang terungkap dalam
BAB II.
Hasil penelitian ini memberikan penjelasan bahwa demokrasi yang tidak
menjadikan sentimen primordial berdasarkan etnis sebagai sumber dukungan, bisa
menunjukkan kualitas demokrasi yang lebih terbuka dan aman. Hampir tidak ada
konflik berarti yang menimbulkan keributan besar yang mengiringi hajatan pemilihan
Walikota Jambi tahun 2013 lalu. Semua kalangan merasa tidak ada yang salah dengan
kehadiran Sy Fasha yang dari Sumatera Selatan menjadi Walikota Jambi dan Abdullah
Sani yang berasal dari etnis Jawa menjadi Wakil Walikota Jambi. Agaknya
kesimpulan penelitian ini mendukung teori Dealder (1974) dan Lijphart (1968), yang
menyebutkan bahwa etnisitas dapat berperan konstruktif dalam mempromosikan
akomodasi antar kelompok. Para pendukung aliran integrasi (concociational school)
sejak lama berpendapat bahwa mempromosikan kemunculan partai-partai etnis dan
kemudian mempresentasikannya secara luas akan memfasilitasi integrasi subkultur
sebanyak mungkin ke dalam permainan politik, sehingga menciptakan kondisi-kondisi
yang mendukung kerjasama antar etnis. Meski tidak ada partai etnis di Jambi,
kelompok etnis yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain, telah mampu
mempromosikan integrase baik dalam kehidupan social sehari-hari, juga dalam
menghadapi peristiwa politik seperti pemilihan kepala daerah.

12

DAFTAR BACAAN

Budiardjo, Miriam, Prof. Dasar-Dasar Ilmu politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2013
Bogdan, Robert dan Steven J Taylor, Metode Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian,
Surabaya: Usaha Nasional, 1993
Creswel, John W, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,
Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Dahl, A. Robert, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 1992
Davidson, Jamie S., Ddavid Henley, Sandra Moniaga (editor), Adat dalam Politik
Indonesia, Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010
Geertz, Clifford (eds), Old Sicieties and New State: The Quest for Modernity in Asia
and Africa, New York, The Free Ress, 1963
Halim, Abd. Dr. MA, Politik Lokal: Pla Aktor dan Alur Dramatikalnya (Perspektif
teori Powercube, Dinamika Politik Era Otonomi Daerah), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008
Isiyama, John T. dan Marijke Breuning, Ilmu Politik:Dalam Paradigma Abad ke21Sebuah Referensi Panduan Tematis (terjemahan dari judul asli: 21st
Century Political Science: A Reference Handbook), Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2013
Keller, Suzanne, Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu dalam
Masyarakat Modern, Jakarta, Rajawali Grafindo Persada, 1995

Marijan, Kacung, Prof. Dr., Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi pascaOrde Baru, Jakarta: Kencana, 2012
Mar’iyah, Chusnul dan Reni Suwarso, dkk, Belajar dari Politik Lokal, Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2014
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta, UI
Press, 1992
Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Karya, 1989

13

Mutalib, Hussin, Islam dan Etnikitas: Perspektif Politik Melayu (terjemahan dari
judul asli: Islam and Ethnicity in Malay Politics), Jakarta: LP3ES, 1996.
Nordholt, Henk Sculte dan Garry van Klinken (editor), Politik Lokal di Indoensia,
Jakarta:KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014
Putra, Fadilla, Devolusi: Politik Desentralisasi sebagai Media Rekonsiliasi
Ketegangan Politik Negara-Rakyat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Rauf, Maswadi, Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis, Jakarta, Dirjen Dikti
Depdiknas, 2000Rondinelli, Dennis A. and G. Shabbir Shema,
Decentralization, Development and Directions, Ch. 10. Sage Publication,
Baverly Hills, California
S, Ubed Abdillah, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas,
Magelang: Indonesiatera, 2002

Sjaf, Sofyan, Politik Etnik: Dinamika Politik Lokal di Kendari, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor, 2014.
Vredenbergt, J., Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1983
Yin, Robert K., Case Study Research: Design and Methods,USA, Sage Publication
Jurnal/ Disertasi/ Hasil Penelitian Lainnya
Ahmad, Saiful, Politik dan Etnik: Studi Kasus Konflik Politik dalam Pemilihan
Gubernur – Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 (disertasi),
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik, Program
Pascasarjana Ilmu Politik, 2012 .
M.D. La Ode, Etnik Cina di Era Reformasi, Studi Kasus Keterlibatan Etnik Cina di
Indonesia dalam Politik di Kota Pontianak dan Singkawang, Kalimantan Barat
1998-2008, Jakarta, FISIP UI (Disertasi, tidak diterbitkan)
S , Wallman, Ethnicity Research in Britain, Current Antropology, Vol. 18, no. 33,
1977
Wawancara
Wawancara dengan Junaidi T Noor, Budayawan Jambi, dalam wawancara penulis
pada Senin,17 Februari 2014

14

Wawancara pada hari Senin,.Hasib Kalimudin Syam adalah ketua Lembaga Adat
Jambi dan ketua perhimpunan adat Melayu Se-Sumatera, 17 Maret 2014
Wawancara dengan Pahmi Sy, Penulis buku Melayu, anggota KPU Provinsi Jambi,
Minggu 16 Maret 2014.
Wawancara dengan Hasan Mabruri, Ketua Tim Pemenangan Effendi Hatta, Rabu 04
Juni 2014

Laporan Konferensi
Proceeding, The First International Conference in Jambi Studies: History, Art &
Culture, Religion and Social Change, Jambi, Jurnal Budaya Jambi Seloko,
2014
Website
http://migas.bisbak.com/1571.html
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/398538-empat-kandidat-calon-walikotadaftar-kpu-kota-jambi
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum-Wali_Kota_Jambi_2013
http://www.jambiekspres.co.id/berita-5615-benhard--effendi-hatta-sosokpemersatu.html
http://radiomjnfm.blogspot.com/2013/03/himjass-siap-menangkan-sum-indramaulana.html

15