Peran Pola Asuh Keluarga pada Sikap Radi
Peran Pola Asuh Keluarga pada Sikap Radikalisme Anak
Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sosiologi Keluarga
(Studi Kasus : Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menengah Atas)
Oleh Kelompok 3:
Banu Parmaswanto (4815111)
Fanni Permata Lestari (4815111585)
Julia Ristiana (4815110332)
Rifatra De Leire (4815111572)
Siti Aisyah Bashir (4815111574)
Vina Dewisa (4815111561)
Wahyu Alaska (4815111571)
Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2013
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pola asuh adalah cara, bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang
tua kepada anaknya. Strategi, cara dan bentuk pendidikan yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya
ini sudah tentu dilandasi oleh beberapa tujuan dan harapan orangtua. 1 Peran orang tua dalam proses
mengasuh anak sangat penting bagi kelanjutan perkembangan anak kelak ketika mereka dewasa. Masa
remaja merupakan salah satu tahap perkembangan seorang anak yang berkaitan erat dengan pola asuh
yang dilakukan oleh keluarga, ternasuk lingkungan masyarakat sekitar kepada anak. Masa remaja adalah
suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap. 2 Di samping itu, masa remaja adalah
masa yang rawan oleh pengaruh-pengaruh negatif, seperti narkoba, kriminal, dan kejahatan seks.
Tindakan kriminal, merupakan salah satu pengaruh negatif yang rawan terjadi pada anak ketika masa
remaja, seperti tawuran antar pelajar, pencurian, pencopetan, kenakalan remaja, dll. Tindakan kriminal
seperti itu kami menyebutnya sebagai salah satu bentuk sikap radikalisme anak.
Dalam tulisan ini kami mengambil salah satu sikap radikalisme anak ialah kasus tawuran antar
pelajar yang belakang ini sering terjadi dan diberitakan di media massa. Sepanjang tahun 2013 ini terjadi
112 kasus dengan menewaskan 12 siswa. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak
(Komnas PA) menyebutkan, tawuran pelajar tersebut bahkan sudah menjalar ke daerah. "Total kasus di
seluruh Indonesia mencapai 255 kasus dengan total tewas 20 orang, terbanyak memang di Jakarta," kata
Arist saat dihubungi Minggu (22/12/2013) lalu. Dirinya menyebutkan, peristiwa tersebut tidak bisa
sepenuhnya jadi kesalahan siswa tersebut. Tetapi dipicu sejumlah faktor seperti pergaulan, lingkungan
serta peran pendidik. "Tapi pendidikan di lingkungan keluarga menjadi faktor sangat penting," katanya. 3
1
…, “Konsep Pola Asuh Anak”, Terdapat di http://scrib.com/doc/7569681, Diakses pada hari Kamis, 02 Januari 2014
pukul 13.45 WIB.
2
Prof. Dr. Sofyan S. Willis, M.PD, Remaja dan Masalahnya, (Bandung : Alfabeta, 2010), Hlm. 1.
TRIBUNNEWS.COM, Kasus Tawuran Pelajar Jakarta Terus Meningkat Tahun Ini, Terdapat di
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/12/22/kasus-tawuran-pelajar-jakarta-terus-meningkat-tahun-ini, Diakses
pada hari Senin, 30 Desember 2013 pukul 05.53 WIB.
3
2
Berdasarkan catatan Komnas PA, sepanjang 2013 ini terjadi 255 kasus tawuran pelajar di
Indonesia. Angka tersebut dinilai meningkat dibanding tahun 2012 sebelumnya yakni sebanyak 147 kasus.
Sedangkan, untuk kasus tawuran pelajar di DKI Jakarta sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami
peningkatan dibanding tahun 2012 yakni 98 kasus. Menurut Arist, sikap pelajar yang bertindak kasar
merupakan cermin dari kondisi lingkungan di sekitarnya. 4 Salah satu kondisi lingkungan yang dapat
mempengaruhi seseorang bertindak kasar yakni bagaimana orang tua dalam mengasuh seseorang tersebut.
Senada dengan itu, pakar pendidikan Prof Arief Rachman menilai, meningkatnya kriminalitas dan
radikalisme di lingkungan sekolah oleh para pelajar akhir-akhir ini akibat hilangnya keteladanan di
sekolah, rumah, dan masyarakat di sekitar mereka.5 Berdasarkan data tersebut, kami tertarik untuk
mengkaji bagaimana peran pola asuh keluarga sehingga dapat memunculkan sikap radikalisme anak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana peran
pola asuh keluarga terhadap sikap radikalisme anak?.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini selain bertujuan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Sosiologi Keluarga, bertujuan juga untuk mendeskripsikan bagaimana peran pola asuh keluarga terhadap
sikap radikalisme anak.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penelitian ini dapat dikategorikan sebagai manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara
teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu sosiologi, khususnya ilmu sosiologi keluarga,
lebih khusus lagi terkait dengan peran pola asuh keluarga terkait sikap radikalisme anak. Secara praktis,
penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut:
4
TRIBUNNEWS.COM, Loc.Cit.,
Suara
Pembaharuan,
Radikalisme
Siswa
Karena
Hilangnya
Keteladanan,
Terdapat
di
http://www.suarapembaruan.com/home/radikalisme-siswa-karena-hilangnya-keteladanan/25318, Diakses pada hari Senin,
30 Desember 2013 pukul 06.22 WIB.
5
3
1. Memberikan pemahaman yang tepat dan sebagai bahan masukan bagi Orang tua dalam proses
mengasuh anak.
2. Memberikan pemahaman yang tepat kepada masyarakat bahwa peran pola asuh keluarga sangat
terkait dengan perkembangan anak khususnya sikap radikalisme anak.
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1 Definisi Keluarga
Keluarga merupakan lembaga sosial pertama dan dasar dari semua lembaga-lembaga sosial
lainnya.6 Keluarga berperan membina anggota-anggotanya untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik
6
Ajeng Agrita, Pendekatan Teori Sosiologi dalam Pranata Keluarga (Bahan Ajar Sosiologi Keluarga).
4
maupun budaya dimana ia berada. Dalam konsep sosiologi, keluarga sebagai bagian unit terkecil dari
masyarakat yang memegang peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika unit
sosial terkecil itu baik, maka baiklah masyarakat, bangsa, dan Negara dan sebaliknya, jika keluarga itu
berantakan, maka masyarakat, bangsa dan Negara juga berantakan.
F.J. Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandang sosiologi, keluarga dapat diartika dua
macam, yaitu a) dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan
yang dapat dibandingkan dengan “clan” atau marga; b) dalam arti sempit keluarga meliputi orang tua dan
anak.7 Para penganut teori struktural fungsional melihat masyarakat dengan menganalogikan masyarakat
ibarat organisme biologis. Makhluk hidup yang bisa sehat atau sakit. Demikian halnya juga dalam
keluarga yang terdiri dari anggota-anggota keluarga yang saling berhubungan satu sama lain dan bersifat
fungsional terhadap anggota keluarga lainnya. Bahwa pada umumnya, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan
anak di mana masing-masing anggota keluarga tersebut saling mempengaruhi, saling membutuhkan,
semua mengembangkan hubungan intensif antar anggota keluarga. Jika satu fungsi dalam keluarga
terganggu, maka fungsi lainnya juga terganggu. 8 Hal itu secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa
anggota keluarga (ayah, ibu, dan anak) memiliki fungsi dan peran yang harus dijalankan sesuai dengan
yang semestinya. Contohnya, ibu sebagai pengurus anak dan suami, ayah sebagai kepala keluarga
bertugas sebagai sumber pencari nafkah utama.9
2.2 Peran dan Fungsi Keluarga
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari
oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat
di dalam keluarga adalah sebagai berikut :
1. Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok
sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya.
7
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011), Hlm. 36.
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bina Aksara, 2001) Hlm. 189.
9
Ajeng Agrita, Loc. Cit.,
8
5
2. Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah
tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu
kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, di
samping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
3. Anak-anak sebagai anggota keluarga melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat
perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Selanjutnya, pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut:
1.Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2.Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3.Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
4.Sosialisasi antar anggota keluarga.
5.Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6.Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7.Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8.Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) adalah: fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi
reproduksi, fungsi ekonomi, fungsi proteksi, fungsi penentuan status, dan fungsi pemeliharaan.10
Fungsi afektif ialah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya
terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota
keluarga.
Fungsi sosialisasi ialah fungsi yang mengembangkan proses interaksi dalam keluarga.
Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar
bersosialisasi.
10
Ajeng Agrita, Loc.Cit.,
6
Fungsi reproduksi ialah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan
menambah sumber daya manusia.
Fungsi ekonomi ialah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota
keluarganya, seperti sandang, pangan dan papan.
Fungsi proteksi ialah fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan
merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Pada fungsi proteksi keluarga
juga berfungsi untuk melindungi anggota keluarganya dari ancaman.
Fungsi penentuan status ialah fungsi dimana keluarga akan mewariskan statusnya pada tiaptiap anggota keluarga sehingga mereka memiliki hak-hak istimewa. Hak istimewa misalnya
warisan, status sosial, dll.
Fungsi pemeliharaan ialah fungsi dimana keluarga bertanggung jawab memelihara dan
merawat anggota keluarganya yang sakit, menderita, dan tua. Namun, seiring berjalannya waktu
fungsi pemeliharaan kini lambat laun mulai banyak diambil alih oleh lembaga-lembaga
masyarakat, seperti: RS, Panti Jompo, dll.
Selanjutnya, menurut Erick Erickson ada delapan tahap perkembangan psikologis dalam
kehidupan seseorang individu dan itu semua bergantung pada pengalaman yang diperolehnya dalam
keluarga.11
2.3 Definisi Pola Asuh
Pola asuh adalah cara, bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang dilakukan oleh
orangtua kepada anaknya. Strategi, cara dan bentuk pendidikan yang dilakukan orangtua kepada anakanaknya sudah tentu dilandasi oleh beberapa tujuan dan harapan orangtua. Diharapkan pendidikan yang
diberikan orangtua membuat anak mampu bertahan hidup sesuai alam dan lingkungannya dengan cara
menumbuhkan potensi-potensi yang berupa kekuatan batin, fikiran dan kekuatan jasmani pada diri setiap
anak.12
11
12
Syamsu Yusuf, Ibid., Hlm. 38.
…, Loc.Cit.,
7
Menurut Baumrind (1975), pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control. Hal senada
juga dikemukakan oleh Kohn (1971) yang menyatakan bahwa pola asuh merupakan cara orangtua
berinteraksi dengan anaknya, yang meliputi pemberian aturan, hadiah, hukuman dan pemberian perhatian,
serta tanggapan terhadap perilaku anak. Selanjutnya, menurut Haditono (Anto, dkk. 1998), peranan dan
bantuan orangtua kepada anak akan dapat tercermin dalam pola asuh yang diberikan kepada anaknya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka pola asuh dapat didefinisikan sebagai upaya
pemeliharaan seorang anak, yakni bagaimana orangtua memperlakukan, mendidik, membimbing dan
mendisiplinkan serta melindungi anak, yang meliputi cara orangtua memberikan peraturan, hukuman,
hadiah, kontrol dan komunikasi untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang
diharapkan masyarakat pada umumnya. Dalam mengasuh anak orang tua cenderung menggunakan pola
asuh tertentu. Menurut Dr. Baumrind, terdapat 3 macam pola asuh orang tua yaitu demokratis, otoriter,
dan permisif.13
a. Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak
ragu-ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini bersikap rasional, selalu
mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis
terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua
tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan
pendekatannya kepada anak bersifat hangat.14 Misalnya ketika orang tua menetapkan untuk menutup pintu
kamar mandi ketika sedang mandi dengan diberi penjelasan, mengetuk pintu ketika masuk kamar orang
tua, memberikan penjelasan perbedaan laki-laki dan perempuan, berdiskusi tentang hal yang tidak boleh
dilakukan anak misalnya tidak boleh keluar dari kamar mandi dengan telanjang, sehingga orang tua yang
demokratis akan berkompromi dengan anak.
b. Otoriter
Pola asuh ini sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya
dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan
menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe
13
14
…, Loc. Cit.,
…, Loc. Cit.,
8
ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam
berkomunikasi biasanya bersifat satu arah.15 Misalnya, anaknya harus menutup pintu kamar mandi ketika
mandi tanpa penjelasan, anak laki-laki tidak boleh bermain dengan anak perempuan, melarang anak
bertanya kenapa dia lahir, anak dilarang bertanya tentang lawan jenisnya. Dalam hal ini tidak mengenal
kompromi. Anak suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus memenuhi target yang ditetapkan orang
tua. Anak adalah obyek yang harus dibentuk orang tua yang merasa lebih tahu mana yang terbaik untuk
anak-anaknya.
c. Permisif
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Pola asuh ini memberikan kesempatan
pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak
menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan
yang diberikan oleh mereka, sehingga seringkali disukai oleh anak. 16 Misalnya, anak yang masuk kamar
orang tua tanpa mengetuk pintu dibiarkan, telanjang dari kamar mandi dibiarkan begitu saja tanpa ditegur,
membiarkan anak melihat gambar yang tidak layak untuk anak kecil, degan pertimbangan anak masih
kecil. Sebenarnya, orang tua yang menerapka pola asuh seperti ini hanya tidak ingin berkonflik dengan
anaknya.
Menurut Baumrind terdapat beberapa dampak atau pengaruh pola asuh orang tua terhadap anakanak, yaitu:17
1. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat
mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress,
mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan kooperatif terhadap orang lain.
2. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak
berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan
menarik diri.
3. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak yang agresif, tidak patuh, manja,
kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.
15
…, Loc.Cit.,
…, Loc.Cit.,
17
…, Loc.Cit.,
16
9
Lalu, beberapa peran keluarga dalam pengasuhan anak, yaitu:
1. Terjalinnya hubungan yang harmonis dalam keluarga melalui pola asuh islami sejak dini, yakni:
Pengasuhan dan pemeliharaan anak dimulai sejak pra konsepsi pernikahan. Ada tuntutan
bagi orang tua laki-laki maupun perempuan untuk memilih pasangan yang terbaik sesuai
dengan tuntutan agama. Dengan maksud bahwa orangtua yang baik kemungkinan besar akan
mampu mengasuh anak dengan baik.
Pengasuhan anak saat dalam kandungan, setelah lahir dan sampai masa dewasa dan
seterusnya diberikan dengan memberikan kasih sayang sepenuhnya dan membimbing anak
beragama menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Memberikan pendidikan yang terbaik pada anak, terutama pendidikan agama. Agama yang
ditanamkan pada anak bukan hanya karena agama keturunan, tetapi bagaimana anak mampu
mencapai kesadaran pribadi untuk ber Tuhan sehingga melaksanakan semua peraturan
agama.
2. Menunjukkan kesabaran dan ketulusan hati. Sikap sabar dan ketulusan hati orangtua dapat
mengantarkan kesuksesan anak. Begitupula memupuk kesabaran anak sangan diperlukan
sebagai upaya meningkatkan pengendalian diri. Kesabaran menjadi hal yang penting bagi
manusia sebab bila kesabaran tertanam dalam diri seseorang dengan baik maka seseorang akan
mampu mengendalikan diri dan berbuat yang terbaik untuk kehidupannya.
Selanjutnya, beberapa faktor utama yang mempengaruhi pola asuh, yaitu: 18 (1) Budaya. Orang
tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua merasa bahwa orang tua mereka
berhasil mendidik mereka dengan baik, maka mereka menggunakan teknik yang serupa dalam
mendidik anak asuh mereka. (2) Pendidikan Orang Tua. Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih
banyak dalam mengasuh anak, maka akan mengerti kebutuhan anak. (3) Status Sosial Ekonomi. Orang
tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras/lebih permessif dalam mengasuh anak.
2.4 Sikap Radikalisme Anak
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian bawah,
atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Menurut
18
Theresia S. Indira, Pola Asuh Penuh Cinta, Terdapat di http://www.polaasuhpenuhcinta.com, Diakses pada tanggal 27
Desember 2013 pukul 20.25 WIB.
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam
politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan
cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.19
Anak adalah salah satu bagian dalam keluarga selain ayah dan ibu. Menurut psikologi, anak adalah
periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini
biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah
dasar.20 Berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat
(2) yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Jika dilihat dari pengertian diatas, maka radikalisme yang dilakukan oleh anak adalah suatu sikap
yang dilakukan oleh anak karena suatu keadaan untuk merubah atau untuk mencari apa yang belum bisa
dipenuhi oleh orangtua. Radikalisme bisa dilakukan oleh anak karena pola asuh. Pola asuh adalah salah
satu bentuk sosialisasi terhadap anak. Pola asuh berperan untuk membentuk perilaku anak. Pola asuh juga
merupakan salah satu bentuk pendidikan terhadap anak yang akan menentukan jadi apa dan bagaimana
anak tersebut saat dewasa nanti. Pola asuh yang telah dijelaskan di penjelasan sebelumnya seperti pola
asuh demokratis, otoriter, dan permisif memiliki peluang untuk menjadikan seorang anak bersikap radikal.
2.5 Teori Struktural Fungsional
Pandangan fungsionalis diperkenalkan oleh Durkheim untuk dapat melihat apa yang ada pada
masyarakat beserta masalah sosialnya. Perubahan sosial secara cepat dapat merubah nilai dan norma yang
ada serta struktur sosial pada masyarakat, pada masa ini terjadi ketidakadaan norma atau yang disebut
dengan anomie. Fungsionalisme melihat struktur pada pandangan makro, yang lebih berfokus bagaimana
masyarakat terbentuk dan menjaga tindakan sosial yang ada. Masalah sosial tidak dilihat dari baik dan
buruknya, tetapi lebih kepada bagaimana masalah tersebut mempengaruhi masyarakat dan fungsinya.
Teori struktural fungsional merupakan salah satu teori yang sangat penting dan bermanfaat bagi suatu
kajian masalah sosial.21
Para penganut teori struktural fungsional melihat masyarakat dengan menganalogikan masyarakat
ibarat organisme biologis. Makhluk hidup yang bisa sehat atau sakit. Demikian halnya juga dalam
19
Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Bahasa Indonesia, Hlm. 1151-2.
Terdapat di http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465, Diakses pada hari Kamis, 02
Januari 2014 pukul 13.00 WIB.
21
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern,
terjemahan Nurhadi, (Bantul: Kreasi Wacana, 2012), Hlm. 257.
20
11
keluarga yang terdiri dari anggota-anggota keluarga yang saling berhubungan satu sama lain dan
fungsional terhadap anggota keluarga lainnya. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, masyarakat
harus dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Bahwa
pada umumnya, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak dimana masing-masing anggota keluarga tersebut
saling mempengaruhi, saling membutuhkan, semua mengembangkan hubungan intensif antar anggota
keluarga. Jika satu fungsi dalam keluarga terganggu, maka fungsi lainnya juga terganggu. 22 Hal ini untuk
menghindari disfungsi dalam suatu sistem.
Talcott Parsons salah satu yang mengembangkan teori ini. Parsons membagi menjadi empat
imperatif fungsional bagi sistem yaitu yang disebut dengan AGIL. Agar dapat bertahan hidup, sistem
harus menjalankan keempat fungsi tersebut, antara lain:
1. Adaptasi: sistem harus mengatasi sebuah kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus
beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2. Pancapaian tujuan: sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.
3. Integrasi: sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya.
4. Latensi (pemeliharaan pola): Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui dan
mempertahankan motivasi individu.
Teori struktural fungsionalis dalam keluarga, konsep utama dalam teori ini adalah fungsi,
disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Keluarga memiliki fungsi sebagaimana
dijelaskan oleh Friedman 1998, yaitu:23 fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi
ekonomi, fungsi proteksi, fungsi penentuan status, dan fungsi pemeliharaan. memiliki fungsi reproduksi,
sosialisasi, afeksi, ekonomi, pengawasan, proteksi dan pemberian status. Anggota keluarga harus
menjalankan fungsi serta peranannya masing-masing. Misalnya ibu sebagai pengurus anak dan suami.
ayah sebagai kepala keluarga bertugas sebagai sumber pencari nafkah utama. Apabila salah satu fungsi
terabaikan atau tidak berjalan dengan semestinya, maka akan terjadi disfungsi dalam keluarga.
22
23
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bina Aksara, 2001), Hlm. 189.
Ajeng Agrita, Loc.Cit.,
12
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian
yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang
ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau
tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.24 Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan
bagaimana peran pola asuh keluarga, khususnya orang tua sehingga dapat memunculkan sikap
radikalisme anak. Pada penelitian ini, kami melihat fenomena tindakan kriminalitas seperti tawuran antar
pelajar, pencuan, pencopetan, dan kenakalan remaja yang sering terjadi khususnya di DKI Jakarta.
3.2 Unit Analisis
24
H. Muh. Basirun Al Ummah, Jenis-jenis Penelitian, Terdapat di http://basirunjenispel.blogspot.com/, Diakses
pada hari Selasa, 02 Januari 2014 pukul 04.10 WIB.
13
Unit analisis pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umumnya dan
menyeluruh tentang situasi sosial yang menjadi objek peneliti. Dalam penelitian ini peneliti mengambil
analisis kasus mengenai sikap radikalisme anak yang tercerminkan dalam tindakan kriminalitas dan
kenakalan remaja yang dilakukan oleh anak.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang valid dan objektif, maka dalam penelitian ini digunakan teknik
pengumpulan data melalui pengamatan beberapa kasus tindakan kriminalitas dan kenakalan remaja seperti
kasus tawuran antar pelajar, pencurian, pencopetan, kenakalan remaja, dsb yang terjadi di DKI Jakarta.
Untuk pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan kajian literasi yang menggunakan bahan bacaan
dari buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan judul penelitian. Data yang diperoleh akan dikumpulkan
lalu diolah menjadi data yang sudah terstruktur dan terkonsep sehingga akan mudah untuk membantu
dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, kami mengambil artikel mengenai radikalisme siswa yang
dikemukakan oleh Prof Dr Arief Rachman, seorang Pakar pendidikan.
3.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan dengan permasalahan yang diperoleh peneliti maka dapat diuraikan beberapa
hipotesis penelitian yang diuji oleh peneliti yaitu :
1. Sikap radikalisme anak disebabkan oleh 3 macam pola asuh yang terlalu berlebihan dari orang tua
terhadap anak mereka
2. Sikap radikalisme anak disebabkan oleh kurangnya perhatian orang tua terhadap anak mereka
3. Sikap radikalisme anak terjadi karena pengaruh lingkungan yang tidak baik.
14
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Analisis
4.1.1 Peran Keluarga Dalam Mengatasi Radikalisme Pada Anak
Radikalisme nampaknya telah merasuk ke dalam seluruh elemen masyarakat Indonesia, tak
terkecuali para generasi muda. Paham yang menginginkan perubahan terhadap segala situasi yang ada
dengan cara apapun ini telah merasuk ke dalam diri anak yang dalam konteks ini segala usia mulai dari
anak-anak hingga remaja. Jika dikaitkan dengan anak (anak-anak dan remaja) radikalisme dalam ranah ini
berarti sebuah kekerasan yang dilakukan oleh mereka untuk dapat merubah segala situasi apapun. Dalam
hal ini konteks radikalisme anak yang kami jadikan sebuah contoh kasus adalah maraknya tawuran
pelajar. Nampaknya memang masalah tawuran pelajar erat kaitannya dengan sikap radikalisme anak, dan
hal ini tentunya menjadi masalah serius yang harus di selesaikan bersama-sama. Ini terbukti dengan selalu
meningkatnya kasus tawuran yang ada di DKI Jakarta. Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak
(PA), sepanjang 2013 ini terjadi 255 kasus tawuran pelajar di Indonesia. Angka tersebut dinilai meningkat
dibanding tahun 2012 sebelumnya yakni sebanyak 147 kasus. Sedangkan, untuk kasus tawuran pelajar di
15
DKI Jakarta sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami peningkatan dibanding tahun 2012 yakni 98
kasus.25
Lalu siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap sikap radikal anak yang menelan korban ini,
inilah yang selalu menjadi perbincangan di berbagai media, berbagai pihak saling menyalahkan dan
melakukan pembenaran terhadap diri mereka sendiri mengenai kasus radikalisme anak ini. Inilah yang
membuat sikap radikalisme anak tidak pernah usai, sebenarnya ada hal yang lebih penting di balik
menyalahkan dan membenarkan pihak mereka sendiri,yaitu duduk bersama, saling memikirkan, mencari
solusi dan bahu membahu agar sikap radikalisme anak dapat menghilang, karena mereka inilah yang
nantinya akan memimpin bangsa ini. Bayangkan saja jika negara ini dipimpin oleh mereka yang memiliki
sikap radikal terhadap situasi apapun, maka tak ayal negara ini akan semakin terpuruk.
Memang masalah radikalisme anak haruslah ditangani secara segara oleh seluruh elemen
masyarakat dan seluruh pihak yang ada mulai dari pemerintahan hingga orangtua itu sendiri. Seperti yang
diungkapkan oleh pengamat sosial Wawan H Purwanto :
“Untuk mengatasi aksi tawuran para pelajar perlu sinergi dari semua kalangan.
Dibutuhkan peranan aktif para stakeholder untuk duduk bersama membahas solusi
terbaik demi kebaikan bersama.”26
Dari pernyataan tersebut kami membuat sebuah poin besar, bahwa perlu adanya sebuah kerjasama
dari berbagai pihak agar masalah radikalisme pada anak ini dapat terselesaikan sampai ke akar-akarnya
mulai dari masalah radikalisme yang ringan hingga berat dan menelan korban jiwa. Keluarga, disini
keluarga memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian anak dan masa depan anak-anak
mereka. Hal ini disebabkan karena anak itu hidup dan berkembang bermula dari pergaulan di dalam
keluarga yaitu hubungan antar orangtua dengan anak, ayah dengan ibu, dan hubungan anak dengan
anggota keluarga lain yang tinggal bersama-sama. 27 Karena keluargalah yang merupakan agen sosialisasi
pertama anak, maka tak menutup kemungkinan bahwa radikalisme yang terjadi pada anak disebabkan oleh
lingkungan keluarganya sendiri.
25
TRIBUNNEWS.COM, Kasus Tawuran Pelajar Jakarta Terus Meningkat Tahun Ini, Terdapat di
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/12/22/kasus-tawuran-pelajar-jakarta-terus-meningkat-tahun-ini, Diakses
pada hari Senin, 30 Desember 2013 pukul 05.53 WIB.
26
Terdapat di http://sports.sindonews.com/read/2012/10/11/31/678927/tontonan-televisi-sumber-radikalisme-anak-muda,
Diakses pada hari Kamis, 02 Januari 2013 pukul 07.00 WIB.
27
Sofyan S. William, Remaja dan Masalahnya (Bandung: Alfabeta, 2010), Hlm. 99.
16
Pertama, anak kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orangtua. Kasih sayang adalah hal
mutlak yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Seperti yang di ungkapkan oleh Abraham Maslow dalam
teori hierarki kebutuhan dasar manusia, yang salah satunya mencakup kebutuhan cinta dan rasa memiliki,
kasih sayang, termasuk persahabatan, hubungan sosial dan cinta seksual. 28 Tentu saja jika kebutuhan dasar
ini tidak terpenuhi maka tak menutup kemungkinan orang tersebut akan mengalami “kesakitan”. Tentunya
kasih sayang memanglah sebuah hal penting yang harus di dapatkan oleh anak dalam keluarga, bayangkan
saja jika keluarga sebagai pembentuk kepribadian dan masa depan anak tidak dapat memberikan kasih
sayang seperti apa yang dibutuhkan si anak, maka tak ayal anak akan mencari kasih sayang yang mereka
butuhkan di luar rumah dan di luar lingkungan keluarga mereka. Salah satunya seperti dalam kelompok
pertemanan, namun yang menjadi sebuah pertanyaan besar apakah kepribadian dan nilai-nilai yang ada di
dalam kelompok pertemanan itu baik, tentu jawabannya tidak. Tidak semua nilai dan kepribadian yang ada
di dalam kelompok pertemanan itu baik. Oleh sebab itu ada sebuah poin yang harus di garis bawahi oleh
semua orangtua yang ada bahwa, seratus persen mempercayakan pergaulan anak mereka kepada kelompok
pertemanan adalah sebuah kesalahan. Oleh sebab itu orangtua haruslah tetap mengawasi pergaulan anakanak mereka karena tidak menutup kemungkinan tertanam nilai-nilai menyimpang yang dapat merusak
kepribadian anak mereka sendiri.
Kedua, mempercayakan pembentu sebagai pendidik anak. Layaknya sebua keluarga kaya yang
sibuk, dimana ayah dan ibu selalu sibuk bekerja, sehingga kurangnya pendidikan moral yang mereka
berikan kepada anak mereka. Pembantu rumah tangga (PRT) lah yang diberikan tugas untuk mengurus
segala urusan anak mereka termasuk pendidikan moral. Inilah yang harusnya tidaklah terjadi, dimana
orangtua sibuk bekerja dengan berbagai alasan seperti untuk memenuhi segala kebutuhan dan permintaan
anak mereka. Dan banyak orangtua yang mengatakan bahwa mereka bekerja demi anak dan untuk anak.
Inilah yang salah dari pemikiran orangtua tersebut. Kurangnya perhatian dan pendidikan moral yang
diberikan akan membuat anak mereka bebas bergaul dengan siapa saja tanpa adanya perhatian dan
pengawasan dari orangtua dan hal itu tentunya akan membawa benih-benih sikap radikalisme dalam diri si
anak. Seperti melakukan berbagai kenakalan-kenakalan, tawuran, hingga pesta narkoba di rumahnya
sendiri, karena kesibukan orangtua dan ketidakpedulian orangtua.
Ketiga, lemahnya keadaan ekonomi sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan anak. Anak pada
umumnya memang selalu ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan, tanpa memperdulikan
kemampuan ekonomi orangtua mereka. Memang itu semua tidaklah sepenuhnya salah, tuntutan dari anak
28
Ibid., Hlm. 102.
17
tersebut disebabkan oleh majunya industri dan teknologi yang hasilnya telah menjalar ke kota hingga ke
desa-desa.29 Anak selalu menuntut orangtuanya untuk dapat memberikan barang-barang mewah yang
mereka inginkan mulai dari pakaian, televisi, hingga kendaraan bermotor. Dan bila orangtua mereka tidak
dapat memenuhi apa yang mereka butuhkan maka akan timbul kenakalan dan sikap radikalisme pada diri
anak tersebut. Misalnya saja pencurian, bahkan yang lebih parahnya lagi mereka rela membunuh untuk
mendapatkan barang yang mereka inginkan. Dan yang terakhir adalah rela membunuh diri sendiri karena
tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Rela membunuh diri sendiri tersebut terjadi karena;
Pertama, adanya kekecewaan yang berakumulasi karena kebutuhan-kebutuhannya tak terpenuhi selama
ini, berhubung orangtua lemah kondisi ekonominya dan mengabaikan permintaan anak. Disamping itu
juga terjadi orangtua suka menekan anak dan remaja secara emosional.30 Memang tidaklah salah jika
orangtua tidak menuruti permintaan anak mereka karena keterbatasan ekonomi, namun disini orangtua
seharusnya dapat memberikan pemahaman kepada anak mereka, mengapa keinginan anak mereka tidak
dapat orangtua penuhi, dan buka dengan memberikan tekanan emosional seperti mencaci maki anak, dsb.
Dengan adanya pemberian pemahaman ini maka si anak akan tahu dan mengerti mengapa
keinginan mereka tidak dapat terpenuhi. Kedua, banyak berita dan tontonan di TV yang menggambarkan
begitu mudah mengakhiri hidup dengan bunuh diri.31 Tentunya lagi-lagi orangtua harus dapat mengawasi
apa yang anak mereka lakukan mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal besar. Banyak orangtua yang
menganggap bahwa tayangan televisi tidak akan memberikan dampak negatif bagi si anak, namun yang
sebenarnya pandangan tersebut salah karena tayangan televisi memberikan pengaruh yang cukup besar
bagi si anak. Ketiga, kasus bunuh diri ditentukan pula oleh kepribadian anak yang kurang terbuka terhadap
orangtua dan orang lain. Dia menelan sendiri kesedihan, kekecewaan, dan kesalahannya dari tekanan
orangtua dan orang lain. Perasaan tersebut berakumulasi dan bertumpuk, sehingga tidak dapat lagi
dipecahkannya, kemudian dia mencari jalan pintas yaitu bunuh diri. 32 Untuk meminimalisir adanya kasus
radikalisme yang dalam hal ini adalah bunuh diri, orangtua selain harus dapat memberikan pemahaman
mengenai apa yang menyebabkan keinginan sang anak tidak dapat terpenuhi, mengawasi tayangan televisi
yang ditonton oleh anak, dan juga orang ta harus mendekatkan dirinya kepada si anak, bersikap layaknya
teman bagi si anak.
29
Ibid.,
Ibid., Hlm. 103.
31
Ibid., Hlm. 103
32
Ibid.
30
18
Keempat, Pola asuh. Banyak orangtua mengabaikan pola asuh mereka terhadap anak mereka,
namun sebenarnya pola asuh orangtua lah yang dominan mempengaruhi sikap radikalisme pada diri anak.
Pola asuh orangtua sangat menentukan apa yang anak mereka lakukan kedepannya dan juga menentukan
kepribadian anak-anak mereka. (1) pola asuh permisif. Pola asuh ini memberikan kesempatan pada
anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak
menegur / memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang
diberikan oleh mereka, sehingga seringkali disukai oleh anak. 33 Dengan menerapkan pola asuh seperti ini
orangtua yang secara tidak langsung bersikap masa bodoh terhadap anak mereka dan membiarkan apa saja
yang anaknya lakukan, tanpa adanya pengawasan akan mempercepat anak mereka jatuh ke dalam jurang
radikalisme, karena dengan sikap orangtua yang masa bodoh ini dan selalu memberikan kelonggaran
dalam hal apapun terhadap si anak akan membuat pemaknaan lain dari si anak, dimana anak akan merasa
bahwa tindakan apapun yang mereka lakukan adalah sebuah kebenaran karena tidak adanya teguran dari
orangtua, sekalipun tindakan itu negatif dan salah. Sehingga pada akhirnya si anak akan merasa bahwa
yang mereka lakukan adalah benar, termasuk melanggar peraturan dengan skala kecil hingga skala besar
seperti mengabaikan peraturan yang ada di lingkungan rumah, sekolah, hingga masyarakat. Pola asuh
permisif dan sikap masa bodoh dari orangtua tentunya membawa dampak negatif yang luas, tidak hanya
berdampak terhadap diri anak itu sendiri, namun juga berdampak terhadap orangtua, dan masyarakat
seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya. Pola asuh permisif dan sikap masa bodoh orangtua yang
menciptakan anak dengan berbagai masalah pelanggaran, dan sikap radikalismenya. Tentunya sikap
radikalisme anak yang tercipta dari pola asuh permisif berbenturan dengan norma yang ada di masyarakat,
karena masyarakat itu sendiri telah memiliki sebuah konsensus bersama yang harus di patuhi oleh semua
masyarakat yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, banyaknya kasus kenakalan dan kriminalitas yang
pada generasi muda (anak) tidak dipungkiri juga terjadi karena pola asuh permisif dari orangtua yang
membiarkan anaknya bebas melakukan apapun tanpa adanya arahan dari mereka, sehingga menimbulkan
benih-benih sikap radikalisme pada diri anak yang menyebabkan mereka tidak menghargai konsensus
bersama yang telah dibentuk oleh masyarakat yang dalam hal ini adalah nilai dan norma, sehingga mereka
tanpa bersalah melakukan tindakan yang melanggar nilai dan norma yang ada di masyarakat tersebut
seperti tawuran, mencuri, dsb.
33
…, Loc. Cit.,
19
(2) pola asuh otoriter. Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan
menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe
ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam
berkomunikasi biasanya bersifat satu arah.34 Banyak orang tua yang memiliki keyakinan bahwa dengan
menerapkan pola asuh otoriter maka sang anak akan terhindar dari sikap radikalisme, kenakalan dan si
anak akan patuh sepenuhnya terhadap peraturan yang ada, baik peraturan yang ada di rumah, sekolah
hingga masyarakat dan membuat anak tunduk terhadap apa yang orangtua inginkan. Namun pandangan
tersebut tidaklah sepenuhnya benar, karena di rumah mungkin benar si anak tunduk terhadap orangtua dan
patuh terhadap peraturan yang ada, namun di luar rumah tidak menutup kemungkinan anak akan mencoba
hal-hal baru yang tidak bisa mereka lakukan di rumah karena di larang oleh orangtua mereka. Selain itu
sifat dari fase remaja yang terjadi pada diri si anak akan mendorong si anak untuk mencoba hal-hal baru,
yang mungkin saja hal-hal tersebut bertentangan dengan konsensus yang ada di masyarakat dan prediksi
orangtua yang ada di rumah mengenai kepribadian anaknya. Maka tak menutup kemungkinan anak akan
manis di dalam rumah, tetapi sangat liar saat di luar rumah. Seperti banyaknya kasus kenakalan yang
terjadi, yang kebanyakan orangtua mengatakan ketidakpercayaan mereka bahwa anaknya melakukan tidak
kriminal karena anaknya cenderung bersikap baik dan manis jika ada di dalam rumah.
(3) pola asuh demokratis. Pola asuh ini adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak,
akan tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini bersikap rasional,
selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap
realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak.
Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan
dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.35 Dari pengertian di atas, dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa secara tidak langsung pola asuh demokratis adalah pola asuh yang tepat untuk
menghindarkan anak dari sikap radikalisme, karena anak tidak dikekang untuk menuruti apa yang
diinginkan oleh orangtua. Namun si anak diberikan sebuah pilihan untuk melakukan suatu tindakan
dengan pendekatan dan arahan dari orang tua, sehingga anak tersebut tahu konsekuensi apa yang akan di
dapat oleh mereka jika mereka melakukan suatu tindakan. Namun tidak berarti bahwa anak yang diasuh
34
35
…, Loc. Cit.,
20
dengan pola demokratis dapat terhindar dari sikap radikalisme, karena anak cenderung ingin mencoba halhal baru yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya, dan juga anak bisa saja radikal jika mengenal
lingkungan dengan norma yang berbenturan dengan norma yang selama ini mereka anut di rumah. Namun
jika dibandingkan dengan pola asuh permisif dan otoriter, anak yang diasuh dengan pola demokratis akan
lebih menerapkan nilai yang telah di tanamkan oleh orangtua mereka dirumah.
4.1.2 Teori Struktural Fungsional Memandang Radikalisme Pada Anak
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Durkheim dalam pandangan fungsionalisnya
menganalogikan masyarakat ibarat organisme biologis, jika teori ini dikaitkan dengan sebuah keluarga
memiliki sebuah makna bahwa di dalam keluarga terdapat fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh setiap
anggota keluarga mulai dari ayah hingga anak, dan jika fungsi tersebut dapat dijalankan sebagaimana
mestinya maka akan tercipta sebuah keluarga seperti yang seharusnya, namun jika ada salah satu anggota
keluarga yang tidak menjalankan fungsinya maka akan terdapat kekacauan di dalam keluarga tersebut.
Menurut Friedman keluarga memiliki beberapa fungsi dan peran yang harus dijalankan oleh
keluarga tersebut, dan jika salah satu fungsi dan peran tersebut tidak dijalankan maka akan menciptakan
sebuah ketidakberfungsian keluarga. Namun disini penulis hanya akan membahas fungsi dan peran
keluarga menurut Friedman yang berkaitan dengan radikalisme pada anak. Adapun fungsi-fungsi tersebut,
yaitu; Pertama, fungsi afektif Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan
keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar
anggota kelurga.36 Jika fungsi ini dikaitkan dengan radikalisme yang terjadi pada anak, maka tidak
menutup kemungkinan jika fungsi ini tidak dapat dijalankan dengan baik oleh keluarga maka anak akan
menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak, karena orang tua tidak memberikan kasih sayang
seperti apa yang dibutuhkan oleh anak maka tak ayal anak akan mencari kasih sayang yang mereka
butuhkan di luar rumah. Salah satunya seperti dalam kelompok pertemanan, namun yang perlu diketahui
bersama bahwa nilai yang ada di dalam kelompok pertemanan tidaklah seluruhnya baik, dan kasih sayang,
sikap saling mendukung yang kelompok pertemanan berikan kepada si anak berbeda dengan kasih sayang,
dan sikap saling mendukung yang diberikan oleh orang tua. Sebagai analogi, jika anak berada dalam
kelompok pertemanan yang kurang baik dan cenderung negatif maka nilai yang kelompok tersebut anut
berbeda denga nilai yang menjadi konsensus bersama di masyarakat. Selain itu kasih sayang dan sikap
36
Ajeng Agrita., Loc.Cit.,
21
saling mendukung yang diberikan kelompok pertemanan dengan keluarga terhadap anak juga berbeda, jika
kelompok pertemanan tersebut memberikan instruksi untuk melakukan tindakan radikalisme yang sudah
pasti bertentangan dengan konsensus yang ada di masyarakat dan si anak menuruti maka si anak
mendapatkan sebuah pujian, kasih sayang dan dukungan dari kelompok pertemanannya tersebut, tentunya
hal ini berbeda dengan kasih sayang dan dukungan yang diberikan oleh orangtua. Dimana orangtua akan
memberikan kasih sayang dan dukungannya jika si anak berbuat baik dan positif bukan berbuat buruk dan
negatif. Tentunya kasih sayang, sikap saling mendukung yang terdapat di dalam fungsi afeksi keluarga
haruslah dijalankan dengan sepenuhnya sesuai dengan porsinya agar anak tidak mencari kasih sayang di
luar keluarga, yang mungkin akan menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak.
Kedua, fungsi sosialisasi. Adalah fungsi mengembangkan dan sebagai tempat melatih anak untuk
berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah 37.
Tentunya masa depan seorang anak sejak dini ditentukan oleh keluarga, karena keluarga lah agen
sosialisasi pertama bagi diri anak, keluarga menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
sebuah masyarakat, fungsi sosialisasi ini mungkin dianggap remeh dan kurang penting oleh kebanyakan
orangtua namun sebenarnya fungsi sosialisasi amat berguna bagi si anak, dimana jika ter-sosialisasi nilai
dan norma seperti apa yang berlaku di masyarakat maka anak akan terhindar dari sikap dan tindakan
radikalisme. Anak akan berpikir dua kali sebelum melakukan sebuah tindakan, apakah tindakan itu benar
dan ataukah tindakan itu salah, dan efek apa yang akan ditimbulkan dari tindakan yang Ia buat. Banyak
kasus radikalisme anak terjadi karena keluarga tidak menjalankan fungsi sosialisasinya dengan baik,
sehingga anak cenderung dengan mudah mengambil sebuah keputusan dan tindakan tanpa mengetahui
efek dari tindakan tersebut.
Ketiga, fungsi ekonomi. Fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya
seperti sandang, pangan dan papan38. Fungsi ekonomi ini cukup memiliki kaitan yang erat dengan
radikalisme anak dan bisa menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak. Anak terutama pada fase
remaja penuh dengan keinginan-keinginan, contohnya saja anak menginginkan sebuah barang dan
memintanya kepada orangtua untuk dibelikan, namun karena keterbatasan ekonomi keinginan anak
tersebut tidak bersambut. Hal demikian dapat pula menimbulkan benih-benih radikalisme pada diri anak
terlebih lagi dengan kondisi anak yang berada dalam fase remaja, dan mulai mengenal pergaulan dengan
lingkungan diluar keluarga. Tentunya hal ini bisa membuat si anak melakukan apapun demi mendapatkan
barang yang mereka inginkan, seperti pencurian, perampokan, dsb seperti yang terdapat pada berbagai
37
38
Dodiet Aditya, Konsep Dasar Keluarga, (Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakart, 2012). Hlm. 8.
Ajeng Anggrita., Loc.Cit.,
22
media massa yang ada. Tentunya hal ini dapat dihindari jika orang tua memberikan pemahaman mengapa
orang tua tidak dapat merealisasikan keinginan si anak, dengan itu si anak akan mengerti dan tindakan
radikalisme anak akan terminimalisir.
Keempat, fungsi proteksi. fungsi proteksi dalam keluarga adalah untuk mencegah terjadinya
masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Dan keluarga juga
berfungsi untuk melindungi anggota keluarganya dari ancaman 39. Jika fungsi proteksi ini dikaitkan dengan
sikap radikalisme pada anak, maka orang tua harus memberikan pengawasan yang optimal kepada anak
mereka agar tingkah laku mereka dapat dikontrol oleh orangtua dan tidak menimbulkan permasalahan. Di
sini pengawasan oleh orang tua hendaknya dilakukan sejak dini karena saat usia anak-anak seorang anak
memerlukan bimbingan dan figur teladan sehingga dapat mereka aplikasikan pada dirinya, jika
pengawasan terhadap anak pada usia anak-anak luput dari orangtua maka tak ayal remaja dan dewasa
nanti si anak akan bertindak semaunya dan melanggar norma yang ada di masyarakat. Di sini proteksi
tidaklah harus otoriter cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau
melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak.
Banyak orang tua yang memiliki keyakinan bahwa dengan menerapkan pola asuh dan pengawasan yang
otoriter maka sang anak akan terhindar dari sikap radikalisme, kenakalan dan si anak akan patuh
sepenuhnya terhadap peraturan yang ada, baik peraturan yang ada di rumah, sekolah hingga masyarakat
dan membuat anak tunduk terhadap apa yang orangtua inginkan. Namun pandangan tersebut tidaklah
sepenuhnya benar, karena di rumah mungkin benar si anak tunduk terhadap orangtua dan patuh terhadap
peraturan yang ada, namun di luar rumah tidak menutup kemungkinan anak akan mencoba hal-hal baru
yang tidak bisa mereka lakukan di rumah karena di larang oleh orangtua mereka. Selain itu sifat dari fase
remaja yang terjadi pada diri si anak akan mendorong si anak untuk mencoba hal-hal baru, yang mungkin
saja hal-hal tersebut bertentangan dengan konsensus yang ada di masyarakat dan prediksi orangtua yang
ada di rumah mengenai kepribadian anaknya. Maka tak menutup kemungkinan anak akan manis di dalam
rumah, tetapi sangat liar saat di luar rumah. Seperti banyaknya kasus kenakalan yang terjadi, yang
kebanyakan orangtua mengatakan ketidakpercayaan mereka bahwa anaknya melakukan tidak kriminal
karena anaknya cenderung bersikap baik dan manis jika ada di dalam rumah.
39
Ajeng Anggrita., Loc.Cit.,
23
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Radikalisme nampaknya telah merasuk kedalam seluruh elemen masyarakat Indonesia, tidak
terkecuali para generasi muda. Paham yang menginginkan perubahan terhadap segala situasi yang ada
dengan cara apapun ini telah merasuk ke dalam diri anak yang dalam konteks ini segala usia mulai dari
anak-anak hingga remaja. Radikalisme yang dilakukan oleh anak adalah suatu sikap yang dilakukan oleh
anak karena suatu keadaan untuk merubah atau untuk mencari apa yang belum bias dipenuhi oleh
orangtua. Radikalisme bias dilakukan oleh anak karena pola asuh. Pola asuh adalah salah satu bentuk
sosialisasi terhadap anak. Pola asuh berperan untuk membentuk perilaku anak. Pola asuh juga merupakan
salah satu bentuk pendidikan terhadap anak yang akan menentukan menjadi apa dan bagaimana anak
tersebut saat dewasa nanti. Dalam hal ini konteks radikalismeanak yang kami jadikansebuahcontohkasus
adalah maraknya tawuran pelajar.
Nampaknya memang masalah tawuran pelajar erat kaitannya dengan sikap radikalisme anak, dan
hal ini tentunya menjadi masalah serius yang harus di selesaikan bersama-sama. Memang masalah
radi
Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sosiologi Keluarga
(Studi Kasus : Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menengah Atas)
Oleh Kelompok 3:
Banu Parmaswanto (4815111)
Fanni Permata Lestari (4815111585)
Julia Ristiana (4815110332)
Rifatra De Leire (4815111572)
Siti Aisyah Bashir (4815111574)
Vina Dewisa (4815111561)
Wahyu Alaska (4815111571)
Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2013
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pola asuh adalah cara, bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang
tua kepada anaknya. Strategi, cara dan bentuk pendidikan yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya
ini sudah tentu dilandasi oleh beberapa tujuan dan harapan orangtua. 1 Peran orang tua dalam proses
mengasuh anak sangat penting bagi kelanjutan perkembangan anak kelak ketika mereka dewasa. Masa
remaja merupakan salah satu tahap perkembangan seorang anak yang berkaitan erat dengan pola asuh
yang dilakukan oleh keluarga, ternasuk lingkungan masyarakat sekitar kepada anak. Masa remaja adalah
suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap. 2 Di samping itu, masa remaja adalah
masa yang rawan oleh pengaruh-pengaruh negatif, seperti narkoba, kriminal, dan kejahatan seks.
Tindakan kriminal, merupakan salah satu pengaruh negatif yang rawan terjadi pada anak ketika masa
remaja, seperti tawuran antar pelajar, pencurian, pencopetan, kenakalan remaja, dll. Tindakan kriminal
seperti itu kami menyebutnya sebagai salah satu bentuk sikap radikalisme anak.
Dalam tulisan ini kami mengambil salah satu sikap radikalisme anak ialah kasus tawuran antar
pelajar yang belakang ini sering terjadi dan diberitakan di media massa. Sepanjang tahun 2013 ini terjadi
112 kasus dengan menewaskan 12 siswa. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak
(Komnas PA) menyebutkan, tawuran pelajar tersebut bahkan sudah menjalar ke daerah. "Total kasus di
seluruh Indonesia mencapai 255 kasus dengan total tewas 20 orang, terbanyak memang di Jakarta," kata
Arist saat dihubungi Minggu (22/12/2013) lalu. Dirinya menyebutkan, peristiwa tersebut tidak bisa
sepenuhnya jadi kesalahan siswa tersebut. Tetapi dipicu sejumlah faktor seperti pergaulan, lingkungan
serta peran pendidik. "Tapi pendidikan di lingkungan keluarga menjadi faktor sangat penting," katanya. 3
1
…, “Konsep Pola Asuh Anak”, Terdapat di http://scrib.com/doc/7569681, Diakses pada hari Kamis, 02 Januari 2014
pukul 13.45 WIB.
2
Prof. Dr. Sofyan S. Willis, M.PD, Remaja dan Masalahnya, (Bandung : Alfabeta, 2010), Hlm. 1.
TRIBUNNEWS.COM, Kasus Tawuran Pelajar Jakarta Terus Meningkat Tahun Ini, Terdapat di
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/12/22/kasus-tawuran-pelajar-jakarta-terus-meningkat-tahun-ini, Diakses
pada hari Senin, 30 Desember 2013 pukul 05.53 WIB.
3
2
Berdasarkan catatan Komnas PA, sepanjang 2013 ini terjadi 255 kasus tawuran pelajar di
Indonesia. Angka tersebut dinilai meningkat dibanding tahun 2012 sebelumnya yakni sebanyak 147 kasus.
Sedangkan, untuk kasus tawuran pelajar di DKI Jakarta sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami
peningkatan dibanding tahun 2012 yakni 98 kasus. Menurut Arist, sikap pelajar yang bertindak kasar
merupakan cermin dari kondisi lingkungan di sekitarnya. 4 Salah satu kondisi lingkungan yang dapat
mempengaruhi seseorang bertindak kasar yakni bagaimana orang tua dalam mengasuh seseorang tersebut.
Senada dengan itu, pakar pendidikan Prof Arief Rachman menilai, meningkatnya kriminalitas dan
radikalisme di lingkungan sekolah oleh para pelajar akhir-akhir ini akibat hilangnya keteladanan di
sekolah, rumah, dan masyarakat di sekitar mereka.5 Berdasarkan data tersebut, kami tertarik untuk
mengkaji bagaimana peran pola asuh keluarga sehingga dapat memunculkan sikap radikalisme anak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana peran
pola asuh keluarga terhadap sikap radikalisme anak?.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini selain bertujuan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Sosiologi Keluarga, bertujuan juga untuk mendeskripsikan bagaimana peran pola asuh keluarga terhadap
sikap radikalisme anak.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penelitian ini dapat dikategorikan sebagai manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara
teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu sosiologi, khususnya ilmu sosiologi keluarga,
lebih khusus lagi terkait dengan peran pola asuh keluarga terkait sikap radikalisme anak. Secara praktis,
penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut:
4
TRIBUNNEWS.COM, Loc.Cit.,
Suara
Pembaharuan,
Radikalisme
Siswa
Karena
Hilangnya
Keteladanan,
Terdapat
di
http://www.suarapembaruan.com/home/radikalisme-siswa-karena-hilangnya-keteladanan/25318, Diakses pada hari Senin,
30 Desember 2013 pukul 06.22 WIB.
5
3
1. Memberikan pemahaman yang tepat dan sebagai bahan masukan bagi Orang tua dalam proses
mengasuh anak.
2. Memberikan pemahaman yang tepat kepada masyarakat bahwa peran pola asuh keluarga sangat
terkait dengan perkembangan anak khususnya sikap radikalisme anak.
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1 Definisi Keluarga
Keluarga merupakan lembaga sosial pertama dan dasar dari semua lembaga-lembaga sosial
lainnya.6 Keluarga berperan membina anggota-anggotanya untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik
6
Ajeng Agrita, Pendekatan Teori Sosiologi dalam Pranata Keluarga (Bahan Ajar Sosiologi Keluarga).
4
maupun budaya dimana ia berada. Dalam konsep sosiologi, keluarga sebagai bagian unit terkecil dari
masyarakat yang memegang peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika unit
sosial terkecil itu baik, maka baiklah masyarakat, bangsa, dan Negara dan sebaliknya, jika keluarga itu
berantakan, maka masyarakat, bangsa dan Negara juga berantakan.
F.J. Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandang sosiologi, keluarga dapat diartika dua
macam, yaitu a) dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan
yang dapat dibandingkan dengan “clan” atau marga; b) dalam arti sempit keluarga meliputi orang tua dan
anak.7 Para penganut teori struktural fungsional melihat masyarakat dengan menganalogikan masyarakat
ibarat organisme biologis. Makhluk hidup yang bisa sehat atau sakit. Demikian halnya juga dalam
keluarga yang terdiri dari anggota-anggota keluarga yang saling berhubungan satu sama lain dan bersifat
fungsional terhadap anggota keluarga lainnya. Bahwa pada umumnya, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan
anak di mana masing-masing anggota keluarga tersebut saling mempengaruhi, saling membutuhkan,
semua mengembangkan hubungan intensif antar anggota keluarga. Jika satu fungsi dalam keluarga
terganggu, maka fungsi lainnya juga terganggu. 8 Hal itu secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa
anggota keluarga (ayah, ibu, dan anak) memiliki fungsi dan peran yang harus dijalankan sesuai dengan
yang semestinya. Contohnya, ibu sebagai pengurus anak dan suami, ayah sebagai kepala keluarga
bertugas sebagai sumber pencari nafkah utama.9
2.2 Peran dan Fungsi Keluarga
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari
oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat
di dalam keluarga adalah sebagai berikut :
1. Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok
sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya.
7
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011), Hlm. 36.
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bina Aksara, 2001) Hlm. 189.
9
Ajeng Agrita, Loc. Cit.,
8
5
2. Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah
tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu
kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, di
samping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
3. Anak-anak sebagai anggota keluarga melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat
perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Selanjutnya, pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut:
1.Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2.Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3.Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
4.Sosialisasi antar anggota keluarga.
5.Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6.Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7.Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8.Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) adalah: fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi
reproduksi, fungsi ekonomi, fungsi proteksi, fungsi penentuan status, dan fungsi pemeliharaan.10
Fungsi afektif ialah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya
terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota
keluarga.
Fungsi sosialisasi ialah fungsi yang mengembangkan proses interaksi dalam keluarga.
Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar
bersosialisasi.
10
Ajeng Agrita, Loc.Cit.,
6
Fungsi reproduksi ialah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan
menambah sumber daya manusia.
Fungsi ekonomi ialah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota
keluarganya, seperti sandang, pangan dan papan.
Fungsi proteksi ialah fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan
merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Pada fungsi proteksi keluarga
juga berfungsi untuk melindungi anggota keluarganya dari ancaman.
Fungsi penentuan status ialah fungsi dimana keluarga akan mewariskan statusnya pada tiaptiap anggota keluarga sehingga mereka memiliki hak-hak istimewa. Hak istimewa misalnya
warisan, status sosial, dll.
Fungsi pemeliharaan ialah fungsi dimana keluarga bertanggung jawab memelihara dan
merawat anggota keluarganya yang sakit, menderita, dan tua. Namun, seiring berjalannya waktu
fungsi pemeliharaan kini lambat laun mulai banyak diambil alih oleh lembaga-lembaga
masyarakat, seperti: RS, Panti Jompo, dll.
Selanjutnya, menurut Erick Erickson ada delapan tahap perkembangan psikologis dalam
kehidupan seseorang individu dan itu semua bergantung pada pengalaman yang diperolehnya dalam
keluarga.11
2.3 Definisi Pola Asuh
Pola asuh adalah cara, bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang dilakukan oleh
orangtua kepada anaknya. Strategi, cara dan bentuk pendidikan yang dilakukan orangtua kepada anakanaknya sudah tentu dilandasi oleh beberapa tujuan dan harapan orangtua. Diharapkan pendidikan yang
diberikan orangtua membuat anak mampu bertahan hidup sesuai alam dan lingkungannya dengan cara
menumbuhkan potensi-potensi yang berupa kekuatan batin, fikiran dan kekuatan jasmani pada diri setiap
anak.12
11
12
Syamsu Yusuf, Ibid., Hlm. 38.
…, Loc.Cit.,
7
Menurut Baumrind (1975), pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control. Hal senada
juga dikemukakan oleh Kohn (1971) yang menyatakan bahwa pola asuh merupakan cara orangtua
berinteraksi dengan anaknya, yang meliputi pemberian aturan, hadiah, hukuman dan pemberian perhatian,
serta tanggapan terhadap perilaku anak. Selanjutnya, menurut Haditono (Anto, dkk. 1998), peranan dan
bantuan orangtua kepada anak akan dapat tercermin dalam pola asuh yang diberikan kepada anaknya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka pola asuh dapat didefinisikan sebagai upaya
pemeliharaan seorang anak, yakni bagaimana orangtua memperlakukan, mendidik, membimbing dan
mendisiplinkan serta melindungi anak, yang meliputi cara orangtua memberikan peraturan, hukuman,
hadiah, kontrol dan komunikasi untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang
diharapkan masyarakat pada umumnya. Dalam mengasuh anak orang tua cenderung menggunakan pola
asuh tertentu. Menurut Dr. Baumrind, terdapat 3 macam pola asuh orang tua yaitu demokratis, otoriter,
dan permisif.13
a. Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak
ragu-ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini bersikap rasional, selalu
mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis
terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua
tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan
pendekatannya kepada anak bersifat hangat.14 Misalnya ketika orang tua menetapkan untuk menutup pintu
kamar mandi ketika sedang mandi dengan diberi penjelasan, mengetuk pintu ketika masuk kamar orang
tua, memberikan penjelasan perbedaan laki-laki dan perempuan, berdiskusi tentang hal yang tidak boleh
dilakukan anak misalnya tidak boleh keluar dari kamar mandi dengan telanjang, sehingga orang tua yang
demokratis akan berkompromi dengan anak.
b. Otoriter
Pola asuh ini sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya
dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan
menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe
13
14
…, Loc. Cit.,
…, Loc. Cit.,
8
ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam
berkomunikasi biasanya bersifat satu arah.15 Misalnya, anaknya harus menutup pintu kamar mandi ketika
mandi tanpa penjelasan, anak laki-laki tidak boleh bermain dengan anak perempuan, melarang anak
bertanya kenapa dia lahir, anak dilarang bertanya tentang lawan jenisnya. Dalam hal ini tidak mengenal
kompromi. Anak suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus memenuhi target yang ditetapkan orang
tua. Anak adalah obyek yang harus dibentuk orang tua yang merasa lebih tahu mana yang terbaik untuk
anak-anaknya.
c. Permisif
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Pola asuh ini memberikan kesempatan
pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak
menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan
yang diberikan oleh mereka, sehingga seringkali disukai oleh anak. 16 Misalnya, anak yang masuk kamar
orang tua tanpa mengetuk pintu dibiarkan, telanjang dari kamar mandi dibiarkan begitu saja tanpa ditegur,
membiarkan anak melihat gambar yang tidak layak untuk anak kecil, degan pertimbangan anak masih
kecil. Sebenarnya, orang tua yang menerapka pola asuh seperti ini hanya tidak ingin berkonflik dengan
anaknya.
Menurut Baumrind terdapat beberapa dampak atau pengaruh pola asuh orang tua terhadap anakanak, yaitu:17
1. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat
mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress,
mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan kooperatif terhadap orang lain.
2. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak
berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan
menarik diri.
3. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak yang agresif, tidak patuh, manja,
kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.
15
…, Loc.Cit.,
…, Loc.Cit.,
17
…, Loc.Cit.,
16
9
Lalu, beberapa peran keluarga dalam pengasuhan anak, yaitu:
1. Terjalinnya hubungan yang harmonis dalam keluarga melalui pola asuh islami sejak dini, yakni:
Pengasuhan dan pemeliharaan anak dimulai sejak pra konsepsi pernikahan. Ada tuntutan
bagi orang tua laki-laki maupun perempuan untuk memilih pasangan yang terbaik sesuai
dengan tuntutan agama. Dengan maksud bahwa orangtua yang baik kemungkinan besar akan
mampu mengasuh anak dengan baik.
Pengasuhan anak saat dalam kandungan, setelah lahir dan sampai masa dewasa dan
seterusnya diberikan dengan memberikan kasih sayang sepenuhnya dan membimbing anak
beragama menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Memberikan pendidikan yang terbaik pada anak, terutama pendidikan agama. Agama yang
ditanamkan pada anak bukan hanya karena agama keturunan, tetapi bagaimana anak mampu
mencapai kesadaran pribadi untuk ber Tuhan sehingga melaksanakan semua peraturan
agama.
2. Menunjukkan kesabaran dan ketulusan hati. Sikap sabar dan ketulusan hati orangtua dapat
mengantarkan kesuksesan anak. Begitupula memupuk kesabaran anak sangan diperlukan
sebagai upaya meningkatkan pengendalian diri. Kesabaran menjadi hal yang penting bagi
manusia sebab bila kesabaran tertanam dalam diri seseorang dengan baik maka seseorang akan
mampu mengendalikan diri dan berbuat yang terbaik untuk kehidupannya.
Selanjutnya, beberapa faktor utama yang mempengaruhi pola asuh, yaitu: 18 (1) Budaya. Orang
tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua merasa bahwa orang tua mereka
berhasil mendidik mereka dengan baik, maka mereka menggunakan teknik yang serupa dalam
mendidik anak asuh mereka. (2) Pendidikan Orang Tua. Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih
banyak dalam mengasuh anak, maka akan mengerti kebutuhan anak. (3) Status Sosial Ekonomi. Orang
tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras/lebih permessif dalam mengasuh anak.
2.4 Sikap Radikalisme Anak
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian bawah,
atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Menurut
18
Theresia S. Indira, Pola Asuh Penuh Cinta, Terdapat di http://www.polaasuhpenuhcinta.com, Diakses pada tanggal 27
Desember 2013 pukul 20.25 WIB.
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam
politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan
cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.19
Anak adalah salah satu bagian dalam keluarga selain ayah dan ibu. Menurut psikologi, anak adalah
periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini
biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah
dasar.20 Berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat
(2) yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Jika dilihat dari pengertian diatas, maka radikalisme yang dilakukan oleh anak adalah suatu sikap
yang dilakukan oleh anak karena suatu keadaan untuk merubah atau untuk mencari apa yang belum bisa
dipenuhi oleh orangtua. Radikalisme bisa dilakukan oleh anak karena pola asuh. Pola asuh adalah salah
satu bentuk sosialisasi terhadap anak. Pola asuh berperan untuk membentuk perilaku anak. Pola asuh juga
merupakan salah satu bentuk pendidikan terhadap anak yang akan menentukan jadi apa dan bagaimana
anak tersebut saat dewasa nanti. Pola asuh yang telah dijelaskan di penjelasan sebelumnya seperti pola
asuh demokratis, otoriter, dan permisif memiliki peluang untuk menjadikan seorang anak bersikap radikal.
2.5 Teori Struktural Fungsional
Pandangan fungsionalis diperkenalkan oleh Durkheim untuk dapat melihat apa yang ada pada
masyarakat beserta masalah sosialnya. Perubahan sosial secara cepat dapat merubah nilai dan norma yang
ada serta struktur sosial pada masyarakat, pada masa ini terjadi ketidakadaan norma atau yang disebut
dengan anomie. Fungsionalisme melihat struktur pada pandangan makro, yang lebih berfokus bagaimana
masyarakat terbentuk dan menjaga tindakan sosial yang ada. Masalah sosial tidak dilihat dari baik dan
buruknya, tetapi lebih kepada bagaimana masalah tersebut mempengaruhi masyarakat dan fungsinya.
Teori struktural fungsional merupakan salah satu teori yang sangat penting dan bermanfaat bagi suatu
kajian masalah sosial.21
Para penganut teori struktural fungsional melihat masyarakat dengan menganalogikan masyarakat
ibarat organisme biologis. Makhluk hidup yang bisa sehat atau sakit. Demikian halnya juga dalam
19
Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Bahasa Indonesia, Hlm. 1151-2.
Terdapat di http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465, Diakses pada hari Kamis, 02
Januari 2014 pukul 13.00 WIB.
21
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern,
terjemahan Nurhadi, (Bantul: Kreasi Wacana, 2012), Hlm. 257.
20
11
keluarga yang terdiri dari anggota-anggota keluarga yang saling berhubungan satu sama lain dan
fungsional terhadap anggota keluarga lainnya. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, masyarakat
harus dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Bahwa
pada umumnya, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak dimana masing-masing anggota keluarga tersebut
saling mempengaruhi, saling membutuhkan, semua mengembangkan hubungan intensif antar anggota
keluarga. Jika satu fungsi dalam keluarga terganggu, maka fungsi lainnya juga terganggu. 22 Hal ini untuk
menghindari disfungsi dalam suatu sistem.
Talcott Parsons salah satu yang mengembangkan teori ini. Parsons membagi menjadi empat
imperatif fungsional bagi sistem yaitu yang disebut dengan AGIL. Agar dapat bertahan hidup, sistem
harus menjalankan keempat fungsi tersebut, antara lain:
1. Adaptasi: sistem harus mengatasi sebuah kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus
beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2. Pancapaian tujuan: sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.
3. Integrasi: sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya.
4. Latensi (pemeliharaan pola): Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui dan
mempertahankan motivasi individu.
Teori struktural fungsionalis dalam keluarga, konsep utama dalam teori ini adalah fungsi,
disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Keluarga memiliki fungsi sebagaimana
dijelaskan oleh Friedman 1998, yaitu:23 fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi
ekonomi, fungsi proteksi, fungsi penentuan status, dan fungsi pemeliharaan. memiliki fungsi reproduksi,
sosialisasi, afeksi, ekonomi, pengawasan, proteksi dan pemberian status. Anggota keluarga harus
menjalankan fungsi serta peranannya masing-masing. Misalnya ibu sebagai pengurus anak dan suami.
ayah sebagai kepala keluarga bertugas sebagai sumber pencari nafkah utama. Apabila salah satu fungsi
terabaikan atau tidak berjalan dengan semestinya, maka akan terjadi disfungsi dalam keluarga.
22
23
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bina Aksara, 2001), Hlm. 189.
Ajeng Agrita, Loc.Cit.,
12
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian
yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang
ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau
tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.24 Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan
bagaimana peran pola asuh keluarga, khususnya orang tua sehingga dapat memunculkan sikap
radikalisme anak. Pada penelitian ini, kami melihat fenomena tindakan kriminalitas seperti tawuran antar
pelajar, pencuan, pencopetan, dan kenakalan remaja yang sering terjadi khususnya di DKI Jakarta.
3.2 Unit Analisis
24
H. Muh. Basirun Al Ummah, Jenis-jenis Penelitian, Terdapat di http://basirunjenispel.blogspot.com/, Diakses
pada hari Selasa, 02 Januari 2014 pukul 04.10 WIB.
13
Unit analisis pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umumnya dan
menyeluruh tentang situasi sosial yang menjadi objek peneliti. Dalam penelitian ini peneliti mengambil
analisis kasus mengenai sikap radikalisme anak yang tercerminkan dalam tindakan kriminalitas dan
kenakalan remaja yang dilakukan oleh anak.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang valid dan objektif, maka dalam penelitian ini digunakan teknik
pengumpulan data melalui pengamatan beberapa kasus tindakan kriminalitas dan kenakalan remaja seperti
kasus tawuran antar pelajar, pencurian, pencopetan, kenakalan remaja, dsb yang terjadi di DKI Jakarta.
Untuk pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan kajian literasi yang menggunakan bahan bacaan
dari buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan judul penelitian. Data yang diperoleh akan dikumpulkan
lalu diolah menjadi data yang sudah terstruktur dan terkonsep sehingga akan mudah untuk membantu
dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, kami mengambil artikel mengenai radikalisme siswa yang
dikemukakan oleh Prof Dr Arief Rachman, seorang Pakar pendidikan.
3.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan dengan permasalahan yang diperoleh peneliti maka dapat diuraikan beberapa
hipotesis penelitian yang diuji oleh peneliti yaitu :
1. Sikap radikalisme anak disebabkan oleh 3 macam pola asuh yang terlalu berlebihan dari orang tua
terhadap anak mereka
2. Sikap radikalisme anak disebabkan oleh kurangnya perhatian orang tua terhadap anak mereka
3. Sikap radikalisme anak terjadi karena pengaruh lingkungan yang tidak baik.
14
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Analisis
4.1.1 Peran Keluarga Dalam Mengatasi Radikalisme Pada Anak
Radikalisme nampaknya telah merasuk ke dalam seluruh elemen masyarakat Indonesia, tak
terkecuali para generasi muda. Paham yang menginginkan perubahan terhadap segala situasi yang ada
dengan cara apapun ini telah merasuk ke dalam diri anak yang dalam konteks ini segala usia mulai dari
anak-anak hingga remaja. Jika dikaitkan dengan anak (anak-anak dan remaja) radikalisme dalam ranah ini
berarti sebuah kekerasan yang dilakukan oleh mereka untuk dapat merubah segala situasi apapun. Dalam
hal ini konteks radikalisme anak yang kami jadikan sebuah contoh kasus adalah maraknya tawuran
pelajar. Nampaknya memang masalah tawuran pelajar erat kaitannya dengan sikap radikalisme anak, dan
hal ini tentunya menjadi masalah serius yang harus di selesaikan bersama-sama. Ini terbukti dengan selalu
meningkatnya kasus tawuran yang ada di DKI Jakarta. Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak
(PA), sepanjang 2013 ini terjadi 255 kasus tawuran pelajar di Indonesia. Angka tersebut dinilai meningkat
dibanding tahun 2012 sebelumnya yakni sebanyak 147 kasus. Sedangkan, untuk kasus tawuran pelajar di
15
DKI Jakarta sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami peningkatan dibanding tahun 2012 yakni 98
kasus.25
Lalu siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap sikap radikal anak yang menelan korban ini,
inilah yang selalu menjadi perbincangan di berbagai media, berbagai pihak saling menyalahkan dan
melakukan pembenaran terhadap diri mereka sendiri mengenai kasus radikalisme anak ini. Inilah yang
membuat sikap radikalisme anak tidak pernah usai, sebenarnya ada hal yang lebih penting di balik
menyalahkan dan membenarkan pihak mereka sendiri,yaitu duduk bersama, saling memikirkan, mencari
solusi dan bahu membahu agar sikap radikalisme anak dapat menghilang, karena mereka inilah yang
nantinya akan memimpin bangsa ini. Bayangkan saja jika negara ini dipimpin oleh mereka yang memiliki
sikap radikal terhadap situasi apapun, maka tak ayal negara ini akan semakin terpuruk.
Memang masalah radikalisme anak haruslah ditangani secara segara oleh seluruh elemen
masyarakat dan seluruh pihak yang ada mulai dari pemerintahan hingga orangtua itu sendiri. Seperti yang
diungkapkan oleh pengamat sosial Wawan H Purwanto :
“Untuk mengatasi aksi tawuran para pelajar perlu sinergi dari semua kalangan.
Dibutuhkan peranan aktif para stakeholder untuk duduk bersama membahas solusi
terbaik demi kebaikan bersama.”26
Dari pernyataan tersebut kami membuat sebuah poin besar, bahwa perlu adanya sebuah kerjasama
dari berbagai pihak agar masalah radikalisme pada anak ini dapat terselesaikan sampai ke akar-akarnya
mulai dari masalah radikalisme yang ringan hingga berat dan menelan korban jiwa. Keluarga, disini
keluarga memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian anak dan masa depan anak-anak
mereka. Hal ini disebabkan karena anak itu hidup dan berkembang bermula dari pergaulan di dalam
keluarga yaitu hubungan antar orangtua dengan anak, ayah dengan ibu, dan hubungan anak dengan
anggota keluarga lain yang tinggal bersama-sama. 27 Karena keluargalah yang merupakan agen sosialisasi
pertama anak, maka tak menutup kemungkinan bahwa radikalisme yang terjadi pada anak disebabkan oleh
lingkungan keluarganya sendiri.
25
TRIBUNNEWS.COM, Kasus Tawuran Pelajar Jakarta Terus Meningkat Tahun Ini, Terdapat di
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/12/22/kasus-tawuran-pelajar-jakarta-terus-meningkat-tahun-ini, Diakses
pada hari Senin, 30 Desember 2013 pukul 05.53 WIB.
26
Terdapat di http://sports.sindonews.com/read/2012/10/11/31/678927/tontonan-televisi-sumber-radikalisme-anak-muda,
Diakses pada hari Kamis, 02 Januari 2013 pukul 07.00 WIB.
27
Sofyan S. William, Remaja dan Masalahnya (Bandung: Alfabeta, 2010), Hlm. 99.
16
Pertama, anak kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orangtua. Kasih sayang adalah hal
mutlak yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Seperti yang di ungkapkan oleh Abraham Maslow dalam
teori hierarki kebutuhan dasar manusia, yang salah satunya mencakup kebutuhan cinta dan rasa memiliki,
kasih sayang, termasuk persahabatan, hubungan sosial dan cinta seksual. 28 Tentu saja jika kebutuhan dasar
ini tidak terpenuhi maka tak menutup kemungkinan orang tersebut akan mengalami “kesakitan”. Tentunya
kasih sayang memanglah sebuah hal penting yang harus di dapatkan oleh anak dalam keluarga, bayangkan
saja jika keluarga sebagai pembentuk kepribadian dan masa depan anak tidak dapat memberikan kasih
sayang seperti apa yang dibutuhkan si anak, maka tak ayal anak akan mencari kasih sayang yang mereka
butuhkan di luar rumah dan di luar lingkungan keluarga mereka. Salah satunya seperti dalam kelompok
pertemanan, namun yang menjadi sebuah pertanyaan besar apakah kepribadian dan nilai-nilai yang ada di
dalam kelompok pertemanan itu baik, tentu jawabannya tidak. Tidak semua nilai dan kepribadian yang ada
di dalam kelompok pertemanan itu baik. Oleh sebab itu ada sebuah poin yang harus di garis bawahi oleh
semua orangtua yang ada bahwa, seratus persen mempercayakan pergaulan anak mereka kepada kelompok
pertemanan adalah sebuah kesalahan. Oleh sebab itu orangtua haruslah tetap mengawasi pergaulan anakanak mereka karena tidak menutup kemungkinan tertanam nilai-nilai menyimpang yang dapat merusak
kepribadian anak mereka sendiri.
Kedua, mempercayakan pembentu sebagai pendidik anak. Layaknya sebua keluarga kaya yang
sibuk, dimana ayah dan ibu selalu sibuk bekerja, sehingga kurangnya pendidikan moral yang mereka
berikan kepada anak mereka. Pembantu rumah tangga (PRT) lah yang diberikan tugas untuk mengurus
segala urusan anak mereka termasuk pendidikan moral. Inilah yang harusnya tidaklah terjadi, dimana
orangtua sibuk bekerja dengan berbagai alasan seperti untuk memenuhi segala kebutuhan dan permintaan
anak mereka. Dan banyak orangtua yang mengatakan bahwa mereka bekerja demi anak dan untuk anak.
Inilah yang salah dari pemikiran orangtua tersebut. Kurangnya perhatian dan pendidikan moral yang
diberikan akan membuat anak mereka bebas bergaul dengan siapa saja tanpa adanya perhatian dan
pengawasan dari orangtua dan hal itu tentunya akan membawa benih-benih sikap radikalisme dalam diri si
anak. Seperti melakukan berbagai kenakalan-kenakalan, tawuran, hingga pesta narkoba di rumahnya
sendiri, karena kesibukan orangtua dan ketidakpedulian orangtua.
Ketiga, lemahnya keadaan ekonomi sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan anak. Anak pada
umumnya memang selalu ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan, tanpa memperdulikan
kemampuan ekonomi orangtua mereka. Memang itu semua tidaklah sepenuhnya salah, tuntutan dari anak
28
Ibid., Hlm. 102.
17
tersebut disebabkan oleh majunya industri dan teknologi yang hasilnya telah menjalar ke kota hingga ke
desa-desa.29 Anak selalu menuntut orangtuanya untuk dapat memberikan barang-barang mewah yang
mereka inginkan mulai dari pakaian, televisi, hingga kendaraan bermotor. Dan bila orangtua mereka tidak
dapat memenuhi apa yang mereka butuhkan maka akan timbul kenakalan dan sikap radikalisme pada diri
anak tersebut. Misalnya saja pencurian, bahkan yang lebih parahnya lagi mereka rela membunuh untuk
mendapatkan barang yang mereka inginkan. Dan yang terakhir adalah rela membunuh diri sendiri karena
tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Rela membunuh diri sendiri tersebut terjadi karena;
Pertama, adanya kekecewaan yang berakumulasi karena kebutuhan-kebutuhannya tak terpenuhi selama
ini, berhubung orangtua lemah kondisi ekonominya dan mengabaikan permintaan anak. Disamping itu
juga terjadi orangtua suka menekan anak dan remaja secara emosional.30 Memang tidaklah salah jika
orangtua tidak menuruti permintaan anak mereka karena keterbatasan ekonomi, namun disini orangtua
seharusnya dapat memberikan pemahaman kepada anak mereka, mengapa keinginan anak mereka tidak
dapat orangtua penuhi, dan buka dengan memberikan tekanan emosional seperti mencaci maki anak, dsb.
Dengan adanya pemberian pemahaman ini maka si anak akan tahu dan mengerti mengapa
keinginan mereka tidak dapat terpenuhi. Kedua, banyak berita dan tontonan di TV yang menggambarkan
begitu mudah mengakhiri hidup dengan bunuh diri.31 Tentunya lagi-lagi orangtua harus dapat mengawasi
apa yang anak mereka lakukan mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal besar. Banyak orangtua yang
menganggap bahwa tayangan televisi tidak akan memberikan dampak negatif bagi si anak, namun yang
sebenarnya pandangan tersebut salah karena tayangan televisi memberikan pengaruh yang cukup besar
bagi si anak. Ketiga, kasus bunuh diri ditentukan pula oleh kepribadian anak yang kurang terbuka terhadap
orangtua dan orang lain. Dia menelan sendiri kesedihan, kekecewaan, dan kesalahannya dari tekanan
orangtua dan orang lain. Perasaan tersebut berakumulasi dan bertumpuk, sehingga tidak dapat lagi
dipecahkannya, kemudian dia mencari jalan pintas yaitu bunuh diri. 32 Untuk meminimalisir adanya kasus
radikalisme yang dalam hal ini adalah bunuh diri, orangtua selain harus dapat memberikan pemahaman
mengenai apa yang menyebabkan keinginan sang anak tidak dapat terpenuhi, mengawasi tayangan televisi
yang ditonton oleh anak, dan juga orang ta harus mendekatkan dirinya kepada si anak, bersikap layaknya
teman bagi si anak.
29
Ibid.,
Ibid., Hlm. 103.
31
Ibid., Hlm. 103
32
Ibid.
30
18
Keempat, Pola asuh. Banyak orangtua mengabaikan pola asuh mereka terhadap anak mereka,
namun sebenarnya pola asuh orangtua lah yang dominan mempengaruhi sikap radikalisme pada diri anak.
Pola asuh orangtua sangat menentukan apa yang anak mereka lakukan kedepannya dan juga menentukan
kepribadian anak-anak mereka. (1) pola asuh permisif. Pola asuh ini memberikan kesempatan pada
anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak
menegur / memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang
diberikan oleh mereka, sehingga seringkali disukai oleh anak. 33 Dengan menerapkan pola asuh seperti ini
orangtua yang secara tidak langsung bersikap masa bodoh terhadap anak mereka dan membiarkan apa saja
yang anaknya lakukan, tanpa adanya pengawasan akan mempercepat anak mereka jatuh ke dalam jurang
radikalisme, karena dengan sikap orangtua yang masa bodoh ini dan selalu memberikan kelonggaran
dalam hal apapun terhadap si anak akan membuat pemaknaan lain dari si anak, dimana anak akan merasa
bahwa tindakan apapun yang mereka lakukan adalah sebuah kebenaran karena tidak adanya teguran dari
orangtua, sekalipun tindakan itu negatif dan salah. Sehingga pada akhirnya si anak akan merasa bahwa
yang mereka lakukan adalah benar, termasuk melanggar peraturan dengan skala kecil hingga skala besar
seperti mengabaikan peraturan yang ada di lingkungan rumah, sekolah, hingga masyarakat. Pola asuh
permisif dan sikap masa bodoh dari orangtua tentunya membawa dampak negatif yang luas, tidak hanya
berdampak terhadap diri anak itu sendiri, namun juga berdampak terhadap orangtua, dan masyarakat
seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya. Pola asuh permisif dan sikap masa bodoh orangtua yang
menciptakan anak dengan berbagai masalah pelanggaran, dan sikap radikalismenya. Tentunya sikap
radikalisme anak yang tercipta dari pola asuh permisif berbenturan dengan norma yang ada di masyarakat,
karena masyarakat itu sendiri telah memiliki sebuah konsensus bersama yang harus di patuhi oleh semua
masyarakat yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, banyaknya kasus kenakalan dan kriminalitas yang
pada generasi muda (anak) tidak dipungkiri juga terjadi karena pola asuh permisif dari orangtua yang
membiarkan anaknya bebas melakukan apapun tanpa adanya arahan dari mereka, sehingga menimbulkan
benih-benih sikap radikalisme pada diri anak yang menyebabkan mereka tidak menghargai konsensus
bersama yang telah dibentuk oleh masyarakat yang dalam hal ini adalah nilai dan norma, sehingga mereka
tanpa bersalah melakukan tindakan yang melanggar nilai dan norma yang ada di masyarakat tersebut
seperti tawuran, mencuri, dsb.
33
…, Loc. Cit.,
19
(2) pola asuh otoriter. Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan
menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe
ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam
berkomunikasi biasanya bersifat satu arah.34 Banyak orang tua yang memiliki keyakinan bahwa dengan
menerapkan pola asuh otoriter maka sang anak akan terhindar dari sikap radikalisme, kenakalan dan si
anak akan patuh sepenuhnya terhadap peraturan yang ada, baik peraturan yang ada di rumah, sekolah
hingga masyarakat dan membuat anak tunduk terhadap apa yang orangtua inginkan. Namun pandangan
tersebut tidaklah sepenuhnya benar, karena di rumah mungkin benar si anak tunduk terhadap orangtua dan
patuh terhadap peraturan yang ada, namun di luar rumah tidak menutup kemungkinan anak akan mencoba
hal-hal baru yang tidak bisa mereka lakukan di rumah karena di larang oleh orangtua mereka. Selain itu
sifat dari fase remaja yang terjadi pada diri si anak akan mendorong si anak untuk mencoba hal-hal baru,
yang mungkin saja hal-hal tersebut bertentangan dengan konsensus yang ada di masyarakat dan prediksi
orangtua yang ada di rumah mengenai kepribadian anaknya. Maka tak menutup kemungkinan anak akan
manis di dalam rumah, tetapi sangat liar saat di luar rumah. Seperti banyaknya kasus kenakalan yang
terjadi, yang kebanyakan orangtua mengatakan ketidakpercayaan mereka bahwa anaknya melakukan tidak
kriminal karena anaknya cenderung bersikap baik dan manis jika ada di dalam rumah.
(3) pola asuh demokratis. Pola asuh ini adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak,
akan tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini bersikap rasional,
selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap
realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak.
Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan
dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.35 Dari pengertian di atas, dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa secara tidak langsung pola asuh demokratis adalah pola asuh yang tepat untuk
menghindarkan anak dari sikap radikalisme, karena anak tidak dikekang untuk menuruti apa yang
diinginkan oleh orangtua. Namun si anak diberikan sebuah pilihan untuk melakukan suatu tindakan
dengan pendekatan dan arahan dari orang tua, sehingga anak tersebut tahu konsekuensi apa yang akan di
dapat oleh mereka jika mereka melakukan suatu tindakan. Namun tidak berarti bahwa anak yang diasuh
34
35
…, Loc. Cit.,
20
dengan pola demokratis dapat terhindar dari sikap radikalisme, karena anak cenderung ingin mencoba halhal baru yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya, dan juga anak bisa saja radikal jika mengenal
lingkungan dengan norma yang berbenturan dengan norma yang selama ini mereka anut di rumah. Namun
jika dibandingkan dengan pola asuh permisif dan otoriter, anak yang diasuh dengan pola demokratis akan
lebih menerapkan nilai yang telah di tanamkan oleh orangtua mereka dirumah.
4.1.2 Teori Struktural Fungsional Memandang Radikalisme Pada Anak
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Durkheim dalam pandangan fungsionalisnya
menganalogikan masyarakat ibarat organisme biologis, jika teori ini dikaitkan dengan sebuah keluarga
memiliki sebuah makna bahwa di dalam keluarga terdapat fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh setiap
anggota keluarga mulai dari ayah hingga anak, dan jika fungsi tersebut dapat dijalankan sebagaimana
mestinya maka akan tercipta sebuah keluarga seperti yang seharusnya, namun jika ada salah satu anggota
keluarga yang tidak menjalankan fungsinya maka akan terdapat kekacauan di dalam keluarga tersebut.
Menurut Friedman keluarga memiliki beberapa fungsi dan peran yang harus dijalankan oleh
keluarga tersebut, dan jika salah satu fungsi dan peran tersebut tidak dijalankan maka akan menciptakan
sebuah ketidakberfungsian keluarga. Namun disini penulis hanya akan membahas fungsi dan peran
keluarga menurut Friedman yang berkaitan dengan radikalisme pada anak. Adapun fungsi-fungsi tersebut,
yaitu; Pertama, fungsi afektif Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan
keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar
anggota kelurga.36 Jika fungsi ini dikaitkan dengan radikalisme yang terjadi pada anak, maka tidak
menutup kemungkinan jika fungsi ini tidak dapat dijalankan dengan baik oleh keluarga maka anak akan
menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak, karena orang tua tidak memberikan kasih sayang
seperti apa yang dibutuhkan oleh anak maka tak ayal anak akan mencari kasih sayang yang mereka
butuhkan di luar rumah. Salah satunya seperti dalam kelompok pertemanan, namun yang perlu diketahui
bersama bahwa nilai yang ada di dalam kelompok pertemanan tidaklah seluruhnya baik, dan kasih sayang,
sikap saling mendukung yang kelompok pertemanan berikan kepada si anak berbeda dengan kasih sayang,
dan sikap saling mendukung yang diberikan oleh orang tua. Sebagai analogi, jika anak berada dalam
kelompok pertemanan yang kurang baik dan cenderung negatif maka nilai yang kelompok tersebut anut
berbeda denga nilai yang menjadi konsensus bersama di masyarakat. Selain itu kasih sayang dan sikap
36
Ajeng Agrita., Loc.Cit.,
21
saling mendukung yang diberikan kelompok pertemanan dengan keluarga terhadap anak juga berbeda, jika
kelompok pertemanan tersebut memberikan instruksi untuk melakukan tindakan radikalisme yang sudah
pasti bertentangan dengan konsensus yang ada di masyarakat dan si anak menuruti maka si anak
mendapatkan sebuah pujian, kasih sayang dan dukungan dari kelompok pertemanannya tersebut, tentunya
hal ini berbeda dengan kasih sayang dan dukungan yang diberikan oleh orangtua. Dimana orangtua akan
memberikan kasih sayang dan dukungannya jika si anak berbuat baik dan positif bukan berbuat buruk dan
negatif. Tentunya kasih sayang, sikap saling mendukung yang terdapat di dalam fungsi afeksi keluarga
haruslah dijalankan dengan sepenuhnya sesuai dengan porsinya agar anak tidak mencari kasih sayang di
luar keluarga, yang mungkin akan menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak.
Kedua, fungsi sosialisasi. Adalah fungsi mengembangkan dan sebagai tempat melatih anak untuk
berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah 37.
Tentunya masa depan seorang anak sejak dini ditentukan oleh keluarga, karena keluarga lah agen
sosialisasi pertama bagi diri anak, keluarga menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
sebuah masyarakat, fungsi sosialisasi ini mungkin dianggap remeh dan kurang penting oleh kebanyakan
orangtua namun sebenarnya fungsi sosialisasi amat berguna bagi si anak, dimana jika ter-sosialisasi nilai
dan norma seperti apa yang berlaku di masyarakat maka anak akan terhindar dari sikap dan tindakan
radikalisme. Anak akan berpikir dua kali sebelum melakukan sebuah tindakan, apakah tindakan itu benar
dan ataukah tindakan itu salah, dan efek apa yang akan ditimbulkan dari tindakan yang Ia buat. Banyak
kasus radikalisme anak terjadi karena keluarga tidak menjalankan fungsi sosialisasinya dengan baik,
sehingga anak cenderung dengan mudah mengambil sebuah keputusan dan tindakan tanpa mengetahui
efek dari tindakan tersebut.
Ketiga, fungsi ekonomi. Fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya
seperti sandang, pangan dan papan38. Fungsi ekonomi ini cukup memiliki kaitan yang erat dengan
radikalisme anak dan bisa menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak. Anak terutama pada fase
remaja penuh dengan keinginan-keinginan, contohnya saja anak menginginkan sebuah barang dan
memintanya kepada orangtua untuk dibelikan, namun karena keterbatasan ekonomi keinginan anak
tersebut tidak bersambut. Hal demikian dapat pula menimbulkan benih-benih radikalisme pada diri anak
terlebih lagi dengan kondisi anak yang berada dalam fase remaja, dan mulai mengenal pergaulan dengan
lingkungan diluar keluarga. Tentunya hal ini bisa membuat si anak melakukan apapun demi mendapatkan
barang yang mereka inginkan, seperti pencurian, perampokan, dsb seperti yang terdapat pada berbagai
37
38
Dodiet Aditya, Konsep Dasar Keluarga, (Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakart, 2012). Hlm. 8.
Ajeng Anggrita., Loc.Cit.,
22
media massa yang ada. Tentunya hal ini dapat dihindari jika orang tua memberikan pemahaman mengapa
orang tua tidak dapat merealisasikan keinginan si anak, dengan itu si anak akan mengerti dan tindakan
radikalisme anak akan terminimalisir.
Keempat, fungsi proteksi. fungsi proteksi dalam keluarga adalah untuk mencegah terjadinya
masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Dan keluarga juga
berfungsi untuk melindungi anggota keluarganya dari ancaman 39. Jika fungsi proteksi ini dikaitkan dengan
sikap radikalisme pada anak, maka orang tua harus memberikan pengawasan yang optimal kepada anak
mereka agar tingkah laku mereka dapat dikontrol oleh orangtua dan tidak menimbulkan permasalahan. Di
sini pengawasan oleh orang tua hendaknya dilakukan sejak dini karena saat usia anak-anak seorang anak
memerlukan bimbingan dan figur teladan sehingga dapat mereka aplikasikan pada dirinya, jika
pengawasan terhadap anak pada usia anak-anak luput dari orangtua maka tak ayal remaja dan dewasa
nanti si anak akan bertindak semaunya dan melanggar norma yang ada di masyarakat. Di sini proteksi
tidaklah harus otoriter cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau
melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak.
Banyak orang tua yang memiliki keyakinan bahwa dengan menerapkan pola asuh dan pengawasan yang
otoriter maka sang anak akan terhindar dari sikap radikalisme, kenakalan dan si anak akan patuh
sepenuhnya terhadap peraturan yang ada, baik peraturan yang ada di rumah, sekolah hingga masyarakat
dan membuat anak tunduk terhadap apa yang orangtua inginkan. Namun pandangan tersebut tidaklah
sepenuhnya benar, karena di rumah mungkin benar si anak tunduk terhadap orangtua dan patuh terhadap
peraturan yang ada, namun di luar rumah tidak menutup kemungkinan anak akan mencoba hal-hal baru
yang tidak bisa mereka lakukan di rumah karena di larang oleh orangtua mereka. Selain itu sifat dari fase
remaja yang terjadi pada diri si anak akan mendorong si anak untuk mencoba hal-hal baru, yang mungkin
saja hal-hal tersebut bertentangan dengan konsensus yang ada di masyarakat dan prediksi orangtua yang
ada di rumah mengenai kepribadian anaknya. Maka tak menutup kemungkinan anak akan manis di dalam
rumah, tetapi sangat liar saat di luar rumah. Seperti banyaknya kasus kenakalan yang terjadi, yang
kebanyakan orangtua mengatakan ketidakpercayaan mereka bahwa anaknya melakukan tidak kriminal
karena anaknya cenderung bersikap baik dan manis jika ada di dalam rumah.
39
Ajeng Anggrita., Loc.Cit.,
23
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Radikalisme nampaknya telah merasuk kedalam seluruh elemen masyarakat Indonesia, tidak
terkecuali para generasi muda. Paham yang menginginkan perubahan terhadap segala situasi yang ada
dengan cara apapun ini telah merasuk ke dalam diri anak yang dalam konteks ini segala usia mulai dari
anak-anak hingga remaja. Radikalisme yang dilakukan oleh anak adalah suatu sikap yang dilakukan oleh
anak karena suatu keadaan untuk merubah atau untuk mencari apa yang belum bias dipenuhi oleh
orangtua. Radikalisme bias dilakukan oleh anak karena pola asuh. Pola asuh adalah salah satu bentuk
sosialisasi terhadap anak. Pola asuh berperan untuk membentuk perilaku anak. Pola asuh juga merupakan
salah satu bentuk pendidikan terhadap anak yang akan menentukan menjadi apa dan bagaimana anak
tersebut saat dewasa nanti. Dalam hal ini konteks radikalismeanak yang kami jadikansebuahcontohkasus
adalah maraknya tawuran pelajar.
Nampaknya memang masalah tawuran pelajar erat kaitannya dengan sikap radikalisme anak, dan
hal ini tentunya menjadi masalah serius yang harus di selesaikan bersama-sama. Memang masalah
radi