Pro Kontra Pilkada Melalui DPRD

MAKALAH
Menemukan Arti Demokrasi Konstitusional dalam
Pilkada Melalui DPRD
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Pendidikan Kewarganegaraan”
Dosen : Pramadya Khairul A SH.MH

Disusun oleh

:

Anugrah Rizky Harnoko

Oleh :

Salman Abdurrubi Perwiragama

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
PONOROGO
2014


1

Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNyalah makalah ini dapat terselesaikan. Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah
untik memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hukum pada semester I, di tahun ajaran 2014 dengan
judul Pengertian,Sifat dan Kedudukan UUD 1945 di Indonesia.
Dengan membuat tugas ini saya berharap untuk mampu mengenal tentang hal-hal
yang berkaitan tentang UUD 1945 yang merupakan landasan hokum di Indonesia yang
mungkin hanya segelintir orang yang memahaminya.
Dalam penyelesaian makalah ini, saya banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan yang penulis miliki. Namun akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan. Dan terima kasih penulis ucapkan kepada

:

1. Pimpinan pondok modern Darussalam Gontor yang selalu memberikan penulis
arahan dan bimbingan
2. Orang tua dan keluarga yang banyak memberikan motivasi dan dorongan serta

bantuan, baik secara moral maupun spiritual
3. Al-Ustadz Pramadya Khairul A SH.MH yang tidak lelah dan bosan mengajarkan
ilmunya
Penulis sadar bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan makalah yang lebih baik untuk selanjutnya.
Harapan penulis semoga makalah sederhana ini, dapat memberi wawasan dan
pengetahuan bahwa kita juga harus memahami tentang UUD 1945 yang menjadi acuan
hukum di Indonesia.

Gontor, 21 Oktober 2014

Salman Abdurrubi Perwiragama

2

Daftar Isi
Judul Makalah ……………………………………………………………………..

i


Kata Pengantar …………………………………………………………………….

ii

Daftar Isi ……………………………………………………………………………. iii
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………. 1
1.2 Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………………………..... 1
1.3 Tujuan dan Manfaat …………………………………………………………….. 2
1.4 Metodologi ……………………………………………………………………… 2
BAB II Pembahasan ……………………………………………………………........ 3
2.1 Perkembangan Demokrasi di Indonesia ………………………………………… 3
a. Pilkada pada rezim Demokrasi Parlementer (1945-1955) ………………......... 4
b. Pilkada masa Demokrasi Terpimpin ………………………………………….. 5
c. Pilkada pada masa Demokrasi Pancasila (era Orde Baru) ……………………. 5
d. Pilkada pasca Reformasi ……………………………………………………… 6
2.2 Demokrasi Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA) …………….. 7
a. Pilkada Langsung …………………………………………………………….. 7
b. Pilkada Melalui DPRD ……………………………………………………...... 9

BAB III Penutup ………………………………………………………………….... 12
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………. 12
3.2 Saran dan Pendapat…………………………………………………………….. 13
Daftar Pustaka ……………………...……………………………………………… 15

3

BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sistem demokrasi di Indonesia selalu berkembang seiring berkembangnya
zaman pula. Dari mulai kemerdekaannya hingga zaman pasca reformasi. Setiap rezim
pemerintahan mempunyai karakter kepemimpinan demokrasi tersendiri yang tak
terlepas dari bagaimana keadaan masyarakat pada zamannya. Kebijakan – kebijakan
yang berkaitan dengan unsur demokrasi mengenai sudah demokratiskah suatu sistem
politik pemerintahan selalu berubah, terutama dalam hal pemilihan umum.

Sebagaimana kita ketahui, sebelum era reformasi, pemilu yang diikuti
masyarakat hanya untuk memilih partai politik yang akan mengatur pemerintahan
yang mana semua pejabat akan ditentukan oleh partai politik. Namun setelah adanya

reformasi, rakyak tidak hanya memilih partai politik saja, akan tetapi juga memilih
pemimpin dan wakil mereka di pemerintahan secara langsung. Baik pemilihan umum
tingkat nasional maupun tingkat daerah.

Ada banyak kelebihan dan kekurangan yang kita rasakan setelah
diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung selama 10 tahun terakhir.
Keputusan terbaru dari musyawarah DPR tanggal 25 September 2014 menetapkan
bahwa Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) akan dipilih melalui Musyawarah
DPRD.

Akankah

dengan

seperti

ini

demokrasi


di

Indonesia

mengalami

perkembangan yang signifikan? Akankah dengan berubahnya sistem Pilkada
memberikan pengaruh berarti bagi kehidupan rakyat daerah? Dalam makalah singkat
ini, penulis ingin membahas sedikit tentang kebijakan terbaru DPR yang berkaitan
dengan Pilkada melalui DPRD yang penulis hubungkan dengan bagaimana demokrasi
di Indonesia berkembang.

1.2 Ruang Lingkup Penelitian
Makalah ini akan mencakup sejarah pilkada di Indonesia dan hubungannya dengan
demokrasi serta pro-contra yang terjadi terkait pengesahan RUU Pilkada tidak langsung,
melalui DPRD. Penulis juga menitik beratkan perbedaan implikasi sistem demokrasi dalam
Pilkada di Indonesia mulai dari era Orde Lama hingga era Demokrasi Konstitusional.

4


1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Pendidikan Kewarganegaraan”
b. Agar mahasiswa lebih memahami sistem dan makna demokrasi di Indonesia
c. Agar mahasiswa mengatahui segala yang terjadi terkait pengesahan RUU Pilkada
tidak langsung
d. Agar mahasiswa mengetahui perbedaan Pilkada langsung dan tidak langsung
e. Agar mahasiswa mengetahui hubungan Pilkada dengan demokrasi

1.4 Metodologi
Adapun metode pembahasan yang penulis gunakan adalah metode komparasi.
Yaitu membandingkan sistem Pilkada pada setiap rezim demokrasi dengan rezim
lainnya. Maka akan kita temukan dinamisasi makna demokrasi dalam Pilkada di
Indonesia. Kemudian apabila kita relevansikan UU mengenai Pilkada sudahkah
memenuhi syarat Demokrasi Konstitusional yang pemerintah dan rakyat gunakan
pada masa ini?

5

BAB II

Pembahasan
2.1 Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Sebelum kita membahas bagaimana demokrasi di Indonesia, perlu dibahas
sekilas esensi dari demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani (demos) berarti
rakyat, (kratos/kartein) berarti kekuasaan/berkuasa, Demokrasi ialah asal kata
dari govermen by the people yang berarti rakyat berkuasa, secara istilah demokrasi
ialah kekuasaan rakyat dari rakyat untuk rakyat.1
Demokrasi adalah sistem yang pertama kali dipraktekan oleh negara yunani
(abad ke-6 sampai abad ke-3 S.M) yang terdapat di Negara kota (city-state) dengan
tipe, demokrasi langsung (direct demokrasi) yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana
hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh
seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. sifat langung
dari demokrasi Yunani dapat diselenggaraan secara efektif karna berlangsung dari
kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah
sekitarnya) serta jumlah penduduk yang sedikit (300.000 penduduk dalam satu
negara-kota), dan ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara
yang resmi yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang
terdiri atas budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku. dalam negara
modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, akan tetapi merupakan demokrasi
yang berdasarkan perwakilan (representative democrasi)2

Dalam kacamata islam menurut Yusuf Al-Qordhawi, demokrasi adalah
Wadah Masyarakat untuk memilih sesorang untuk mengurus dan mengatur urusan
mereka. Pimpinanya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang
mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa
jika pemimpin tersebut salah. Merekapun berhak memecatnya jika menyeleweng,
mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya, atau sistem
politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai.3

1

Meriam boediarjoo, Dasar-dasar ilmu politik, ed. revisi. Jakarta: PT Gramdia Pustaka Utama, 2008,
hlm.,105
2
ibid.,109
3
Yusuf fiqhu daulah fil islam da fatawa mu’ashiroh

6

Sedangkan dalam pandangan bapak reformasi Indonesia, Amien Rais, Suatu

Negara disebut sebagai negara demokrasi jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu; (1)
partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) persamaan di depan hukum, (3) distribusi
pendapat secara adil, (4) kesempatan pendidikan yang sama, (5) empat macam
kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran,
kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan
informasi, (7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik, (8) kebebasan individu,
(9) semangat kerja sama dan (10) hak untuk protes.4
Kondisi Pilkada di berbagai daerah selalu menemukan problematika yang
berkaitan dengan redaksi Undang-Undang daerah yang mengatur tentang Pilkada.
Mulai dari black campaign, money-politic, kecurangan lembaga survei, dan lain
sebagainya. Sehingga seakan-akan makna demokrasi dipermainkan oleh segelintir
golongan elit pejabat daerah yang hanya mencari keuntungan. Banyak spesifikasi
demokrasi dalam Pilkada pada setiap rezim pemerintahan mulai pasca kemerdekaan
hingga era pasca reformasi. Berikut kita teliti perkembangan Pilkada pada setiap
rezim demokrasi.

a. Pilkada pada rezim Demokrasi Parlementer (1945-1955)
Indonesia sebenarnya pernah memiliki landasan konstitusi untuk melakukan
pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Ini terjadi ketika kita memberlakukan
UUD Sementara Tahun 1950 saat Indonesia berbentuk serikat (RIS), yakni lahirnya

UU No 1 Tahun 1957.
Pasal 23 UU No 1/1957 menyebutkan, kepala daerah dipilih menurut aturan
yang ditetapkan dengan undang-undang. Sebelum undang-undang tersebut ada,
sementara kepala daerah dipilih oleh DPRD. Undang-undang untuk menjabarkan
Pasal 23 itu dirancang atas pertimbangan bahwa kepala daerah adalah orang yang
dikenal baik oleh rakyat di daerahnya. Oleh karena itu, kepala daerah harus dipilih
langsung oleh rakyat.
Tampak bahwa UU No 1/1957 memberikan nuansa demokrasi, dalam arti
membuka akses rakyat berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah. Tetapi, seiring
dengan dinamika politik kala itu, dua tahun kemudian Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945.
4

Lihat Amien Rais, Demokrasi dan Proses Politik, dalam Demokrasi dan Proses Politik, Seri Prisma
Jakarta, diterbikan LP3ES, 1986

7

Oleh karena itu, UUD Sementara tak berlaku lagi dengan segala
konsekuensinya. Maka, sistem pilkada langsung sebagaimana diamanatkan oleh UU
No 1/1957 baru bersifat introduksi dalam pentas politik, mengingat secara empirik
belum dilaksanakan.5
b. Pilkada masa Demokrasi Terpimpin
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, mengatur mekanisme dan prosedur
pengangkatan kepala daerah. Dengan demikian, tampak jelas perbedaannya. UU No
1/1957 berlandaskan UUD Sementara dalam sistem negara federal (RIS), sedangkan
Penpres No 6/1959 dikeluarkan berdasarkan UUD 1945 dalam sistem negara
kesatuan (NKRI).
Untuk lebih menguatkan sistem pemilihan kepala daerah agar tidak hanya
berdasarkan Penpres, lahirlah kemudian UU No 18/1965 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah. Dalam undang-undang ini kepala daerah diangkat dan
diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang
diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah
semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin
terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara yang
pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah.
Konsekuensi dari sistem seperti itu, seorang kepala daerah tidak dapat
diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD. Pemberhentian kepala daerah
merupakan kewenangan penuh presiden (untuk gubernur) dan menteri dalam negeri
(untuk bupati atau walikota). UU ini kemudian disempurnakan oleh Orde Baru
dengan lahirnya UU No 5 Tahun 1974.
c.

Pilkada pada masa Demokrasi Pancasila (era Orde Baru)
Berdasarkan UU No 5/1974 itu, kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh

Presiden Soeharto. Kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat
dan diajukan oleh DPRD. Sebenarnya, pada masa itu kepala daerah bukanlah hasil pemilihan

DPRD, mengingat jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan

5

Internet : Oleh Harmoko,http://poskotanews.com/2014/09/29/sejarah-pilkada/ diakses tanggal 19
Oktober 2014

8

tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja di antara para calon yang diajukan
oleh DPRD itu. Sistem ini dimungkinkan sesuai kebutuhan zaman waktu itu, agar pemerintah
pusat mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerjasama dengan pemerintah pusat.

d. Pilkada pasca Reformasi
Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini adalah
demokresi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik yang berbeda dengan orde baru
dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-1959. Pertama, Pemilu
yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya. Kedua,
ritasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampi pada tingkat desa.
Ketiga, pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara
terbuka. Keempat, sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan
menyatakan pendapat.6

Zaman telah berubah. Reformasi adalah sebuah keniscayaan. UUD 1945
diamendemen. UU Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pun lahir, untuk
mengikuti perubahan UUD, hingga kemudian keluar UU Nomor 32 tahun 2004.
Semua UU dan peraturan dibuat atas nama demokratisasi. Namun, mengingat
demokratisasi ternyata lebih banyak keluar dari tujuannya yakni menyejahterakan
rakyat, evaluasi pun dilakukan, perubahan dilakukan lagi. Sistem pemilihan kepala
daerah diserahkan kepada DPRD. Akankah ini menuju perbaikan?
Demikian kenyataan praktik demokrasi Pilkada yang terjadi di Negara
Indonesia. Maka para pejabat sepakat untuk menerapkan demokrasi konstitusional
sebagai jalan tengah menyikapi pengalaman berdemokrasi yang dialami. Demokrasi
konstitusional adalah pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dan tidak dipekenankan
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan-pembatasan tersebut tercantum
dalam konstitusi. Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan negara berada di tangan
rakyat. Pemegang kekuasaan dibatasi wewenangnya oleh konstitusi sehingga tidak melanggar
hak-hak asasi rakyat. Antara kekuasaan eksekutif dan cabang-cabang kekuasaan lainnya
terdapat check and balance. Lembaga legislatif mengontrol kekuasaan eksekutif sehingga
tidak keluar dari rel konstitusi.
Oleh International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun
1965, negara-negara yang menganut asas demokrasi disebut juga sebagai representatif
government. Adapun yang dimaksud dengan representatif government oleh Internasional
6

Internet : http://tifiacerdikia.wordpress.com/
9

Commission of jurist adalah Representative government is a government deriving its power
and authority form the people, which the people and authority are exercised through
representative freely chosen and responsible to them.7

Kemudian penerapan konstitusi dalam pemilihan daerah masih belum dilaksanakan
sepenuhnya. Sehingga tentu saja menyebabkan kelebihan dan kekurangan yang ada dalam
setiap sistem Pilkada baik itu secara langsung maupun tidak langsung, melalui DPRD.
Berikut penjelasan hal tersebut.
2.2 Demokrasi Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA)

Gagasan pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) merupakan buah
dari reformasi politik yang berlangsung sejak tahun 1998. Perubahan paradigma
politik lokal, sesungguhnya terjadi lebih awal, yaitu sejak dikeluarkannya UU No.22
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Tetapi, dalam soal pemilihan kepemimpinan
secara langsung, gagasan Pilpres secara langsung lebih dulu berlangsung yakni sejak
2004. Sementara prosedur Pilkada baru secara formal diintrodusir dalam UndangUndang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada, yang mulai
diselenggarakan tahun 2005, merupakan bagian dari efek domino perubahan politik di
Indonesia dalam bidang pemerintahan daerah.8 Sehingga demokrasi yang kita jumpai
dalam Pilkada setelah reformasi merupakan demokrasi yang masih mempunyai
relevansi tingkat nasional, bukan dalam tingkat daerah.
Kemudian kita akan membahas beberapa kejadian – kejadian yang terjadi dari
diterapkannya demokrasi dalam Pilkada setelah reformasi yang diderivasi dari
demokrasi dalam Pemilu tingkat nasional.
a. Pilkada Langsung
Kelebihan :
1. Rakyat dapat memilih langsung kepala daerahnya sesuai penilaian pribadi
masyarakatnya. Idealnya seperti di Athena dimana semua kebijakan Negara
ditentukan oleh suara rakyatnya. Masyarakat dapat bebas memilih sesuai track
record dan dengan citra citra yang ada secara bebas karena suara rakyat adalah
suara Tuhan.
7

Sri Soemantri, Demokrasi Pancasila dan Implementasi Menurut Undang-undang Dasar 1945,
penerbit Alumni Bandung, 1969. Hal.14
8
‘obi Nurhadi, Jur al POELITIK Vol. No. Tahu
8, Pilkada Jakarta da De okrasi Mi i alis ,
hal. 3

10

2. Tokoh bisa terpilih walaupun dukungan partai minim. Melalui PILKADA
langsung tokoh – tokoh memungkinkan menang walau dengan dukungan
partai yang minim. Asalkan bisa menggalang dukungan yang besar dari
masyarakat
3. Masyarakat tergerak untuk turut serta aktif dalam proses pemilu. Di daerah
yang cukup maju partisipasi aktif masyarakat sangat mendukung untuk
keberlangsungan demokrasi yang baik. Masyarakat yang cerdas dan mapan
lebih bisa menentukan pilihannya tanpa pengaruh parpol apalagi money
politik
Kekurangan:
1. Biaya yang dikeluarkan sangat besar
Biaya yang dikeluarkan mulai dari biaya penyelenggaraan, kampanye, lobbilobbi partai pendukung sangat besar. Ini memungkinkan calon kepala daerah
yang memiliki modal besar lah yang akan menang atau mereka yang
mendapat dukungan dana dari pemodal besar.
2. Kedaulatan milik Pemodal dan Asing
Sudah barang tentu kepala daerah yang menang pilkada yang telah di beri
modal yang banyak terikat kepada pemilik modal. Kepala daerah yang
berhutang untuk biaya kampanye dan kebutuhan untuk kemenanganya akan
mengembalikannya melalui proses tender yang berkali – kali lipat
keuntungannya bagi penyokong modal ataupun memberikan kebijakan yang
mendukung kepada pemilik modal termasuk dalam hal ini kepentingan asing
juga bisa masuk terhadap penguasaan sumber-sumber kekayaan alam kita dan
mempengaruhi kebijakan kepala daerah melalui pressure yang dilancarkan.
3. Korupsi
Untuk mengembalikan modal besar pribadi, sponsor maupun partai yang telah
mengeluarkan milyaran bahkan triliunan rupiah sudah barang tentu
menjadikan korupsi sebagai jalan yang nyaman. korupsi menjadi lumrah bagi
para kepala daerah, hanya masalah bagaimana mereka bermain saja, bisa
bermain bersih dan aman ataukah tidak. Bila bermain kotor akan tertangkap
KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) jikalau bermain bersih sukses tidak
ketahuan dan berjalan melenggang.

11

4. Rawan penyalahgunaan birokrasi dan minim pengawasan
Selama ini kita lemah dalam pengawasan dan punishment. Banyak
penyalahgunaan wewenwng yang terjadi dalam proses pilkada. Mahfud MD
menuturkan seperti berikut. “saya menangani di MK itu 390 (sengketa
pilkada) semua ada penyalahgunaan birokrasi. Ada seseorang yang tidak
mendukung

seseorang

(calon)

akan

dipecat.

Itu

birokrasi

rusak,”

(TribunNews)

b. Pilkada Melalui DPRD
Kelebihan:
1. Effisiensi anggaran
Penghematan anggaran secara menyeluruh dengan dana penghematan yang
besar. Mulai dari anggaran Negara yang terpakai untuk penyelenggaraan
pemilihan, biaya pribadi calon kepala daerah, biaya kampanye dan uang
sponsorship
2. Meminimalisir konflik di masyarakat
Sudah kita ketahui bersama bahwa proses pemilihan umum mulai dari
pemilihan presiden hingga pemilihan bupati melahirkan konflik dari proses
kampanye bahkan hingga pasca dilantiknya pemenang. Proses pemilihan
kepala daerah yang banyak sekali dilakukan menjadikan Indonesia
menjadikan konflik yang terus – menerus hanya pindah wilayah saja. Dengan
Pilkada melalui DPRD kita akan lebih kondusif dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hanya dalam pilpres saja masyarakat mengalami momentum
rawan konflik.
3. Memiliki Demokrasi dengan identitas khas bangsa Indonesia
Pemilihan kepala daerah melalui DPRD juga masih dalam bingkai demokrasi.
Pemilihan langsung maupun melalui DPRD masih merupakan proses
demokrasi. Pilkada melalui DPRD memberikan kita berdiri teguh dalam
IDENTITAS bangsa kita sesuai cita – cita founding father bangsa kita bahwa
Demokrasi kita bukannla demokrasi ala barat melainkan demikrasi perwakilan
yang sesuai dengan sila ke-4 dari dasar Negara kita, Pancasila.
4. Kepala daerah dan DPRD lebih bersinergi
Kepala daerah dan DPRD sudah dipastikan akan lebih bersinergi karena
kepala daerah merupakan produk tidak langsung dari DPRD. Promram

12

pengembangan daerah akan lebih lancer karena tidak perlu adanya konflik
antara kepala daerah dengan DPRD. Program pembangunan daerah dan
pengembangannya juga akan lebih berkesinambungan.
5. Meniadakan politikus yang kutu loncat, bahkan memungkinkan memilih
kepala daerah dari kalangan professional murni. Dengan proses pemilihan
melalui DPRD dapat meminimalisir politikus kutu loncat yang pragmatis dan
oportunis yang dalam pemilihan langsung marak dengan pemodal besar
sebagai penyokongnya. Kutu loncat akan mendapat stigma negative sehingga
tidak ada partai yang berminat. Para pemodal juga tidak dapat menjadikan
kepala daerah sebagai boneka.
Kekurangan:
1. Rakyat tidak dapat langsung memilih
Menjadi kekurangan yang terlihat jelas bahwa rakyat tiodak dapat langsung
memilih kepala daerahnya. Apalagi PILKADA langsung ini sudah
berlangsung di masyarakat selama sepuluh tahun. Akan tetapi masyarakat
tetap memilih dalam hal ini wakil – wakil mereka. Masyarakat juga akan lebih
jeli

memberikan

suaranya

kepada

calon

wakil

rakyat

dan

partai

pengusungnya. Akan ada penilaian dari masyarakat yang akan membuat partai
berlomba – lomba untuk menjadi partai yang bersih dan mengkader sebaik
mungkin
2. Dikhawatirkan DPRD hanya menjadi representasi parpol
Menjadi kekhawatiran kita semaua sebagai rakyat sebuah Negara di tengah
minimnya kepercayaan terhadap partai politik bahwa DPRD yang terpilih
akan mewakili parpolnya bukan menyuarakan kepentingan rakyat sebagai
konstituennya
3. Kepala Daerah hasil kesepakatan partai pendukung
Kepala daerah yang dipilih berdasarkan kesepakatan partai pendukung
dikhawatirkan akan tersandera banyak kepentingan. Apalagi dengan kondisi
bangsa seperti yang ada saat ini dimana masyarakat menilai suaranya hanya
menjadi sampah lima tahunan yang di perebutkan lalu di campakkan
4. Calon yang muncul harus benar – benar berkarir dalam birokrasi
Sudah seharusnya pemilihan kepala daerah melalui DPRD memilih calon
berdasarkan kompetensinya dalam birokrasi pemerintahan di daerahnya

13

sehingga jabatan kepala daerah tidak melulu hasil karir politik melainkan bisa
melalui jalur karir profesi.
Sebagai masyarakat sudah seharusnya sikap kita adalah mewujudkan
kedamaian dan menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara aman dan nyaman.
Menurut Prof. Jimly Ashidiqi bahwa proses pemilihan kepala daerah baik langsung
maupun tidak langsung adalah sama – sama merupakan proses demokrasi. “Bangsa
kita memang terlalu beranekaragam sehingga kita perlu merumuskan demokrasi yang
sesuai dengan karakter bangsa. Di amerika struktur masyarakatnya sudah terbentuk
secara alami menjadi dua kelompok besar, kalangan produsen dan pemerintah di
partai republik sedangkan buruh dan petani di partai demokrat. Hanya ada dua partai
dan sudah dua setengah abad mereka berdemokrasi tanpa ada keributan
berkepanjangan”. Begitu petikan pidatonya di selingan acara di gedung manggala
departemen kehutanan.
Prof. BJ. Habibie menggaris bawahi pemilihan langsung dengan masih
banyaknya PR besar agar demokrasi berjalan dengan baik, tidak ada money politic,
pencitraan palsu dan membohongi masyarakat. Bagi habibie Negara yang nyaman
dan sejahtera adalah setiap masyarakat dapat hidup layak dan tidur dengan tenang.
“Bagi saya nyaman dan sejahtera bukanlah jalan – jalan yang halus, pembangunan
yang baik. Bukan itu, bagi saya nyaman dan sejahtera adalah ketika saya menjadi
kakek saya dapat tidur dengan tenang karena anak saya mendapat pekerjaan dengan
mudah, cucu saya dapat makan dan sekolah dengan layak” tukasnya dengan
semangat.
RUU Pilkada yang telah di tetapkan menjadi undang – undang harus kita
maknai sebagai usaha mendapatkan solusi penerapan demokrasi yang sesuai dengan
Identitas kita sebagai bangsa, sesuai dengan keragaman kita dan menemukan konsep
demokrasi yang lebih baik. Tidak ada lagi kepala daerah yang terjerat kasus korupsi,
mengurangi pengaruh asing dan kebangkitan kita menjadi Negara maju. Poin
terpenting adalah jangan sampai pro – kontra undang – undang pilkada menjadi
pemecah bangsa yang merusak kenyamanan di masyarakat terlebih apabila ini hanya
di jadikan bahan pertarungan politik ataupun politik pencitraan.9

9

Ahmad Soleh, Kebijakan Publik Kammi Jakarta, CIDES CAMPUS

14

BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya, demokrasi konstitusional telah diterapkan dalam Pemilu Calon
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat secara keseluruhan. Adapun dalam Pilkada,
makna demokrasi konstitusional semakin kita temukan dengan melihat kutipan
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah ada pengaduan tentang hasil sidang
DPR yang memutuskan bahwa Pilkada akan diselenggarakan melalui DPRD.
Berikut bunyi pertimbangan hukum MK poin 3.12.3 dalam salinan putusan MK:
“Pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 akan
tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan,
"Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Menurut Mahkamah,
makna frasa "dipilih secara demokratis", baik menurut original intent maupun dalam
berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan secara
langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD.
Lahirnya kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada saat
dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda
mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD sementara
pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Latar
belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu adalah
sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan.
Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang
dikehendaki oleh masyarakat di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga
masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan yang
dilakukan oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Tujuannya adalah agar menyesuaikan dengan dinamika perkembangan bangsa untuk
menentukan sistem demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan
opened legal policy dari pembentuk Undang-Undang dan juga terkait erat dengan
penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan
budaya masyarakat di berbagai daerah yang berbeda-beda. Ada daerah yang lebih
cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung oleh rakyat dan ada

15

pula daerah yang cenderung dan lebih siap dengan sistem pemilihan langsung oleh
rakyat. Baik sistem pemilihan secara langsung (demokrasi langsung) maupun sistem
pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) sama-sama masuk kategori
sistem yang demokratis.
Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian disepakati menggunakan kata
demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena pemilihan kepala
daerah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang masuk pada rezim pemerintahan
daerah adalah tepat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (UU 32/2004) mengatur juga mengenai pemilihan kepada daerah dan
penyelesaian perselisihannya diajukan ke Mahkamah Agung. Walaupun Mahkamah
tidak menutup kemungkinan pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang
tersendiri, tetapi pemilihan kepala daerah tidak masuk rezim pemilihan umum
sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945.
Pembentuk Undang-Undang berwenang untuk menentukan apakah pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD atau
model pemilihan lainnya yang demokratis. Jika berdasarkan kewenangannya,
pembentuk Undang-Undang menentukan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh
DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu
membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan
umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Demikian juga halnya
walaupun pembentuk Undang-Undang menentukan bahwa pemilihan kepala daerah
dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak serta merta penyelesaian perselisihan
hasil pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Logika
demikian semakin memperoleh alasan yang kuat ketika pemilihan kepala desa yang
dilakukan secara langsung oleh rakyat tidak serta merta dimaknai sebagai pemilihan
umum yang penyelesaian atas perselisihan hasilnya dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi.10

3.2 Saran dan Pendapat Penulis
Pendapat penulis dengan kebijakan terbaru DPR tentang Pilkada melalui
DPRD dengan melihat pengertian demokrasi, perkembangan demokrasi dalam
10

dikutip dari mahkamahkonstitusi.go.id, Jumat (26/9/2014):

16

Pilkada sejak era Orde Lama hingga pasca Reformasi, dan dengan melihat kelebihan
dan kekurangan yang ada dari setiap sistem penyelenggaran Pilkada pada akhirnya
sesuai dengan undang-undang yang tertulis Konstitusi bahwa pelaksanaan Pilkada
secara langsung ataupun melalui DPRD tidaklah menyalahi konstitusi Negara. Justru
kita semakin peduli dengan konstitusi dan benar benar menerapkan demokrasi
konstitusional yang berlaku setelah era reformasi. Itu karena semua perkara
pemerintahan di Negara kita kembalikan kepada konstitusi nasional.

17

Daftar Pustaka
Ahmad Soleh, Kebijakan Publik Kammi Jakarta, CIDES CAMPUS
Al-Qardhawi, Yusuf, „Fiqhu Daulah Fil Islam„ Dan „Fatawa Mu’ashiroh„, Penerbit : Ariij,
1997
Boediarjo, Meriam, Dasar-dasar ilmu politik, ed. revisi. Jakarta: PT Gramdia Pustaka Utama,
2008
Internet : Oleh Harmoko, http://poskotanews.com/2014/09/29/sejarah-pilkada/ diakses
tanggal 19 Oktober 2014

Internet : http://tifiacerdikia.wordpress.com/ diakses tanggal 19 Oktober 2014
Nurhadi, Robi, Jurnal POELITIK Vol. 1 No. 1 Tahun 2008, „Pilkada Jakarta dan
Demokrasi Minimalis‟,
Rais, Amien, Demokrasi dan Proses Politik, dalam Demokrasi dan Proses Politik, Seri Prisma
Jakarta, diterbikan LP3ES, 1986
Soemantri, Sri, Demokrasi Pancasila dan Implementasi Menurut Undang-undang Dasar 1945,
penerbit Alumni Bandung, 1969.

18