Dapatkah Dana Haji Diinvestasikan ke Pem
Dapatkah Dana Haji Diinvestasikan ke Pembangunan Infrastruktur ?
Haji merupakan salah satu rukun islam di mana berarti ibadah ini wajib dilakukan
akan tetapi karena haji ini biayanya mahal maka Islam memberikan keringanan untuk rukun
islam ini yaitu wajib dilakukan apabila mampu. Keutamaan ibadah haji ini sangat banyak,
pahala yang dijanjikan Allah SWT juga sangat besar maka hal ini membuat seluruh umat
muslim di dunia sangat ingin pergi ke Arab Saudi untuk bisa melaksanakan ibadah haji ini.
Banyak orang yang saking inginnya pergi haji, dia sampai berhutang ke bank dengan dana
talangan haji ataupun berhutang ke tempat lain. Hal ini membuktikan bahwa haji memang
sangat penting bagi kebutuhan umat muslim. Rasulullah pun pernah bersabda bahwa ibadah
haji adalah penyempurna dari ibadah – ibadah sebelumnya yang termasuk dalam rukun islam.
Dengan antusiasme yang begitu tinggi terhadap ibadah haji, maka membuat pihak
pengelola jamaah haji di Arab Saudi membatasi kuota jamaah setiap tahun untuk masing –
masing negara. Pada tahun 2017 saja, pemerintah Arab Saudi memberikan jatah yang sangat
besar kepada Indonesia yaitu sebesar 221.000 jamaah. Hal ini dilakukan karena melihat fakta
yang ada bahwa di Indonesia penduduk muslimnya adalah yang terbesar. Jumlah tersebut
sudah bertambah dari jumlah tahun sebelumnya yang berada di sekitar 200.000 jamaah haji.
Semakin meningkatnya antusiasme masyarakat muslim di Indonesia, membuat antrean
keberangkatan haji semakin lama, bahkan di beberapa daerah seperti di Kabupaten Sidenreng
Rappang, Sulawesi Selatan waktu tunggunya mencapai 41 tahun. Lamanya waktu tunggu
tersebut membuat dana – dana haji yang disetorkan sangat banyak dan harus dikelola dengan
baik agar tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak
Adanya wacana tentang penggunaan dana haji untuk pengembangan infrastruktur
menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Kita tahu Undang – Undang yang mengatur
masalah pengelolaan dana haji adalah UU Nomor 34 tahun 2014. Di UU tersebut sudah
dijelaskan secara detail mengenai konsep dan atau aturan – aturan dalam pengelolaan dana
haji oleh BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji). Jika pemerintah sekarang ingin
menggunakan dana haji untuk proyek proyek pengembangan infrastruktur maka seharusnya
pemerintah melihat batasan – batasan apa saja yang ada di Undang – Undang tersebut.
Batasan – batasan diantaranya yaitu pengelolaan dana haji boleh di tassaruf kan dengan
catatan harus dipastikan jenis usaha yang memenuhi prinsip – prinsip syariah, selanjutnya
yaitu pengelolaan dana haji harus memenuhi unsur keamanan dan tidak boleh berkurang
nilainya, lalu pengelolaan investasi dari dana haji memiliki nilai manfaat bagi calon jamaah
haji, dan yang terakhir yaitu investasinya harus likuid karena dana yang dibutuhkan setiap
tahunnya itu besar mengingat setiap tahun jamaah haji Indonesia yang harus berangkat
sebanyak 221.000 orang.
Pemerintah tidak dapat meniru sistem pengelolaan dana haji seperti di Malaysia. Perlu
diketahui bahwasanya Malaysia melalui LTHM nya tidak menginvestasikan dana haji untuk
pembangunan infrastruktur. Mereka menginvestasikan dana hajinya kepada sektor – sektor
yang memang dirasa likuid yang mana dalam hal ini sektor tersebut dalam pengembalian
return modal maupun pembagian keuntungannya cepat sehingga jamaah haji Malaysia setiap
tahun selalu dipastikan berangkat. Apalagi jumlah jamaah haji Malaysia berbeda jauh dengan
Indonesia yaitu hanya 30.200 untuk kuota tahun 2017 sehingga dana yang dibutuhkan untuk
memberangkatkan seluruh jamaahnya lebih sedikit dari Indonesia, industri dan pendapatan
nasionalnya pun juga terbilang lebih baik dari Indonesia sehingga dapat dipastikan
perekonomian Malaysia dapat membantu apabila terdapat resiko – resiko dalam
pengelolaannya.
LTHM ini adalah lembaga independen yang memang ditunjuk pemerintah Malaysia
untuk mengelola dana tabungan hajinya. Pemerintah Malaysia hanya bertugas mengawasi
dan sebagai penjamin keberangkatan jamaah – jamaah hajinya. Berbeda dengan Indonesia,
adanya wacana untuk menggunakan dana haji untuk infrastruktur itu juga karena kepentingan
pemerintah sendiri sehingga dalam hal ini kemungkinan besar pemerintah adalah sebagai
debitur. Jika melihat fakta yang ada saat ini memang pemerintahan bapak Joko Widodo
sedang menggencarkan pembangunan infrastruktur di mana – mana. Untuk pembangunan
infrastruktur yang banyak jumlahnya juga membutuhkan dana yang besar sehingga hal ini
mengharuskan pemerintah menambah jumlah hutang luar negerinya. Menurut data yang
dirilis menteri keuangan, saat ini hutang Indonesia hampir mencapai angka 4000 Trilyun.
Dengan hutang yang menggunung tersebut membuat pemerintah bingung untuk melanjutkan
pembangunan infrastrukturnya sehingga membuat wacana ataupun instruksi untuk
menggunakan dana haji yang selama ini terpendam untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini
sangat bertolak belakang dengan Undang – Undang tentang pengelolaan dana haji di mana di
UU tersebut sudah dijelaskan bahwa pengelolaan dana haji harus dapat memiliki nilai
manfaat khususnya bagi jamaah haji itu sendiri. Jika nanti dana haji malah diinvestasikan
untuk pembangunan proyek – proyek infrastruktur maka nilai manfaat bagi jamaah haji
tersebut tidak ada karena seperti yang kita tahu bahwa return untuk investasi infrastruktur
merupakan return jangka panjang sehingga pemerintah wajib menjamin adanya dana haji
untuk keberangkatan setiap tahunnya. Tetapi dengan melihat kondisi perekonomian sekarang
dengan hutang yang menggunung dan APBN yang defisit kondisi tersebut membuat
pemerintah tidak bisa melakukan penjaminan untuk dana haji setiap tahunnya apalagi dana
yang rencana digunakan untuk pembangunan infrastruktur itu 90% dari total dana haji yang
dihimpun.
Permasalahan lain yaitu tidak adanya kejelasan akad saat transaksi setoran ongkos
haji. Di Indonesia namanya adalah Ongkos Naik Haji (ONH) sedangkan di Malaysia adalah
Tabung Haji sehingga jika dilihat secara makna kata itu berbeda. Akad yang digunakan di
Malaysia jelas bahwa tabungan berarti uang tersebut dapat diputar untuk investasi dan
investasinya juga ke sektor – sektor yang jelas memberikan nilai manfaat yang besar dan juga
cepat. Jika di Indonesia memakai nama Ongkos Naik Haji maka pembayaran setoran hanya
ditujukan untuk biaya naik haji bukan untuk menabung agar bisa naik haji, penggunaan
katanya sudah beda. Di Malaysia saat calon jamaah haji menyetorkan dananya untuk akad
TABUNGAN haji nya maka pihak LTHM sudah menginformasikan bahwasanya nanti uang
yang disetor akan diinvestasikan dan calon jamaah haji juga dapat menentukan ke mana uang
yang disetor tersebut akan diinvestasikan sehingga keridhoan saat akad ini ada sedangkan di
Indonesia tidak ada.
Dengan ketidakjelasan akad akan menimbulkan resiko yang besar. Sekarang mari kita
berhitung sejenak. Semisal dana haji itu 50 trilyun maka 1% nya saja sudah mencapai 500
milyar. Dan 1% itu bisa dibuat “fee” bagi yang berkepentingan yang nanti skemanya bisa
dibuat unvisible oleh perbankan. Kabar buruknya, tahun 2017 total dana haji mencapai lebih
dari 100 Trilyun. Rencana pemerintah menggunakan sekitar 90% dari total dana haji atau
sekitar 90 Trilyun akan dimaling (pinjam tanpa izin pemilik dana karena tidak adanya akad
yang jelas) dengan alasan pembangunan infrastruktur. Ada peluang 1% atau sekitar 900
milyar per tahun yang akan menjadi “fee” bagi yang berkepentingan. Itu jika cuma 1%.
Bagaimana jika lebih dari 1% ? Hal seperti ini juga perlu dipertimbangkan mengingat dana
haji itu adalah dana milik umat dan kembalinya juga harusnya untuk umat mulai dari kembali
dana dan juga kembali manfaat penggunaan dananya. Kita tahu kasus – kasus korupsi selalu
berada di lingkungan pembangunan proyek – proyek infrastruktur sehingga resiko
menggunakan dana umat untuk kepentingan pembangunan infrastruktur juga harus dipikir
matang – matang. Sebelumnya saja tidak di investasikan untuk infrastruktur saja sudah ada
yang korupsi dana haji, apalagi digunakan untuk pembiayaan infrastruktur, tentu resikonya
akan meningkat. Maka dengan ini pemerintah tidak dapat menggunakan dana haji untuk
pembangunan infrastruktur meskipun dengan alasan pengelolaannya akan mengadopsi sistem
yang ada di Malaysia.
Haji merupakan salah satu rukun islam di mana berarti ibadah ini wajib dilakukan
akan tetapi karena haji ini biayanya mahal maka Islam memberikan keringanan untuk rukun
islam ini yaitu wajib dilakukan apabila mampu. Keutamaan ibadah haji ini sangat banyak,
pahala yang dijanjikan Allah SWT juga sangat besar maka hal ini membuat seluruh umat
muslim di dunia sangat ingin pergi ke Arab Saudi untuk bisa melaksanakan ibadah haji ini.
Banyak orang yang saking inginnya pergi haji, dia sampai berhutang ke bank dengan dana
talangan haji ataupun berhutang ke tempat lain. Hal ini membuktikan bahwa haji memang
sangat penting bagi kebutuhan umat muslim. Rasulullah pun pernah bersabda bahwa ibadah
haji adalah penyempurna dari ibadah – ibadah sebelumnya yang termasuk dalam rukun islam.
Dengan antusiasme yang begitu tinggi terhadap ibadah haji, maka membuat pihak
pengelola jamaah haji di Arab Saudi membatasi kuota jamaah setiap tahun untuk masing –
masing negara. Pada tahun 2017 saja, pemerintah Arab Saudi memberikan jatah yang sangat
besar kepada Indonesia yaitu sebesar 221.000 jamaah. Hal ini dilakukan karena melihat fakta
yang ada bahwa di Indonesia penduduk muslimnya adalah yang terbesar. Jumlah tersebut
sudah bertambah dari jumlah tahun sebelumnya yang berada di sekitar 200.000 jamaah haji.
Semakin meningkatnya antusiasme masyarakat muslim di Indonesia, membuat antrean
keberangkatan haji semakin lama, bahkan di beberapa daerah seperti di Kabupaten Sidenreng
Rappang, Sulawesi Selatan waktu tunggunya mencapai 41 tahun. Lamanya waktu tunggu
tersebut membuat dana – dana haji yang disetorkan sangat banyak dan harus dikelola dengan
baik agar tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak
Adanya wacana tentang penggunaan dana haji untuk pengembangan infrastruktur
menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Kita tahu Undang – Undang yang mengatur
masalah pengelolaan dana haji adalah UU Nomor 34 tahun 2014. Di UU tersebut sudah
dijelaskan secara detail mengenai konsep dan atau aturan – aturan dalam pengelolaan dana
haji oleh BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji). Jika pemerintah sekarang ingin
menggunakan dana haji untuk proyek proyek pengembangan infrastruktur maka seharusnya
pemerintah melihat batasan – batasan apa saja yang ada di Undang – Undang tersebut.
Batasan – batasan diantaranya yaitu pengelolaan dana haji boleh di tassaruf kan dengan
catatan harus dipastikan jenis usaha yang memenuhi prinsip – prinsip syariah, selanjutnya
yaitu pengelolaan dana haji harus memenuhi unsur keamanan dan tidak boleh berkurang
nilainya, lalu pengelolaan investasi dari dana haji memiliki nilai manfaat bagi calon jamaah
haji, dan yang terakhir yaitu investasinya harus likuid karena dana yang dibutuhkan setiap
tahunnya itu besar mengingat setiap tahun jamaah haji Indonesia yang harus berangkat
sebanyak 221.000 orang.
Pemerintah tidak dapat meniru sistem pengelolaan dana haji seperti di Malaysia. Perlu
diketahui bahwasanya Malaysia melalui LTHM nya tidak menginvestasikan dana haji untuk
pembangunan infrastruktur. Mereka menginvestasikan dana hajinya kepada sektor – sektor
yang memang dirasa likuid yang mana dalam hal ini sektor tersebut dalam pengembalian
return modal maupun pembagian keuntungannya cepat sehingga jamaah haji Malaysia setiap
tahun selalu dipastikan berangkat. Apalagi jumlah jamaah haji Malaysia berbeda jauh dengan
Indonesia yaitu hanya 30.200 untuk kuota tahun 2017 sehingga dana yang dibutuhkan untuk
memberangkatkan seluruh jamaahnya lebih sedikit dari Indonesia, industri dan pendapatan
nasionalnya pun juga terbilang lebih baik dari Indonesia sehingga dapat dipastikan
perekonomian Malaysia dapat membantu apabila terdapat resiko – resiko dalam
pengelolaannya.
LTHM ini adalah lembaga independen yang memang ditunjuk pemerintah Malaysia
untuk mengelola dana tabungan hajinya. Pemerintah Malaysia hanya bertugas mengawasi
dan sebagai penjamin keberangkatan jamaah – jamaah hajinya. Berbeda dengan Indonesia,
adanya wacana untuk menggunakan dana haji untuk infrastruktur itu juga karena kepentingan
pemerintah sendiri sehingga dalam hal ini kemungkinan besar pemerintah adalah sebagai
debitur. Jika melihat fakta yang ada saat ini memang pemerintahan bapak Joko Widodo
sedang menggencarkan pembangunan infrastruktur di mana – mana. Untuk pembangunan
infrastruktur yang banyak jumlahnya juga membutuhkan dana yang besar sehingga hal ini
mengharuskan pemerintah menambah jumlah hutang luar negerinya. Menurut data yang
dirilis menteri keuangan, saat ini hutang Indonesia hampir mencapai angka 4000 Trilyun.
Dengan hutang yang menggunung tersebut membuat pemerintah bingung untuk melanjutkan
pembangunan infrastrukturnya sehingga membuat wacana ataupun instruksi untuk
menggunakan dana haji yang selama ini terpendam untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini
sangat bertolak belakang dengan Undang – Undang tentang pengelolaan dana haji di mana di
UU tersebut sudah dijelaskan bahwa pengelolaan dana haji harus dapat memiliki nilai
manfaat khususnya bagi jamaah haji itu sendiri. Jika nanti dana haji malah diinvestasikan
untuk pembangunan proyek – proyek infrastruktur maka nilai manfaat bagi jamaah haji
tersebut tidak ada karena seperti yang kita tahu bahwa return untuk investasi infrastruktur
merupakan return jangka panjang sehingga pemerintah wajib menjamin adanya dana haji
untuk keberangkatan setiap tahunnya. Tetapi dengan melihat kondisi perekonomian sekarang
dengan hutang yang menggunung dan APBN yang defisit kondisi tersebut membuat
pemerintah tidak bisa melakukan penjaminan untuk dana haji setiap tahunnya apalagi dana
yang rencana digunakan untuk pembangunan infrastruktur itu 90% dari total dana haji yang
dihimpun.
Permasalahan lain yaitu tidak adanya kejelasan akad saat transaksi setoran ongkos
haji. Di Indonesia namanya adalah Ongkos Naik Haji (ONH) sedangkan di Malaysia adalah
Tabung Haji sehingga jika dilihat secara makna kata itu berbeda. Akad yang digunakan di
Malaysia jelas bahwa tabungan berarti uang tersebut dapat diputar untuk investasi dan
investasinya juga ke sektor – sektor yang jelas memberikan nilai manfaat yang besar dan juga
cepat. Jika di Indonesia memakai nama Ongkos Naik Haji maka pembayaran setoran hanya
ditujukan untuk biaya naik haji bukan untuk menabung agar bisa naik haji, penggunaan
katanya sudah beda. Di Malaysia saat calon jamaah haji menyetorkan dananya untuk akad
TABUNGAN haji nya maka pihak LTHM sudah menginformasikan bahwasanya nanti uang
yang disetor akan diinvestasikan dan calon jamaah haji juga dapat menentukan ke mana uang
yang disetor tersebut akan diinvestasikan sehingga keridhoan saat akad ini ada sedangkan di
Indonesia tidak ada.
Dengan ketidakjelasan akad akan menimbulkan resiko yang besar. Sekarang mari kita
berhitung sejenak. Semisal dana haji itu 50 trilyun maka 1% nya saja sudah mencapai 500
milyar. Dan 1% itu bisa dibuat “fee” bagi yang berkepentingan yang nanti skemanya bisa
dibuat unvisible oleh perbankan. Kabar buruknya, tahun 2017 total dana haji mencapai lebih
dari 100 Trilyun. Rencana pemerintah menggunakan sekitar 90% dari total dana haji atau
sekitar 90 Trilyun akan dimaling (pinjam tanpa izin pemilik dana karena tidak adanya akad
yang jelas) dengan alasan pembangunan infrastruktur. Ada peluang 1% atau sekitar 900
milyar per tahun yang akan menjadi “fee” bagi yang berkepentingan. Itu jika cuma 1%.
Bagaimana jika lebih dari 1% ? Hal seperti ini juga perlu dipertimbangkan mengingat dana
haji itu adalah dana milik umat dan kembalinya juga harusnya untuk umat mulai dari kembali
dana dan juga kembali manfaat penggunaan dananya. Kita tahu kasus – kasus korupsi selalu
berada di lingkungan pembangunan proyek – proyek infrastruktur sehingga resiko
menggunakan dana umat untuk kepentingan pembangunan infrastruktur juga harus dipikir
matang – matang. Sebelumnya saja tidak di investasikan untuk infrastruktur saja sudah ada
yang korupsi dana haji, apalagi digunakan untuk pembiayaan infrastruktur, tentu resikonya
akan meningkat. Maka dengan ini pemerintah tidak dapat menggunakan dana haji untuk
pembangunan infrastruktur meskipun dengan alasan pengelolaannya akan mengadopsi sistem
yang ada di Malaysia.